NIM : 04011181520007
Kelas : Beta 2015
LEARNING ISSUE
b. Klasifikasi BBLR
World Health Organization (WHO) 1979, telah membagi umur kehamilan
menjadi tiga kelompok sebagai berikut:
1. Preterm, yaitu kurang dari 37 minggu (259 hari).
2. Term, yaitu mulai 37 minggu sampai 42 minggu atau umur antara 259-293
hari.
3. Posterm, yaitu lebih dari 42 minggu (294 hari).
Ternyata bahwa ciri bentuk bayi dengan berat badan lahir rendah dapat
dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Small for gestation age (SGA) atau kecil untuk masa kehamilan (KMK).
2. Umur hamil kurang 37 minggu, sesuai masa kehamilan (SMK).
c. Etiologi
Menurut Maryunani (2009), penyebab bayi dengan berat badan lahir rendah
kurang bulan (NKB-KMK) antara lain disebabkan oleh:
1. Berat badan ibu yang rendah
2. Ibu hamil yang masih remaja
3. Kehamilan kembar
4. Ibu pernah melahirkan bayi prematur/berat badan rendah sebelumnya
5. Ibu dengan inkompeten serviks (mulut rahim yang lemah sehingga tidak
mampu menahan berat bayi dalam rahim)
6. Ibu hamil yang sedang sakit
7. Tidak diketahui penyebabnya
Sedangkan bayi lahir cukup bulan tetap memiliki berat badan kurang (NCB- KMK)
antara lain disebabkan oleh:
1. Ibu hamil dengan gizi buruk/kekurangan nutrisi
2. Ibu dengan penyakit hipertensi, preeklampsia, anemia
3. Ibu menderita penyakit kronis (penyakit jantung sianosis), infeksi (infeksi
saluran kemih), malaria kronik
4. Ibu hamil yang merokok dan penyalahgunaan obat
d. Epidemiologi
Menurut WHO, 2010 prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) diperkirakan
15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 3,3%-38% dan lebih sering
terjadi di negara-negara berkembang atau sosio-ekonomi rendah. Secara statistik
menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka
kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir lebih dari
2500 gram.
Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa kejadian
BBLR di Indonesia memiliki prevalensi sebesar 10,2%. Persentase BBLR tertinggi
terdapat di provinsi Sulawesi Tengah (16,8%) dan terendah di Sumatera Utara
(7,2%).
Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2013 menunjukkan
kabupaten/kota dengan presentase BBLR tertinggi adalah Kabupaten Nias Barat
sebesar 24,00% dan presentase terendah adalah Kota Padang Sidempuan, Kota
Gunungsitoli, dan Kabupaten Nias Utara sebesar 0%. Kota Medan sendiri memiliki
presentase sebesar 0,30%.
f. Patogenesis
Bayi lahir prematur yang BBLR-nya sesuai dengan umur kehamilan pretermnya
biasanya dihubungkan dengan keadaan medis dimana terdapat ketidakmampuan
uterus untuk mempertahankan janin (inkompeten cervix/premature dilatation),
gangguan pada perjalanan kehamilan, pelepasan plasenta, atau rangsangan
tidak pasti yang menimbulkan kontraksi efektif pada uterus sebelum kehamilan
mencapai umur cukup bulan (Wiknyosastro, 2007).
Dismaturitas dihubungkan dengan keadaan medik yang mengganggu sirkulasi
dan efisiensi plasenta, pertumbuhan dan perkembangan janin, atau kesehatan umum
dan nutrisi ibu. Dismaturitas merupakan respon janin normal terhadap kehilangan
nutrisi atau oksigen sehingga masalahnya bukan pada dismaturitasnya tetapi pada
resiko malnutrisi dan hipoksia yang terus menerus. Serupa halnya dengan beberapa
kelahiran preterm yang menandakan perlunya persalinan cepat karena lingkungan
intrauteri berpotensi merugikan (Wiknyosastro, 2007).
h. Penatalaksanaan BBLR
a) Secara umum, menurut Rukiyah, dkk (2010) perawatan pada bayi berat
lahir rendah (BBLR) adalah:
1) Mempertahankan suhu tubuh dengan ketat. BBLR mudah mengalami
hipotermi, oleh sebab itu suhu tubuh bayi harus dipertahankan dengan
ketat.
2) Mencegah infeksi dengan ketat. BBLR sangat rentan dengan infeksi,
memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan infeksi termasuk mencuci
tangan sebelum memegang bayi.
3) Pengawasan nutrisi (ASI). Refleks menelan BBLR belum sempurna,
oleh sebab itu pemberian nutrisi dilakukan dengan cermat.
4) Penimbangan ketat. Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi
bayi dan erat kaitannya dengan daya tahan tubuh, oleh sebab itu
penimbangan dilakukan dengan ketat.
5) Kain yang basah secepatnya diganti dengan kain yang kering dan
bersih, pertahankan suhu tubuh tetap hangat.
6) Kepala bayi ditutup topi, beri oksigen bila perlu.
7) Tali pusat dalam keadaan bersih.
8) Beri minum dengan sonde/tetes dengan pemberian ASI.
b) Bayi Berat Lahir Sangat rendah (BBLSR) atau Prematur Kecil
- Pastikan bayi terjaga tetap hangat, bungkus bayi dengan kain kering yang
hangat dan pakai topi untuk mencegah kehilangan panas.
- Jika pada riwayat ibu terdapat kemungkinan infeksi bakteri, beri dosis
pertama antibiotic : Gentamicin 4 Mg/Kg BB IM di tambah
Ampicilin 100 Mg/Kg BB IM atau Benzin penicillin.
- Jika terdapat sianosis atau sukar bernafas beri oksigen lewat kateter
hidung.
1) Dukungan respirasi
Tujuan primer dalam asuhan bayi resiko tinggi adalah mencapai dan
mempertahankan respirasi. Banyak bayi memerlukan oksigen suplemen dan
bantuan ventilasi. Bayi dengan atau tanpa penanganan suportif ini
diposisikan untuk memaksimalkan oksigenasi karena pada BBLR beresiko
mengalami defisiensi surfaktan dan periadik apneu. Dalam kondisi seperti
ini diperlukan pembersihan jalan nafas, merangsang pernafasan, diposisikan
miring untuk mencegah aspirasi, posisikan tertelungkup jika mungkin
karena posisi ini menghasilkan oksigenasi yang lebih baik, terapi oksigen
diberikan berdasarkan kebutuhan dan penyakit bayi. Pemberian oksigen
100% dapat memberikan efek edema paru dan retinopathy of prematurity.
2) Termoregulasi
Kebutuhan yang paling krusial pada BBLR setelah tercapainya respirasi
adalah pemberian kehangatan eksternal. Pencegahan kehilangan panas pada
bayi distress sangat dibutuhkan karena produksi panas merupakan proses
kompleks yang melibatkan sistem kardiovaskular, neurologis, dan metabolik.
Bayi harus dirawat dalam suhu lingkungan yang netral yaitu suhu yang
diperlukan untuk konsumsi oksigen dan pengeluaran kalori minimal.
Menurut Thomas (1994) suhu aksilar optimal bagi bayi dalam kisaran
36,5°C – 37,5°C, sedangkan menurut Sauer dan Visser (1984) suhu netral
bagi bayi adalah 36,7°C – 37,3°C.
B. Respiratory Distress
a. Definisi
Hyaline Membrane Disease (HMD) atau Penyakit Membran Hyalin disebut
juga Respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1,
yaitu gawat napas pada bayi preterm yang terjadi segera atau beberapa saat setelah
lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung, grunting, tipe
pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi
progresif dalam 48 – 96 jam pertama kehidupan. Penyebabnya adalah kurangnya
surfaktan. Gagal nafas dapat didiagnosa dengan analisis gas darah. Edema sering
didapatkan pada hari ke-2, disebabkan oleh retensi cairan dan kebocoran
kapiler.Diagnosa dapat dikonfirmasi dengan foto rontgen.Pada pemeriksaan
radiologist ditemukan pola retikulogranuler yang uniform, gambaranground glass
appearance dan air bronchogram.Namun gambaran ini bukan patognomonik RDS.
b. Insidensi
Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia
kehamilan 37 minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi
caesar, kelahiran yang dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu
mengalami HMD. Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang
menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan
pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang menimbulkan stress pada
fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya infeksi kongenital
kronik.
Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit
putih. Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan
produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II.
c. Etiologi
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi
surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda
usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS.
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur,
asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria.Surfaktan biasanya didapatkan
pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap
berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih
belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan
mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan
akan bertambah berat.
Kegagalan mengembangkan functional residual capacity (FRC) dan
kecenderungan dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan
dengan tingginya tegangan permukaan dan absennya phosphatydilglycerol,
phosphatydilinositol, phosphatydilserin, phosphatydilethanolamine dan
sphingomyelin.
Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia,
hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia, hipotensi dan
stress dingin; menghambat pembentukan surfaktan.Epitel yang melapisi paru-paru
juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi,
mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan.
d. Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan
oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang
sempurna kerana dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna.
Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru
menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya
pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi
berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi
yang menyebabkan asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli
tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan
berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan
pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang
luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti
dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II.
Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi
surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma
dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel
jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang
berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu
setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk
pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi
yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu
dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).
e. Manifestasi Klinis
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan
kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam
alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul yaitu :
adanya sesak nafas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan
takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada,
dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir.
Tabel 3. Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe :
0 1 2
Frekuensi < 60x/menit 60-80 x/menit >80x/menit
Nafas
Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat
retraksi
Sianosis Tidak Sianosis hilang dengan O2 Sianosis menetap walaupun
sianosis diberi O2
Air Entry Udara masuk Penurunan ringan udara
masuk
Merintih Tidak Dapat didengar dengan Dapat didengar tanpa alat bantu
merintih stetoskop
Skor < 4 gangguan pernafasan ringan
Skor 4 – 6 gangguan pernafasan sedang
Skor > 7 Ancaman gagal nafas
(pemeriksaan gas darah harus dilakukan)
Tabel 4. Klasifikasi Gangguan Nafas
Frekuensi nafas Merintih saat ekspirasi Retraksi dinding dada Klasifikasi
(Pernafasan/menit)
60-90 - Ringan
60-90 + Sedang
>90 - Sedang
>90 + Berat
1) Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada
waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the
Newborn” (TTN).Terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi
tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun
demikian, pada beberapa kasus.Gangguan napas ringan merupakan tanda awal
dari infeksi sistemik.
2) Gangguan nafas sedang
Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak
dapat diberikan O2 4-5 liter/menit dengan sungkup.Bayi jangan diberi
minum.Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin)
untuk terapi kemungkinan besar sepsis.
Suhu aksiler <> 39˚C
Air ketuban bercampur mekonium
Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah
dini (> 18 jam)
3) Gangguan nafas berat
Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya. Bila dalam
pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya.Terapi
untuk kemungkinan kesar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan
segera dirujuk di rumah sakit rujukan.Berikan ASI bila bayi mampu mengisap.
Bila tidak berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu cara alternatif
pemberian minuman. Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada
perbaikan gangguan napas.Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara
30-60 kali/menit.
f. Terapi
Terapi terutama ditujukan pada pertukaran O2 dan CO2 yang tidak adekuat di
paru-paru, asidosis metabolik dan kegagalan sirkulasi adalah manifestasi
sekunder. Beratnya HMD akan berkurang bila dilakukan penanganan dini pada bayi
BBLR, terutama terapi asidosis, hipoksia, hipotensi dan hipotermia.
a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan
bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
Pantau selalu tanda vital
Jaga kepatenan jalan nafas
Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang
d. Segera periksa kadar gula darah
e. Pemberian nutrisi adekuat
Kebanyakan kasus HMD bersifat self-limiting, jadi tujuan terapi adalah untuk
meminimalkan kelainan fisiologis dan masalah iatrogenik yang
memperberat.Penanganan sebaiknya dilakukan di NICU.
g. Pencegahan
Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi pada
bayi resiko tinggi adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur, mencegah tindakan
seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis, melaksanakan manajemen
yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran bayi resiko tinggi.
Tindakan yang efektif untuk mencegah RDS adalah:
Mencegah kelahiran < bulan (premature).
Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis.
Management yang tepat.
Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM.
Optimalisasi kesehatan ibu hamil.
Kortikosteroid pada kehamilan kurang bulan yang mengancam.
Obat-obat tocolysis (β-agonist : terbutalin, salbutamol) relaksasi uterus Contoh
: Salbutamol (ex: Ventolin Obstetric injection) 5mg/5 ml (utk asma: 5 mg/ml)
Untuk relaksasi uterus : 5 mg salbutamol dilarutkan dalam infus 500 ml
dekstrose/NaCl diberikan i.v (infus) dgn kecepatan 10 – 50 μg/menit dgn
monitoring cardial effect. Jika detak jantung ibu > 140/menit kecepatan
diturunkan atau obat dihentikan
Steroid (betametason 12 mg sehari untuk 2x pemberian, deksametason 5 mg
setiap 12 jam untuk 4 x pemberian)
Cek kematangan paru (lewat cairan amniotic pengukuran rasio
lesitin/spingomielin: > 2 dinyatakan mature lung function).
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. 2004. Neonatology: Management, Procedures,
On-call Problems, Diseases and drugs, Lange Medical Books/McGraw-Hill, 5 th Edition, New York.
Locci, Giorgia., Vasillios Fanos, dkk. 2014. Hyalin Membrane Disease (HMD) : The Role of The
Perinatal Pathologist. www.jpnim.com Open Access eISSN: 2281-0692 Journal of Pediatric and
Neonatal
Mathai, SS., U. Raju, dan M. Kanitkar. 2011. Management of Respiratory Distress in the Newborn.
Mochtar, Anantyo Binarso. 2016. Persalinan Preterm. Dalam : Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Ed. 4. Cetakan Kelima. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
A. ANALISIS MASALAH
1. Mrs. Feni, 17 tahun, G2P2A0 dirawat ke rumah sakit dengan keluhan hipertensi (tekanan
darah 180/100 mmHg) dan melahirkan seorang bayi perempuan. HPHT tidak diketahui,
diperkirakan usia kehamilan 7 bulan.
a. Apa hubungan usia ibu dan riwayat hipertensi dengan kehamilan preterm?
b. Bagaimana cara memperkirakan usia kehamilan jika HPHT tidak diketahui?
Cara menghitung usia gestasi (kehamilan) dan hari perkiraan lahir yang benar:
1) HPHT
Menghitung usia kehamilan berdasar HPHT hanya dapat dilakukan pada ibu
hamil yang memiliki siklus haid normal dan teratur (28-30 hari). Untuk taksiran usia
kehamilan berdasarkan HPHT dapat menggunakan rumus Neagele, selain dapat
menghitung usia kehamilan, rumus ini juga dapat digunakan untuk menghitung hari
perkiraan lahir (HPL). Penggunaan rumus ini adalah dengan menambahkan 7 pada
tanggal pertama dari haid terakhir, kemudian mengurangi bulan dengan 3 dan
menambahkan 1 pada tahunnnya, sedangkan untuk bulan yang tidak bisa dikurangi
3, misalnya Januari, Februari, dan Maret, maka bulannya ditambah 9, tapi tahunnya
tetap tidak ditambah atau dikurangi.
Contoh:
3) Palpasi abdomen
Palpasi abdomen dapat menggunakan :
Rumus Bartholomew
Antara simpisis pubis dan pusat dibagi menjadi 4 bagian yang sama, maka
tiap bagian menunjukkan penambahan 1 bulan. Fundus uteri teraba tepat di
simpisis umur kehamilan 2 bulan (8 minggu). Antara pusat sampai prosesus
xifoideus dibagi menjadai 4 bagian dan tiap bagian menunjukkan kenaikan 1
bulan. Tinggi fundus uteri pada umur kehamilan 40 minggu (bulan ke-10)
kurang lebih sama dengan umur kehamilan 32 minggu (bulan ke-8).
Rumus Mc Donald
Fundus uteri diukur dengan pita. Tinggi fundus dikalikan 2 dan dibagi 7
memberikan umur kehamilan dalam bulan obstetrik dan bila dikalikan 8 dan
dibagi 7 memberikan umur kehamilan dalam minggu.
Palpasi Leopold
Palpasi leopold merupakan teknik pemeriksaan pada perut ibu bayi untuk
menentukan posisi dan letak janin dengan melakukan palpasi abdomen.
Palpasi leopold terdiri dari 4 langkah yaitu:
Leopold I : Leopold I bertujuan untuk mengetahui letak fundus uteri dan
bagian lain yang terdapat pada bagian fundus uteri
Leopold II : Leopold II bertujuan untuk menentukan punggung dan
bagian kecil janin di sepanjang sisi maternal
Leopold III : Leopold III bertujuan untuk membedakan bagian persentasi
dari janin dan sudah masuk dalam pintu panggul
Leopold IV : Leopold IV bertujuan untuk meyakinkan hasil yang
ditemukan pada pemeriksaan Leopold III dan untuk mengetahui sejauh
4) Perkiraan tinggi fundus uteri
Cara menentukan kehamilan dengan perkiraan tinggi fundus uteri:
Mempergunakan tinggi fundus uteri
Perkiraan tinggi fundus uteri dilakukan dengan palpasi fundus dan
membandingkan dengan patokan.
Menggunakan alat ukur caliper
2. Riwayat persalinan preterm sekitar usia 8 bulan pada kehamilan sebelumnya dan anak
pertamanya meninggal pada usia 1 hari setelah persalinan.
3. Empat jam setelah MRS dokter memutuskan untuk melakukan terminasi dengan cara C
section. Setelah dilahirkan, bayi tidak menangis spontan namun merintih dan seluruh
tubuh sianosis (biru).
a. Bagaimana hubungan riwayat hipertensi pada ibu dengan kondisi bayi ketika
dilahirkan?
Riwayat hipertensi pada ibu merupakan factor resiko terjadinya kelahiran preterm
b. Apa makna klinis bayi tidak menangis namun merintih dan seluruh tubuh sianosis?
(faktor resiko dengan prematur)
Sebagai respon, bayi premature mengalami grinting yang memperpanjang ekspirasi
dan mencegah FRC semakin berkurang. Seluruh tubuh sianosis menunjukkan perfusi
oksigen ke jaringan tidak mencukupi
c. Apa etiologi dan bagaimana mekanisme dari bayi tidak menangis spontan, merintih
dan sianosis terkait kasus?
Bayi tidak menangis
1. Asfiksia dalam kehamilan.
a. Penyakit infeksi akut.
b. Penyakit infeksi kronik.
c. Keracunan oleh obat-obat bius.
d. Uremia dan toksemia gravidarum.
e. Anemia berat.
f. Cacat bawaan.
g. Trauma.
Bayi tidak menangis spontan diakibatkan oleh kurangnya oksigen akibat paru-
paru tidak dapat berkembang dengan baik. Tangisan bayi ketika lahir membantu
membuka paru-parunya agar bisa bernapas. Pada kasus, pematangan paru belum
sempurna dan terjadi defisiensi surfaktan. Surfaktan berfungsi untuk
menurunkan tegangan permukaan alveoli, sehingga alveoli dapat tetap terbuka
sepanjang siklus pernafasan. Surfaktan biasanya akan dihasilkan saat usia
kehamilan 32 minggu. Defisiensi ini menyebabkan alveoli tidak dapat
mengembang/kolaps sehingga bayi sulit bernafas (kekurangan oksigen).
Grunting atau merintih merupakan tanda dari respiratory distress pada bayi baru
lahir biasanya terjadi bersamaan dengan nasal flaring dan retraksi intercostal atau
subcostal. Suara yang keluar terjadi karena tertutupnya glotis selama ekspirasi
yang dapat meningkatkan tekanan akhir ekspirasi pada paru (end-expiratory
pressure) sebagai usaha meningkatkan oksigenasi pada bayi.
Etiologi:
1. Transient tachypnea in new born
2. Croup
3. Meconium aspiration
4. Pneumonia
5. RDS (Respiratory Distress Syndrome).
Perfusi darah ke jaringan perifer berkurang akibat hipoxia maka aliran darah
diutamakan pada organ-organ vital saja maka tampak kebiruan akibat RBC di
jaringan berkurang.
4. Residen anak melakukan tindakan pertama berupa resusitasi, didapatkan APGAR score 3
pada menit pertama dan 7 pada menit kelima. Cairan ketuban jernih.
7. Hipotesis
Bayi perempuan Ny. Feni dengan persalinan preterm 7 bulan secara C-section
mengalami BBLSR (Bayi Berat Lahir Sangat Rendah) dengan SMK (Sesuai Masa
Kehamilan) dan Respiratory Distress.
a. Diagnosis Banding
Hyaline Membrane Disease Transient Tachypnea of The
Neonate
Bayi Preterm √ √
(Near-term / aterm)
Tachypneu √ √
( > 60 x/menit) (> 80 x/menit)
Grunting √ √
Retraksi Dada √ √
(Retraksi dada bawah) (Retraksi intercostal)
Cyanosis √ √
Memiliki faktor √ -
resiko kehamilan
BBLSR √ -
b. Epidemiologi
Sindrom gawat nafas neonatus merupakan suatu sindrom yang sering ditemukan pada
neonatus dan menjadi penyebab morbiditas utama pada bayi berat lahir rendah
(BBLR); sehingga SGNN disebut juga sebagai penyakit membran hialin (PMH)
karena PMH merupakan bagian terbesar dari sindrom gawat nafas pada masa
neonates.
Penyakit membran hialin umumnya terjadi pada bayi prematur. Angka kejadian PMH
pada bayi yang lahir dengan masa gestasi 28 minggu sebesar 60%-80%, pada usia
kelahiran 30 minggu adalah 25%, sedang pada usia kelahiran 32-36 minggu sebesar
15-30%, dan pada bayi aterm jarang dijumpai. Di negara maju PMH terjadi pada 0,3-
1% kelahiran hidup dan merupakan 15-20% penyebab kematian neonates
c. Etiologi
Kehamilan usia muda
Genetic (riwayat persalinan preterm)
Premature
BBLSR
d. Faktor Resiko
e. Patofisiologi
f. Manifestasi Klinis
g. Pemeriksaan Penunjang
h. Tatalaksana
i. Pencegahan dan Edukasi
j. Komplikasi
BPD
Perdarahan periintraventricular karena hipoksia
Kejang (HIE)
Kebocoran alveoli
Necrotizing enterocolitis NEC
Disseminated intravascular coagulation
k. Prognosis
l. SKDI