Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hipertensi merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan

meningkatnya tekanan darah arteri lebih dari normal. Tekanan darah

sistolik ≥ 140 mmHg dan Diastolik ≥ 85 mmHg merupakan batas normal

tekanan darah (junaidi, 2010). Hipertensi atau tekanan darah tinggi sering

disebut sebagai silent killer karena seseorang yang mengidap hipertensi

yang bahkan sudah bertahun – tahun sering kali tidak menyadarinya

sampai terjadi komplikasi seperti kerusakan organ vital yang cukup berat

yang bisa mengakibatkan kematian. Sebanyak 70% penderita hipertensi

tidak menyadari bahwa dirinya mengidap hipertensi hingga ia

memeriksakan tekanan darahnya ke pelayanan kesehatan. Sebagian lagi

mengalami tanda seperti pusing, sakit leher dibagian belakang, dan sering

berdebar – debar (adib, 2009).

Menurut American Heart Association (AHA), penduduk Amerika

yang berusia diatas 20 tahun menderita hipertensi telah mencapai angka

74,5 juta jiwa, namun hampir sekitar 90 - 95% kasus tidak diketahui

penyebabnya (Kemenkes RI, 2014). Diperkirakan sekitar 80% kenaikan

kasus hipertensi terutama terjadi di Negara berkembang pada tahun 2025,

dari jumlah 639 juta kasus di tahun 2000. Jumlah ini diperkirakan

meningkat menjadi 1,15 miliar kasus di tahun 2025 (Ardiansyah, 2012).

1
2

Hampir 1 miliar orang diseluruh dunia memiliki tekanan darah

tinggi. Hipertensi adalah salah satu penyebab utama kematian dini

diseluruh dunia. Ditahun 2020 sekitar 1,56 miliar orang dewasa akan

hidup dengan hipertensi. Hipertensi membunuh hampir 8 miliar orang

setiap tahun di dunia dan hampir 1,5 juta orang setiap tahun nya di

kawasan Asia Timur – Selatan. Sepertiga dari orang dewasa di Asia Timur

– Selatan menderita hipertensi. (WHO, 2015).

Prevalensi hipertensi meningkat sejalan dengan perubahan gaya

hidup seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik dan stress psikososial.

Hipertensi sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat (public health

problem) dan akan menjadi masalah yang lebih besar jika tidak

ditanggulangi sejak dini. Pengendalian hipertensi dinegara maju pun

belum menunjukan hasil yang memuaskan (Depkes RI, 2007)

Berdasarkan data dari Riskesdas Litbang Depkes (2013), hipertensi

di Indonesia merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi

yaitu sebesar 25,8%. Berdasarkan prevalensi hipertensi lansia di Indonesia

sebesar 45,9% untuk usia 55–64 tahun, 57,6% usia 65–74 tahun dan

63,8% usia > 75 tahun. Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan

pengukuran tekanan darah pada usia ≥ 18 tahun adalah 25,8%. Prevalensi

tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%),

Kalimantan Timur (29,6%), Jawa Barat (29,4%), dan Gorontalo (29,4%)

(Kemenkes RI, 2014).


3

1.2 Tujuan dan manfaat penulisan

Tujuan dalam penulisan referat ini adalah untuk menguraikan hal –

hal yang berkenaan dengan Hipertensi serta penanggulangan dan

penanganannya. Pembaca diharapkan dapat memahami dan mengetahui

apa itu hipertensi, dan penatalaksanaan Hipertensi sehingga diharapkan

dapat melakukan usaha-usaha promosi, preventif, kuratif, maupun

rehabilitatif terutama di bagian Neurologi.


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

2.1.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg

dan atau diastolik ≥ 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang

waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang). Hipertensi

didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and

Treartment of High Blood Pressure sebagai tekanan darah yang lebih

tinggi dari 140 / 90 mmHg.

Hipertensi atau darah tinggi adalah penyakit kelainan jantung dan

pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah. WHO

(World Health Organization) memberikan batasan tekanan darah normal

140/90 mmHg, batasan ini tidak membedakan antara usia dan jenis

kelamin.

Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi

berbagai faktor resiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi

dibedakan menjadi yang tidak dapat dikontrol dan dapat dikontrol. Yang

tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur.

Faktor yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik,

perilaku merokok, dan pola konsumsi makanan yang banyak mengandung

lemak jenuh.

4
5

2.1.2 Epidemiologi

Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling umum

ditemukan. Menurut American Heart Association (AHA), penduduk

Amerika yang berusia diatas 20 tahun menderita hipertensi telah mencapai

angka 74,5 juta jiwa, namun hampir sekitar 90 - 95% kasus tidak diketahui

penyebabnya (Kemenkes RI, 2014). Diperkirakan sekitar 80% kenaikan

kasus hipertensi terutama terjadi di Negara berkembang pada tahun 2025,

dari jumlah 639 juta kasus di tahun 2000. Jumlah ini diperkirakan

meningkat menjadi 1,15 miliar kasus di tahun 2025 (Ardiansyah, 2012).

Menurut NHBI (National Heart, Lung, and Blood Institute) 1 dari

3 pasien menderita hipertensi. Hipertensi juga merupakan faktor resiko

infark miokard, stroke, gagal ginjal akut, dan juga kematian. Riset

Kesehatan Dasar / RISKESDAS tahun 2013 menunjukan bahwa

prevalensi hipertensi di Indonesia adalah sebesar 26,5%.

Gambar 1. Prevalensi Hipertensi Berdasarkan Pengukuran Tekanan

darah Pada Umur ≥ 18 tahun Menurut Provinsi tahun 2007 dan 2013.
6

Pada gambar 1 terlihat prevalensi hipertensi berdasarkan

pengukuran tekanan darah (menggunakan kriteria hipertensi JNC VII)

cenderung turun dari 31,7% pada tahun 2007 menjadi 25,8% pada tahun

2013. Dalam laporan RISKESDAS 2013, diasumsikan bahwa penurunan

diperkirakan terjadi karena (i) Perbedaan alat ukur yang digunakan tahun

2007 tidak di produksi lagi pada tahun 2013, (ii) Kesadaran masyarakat

akan kesehatan yang makin membaik pada tahun 2013. Asumsi (ii)

terlihat pada Gambar 2 bahwa prevalensi hipertensi berdasarkan

diagnosis atau gejala meningkat. Hal ini menunjukan bertambahnya

masyarakat yang sudah memeriksakan diri ke tenaga kesehatan.

Gambar 2 Prevalensi Hipertensi Berdasarkan diagnosis atau gejala

Pada Umur ≥ 18 tahun Menurut Provinsi tahun 2007 dan 2013.


7

2.1.3 Etiologi

Penyebab hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

 Hipertensi Primer (Hipertensi Essensial)

Merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya

dan ada kemungkinan karena faktor keturunan atau genetic

(90%).

 Hipertensi Sekunder

Yaitu hipertensi yang merupakan akibat dari adanya

penyakit lain. Faktor ini juga erat hubungan nya dengan gaya

hidup dan pola makan yang kurang baik. Faktor makanan

yang sangat berpengaruh adalah kelebihan lemak, konsumsi

garam dapur yang tinggi, merokok dan minum alkohol.

2.1.4 Klasifikasi

Klasifikasi hipertensi dapat digolongkan menjadi dua berdasarkan

penyebabnya dan berdasarkan bentuk hipertensi. Berdasarkan

penyebabnya yaitu :

1. Hipertensi primer (hipertensi esensial)

Hipertensi primer yang penyebabnya tidak diketahui

(idiopatik), walaupun dikaitkan dengan kombinasifaktor gaya

hidup seperti kurang bergerak (inaktivasi) dan pola makan.

Hipertensi primer ini terjadi pada sekitar 90% penderita

hipertensi.
8

2. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder penyebabnya diketahui, pada sekitar

5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit

ginjal. Pada sekitar 1-2% penyebabnya adalah kelainan

hormonal atau pemakaian obat tertentu.

Berdasarkan bentuknya hipertensi dibedakan menjadi :

1. Hipertensi sistolik

Hipertensi sistolik merupakan peningkatan tekanan sistolik

tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik dan umumnya

ditemukan pada usia lanjut.

2. Hipertensi diastolik

Hipertensi diastolik merupakan peningkatan tekanan

diastolik tanpa diikuti peningkatan sistolik, biasanya

ditemukan pada anak – anak dan dewasa muda.

3. Hipertensi campuran

Hipertensi campuran merupakan peningkatan pada tekanan

sistolik dan diastolik.


9

Klasifikasi hipertensi menurut JNC VII dapat dibagi menjadi

Gambar 3. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII

Sedangkan JNC VIII mengklasifikasikan hipertensi untuk usia ≥ 18

tahun menjadi :

Gambar 4. Klasifikasi Hipertensi Untuk Usia ≥ 18 tahun.


10

2.1.5 Jenis – Jenis Hipertensi

Jenis hipertensi menurut (Kemenkes RI 2013) antara lain :

1. Krisis Hipertensi

Bila tekanan sistolik ≥ 180 mmHg dan atau diastolik ≥

120 mmHg atau setiap kenaikan tekanan darah yang

mendadak dan disertai gejala ensefalopati hipertensif, gagal

ginjal, gagal jantung, maupun retinopati. Krisis hipertensi

terbagi menjadi 2 keadaan, diantaranya :

 Hipertensi emergency

Merupakan peningkatan drastis tekanan darah

dengan gejala dan tanda kerusakan organ target (otak,

jantung, ginjal, mata, dsb) yang harus segera

diturunkan dalam hitungan menit menggunakan terapi

parenteral.

 Hipertensi urgency

Dimana peningkatan tekanan darah tanpa kerusakan

organ target sehingga penurunan bisa menggunakan

terapi oral agar tercapai dalam hitungan jam.

2. Hipertensi Pulmonal

Suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan

darah pada pembuluh darah arteri paru-paru yang

menyebabkan sesak nafas, pusing dan pingsan pada saat

melakukan aktivitas. Berdasarkan penyababnya hipertensi


11

pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang ditandai dengan

penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal

jantung kanan. Hipertensi pulmonal primer sering didapatkan

pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian

pertahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean

survival sampai timbulnya gejala penyakit sekitar 2-3 tahun.

3. Hipertensi pada kehamilan

Penyebab hipertensi pada kehamilan masih menjadi

perdebatan, namun diperkirakan faktor penyebab yang

penting adalah adanya implantasi plasenta yang invasive dan

abnormal padarahim, adanya reaksi imunologis yang keliru

terhadap adanya janin, serta adanya faktor genetic yang

diturunkan. Teori lain menyebutkan adanya kekurangan

asupan beberapa zat gizi dan adanya gangguan dalam

pembentukan prostaglandin, maupun zat yang mempengaruhi

kekakuan dari pembuluh darah.

Pada dasarnya terdapat 4 jenis hipertensi yang umumnya

terdapat pada saat kehamilan, yaitu :

a. Preeklamsia- eklamsia

Hipertensi yang diakibatkan kehamilan/ keracunan

kehamilan (selain tekanan darah yang meninggi, juga

didapatkan kelainan pada air kencingnya). Preeklamsi

adalah penyakit yang timbul dengan tanda – tanda


12

hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena

kehamilan.

b. Hipertensi kronik

Hipertensi yang sudah ada sejak sebelum ibu

mengandung..

c. Preeklamsia pada hipertensi kronik

Merupakan gabungan preeklamsia dengan hipertensi

kronik.

d. Hipertensi gestasional atau hipertensi yang sesaat

Penyebab hipertensi dalam kehamilan sebenarnya

belum jelas. Ada yang mengatakan bahwa hal

tersebut diakibatkan oleh kelainan pembuluh darah,

ada yang mengatakan karena faktor diet, tetapi ada

juga yang mengatakan disebabkan oleh faktor

keturunan, dan lain sebagainya.

4. Hipertensi maligna

Hipertensi maligna adalah tekanan darah yang sangat

tinggi, yang berkembang cepat dan menyebabkan beberapa

jenis kerusakan organ. Seseorang dengan hipertensi maligna

memiliki tekanan darah yang biasanya diatas 180/120.

Hipertensi maligna termasuk ke dalam darurat medis.

5. Hipertensi Retinopati
13

Terjadi kerusakan pembuluh darah pada jaringan peka

cahaya dibagian belakang mata. Hipertensi yang tidak

terkendali akan mempengaruhi arteriol (cabang arteri)

dimata, sehingga menyebabkan lesi.

Gambar 5. Hipertensi Retinopati

6. Hipertensi Ensefalopati

Ensefalopati hipertensi adalah sindrom klinik akut reversible

yang dicetuskan oleh kenaikan tekanan darah secara

mendadak sehingga melampaui batas autoregulasi otak. Hal

ini dapat terjadi normotensi yang tekanan darahnya

mendadak naik menjadi 160mmHg. Gejala klinis berupa


14

nyeri kepala hebat, mual, muntah, gangguan penglihatan,

pingsan sampai koma.

Gambar 6. Hipertensi Ensefalopati

7. Hipertensi pada penyakit ginjal

Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah

dan sebaliknya hipertensi dalam jangka waktu lama dapat

mengganggu ginal. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat

menjadi pennyakit ginjal akut maupun penyakitginjal kronik

baik pada kelainan glomerulus maupun pada kelainan

vaskular.

Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokan dalam :

1) Pada penyakit glomerulus akut :


15

(GN pasca streptokokkus, nefropati, membranosa)

Hipertensi terjadi oleh karena adanya retensi

natrium yang menyebabkan hipervolemi. Retensi

natrium terjadi akibat adanya peningkatan reabsorbsi

Na di duktus koligentes, peningkatan ini

dimungkinkan oleh karena adanya resistensi relative

terhadap hormone Natriuretik peptide dan

peningkatan aktivitas pompa Na-K-ATPasedi duktus

koligentes.

2) Pada penyakit vaskular : (Vaskulitis, Skleroderma)

Pada keadaan ini terjadi iskemi yang kemudian

merangsang sistem renin angiotensin aldosterone.

3) Pada penyakit ginjal kronik : CKD Stage III-V

Hipertensi oleh karena hal-hal berikut :

 Retensi Natrium

 Peningkatan sistem RAA akibat iskemi relatif

karena kerusakan regional

 Aktivitas saraf simpatis meningkat akibat

kerusakan ginjal

 Hiperparatiroid sekunder

 Pemberian eritopoetin.

4) Penyakit glomerulus kronik :

(Tekanan darah normal tinggi)


16

Tekanan darah yang ditemukan biasanya normal

tinggi dibandingkan dengan control normal. Sejak

ditemukan cara penentuan praktis kadar renin dan

angiotensin II di dalam plasma maka renin

angiotensin aldosterone (RAA) sistem diteliti secara

luas. Renin dihasilkan oleh sel-sel jukstaglomerulus

menjadi angiotensin I (AI). Kemudian AI oleh

pengaruh angiotensin converting enzyme (ACE) yang

dihasilkan oleh paru, hati dan ginjal dirubah menjadi

angiotensin II (AII). Sistem RAA adalah suatu sistem

hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks dan

berperan dalam hal naiknya tekanan darah,

pengaturan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit.

Sekresi renin oleh ginjal dipengaruhi oleh

 Mekanisme intrarenal : reseptor vascular,

macula densa,

 Mekanisme simpatoafrenergik

 Mekanisme humoral.

Selain sistem RAA ada juga sistem Kalikrein-Kinin

(KK) yang juga dapat menyebabkan naiknya tekanan

darah. Kalikrein akan merubah bradikininogen

menjadi bradikinin kemudian ACE akan merubah


17

Bradikinin menjadi fragmen inaktif yang dapat

meningkatkan tekanan darah.

8. Hipertensi Heart disease

Penyakit jantung hipertensi adalah kelainan yang

menunjukan akumulasi dari adaptasi fungsional dan

structural dari peningkatan tekanan darah.

Patogenesis dari penyakit jantung hipertensi adalah interaksi

yang kompleks dari faktor hemodinamik, structural,

neuroendokrin, seluler dan molecular. Disatu sisi faktor-

faktor ini berperan dalam perkembangan hipertensi dan

komplikasinya. Sementara di sisi lain peningkatan tekanan

darah juga mempengaruhi faktor-faktor tersebut. Peningkatan

tekanan darah akan menyebabkan perubahan struktur dan

fungsi jantung dengan 2 jalur : secara langsung melalui

peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui

interaksi neurohormonal dan vaskuler.


18

Gambar 7. Mekanisme hipertensi heart disease

2.1.6 Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya hipertensi dibagi menjadi dua yaitu dapat

dikontrol dan tidak dapat dikontrol.

A. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol

1. Usia
19

Tekanan darah cenderung meningkat dengan bertambahnya

usia. Pada laki-laki meningkat pada usia lebih dari 45 tahun

sedangkan pada wanita meningkat pada usia lebih dari 55 tahun.

Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah

menopause.

2. Jenis kelamin

Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia

dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah

umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita.

Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon estrogen

setelah menopause. Peran hormone estrogen adalah meningkatkan

kadar HDL yang merupakan faktor pelindung dalam pencegahan

terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan hormon

estrogen dianggap sebagai adanya imunitas wanita pada usia

premenopause. Pada premenopause, wanita mulai kehilangan

sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi

pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana

terjadi perubahan kuantitas hormone estrogen dengan umur

wanita secara alami. Umumnya, proses ini mulai terjadi pada

wanita umur 45-55 tahun.

3. Genetik/ Keturunan

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan

menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita


20

hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar

sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap

sodium individu. orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko

dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang

yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain

itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi dengan riwayat hipertensi

dalam keluarga. Yang mana seseorang akan memiliki

kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika

orang tuanya adalah penderita hipertensi.

B. Faktor resiko yang dapat dikontrol

1. Merokok

Fakta otentik menunjukan bahwa merokok dapat menyababkan

tekanan darah tinggi. Kebanyakan efek ini berkaitan dengan

kandungan nikotin. Asap rokok (CO) memiliki kemampuan untuk

menarik sel darah merah, lebih kuat dari kemampuan menarik

oksigen, sehingga dapat menurunkan kapasitas sel darah merah

pembawa oksigen kejantung dan jaringan lainnya.

2. Status gizi

Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa

merupakan masalah penting karena selain mempunyai resiko

terkena penyakit – penyakit tertentu juga dapat mempengaruhi

produktivitas kerja. Oleh sebab itu, pemantauan keadaan tersebut

perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah


21

dengan mempertahankan berat badan yang ideal atau normal.

Indeks Masa Tubuh (IMT) adalah salah satu cara untuk mengukur

status gizi seseorang. Seseorang dikatakan kegemukan atau obesitas

jika memiliki nilai IMT 25,0. Obesitas merupakan faktor resiko

munculnya berbagai penyakit degeneratif, seperti hipertensi,

penyakit jantung koroner dan diabetes mellitus.

3. Konsumsi natrium

Pengaruh asupan garam terhadap terjadinya hipertensi melalui

peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah.

Faktor lain yang ikut berperan yaitu system renin angiotensin yang

berperan penting dalam penganturan tekanan darah. Produksi renin

dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain stimulasi saraf

simpatis. Renin berperan dalam konversi angiotensin I menjadi

angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan sekresi aldosterone

yang mengakibatkan menyimpan garam dalam air. Keadaan ini

yang berperan padatimbulnya hipertensi.

4. Stres

Hubungan antara stress dan hipertensi di duga melalui aktivitas

saraf simpatis. Peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah

secara intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan

dapat mengakibatkan tekanan darah yang menetap tinggi.


22

2.1.7 Sirkulasi darah

Darah bersirkulasi dalam sistem sirkulasi sistemik dan sirkulasi

pulmonal.

 Sirkulasi sistemik

Sistem sirkulasi sistemik dimulai ketika darah yang

mengandung banyak oksigen yang berasal dari paru,

dipompa keluar oleh jantung melalui ventrikel kiri ke aorta,

selanjutnya ke seluruh tubuh melalui arteri – arteri hingga

mencapai pembuluh darah yang diameternya paling kecil

(kapiler).

Kapiler melakukan gerakan kontraksi dan relaksasi secara

bergantian, yang disebut vasomotion sehingga darah mengalir

secara intermiten. Dengan aliran yang demikian, terjadi

pertukaran zat melalui dinding kapiler yang hanya terdiri dari

selapis sel endotel. Ujung kapiler yang membawa darah

teroksigenasidisebut venule, terdapat hubungan antara

arteriole dan venule “capillary bed” yang berbentuk seperti

anyaman, ada juga hubungan langsung dari arteriol ke venule

melalui arteri-vena anastomosis. Darah dari arteriol mengalir

ke venule, kemudian sampai ke vena besar (v.cava superior

dan v.cava inferior) dan kembali ke jantung kanan (atrium

kanan). Darah dari atrium kanan selanjutnya memasuki

ventrikel kanan melalui katup trikuspidalis.


23

Gambar 8. Sirkulasi Sistemik.

 Sirkulasi pulmonal

Sistem sirkulasi pulmonal dimulai ketika darah yang

terdeoksigenasi yang berasal dari seluruh tubuh, yang

dialirkan melalui vena cava superior dan vena cava inferior

kemudian ke atrium kanan dan selanjutnya ke ventrikel

kanan, meninggalkan jantung kanan melalui arteri pulmonalis

menuju paru- paru (kanan dan kiri). Di dalam paru, darah

mengalir ke kapiler paru dimana terjadi pertukaran zat dan

cairan, sehingga menghasilkan darah yang teroksigenasi.


24

Oksigen diambil dari udara pernapasan. Darah yang

teroksigenasi ini kemudian dialirkan melalui vena pulmonalis

(kanan dan kiri), menuju ke atrium kiri dan selanjutnya

memasuki ventrikel kiri melalui katup mitral (bikuspidalis).

Darah dari ventrikel kiri kemudian masuk ke aorta untuk

dialirkan ke seluruh tubuh (dan dimulai lagi sirkulasi

sistemik).

Gambar 9. Sirkulasi Pulmonal.

Jadi secara ringkas, aliran darah dalam sistem sirkulasi

normal manusia adalah :

Darah dari atrium kiri → melalui katup mitral ke ventrikel

kiri → aorta ascendens - arcus aorta – aorta descenden –

arteri sedang – arteriol → capillary bed → venule – vena


25

sedang – vena besar (v. cava superior dan v. cava inferior) →

atrium kanan → melalui katup trikuspidalis ke ventrikel

kanan → arteri pulmonalis → paru-paru → vena pulmonalis

→ atrium kiri.

2.1.8 Patogenesis

Gambar 10. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah

terletak di pusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini

bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis


26

dan keluar ke kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di thoraks dan

abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls

yang bergerak kebawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis.

Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan

merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana

dengan dilepaskannya norepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh

darah.

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat

mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriksi.

Individu dengan hipertensi sangat sensitive terhadap norepineprin,

meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang

pembuluh darah sebaai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga

terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medulla

adrenal mensekresi epineprin, yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks

adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat

respon vasokontrikor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan

penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin

merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian di ubah menjadi

angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat, yang pada gilirannya

merangsang sekresi aldosterone oleh korteks adrenal. Hormone ini

menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, dan


27

menyebabkan peningkatan volumeintra vaskuler. Semua faktor ini

cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.

Gambar 11. Patogenesis Hipertensi

2.1.9 Gejala Klinis

Pasien hipertensi biasanya tidak menunjukan gejala spesifik

sehingga untuk mengetahui kenaikan tekanan darahnya harus dilakukan

pemeriksaan tekanan darah (Kurt, 2000 ; Sari 2011). Gejala umum yang

dapat terjadi pada penderita hipertensi yaitu :

 Pusing
28

 Muka merah

 Sakit kepala

 Keluar darah dari hidung secara tiba - tiba

 Tengkuk terasa pegal

 Mudah marah

 Telinga berdengung

 Sulit tidur

 Mudah lelah

 Mata berkunang – kunang

Menurut Smeltzer & Bare (2001) menjelaskan bahwa karena adanya

kerusakan / gangguan vaskuler maka gejala hiperteensi akan muncul

dengan manifestasi yang khas sesuai dengan sistem yang divaskularisasi.

2.1.10 Diagnosis

Penyakit hipertensi dapat didiagnosis melalui beberapa tahapan

pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menetapkan terapi yang tepat

atau mengetahui tatalaksana terapi yang akan diambil. Diagnosis

hipertensi dengan pemeriksaan fisik yang paling akurat adalah

menggunakan Sphygmomanometer air raksa. Pengukuran tensi dilakukan

dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk di atas meja dengan

posisi telapak tangan menghadap ke atas dan posisi lengan sebaiknya

setinggi jantung. Pengukuran dilakukan dalam keadaan tenang.


29

Penegakan diagnosis hipertensi perlu dilakukan tiga kali

pengukuran tekanan darah selama tiga kali kunjungan terpisah, dengan 2-3

kali pengukuran dalam satu kunjungan. Diagnosis hipertensi primer dapat

dilakukan dengan beberapa cara meliputi :

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan fisik lengkap, terutama pemeriksaan tekanan

darah

3. Pemeriksaan penunjang meliputi tes urinalisis, pemeriksaan

kimia darah (untuk mengetahuikadar potassium, sodium,

creatinin, HDL, LDL, Glukosa)

4. Pemeriksaan EKG

2.1.11 Penatalaksanaan

Apabila diagnosis hipertensi telah ditegakan, maka pengobatan dapat

dimulai dengan terapi non-farmakologik. Tujuan penatalaksanaan

hipertensi adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular,

mencegah kerusakan organ, dan mencapai target tekanan darah < 130/80

mmHg dan 140/90 mmHg untuk individu beresiko tinggi dengan diabetes

atau gagal ginjal.

Terapi non farmakologi yang berperan dalam keberhasilan

penanganan hipertensi adalah dengan memodifikasi gaya hidup.

Modifikasi gaya hidup yang dianjurkan dalam penanganan hipertensi

antara lain :
30

 Mengurangi berat badan bila terdapat kelebihan (BMI ≥27)

 Diet rendah kalori dianjurkan bagi orang dengan kelebihan

berat badan atau obesitas yang beresiko menderita hipertensi

 Olah raga dan aktivitas fisik

 Mengurangi asupan garam

 Diet rendah lemak

 Diet tinggi serat

 Berhenti merokok

 Tidak minum alkohol/ minuman keras

 Istirahat yang cukup

 Meningkatkan konsumsi buah dan sayur

Terapi farmakologi dapat menurunkan tekanan darah dengan

beberapa obat seperti angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI),

angiotensin receptor blocker (ARB), b-blocker, calcium channel blockers

(CCB) dan tiazid tipe diuretic akan mengurangi komplikasi yang

disebabkan hipertensi. Pengobatan dengan menggunakan antihipertensi

harus selalu dimulai dengan dosis rendah agar tekanan darah tidak

menurun secara drastis dan mendadak, setelah itu dinaikan secara bertahap

sesuai dengan umur, kebutuhan, dan usia sampai tercapai efek yang

optimal. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa

kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian

sekali sehari, pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat
31

antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal

dan ada atau tidaknya komplikasi.

Contoh obat anti hipertensi :

a. Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air, dan

klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan

ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan

tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretika

juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek

hipotensinya. Diuretik terdiri atas 3 golongan yaitu : Thiazid,

loop diuretik, dan diuretik hemat kalium.

 Thiazide

Diuretik thiazide merupakan obat diuretik yang

bekerja dengan cara mengurangi penyerapan natrium

dalam ginjal, sehingga meningkatkan produksi urin.

Selain itu thiazide dapat melebarkan pembuluh darah

sehingga lebih efektif dalam menurunkan tekanan

darah. Diuretik thiazide ini bekerja pada bagian awal

tubulus distal (nefron). Obat ini menurunkan

reabsorpsi natrium dan klorida, yang meningkatkan

ekskresi air, natrium, dan klorida. Selain itu kalium

hilang dan kalsium ditahan.


32

Diuretik jenis thiazide ini merupakan obat yang

dianjurkan sebagai lini pertama dalam mengatasi

hipertensi. Contoh obat jenis thiazide adalah :

cholrthalidone, hydrochlorothiazide, dan indapamide.

Golongan thiazide yang paling sering digunakan

adalah Hydrochlorothiazide (HCT)

1. Farmakodinamik

Efek farmakodinamik tiazid yang utama

adalah meningkatkan ekskresi natrium, klorida

dan sejumlah air. Efek natriuresis dan kloruresis

ini disebabkan oleh penghambatan reabsorbsi

elektrolit pada hulu tubuli distal. Pada penderita

hipertensi, thiazide menurunkan tekanan darah

bukan saja karena efek diuretiknya, tetapi juga

karena efek langsung terhadap arteriol sehingga

terjadi vasodilatasi.

2. Mekanisme kerja

Bekerja pada tubulus distal untuk menurunkan

reabsorpsi Na+ dengan menghambat

kontransporter Na+/Cl pada membran lumen.

3. Farmakokinetik

Absorbsi tiazid melalui saluran cerna baik

sekali. Umumnya efek obat tampak setelah 1 jam


33

setelah di distribusikan ke seluruh ruang ekstrasel

dan dapat melewati sawar uri. Dengan proses

aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubuli proksimal

ke dalam cairan tubuli. Biasanya dalam 3-6 jam

sudah diekskresi dari badan.

 Loop Diuretik

Memiliki mula kerja yang lebih cepat dan efek

diuretiknya lebih kuat dibandingkan golongan

thiazid. Obat ini cepat sekali menguras cairan tubuh

dan elektrolit, sehingga tidak dianjurkan sebagai obat

antihipertensi kecuali pada pasien hipertensi yang

juga menderita retensi cairan yang berat. Obat yang

termasuk dalam kelompok loop diuretik adalah Asam

etakrinat, Furosemid dan bumetanid. Contoh loop

diuretik yang sering digunakan adalah Furosemide.

1. Mekanisme kerja

Loop diuretik bekerja pada ansa henle bagian

ascenden pada bagian dengan epitel tebal dengan

cara menghambat kontranspor Na+/K+/Cl dari

membran lumen pada pars ascenden ansa henle,

karena itu reabsorpsi Na+/K+/Cl menurun.


34

2. Farmakokinetik

Ketiga obat mudah diserap melalui saluran

cerna, dengan derajat yang berbeda-beda.

Bioavabilitas furosemide 65% sedangkan

bumetanid hampir 100%. Loop diuretik terikat

pada protein plasma secara ekstensif, sehingga

tidak difiltrasi di glomerulus tetapi cepat sekali

disekresi melalui system transport asam organic

ditubuli proksimal.

Kira kira 2/3 dari asam etakrinat yang diberikan

secara IV diekskresi melalui ginjal dalam bentuk

utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa

sulfhidrilterutama sistein dan N-asetil sistein.

Sebagian lagi diekskresi melalui hati. Sebagian

besar furosemide diekskresi dengan cara yang

sama, hanya sebagian kecil dalam bentuk

glukuronid. Kira kira 50% bumetanid diekskresi

dalam bentuk asal, selebihnya sebagai metabolit.

 Diuretik Hemat Kalium

Diuretik yang mempertahankan kalium

menyebabkan diuresis tanpa kehilangan kalium

dalam urine. Salah satu contoh diuretic hemat kalium

yang sering digunakan adalah : Spironolakton.


35

Spironolakton merupakan antagonis aldosteron.

Aldosteron merupakan mineralokortikoid endogen

yang paling kuat. Peranan utama aldosterone ialah

memperbesar reabsorbsi natrium dan klorida ditubuli

serta memperbesar ekskresi kalium. Spironolakton

bersaing dengan reseptor tubularnya yang terletak di

nefron sehingga mengakibatkan retensi kalium dan

peningkatan ekskresi air serta natrium. Spironolakton

adalah diuretik lemah dan penggunaan nya biasanya

dikombinasikan dengan diuretik lain (HCT atau

Furosemid) untuk mencegah hipokalemia.

1. Mekanisme kerja

Penghambatan kompetitif terhadap aldosterone.

Bekerja ditubulus renalis rektus untuk

menghambat reabsorpsi Na+, sekresi K+ dan

ekresi H+.

2. Farmakokinetik

70 % spironolakton oral diserap di saluran cerna,

mengalami sirkulasi enterohepatik dan

metabolisme lintas pertama.

b. ACE Inhibitor

ACE inhibitor bekerja menghambat perubahan angiotensin

1 menjadi angiotensin 2 sehingga terjadi vasodilatasi dan


36

penurunan sekresi aldosteron. Vasodilatasi secara langsung

akan menurunkan tekanan darah sedangkan berkurangnya

aldosteron akan menyebabkan ekskresi air natrium dan

retensi kalium.

Contoh obat ACE inhibitor : Captopril, Enalapril, Linisopril,

Ramipril, Imidapril.

c. ARB (Angiotensin Reseptor Blocker)

Mekanisme kerja ARB adalah memblokade reseptor AT1

sehingga menyebabkan vasodilatasi, peningkatan ekskresi Na

dan cairan (mengurangi volume plasma), menurunkan

hipertrofi vascular. ARB memiliki efek yang mirip dengan

ACE Inhibitor. Perbedaannya adalah ARB tidak

mempengaruhi metabolisme bradikinin sehingga ARB

dilaporkan tidak memiliki efek samping batuk kering dan

angioedema seperti yang sering terjadi dengan ACE

Inhibitor.

d. Calsium Channel Blocker

CCB adalah sekumpulan obat yang berbeda dalam struktur

kimia, sifat farmakologi dan efek terapeutik, namun memiliki

efek yang sama yaitu memblokade kanal kalsiumpada

membrane sehingga menghambat kalsium masuk ke dalam

sel. Kalsium merupakan zat yang tersebar di seluruh tubuh


37

dan merupakan intracellular messenger untuk menjembatani

suatu rangsangan menjadi respon. Sebuah sel dapat

berkontraksi apabila terjadi peningkatan kalsium intra sel.

Jika tidak ada kalsium, maka sel kontraktil seperti miokard

dan sel otot polos pembuluh darah tidak dapat berkontraksi.

Pada penyakit aterosklerotik seperti hipertensi, PJK, DM,

homeostasis kalsium intrasel terganggu sehingga pembuluh

darah menjadi sangat sensitive terhadap substansi vasoaktif

dan cenderung berkontraksi. Hal ini akan menyebabkan

resistensi perifer bertambah dan tekanan darah meningkat.

Pemberian CCB akan menghambat kalsium masuk ke

dalam sel sehingga salah satu efeknya adalah menyebabkan

vasodilatasi, memperlambat lajujantung, dan menurunkan

kontraktilitas miokard sehingga menurunkan tekanan darah.

CCB memiliki indikasi utama sebagai anti hipertensi. Selain

it, CCB yang memblokade kanal kalsium di jantung juga

digunakan sebagai obat anti aritmia.

e. Beta Blocker

Bekerja untuk menghambat stimulasi reseptor beta,

diantaranya menghambat stimulasi reseptor beta pada otak

dan perifer akan memacu pelepasan neurotransmiter yang

akan meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi

reseptor beta -1 pada nodus sino atrial dan mio kardiak


38

meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi

reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan pelepasan renin

dan menigkatkan aktivitassistem renin angiotensin

aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output,

peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang

diperantarai aldosterone dan retensi air.

Beta bloker terdiri atas 2 jenis yaitu :

1. Kardioselektif (afinitas lebih tinggi terhadap reseptor

beta- 1 dari pada beta- 2)

Contoh : Bisoprolol, Atenolol, Metoprolol, Acebutolol

2. Nonselektif (memiliki afinitas yang sama terhadap

reseptor beta- 1 dan beta- 2)

Contoh : Propanolol, Carvedilol, Timolol, Labetolol,

Alprenolol, Karteolol, Nadolol, Oksprenolol.


39

Gambar 12. Tatalaksana hipertensi menurut JNC 7

2.1.12 Komplikasi

Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan

berbahaya sehingga menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat

menyerang berbagai target organ tubuh yaitu otak, mata, jantung,

pembuluh darah arteri, serta ginjal. Sebagai dampak terjadinya komplikasi


40

hipertensi, kualitas hidup penderita menjadi rendah dan kemungkinan

terburuknya adalah terjadinya kematian pada penderita akibat komplikasi

hipertensi yang dimilikinya. Kerusakan organ-organ yang umum ditemui

pada pasien hipertensi adalah :

1) Jantung

 Penyakit jantung hipertensi

 Infark miokard

 Gagal jantung

 Kardiomiopati
41

2) Otak

 Stroke hemoragik /perdarahan

 Stroke non hemoragik

3) Ginjal

 Nefropati

 Penyakit ginjal kronik


42

4) Penyakit arteri perifer (Arteriosklerosis, Aneurisma)


43

5) Retinopati

2.1.13 Prognosis

Usia, ras, jenis kelamin, kebiasaan mengkonsumsi alkohol,

hiperkolesterolemia, intoleransi glukosa dan berat badan, semuanya

mempengaruhi prognosis dari penyakit hipertensi pada lansia. Semakin

muda seseorang terdiagnosis hipertensi pertama kali, maka semakin buruk

perjalanan penyakitnya apalagi bila tidak ditangani. Penatalaksanaan dan

derajat hipertensi juga mempengaruhi prognosisnya. (Fauci As et al, 1998)

2.1.14 Pencagahan

Pencegahan pada hipertensi

 Mengurangi berat badan bila terdapat kelebihan (BMI ≥27)


44

 Diet rendah kalori dianjurkan bagi orang dengan kelebihan

berat badan atau obesitas yang beresiko menderita hipertensi

 Olah raga dan aktivitas fisik

 Fisoterapi pikiran

 Mengurangi asupan garam

 Diet rendah lemak

 Diet tinggi serat

 Berhenti merokok

 Tidak minum alkohol/ minuman keras

 Istirahat yang cukup

 Meningkatkan konsumsi buah dan sayur


45

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg

dan atau diastolik ≥ 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang

waktu 5menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang). Hipertensi

didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and

Treartment of High Blood Pressure sebagai tekanan darah yang lebih

tinggi dari 140 / 90 mmHg.

Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling umum

ditemukan. Menurut American Heart Association (AHA), penduduk

Amerika yang berusia diatas 20 tahun menderita hipertensi telah mencapai

angka 74,5 juta jiwa, namun hampir sekitar 90 - 95% kasus tidak diketahui

penyebabnya (Kemenkes RI, 2014). Diperkirakan sekitar 80% kenaikan

kasus hipertensi terutama terjadi di Negara berkembang pada tahun 2025,

dari jumlah 639 juta kasus di tahun 2000. Jumlah ini diperkirakan

meningkat menjadi 1,15 miliar kasus di tahun 2025 (Ardiansyah, 2012).

Menurut NHBI (National Heart, Lung, and Blood Institute) 1 dari

3 pasien menderita hipertensi. Hipertensi juga merupakan faktor resiko

infark miokard, stroke, gagal ginjal akut, dan juga kematian. Riset

Kesehatan Dasar / RISKESDAS tahun 2013 menunjukan bahwa

prevalensi hipertensi di Indonesia adalah sebesar 26,5%.

45
46

Penyebab hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

 Hipertensi Primer (Hipertensi Essensial)

Merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya

dan ada kemungkinan karena faktor keturunan atau genetic

(90%).

 Hipertensi Sekunder

Yaitu hipertensi yang merupakan akibat dari adanya penyakit

lain

Faktor resiko terjadinya hipertensi dibagi menjadi dua yaitu dapat

dikontrol dan tidak dapat dikontrol.

 Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol

1) Usia

2) Jenis kelamin

3) Genetic

 Faktor resiko yang dapat dikontrol

1) Merokok

2) Status gizi

3) Konsumsi Natrium

4) Stress

Penatalaksanaan Hipertensi Meliputi : Terapi non farmakologi yang

berperan dalam keberhasilan penanganan hipertensi adalah dengan

memodifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup yang dianjurkan dalam

penanganan hipertensi antara lain :


47

 Mengurangi berat badan bila terdapat kelebihan (BMI ≥27)

 Diet rendah kalori dianjurkan bagi orang dengan kelebihan

berat badan atau obesitas yang beresiko menderita hipertensi

 Olah raga dan aktivitas fisik

 Mengurangi asupan garam

 Diet rendah lemak

 Diet tinggi serat

 Berhenti merokok

 Tidak minum alkohol/ minuman keras

 Istirahat yang cukup

 Meningkatkan konsumsi buah dan sayur

Terapi farmakologi dapat menurunkan tekanan darah dengan

beberapa obat seperti angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI),

angiotensin receptor blocker (ARB), b-blocker, calcium channel blockers

(CCB) dan tiazid tipe diuretic akan mengurangi komplikasi yang

disebabkan hipertnsi. Pengobatan dengan menggunakan antihipertensi

harus selalu dimulai dengan dosis rendah agar tekanan darah tidak

menurun secara drastis dan mendadak, setelah itu dinaikan secara bertahap

sesuai dengan umur, kebutuhan, dan usia sampai tercapai efek yang

optimal.

Komplikasi yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah

1.Jantung : Penyakit jantung, hipertensi, Infark miokard, Gagal jantung,


48

kardiomiopati 2. Otak : Stroke hemoragik /perdarahan, Stroke non

hemoragik 3. Ginjal : Nefropati, Penyakit ginjal kronik, 4. Penyakit arteri

perifer, 5. Retinopati.

Prognosis Hipertensi Usia, ras, jenis kelamin, kebiasaan

mengkonsumsi alkohol, hiperkolesterolemia, intoleransi glukosa dan berat

badan, semuanya mempengaruhi prognosis dari penyakit hipertensi pada

lansia. Semakin muda seseorang terdiagnosis hipertensi pertama kali,

maka semakin buruk perjalanan penyakitnya apalagi bila tidak ditangani.

Penatalaksanaan dan derajat hipertensi juga mempengaruhi prognosisnya.

(Fauci As et al, 1998)


49

DAFTAR PUSTAKA

Fauci AS, Brauwald E. Isselbacher KJ et Al. 2012. Harrison : Prinsip – Prinsip

Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta. EGC: Hal 135 - 145.

Diana Rianti Fitri. 2012. Dalam : Diagnose Enforcement And Treatment Of High

Blood Pressure. Bandar Lampung : Jurnal Medical Science. Hal 47-51

Kartika Sari. 2011. Faktor Resiko Hipertensi Pada Masyarakat Desa Kabongan

Kidul, Fakultas Kedokteran Diponegoro. Semarang : Hal 28-30. 47. 51-55

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. 2009. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi 5. Jakarta Hal 1079- 1085

Kurniadi H. NurrahmaniU 2013. Stop Diabetes Hipertensi Kolesterol tinggi

Jantung koroner. Yogyakarta. Famillia : Hal 374 - 380

Marliani. 2007. Hipertensi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama : Hal 59 - 146

Riskesdas. 2013. Hasil Riset Kesehatan Dasar . Badan Penelitian Dan

Pengembangan Kesehatan RI. Jakarta.

Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Chusman WC, Green LA, Izzo JL et al.

2003. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment Of High Blood Pressure : The JNC

7 Report. JAMA

Departemen Kesehatan RI. 2007. Hasil Laporan Riset Kesehatan Indonesia.

Jakarta

Beevers. D. G 2002. Penyakit Tekanan Darah Tinggi. Jakata : EGC Hal 85 – 97


50

Michael, Devita, Santa Lin M, Wurry Devian P. et al. 2014. Tatalaksana Terkini

Pada Hipertensi : Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida

Wacana. Hal 36 – 46

Brasher VI. 2015. AplikasiKlinis Patofisiologi Pemeriksaan Dan Manajemen.

Jakarta. EGC Hal 1-7

Lubre E, Chifkova R, Cruicshank JK, Dillon MJ, Ferreira I Invitti C et al. 2009.

Management Of High Blood Pressure in Children andAdolescent :

Recommentdation Of The Europan Society of Hypertension.

Aronow WS, Fleg Jl, Pepine CJ, Artinian Nt, Bakris G, Brown AS et al. 2011.

Expert Consensus Document Hypertension In the Elderly : A Report of the

American College of Cardiology Foundation Task Force on Clinical

Expert Consenssus Document.

Anda mungkin juga menyukai