Anda di halaman 1dari 42

Nama : Fildzah Hashifah Taufiq

NIM : 04011181520007
Kelas : Beta 2015

LEARNING ISSUE

A. Bayi Berat Lahir Rendah


a. Definisi
Definisi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) adalah apabila berat
badannya kurang dari 2500 gram (Manuaba, 2007). Sebelum tahun 1961, defenisi
BBLR didasarkan pada berat badan atau umur kehamilan, yaitu kurang dari 37
minggu, yang dianggap sebagai bayi prematur. Ternyata tidak semua bayi
dengan berat badan lahir rendah bermasalah sebagai prematur, tetapi terdapat
beberapa kriteria sebagai berikut:
1. Berat badan lahir rendah, sesuai dengan umur kehamilannya, menurut
perhitungan hari pertama haid terakhir.
2. Bayi dengan ukuran kecil masa kehamilan (KMK), artinya ba yi yang
berat badannya kurang dari persentil ke-10 dari berat sesungguhnya yang harus
dicapai, menurut umur kehamilannya.
3. Atau berat badan lahir rendah ini disebabkan oleh kombinasi keduanya, artinya:
a. Umur hamilnya belum waktunya untuk lahir.
b. Tumbuh kembang intrauteri mengalami gangguan sehingga terjadi kecil untuk
masa kehamilannya.
World Health Organization (WHO) pada tahun 1961 menyatakan bahwa semua
bayi baru lahir yang berat badannya kurang atau sama dengan 2500 gram
disebut low birth weight infant (bayi berat badan lahir rendah, BBLR). Definisi WHO
tersebut dapat disimpulkan secara ringkas sebagai bayi berat badan lahir rendah
adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang atau sama dengan 2500 gram
(Surasmi, 2003).
BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat lahir kurang 2.500 gram tanpa
memandang masa kehamilan. BBLR ialah bayi baru lahir yang berat badannya saat
lahir kurang dari 2.500 gram (sampai dengan 2.499 gram) (Prawirohardjo, 2006).
Bayi dengan berat badan lahir rendah merupakan masalah yang perlu
mendapat perhatian karena:
1. Mungkin terdapat penyakit maternal dan fetal sebagai faktor yang
diduga sehingga masih dapat mengurangi kejadian BBLR.
2. Bahwa bayi dengan BBLR, mempunyai resiko mortalitas dan
morbiditas yang tinggi.
3. Dan psikologis dan neurologis setelah hidup dan akan menjadi
masalah baru dalam lingkungan keluarganya.
4. Masih ada peluang untuk memberikan terapi sehingga upaya
melakukannya dapat dilakukan.
5. Bahwa diagnosa dugaan akan terjadi kelahiran dengan BBLR cukup sulit
bahkan sangat perlu menggunakan alat canggih.

b. Klasifikasi BBLR
World Health Organization (WHO) 1979, telah membagi umur kehamilan
menjadi tiga kelompok sebagai berikut:
1. Preterm, yaitu kurang dari 37 minggu (259 hari).
2. Term, yaitu mulai 37 minggu sampai 42 minggu atau umur antara 259-293
hari.
3. Posterm, yaitu lebih dari 42 minggu (294 hari).
Ternyata bahwa ciri bentuk bayi dengan berat badan lahir rendah dapat
dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Small for gestation age (SGA) atau kecil untuk masa kehamilan (KMK).
2. Umur hamil kurang 37 minggu, sesuai masa kehamilan (SMK).

Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Janin


Kriteria keduanya tidak sama sehingga setelah persalinan perlu dilakukan
penetapan umur kehamilan. Menurut Maryunani (2009), neonatus/bayi yang
termasuk dalam BBLR merupakan salah satu dari keadaan berikut:
1. NKB SMK (Neonatus kurang bulan – sesuai masa kehamilan) adalah
bayi prematur dengan berat badan lahir yang sesuai dengan masa kehamilan.
2. NKB KMK (Neonatus kurang bulan – kecil masa kehamilan) adalah bayi
prematur dengan berat badan lahir kurang dari normal menurut usia kehamilan.
3. NCB KMK (Neonatus cukup bulan – kecil untuk masa kehamilan) adalah
bayi yang lahir cukup bulan dengan berat badan lahir kurang dari normal.
Selain itu, BBLR dibagi lagi menurut berat badan lahir, yaitu:
1. Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) atau low birth weight (LBW) adalah
bayi yang lahir dengan berat badan lahir antara 1500 sampai 2000 gram.
2. Bayi dengan berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) atau very low
birth weight (VLBW) adalah bayi yang lahir dengan berat badan lahir antara 1000
sampai 1500 gram.
3. Bayi dengan berat lahir ekstrim rendah (BBLER) atau extremely low birth
weight (ELBW) adalah bayi yang lahir dengan berat badan lahir kurang dari 1000
gram

c. Etiologi
Menurut Maryunani (2009), penyebab bayi dengan berat badan lahir rendah
kurang bulan (NKB-KMK) antara lain disebabkan oleh:
1. Berat badan ibu yang rendah
2. Ibu hamil yang masih remaja
3. Kehamilan kembar
4. Ibu pernah melahirkan bayi prematur/berat badan rendah sebelumnya
5. Ibu dengan inkompeten serviks (mulut rahim yang lemah sehingga tidak
mampu menahan berat bayi dalam rahim)
6. Ibu hamil yang sedang sakit
7. Tidak diketahui penyebabnya
Sedangkan bayi lahir cukup bulan tetap memiliki berat badan kurang (NCB- KMK)
antara lain disebabkan oleh:
1. Ibu hamil dengan gizi buruk/kekurangan nutrisi
2. Ibu dengan penyakit hipertensi, preeklampsia, anemia
3. Ibu menderita penyakit kronis (penyakit jantung sianosis), infeksi (infeksi
saluran kemih), malaria kronik
4. Ibu hamil yang merokok dan penyalahgunaan obat

d. Epidemiologi
Menurut WHO, 2010 prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) diperkirakan
15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 3,3%-38% dan lebih sering
terjadi di negara-negara berkembang atau sosio-ekonomi rendah. Secara statistik
menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka
kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir lebih dari
2500 gram.
Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa kejadian
BBLR di Indonesia memiliki prevalensi sebesar 10,2%. Persentase BBLR tertinggi
terdapat di provinsi Sulawesi Tengah (16,8%) dan terendah di Sumatera Utara
(7,2%).
Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2013 menunjukkan
kabupaten/kota dengan presentase BBLR tertinggi adalah Kabupaten Nias Barat
sebesar 24,00% dan presentase terendah adalah Kota Padang Sidempuan, Kota
Gunungsitoli, dan Kabupaten Nias Utara sebesar 0%. Kota Medan sendiri memiliki
presentase sebesar 0,30%.

e. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian BBLR


Faktor risiko kejadian BBLR di Indonesia menurut Depkes RI, 2009 yaitu umur
ibu hamil <20 tahun atau >35 tahun, jarak kehamilan terlalu pendek, ibu mempunyai
riwayat BBLR sebelumnya, pekerjaan fisik yang berat, pekerjaan fisik selama
beberapa jam tanpa istirahat, sosial ekonomi rendah, kekurangan gizi, kebiasaan
merokok, konsumsi obat-obatan terlarang dan alkohol, anemia, pre eklampsi atau
hipertensi, infeksi selama kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan cacat bawaan,
dan infeksi selama dalam kandungan.
1. Umur Ibu
Umur ibu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kejadian bayi
dengan BBLR, dimana angka kejadian tertinggi BBLR adalah pada usia di
bawah 20 tahun dan pada multigravida yang jarak antara kelahirannya terlalu
dekat. Kejadian terendah adalah pada usia ibu antara 26-30 tahun (Hasan, dkk,
2006).
Menurut Depkes (2001) dalam Mulyaningrum (2009) pada ibu hamil dengan
umur <20 tahun, rahim dan panggul sering kali belum tumbuh mencapai ukuran
dewasa. Akibatnya ibu hamil pada umur itu mungkin mengalami persalinan
lama/macet atau gangguan lainnya karena ketidaksiapan ibu untuk menerima
tugas dan tanggung jawabnya sebagai orangtua. Sedangkan pada umur >35
tahun, kesehatan ibu sudah menurun, akibatnya ibu hamil pada umur itu
mempunyai kemungkinan besar untuk mempunyai anak cacat, persalinan lama
dan pendarahan. Kehamilan pada masa remaja (umur <20 tahun) menimbulkan
tantangan bagi remaja itu sendiri dan bagi janin yang dikandungnya yang
berhubungan dengan meningkatnya risiko terhadap komplikasi kehamilan dan
luaran perinatal yang buruk seperti preeklamsi, berat lahir janin rendah dan
prematuritas. Kehamilan pada umur remaja berdampak pada pertumbuhan yang
kurang optimal karena kebutuhan gizi pada masa tumbuh kembang remaja
sangat dibutuhkan oleh tubuhnya sendiri (Simbolon & Aini, 2013).
Kehamilan >35 tahun juga tidak dianjurkan dan sangat berbahaya.
Mengingat mulai umur ini sering muncul penyakit seperti hipertensi, tumor jinak
peranakan, atau penyakit degeneratif pada persendian tulang belakang dan
panggul. Kesulitan lain kehamilan >35 tahun ini yakni bila ibu ternyata
mengidap penyakit seperti di atas yang ditakutkan adalah bayi lahir dengan
membawa kelainan. Dalam proses persalinan sendiri, kehamilan di umur lebih
ini akan menghadapi kesulitan akibat lemahnya kontraksi rahim serta sering
timbul kelainan pada tulang panggul tengah (Setianingrum, 2005).
2. Pendidikan
Tingkat pendidikan ibu menggambarkan pengetahuan kesehatan. Seseorang
yang memiliki pendidikan tinggi mempunyai kemungkinan pengetahuan tentang
kesehatan yang juga tinggi karena informasi yang didapatkan tentang kesehatan
lebih banyak dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah. Sebaliknya
pendidikan yang kurang menghambat perkembangan seseorang terhadap nilai-
nilai yang baru dikenal ( Notoadmojo, 2007).
Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, semakin tinggi pula pengetahuan
kesehatan. Pendidikan yang tinggi memudahkan seseorang menerima informasi
lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan rendah. Pengetahuan kesehatan
yang tinggi menunjang perilaku hidup sehat dalam pemenuhan gizi ibu selama
kehamilan (Festy, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Yuliva, dkk (2009) menunjukkan bahwa ibu
yang berpendidikan rendah memiliki rata-rata berat lahir bayi lebih rendah
daripada ibu yang berpendidikan tinggi, dalam hal ini pendidikan sangat besar
pengaruhnya terhadap pengetahuan ibu yang berkaitan dengan perawatan
selama hamil, melahirkan dan setelah melahirkan. Tinggi rendahnya taraf
pendidikan seseorang akan mendukung dan memberi peluang terhadap daya
serap ilmu pengetahuan dan keinginan serta kemauan untuk mengetahui setiap
hal yang berkaitan dengan kehamilan.
3. Pekerjaan
Benerjee (2009) dalam Sujoso (2011) mengemukakan bahwa wanita bekerja
yang sedang hamil membutuhkan perlindungan khusus. Perlindungan ini
diperlukan karena beberapa alasan. Pertama, pada fase perkembangan embrio
lebih rentan terhadap agen toksik dibandingkan dengan ibu yang terpapar.
Kedua, pada beberapa jenis pekerjaan dirasa kurang sesuai dikerjakan oleh
wanita. Ketiga, kehamilan mungkin menurunkan kapasitas kemampuan
menangani masalah pekerjaan. Keempat, wanita cenderung kurang
memperhatikan dirinya dibandingkan pria.
Substansi bahaya di tempat kerja dapat masuk pada pekerja melalui 3
cara yaitu pernafasan, kontak melalui kulit dan melalui pencernaan. Wanita
pekerja yang sedang hamil harus lebih berhati-hati mengenai bahaya pada
kesehatan reproduksi. Beberapa bahan kimia dapat beredar di dalam darah ibu,
melalui plasenta dan mengjangkau perkembangan janin. Agen berbahaya lainnya
yaitu agen biologi seperti bakteri, virus, cacing dapat mempengaruhi secara
keseluruhan pada kesehatan wanita dan mengurangi transport makanan ke janin
sehingga menyebabkan BBLR (Sujoso, 2011).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yuliva, dkk (2009) menunjukkan
bahwa rata-rata berat lahir bayi berdasarkan jenis pekerjaan dengan aktivitas
berat pada kelompok ibu pekerja lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata
berat lahir bayi ibu tidak bekerja dengan aktivitas berat. Seorang wanita yang
bekerja apabila mengalami stress terutama pada saat hamil secara tidak langsung
akan mempengaruhi perilaku wanita tersebut terhadap kehamilannya,
misalnya dalam melakukan perawatan kehamilan. Wanita hamil yang berada
dalam keadaan stres akan mempengaruhi perilakunya dalam hal pemenuhan
intake nutrisi untuk diri dan janin yang dikandungnya. Nafsu makan yang
berkurang menyebabkan intake nutrisi juga berkurang sehingga terjadi gangguan
pada sirkulasi darah dari ibu ke janin melalui plasenta. Hal ini dapat
mempengaruhi berat lahir bayi yang akan dilahirkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Trihardiani (2011) menunjukkan bahwa
hanya sebagian kecil ibu yang bekerja. Masyarakat cenderung memiliki persepsi
bahwa suami merupakan tulang punggung keluarga yang berkewajiban mencari
nafkah dengan bekerja di luar rumah. Hasil penelitian ini menujukkan
bahwa status pekerjaan tidak memiliki hubungan terhadap berat badan lahir. Hal
ini dapat terjadi karena sebagian besar subjek tidak bekerja dan juga ada
kemungkinan dikarenakan sebagian besar ibu yang bekerja memiliki pekerjaan
yang tidak membahayakan kesehatan janin, selain itu ibu yang bekerja memiliki
pendidikan tinggi sehingga mereka dapat mengurangi faktor risiko dari
pekerjaan mereka dengan melakukan pencegahan secara dini.
4. Riwayat Penyakit Ibu
Kesehatan dan pertumbuhan janin dipengaruhi oleh kesehatan ibu.. Bila ibu
mempunyai penyakit yang berlangsung lama atau merugikan kehamilannya,
maka kesehatan dan kehidupan janin pun terancam. Beberapa penyakit yang
mempengaruhi kehamilan yaitu penyakit jantung, anemia berat, TBC, malaria,
HIV dan infeksi. Ibu dengan keadaan tersebut harus diperiksa dan mendapat
pengobatan secara teratur oleh dokter (Kemenkes RI, 2011).
Penyakit dalam kehamilan terdiri dari riwayat penyakit kronis seperti
hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus, penyakit hati, penyakit ginjal
dan toksemia, penyakit infeksi seperti malaria kongenital, penyakit kelamin,
kandung kemih, infeksi vagina dan rubella. Penyebab lainnya adalah
ketidakseimbangan hormonal pada ibu hamil. Selain dapat mengakibatkan
keguguran setelah hamil besar, ketidak seimbangan hormonal juga dapat
menyebabkan kelahiran prematur dan BBLR (Maryunani, 2013).
Gangguan pernafasan seperti asma juga dapat mempengaruhi keadaan janin.
Asma bronchial adalah suatu keadaan dimana saluran napas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang
menyebabkan peradangan sementara. Pada penderita asma, penyempitan saluran
pernafasan merupakan respon terhadap rangsangan yang pada paru-paru normal
tidak akan mempengaruhi saluran pernafasan. Penyempitan ini dapat dipicu oleh
berbagai rangasangan seperti serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin
dan olahraga (Junaidi, 2010).
Pada wanita hamil sangat penting untuk mengendalikan asmanya. Kesulitan
bernafas yang dialami wanita hamil mempengaruhi janin karena adanya
kompromi terhadap suplai oksigen. Jika asmanya terkendali, wanita penderita
asma tidak akan mengalami komplikasi selama kehamilan dan bias melahirkan
sebagaimana wanita yang non-asmatik. Namun, asma yang tidak terkendali
selama masa kehamilan dapat mengakibatkan masalah kehamilan dan komplikasi
pada janin seperti prematur, BBLR, perubahan tekanan darah maternal (seperti
eklampsia) (Chaitow, 2005).
5. Paritas
Paritas merupakan jumlah persalinan yang dialami ibu sebelum
atau kehamilan sekarang. Paritas dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu
(Manuaba, 2007) :
1. Primipara, golongan ibu dengan paritas 1 (ibu yang telah pernah
melahirkan bayi sebanyak 1 kali)
2. Multipara, golongan ibu dengan paritas 2-5 (ibu yang telah pernah
melahirkan bayi sebanyak 2 hingga 5 kali)
3. Grade Multipara, golongan ibu dengan paritas >5 (ibu yang telah pernah
melahirkan bayi sebanyak lebih dari 5 kali).
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut maternal.
Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal
lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Resiko
pada paritas 1 dapat di tangani dengan asuahn obstetric lebih baik, sedangkan
resiko pada paritas yang tinggi dapat dikurangi atau dicegah melalui
keluarga berancana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak
direncanakan (Wiknjosastro, 2006).
Paritas yang tinggi akan berdampak pada timbulnya berbagai masalah
kesehatan baik ibu maupun bayi yang dilahirkan. Salah satu dampak kesehatan
yang mungkin timbul dari paritas yang tinggi adalah BBLR. Hasil penelitian
menunjukan bahwa paritas merupakan faktor resiko yang signifikan terhadap
kejadian BBLR sehinga ibu dengan paritas lebih dari 3 anak beresiko 2,4
kali untuk melahirkan bayi dengan BBLR (Joeharno dkk, 2006).
Jumlah anak lebih dari 4 dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janin
sehingga melahirkan bayi dengan berat lahir rendah dan perdarahan saat
persalinan karena keadaan rahim biasanya sudah lemah (Dciems, 2010).
6. Jarak Kehamilan
Jarak kehamilan ibu hamil sangat mempengaruhi berat bayi yang dilahirkan.
Seorang ibu yang jarak kehamilannya dikatakan berisiko apabila hamil dalam
jangka kurang dari dua tahun dan hal ini jelas menimbulkan gangguan
pertumbuhan hasil konsepsi, sering terjadi immaturitas, prematuritas, cacat
bawaan, atau janin lahir dengan berat badan yang rendah. Keadaan ini
disebabkan karena kurangnya suplai darah nutrisi akan oksigen pada plasenta
yang akan berpengaruh pada fungsi plasenta terhadap janin (Depkes RI, 2003).
Jarak kehamilan yang pendek akan menyebabkan seorang ibu belum cukup
waktu untuk memulihkan kondisi tubuhnya setelah melahirkan sebelumnya.
Ibu hamil dalam kondisi tubuh kurang sehat inilah yang merupakan salah satu
faktor penyebab kematian ibu dan bayi yang dilahirkan serta risiko terganggunya
sistem reproduksi. Sistem reproduksi yang terganggu akan menghambat
pertumbuhan dan perkembangan janin yang dikandungnya sehingga berpengaruh
terhadap berat badan lahir. Ibu hamil yang jarak kehamilannya kurang dari dua
tahun, kesehatan fisik dan kondisi rahimnya masih butuh istirahat yang cukup
(Trihardiani, 2011).
7. Umur
Kehamilan
Umur kehamilan ibu umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari. Umur
kehamilan ibu adalah batas waktu ibu mengandung, yang dihitung mulai dari hari
pertama haid terakhir (HPHT). Umur kehamilan normal adalah 40 minggu atau
280 hari seperti kebiasaan orang awam 9 bulan 10 hari. Disebut matur atau
cukup bulan adalah rentang 37-42 minggu, bila <37 minggu disebut prematur
atau kurang bulan, bila >42 minggu disebut post-matur atau serotinus (Ahmad,
2012).
Semakin pendek umur kehamilan maka pertumbuhan janin semakin belum
sempurna, baik itu organ reproduksi dan organ pernapasan oleh karena itu
mengalami kesulitan untuk hidup diluar uterus ibunya. Teori Beck dan Roshental
menyatakan bahwa berat badan bayi bertambah sesuai dengan masa kehamilan.
Apabila bayi dilahirkan pada umur kehamilan yang pendek, maka berat bayi
belum mencapai berat badan normal dan pertumbuhannya belum sempurna
(Institute of Medicine, 1990).
8. Komplikasi Kehamilan
Komplikasi kehamilan seperti pendarahan, pre eklampsia/eklampsia, dan
ketuban pecah dini. Perdarahan dibedakan dalam dua kelompok utama yaitu
perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum. Perdarahan antepartum
adalah perdarahan pervaginam yang terjadi sebelum bayi lahir. Perdarahan yang
terjadi sebelum kehamilan 28 minggu seringkali berhubungan dengan aborsi atau
kelainan. Perdarahan kehamilan setelah 28 minggu dapat disebabkan karena
terlepasnya plasenta secara prematur, trauma, atau penyakit saluran kelamin
bagian bawah (Depkes RI, 2000 dalam Parhusip 2010).
Pre eklampsia/eklampsia yaitu kondisi ibu hamil dengan tekanan darah
meningkat. Keadaan ini sangat mengancam jiwa ibu dan bayi yang dikandung
(Maryunani 2013). Pre eklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda
hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan yang dapat
menyebabkan kematian pada ibu dan janinnya. Penyakit ini pada umumnya
terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan dan dapat terjadi pada waktu antepartum,
intrapartum, dan pasca persalinan (Parhusip, 2010).
Ketuban pecah dini adalah kondisi dimana air ketuban keluar sebelum
waktunya dan biasanya faktor penyebab paling sering adalah terjadinya
benturan pada kandungan (Maryunani, 2013).

f. Patogenesis
Bayi lahir prematur yang BBLR-nya sesuai dengan umur kehamilan pretermnya
biasanya dihubungkan dengan keadaan medis dimana terdapat ketidakmampuan
uterus untuk mempertahankan janin (inkompeten cervix/premature dilatation),
gangguan pada perjalanan kehamilan, pelepasan plasenta, atau rangsangan
tidak pasti yang menimbulkan kontraksi efektif pada uterus sebelum kehamilan
mencapai umur cukup bulan (Wiknyosastro, 2007).
Dismaturitas dihubungkan dengan keadaan medik yang mengganggu sirkulasi
dan efisiensi plasenta, pertumbuhan dan perkembangan janin, atau kesehatan umum
dan nutrisi ibu. Dismaturitas merupakan respon janin normal terhadap kehilangan
nutrisi atau oksigen sehingga masalahnya bukan pada dismaturitasnya tetapi pada
resiko malnutrisi dan hipoksia yang terus menerus. Serupa halnya dengan beberapa
kelahiran preterm yang menandakan perlunya persalinan cepat karena lingkungan
intrauteri berpotensi merugikan (Wiknyosastro, 2007).

g. Masalah pada BBLR


Menurut Maryunani dkk (2009) masalah yang terjadi pada bayi dengan berat lahir
rendah (BBLR) terutama pada prematur terjadi karena ketidakmatangan sistem organ
pada bayi tersebut. Masalah pada BBLR yang sering terjadi adalah gangguan pada
sistem pernafasan, susunan saraf pusat, kardiovaskular, hematologi, gastro interstinal,
ginjal, termoregulasi.
1. Sistem Pernafasan
Bayi dengan BBLR umumnya mengalami kesulitan untuk bernafas segera setelah
lahir oleh karena jumlah alveoli yang berfungsi masih sedikit, kekurangan
surfaktan (zat di dalam paru dan yang diproduksi dalam paru serta melapisi
bagian alveoli, sehingga alveoli tidak kolaps pada saat ekspirasi). Luman sistem
pernafasan yang kecil, kolaps atau obstruksi jalan nafas, insufisiensi klasifikasi
dari tulang thorax, lemah atau tidak adanya gag refleks dan pembuluh darah
paru yang imatur. Hal – hal inilah yang menganggu usaha bayi untuk bernafas
dan sering mengakibatkan gawat nafas (distress pernafasan).
2. Sistem Neurologi (Susunan Saraf Pusat)
Bayi lahir dengan BBLR umumnya mudah sekali terjadi trauma susunan saraf
pusat. Hal ini disebabkan antara lain: perdarahan intracranial karena pembuluh
darah yang rapuh, trauma lahir, perubahan proses koagulasi, hipoksia dan
hipoglikemia. Sementara itu asfiksia berat yang terjadi pada BBLR juga sangat
berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat (SSP) yang diakibatkan karena
kekurangan oksigen dan kekurangan perfusi.
3. Sistem Kardiovaskuler
Bayi dengan BBLR paling sering mengalami gangguan/ kelainan janin, yaitu
paten ductus arteriosus, yang merupakan akibat intra uterine ke kehidupan ekstra
uterine berupa keterlambatan penutupan ductus arteriosus.
4. Sistem Gastrointestinal
Bayi dengan BBLR saluran pencernaannya belum berfungsi seperti bayi yang
cukup bulan, hal ini disebabkan antara lain karena tidak adanya koordinasi
mengisap dan menelan sampai usia gestasi 33–34 minggu sehingga kurangnya
cadangan nutrisi seperti kurang dapat menyerap lemak dan mencerna protein.
Lemahnya reflek menghisap dan menelan, motilitas usus yang menurun,
lambatnya pengosongan lambung, absorbsi vitamin yang larut dalam lemak
berkurang, defisiensi enzim laktase pada jonjot usus, menurunnya cadangan
kalsium, fosfor, protein, dan zat besi dalam tubuh, meningkatnya resiko NEC
(Necrotizing Enterocolitis). Hal ini menyebabkan nutrisi yang tidak adekuat dan
penurunan berat badan bayi.
5. Sistem Termoregulasi
Bayi dengan BBLR sering mengalami temperatur yang tidak stabil, yang
disebabkan antara lain:
a. Kehilangan panas karena perbandingan luas permukaan kulit dengan
berat badan lebih besar (permukaan tubuh bayi relatife luas )
b. Kurangnya lemak subkutan (brown fat / lemak cokelat )
c. Jaringan lemak dibawah kulit lebih sedikit.
d. Tidak adanya refleks kontrol dari pembuluh darah kapiler kulit.
Dalam kandungan ibu, bayi berada pada suhu lingkungan 36°C- 37°C dan segera
setelah lahir bayi dihadapkan pada suhu lingkungan yang umumnya lebih rendah.
Perbedaan suhu ini memberi pengaruh pada kehilangan panas tubuh bayi.
Hipotermia juga terjadi karena kemampuan untuk mempertahankan panas dan
kesanggupan menambah produksi panas sangat terbatas karena pertumbuhan otot-
otot yang belum cukup memadai, ketidakmampuan untuk menggigil, sedikitnya
lemak subkutan, produksi panas berkurang akibat lemak coklat yang tidak
memadai, belum matangnya sistem saraf pengatur suhu tubuh, rasio luas
permukaan tubuh relatif lebih besar dibanding berat badan sehingga mudah
kehilangan panas.
6. Sistem Hematologi
Bayi dengan BBLR lebih cenderung mengalami masalah hematologi bila
dibandingkan dengan bayi yang cukup bulan. Penyebabnya antara lain adalah:
a. Usia sel darah merahnya lebih pendek
b. Pembuluh darah kapilernya mudah rapuh
c. Hemolisis dan berkurangnya darah akibat dari pemeriksaan laboratorium
yang sering.
7. Sistem Imunologi
Bayi dengan BBLR mempunyai sistem kekebalan tubuh yang terbatas, sering
kali memungkinkan bayi tersebut lebih rentan terhadap infeksi.
Pada bayi kurang bulan tidak mengalami transfer IgG maternal melalui plasenta
selama trimester ketiga kehamilan karena pemindahan substansi kekebalan dari
ibu ke janin terjadi pada minggu terakhir masa kehamilan. Akibatnya, fagositosis
dan pembentukan antibodi menjadi terganggu. Selain itu kulit dan selaput lendir
membran tidak memiliki perlindungan seperti bayi cukup bulan sehingga bayi
mudah menderita infeksi.
8. Sistem Perkemihan
Bayi dengan BBLR mempunyai masalah pada sistem perkemihannya, di mana
ginjal bayi tersebut karena belum matang maka tidak mampu untuk menggelola
air, elektrolit, asam – basa, tidak mampu mengeluarkan hasil metabolisme
dan obat – obatan dengan memadai serta tidak mampu memekatkan urin.
9. Sistem Integument
Bayi dengan BBLR mempunyai struktur kulit yang sangat tipis dan transparan
sehingga mudah terjadi gangguan integritas kulit.
10. Sistem Penglihatan
Bayi dengan BBLR dapat mengalami retinopathy of prematurity (RoP) yang
disebabkan karena ketidakmatangan retina.

h. Penatalaksanaan BBLR
a) Secara umum, menurut Rukiyah, dkk (2010) perawatan pada bayi berat
lahir rendah (BBLR) adalah:
1) Mempertahankan suhu tubuh dengan ketat. BBLR mudah mengalami
hipotermi, oleh sebab itu suhu tubuh bayi harus dipertahankan dengan
ketat.
2) Mencegah infeksi dengan ketat. BBLR sangat rentan dengan infeksi,
memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan infeksi termasuk mencuci
tangan sebelum memegang bayi.
3) Pengawasan nutrisi (ASI). Refleks menelan BBLR belum sempurna,
oleh sebab itu pemberian nutrisi dilakukan dengan cermat.
4) Penimbangan ketat. Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi
bayi dan erat kaitannya dengan daya tahan tubuh, oleh sebab itu
penimbangan dilakukan dengan ketat.
5) Kain yang basah secepatnya diganti dengan kain yang kering dan
bersih, pertahankan suhu tubuh tetap hangat.
6) Kepala bayi ditutup topi, beri oksigen bila perlu.
7) Tali pusat dalam keadaan bersih.
8) Beri minum dengan sonde/tetes dengan pemberian ASI.
b) Bayi Berat Lahir Sangat rendah (BBLSR) atau Prematur Kecil
- Pastikan bayi terjaga tetap hangat, bungkus bayi dengan kain kering yang
hangat dan pakai topi untuk mencegah kehilangan panas.
- Jika pada riwayat ibu terdapat kemungkinan infeksi bakteri, beri dosis
pertama antibiotic : Gentamicin 4 Mg/Kg BB IM di tambah
Ampicilin 100 Mg/Kg BB IM atau Benzin penicillin.
- Jika terdapat sianosis atau sukar bernafas beri oksigen lewat kateter
hidung.
1) Dukungan respirasi
Tujuan primer dalam asuhan bayi resiko tinggi adalah mencapai dan
mempertahankan respirasi. Banyak bayi memerlukan oksigen suplemen dan
bantuan ventilasi. Bayi dengan atau tanpa penanganan suportif ini
diposisikan untuk memaksimalkan oksigenasi karena pada BBLR beresiko
mengalami defisiensi surfaktan dan periadik apneu. Dalam kondisi seperti
ini diperlukan pembersihan jalan nafas, merangsang pernafasan, diposisikan
miring untuk mencegah aspirasi, posisikan tertelungkup jika mungkin
karena posisi ini menghasilkan oksigenasi yang lebih baik, terapi oksigen
diberikan berdasarkan kebutuhan dan penyakit bayi. Pemberian oksigen
100% dapat memberikan efek edema paru dan retinopathy of prematurity.
2) Termoregulasi
Kebutuhan yang paling krusial pada BBLR setelah tercapainya respirasi
adalah pemberian kehangatan eksternal. Pencegahan kehilangan panas pada
bayi distress sangat dibutuhkan karena produksi panas merupakan proses
kompleks yang melibatkan sistem kardiovaskular, neurologis, dan metabolik.
Bayi harus dirawat dalam suhu lingkungan yang netral yaitu suhu yang
diperlukan untuk konsumsi oksigen dan pengeluaran kalori minimal.
Menurut Thomas (1994) suhu aksilar optimal bagi bayi dalam kisaran
36,5°C – 37,5°C, sedangkan menurut Sauer dan Visser (1984) suhu netral
bagi bayi adalah 36,7°C – 37,3°C.

Tabel 1. Suhu Inkubator yang direkomendasikan menurut umur dan berat


3) Hidrasi
Bayi resiko tinggi sering mendapat cairan parenteral untuk asupan
tambahan kalori, elektrolit, dan air. Hidrasi yang adekuat sangat penting
pada bayi preterm karena kandungan air ekstraselulernya lebih tinggi (70%
pada bayi cukup bulan dan sampai 90% pada bayi preterm). Hal ini
dikarenakan permukaan tubuhnya lebih luas dan kapasitas osmotik diuresis
terbatas pada ginjal bayi preterm yang belum berkembang sempurna
sehingga bayi tersebut sangat peka terhadap kehilangan cairan.
4) Nutrisi
Nutrisi dapat diberikan melalui parenteral ataupun enteral atau dengan
kombinasi keduanya. Bayi akan mengalami kesulitan dalam koordinasi
mengisap, menelan, dan bernapas sehingga berakibat apnea, bradikardi, dan
penurunan saturasi oksigen. Pada bayi dengan reflek menghisap dan
menelan yang kurang, nutrisi dapat diberikan melalui sonde ke lambung.
Kapasitas lambung bayi prematur sangat terbatas dan mudah mengalami
distensi abdomen yang dapat mempengaruhi pernafasan. Kapasitas
lambung berdasarkan umur dapat diukur sebagai berikut (Jones, dkk., 2005)
:

Tabel 2. Kapasitas lambung berdasarkan umur


i. Penilaian Pertumbuhan Fisik
Indikator pertumbuhan fisik dapat dinilai dari berat badan, panjang badan, lingkar
kepala, lingkar lengan atas, dan lipatan kulit. Akan tetapi pengukuran yang paling
mudah dan sering digunakan pada bayi untuk memantau dan menilai pertumbuhannya
adalah kenaikan berat badan.
Bayi akan kehilangan berat selama 7-10 hari pertama (sampai 10% untuk bayi
dengan berat lahir ≥1500 gr dan 15% untuk bayi dengan berat lahir < 1500 gr ). Berat
lahir biasanya tercapai kembali dalam 14 hari kecuali apabila terjadi komplikasi.
Setelah berat lahir tercapai kembali, kenaikan berat badan selama tiga bulan
seharusnya :
1) 150-200 gr seminggu untuk bayi < 1500 gr ( misalnya 20-30 gr/hr)
2) 200-250 gr seminggu untuk bayi 1500-2500 gr ( misalnya 30-35 gr/hari)
Pengukuran dilakukan dua kali seminggu (kecuali kalau diperlukan lebih sering)
sampai berat badan meningkat pada tiga kali penilaian berturut-turut dan kemudian
dinilai seminggu sekali selama bayi masih dirawat di rumah sakit. Kenaikan berat
badan minimum 15 gr/kgBB/hari selama tiga hari.

B. Respiratory Distress
a. Definisi
Hyaline Membrane Disease (HMD) atau Penyakit Membran Hyalin disebut
juga Respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1,
yaitu gawat napas pada bayi preterm yang terjadi segera atau beberapa saat setelah
lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung, grunting, tipe
pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi
progresif dalam 48 – 96 jam pertama kehidupan. Penyebabnya adalah kurangnya
surfaktan. Gagal nafas dapat didiagnosa dengan analisis gas darah. Edema sering
didapatkan pada hari ke-2, disebabkan oleh retensi cairan dan kebocoran
kapiler.Diagnosa dapat dikonfirmasi dengan foto rontgen.Pada pemeriksaan
radiologist ditemukan pola retikulogranuler yang uniform, gambaranground glass
appearance dan air bronchogram.Namun gambaran ini bukan patognomonik RDS.

b. Insidensi
Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia
kehamilan 37 minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi
caesar, kelahiran yang dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu
mengalami HMD. Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang
menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan
pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang menimbulkan stress pada
fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya infeksi kongenital
kronik.
Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit
putih. Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan
produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II.

c. Etiologi
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi
surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda
usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS.
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur,
asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria.Surfaktan biasanya didapatkan
pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap
berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih
belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan
mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan
akan bertambah berat.
Kegagalan mengembangkan functional residual capacity (FRC) dan
kecenderungan dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan
dengan tingginya tegangan permukaan dan absennya phosphatydilglycerol,
phosphatydilinositol, phosphatydilserin, phosphatydilethanolamine dan
sphingomyelin.
Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia,
hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia, hipotensi dan
stress dingin; menghambat pembentukan surfaktan.Epitel yang melapisi paru-paru
juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi,
mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan.

d. Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan
oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang
sempurna kerana dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna.
Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru
menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya
pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi
berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi
yang menyebabkan asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli
tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan
berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan
pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang
luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti
dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II.
Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi
surfaktan ini.
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma
dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel
jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang
berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu
setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk
pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi
yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu
dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).

e. Manifestasi Klinis
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan
kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam
alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul yaitu :
adanya sesak nafas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan
takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada,
dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir.
Tabel 3. Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe :
0 1 2
Frekuensi < 60x/menit 60-80 x/menit >80x/menit
Nafas
Retraksi Tidak ada Retraksi ringan Retraksi berat
retraksi
Sianosis Tidak Sianosis hilang dengan O2 Sianosis menetap walaupun
sianosis diberi O2
Air Entry Udara masuk Penurunan ringan udara
masuk
Merintih Tidak Dapat didengar dengan Dapat didengar tanpa alat bantu
merintih stetoskop
Skor < 4 gangguan pernafasan ringan
Skor 4 – 6 gangguan pernafasan sedang
Skor > 7 Ancaman gagal nafas
(pemeriksaan gas darah harus dilakukan)
Tabel 4. Klasifikasi Gangguan Nafas
Frekuensi nafas Merintih saat ekspirasi Retraksi dinding dada Klasifikasi
(Pernafasan/menit)
60-90 - Ringan
60-90 + Sedang
>90 - Sedang
>90 + Berat
1) Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada
waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the
Newborn” (TTN).Terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi
tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun
demikian, pada beberapa kasus.Gangguan napas ringan merupakan tanda awal
dari infeksi sistemik.
2) Gangguan nafas sedang
Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak
dapat diberikan O2 4-5 liter/menit dengan sungkup.Bayi jangan diberi
minum.Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin)
untuk terapi kemungkinan besar sepsis.
 Suhu aksiler <> 39˚C
 Air ketuban bercampur mekonium
 Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah
dini (> 18 jam)
3) Gangguan nafas berat
Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya. Bila dalam
pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya.Terapi
untuk kemungkinan kesar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan
segera dirujuk di rumah sakit rujukan.Berikan ASI bila bayi mampu mengisap.
Bila tidak berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu cara alternatif
pemberian minuman. Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada
perbaikan gangguan napas.Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara
30-60 kali/menit.

f. Terapi
Terapi terutama ditujukan pada pertukaran O2 dan CO2 yang tidak adekuat di
paru-paru, asidosis metabolik dan kegagalan sirkulasi adalah manifestasi
sekunder. Beratnya HMD akan berkurang bila dilakukan penanganan dini pada bayi
BBLR, terutama terapi asidosis, hipoksia, hipotensi dan hipotermia.
a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan
bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
 Pantau selalu tanda vital
 Jaga kepatenan jalan nafas
 Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
 Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
 Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang
d. Segera periksa kadar gula darah
e. Pemberian nutrisi adekuat
Kebanyakan kasus HMD bersifat self-limiting, jadi tujuan terapi adalah untuk
meminimalkan kelainan fisiologis dan masalah iatrogenik yang
memperberat.Penanganan sebaiknya dilakukan di NICU.

g. Pencegahan
Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi pada
bayi resiko tinggi adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur, mencegah tindakan
seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis, melaksanakan manajemen
yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran bayi resiko tinggi.
Tindakan yang efektif untuk mencegah RDS adalah:
 Mencegah kelahiran < bulan (premature).
 Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis.
 Management yang tepat.
 Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM.
 Optimalisasi kesehatan ibu hamil.
 Kortikosteroid pada kehamilan kurang bulan yang mengancam.
 Obat-obat tocolysis (β-agonist : terbutalin, salbutamol) relaksasi uterus Contoh
: Salbutamol (ex: Ventolin Obstetric injection) 5mg/5 ml (utk asma: 5 mg/ml)
Untuk relaksasi uterus : 5 mg salbutamol dilarutkan dalam infus 500 ml
dekstrose/NaCl diberikan i.v (infus) dgn kecepatan 10 – 50 μg/menit dgn
monitoring cardial effect. Jika detak jantung ibu > 140/menit kecepatan
diturunkan atau obat dihentikan
 Steroid (betametason 12 mg sehari untuk 2x pemberian, deksametason 5 mg
setiap 12 jam untuk 4 x pemberian)
 Cek kematangan paru (lewat cairan amniotic pengukuran rasio
lesitin/spingomielin: > 2 dinyatakan mature lung function).

C. Manajemen Resusitasi Neonatus


a. Pendahuluan
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk
mengeluarkan karbon dioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam
keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh
darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah
janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu
duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta(Perinasia, 2006).
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama
oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoli
akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir
ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli(Perinasia, 2006).
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada
sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara
dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami
relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang(Perinasia, 2006).
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan
sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus
arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena
pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung
kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan
keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh
darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami
relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus
arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk
dialirkan ke seluruh jaringan tubuh(Perinasia, 2006).
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paru-
parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam
akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru
merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk
adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru
menjadi kemerahan. Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal ;
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru-
parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan insterstitial di
paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan menyebabkan
arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap
kontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri sistemik tidak
mendapat oksigen(Perinasia, 2006).
Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada organ
seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung dan otak
tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian
distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital.
Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi
kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung, penurunan
tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan berkurang.
Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, akan
menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ tubuh lain,
atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau
lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada
otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen;
bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot
jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot
jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan, takipnu (pernapasan cepat) karena kegagalan
absorbsi cairan paru-paru dan sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah.
b. Resusitasi Neonatus
Diperkirakan 10% bayi baru lahir membutuhkan bantuan untuk bernapas pada
saat lahir dan 1% saja yang membutuhkan resusitasi yang ekstensif. Resusitasi ialah
prosedur yang diaplikasikan pada BBL (Bayi Baru Lahir) yang tidak dapat bernafas
secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Penilaian
awal saat lahir harus dilakukan pada semua bayi. Penilaian awal itu ialah:
- Apakah bayi cukup bulan?
- Apakah air ketuban jernih dan tidak bercampur mekonium?
- Apakah bayi menangis atau bernapas?
- Apakah tonus otot bayi baik?
Jika bayi lahir cukup bulan, menangis, dan tonus ototnya baik, bayi dikeringkan
dan Dipertahankan tetap hangat. Hal ini dilakukan dengan bayi berbaring di dada
ibunya dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi yang tidak memenuhi kriteria tersebut,
dinilai untuk dilakukan satu atau lebih tindakan secara berurutan di bawah ini:
1) Langkah awal stabilisasi (memberikan kehangatan, membersihkan jalan
napas jika diperlukan, mengeringkan, merangsang)
2) Ventilasi
3) Kompresi dada
4) Pemberian epinefrin dan/atau cairan penambah volume
Diberikan waktu kira-kira 60 detik (the Golden Minute) untuk melengkapi
langkah awal, menilai kembali, dan memulai ventilasi jika dibutuhkan. Penentuan ke
langkah berikut didasarkan pada penilaian simultan dua tanda vital yaitu pernapasan
dan frekuensi denyut jantung. Setelah ventilasi tekanan positif (VTP) atau setelah
pemberian oksigen tambahan, penilaian dilakukan pada tiga hal yaitu frekuensi denyut
jantung, pernapasan, dan status oksigenasi.
Setelah publikasi tahun 2005, telah diidentifikasi beberapa kontroversi dan pada
tahun 2010 dibuat kesepakatan. Berikut ini adalah rekomendasi utama untuk resusitasi
neonatus:
1) Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan dua tanda
vital yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan. Oksimeter digunakan
untuk menilai oksigenasi karena penilaian warna kulit tidak dapat
diandalkan.
2) Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan dengan
udara dibanding dengan oksigen 100%.
3) Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended
oxygen) , dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan oksimetri.
4) Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya
pengisapan trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur
mekonium, bahkan pada bayi dalam keadaan depresi (lihat keterangan pada
Langkah Awal).
5) Rasio kompresi dada dan ventilasi tetap 3:1 untuk neonatus kecuali jika
diketahui adanya penyebab jantung. Pada kasus ini rasio lebih besar dapat
dipertimbangkan.
6) Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup bulan atau
mendekati cukup bulan dengan perkembangan kearah terjadinya ensefalopati
hipoksik iskemik sedang atau berat, dengan protokol dan tindak lanjut sesuai
panduan.
7) Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung
selama 10 menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan
resusitasi setelah 10 menit.
8) Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit untuk bayi
yang tidak membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup untuk
merekomendasikan lama waktu untuk penjepitan talipusat pada bayi yang
memerlukan resusitasi.

c. Langkah-Langkah Resusitasi Neonatus


Skema 1. Resusitasi Neonatus
1. Langkah Awal
Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan meletakkan
bayi di bawah pemancar panas, memposisikan bayi pada posisi menghidu/sedikit
tengadah untuk membuka jalan napas, membersihkan jalan napas jika perlu,
mengeringkan bayi, dan stimulasi napas.
a) Membersihkan jalan napas
- Jika cairan amnion jernih.
Pengisapan langsung segera setelah lahir tidak dilakukan secara rutin,
tetapi hanya dilakukan bagi bayi yang mengalami obstruksi napas dan
yang memerlukan VTP.
- Jika terdapat mekonium.
Bukti yang ada tidak mendukung atau tidak menolak dilakukannya
pengisapan rutin pada bayi dengan ketuban bercampur mekonium dan
bayi tidak bugar atau depresi. Tanpa penelitian (RCT), saat ini tidak
cukup data untuk merekomendasikan perubahan praktek yang saat ini
dilakukan. Praktek yang dilakukan ialah melakukan pengisapan
endotrakeal pada bayi dengan pewarnaan mekonium yang tidak bugar.
Namun, jika usaha intubasi perlu waktu lama dan/atau tidak berhasil,
ventilasi dengan balon dan sungkup dilakukan terutama jika terdapat
bradikardia persisten.
2. Menilai kebutuhan oksigen dan pemberian oksigen
Tatalaksana oksigen yang optimal pada resusitasi neonatus menjadi penting
karena adanya bukti bahwa baik kekurangan ataupun kelebihan oksigen dapat
merusak bayi. Persentil oksigen berdasarkan waktu dapat dilihat pada gambar
algoritma. Penggunaan oksimetri nadi (pulse oximetry) direkomendasikan jika
 Resusitasi diantisipasi
 VTP diperlukan lebih dari beberapa kali napas
 Sianosis menetap
 Oksigen tambahan diberikan.
3. Pemberian oksigen tambahan
Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai resusitasi dengan
udara atau oksigen campuran (blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi
oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target. Jika oksigen campuran tidak
tersedia, resusitasi dimulai dengan udara kamar. Jika bayi bradikardia (kurang
dari 60 per menit) setelah 90 detik resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah,
konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga didapatkan frekuensi
denyut jantung normal.
4. Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika frekuensi denyut jantung
kurang dari 100 per menit setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.
5. Pernapasan awal dan bantuan ventilasi
Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi napas 40 – 60 kali per
menit untuk mencapai dan mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari
100 per menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat ialah perbaikan cepat dari
frekuensi denyut jantung.
6. Tekanan akhir ekspirasi
Banyak ahli merekomendasikan pemberian continuous positive airway
pressure (CPAP) pada bayi yang bernapas spontan tetapi mengalami kesulitan
setelah lahir. Penggunaan CPAP ini baru diteliti pada bayi prematur. Untuk bayi
cukup bulan dengan gawat napas, tidak ada cukup bukti untuk mendukung atau
tidak mendukung penggunaan CPAP di ruang bersalin.
7. Alat untuk ventilasi
Alat untuk melakukan VTP untuk resusitasi neonatus adalah Balon Tidak
Mengembang Sendiri (balon anestesi), Balon Mengembang Sendiri, atau T-piece
resuscitator. Laryngeal Mask Airway (LMA; sungkup larings) disebutkan dapat
digunakan dan efektif untuk bayi >2000 gram atau ≥34 minggu. LMA
dipertimbangkan jika ventilasi dengan balon sungkup tidak berhasil dan intubasi
endotrakeal tidak berhasil atau tidak mungkin. LMA belum diteliti untuk
digunakan pada kasus air ketuban bercampur mekonium, pada kompresi dada,
atau untuk pemberian obat melalui trakea.
8. Pemasangan intubasi endotrakeal
Indikasi intubasi endotrakeal pada resusitasi neonatus ialah:
 Pengisapan endotrakeal awal dari bayi dengan mekonium dan tidak
bugar.
 Jika ventilsi dengan balon-sungkup tidak efektif atau memerlukan waktu
lama.
 Jika dilakukan kompresi dada.
 Untuk situasi khusus seperti hernia diafragmatika kongenital atau bayi
berat lahir amat sangat rendah.
9. Kompresi dada
Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per
menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik. Untuk neonatus,
rasio kompresi:ventilasi tetap 3:1. Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan
oksigenasi harus dinilai secara periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan
sampai frekuensi denyut jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
10. Medikasi
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun, jika
frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit walaupun telah diberikan
ventilasi adekuat dengan oksigen 100% dan kompresi dada, pemberian epinefrin
atau pengembang volume atau ke duanya dapat dilakukan.
11. Epinefrin
Epinefrin direkomendasikan untuk diberikan secara intravena dengan dosis
intrvena 0,01 – 0,03 mg/kg. Dosis endotrakeal 0,05 – 1,0 mg/kg dapat
dipertimbangkan sambil menunggu akses vena didapat, tetapi efektifitas cara ini
belum dievaluasi. Konsentrasi epinefrin yang digunakan untuk neonatus ialah
1:10.000 (0,1 mg/mL).
12. Pengembang volume
Pengembang volume dipertimbangkan jika diketahui atau diduga kehilangan
darah dan frekuensi denyut jantung bayi tidak menunjukkan respon adekuat
terhadap upaya resusitasi lain. Kristaloid isotonik atau darah dapat diberikan di
ruang bersalin. Dosis 10 mL/kg, dapat diulangi.
13. Perawatan pasca resusitasi
Bayi setelah resusitasi dan sudah menunjukkan tanda-tanda vital normal,
mempunyai risiko untuk perburukan kembali. Oleh karena itu setelah ventilasi
dan sirkulasi adekuat tercapai, bayi harus diawasi ketat dan antisipasi jika terjadi
gangguan.
14. Nalokson
Nalokson tidak diindikasikan sebagai bagian dari usaha resusitasi awal di
ruang bersalin untuk bayi dengan depresi napas.
15. Glukosa
Bayi baru lahir dengan kadar glukosa rendah mempunyai risiko yang
meningkat untuk terjadinya perlukaan (injury) otak dan akibat buruk setelah
kejadian hipoksik iskemik. Pemberian glukosa intravena harus dipertimbangkan
segera setelah resusitasi dengan tujuan menghindari hipoglikemia.
16. Hipotermia untuk terapi
Beberapa penelitian melakukan terapi hipotermia pada bayi dengan umur
kehamilan 36 minggu atau lebih, dengan ensefalopatia hipoksik iskemik sedang
dan berat. Hasil penelitian ini menunjukkan mortalitas dan gangguan
perkembangan neurologik yang lebih rendah pada bayi yang diberi terapi
hipotermia dibanding bayi yang tidak diberi terapi hipotermia. Penggunaan cara
ini harus menuruti panduan yang ketat dan dilakukan di fasilitas yang memadai.
17. Penghentian resusitasi
Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung
selama 10 menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan
resusitasi setelah 10 menit.
Behrman, R.E., Kliegman, R.M., Nelson, W.E., Vaugh, V.C., 1992. Hyalin Membrane Disease In:
Nelson

Textbook of Pediatrics, WB Saunders Co. 14th Ed., London: pp 463-78.

Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. 2004. Neonatology: Management, Procedures,
On-call Problems, Diseases and drugs, Lange Medical Books/McGraw-Hill, 5 th Edition, New York.

Hermansen, Christian L. dan Anand Mahajan. 2015. Newborn Respiratory Distress.

https://www.aafp.org/afp/2015/1201/p994.html. Diakses pada 05 Februari 2018.

Locci, Giorgia., Vasillios Fanos, dkk. 2014. Hyalin Membrane Disease (HMD) : The Role of The
Perinatal Pathologist. www.jpnim.com Open Access eISSN: 2281-0692 Journal of Pediatric and
Neonatal

Individualized Medicine 2014;3(2):e030255 doI: 10.7363/030255. Diakses pada 05 Februari 2018.

Mathai, SS., U. Raju, dan M. Kanitkar. 2011. Management of Respiratory Distress in the Newborn.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4922755/. Diakses pada 05 Februari 2018.

Mochtar, Anantyo Binarso. 2016. Persalinan Preterm. Dalam : Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Ed. 4. Cetakan Kelima. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

A. ANALISIS MASALAH
1. Mrs. Feni, 17 tahun, G2P2A0 dirawat ke rumah sakit dengan keluhan hipertensi (tekanan
darah 180/100 mmHg) dan melahirkan seorang bayi perempuan. HPHT tidak diketahui,
diperkirakan usia kehamilan 7 bulan.
a. Apa hubungan usia ibu dan riwayat hipertensi dengan kehamilan preterm?
b. Bagaimana cara memperkirakan usia kehamilan jika HPHT tidak diketahui?
Cara menghitung usia gestasi (kehamilan) dan hari perkiraan lahir yang benar:
1) HPHT
Menghitung usia kehamilan berdasar HPHT hanya dapat dilakukan pada ibu
hamil yang memiliki siklus haid normal dan teratur (28-30 hari). Untuk taksiran usia
kehamilan berdasarkan HPHT dapat menggunakan rumus Neagele, selain dapat
menghitung usia kehamilan, rumus ini juga dapat digunakan untuk menghitung hari
perkiraan lahir (HPL). Penggunaan rumus ini adalah dengan menambahkan 7 pada
tanggal pertama dari haid terakhir, kemudian mengurangi bulan dengan 3 dan
menambahkan 1 pada tahunnnya, sedangkan untuk bulan yang tidak bisa dikurangi
3, misalnya Januari, Februari, dan Maret, maka bulannya ditambah 9, tapi tahunnya
tetap tidak ditambah atau dikurangi.
Contoh:

Jika HPHT anda adalah 16 Oktober 2005, maka:


16 -10 - 05
+-+
731
23 - 7 - 06 (Ini adalah tanggal HPL)
Jadi taksiran waktu kelahiran adalah tanggal 23 Juli 2006, sedangkan untuk
usia kehamilan tinggal menghitungnya setiap tanggal 23, jadi pada saat tgl 23
November , berarti usia kehamilan anda menginjak satu bulan, 23 Desember
usia kehamilan 2 bulan dst. Untuk Hari Perkiraan Lahir sebaiknya ditambah
tenggang waktu plus atau minus 7 hari.

Selain melalui perhitungan Hari Pertama Hari Terakhit (HPHT), usia


kehamilan dapat diketahui dengan beberapa metode lain:

2) Gerakan pertama fetus


Gerakan pertama fetus dapat dirasakan pada umur kehamilan 16 minggu.

3) Palpasi abdomen
Palpasi abdomen dapat menggunakan :
 Rumus Bartholomew
Antara simpisis pubis dan pusat dibagi menjadi 4 bagian yang sama, maka
tiap bagian menunjukkan penambahan 1 bulan. Fundus uteri teraba tepat di
simpisis umur kehamilan 2 bulan (8 minggu). Antara pusat sampai prosesus
xifoideus dibagi menjadai 4 bagian dan tiap bagian menunjukkan kenaikan 1
bulan. Tinggi fundus uteri pada umur kehamilan 40 minggu (bulan ke-10)
kurang lebih sama dengan umur kehamilan 32 minggu (bulan ke-8).
 Rumus Mc Donald
Fundus uteri diukur dengan pita. Tinggi fundus dikalikan 2 dan dibagi 7
memberikan umur kehamilan dalam bulan obstetrik dan bila dikalikan 8 dan
dibagi 7 memberikan umur kehamilan dalam minggu.
 Palpasi Leopold
Palpasi leopold merupakan teknik pemeriksaan pada perut ibu bayi untuk
menentukan posisi dan letak janin dengan melakukan palpasi abdomen.
Palpasi leopold terdiri dari 4 langkah yaitu:
 Leopold I : Leopold I bertujuan untuk mengetahui letak fundus uteri dan
bagian lain yang terdapat pada bagian fundus uteri
 Leopold II : Leopold II bertujuan untuk menentukan punggung dan
bagian kecil janin di sepanjang sisi maternal
 Leopold III : Leopold III bertujuan untuk membedakan bagian persentasi
dari janin dan sudah masuk dalam pintu panggul
 Leopold IV : Leopold IV bertujuan untuk meyakinkan hasil yang
ditemukan pada pemeriksaan Leopold III dan untuk mengetahui sejauh
4) Perkiraan tinggi fundus uteri
Cara menentukan kehamilan dengan perkiraan tinggi fundus uteri:
 Mempergunakan tinggi fundus uteri
Perkiraan tinggi fundus uteri dilakukan dengan palpasi fundus dan
membandingkan dengan patokan.
 Menggunakan alat ukur caliper

 Menggunakan pita ukur


 Menggunakan pita ukur dengan metode berbeda
5) Ultrasonografi
Tujuan ultrasonografi adalah:
 Konfirmasi kehamilan
Embrio dalam kantung kehamilan tampak pada awal kehamilan 5,5 minggu
dan detak jantung janin tampak jelas dalam usia 7 minggu.
 Mengetahui usia kehamilan
Penentuan umur kehamilan dengan USG menggunakan 3 cara yaitu:
o Mengukur diameter kantong kehamilan (GS=gestational sac) pada
kehamilan 6-12 minggu.
o Mengukur jarak kepala bokong (GRI=grown rump length) pada kehamilan
7-14 minggu
o Mengukur diameter biparietal (BPD) pada kehamilan lebih 12 minggu
Paling akurat di awal kehamilan, dengan variasi 5-7 hari. Crown Rump
Length (CRL) paling akurat pada trimester pertama. Diameter biparietal
(Biparietal Diameter-BPD) paling akurat dari usia kehamilan 14 hingga 26
minggu, dengan variasi 7-10 hari. BPD dihitung dari tepi terluar tengkorak
bagian distal, setinggi thalamus dan kavum septum pelusidum. Lingkar kepala
(Head circumference-HC) juga diukur. Jika bentuk kepala datar—dolikosefali,
atau bulat—brakisefali, HC lebih sahih dibangingka BPD. Panjang femur
(Femur length-FL) berkolerasi baik dengan BPD dan usia gestasi. Panjang
femur dihitung dengan sorotan tegak lurus terhadap sumbu panjang diafisis
(shaft), tanpa melibatkan epifisis, dan memiiki variasi 7-11 hari pada trimester
kedua. Lingkar perut (Abdominal circumference-AC) memiliki variasi
terbesar, hingga mencapai 2-3 mingg, karena melibatkan jaringan lunak.
Lingkar ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan janin. AC diukur di garis
kulit pada penampang transversal janin setinggi lambung janin setinggi
lambung janin dan vena umbilikalis.
Variabilitas perkiraan usia gestasi meningkat dengan semakin tuanya
kehamilan. Penugkuran secara individual kurang akurt pada trimester ketiga
dan perkiraan semakin meningkat dengan merata-ratakan keempt parameter.
Jika satu parameter berbeda secara bermakna, dapat dieksklusi dari
perhitungan. Hal ini dapat diakibatkan oleh visibilitas yang buruk, tetapi juga
dapat menunjukkan abnormalitas pada janin atau gangguan perkembangan.
Pemeriksaan sonografi yang dilakukan unutk mengevaluasi perkembangn
janin sebaiknya dilakukan setidaknya 2 hingga 4 minggu. (ACOG, 2009;
American Institute of Ultrasound in Medicine, 2007)
Prinsip:
- Ketepatan perkiraan usia kehamilan berbanding terbalik dengan
usia janin. Laju pertumbuhan janin selama kehamilan tidak
konstan; sangat cepat di awal kehamilan, kemudian melambat
sejalan dengan makin tua usia kandungan.
- Pada kehamilan Trimester 3, ketepatan penentuan usia
kehamilan akan lebih baik jika dilakukan secara serial
(beberapa kali pemeriksaan dengan interval waktu tertentu).
Terutama bagi ibu hamil yang tidak mengetahui secara pasti
usia kandungannya atau baru memeriksakan kehamilannya
pertama kali pada trimestern 3. Pemeriksaan serial dilakukan
dengan interval minimal 2 minggu, agar penambahan ukuran
biometri mudah dibedakan.

6) Penilaian ukuran antropometik


a. Berat badan lahir ( BBL )
BBL merupakan indeks yang terburuk untuk menentukan masa gestasi
neonatus. Hal ini disebabkan BBL sangat dipengaruhi oleh banyak faktor.
BBL kurang atau sama dengan 2.500 gram tidak dapat dipandang sebagai
unit yang homogen. Bayi BBLR dapat merupakan bayi prematur murni atau
dismatur. Jadi lama masa gestasi untuk BBLR sangat bervariasi.
b. Crown heel length
Lingkaran kepala, diameter oksipito-frontal, diameter bipariental dan
panjang badan. Menurut Finnstrom ( 1971 ), dari semua ukuran tersebut di
atas hanya ukuran lingkaran kepala yang mempunyai korelasi yang baik
dengan lamanya masa gestasi. Untuk ini ia menemukan ―confidence limit‖
kira-kira 26,1 hari. (1) Selain itu ia mengajukan rumus sebagai berikut:
Y = 11,03 + 7,75x
Y = masa gestasi
x = lingkaran kepala.
Penilaian karakteristik fisik luar dari beberapa alat tubuh
ternyata mempunyai hubungan dengan maturitas bayi. Dari semua
kriteria external yang dapat dinilai untuk menentukan masa gestasi
neonatus, kriteria yang disebutkan di bawah ini adalah yang terbaik
mempunyai hubungan dengan masa gestasi. Kriteria tersebut adalah
bentuk puting susu, ukuran payudara, ―plantar creases‖, rambut
kepala, transparansi kulit, membran pupil, alat kelamin, kuku dan
tulang rawan telinga.
7) New Ballard score

2. Riwayat persalinan preterm sekitar usia 8 bulan pada kehamilan sebelumnya dan anak
pertamanya meninggal pada usia 1 hari setelah persalinan.

3. Empat jam setelah MRS dokter memutuskan untuk melakukan terminasi dengan cara C
section. Setelah dilahirkan, bayi tidak menangis spontan namun merintih dan seluruh
tubuh sianosis (biru).

a. Bagaimana hubungan riwayat hipertensi pada ibu dengan kondisi bayi ketika
dilahirkan?
Riwayat hipertensi pada ibu merupakan factor resiko terjadinya kelahiran preterm
b. Apa makna klinis bayi tidak menangis namun merintih dan seluruh tubuh sianosis?
(faktor resiko dengan prematur)
Sebagai respon, bayi premature mengalami grinting yang memperpanjang ekspirasi
dan mencegah FRC semakin berkurang. Seluruh tubuh sianosis menunjukkan perfusi
oksigen ke jaringan tidak mencukupi
c. Apa etiologi dan bagaimana mekanisme dari bayi tidak menangis spontan, merintih
dan sianosis terkait kasus?
 Bayi tidak menangis
1. Asfiksia dalam kehamilan.
a. Penyakit infeksi akut.
b. Penyakit infeksi kronik.
c. Keracunan oleh obat-obat bius.
d. Uremia dan toksemia gravidarum.
e. Anemia berat.
f. Cacat bawaan.
g. Trauma.

2. Asfiksia dalam persalinan


a. Kekurangan O2.
• Partus lama ( rigid serviks dan atonia/ insersi uteri). • Ruptur uteri yang
memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus mengganggu sirkulasi darah
ke plasenta. • Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta. • Prolaps
fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepala dan panggul. • Pemberian obat
bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya. • Perdarahan banyak :
plasenta previa dan solutio plasenta. • Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas
(serotinus), disfungsi uteri.
b. Paralisis pusat pernafasan
• Trauma dari luar seperti oleh tindakan forceps.
• Trauma dari dalam : akibat obat bius.

Bayi tidak menangis spontan diakibatkan oleh kurangnya oksigen akibat paru-
paru tidak dapat berkembang dengan baik. Tangisan bayi ketika lahir membantu
membuka paru-parunya agar bisa bernapas. Pada kasus, pematangan paru belum
sempurna dan terjadi defisiensi surfaktan. Surfaktan berfungsi untuk
menurunkan tegangan permukaan alveoli, sehingga alveoli dapat tetap terbuka
sepanjang siklus pernafasan. Surfaktan biasanya akan dihasilkan saat usia
kehamilan 32 minggu. Defisiensi ini menyebabkan alveoli tidak dapat
mengembang/kolaps sehingga bayi sulit bernafas (kekurangan oksigen).
Grunting atau merintih merupakan tanda dari respiratory distress pada bayi baru
lahir biasanya terjadi bersamaan dengan nasal flaring dan retraksi intercostal atau
subcostal. Suara yang keluar terjadi karena tertutupnya glotis selama ekspirasi
yang dapat meningkatkan tekanan akhir ekspirasi pada paru (end-expiratory
pressure) sebagai usaha meningkatkan oksigenasi pada bayi.
Etiologi:
1. Transient tachypnea in new born
2. Croup
3. Meconium aspiration
4. Pneumonia
5. RDS (Respiratory Distress Syndrome).

Perfusi darah ke jaringan perifer berkurang akibat hipoxia maka aliran darah
diutamakan pada organ-organ vital saja maka tampak kebiruan akibat RBC di
jaringan berkurang.

4. Residen anak melakukan tindakan pertama berupa resusitasi, didapatkan APGAR score 3
pada menit pertama dan 7 pada menit kelima. Cairan ketuban jernih.

Nilai APGAR memungkinkan pengkajian untuk mengetahui perlu tidaknya resusitasi


dilakukan dengan cepat. Bayi yang sehat harus mempunyai nilai APGAR 7-10 baik
itu pada penilaian 1 menit pertama maupun penilaian pada 5 menit kemudian dalam
kehidupan pertama bayi baru lahir. Pemeriksaan ini dilakukan secara cepat bayi baru
lahir akan mengevaluasi keadaan fisik dari bayi baru lahir dan sekaligus mengenali
adanya tanda tanda darurat yang memerlukan dilakukannya tindakan segera terhadap
bayi baru lahir. APGAR dipakai untuk menilai kemajuan kondisi BBL pada saat 1
menit dan 5 menit setelah kelahiran.Pengukuran menit pertama digunakan untuk
menilai bagaimana ketahanan bayi melewati proses persalinan. Pengukuran pada
menit kelima menggambarkan sebaik apa bayi dapat bertahan setelah keluar dari
rahim ibu. Pada situasi tertentu pengukuran ke tiga kalinya dan selanjutnya dapat
dilakukan pada menit ke 10, 15, dan 20 setelah kelahiran.
Kriteria 0 1 2
Activity Lumpuh Fleksi tungkai atas dan bawah Gerakan aktif
(tonus otot)
Pulse Tidak ada < 100x/min > 100x/min
(denyut
jantung)
Grimace Tidak ada respon Meringis Bersin atau batuk,
(refleks menjauh saat saluran
iritabilitas) napas distimulasi
Appearance Biru - abu-abu atau Badan merah, kaki dan tangan Seluruh tubuh dan
(warna kulit) pucat di seluruh biru anggota gerak merah
tubuh
Respiration Tidak bernapas Menangis lemah; terdengar Baik, menangis kuat
(pernapasan) seperti merengek atau
mendengkur; Lambat, ireguler
Tabel 3. APGAR Score
a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3.
b. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6.
c. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9.
d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10 (Ghai, 2010).
APGAR 1 (pada 1 menit) → 3
Interpretasi: Distress berat atau Asfiksia berat
Memerlukan resusitasi segera secara aktif, dan pemberian oksigen terkendali. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung 100X/menit, tonus otot buruk, sianosis
berat, dan terkadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada
APGAR 2 (pada 5 menit) → 7
Interpretasi: Sedikit Asfiksia atau normal
Terjadi peningkatan nilai APGAR dapat dikatakan tindakan resusitasi berhasil namun
dari pemeriksaan fisik, gejala klinis masih ada sehingga mungkin terjadi respiratory
distress dan perlu diketahui etiologinya

5. Hasil pemeriksaan fisik:


Berat badan 1400 gram
Panjang badan 42 cm
Lingkar kepala 32 cm
Tonus otot menurun, terjadi penurunan fleksi ekstremitas, kulit tipis, dengan banyak
lanugo pada seluruh tubuh dan 1/3 anterior plantar creases.
a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?

Pemeriksaan Kasus Normal Interpretasi


Berat badan 1400 g 2500-4000 g (aterm) BBLSR
<2500 = BBLR
<1500 = BBLSR
<1000 = Extremely low birth weight

32 minggu = 1200- Sesuai dengan usia kehamilan = AGA


2200 g (kurva 1. persentile BB,PB, lingkar
34 minggu = 1500-
kepala) prematuritas murni.
2700 g
Panjang 42 cm 30 minggu = 37.5 cm Sesuai dengan usia kehamilan = AGA
32 minggu = 40 cm
badan (kurva 1. persentile BB,PB, lingkar
34 minggu = 42.5 cm
36 minggu = 45 cm kepala)
40 minggu = 50 cm
Lingkar 32cm 31-36 cm (aterm) Sesuai dengan usia kehamilan = AGA
32 minggu = 27-32 cm
kepala (kurva 1. persentile BB,PB, lingkar
34 minggu = 29-34 cm
kepala)
Tonus otot Menurun Normal aterm mampu Prematur
melakukan gerakan
aktif
Ekstrimitas Poorly flexed mampu memflexikan Prematur
Skor Ballard = 1
sampai mencapai sudut
terkecilnya; Makin
aterm, makin kecil
sudut yang bisa
dibentuk.
Kulit Tipis Kulit sudah agak tebal, Prematur
Skor Ballard = 1 atau 2
kasar.
Tebal jaringan subcutan
0,25-0,5 cm
Lanugo Seluruh Tidak ada lanugo Prematur
Skor Ballard= 1
tubuh
Plantar 1/3 anterior Seluruh telapak kaki Prematur
Skor Ballard = 2 atau 3
creases

b. Bagaimana klasifikasi berat badan BBL sesuai usia gestasi?


kurva lubchenco
c. Apa makna klinis tonus otot menurun, terjadi penurunan fleksi ekstremitas, kulit
tipis, dengan banyak lanugo pada seluruh tubuh dan 1/3 anterior plantar creases?
6. Setelah 15 menit kelahiran, bayi masih merintih dan tampak biru di seluruh tubuh. RR:
100x/menit, terdapat retraksi epigastrium, suara napas menurun. HR: 168x/menit,
saturasi 85% dengan nasal oxygen.
a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan setelah 15 menit kelahiran?
Grunting Tidak terdapat grunting Gangguan pernapasan
• BBLSR, prematuritas murni (AGA)
bayi lahir dengan kondisi paru belum
matang asfiksia neonatorum bayi
melakukan usaha bernafas (gasping)
yang terdengar sebagai rintihan
(grunting)
Sianosis seluruh tubuh tidak sianosis Asfiksia neonatorum kurangnya
kadar oksigen pada seluruh tubuh
sianosis; Perfusi darah ke jaringan
perifer berkurang akibat hipoxia
maka aliran darah diutamakan pada
organ-organ vital saja maka tampak
kebiruan akibat RBC di jaringan
berkurang.
Respiratory Distress
Down’s score = 1 atau 2
RR 100x/minute Normal <60/min Respiratory Distress
Down’s Score = 2
Epigastric retraction Tidak ada retraksi Abnormal, Hipoxia pada bayi memicu
(retraksi subcosta) suprasternal, subcostal, usaha nafas meningkat sehingga otot-
intercostal otot dinding dada berkontraksi lebih
kuat sehingga terlihat tarikan dinding
dada.
Respiratory Distress
Down’s score = 1 atau 2
Suara napas menurun Normal Dyspneu
Pada awalnya suara nafas mungkin
normal kemudian dengan menurunnya
pertukaran udara, nafas menjadi parau
dan pernafasan dalam
Heart rate 168 HR post resusitasi > Respon resusitasi baik
beats/minute. 100/min
Saturation 85% with nasal Target saturasi 10 min: Respon resusitasi baik
oxygen. 85-95%

7. Hipotesis
Bayi perempuan Ny. Feni dengan persalinan preterm 7 bulan secara C-section
mengalami BBLSR (Bayi Berat Lahir Sangat Rendah) dengan SMK (Sesuai Masa
Kehamilan) dan Respiratory Distress.
a. Diagnosis Banding
Hyaline Membrane Disease Transient Tachypnea of The
Neonate

Bayi Preterm √ √
(Near-term / aterm)

Tachypneu √ √
( > 60 x/menit) (> 80 x/menit)

Grunting √ √

Retraksi Dada √ √
(Retraksi dada bawah) (Retraksi intercostal)

Cyanosis √ √

Memiliki faktor √ -
resiko kehamilan

BBLSR √ -

b. Epidemiologi
Sindrom gawat nafas neonatus merupakan suatu sindrom yang sering ditemukan pada
neonatus dan menjadi penyebab morbiditas utama pada bayi berat lahir rendah
(BBLR); sehingga SGNN disebut juga sebagai penyakit membran hialin (PMH)
karena PMH merupakan bagian terbesar dari sindrom gawat nafas pada masa
neonates.
Penyakit membran hialin umumnya terjadi pada bayi prematur. Angka kejadian PMH
pada bayi yang lahir dengan masa gestasi 28 minggu sebesar 60%-80%, pada usia
kelahiran 30 minggu adalah 25%, sedang pada usia kelahiran 32-36 minggu sebesar
15-30%, dan pada bayi aterm jarang dijumpai. Di negara maju PMH terjadi pada 0,3-
1% kelahiran hidup dan merupakan 15-20% penyebab kematian neonates

c. Etiologi
Kehamilan usia muda
Genetic (riwayat persalinan preterm)
Premature
BBLSR

d. Faktor Resiko
e. Patofisiologi
f. Manifestasi Klinis
g. Pemeriksaan Penunjang
h. Tatalaksana
i. Pencegahan dan Edukasi
j. Komplikasi
BPD
Perdarahan periintraventricular karena hipoksia
Kejang (HIE)
Kebocoran alveoli
Necrotizing enterocolitis NEC
Disseminated intravascular coagulation

k. Prognosis
l. SKDI

Anda mungkin juga menyukai