Anda di halaman 1dari 34

MODUL

IDENTIFI
TIFIKASI INFEKSI PROTOZOA

ID
IDA AYU PASTI APSARI
NY
NYOMAN ADI SURATMA
ID
IDA BAGUS MADE OKA
I MADE DWINATA

LABOR
BORATORIUM PARASITOLOGI
FAKULT
KULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
DAFTAR ISI

Topik halaman
PENGERTIAN PROTOZOA …………………………………………………….. 1

PERBANYAKAN DIRI PROTOZOA ……………………………………………. 3

MACAM PROTOZOA/KLASIFIKASI …………………………………………… 6

PENYAKIT SEBAB PROTOZOA PADA AYAM ……………………………….. 7


1. KOKSIDIOSIS/BERAK DARAH …………………………………………. 7
2. MALARIA UNGGAS ……………………………………………………… 10
3. TOXOPLASMOSIS ………………………………………………………… 13

PENYAKIT SEBAB PROTOZOA PADA SAPI ………………………………….. 15


1. PIROPLASMOSIS/BABESIOSIS …………………………………………. 15
2. THEILERIOSIS …………………………………………………………….. 18
3. ANAPLASMOSIS ………………………………………………………….. 21
4. SURRA ……………………………………………………………………… 25
5. COCCIDIOSIS PADA SAPI ……………………………………………….. 26
6. TRICHOMONOSIS ………………………………………………………… 26
7. TOXOPLASMOSIS ………………………………………………………… 29

PENYAKIT SEBAB PROTOZOA PADA BABI ………………………………….. 30


1. COCCIDIOSIS ……………………………………………………………… 30
2. AMOEBIOSIS ………………………………………………………………. 30
3. BALANTIDIOSIS …………………………………………………………… 32
4. TOXOPLASMOSIS …………………………………………………………. 32
PENGERTIAN PROTOZOA

Protozoa adalah organisme satu sel (sel tunggal), tetapi telah memiliki fungsi : metabolisme,
pergerakan, digesti, respirasi, sekresi, reproduksi, pertahanan hidup dan lain-lain
diselenggarakan oleh organela sel. Protozoa merupakan “eukaryotic” dimana intinya diselubungi
oleh membran atau selaput, berbeda dengan “prokaryotic”, contohnya bakteri, dimana intinya
tidak diselubungi oleh membran atau dengan kata lain tidak terpisah dengan sitoplasma. (lihat
gambar 1)

Gambar 1 : Perbedaan sel Prokaryotic dengan Eukaryotic

Selama siklus hidupnya beberapa anggota protozoa mempunyai dua macam stadium,
yaitu stadium aktif dikenal dengan tropozoit dan stadium tidak aktif dikenal dengan Kista.

Giardia sp stadium Giardia sp stadium


tropozoit kista

1
Stadium tropozoit, protozoa bisa bergerak (menggunakan alat gerak tergantung
jenisnya), tumbuh dan memperbanyak diri
diri, tetapi tidak tahan (peka) terhadap berbagai
pengaruh lingkungan dibandingkan bentuk kista.

Stadium kista, protozoa mengbungkus dirinya dengan dinding yang tebal sehingga tidak
dapat bergerak, tidak tumbuh dan tidak memperbanyak diri, tetapi tahan (resisten)
terhadap berbagai pengaruh
aruh lingkungan seperti temperatur tinggi, kekeringan atau kelembaban
tinggi, bahan – bahan kimia dan yang lainnya

Protozoa parasitik umumnya bergerak menggunakan :


flagela, , selaput undulasi, silia, pseudopodia dan cara bergerak
lainnya dengan : membengkok,
ok, memilin, meluncur, mengombak
permukaan tubuh bagian luar yang memungkinkan untuk
bergerak, menggelinding, melecut (meliuk)

1. Flagela (Bulu Cambuk),


), adalah organel yang menyerupai
cambuk. Pada beberapa spesies flagela dapat berlanjut
sepanjang badan kearah belakang, melekat sepanjang badan atau hanya pada beberapa tempat
tertentu saja dan membentuk membran beralun (undulating membrane)

silia
2. ), mirip dengan flagela, tetapi
Silia (Rambut getar),
ukurannya sangat kecil dan pendek, umumnya tersusun
berjajar sehingga mirip seperti bulu mata, mengelilingi
seluruh permukaan tubuh.

2
3. Pseudopodia (Kaki Semu), gerakan yang dilakukan dengan
menonjolkan bagian ektoplasma. Merupakan alat gerak sementara
yang dapat dibentuk dan ditarik apabila dibutuhkan.
4. Gerak meluncur (glinding), gerakan yang menggunakan badannya untuk meluncur
secara halus tanpa berubah bentuk atau oleh sebab lain yang terlihat oleh mikroskup
cahaya. Gerak meluncur ini disebabkan adanya suatu gelombang yang beralun menuju ke
belakang pada kerut-kerut atau lipatan longitudinal pada permukaan luar badannya.
Pergerakan lipatan ini disebabkan oleh mikrotubuli subpelikuler yang mereka miliki.
Lendir yang dikeluarkan juga memegang peran penting. Contoh : Toxoplasma dan
Sarcocystis

Ookista Sarcocystis Ookista Toxoplasma

PERBANYAKAN DIRI PROTOZOA

INTI, mengatur semua fungsi penting kehidupan protozoa, selain itu juga berperan dalam
reproduksi (perbanyakan diri). Hanya bentuk tropozoit yang mampu memperbanyak diri,
sedangkan bentuk kista, protozoa dalam keadaan statis. Reproduksi protozoa dapat dibedakan
menjadi : Aseksual dan Seksual.

REPRODUKSI ASEKSUAL, protozoa mengadakan multiplikasi (perbanyakan) dengan cara:

1.Pembelahan sederhana,

2.Pembelahan Berlipat Ganda, dan

3.Perbanyakan dengan Penguncupan

3
1.Perbanyakan dengan PEMBELAHAN SEDERHANA (”simple binary fission”) atau
pembelahan biner (”Binary fission), dimana tiap individu membelah menajdi dua secara
(longitudinal) pada flagelata dan (transversal) pada siliata dan Amoeboid. Mula – mula inti
membelah menjadi dua, kemudian baru diikuti oleh pemisahan sitoplasma.

Pembelahan biner

2.Perbanyakan dengan PEMBELAHAN BERLIPAT GANDA (”Skizogoni”), pada awalnya


inti akan membelah beberapa kali (berulang – ulang), kemudian sitoplasma akan mengelilingi
setiap inti yang membelah, sehingga pada akhirnya akan terbentuk beberapa individu baru. Sel
yang sedang membelah disebut SKIZONT atau MERONT, GAMON dan SEGMENTER dan
hasil pembelahan setiap selnya disebut Merozoit.

Skizogoni

3.Perbanyakan dengan PENGUNCUPAN (”Budding”) atau pembentukan tunas : bisa


dibedakan mejadi penguncupannya di luar (Ekterna) dikenal dengan Ektogeni, sedangkan
penguncupan di dalam (Interna = Endogen) dikenal dengan Endogeni
Ektogeni, akan terbentuk individu baru pada ektoplasma, kemudian memisahkan diri
dan tumbuh menjadi individu baru. Bila terbentuk dua sel disebut ektodigeni dan apabila
lebih disebut ektopoligeni

4
Endogeni,, akan terbentuk individu baru di dalam endoplasma,, kemudian akan keluar
dengan cara merusak ektoplasma
ektoplasma. Jika hanya terbentuk dua sel disebut Endodiogeni
Endo dan
apabila lebih disebut endopoli
poligeni.

Pembelahan budding

REPRODUKSI SEKSUAL,, pada protozoa parasitik hanya terjadi KONJUGASI dan


SYNGAMY

1. KONJUGASI, (umumnya ditemukan pada Ciliata),


), dua individu bertemu secara temporer
(sementara) dan bersatu pada satu sisi sepanjang bagian dari tubuhnya. Makronukleusnya
bergenerasi, sedangkan Mikronukleusnya
kronukleusnya membelah beberapa kali dan satu dari pronuklei
haploid yang dihasilkan menyeberang dari satu konjugan ke konjugan yang lain. Konjugan –
konjugan itu lalu berpisah dan terjadi reorganisasi inti.

2. SYNGAMY (Singami),
), dua gamet (mikrogamet dan Ma
Makrogamet)
krogamet) bersatu untuk
membentuk zigot, di dalam Sigot nantinya akan terbentuk Sporozoit.

5
MACAM PROTOZOA/KLASIFIKASI

PHYLUM APICOMPLEXA
Phylum Apicomplexa, berdasarkan predileksinya dapat dikelompokkan menjadi
HAEMO-APICOMPLEXA yang hidup di dalam darah dan
EPITELIO-APICOMPLEXA yang hidup di dalam epitel saluran cerna dan atau
jaringan

HAEMO-APICOMPLEXA,
Anggotanya yang terpenting : Malaria Unggas (Plasmodium, Leucocytozoon, Haemoproteus
Babesia dan Theileria

EPITELIO-APICOMPLEXA
Anggotanya yang terpenting :Eimeria,Toxoplasma,Neospora,
Sarcocystis, Besnoitia, Hammondia, Isospora
Cryptosporidium, Tyzzeria, Wenyonella

PHYLUM SARCOMASTIGOPHORA

Phylum Sarcomastigophora, memiliki 2 Subphylum :


(1) SARCODINA dan (2) MASTIGOPHORA.
Subphylum SARCODINA (Amoeboid)
Anggotanya yang terpenting : Entamoeba,
Endolimax, Iodamoeba dan Dientamoeba
Subphylum MASTIGOPHORA (Flagelata)
Anggotanya yang terpenting : Trypanosoma, Leishmania, Tritrichomonas, Giardia,
Histomonas, Trichomitus, Tetratrichomonas dan Pentatrichomonas

6
PENYAKIT SEBAB PROTOZOA PADA AYAM

1.Koksidiosis/Berak darah
Pada ayam spesies yang penting yaitu : E. tenella ini yang paling patogen menyebabkan
Caecal coccidiosis. Eimeria necatrix, E. maxima, E. praecox, E. brunetti, E. acervulina, E.
hagani, E. mivati, E. gallinae, semua ini menyebabkan Intestinal Coccidiosis.
Pada kalkun : E. adenoides, E. meleagrimitis, E. dispersa, E.galpavonis, E. innooua, E.
meleagridis, E. subrotunda.
Pada angsa dan itik : E. anseris menyerang angsa peliharaan. Eimeria truncata ini sangat
patogen dapat menyebabkan mortalitas 100%, yang menyebabkan Renal Coccidiosis.
Tyzzeria permisiosa menyerang bebek.
Caecal Coccidiosis
Penyakit ini tercirikan dengan tinja yang berdarah tapi tidak berlendir. Ayam yang peka,
infeksi terjadi dengan serangan akut umur 4-8 minggu. Ayam lebih tua biasanya lebih tahan
karena sebelumnya teah pernah terinfeksi ringan sehingga sudah timbul kekebalan.
Caecal coccidiosis ini bervariasi keparahannya, mulai dari suatu infeksi tidak terlihat
sampai penyakit yang akut dan sangat mematikan. Keparahannya tergantung dosis infeksi
ookista, patogenitas galur coccidia, ras dan umur ayam, status gizi ayam dan agen penyakit
lainnya, serta stress yang dialami secara bersamaan.
Geajala Klinis
Gejala berupa diare berdarah yang mungkin terlihat pada hari keempat dan bertambah
parah pada hari kelima pasca infeksi. Pada kejadian perakut, yaitu terjadi infeksi yang sangat
berat, maka kematian segera terjadi tanpa timbul gejala klinis sebelumnya. Apabila dilakukan
bedah bangkai pada kasus ini maka akan terlihat kantung caecum membengkak dan berisi darah
yang membeku. Pada kejadian sub akut ayam akan terlihat lesu, anoreksia, sayap menggantung,
keadaan pucat dan kemudian diikuti dengan diare berdarah. Kematian pada ayam muda
diakibatkan perdarahan yang hebat sehingga ayam banyak kehilangan darah.
Ookista dapat ditemukan dalam tinja 7 hari setelah infeksi. Jumlah ini mencapai puncak
pada hari ke 8 dan 9. Coccidiosis ini bersifat membatasi diri (self limiting) yaitu dapat sembuh
sendiri tanpa diobati. Kekebalan dari coccidiosis ini bersifat spesies spesifik artinya ayam yang
kebal terhadap infeksi E. tenella masih bisa tertular oleh spesies lainnya

7
Intestinal Coccidiosis
Penyakit coccidiosis ini merupakan tipe penyakit yang menahun. Lesi yang diakibatkan
oleh coccidiosis ini mengakibatkan banyak jaringan parut pada usus halus seperti penebalan
dalam dinding usus halus sehingga penyerapan tidak baik akibatnya ayam yang sudah sembuh
dari penyakit ini akan mengalami kekurusan.
Gejala klinis yang terlihat, tinjanya lembik sampai berair dan jarang disertai darah. Pada
infeksi berat, diare dengan tinja yang cair berisi lendir warna seperti darah berupa kelupasan
epithel usus.
Pengobatan :
1. Sulfaquinoxalin 0,1% dalam makanan, sedang dalam air minum 0,04%. Untuk
pencegahan 0,0125% dalam makanan
2. Nitrofenid (Megasul) untuk terapi 0,05-0,06% dalam makanan. Untuk pencegahan
0,02-0,025% dalam makanan
3. Sulfamerazin untuk terapi 0,03% dalam makanan, sedangkan untuk pencegahan
dengan 0,02% dalam makanan.

Penularan penyakit ini secara langsung melalui makanan /minuman yang tercemar oleh
ookista infektif.

8
Ookista Eimeria maxima E.tenella belum sporulasi Ayam coccidiosis

9
2.Malaria Unggas
Penyakit Malaria pada unggas termasuk penyakit yang tidak begitu penting di bidang
kedokteran hewan, tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan kerugian yang besar pada bangsa
burung seperti pada merpati dan ayam. Penyakit ini disebabkan oleh 3 genus protozoa dari kelas
sporozoa yaitu : Plasmodium, Haemoproteus dan Leucocytozoon.

Plasmodium
Spesies yang paling penting menyerang unggas adalah Plasmodium gallinaceum. Target
organ yang diserang yaitu sel darah merah, sel macrophage, limfoid dan RES.
Penularan
Melalui vektor yaitu nyamuk dari genus Aedes, Armigeres, Culex dan Anopheles.
Nyamuk membawa bentuk sporozoit, kemudian menggigit unggas yang sehat sehingga bentuk
sporozoit masuk tubuh unggas berubah menjadi bentuk schizont. Schizont yang berada di luar
sel darah merah disebut exoeritrositik schizont. Schizont ini berkembang di dalam sel endotel
pembuluh darah ginjal, limpa, hati dan otak. Setelah berubah menjadi merozoit, masuk ke sel
darah merah menjadi tropozoit yang bentuknya bundar dengan vakuola besar yang mendesak
sitoplasma sel darah merah hospes. Pada darah perifer hospes, yang beredar adalah bentuk
merozoit, kemudian diisap oleh vektor sehingga masuk tubuh nyamuk. Di dalam tubuh nyamuk
terjadi proses gametogoni dengan membentuk makro dan mikrogamet. Terjadi fertilisasi
membentuk sigot. Sigot yang terbentuk disebut ookinet. Bentuk ini berada di dalam midgut
nyamuk dalam bentuk ookista yang mengalami pendewasaan dan pecah menjadi sporozoit yang
berada dalam kelenjar ludah nyamuk.
Gejala klinis
Unggas yang terinfeksi cepat mengalami emasiasi dan anemia. Nafsu makan menurun,
unggas menjadi kurus, bulu kusam dan ayam sering gemetar. Produksi telur menjadi menurun.
Paralisis dapat terjadi akibat jumlah eksoeritrositik skison yang banyak terdapat pada sel
endotel pembuluh darah otak.
Perubahan patologi, terlihat hati dan limpa warna gelap dan membesar. Pada rongga
pericard terdapat cairan dan penyumbatan pada pembuluh darah otak.

10
Diagnosis
Diagnosa dapat ditegakkan dengan pemeriksaan darah melalui pemeriksaan ulas darah
perifer untuk menemukan parasit Plasmodium.
Penanganan
Pencegahan dengan kontrol nyamuk.
Pengobatan dengan : Plasmoquin 5mg/kg bb/hari selama 7-10 hari
Mepacrine 7,5mg/kg bb/hari selama 7 hari per oral
Chloroquin 5mg/kg bb. Pyrimetamine 0,3 mg/kg bb
Sulfadiazine 100mg/kg bb. Paludrine 0,075 g/kg bb.
Kinine 0,32g/hari.

Haemoproteus
Spesies terpenting adalah Haemoproteus columbae yang dijumpai menyerang burung
merpati. Spesies yang lain yaitu H. Loportyx pada burung puyuh, H. Meleagridis pada kalkun
dan H. Nettionis pada itik dan angsa. Genus ini biasanya menyebabkan Malaria pada bangsa
burung dan reptilia.
Penularan
melalui vektor yaitu lalat Hipobosca, Culicoides dan Crysops. Siklus hidup genus ini
mirip dengan Plasmodium. Bedanya yaitu pada bentuk yang terdapat pada darah perifer. Pada
genus Haemoproteus bentuk yang terdapat pada sel darah merah adalah bentuk gametosit,
sedangkan bentuk merozoit terdapat pada sel endotel paru-paru dan organ lain. Gametosit yang
terdapat pada sel darah merah bila dilakukan pengecatan Romanowsky tampak sitoplasmanya
tercat biru pucat dengan inti mengandung kromatin.
Gejala klinis
Penyakit ini umumnya morbiditasnya relatif rendah, tetapi pada burung dewasa yang
terserang biasanya tanpa menunjukkan gejala klinis. Kadang-kadang pada bentuk akut
mempunyai mortalitas yang tinggi. Biasanya gejala yang sering terjadi adalah anemia dan
anoreksia.
Perubahan patologi terlihat hati dan limpa membesar dan berwarna sedikit kegelapan atau
kehitaman.

11
Diagnosis
Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan ulas darah untuk menemukan parasitnya.
Melihat keadaan kandang dimana kemungkinan lalat/nyamuk memungkinkan dapat berkembang.
Penanganan
Kontrol terhadap lalat. Sanitasi kandang (melihat dari sifat lalat yaitu suka bertelur pada
tinja burung) maka perlu kandang dibersihkan secara rutin. Pengobatan dengan obat-obat untuk
malaria.
Leucocytozoon
Ada banyak spesies Leucocytozoon, tetapi yang terpenting adalah Leucocytozoon
caulleryi yang bersifat patogen pada ayam. L. Anseris pada angsa dan L. Smithi pada kalkun.
Penularan
Penularan penyakit ini melalui vektor yaitu Simulium dan Culicoides. Angin juga
berperan dalam membantu penyebaran penyakit ini karena vektor dapat diterbangkan oleh angin.
Siklus hidup : Bentuk gametosit berada dalam sel darah merah atau leukosit tergantung
spesiesnya. Bentuk merozoit berada dalam sel parenkim hati, jantung, ginjal dan organ lain.
Sporozoit dalam kelenjar ludah insekta (vektor) masuk ke dalam tubuh hospes, mengalami
proses skizogoni membentuk skizon pada sel endotel. Skizon pecah terbentuk merozoit, terjadi
proses gametogoni, terbentuk mikro dan makrogametosit. Bentuk ini pindah ke tubuh vektor saat
menggigit hospes yang terinfeksi. Di dalam tubuh insekta terjadi fertilisasi, maka terbentuk
sigot. Terdapat pada kelenjar ludah vektor dalam bentuk sporozoit.
Patogenesis
Angka sakit bervariasi tergantung dari populasi vektor, umur dan cara penularan. Pada
ayam umur kurang dari 1 bulan, kematian sering terjadi dan dengan angka morbiditas 80–100%.
Pada ayam lebih dari 1 bulan sampai ayam dara, angka morbiditas mencapai kurang dari 80%
Gejala klinis
Gejala dapat bersifat akut, kronis maupun subkronis. Secara klinis unggas akan terlihat
bodoh dan suka bergerombol. Terlihat pada ayam terjadi kurang keseimbangan. Juga terjadi
kelumpuhan. Tinja berwarna hijau, depresi, anoreksia, muntah darah, paralisis, anemia dan bisa
diikuti dengan kematian karena terjadi kolaps.
Pada ayam umur kurang dari 1 bulan, terlihat anoreksia, depresi, anemia. Diare dengan
tinja berwarna kuning kehijauan, muntah darah, perdarahan dibawah kulit dan di berbagai organ

12
Pada ayam umur lebih dari 1 bulan sampai ayam dara, terjadi anoreksia, anemia, diare
kuning kehijauan. Biasanya pada ayam dewasa, penyakit ini tidak menunjukkan gejala klinis,
tapi ditandai dengan penurunan produksi telur dan daya tetasnya menurun serta penurunan berat
badan.
Perubahan patologi, terlihat bangkai pucat, perdarahan di bawah kulit, perdarah dari
mulut, mata dan hidung, limpa dan ginjal membesar. Perdarah di rongga perut dan perdarahan
hampir di seluruh organ seperti hati, paru-paru, limpa, ginjal, pankreas, timus, bursa fabrisius
dan otak. Ptichie pada otot daging (dada dan paha) mirip dengan keracunan.
Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis, perubahan patologi, menemukan parasit
pada preparat ulas darah dan preparat sentuh organ. Secara histologi adanya bentuk skizon pada
organ dalam. Test serologi terhadap adanya antigen atau antibodi Leucocytozoon. Sebagai
diagnosa banding yaitu : ILT, Gumboro dan Kolera Unggas.
Penanganan
Pencegahan : letak kandang hendaknya jangan berdekatan dengan sawah, rawa dan
tempat berair lainnya yang disukai oleh nyamuk. Membersihakan semak-semak perindukan
nyamuk. Dalam kandang diberi lampu.
Pengobatan : Sulfadimetoksin dan sulfamezatin 0,0025% (20-50 ppm) dicampur dalam
makanan atau air minum. Furazolidon 50g/30 kg makanan. Kinine + sulfakuinoksalin
6 mg/kg bb.

3.TOXOPLASMOSIS
Parasit protozoa penyebabnya yaitu Toxoplasma gondii, merupakan parasit intraseluler yang
mampu memasuki bermacam-macam tipe sel seperti : neuron, endothel, parenkim hati, alveolar
paru-paru, epithel, sel otot dan sel darah putih (lekosit). Toxoplasma bersifat pleomorfik yaitu
dalam perkembangan yang mempunyai tiga bentuk yaitu :
1. Takizoit (tropozoit), bentuk seperti bulan sabit dengan inti yang berukuran 2-4 µ. Bentuk
ini tidak tahan terhadap lingkungan luar, sering dijumpai pada darah, cairan peritonial,
cairan serebrospinal dan cairan limfe

13
2. Cyst (Pseudocyst) bentuk ini mengandung bradizoit dengan ukuran 30-100 µ, dikelilingi
oleh membran dan bentuk ini merupakan bentuk yang reisten terdapat di dalam hati,
ginjal, paru-paru dan otot.
3. Oocyst, bentuk ini merupakan bentuk resisten yang terdapat di alam. Di dalam bentuk
ookista ini yang telah bersporulasi mengandung sporozoit. Ditemukan pada epithel usus
kucing. Ookistanya bentuk sperikal dengan ukuran 10-14 µ x 9-11 µ. Sporulasi terjadi
pada suhu 240C selama 2-3 hari.
Menurut Soulsby (1982), bentuk speudocyst lebih bertanggungjawab dalam proses penyebaran
toksoplasmosis, sebab kemampuan untuk hidup fase sistik di luar tubuh hospes lebih panjang
jika dibandingkan dengan bentuk proliferatif. Bentuk proliferatif akan segera mati jika berada di
luar tubuh hospes.
Penularan secara langsung yaitu
Melalui oral (peroral) dengan memakan makanan/minuman yang tercemar oleh bentuk
ookista berasal dari tinja kucing.
Gejala pada ayam yaitu anoreksia, emasiasi, diare dan kebutaan. Unggas dapat mati secara
tiba-tiba tanpa menunjukkan gejala sakit yang serius. Pada pemeriksaan histologi dapat dilihat
pericarditis, myocarditis, encephalitis, nephritis dan gastroenteritis ulcerativa.
Diagnosis
Diagnosa dapat ditegakkan dari gejala klinis yang tampak. Menemukan parasit protozoa
Toxoplasma dalam jaringan atau cairan tubuh, yaitu dengan membuat preparat hapus/sentuh dari
paru-paru, ginjal, hati dengan pengecatan giemsa, atau preparat jaringan yang dicat dengan HE.
Isolasi parasit dengan melakukan inokulasi pada hewan percobaan, dapat sebagai pertimbangan
untuk diagnosa toksoplasmosis. Uji serologis seperti FAT, CFT, Hemaglutination test, test
kepekaan kulit dengan toksoplasmin dan uji ELISA, dapat dilakukan untuk diagnosa
toksoplasmosis. Disamping itu dengan ditemukan perubahan seluler pada kelenjar limfe dapat
sebagai diagnosa Toxoplasma. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini
diagnosa dapat dilakukan dengan metode PCR yaitu melipatgandakan asam nukleat Toxoplasma,
sebagai bukti bahwa parasit tersebut ada di dalam sampel yang diperiksa.

14
PENYAKIT SEBAB PROTOZOA PADA SAPI
1.Piroplasmosis/ Babesiosis
Piroplasmosis/Babesiosis disebut juga penyakit kemih merah (Red water diseases),
Demam Texas merupakan penyakit pada sapi dan kerbau yang disebabkan oleh protozoa darah
dari klas Piroplasmia dan genus Babesia.
Ada lima spesies Babesia yang menginfeksi sapi adalah B. bigemina, B bovis, B.
argentina dan B. major. Penyakit ini tersebar luas di dunia, sejalan dengan penyebaran caplak.
Caplak berperan sebagai induk semang antara. Infeksi penyakit ini tergantung dari keberadaan
induk semang antara dan musim (Soulsby, 1982).
Babesia berada di dalam sel darah merah pada stadium merozoit berbentuk buah pear,
bundar, berbentuk tongkat atau amoeboic, Meroboit ini ditemukan secara khas berpasang-
pasangan (Levine, 1995).
Piroplasmosis pada sapi di sebagian besar daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini
disebabkan oleh B. bigemina, B. bovis, B. divergens.
Babesia bigemina merupakan parasit paling besar diantara babesia sapi, ujung parasit runcing,
berukuran 2,5-4,5 µ (Levine, 1995). Babesia berreproduki secara asexual di dalam eritrosit
dengan ujung yang lancip saling berdekatan membentuk cincin atau membulat yang kemudian
membelah menjadi dua, akhirnya menjadi empat dan seterusnya secara biner (Soulsby, 1982;
Levine, 1990). Pada proses perkembangannya Babesia sp. tidak membentuk pigmen dari
hemoglobin sel induk semang, tetapi infeksi babesia gejala khasnya dengan ditandai terjadinya
hemoglobinuria (Akoso, 1996) Pada preparat darah dengan pewarnaan Giemsa sering terlihat
butir kromatin dalam parasit dan bila pada sediaan basah terlihat gerakan amoeboid (Levine,
1995).
Penularan
Penularan penyakit ini secara alami melalui caplak. Penularan secara mekanik melalui
alat-alat kedokteran yang kurang steril pada waktu pengebirian, vaksinasi, pemotongan tanduk
dan sebagaina (Soulsby, 1982; Levine, 1990).
Di dalam tubuh caplak, perkembangan parasit secara sexual membentuk gamet jantan dan
gamet betina, tetapi gamet-gamet ini tidak bisa dibedakan, maka disebut dengan isogamet. Dua
isogamet bersatu dengan melebur inti membentuk zigot, yang kemudian menjadi ookinet.
Ookinet mengadakan migrasi melalui dinding usus kemudian masuk kedalam uterus dan

15
memasuki telur yang sedang berkembang untuk memulai proses sporogoni menjadi sporon.
Sporon menjadi sporoblas dan akhirnya membentuk sporozoit. Sporozoit berada di dalam
kelenjar ludah caplak. Caplak yang berperan sebagai vektor Babesia adalah Boophilus annulata,
B. microplus, B. australis, Haemaphisalis punctata, Rhipicephalus apendiculatus. Vektor dari
Babesia bigemina adalah Ixodes persulatus, Boophilus decoloratus untuk B. bovis dan Ixodes
ricinus untuk B. divergens.
Di dalam eritrosit hospes, terjadi perkembangan asexual yaitu proses schizogoni
menghasilkan tropozoit. Tropozoit menghasilkan merozoit yang keluar dari eritrosit dan
menginfeksi eritrosit lain. Proses ini berulang sampai banyak eritrosit mengandung merozoit.
Eritrosit yang mengandung parasit ini bersifat infektius sehingga secara mekanis dapat ditularkan
ke hospes vertebrata lain (Soulsby, 1982).
Patogenesis
Babesia melakukan pembiakan di dalam eritrosit, sehingga eritrosit hancur dan rusak,
mengakibatkan hemoglobin keluar, akibatnya terjadi anemia, ikterus dan hemoglobinuria (Davis
dan Anderson, 1990). Endotel pembuluh darah rusak sehingga mengakibatkan selaput lendir dan
serosa berdarah (Callow, 1984). Banyaknya eritrosit yang rusak mengakibatkan gangguan
fisiologi dan terjadi shock (Akoso, 1996).
Gejala klinis
Gejala penyakit ini bisa berlangsung perakut, akut maupun kronis. Bentuk perakut
penyakit ini berakhir dengan kematian yang diakibatkan karena terjadi ruptur limpa, biasanya
karena diinfeksi oleh Babesia major untuk sapi di Eropa. Sapi di Indonesia pernah dilaporkan
terjadi bentuk perakut yang diakibatkan oleh Babesia bovis (Anon, 1980; Ressang, 1984).
Penyakit bentuk akut berlangsung 3-4 hari, kadang 5-8 hari dan berakhir dengan
kematian. Untuk penyakit yang berlangsung menahun diawali oleh suhu tubuh yang tiba-tiba
naik sampai 410C bahkan hewan yang terserang penyakit ini nafsu makannya menurun atau
sama sekali tidak mau makan, lesu, selaput lendir anemis dan akhirnya berwarna kuning.
Pernafasan cepat serta denyut jantung sangat cepat dan kuat, maka dapat berlanjut sapi
mengalami gejala saraf (Soulsby, 1982). Air kencing akan berwarna merah akibat kerusakan sel
darah merah sehingga hemoglobin terbebas berada pada urine. Bentuk menahun ini juga bisa
disertai adanya gejala pada saluran pencernaan berupa kolik atau diare yang bisa berakhir dengan
kematian.

16
Sapi dewasa biasanya lebih peka daripada yang muda dimana sapi muda yang terinfeksi
bila demamnya sudah hilang akan cepat menjadi sembuh. Biasanya mortalitas penyakit ini
berkisar 5-50%, sedangkan morbiditas hingga 90% pada hewan-hewan yang induknya dari ras
murni (Ressang, 1984).
Diagnosis
Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis seperti demam disertai kemih
merah, anemia dan ikterus. Pemeriksaan mikroskopis dari usapan darah tipis atau usapan darah
tebal (Levine, 1995). Pemeriksaan serologis dengan FAT dan ELISA dapat dilakukan (Anon,
1999).
Untuk memperkuat diagnosa perlu dipertimbangkan penyakit-penyakit lain yang bisa
sebagai pembanding antara lain Anaplasmosis, tapi penyakit ini jarang terjadi kemih merah.
Theileriosis yang demamnya tidak terlalu tinggi. Leptospirosis yang hanya menyerang hewan
muda. Anthrax gejalanya darah lambat membeku dan berwarna gelap dan perubahan kemih
merah harus dibedakan dengan pengaruh obat (Anon, 1999).
Pengendalian dan Pengobatan
Pengendalian
Kontrol terhadap induk semang antara dengan menggunakan insektisida. Melakukan
pengawasan terhadap hewan-hewan yang baru dimasukkan ke daerah enzootik. Melakukan
vaksinasi. Menjaga kebersihan kandang serta hewannya.
Pengobatan
1. Trypan blue 100mg konsentrasi 1-2% diinfus secara intra vena
Diberikan sekali. Selama pengobatan ini maka mukosa dan otot-otot menjadi biru dan
proses penyembuhannya agak lama
2. Acriflavin 20ml konsentrasi 5% diberi secara intravena, dengan 5 ml + 5% cairan
citrat secara intramuskuler
3. Phenamedine (4,4-diamidinodiphenyl ether) 12ml/kg secara subcutan. Dengan larutan
aquades sebanyak 40%. Pengobatan ini dapat membunuh semua parasit pada hewan
terinfeksi.
4. Berenil(4,4-diamidinodiazoamino benzene aceturat) 2-3mg/kg secara intramuskuler.
Penyuntikannya harus dalam ke otot.

17
Pengobatan dapat diberi diminazena aceturat 3-5 mg/kg secara intramuskuler.
Aminocarbalide 5-10mg/kg intramuskuler dan Imidocard 1-3 mg/kg intramuskuler. Untuk
Babesia bovis diobati dengan Lubadol karena tingkat residu yang rendah.

sapi terinfeksi Babesia

2.Theileriosis
Pada sapi ada tiga spesies yang dapat menginfeksi yaitu : Theileria parva. Theileria
annulata, Theileria mutans. Angka mortalitas berturut-turut 90-100%, 10-90% dan 10%.
Theileria parva, penyebab East Coast Fever di Afrika yang mengakibatkan terjadinya
leukopeni (terjadi pengurangan jumlah limposit dan monosit) serta hiperplasia jaringan limfatik.
Angka mortalitasnya 95% pada sapi dewasa dan 5-50% pada anak sapi (Ressang, 1984).
Theileria parva mempunyai bentuk menyerupai batang halus, cincin, koma atau keping di dalam
eritrosit.
Theileria annulata penyebab Subtropical Bovine Theileriosis di Afrika Utara, Timur
Tengah dan Sailan. Theileria spesies ini lebih banyak berbentuk cincin kecil. Protozoa ini dapat
dipindahkan dengan suntikan darah dari hewan terinfeksi.
Theileria mutans, penyebab penyakit Pseudo Coast Fever. Penyakit ini tidak ganas dan
bersifat kronis. Parasit ini menyerang paling banyak 20% pada eritrosit. Bola-bola plasma Koch
pada penyakit ini terlihat lebih sedikit dibanding Theileria parva dan T.annulata. Bentuk dan
besarnya sangat menyerupai T.parva tetapi yang ini dapat dipindahkan secara suntikan darah. Di
Indonesia hanya bentuk Theileria ini saja yang ditemukan.
Sapi zebu (Bos indicus) pada daerah endemik secara alamiah mempunyai ketahanan yang
tinggi terhadap T.parva (Soulsby, 1982). Pada kondisi yang kurang menguntungkan penyebaran
T.parva dibatasi karena penyebarannya dipengaruhi oleh vektornya yaitu Rhipicephalus
appendiculatus merupakan caplak three host tick. Dengan pewarnaan romanosky protozoa ini
terlihat berwarna biru pada sitoplasmanya.

18
Penularan
Protozoa ini ditularkan ke hewan sehat melalui vektor biologik yaitu caplak secara
transtadial atau stage to stage tanpa ada penularan secara transovarial. Adanya penularan yang
demikian akibatnya parasit tidak dapat hidup dalam tubuh caplak lebih dari satu kali penyilihan
(eksdisis) (Anon, 1981; Soulsby, 1982; Levine, 1990).
Theileria parva ditularkan oleh R. appendiculatus, R. ayrei, R. evertsi, Hyaloma
anatolicum, Hyaloma truncatum. Theileria annulata dapat ditularkan oleh semua jenis Hyaloma
dan T. mutans oleh R. appenculatus, R. evertsi, Haemaphisalis punctata, Boophilus annulatus
dan Boophilus microplus (Soulsby, 1982).
Siklus Hidup
Multiplikasi yang aktif dari parasit ini terjadi dalam sitoplasma dari limposit dan kadang
dalam sel endothelial khususnya glandula limfatik dan limpa. Kemudian yang mengakami
multiplikasi menjadi skizon. Dalam perkembangannya ada dua bentuk skizon yaitu makroskizon
yang memiliki granula kromatin yang besar, diameter 0,4-2 µ. Nantinya makroskizon
menghasilkan makromerozoit.
Bentuk yang lain yaitu mikroskizon mempunyai granula kromatin yang lebih kecil,
diameter 0,3-0,8 µ. Nantinya menghasilkan mikromerozoit (Soulsby, 1982; Levine, 1995).
Siklus seksual dari protozoa ini terjadi di dalam tubuh caplak. Bentuk merozoit yang
beredar dalam tubuh sapi terinfeksi, diisap oleh caplak maka eritrosit yang terisap oleh caplak
akan lisis, selanjutnya merozoit dibebaskan. Dalam lumen usus caplak, parasit mengalami
perkembangan dari bentuk cincin ke bentuk kumparan. Selanjutnya akan memecahkan diri
menjadi benang-benang mikrogamet setelah terjadi pembelahan inti dan perkembangan benang-
benang sitoplasma. Bentukan cincin yang berkembang menjadi bulat, nantinya merupakan
mikrogamet. Enam hari setelah replikasi zigot nampak dalam sel epithel dan pada keadaan ini
zigot mengalami peningkatan ukuran dan terjadi penebalan sitoplasma tiga hari setelah itu. Pada
hari kelima setelah zigot terbentuk, ookinet motil dihasilkan dan berada pada glandula salivarius
menjadi bentuk sporozoit. Sporozoit berada dalam glandula salivarius mencapai dewasa dalam
1–4 hari. Sporozoit yang dewasa diameternya mencapai 1,5µ (Soulsby, 1982; Callow, 1984).

19
Sapi terinfeksi oleh parasit ini ketika caplak menghisap darah, maka sporozoit dari caplak
masuk ke tubuh sapi. Apabila caplak berada dan menghisap darah sapi di daerah telinga maka
limfonodus di daerah leher dan prescapularis menunjukkan pembesaran.
Anak sapi bangsa Eropa sangat rentan dan apabila masih hidup, maka imunitas yang
diperoleh tidak tahan lama dan akhirnya beberapa bulan akan mati (Anon, 1980). Semua sapi dan
kerbau dewasa pada saat muda sangat rentan pada penyakit ini.
Kekebalan yang ditimbulkan T. parva adalah kekebalan steril, sedangkan kekebalan yang
ditimbulkan oleh T. annulata dan T. mutans tidak steril. Kekebalan ini disebut premunitas.
Premunitas akan hilang apabila hewan mengalami stress atau displenectomi. Tidak terjadi
kekebalan silang (Anon, 1980; Soulsby, 1982; Levine, 1990).
Patogenesis dan Gejala Klinis
Theileriosis merupakan penyakit dengan mortalitas yang tinggi pada hewan rentan (sapi,
kerbau dan domba). Penyakit ini dicirikan dengan adanya hiperplasia jaringan limfoid dan terjadi
leukopenia (Anon, 1990; Soulsby, 1982).
Masa inkubasi dari penyakit ini berlangsung 10-25 hari (rata-rata 13 hari). Penyakit ini
bisa berlangsung secara akut, sub akut dan ringan (Soulsby, 1982). Bentuk Theileriosis akut
dengan gejala demam dengan suhu tubuh 40-410C.
Hewan tidak mau makan, ada pembengkakan pada limfonodus superfisial, diikuti dengan
keluarnya leleran pada hidung, lacrimasi dan pembengkakan kelopak mata dan telinga. Denyut
jantung meningkat, diare berdarah dan berlendir pada tinja. Bentuk akut ini bisa menimbulkan
kematian karena terjadi oedema pada paru-paru. Menurut Ressabg (1984), gejala yang mencolok
pada theileriosis adalah adanya pembengkakan kelenjar limfe subcutan, anemia sering tidak jelas
terlihat, ikterus dan haemoglobinuria hanya kadang-kadang terlihat. Parasit akan mudah
ditemukan pada saat demam tinggi.
Bentuk subakut merupakan bentukan penyakit yang sering terjadi pada anak sapi. Angka
mortalitasnya lebih rendah. Gejala klinis bentuk ini mirip pada bentuk akut.
Bentuk ringan dari penyakit ini tampak pada anak sapi yang baru lahir di daerah
endemik. Terjadi demam ringan yang berlangsung dari beberapa hari sampai satu minggu dan
ditemukan pembengkakan kelenjar limfe superfisial (Soulsby, 1982). Bentuk ikutan theileriosis
yang memperlihatkan gejala perubahan nekrotik pada kulit pernah dilaporkan (Ressang, 1984).

20
Diagnosis
Pemeriksaan mikroskopik :
1. Pemeriksaan darah natif, diperiksa dengan mikroskup fase kontras
2. Pemeriksaan ulas darah tipis diwarnai dengan Giemsa atau Romanosky
3. Pemeriksaan ulas darah tebal yang dilisis dahulu dengan asam asetat glasial,
dikeringkan. Selanjutnya diwarnai dengan Giemsa.
4. Pemeriksaan preparat sentuh otak, jantung, limpa, hati, ginjal dan sumsum tulang
untuk melihat blue bodies
Pemeriksaan serologik:
Bahan yang dikirim adalah serum dalam tabung steril. Beberapa uji yang bisa dilakukan
Complement Fixation Test (CFT), Indirect Flourescent Antibody (IFA), Indirect
Haemaglutination (IHA). Menurut Soulsby (1982), yang paling efektif adalah uji IFA.
Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan dengan memberantas caplak. Hewan didesinfeksi (proses dipping) dengan
interval waktu 3-4 hari sekali (Soulsby, 1982). Dapat juga dengan melapisi kulit telinga ternak
insektisida karena tempat predileksi Rhipicephalus lebih banyak pada telinga.
Pengobatan theileriosis dengan oxytetracyclin dan chlortetracyclin 12 mg/kg bb. Obat ini
harus diberikan pada awal infeksi, yang efektif melawan makroskizon dan mikroskizon
(Soulsby, 1982). Penggunaan oxytetracyclin short acting maupun long acting memiliki
efektivitas yang sama (Mutungi et al., 1987).

3.Anaplasmosis
Anaplasmosis disebabkan oleh genus Analasma. Menurut Ressang (1984), Anaplasma
dimasukkan ke dalam klas Anaplasmataceae dan ordo Rickettsiales. Anaplasma mempunyai tiga
spesies yang penting, yaitu :
1. Anaplasma marginale : berbentuk bintik-bintik yang terdiri atas zat kromatin yang
terletak di tepi eritrosit. Pada pewarnaan Giemsa terlihat berwarna ungu tua.
2. Anaplasma centrale bentuknya sama dengan Anaplasma marginale hanya lebih kecil dan
terletak di tengah eritrosit. Virulensi dari A.centrale lebih rendah sehingga bisa
digunakan untuk keperluan kekebalan.
3. Anaplasma ovis : parasit ini menimbulkan anaplasmosis pada domba.

21
Anaplasma berbentuk bintik kecil yang terdapat pada eritrosit, bila di warnai dengan Wright,s
stain akan terlihat bentukan bulat kecil berwarna merah terang. Biasanya hanya satu atau dua
organisme dalam tiap-tiap sel dan tanpa struktur yang jelas. Tidak mempunyai sitoplasma dan
ada ruang halus yang mengelilingi parasit tersebut yang diameternya 0,1 – 0,5 µ. Ruang kosong
ini disebut hallo (Soulsby, 1982).
Anaplasma dapat menyerang hampir semua hewan berdarah panas seperti sapi, kerbau,
kambing, domba, rusa, unta, babi, kuda, anjing dan hewan liar lainnya (Soulsby; Ressang, 1984).
Penularan
Anaplasma ditularkan dari hewan sakit ke hewan sehat secara alami melalui caplak.
Caplak yang bisa bertindak sebagai hospes perantara yaitu Boophilus, Riphicephalus, Hyaloma,
dan dermacentor. Disamping itu Anaplasma bisa juga dipindahkan secara mekanis oleh lalat
penggigit (Tabanus dan Stomoxys) dan nyamuk jenis Psorophora. Pemindahan buatan mekanis
juga bisa terjadi pada saat kastrasi, pemotongan tanduk atau pada penyuntikan hewan melalui
jarum suntik yang tercemar (Soulsby, 1982; Ressang, 1984).
Penyebaran penyakit Anaplasmosis sudah tersebar luas di seluruh daerah tropis. Eropa
selatan, Italia, Yunani, Amerika utara dan selatan (Brazil dan Argentina) Afrika (Algeria,
Tunisia, Transval), dan Asia (Ressang, 1984) Di Indonesia kejadian penyakit ini pertama kali
dilaporkan oleh De Bliek pada tahun 1912, ditemukan pada seekor kerbau di Cileungsi dan
Bogor, kemudian menyebar sampai ke Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi (Anon, 1997).
Pada umumnya hewan tua lebih rentan daripada hewan muda. Hewan yang berumur lebih
dari 6 bulan sangat peka terhadap penyakit ini (Soulsby, 1982; Anon, 1987). Hewan muda yang
mendapat infeksi ringan, setelah tua dapat bertindak sebagai pembawa penyakit (carrier). Sapi
carier merupakan hal penting dalam penyebaran penyakit (Bock et al., 1991). Selain umur,
bangsa sapi serta asal hewan mempunyai pengaruh terhadap derajat kerentanan pada penyakit.
Sapi Eropa (Bos taurus) lebih rentan daripada sapi Zebu (Bos indicus).
Pada penyakit anaplasmosis tidak terjadi kekebalan alamiah untuk sapi di daerah
endemis. Justru sapi di daerah emdemis menjadi sangat peka terhadap infeksi (Lincoln et al.,
1987). Infeksi anaplasmosis atau berkembangnya Anaplasma dalam tubuh hospes tergantung
dari kondisi tubuh hospes itu sendiri yang sangat ditentukan oleh makanan yang dimakan atau
gizi dari hospes tersebut.

22
Patogenesis
Sapi yang terinfeksi, di dalam darahnya mengandung inisial bodies yang ditransfer oleh
caplak ke sapi rentan. Di dalam eritrosit inisial bodies membagi diri sampai menjadi delapan
inisial bodies. Bentukan ini akan mengelompok masing-masing membentuk marginal bodies.
Inisial bodies selanjutnya akan keluar dari eritrosit menerobos sel dan akan mencari sel darah
baru yang belum terinfeksi. Selanjutnya reproduksi parasit terulang kembali.
Persentase eritrosit yang terinfeksi parasit akan berlipat ganda dalam sehari. Waktu 8-13
hari eritrosit yang terinfeksi parasit mencapai 60-80%, maka pada saat ini anemia akan mulai
tampak (Bock et al., 1997).
Anaplasma marginale biasanya menempel pada eritrosit, kemudian akan merobek dan
memecah eritrosit sehingga akan terjadi anemia. Adanya eritrosit yang pecah sehingga fungsi
darah tidak maksimal seperti fungsi pengangkut oksigen akibatnya kematian akhirnya terjadi
(Blakely and bade, 1991).
Kejadian anaplasmosis dapat juga terjadi pada pedet yang sehat dilahirkan oleh induk
yang secara klinis sehat, tetapi secara tiba-tiba pedet mati dalam beberapa hari setelah lahir.
Keadaan ini disebut dengan neonatal isoerythrolysis sebagai keadaan genetis yang jarang terjadi.
Hal ini terjadi pada keadaan genetik sapi induk yang menyimpang yaitu induk mendapat vaksin
Anaplasma sehingga terbentuk antibodi dalam eritrosit terhadap vaksin. Antibodi ini nantinya
berada dalam kolostrum. Apabila pedet tersebut secara genetik peka terhadap antibodi pada saat
menyusu, sehingga menyebabkan hancurnya eritrosit. Pada pedet akhirnya timbul joundice serta
kematian (Blakely and Bade, 1991).
Gajala klinis
Masa inkubasi Anaplasmosis berlangsung 6-30 hari. Penyakitnya dapat bersifat perakut,
akut dan kronis, tergantung dari status imunitasnya.
Bentuk perakut biasanya terjadi pada sapi umur 2-3 tahun atau lebih dari 3 tahun. Dimana
ternak akan mati beberapa jam setelah memperlihatkan gejala umum.
Bentuk akut biasanya memperlihatkan gejala seperti demam dengan suhu 39,5-42,50C,
pernafasan cepat dan berat, kelemahan, nafsu makan hilang, kulit dan selaput lendir kuning
pucat, jalannya sempoyongan, sering kencing, konstipasi bercampur darah dan berlendir serta
terjadi kebengkakan kelenjar limfe. Pada keadaan ini kematian terjadi dalam 24 jam. Bila gejala
sudah muncul, rata-rata hewan hanya bisa bertahan 3-4 hari.

23
Bentuk kronis, biasanya terjadi demam yang tidak terlalu tinggi dalam beberapa hari (4-
10 hari) yang kemudian disusul demam intermiten. Terjadi anemia hebat yaitu darah menjadi
encer dan berair, kondisi tubuh menurun. Pada hewan bunting bisa terjadi keguguran.
Perubahan Patologi Anatomi
Pemeriksaan pascamati, menemukan bangkai terlihat sangat pucat, kelenjar limfe
membengkak. Paru-paru anemik disertai emfisema. Hati membesar, warna merah kekuningan
penuh empedu dan lemak. Limpa membesar dan lembek. Jantung membesar dan terlihat titk
perdarahan. Terlihat adanya gantroenteritis kataralis dan pada ginjal terlihat pembendungan.
Diagnosis
- Dengan pemeriksaan mikroskopik, membuat preparat ulas darah tipis dengan
pewarnaan Giemsa kemudian dilihat dengan mikroskup elektron atau mikroskup fase
kontras untuk menemukan parasit Anaplasma dalam sel darah merah.
- Dengan melihat gejala klinis
- Dengan pemeriksaan biologik. Darah dari hewan tersangka terinfeksi, sebanyak 5 ml
disuntikkan ke hewan percobaan yang berasal dari daerah bebas Anaplasmosis dan
telah displenektomi. Amati gejala yang muncul
- Dengan pemeriksaan serologik, seperti uji CFT, FAT dan ELISA.
Diagnosis Banding
Anaplasmosis perakut atau akut dapat dikelirukan dengan penyakit Anthrax, Pneumoni,
keracunan, gangguan pencernaan akut, Sampar sapi dan Pasteurelosis. Apabila anemi yang
menonjol, maka penyakit ini perlu dibedakan dengan Leptospirosis dan haemoglobinuria basiler
akut. Adanya demam, anemia dan ikterus, penyakit ini mudah dikelirukan dengan Babesiosis dan
Tripanosomiasis.
Pencegahan, Pengendalian dan Pengobatan
Pencegahan dengan jalan vaksinasi anaplasmosis menggunakan darah sapi carier. Tetapi
vaksinasi akan lebih efektif dengan menggunakan cara preimunisasi dengan menyuntikan
Anaplasma marginale dosis rendah (Soulsby, 1982).
Pengendalian penyakit dengan mengendalikan caplak yaitu sapi-sapi dijauhkan dari
kehidupan hewan liar, melakukan spraying pada kandang dan pada padang rumput
pengembalaan. Pada waktu melakukan penanganan vaksinasi, potong tanduk atau perlakuan
bedah lainnya harus pengerjaannya bersih dengan peralatan yang steril

24
Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan antibiotika berspektrum luas seperti
tetrasiklin (Chlortetrasiklin, Oxytetrasiklin) dengan dosis 5-10 mg/kg bb/hari selama 3 hari.
Untuk ternak yang bernilai eknomi tinggi dapat dilakukan transfusi darah dan makanan untuk
menjaga kondisi tubuh ternak serta diusahakan ternak sapi tidak stres yang dapat memperburuk
keadaan.
4.SURRA
Penyakit ini disebabkan oleh Tripanosoma evansi/ T. equinum. Hospes dari penyakit ini
adalah unta, kuda, keledai, sapi, kambing, babi, anjing, kerbau, gajah. Hewan liar (tapir, musang,
rusa). Hewan laboratorium secara experimental dapat sebagai hospes.
Lokasi parasit ini pada darah dan limfe. Penyakit Surra ini sudah tersebar di seluruh
dunia. Pada unta disebut El debab. Pada kuda disebut Murina.
Penularan
Penyakit ini ditularkan secara mekanis oleh lalat penggigit, dimana tripanosoma tidak
mengalami perkembangan siklik di dalam tubuh lalat. Tripanosoma tinggal pada bagian
proboscis lalat. Vektor dari penyakit ini adalah lalat Tabanus (lalat kuda) dan Stomoxis,
Haematopota, Lyperosia.
Patogenesis
Kematian pada kuda dapat terjadi dari 1 minggu – 6 bulan, karena kuda sangat sensitif
terhadap penyakit ini. Gajah juga sensitif, sapi dan kerbau air kurang peka. Pada domba
penyakitnya mirip dengan pada kuda, tetapi penyakitnya berjalan menahun. Pada anjing juga
menahun dengan tingkat kematian yang tinggi, dapat mati dalam 1 – 2 bulan.
Gejala klinis
Demam selang seling. Urtikaria, anemia, oedema pada kaki dan badan bawah. Bulu
rontok. Kelemahan progresif. Kondisi menurun, nafsu makan menurun. Konjungtivitis. Pada
unta terjadi abortus.
Pengobatan
Quinapiramin, untuk kuda secara SC 5mg/kg bb dan untuk unta 2 g. Pada sapi 3 mg/kg
bb efektif. Untuk pencegahan dipergunakan Quinapiramin prosalt (Suramin) dan Quinapiramin.
Suramin pada kuda diberikan 4 g/100kg secara IV dikombinasi dengan Arsokol 2 g/100kg SC.
larutan 5%. Pada anjing 0,3g/hewan IV, diulang selama 5 hari.

25
5.Coccidiosis pada Sapi
Ada 13 spesies Eimeria yang dapat menginfeksi sapi. Tetapi hanya ada beberapa saja
yang penting dapat menimbulkan gejala klinis pada sapi, seperti E.aurbunensis menyerang
pertengahan dan sepertiga bawah usus halus sapi, zebra dan kerbau. Eimeria bovis stadium
seksual terjadi pada caecum, colon dan bagian posterior dari illium. Eimeria bovis ini
membentuk lesi pada villi intestinal yang berbentuk bulat putih kecil, bisa terlihat secara
makroskopik bila dibedah. Eimeria zurnii menyerang usus halus dan usus besar sapi, zebra dan
kerbau air. Masa inkubasi bisa 1-3 minggu
Gejala klinis
Tinja lembik, sampai berair, tapi tidak ada darah bila kassunya ringan. Pada kasus berat
diare berisi darah atau tinjanya lembik dengan warna coklat tua. Pada saat defekasi menunjukkan
rasa sakit. Anoreksia dan kekurusan. Kemudian dapat terjadi pada waktu periode akut, apalagi
jika dibarengi oleh komplikasi sekunder seperti pneumonia.

6. TRICHOMONOSIS
Penyakit ini disebabkan oleh parasit protozoa spesies Trichomonas foetus/
T.uterovaginalis/T.bovis/T.genetalis. Hospes yang peka yaitu sapi, mungkin bisa menyerang
babi, kuda, rusa tanduk. Lokasi parasit pada saluran kelamin. Pada sapi jantan : ruang
preputium, jarang terdapat pada cairan semen, semen dan alat kelamin lainnya. Pada sapi betina:
cairan exudat dari vagina atau uterus, cairan allantois/amnion dan plasenta. Pada fetus : membran
fetus, cairan mulut, ruang perut, serta cairan lain dari fetus.
Penularan : melalui koitus atau hubungan kelamin, dimana hewan jantan terinfeksi merupakan
sumber penularan yang permanen. Penularan dapat juga terjadi melalui inseminasi buatan
apabila tidak menggunkan semen beku.
Patogenesis
Pada hewan jantan terinfeksi tidak menunjukkan gejala. Pada cavum preputium parasit
dapat bertahan dalam waktu lama. Pada hewan jantan yang terinfeksi tidak menimbulkan
gangguan fertilitas.
Pada hewan betina, parasit berkembang biak dalam vagina, sehingga menimbulkan
vaginitis (mencapai jumlah tertinggi pada 14-18 hari setelah koitus) dari yang ringan sampai
mucopurulen. Kemudian parasit akan menuju uterus melalui servix. Setelah itu parasit akan

26
hilang dari vagina atau bisa menetap disitu menyebabkan peradangan ringan dan catarh. Pada
hewan betina tidak bunting, maka parasit dapat ditemukan secara periodik 3-7 hari setelah birahi
berikutnya. Pada betina bunting terjadi kerusakan plasenta, sirkulasi darah fetus terganggu, maka
terjadi abortus.
Gejala Klinis
Hewan betina : abortus pada 1-18 minggu setelah kawin (ciri khas). Biasanya abortus
yang terjadi ini tidak diketahui oleh pemilik sapi, sehingga dikatakan sapinya gagal bunting.
Pada keadaan abortus, apabila plasenta dan membran fetus dapat keluar seluruhnya, maka sapi
sembuh spontan. Apabila plasenta dan membran fetus masih tertinggal maka terjadi
endometriosis kataral menahun atau terjadi endometriosis purulen, akhirnya mengakibatkan
mandul permanen.
Apabila tidak mengalami abortus, tetapi fetusnya mati dan mengalami maserasi di dalam
uterus maka terjadi pyometra dan pada uterus mengandung cairan encer warna putih keabuan
yang berisi parasit Trichomonas dalam jumlah besar. Hewan betina yang mengalami pyometra,
jarang mengalami birahi. Pada kasus yang sudah menahun, maka Trichomonas menghilang dari
cairan uterus
Pada hewan jantan : bagian yang terkena adalah rongga preputium, testes, epidedimis dan
vesika seminalis. Kesembuhan spontan jarang terjadi. Sapi jantan yang terinfeksi akan tetap
terinfeksi secara permanen, kecuali diobati.
Epidemiologi
Trichomonas ditularkan lewat koitus, apakah bisa dengan cara lain, masih perlu diteliti
lebih lanjut. Sifat Trichomonas : tahan hidup pada media tertentu, tidak pada media yang lain.
Pembekuan cepat dan konsentrasi garam tertentu dapat merusak. Trichomonas peka terhadap
kerusakan jika dibekukan pada awal fase pertumbuhan. Fluktuasi temperatur selama
penyimpanan bersifat merusak, sebagai contoh, dalam gliserol akan menjadi toksik pada
temperatur lemari es, tetapi tidak pada temperatur dibawah beku atau temperatur inkubasi.
Jumlah parasit di dalam induk semang menentukan : diagnosa penyakit dan intensitas
penularan.
Fluktuasi jumlah parasit ditentukan oleh :
1. faktor dalam : faktor mekanik (jumlah parasit menurun setelah terjadi perkawinan)
Faktor kimiawi (jumlah parasit menurun karena obat-obatan), masturbasi

27
2. Faktor luar : variasi fisiologik dari dinding preputium dan penis. Perubahan pH.
Adanya bakteri, fenomena immunitas
Kekebalan :
Terjadi kekebalan spesifik setelah infeksi pada sapi betina dan kekebalan ini hanya
efektif selama masa estrus. Selama terjadi pyometra, parasit tetap infektif sampai terjadi
pengeluaran (ekspulsi). Hewan dapat terinfeksi kembali 2-6 bulan setelah infeksi dan kepekaan
secara normal kembali seperti semula setelah 2-3 tahun setelah infeksi. Pada hewan jantan,
kekebalan tidak pernah sempurna, kecuali parasit jumlahnya menurun. Akhirnya hewan jantan
sebagai carrier.
Immunitas lokal merupakan salah satu mekanisme pertahanan yang dimiliki oleh hospes.
Proses fagositosis berperan penting dalam penurunan jumlah parasit. Terjadi close contact antara
parasit dengan mukosa hospes, sehingga menimbulkan sistemic circulating antibody. Tetapi
peranan antibodi ini terhadap infeksi tidak ada, karena parasit tidak kontak langsung dengan
antibodi.
Diagnosis
Menemukan dan mengidentifikasi protozoa penyebabnya secara mikroskopis, baik secara
langsung maupun dalam biakan.
Infeksi hebat pada hewan betina, Trichomonas dapat dilihat dengan pemeriksaan
langsung lendir/eksudat vagina, uterus, cairan amnion/allantois, selaput fetus, plasenta, isi perut
fetus, cairan oral atau jaringan fetus lainnya. Pada hewan jantan yaitu pada bilasan rongga
preputium dan jarang dari cairan seminal atau semen. Trichomonas paling banyak terdapat dalam
vagina 2-3 minggu post infeksi. Sedangkan jumlah parasit pada yang jantan berfluktuasi dan
puncaknya 5-10 hari.
Pada sapi betina hasil pemeriksaan dianggap negatif apabila 6 kali pemeriksaan hasilnya
tetap negatif, mengalami dua kali periode estrus normal dan selanjutnya dapat bunting dan
melahirkan anak normal. Sapi jantan dianggap negatif, apabila 6 kali pemeriksaan hasilnya tetap
negatif dengan interval 1 minggu. Sapi tersebut dikawinkan dengan 2 sapi dara perawan dan
mereka tetap negatif.

28
Penanganan
Pencegahan : sapi jantan terinfeksi sebaiknya dipotong. Sapi betina terinfeksi diistirahatkan
kawin, apabila sudah waktunya kawin maka dilakukan dengan IB. Pengelolaan yang baik
terhadap sapi yang dipakai IB.
Pengobatan : pada sapi betina akan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Pada sapi jantan,
pengobatannya mahal dan perlu waktu lama, sebaiknya dipotong. Tetapi sebagai alternatif dapat
diberikan : - salep tripaflavin dan surfen/acriflavin dalam minyak. Bisa digosokkan ke dalam
penis dan preputium yang mana sebelumnya sudah dilakukan relaksasi otot refraktor penis
dengan bahan penenang.
- 30 ml acriflavin 1% diinjeksikan ke uretra atau larutan dimetridazol juga dapat
dipakai.

7.Toxoplasmosis
Sapi dewasa merupakan carier dan tidak menunjukkan gejala. Penularan melalui plasenta
dapat terjadi pada sapi. Gejala yang paling sering terjadi pada sapi adalah gangguan susunan
saraf pusat, seperti exitasi, ataxia dan tremor. Batuk juga bisa terjadi, keluar leleran melalui
hidung, dyspneu dan demam.

29
PENYAKIT SEBAB PROTOZOA PADA BABI
1. Coccidiosis
Ada 6 spesies eimeria yang dapat menginfeksi pada babi. Tetapi hanya 3 spesies yang
penting sampai menimbulkan gejala klinis, seperti E. deblieki menyerang bagian anterior usus
halus. Eimeria scabra ini paling patogen pada babi. Isospora suis siklus hidupnya di dalam usus
halus.
Coccidiosis pada babi kejadiannya agak rendah, biasanya menyerang anak babi umur 1-3
bulan, sedang babi dewasa bertindak sebagai carier.
Coccidiosis pada babi tidak menimbulkan gangguan vascular pada submukosa usus. Jadi
tidak ada darah dalam tinja. Secara eksperimental coccidia pada babi hanya menyebabkan
terkelupasnya epithel usus dan reaksi kataral dan selular yang bersifat ringan, sehingga
menimbulkan penebalan dinding usus.
Gejala klinisnya hampir sama dengan gejala ascaridiasis. Upaya pencegahan dilakukan
dengan secara rutin melakukan pemeriksaan lab terhadap tinjanya untuk menemukan
penyebabnya sehingga dengan cepat dapat dilakukan penanganan.

2. AMOEBIOSIS
Penyakit ini disebabkan oleh protozoa dari genus Amoeba. Spesies yang patogen adalah
Entamoeba histolitica.
Hospes : manusia, orang utan, gorila, chimpanze, gibon, kera, anjing, kucing, babi, tikus, mencit,
marmut dan kelinci secara percobaan.
Lokasi : usus besar, kadang hati dan paru-paru.
Penyebaran : seluruh dunia
Penularan :
Secara oral lewat makanan atau minuman yang tercemar bentuk tropozoit maupun kista.
Sumber infeksi dari sayuran mentah dan lalat dapat juga bisa menularkan kista.
Siklus Hidup :
Entamoeba histolitica berkembang biak dalam stadium tropozoit dengan pembelahan
menjadi dua. Sebelum membentuk kista, Amoeba ini membulatkan diri, menjadi lebih kecil dan
membuang vacuola makanan. Mereka meletakkan dinding kista dan inti membagi dua, kemudian
menjadi empat inti kecil. Setelah berinti empat kemudian keluar dari kista selanjutnya membagi

30
diri lagi, sehingga terbentuk 8 amoebulas kecil. Masing-masing kemudian tumbuh menjadi satu
tropozoit normal.
Patogenesis
Amoeba awalnya memasuki mukosa dan berkembangbiak membentuk koloni kecil,
kemudian meluas sampai submukosa bahkan masuk ke muskularis mukosa. Jika tidak ada
serangan bakteri, hanya terjadi reaksi jaringan sedikit, tetapi pada infeksi yang komplek ada
hiperemia, peradangan dan infiltrasi sel netrofil.
Beberapa amoeba dapat masuk ke dalam pembuluh limfe bahkan ke venula mesenterium.
Masuk ke sistem parto-hepatik melalui hati maka terbentuk abces. Abces yang mungkin
terbentuk pada hati, paru, otak, ini tergantung ketahanan dari hewan itu sendiri.

Parah tidaknya infeksi oleh amoeba ini tergantung dari ;


- Patogenitas dari amoeba - kondisi hospes
- Bakteri yang menyertai - status gizi
Gejala Klinis :
Hewan terlihat lemah. Memungkinkan gejala sakit pada bagian perut. Diare berdarah.
Hewan kurus.
Diagnosis
Pemeriksaan tinja dengan ditemukan kista atau tropozoit pada tinja. Uji imunologi seperti
Indirect haemaglutination, indirect immunofluorescent, immunoelektrophoresis.
Terapi ;
Metronidazol 400 mg peroral 3 kali sehari untuk 5 hari, ini obat untuk kasus yang baru
timbul gejala. Pada kasus akut dapat diberikan 800 mg peroral 3 kali sehari selama 5 hari.
Tetracyclin, Chlortetracyclin, oxytetracyclin dengan dosis 250 mg untuk 7-10 hari
Kontrol
Sanitasi yang baik. Menghindari kontaminasi makanan dan minuman dengan tinja.
Menjaga kebersihan diri.

31
3.BALANTIDIOSIS
Balantidiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit protozoa dari genus
balantidium. Balantidium berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata Balantidion yang berarti
kantung kecil.
Spesies yang biasa menginfeksi yaitu Balantidium coli. Spesies yang lain menginfeksi
berbagai hewan, antara lain : B. suis pada babi, B. coviea pada caecum kelinci, B. doedenani
pada usus katak, serta B. praenacleatum merupakan spesies yang besar dengan panjang
mencapai 127 µ yang terdapat di dalam kolon kecoa.
Balantidium coli adalah satu-satunya Ciliata yang merupakan parasit pada manusia,
meskipun spesies koprofilosa kadang ditemukan juga. Protozoa ini praktis ditemukan di seluruh
dunia, hidup di usus besar dan jelas patogenik. Balantidium coli juga mungkin terdapat pada
kera.
Patogenesis
Bentuk kista balantidium mencemari makanan, kemudian masuk mulut. Dalam saluran
pencernaan hewan penderita, kista mengalami perkembangan dan mengadakan pengerusakan vili
usus dan sel epithel, sehingga terjadi enteritis.
Gejala Klinis
Terjadi diare. Hewan menunjukkan sakit pada perutnya, mual, muntah, disentri
Diagnosis
Dari gejala klinis yang terlihat. Pemeriksaan laboratorium dengan memeriksa tinja,
ditemukan bentuk kista atau tropozoit dalam tinja. Dengan pemeriksaan post mortem ditemukan
adanya ulcera dan pengelupasan epithel usus.
Terapi
Pengobatan yang bisa diberikan yaitu tetracyclin dan karbazon

4.Toxoplasmosis Pada Babi


Pada babi betina dewasa, penyakitnya bersifat subklinis, sedangkan babi muda yang
terinfeksi secara kongenital akan menunjukkan gejala klinis toksoplasmosis beberapa lama
setelah lahir dan mengakibatkan kematian. Babi dapat menularkan ke anaknya melalui plasenta,
uterus dan air susu setelah anaknya lahir.
Gejala klinis yang terlihat berupa tremor/inkoordinasi, lemah, batuk, demam, sesak napas.

32

Anda mungkin juga menyukai