Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian


Insidensi fraktur collum femur meningkat sejalan dengan meningkatnya
usia; insidensi tertinggi terjadi pada usia antara 70 – 80 tahun. Fraktur ini terjadi
lebih sering pada wanita dibandingkan dengan laki-laki, yakni dengan rasio
sekitar 5 : 1. Hal ini dikarenakan populasi wanita yang lebih banyak pada usia
tersebut dan juga karena arsitektur dari upper end of femur sehubungan dengan
osteoporosis dimana prevalensinya lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-
laki. Lesi ini jarang terjadi pada orang yang menderita osteoarthritis pada
panggulnya. Markey melaporkan bahwa fraktur collum femur mencapai 5-10%
dari semua kejadian stress fracture. Stress fracture collum femur adalah fraktur
yang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi dapat mengakibatkan masalah yang
serius. Tentunya di kelompok atlet, seperti pelari jarak jauh yang tiba-tiba
mengubah atau menambah aktivitasnya, akan mempunyai prevalensi yang lebih
besar terhadap terjadinya stress fracture dari collum femur ini dibandingkan
dengan populasi lainnya. (Roshan, 2016)
Plancher dan Donshik juga melaporkan rata-rata angka prevalensinya
sekitar 10% untuk fraktur corpus femur ipsilateral, dimana sebanyak 30% tidak
diketahui pada awal terjadinya. Menurut Koval dan Zuckerman, angka kejadian
fraktur collum femur di Amerika Serikat adalah sebesar 63.3 kasus per 100.000
orang per tahun untuk wanita dan 27.7 kasus per 100.000 orang per tahun untuk
pria. (Malanga, 2016)
Sejak ditemukan prosedur internal fixation, angka mortalitas yang
awalnya mencapai 60-85% telah berkurang hingga 8-10%; dengan demikian,
angka morbiditas meningkat tajam sampai 30%, yang mengindikasikan bahwa
internal fixation merupakan prosedur lifesaving. Kematian jarang terjadi karena
fraktur ini, tetapi terdapat beberapa gangguan medis yang mempengaruhi orang-
orang pada usia yang lebih lanjut ini, seperti gangguan jantung, penyakit paru,

1
2

diabetes mellitus, trombosis serebral, hipertensi, dan demensia senilis.


(Tornetta, 2011)
Adanya hubungan antara fraktur collum femur dengan hilangnya massa
tulang akibat osteoporosis post menopause meningkatkan usaha screening untuk
osteoporosis sebagai salah satu bentuk pencegahan terjadinya fraktur tersebut.
Sebaliknya, trauma ini sangat jarang ditemukan pada orang-orang dengan massa
tulang yang tinggi, seperti pada orang yang menderita osteoartritis.
Fraktur collum femur juga lebih jarang ditemukan pada orang-orang ras
Negroid, dibandingkan dengan orang Kaukasia dan Asia. Alasan rendahnya
tingkat insidensi pada orang Negroid belum sepenuhnya diketahui. Namun, ada
berbagai hipotesis untuk menjelaskan hal tersebut, yakni karena massa tulang
orang Negroid lebih tinggi, tingkat kehilangan massa tulang setelah menopause
yang lebih lambat, dan adanya perbedaan struktur tulang dibandingkan orang
Kaukasia.
Tingkat kejadian fraktur collum femur diperkirakan akan meningkat dua kali
lipat dalam 30 tahun ke depan. Hal ini terjadi sebagai akibat semakin
meningkatnya angka harapan hidup, khususnya hingga di atas usia 65 tahun yang
juga semakin meningkatkan resiko terjadinya osteoporosis. Oleh karena itu, saat
ini usaha pencegahan yang efektif dan efisien terus dikembangkan mengingat
tingginya beban ekonomi yang akan ditimbulkan untuk terapi, rehabilitasi, dan
penanganan lebih lanjut bagi para penderitanya. (Gann, 2010)

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan refarat ini ada 2, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan umum : untuk mengetahui bagian penatalaksanaan pada fraktur
terbuka.
2. Tujuan khusus: untuk menyelesaikan tugas laporan kasus dari
kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Bedah RSU Putri Hijau
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fraktur Collum Femoris


2.1.1. Definisi
Fraktur collum femoris merupakan fraktur yang terjadi antara ujung
permukaan articular caput femur dan regio interthrocanter dimana collum femur
merupakan bagian terlemah dari femur. Secara umum fraktur collum femur
merupakan fraktur intrakapsular dimana suplai pembuluh darah arterial ke lokasi
fraktur dan caput femur terganggu dan dapat menghambat proses penyembuhan.
Pembuluh yang memiliki risiko tinggi terkena adalah cabang cervical ascenden
lateralis dari arteri sircumflexa femoralis medialis. Aliran darah yang terganggu
dapat meningkatkan risiko nonunion pada lokasi fraktur dan memungkinkan
terjadinya nekrosis avaskular pada caput femur. (McKinley, 2012)
Berdasarkan lokasi anatomisnya fraktur collum femoris dapat dibedakan menjadi:
1. Fraktur Intrakapsular
Fraktur intrakapsular atau fraktur femur proksimal merupakan suatu
keadaan dimana pembuluh darah pada bagian proksimal femur terganggu
sehingga menyebabkan penyatuan kembali atau union pada fraktur terhambat.
Fraktur intrakapsular sendiri dapat dibagi berdasarkan daerah collum femur yang
dilalui oleh garis fraktur menjadi :
a. Fraktur Subkapital
Fraktur Subkapital terjadi apabila garis fraktur yang melewati collum
femur berada tepat di bawah caput femur.
b. Fraktur Transervikal
Fraktur Transervikal terjadi apabila garis fraktur melewati setengah atau
pertengahan collum femur. Fraktur subkapital dan transervikal biasanya dapat
mengakibatkan terganggunya aliran darah pada caput femur sehingga biasanya
tatalaksana pada fraktur ini adalah penggantian caput femur.

3
4

c. Fraktur Basiliar atau Basiservikal


Fraktur Basiliar terjadi apabila garis fraktur melewati bagian basis collum
femur. Fraktur pada daerah ini tidak mengganggu vaskularisasi caput femur
sehingga biasanya tidak perlu dilakukan penggantian caput femur.
2. Fraktur Ekstrakapsular
Fraktur ekstrakapsular meliputi fraktur yang terjadi pada daerah
intertrochanter dan daerah subtrochanter.
a. Fraktur Intertrochanter
Fraktur Intertrochanter terjadi apabila garis fraktur melintang dari
trochanter mayor ke trochanter minor. Kemungkinan penyatuan pada fraktur ini
lebih besar dibandingkan dengan fraktur jenis intrakapsular dan kemungkinan
komplikasinya juga lebih kecil.
b. Fraktur Subtrochanter
Fraktur Subtrochanter terjadi apabila fraktur terjadi di sebelah bawah dari
trochanter. Perdarahan yang mungkin terjadi pada fraktur ini cenderung lebih
hebat dibandingkan dengan fraktur collum femur lainnya karena banyaknya
anastomosis cabang arteri femoral medial dan lateral di area subtrochanter.
(McKinley, 2012)

4
5

Gambar 1. Fraktur intrakapsular dan ekstrakapsular


Sumber: Solomon, L

Garden pada tahun 1961 mengklasifikasikan fraktur collum femoris


berdasarkan stadium dari derajat displacement yang terlihat pada foto x-ray.
Klasifikasi ini memberikan informasi tentang derajat kerusakan korteks posterior
dan inferior dan juga menentukan apakah retinakulum posterior yang merupakan
struktur dimana pembuluh darah utama menuju caput femur masih menempel atau
tidak, selain itu juga berperan dalam membantu menentukan prognosis dari
stadium fraktur yang terjadi. Stadium fraktur collum femur dibagi menjadi :
1. Stadium I
Pada stadium ini terdapat fraktur incomplete pada collum atau fraktur
impaksi valgus tanpa displasia tulang, selain itu terdapat pula eksternal rotasi dari
fragmen distal dan trabekula tulang medial dari caput membuat sudut lebih dari
1800 dengan korteks medial dari femur.
2. Stadium II
Pada stadium ini terdapat fraktur complete pada collum tanpa disertai
displaced tulang. Fragmen distal pada posisi yang normal dengan fragmen
5
6

proksimal dan trabekula medial pada caput membentuk sudut sekitar 1600 dengan
korteks femur medial.
3. Stadium III
Pada stadium ini terdapat fraktur complete dengan displaced sebagian dari
fragmen tulang yang mengalami fraktur. Fragmen distal berotasi kearah lateral
dan fragmen proksimal miring ke varus dan berotasi kearah medial, selain itu
trabekula medial dari caput tidak pada tempatnya pada pelvis.
4. Stadium IV
Pada stadium ini terdapat fraktur complete dengan displaced total atau
seluruh fragmen tulang yang mengalami fraktur. Fragmen capital terpisah
sempurna dari fragmen distal dan kembali ke posisi normalnya pada asetabulum
dimana fragmen distal berotasi lateral dan bergeser ke atas dan ke anterior ke
fragmen proksimal. (Garden, 1961)

Gambar 2. Klasifikasi Garden


Sumber: Solomon, L.

6
7

2.1.2. Anatomi dan Fisiologi Femur


Femur atau tulang paha merupakan tulang yang memanjang dari panggul
ke lutut dan merupakan tulang terpanjang dan terbesar di dalam tubuh, panjang
femur dapat mencapai seperempat panjang tubuh.
Femur dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu ujung proksimal, batang, dan
ujung distal. Ujung proksimal bersendi dengan asetabulum tulang panggul dan
ujung distal bersendi dengan patella dan tibia. Ujung proksimal terdiri dari caput
femoris, fores capitis femoris, collum femoris, trochanter mayor, fossa
trochanterica, trochanter minor, trochanter tertius, linea intertrochanter, dan
crista intertrochanterica. Batang atau corpus femur merupakan tulang panjang
yang mengecil di bagian tengahnya dan berbentuk silinder halus dan bundar di
depannya. Linea aspera terdapat pada bagian posterior corpus dan memiliki dua
komponen yaitu labium lateral dan labium medial. Labium lateral menerus pada
rigi yang kasar dan lebar disebut tuberositas glutea yang meluas ke bagian
belakang trochanter mayor pada bagian proksimal corpus, sedangkan labium
medial menerus pada linea spirale yang seterusnya ke linea intertrochanterica
yang menghubungkan antara trochanter mayor dan trochanter minor. Pada ujung
distal terdapat bangunan-bangunan seperti condylus medialis, condylus lateralis,
epicondylus medialis, epicondylus lateralis, facies patellaris, fossa
intercondylaris, linea intercondylaris, tuberculum adductorium, fossa dan sulcus
popliteus, linea intercondylaris, tuberculum adductorium, fossa dan sulcus
popliteus. Condylus memiliki permukaan sendi untuk tibia dan patella.
(McKinley, 2012)
Caput femur merupakan masa bulat berbentuk 2/3 bola, mengarah ke
medial, kranial, dan ke depan. Caput femur memiliki permukaan yang licin dan
ditutupi oleh tulang rawan kecuali pada fovea, terdapat pula cekungan kecil yang
merupakan tempat melekatnya ligamentum yang menghubungkan caput dengan
asetabulum os coxae. Persendian yang dibentuk dengan acetabulum disebut
articulation coxae. Caput femurs tertanam di dalam acetabulum bertujuan paling
utama untuk fungsi stabilitas dan kemudian mobilitas.

7
8

Collum femur terdapat di distal caput femur dan merupakan penghubung antara
caput dan corpus femoris. Collum ini membentuk sudut dengan corpus femur ±
125º pada laki-laki dewasa, pada anak sudut lebih besar dan pada wanita sudut
lebih kecil. (McKinley, 2012)

Gambar 3. Anatomi femur


Sumber: Waschke, F.

Paha dibagi menjadi tiga kompartemen yaitu fleksor, ekstensor, dan


adduktor. Kompartemen-kompartemen yang menempati paha dibedakan
berdasarkan lokasinya
yaitu di bagian anterior, medial, dan posterior. Kompartemen yang menempati
anterior pada diantaranya adalah:
a. Otot yang terdiri dari otot-otot fleksor panggul dan ekstensor lutut,
yaitu m. Sartorius, m. iliakus, m. psoas, m. pektineus, dan m. quadriceps
femoris.
b. Arteri femoralis dan cabang-cabangnya.
c. Vena femoralis yang merupakan lanjutan dari v. poplitea dan v. saphena
magna sebagai aliran darah utama yang mengalir melalui hiatus safenus.
8
9

d. Limfatik dari kelenjar getah bening inguinalis profunda yang terletak


sepanjang bagian terminal v. femoralis.
e. Saraf yaitu n. femoralis

Kompartemen yang menempati medial paha diantaranya adalah:


a. Otot yang terdiri dari otot adduktor panggul yaitu m. grasilis, m. adductor
longus, m. adductor brevis, m. adductor magnus, dan m obturatorius
eksternus.
b. Arteri yaitu a. profunda femoris, a. femoralis sirkumfleksa medialis dan
rami perforantes serta a. obturatoria.
c. Vena yaitu v. profunda femoris dan v. obturatoria.
d. Saraf yaitu divisi anterior dan posterior n. obturatorius

Kompartemen yang menempati posterior paha diantaranya adalah:


Otot yang merupakan otot hamstring dan berfungsi dalam fleksi lutut serta
ekstensi panggul. Diantaranya adalah:
a. m. biseps femoris, m. semitendinosus, m. semimembranosus, dan bagian
hamstring dari m. adductor magnus
b. Arteri yaitu rami perforantes a. profunda femoris.
c. Vena yaitu vv. Komitans arteri-arteri kecil.
d. Saraf yaitu n. ischiadikus.

9
10

Gambar 4. Kompartemen paha


Sumber: Faiz, O.

Caput femur mendapat pasokan darah dari tiga sumber utama yaitu:
a. Extracapsular arterial ring yaitu pembuluh darah yang melewati collum
bersama dengan retinakula capsularis dan memasuki caput melalui
foramina besar pada basis caput. Pembuluh darah ini berasal dari cabang-
cabang a. sirkumfleksa femoralis melalui anastomosis a. krusiata dan a.
trokanterika. Pada orang dewasa merupakan sumber pasokan darah
terpenting.
b. Pembuluh darah dalam ligamentum teres yang memasuki caput melalui
foramina kecil pada fovea. Pembuluh ini berasal dari cabang-cabang a.
obturatoria.
c. Pembuluh darah yang melalui diafisis dari pembuluh darah femoralis
nutrisia. (Martini, 2010)

Fraktur collum femoris sering menyebabkan terganggunya akliran darah ke


caput femur dimana retinakular superior dan pembuluh epifisis lateral merupakan
sumber terpenting dalam pemasokan darah. Pergeseran intrakapsular yang terjadi
pada fraktur panggul atau fraktur collum femoris dapat menyebabkan terobeknya
sinovium dan pembuluh darah di sekitarnya. Kerusakan progresif pada pembuluh

10
11

darah dapat menyebabkan gangguan klinis serius dan komplikasi termasuk


osteonekrosis dan nonunion. (McKinley, 2012)

Gambar 5. Vaskularisasi caput dan collum femur


Sumber: Faiz, O.

2.1.3. Epidemiologi Fraktur Collum Femoris


Berdasarkan data Depkes RI pada tahun 2011 sebanyak 45.987 orang
mengalami fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629 orang
diantaranya mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027 orang mengalami
fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 9.702 orang mengalami
fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula.
Insidensi fraktur ini meningkat seiring dengan usia dan merupakan fraktur
paling sering pada usia lanjut terutama pada usia 70-80 tahun. Angka kejadian
fraktur collum femoris di Amerika Serikat adalah sebesar 63.3 kasus per 100.000
orang per tahun untuk wanita dan 27.7 kasus per 100.000 orang per tahun untuk
pria. (Malanga, 2016)

2.1.4. Etiologi dan Faktor Resiko


` Fraktur collum femur lebih banyak terjadi pada ras kaukasian, wanita post
menopause, dan penderita osteoporosis. Fraktur ini biasanya terjadi akibat trauma.
Pada penderita osteoporosis kecelakaan yang ringan saja sudah bisa menyebabkan
fraktur. Pada orang usia muda fraktur biasanya terjadi akibat jatuh dari ketinggian
atau kecelakaan lalu lintas. Densitas tulang rendah dapat disebabkan oleh
11
12

permasalahan kesehatan lain misalnya diabetes melitus, stroke, konsumsi alkohol


dan osteomalasia. (Wheeless, 2010)

2.1.5. Diagnosis Fraktur Collum Femur


1. Anamnesis
Anamnesis dasar harus ditanyakan seperti keluhan akhir-akhir ini dan
deskripsi lengkap dari keluhan tersebut. Anamnesis aktivitas secara komprehensif
harus dilakukan, seperti perubahan aktivitas, peralatan yang digunakan, intensitas
dan teknik yang dilakukan haruslah dicatat.
a. Anamnesis mengenai riwayat menstruasi harus dilakukan juga pada semua
pasien wanita. Amenorrhea sering berhubungan dengan penurunan
estrogen. Kurangnya perlindungan estrogen dapat mencetus penurunan
massa tulang. Trias seorang atlet wanita yaitu amenorrhea, osteoporosis
dan gangguan makanan mempengaruhi beberapa wanita aktif. Tanda dan
gejala dari trias tersebut meliputi rasa lemah, anemia, depresi flu like
syndrome, lanugo, erosi enamel gigi, penggunaan laksatif.
b. Kebiasaan makan yang buruk dapat menimbulkan gangguan sistem
endokrin, kardiovaskular dan gastrointestinal dan dapat menyebabkan
kehilangan massa tulang yang irreversible. Seorang ahli harus waspada
akan timbulnya stress fracture.
Ciri khas stress fracture seperti :
 Partisipasi pada aktivitas repetitive cyclic
 Onset nyeri yang tiba-tiba
 Perubahan aktivitas dan peralatan saat ini
 Pernah trauma
 Nyeri dengan beban berat
 Nyeri hilang sewaktu istirahat
 Menstruasi yang tidak teratur
 Predisposisi osteopenia

c. Pasien biasanya melaporkan riwayat nyeri yang bertambah ataupun akut


pada panggul depan, inguinal, atau lutut yang bertambah berat bila
12
13

beraktivitas. Ciri khas yang tampak pada stress fracture adalah riwayat
latihan yang berhubungan dengan lokasi nyeri yang bertambah dengan
aktivitas dan berkurang bila istirahat atau dengan aktivitas yang tidak
memerlukan beban berat. Nyeri biasanya dapat dicetuskan dengan
aktivitas yang diulang-ulang dan reda bila istirahat.
d. Pemeriksa harus menanyakan apakah gejala-gejala tersebut pernah terjadi
di masa lalu, dan bila pernah apakah pasien pernah berusaha menggunakan
es atau penghangat atau obat-obat tertentu (asetaminofen, aspirin,
NSAID).

2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pemeriksaan dimulai dengan observasi pasien. Wajah yang menyeringai
menahan sakit atau gaja berjalan seorang pasien tentunya membuat pola tertentu.
Pasien dengan displaced fraktur collum femur biasanya tidak dapat berdiri atau
biasanya dibawa dengan tempat tidur. Perhatikan puncak iliaca apakah ada
perbedaan tinggi dan fungsi kaki kiri dan kanan berbeda. Alignment dan panjang
b. Palpasi
i. Range Of Motion (ROM)
Menentukan ROM dari panggul dengan fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi,
endorotasi serta eksternal dan fleksi dan ekstensi dari lutut. Penemuannya seperti
nyeri dan keterbatasan gerak masif pada panggul. Melakukan passive straight-leg
raise, Thomas dan rectus femoris stretch test. Pasien dengan nyeri di region
femoralis anterior dan lutut bisa mempunyai patologi di sendi panggulnya. Nyeri
yang dihasilkan pada pasien dengan endorotasi, eksorotasi, atau maneuver
provokasi lainnya dapat menyingkirkan patologi panggul akibat gangguan tulang
belakang (spine).

13
14

Gerakan ROM
Fleksi 120 derajat
Ekstensi 30 derajat
Abduksi 45 – 50 derajat
Adduksi 20 – 30 derajat
Endorotasi 35 – 45 derajat
Eksorotasi 35 – 45 derajat

ii. Tes Passive Straight Leg Raise


Tujuan : Memeriksa low back pain akibat herniasi diskus
Langkah Pemeriksaan :
 Pasien berbaring supine, kedua tungkai dalam posisi lurus
 Pemeriksa meletakkan salah satu tangan dibawah lutut dan tangan lainnya
untuk mengangkat tungkai hingga pasien merasakan nyeri

iii. Tes Thomas


Tujuan : Memeriksan hip flexion contracture
Langkah Pemeriksaan :
 Pasien berbaring dalam posisi supine, menekuk salah satu tungkai ke arah
dada dan tungkai lainnya tetap dalam keadaan fleksi
 Positif jika tidak dapat mempertahankan tungkai dalam posisi tersebut
iv. Tes Ober
Tujuan : memeriksa kontraktur pada iliotibial band
Langkah Pemeriksaan :
 Pasien berbaring miring ke arah tungkai yang sehat sehingga tungkai sehat
berada dibawah dalam keadaan ditekuk dan tungkai bermasalah di bagian
atas dalam keadaan lurus.
 Pemeriksa meletakkan tangan di krista iliaka superior untuk stabilisasi,
kemudian angkat kaki yang atas, lakukan ekstensi, dan arahkan ke bagian
belakang kaki sehat
 Positif jika pasien tidak dapat adduksi.

14
15

v. Hop Test
Pasien melompat pada sisi kaki yang terkena untuk menimbulkan gejala.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto X-Ray
Foto polos biasa merupakan foto yang sering digunakan sebagai tindakan
awal pada fracture panggul karena ini merupakan alat yang universal dan terdapat
dimana-mana. Tujuan utama pembuatan foto X-Ray adalah untuk menyingkirkan
fracture dan mengindentifikasi letak dan luasnya fracture.
Foto polos mempunyai sensitivitas yang rendah. Adanya formasi tulang
periosteal, sklerosis, kalus, atau garis fracture memberi petunjuk terjadinya stress
fracture; walaupun demikian, pemeriksaan radiologi foto polos dapat memberikan
gambaran normal pada pasien dengan fracturecollum femur, dan perubahan
radiografi tidak akan pernah berubah.
Tension fracture harus dibedakan dari compression fracture, dimana
menurut Devas (1965) dan Fullerton dan Snowdy (1988), biasanya terletak pada
aspek inferior collum femur.Pemeriksaan radiografi dapat menunjukkan garis
fracture pada aspek superior dari collum femur, yang merupakan lokasi terjadinya
tension fracture.
Pemeriksaan radiologi standar pada panggul meliputi foto AP (Antero-
Posterior) dari panggul dan pelvis dan Foto Lateral. Posisi frog-leg lateral tidak
dianjurkan karena dapat mengakibatkan displacedfracture. Bila fracturecollum
femur dicurigai, foto endorotasi dari panggul dapat membantu mengindentifikasi
fracture yang non-displaced atau fracture impaksi. Bila dicurigai adanya fracture
panggul tetapi tidak terlihat pada pemeriksaan X-ray standar, scanning tulang atau
MRI harus dilakukan.
Kadang-kadang, foto polos ini mempunyai kekurangan. Spiral fracture
sangat sulit dilihat dari 1 sudut saja. Comminutif juga tidak mudah diidentifikasi
seperti pada CT-Scan. Beberapa stress fracture adalah fracture simple dan tidak
terlihat pada foto polos. Dengan demikian, foto polos tidak selalu dapat
mendeteksi fracturecollum femur tetapi diperlukan pemeriksaan radiologi lain
yang dapat menunjang diagnosis dari fracture ini.
15
16

Pada foto X-ray mungkin didapatkan hasil positif palsu atau negative
palsu.Beberapa fracturecollum femur tidak terlihat pada foto polos yang diambil
selama evaluasi awal. Bila kecurigaan klinis kuat, kasus ini dapat di evaluasi lebih
lanjut dengan MRI, yang dapat menunjukkan edema sumsum tulang, atau nuclear
medicine bone scanning, yang dapat memperlihatkan peningkatan tracer uptake.
Pemeriksaan nuclear medicine bone scanning ini harganya lebih mahal dari
pemeriksaan MRI dan sangat sensitif. Pencitraan ini dilakukan pada 48-72 jam
setelah trauma, dimana sensitivitasnya dibawah MRI.

Gambar 6. Fraktur Collum Femur


Sumber : Blomberg, J. 2015

b. CT-Scan
`CT-Scan berperan penting dalam mengevaluasi panggul setelah terjadi
fracture.CT sangat baik dan berguna untuk abnormalitas tulang itu sendiri.Karena
resolusinya yang baik, dapat berbagai potongan, dan kemampuannya untuk dilihat
dalam posisi coronal dan sagital, CT-Scan berguna untuk mendeteksi
fracturecomminution preoperatif dan mendeteksi seberapa jauh terjadinya
penyatuan union pada post operatif.
Scanning tulang dapat membantu pada stress fracture, tumor atau
infeksi.Scanning tulang merupakan indikator yang sangat sensitif pada bone
stress, tetapi mempunyai spesifisitas yang rendah.Pada masa lalu, scanning
dinyatakan tidak merupakan indikasi sebelum 48-72 jam setelah fracture; tetapi
pada penelitian tahun 1990 oleh Holder et al, scanning ini mempunyai sensitivitas
CT-Scan sangat sering digunakan untuk mengevaluasi bone injury. Walaupun

16
17

demikian, fracture aksial pada foto polos juga kadang-kadang tidak terlihat
dengan CT-Scan.Potensial ini berkurang dengan adanya foto polos orthogonal dan
CT-Scan multidetektor yang baru. (McRae, 2001)

Gambar 2.7 Fraktur Collum Femur Sinistra


Sumber : Subagyo, H. 2013

2.1.6. Tatalaksana Fraktur Collum Femoris


Penatalaksanaan fraktur collum femoris harus dimulai secepat mungkin
setelah terjadinya trauma terutama pencegahan pergerakan tungkai atau
imobilisasi. Karena apabila tidak tepat saat mengubah posisi pasien dapat
menyebabkan fraktur yang semula sederhana menjadi kompleks.
Penatalaksanaan untuk pasien berusia 60 tahun kebawah yang mengalami
fraktur adalah fiksasi internal dan reduksi tertutup. Untuk pasien berusia 60 keatas
disarankan dilakukan hip arthroplasty. Tujuan dari pengklasifikasian adalah pada
pasien berusia 60 tahun kebawah mobilitasnya masih cukup tinggi dibandingkan
dengan usia 60 tahun keatas, untuk menurunkan resiko terjadinya nekrosis
avaskular dan pembentukan tulang kembali pada usia dewasa muda masih
mungkin terjadi.
Pada penderita fraktur dengan garis yang curam (Pauwels 3) harus
distabilkan dengan menggunakan implan sliding hip screw. Pada penderita fraktur
dengan kondisi fraktur dengan garis yang tidak curam (Pauwels 1 dan 2) dapat
difiksasi menggunakan implan parallel screws dengan prinsip 3-point-fixation.

17
18

A. Tatalaksana Non-Medikamentosa
1. Hip Arthroplasty
Hip Arthroplasty merupakan suatu tindakan penggantian sendi pinggul
dengan prostesis yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan mengembalikan
fungsi sendi panggul seperti semula. Nyeri setelah tindakan hip arthroplasty
dirasakan membaik selama minimal 3 bulan, sedangkan setidaknya butuh 1 tahun
untuk kembali ke fungsi normal tubuh. Hip Arthroplasty terbagi menjadi dua
jenis, yaitu Total Hip Arthroplasty dan Hemiarthroplasty.

a. Total Hip Arthroplasty


Total hip arthroplasty adalah suatu prosedur pembedahan ortopedi dimana
kartilago asetabulum diganti dengan tempurung logam buatan dan caput serta
collum femur diganti dengan prostesis yaitu bola dan batang buatan yang juga
terbuat dari logam. Total hip arthroplasty terbagi menjadi dua tindakan, yaitu
cemented dan uncemented total hip arthroplasty.

b. Cemented Total Hip Arthroplasty


Bahan cement yang digunakan dalam tindakan total hip arthroplasty
adalah polymethylmethacrylate yang digunakan untuk memfiksasi prostesis
dengan tulang tanpa sifat perekat. Semen yang mengelilingi prostesis ini bersifat
mengisi celah-celah di dalam tulang dan kemudian setelah kering prostesis akan
terfiksasi dengan sendirinya. Beberapa dokter bedah memasukkan antibiotik
profilaksis didalam semen tersebut untuk mengurangi infeksi post operatif.
Namun beberapa dokter bedah berpendapat bahwa antibiotik dapat melemahkan
kandungan dari semen dan dapat meningkatkan resistensi.
Masalah yang sering dihadapi pada cemented total hip arthroplasty adalah
prostesis yang longgar diakibatkan osteolisis. Osteolisis ini disebabkan karena
reaksi fagositosis dari logam, partikel semen, dan prostesis oleh makrofag dengan
resorpsi tulang itu sendiri.

18
19

c. Uncemented Total Hip Arthroplasty


Uncemented total hip arthroplasty dikembangan untuk merespon bahwa
yang paling berperan dalam proses osteolisis dan kelonggaran cemented total hip
arthroplasty adalah partikel dari semen. Pada prinsipnya prostesis yang
dikembangkan dalam tindakan ini adalah fiksasi tanpa semen dengan
mengandalkan pertumbuhan tulang femur itu sendiri. Maka dari itu teknik ini
sering disebut juga teknik press-fit. Teknik ini ditujukan terutama pada pasien
yang berusia dewasa muda. Uncemented total hip arthroplasty ini memerlukan
ketelitian yang lebih besar daripada teknik cemented karena prostesis harus benar-
benar terfiksasi menempel langsung pada tulang femur. Tulang yang tumbuh
kedalam pori-pori dari prostesis akan dimulai 6-12 minggu setelah implantasi.
Pada beberapa penelitian menyatakan bahwa teknik uncemented maupun
cemented memberikan hasil kesuksesan terapi yang hampir sama, namun derajat
nyeri pasca operasi pada cemented THA lebih rendah daripada uncemented THA.

19
20

Gambar 6. Perbedaan uncemented dan cemented total hip arthroplasty


Sumber: Reinardo,D

2. Hemiarthroplasty
Hemiarthroplasty adalah suatu proses pembedahan ortopedi yang pada
dasarnya hampir sama dengan Total Hip Arthroplasty namun yang berbeda pada
hemiarthroplasty hanya caput dan collum femur yang diganti dengan prostesis,
sedangkan kartilago asetabulum tidak diganti. Prosedur pembedahannya adalah
insisi lateral paha untuk dapat melihat sendi panggul. Setelah masuk ke sendi
panggul, dokter bedah melepas caput dan collum femur dari asetabulum. Dengan
menggunakan bor khusus, corpus femur dibentuk seperti kanal agar prostesis stem
bisa dimasukkan. Pada uncemented stem prosthesis langsung dimasukkan ke
dalam kanalis femoralis buatan tersebut. Berbeda dengan cemented stem, kanalis
femoralis dibuat sedikit lebih besar dari stem tujuannya agar semen bisa
melekatkan antara stem dengan tulang paha. Bola logam sebagai pengganti caput
femur dilekatkan pada asetabulum setelah itu panggul buatan direlokasi sekaligus
dipastikan apakah panggul dan paha dapat bekerja dengan baik. Dokter bedah
menutup bekas insisi dengan jahitan kemudian pasien bisa dipindah ke ruang
pemulihan. (Tornetta, 2011)

20
21

Gambar 7. Perbedaan hemiarthroplasty dengan total hip arthroplasty


Sumber: Reinardo, D

B. Terapi Medikamentosa
1. Tatalaksana Medikamentosa
Pada semua kasus fracture, penatalaksanaan nyeri harus
diutamakan.Analgetik seperti acetaminophen atau NSAID (Non Steroid
Anti Inflammatory Drugs) dapat diberikan pada fase akut dari
fracture.Walupun demikian, penambahan penghilang nyeri mungkin
diperlukan bila nyeri pasien tidak hilang hanya dengan pemberian
acetaminophen atau NSAID. Pada kasus seperti ini, golongan opiate
mungkin dapat digunakan, khususnya untuk mengatasi rasa nyeri yang
hebat. Penyesuaian terhadap rasa nyeri harus dilakukan, terutama pada
fase akut.
Analgetik
a. Acetaminophen

21
22

 Diindikasikan untuk nyeri ringan sampai sedang. Merupakan obat


pilihan untuk nyeri pasien yang hipersensitif terhadap aspirin atau
NSAID, dengan gangguan gastrointestinal atas, atau pasien yang
mengkonsumsi antikoagulan oral.
 Dosis yang digunakan adalah 325-650 mg Per Oral setiap 4-6 jam
atau 1000 mg 3 sampai 4x sehari; dosis tidak lebih dari 4 gram
per hari.
 Untuk pasien anak12 tahun: 325-650 mg per oral setiap 4 jam;
tidak lebih dari 5x dalam 24 jam.
 Kontraindikasi pada pasien yang hipersensitif; defisiensi G6PD
(Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase)
 Interaksi obat. Rifampin dapat mengurani efek analgetik;
digunakan bersama barbiturate, carbamazepine, hydantoins, dan
isoniazid akan meningkatkan hepatotoksisitas.
 Efek samping bersifat hepatotoksik terutama bila pasien
alkoholism; nyeri hebat atau nyeri terus-terusan atau demam
tinggi merupakan efek samping yang serius; acetaminophen
terdapat pada beberapa produk OTC dan biasanya
dikombinasikan sehingga dosis acetaminophen menjadi
berlebihan atau bahkan dapat melebihi dosis maksimal.

b. Ibuprofen
 Obat pilihan untuk pasien dengan nyeri ringan sampai sedang.
Menghambat reaksi inflamasi dengan menurunkan sintesis
prostaglandin.
 Dosis dewasa 400-600 mg per oral setiap 4-6 jam selama gejala
masih ada; tidak melebihi 3.2 gram/hari.
 Dosis anak12 tahun: mengikuti dosis dewasa.
 Kontraindikasi pada pasien yang hipersensitif; ulkus peptik,
perdarahan dan perforasi saluran cerna, insufisiensi renal, atau
resiko perdarahan.

22
23

 Bila digunakan bersama aspirin akan meningkatkan efek


kebalikan dari NSAID; dengan probenecid akan meningkatkan
konsentrasi obat dan mungkin menjadi toksik; dapat menurunkan
efek hidralazine, captopril, dan beta bloker; dapat menurunkan
efek diuretik furosemide dan tiazid; dapat meningkatan PT
(Protrombin Time) bila digunakan bersama antikoagulan
(peringatkan pasien untuk mendeteksi gejala perdarahan);
meningkatan efek toksik metrotrexate; level phenytoin akan
meningkat bila digunakan terus-menerus.
 Efek samping. Kategori D pada trisemester III kehamilan;
Kategori B pada trisemester I dan II kehamilan; menyebabkan
CHF, Hipertensi, dan menurunkan fungsi ginjal dan hati;
menyebabkan abnormalitas antikoagulan atau selama terapi
antikoagulan.
c. Oxycodone
Analgesik dengan multipel aksi yang mirip morphine; dengan
konstipasi minimal, spasme otot polos, dan depresi refleks batuk
yang lebih ringan dibandingkan dengan pemberian morphine pada
dosis yang sama.
 Dosis dewasa: 5-30 mg per oral setiap 4 jam.
 Dosis anak: 0.05-0.15 mg/kg per oral; Tidak melebihi 5 mg setiap
4-6 jam per oral.
 Kontraindikasi pada pasien yang hipersensitif.
 Interaksi obat. Phenothiazine menurunkan efek analgesik;
toksisitas meningkat dengan pemberian bersama obat-obat depresi
SSP.
 Keamanan penggunaan selama kehamilan tidak tercatat.
 Efek samping. Masa aktif meningkat pada pasien lansia; hati-hati
pada penggunaan acetaminophen dan jangan melebihi 4000 mg
dalam 24 jam karena dapat mengakibatkan hepatotoksik.
(Tornetta, 2011)

23
24

2.1.7. Derajat Fungsional Panggul


Pengukuran derajat fungsional panggul merupakan penilaian terhadap
disabilitas pasien yang sedang menjalani hip arthroplasty, khususnya total hip
arthroplasty. Hal ini menandakan suatu keberhasilan dari tindakan yang telah
dilakukan serta untuk meminimalkan adanya pengaruh komorbiditas. Salah satu
cara menilai derajat fungsional panggul adalah menggunakan kuesioner Oxford
Hip Score.

Oxford hip score dirancang sesederhana mungkin dalam penggunaannya.


Terdapat 12 pertanyaan dalam kuesioner ini dan setiap pertanyaan diberi skor urut
0 sampai 4. Setelah selesai mengisi kuesioner skor dijumlah kemudian
diklasifikasikan menjadi:
- Tidak ada keluhan: skor 40-48

- Ringan sampai sedang: skor 30-39

- Sedang sampai berat:20-29

- Berat: 0-19
Dengan adanya Oxford Hip Score ini diharapkan dapat berguna untuk
mengetahui hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan hip arthroplasty
pada pasien fraktur collum femoris. (Gann, 2010)

2.1.8. Komplikasi
1. Komplikasi Umum
Pasien yang mengalami fracture collum femur, yang sebagian besar
merupakan orang lanjut usia, beresiko untuk mengalami komplikasi yang
umum terjadi pada semua penderita fracture, di mana mereka mengalami
proses imobilisasi yang cukup lama. Komplikasi umum tersebut ialah
terjadinya deep vein thrombosis, emboli pulmonal, pneumonia, dan ulkus
dekubitus akibat berbaring dalam jangka waktu yang lama secara terus
menerus.

24
25

Walaupun saat ini penangan paska operasi sudah sangat berkembang,


angka mortalitas pada orang lanjut usia masih mencapai 20%, yang
terjadi dalam 4 bulan pertama setelah trauma. Pada pasien-pasien berusia
lebih dari 80 tahun yang dapat bertahan hidup, hampir setengahnya tidak
dapat berjalan seperti saat sebelum trauma.
2. Nekrosis Avaskular
Nekrosis caput femur akibat proses iskemik terjadi pada 30% pasien
yang mengalami fracturedisplaced dan pada 10% pasien dengan
fractureundisplaced. Komplikasi ini belum dapat didiagnosis atau
diketahui pada saat awal terjadinya fracture.Setelah beberapa minggu
setelah terjadinya fracture, melalui pemeriksaan bone scan, baru mulai
tampak dan ditemukan adanya gangguan vaskularisasi tersebut.Pada
pemeriksaan X-ray, perubahan vaskularisasi ini bahkan baru dapat
terdeteksi beberapa bulan atau beberapa tahun setelah diagnosis fracture.
Nekrosis caput femur ini akan menimbulkan keluhan rasa nyeri dan
hilangnya fungsi struktur tersebut yang bersifat progresif, yang semakin
lama akan semakin memburuk jika tidak segera ditangani. Metode tata
laksana yang dipilih pada pasien berusia lebih dari 45 tahun untuk
mengatasi komplikasi ini ialah dengan total joint replacement. Sedangkan
pada pasien dengan usia yang lebih muda, tata laksana yang akan
digunakan masih menjadi kontroversi. Terapi core decompression tidak
dapat digunakan pada kasus osteonekrosis traumatik ini, sedangkan terapi
realignment atau rotational osteotomy dapat dilakukan pada pasien
dengan segmen nekrosis yang relatif tidak terlalu luas.Terapi arthrodesis
juga banyak dikemukakan sebagai salah satu pilihan terapi, tetapi pada
prakteknya sangat jarang dilakukan.
3. Non-Union
Lebih dari 30% kasus fracture collum femur mengalami kegagalan untuk
menyatu kembali dan resiko ini akan semakin meningkat pada fracture-
fracture dengan displaced yang parah. Ada beberapa penyebab terjadinya
komplikasi ini, antara lain karena suplai darah yang kurang baik, reduksi
yang tidak sempurna, fiksasi yang tidak adekuat, dan adanya tardy
25
26

healing yang merupakan ciri khas fracture intra-articular. Pada


komplikasi non-union, pasien akan mengeluhkan rasa nyeri, tungkai yang
mengalami fracture tampak lebih pendek dari tungkai yang sehat, dan
mengalami kesulitan untuk berjalan. Hal ini dikonfirmasi melalui
pemeriksaan X-ray yang juga menunjukkan hasil penyatuan tulang yang
kurang baik atau tidak berhasil.
4. Osteoarthtritis
Nekrosis avaskular yang terjadi pada caput femur, setelah beberapa tahun
kemudian, dapat menyebabkan timbulnya osteoartritis sekunder pada
panggul. Jika terdapat gangguan berat pada pergerakan sendi dan
kerusakan telah meluas hingga permukaan articular, maka perlu
dilakukan total joint replacement. (Ramnemark, 2000)

26
BAB III

STATUS KASUS PASIEN

Nama : Ny.P
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 78 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jln. Simare No 83, Medan Sunggal
Agama : Protestan
Tanggal Masuk RS : 20/06/2018
Tanggal Operasi : 23/06/2018
No RM : 055422

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 20/06/2018, jam 10.30 wib. Anamnesis
bersifat autoanamnesis.
1) Keadaan Umum
Nyeri pada paha Sebelah kanan
2) Riwayat Penyakit sekarang
Seorang wanita umur 78 tahun, dating ke IGD dengan keluhan nyeri
pangkal paha sebelah kanan di alami setelah Os terjatuh sekitar 2 minggu
yang lalu ( 3 juni 2018), dan dirasakan nyeri semakin memberat dalam 3
hari. Os mengeluh kaki kanan tidak bias di angkat.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak Ada
5) Riwayat penggunaan Obat
Tidak Ada
6) Riwayat Kebiasaan Sosial

27
28

Ibu Rumah Tangga


PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALISATA
a. Keadaan Umum : Compos Mentis
b. Vital Sign
 TD : 140/100
 Rr : 20x/i
 Hr : 84x/i
 T : 36,8°C
c. Kepala : Conjugtiva anemis (-)/(-), Sklera ikterik (-)/(-)
d. Leher : Pembesaran KGB (-)
e. Paru-Paru : Vesilular Murni, wheezing (-)/(-),Rhonki (-)/(-)
f. Jantung : Bunyi jantung I Dan II Regular, gellop (-),
Murmur (-)
g. Abdomen : Soepel , IC
h. Ekstremitas : Nyeri pada paha kanan (+), Kaki Kanan Tidak
terasa diangkat
i. THT : TDP
j. Punggung : TDP
k. Genitalia : TDP

STATUS LOKALISATA
 Regio Femoralis Dextra
a) Look
Terturup elastic Band
Pembengkakan : Ada
b) Feel
Nyeri Tekan : Ada
Perubahan Suhu : Ada
c) Move
Kekuatan Otot : Tidak falid di nilai
29

Rom Hip : Tidak Bisa Dinilai


d) LLD : 15cm

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Rutin
Hemoglobin 13.5 L: 13-16 g/dl
P: 12-14 g/dl
Hematokrit 38.9 L : 40-48 %
P : 37-43%
Leukosit 7.200 5-10.10³/µL
Trombosit 174.000 150-400.10³/µL

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Masa Perdarahan 1’10” 1-6 menit
Masa Pembekuan 6’30” 1-10 menit
Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu 107 <200 mg/dL
HBsAg rapid Non reaktif Non reaktif
HIV Non reaktif Non reaktif

DIAGNOSA KERJA
Diskontinuitas Fraktur Collum Femur Dextra

PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
- Penggunaan antibiotik untuk mencegah adanya infeksi.
- Penggunaan analgetik umtuk mengurangi nyeri

Non-medikamentosa
- Edukasi
Yang perlu diperhatikan selama 6 minggu post operasi
- Fleksi tidak boleh >90°
30

- Tidak boleh menyilang kaki


- Tidak boleh ekso dan endo rotasi
- Tidak boleh melakukan gerakan ekspulsif atau secara tiba-tiba
- Pada saat tidur menggunakan abduction bolster agar kaki tetap pada posisi
abduksi

PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam
- Quo ad funcionam : dubia ad bonam

Anda mungkin juga menyukai