Anda di halaman 1dari 127

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus dengan judul :

“TUBERKULOSIS PARU DENGAN CHF DAN EFUSI PLEURA ”

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kardinah Tegal periode 30
April - 21 Juli 2018

Disusun Oleh

Esy Fatrisia

030.13.069

Tegal, Juli 2018

Mengetahui, Pembimbing

dr. Yusfi Rydoka, Sp.P, M, KES


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha
Kuasa, atas segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Tuberculosis Paru Drop Out Dengan
Hemoptisis, Pneumonia dan Dyspepsia” dengan baik dan tepat waktu.

Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum
Daerah Kardinah Tegal periode 26 Maret 2018 – 2 Juni 2018. Di samping itu juga
ditujukan untuk menambah pengetahuan bagi kita semua.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada dr. Yusfi Rydoka, Sp.P, M, KES selaku pembimbing dalam
penyusunan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada rekan
– rekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum
Daerah Kardinah Tegal serta berbagai pihak yang telah memberi dukungan dan
bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan
tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya
masukan, kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar– besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan
informasi dan manfaat bagi kita semua.

Tegal, Mei 2018


Penulis

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................1

KATA PENGANTAR .............................................................................................2

DAFTAR ISI ............................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................4

BAB II LAPORAN
KASUS
....................................................................................................................................
5 ..................................................................................................................................

BAB III TINJAUAN


PUSTAKA
....................................................................................................................................
17 ................................................................................................................................

3.1 Tuberkulosis Paru ............................................................................................17

3.2 Hemoptisis ......................................................................................................51

3.3 Pneumonia .......................................................................................................65

3.4 Dyspepsia
................................................................................................................ 76

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................101

3
4
BAB 1

PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium tubercolosa. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit
yang telah lama dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab utama
kematian di dunia.1 Di Indonesia TBC merupakan penyebab kematian utama dan
angka kesakitan dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan
ketiga setelah India dan China dalam jumlah penderita TBC di dunia. Jumlah
penderita TBC paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap
menit muncul satu penderita baru TBC paru dan setiap dua menit muncul satu
penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu
orang meninggal akibat TBC di Indonesia.2
Batuk darah atau hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat
perdarahan pada saluran napas di bawah laring atau perdarahan yang keluar
melalui saluran napas bawah laring. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau
gejala penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang
lebih teliti. Batuk darah masif memerlukan penanganan segera karena dapat
mengganggu pertukaran gas di paru dan dapat mengganggu kestabilan
hemodinamik penderita sehingga bila tidak ditangani dengan baik dapat
mengancam jiwa. Hemoptisis masif sering terjadi pada bronkiektasis, bekas
tuberkulosis, karsinoma bronkogenik, tuberkulosis aktif, kistik fibrosis, Artery-
venous malformation (AVM), bronkiektasis nontuberkulosis dan ditemukan pada
kasus yang jarang seperti lesi infiltratif peribronkial.3,4
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan
oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Sedangkan peradangan paru
yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan
toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.5 Dispepsia merupakan
keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleh seseorang.
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30% orang

5
dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Istilah dyspepsia mulai
gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an yang menggambarkan keluhan atau
kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh di perut, sendawa,
regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada.6

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. R
Umur : 58 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Tegal wangi RT 07/RW 02, kecamatan Talang
Pekerjaan : Pedagang baju
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah
Tanggal masuk RS : Selasa, 26 Juni 2018
Tanggal masuk bangsal : Selasa, 26 Juni 2018
Ruangan : Rosella

2.2 Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 26 Juni 2018 pada pukul 10.00 WIB di
Bangsal Rosella RSUD Kardinah Tegal.
1. Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 bulan yang lalu SMRS
2. Keluhan Tambahan
Tangan dan kaki bengkak, perut bengkak, payudara bengkak
3. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke IGD RSUD Kardinah pada tanggal 26 Juni 2018 dengan
keluhan batuk berdarah sejak 1 tahun sebelum masuk Rumah sakit. Batuk

6
dirasakan semakin hari semakin memberat disertai dengan darah yang
keluar bercampur dengan dahak warna kuning. Merurut pasien darah
berwarna merah pekat, tidak berbusa dan kira-kira sebanyak sepertiga gelas
kecil. Pasien sering tidur dengan posisi miring ke kiri karena batuk. Selain
batuk berdarah, pasien juga mengeluh pusing, mual, muntah sesaat setelah
batuk, dan demam kurang lebih 2 bulan. Demam yang dirasakan naik turun,
demam naik paling sering pada malam hari disertai menggigil dan keringat
dingin pada malam hari. Menurut pasien muntah berisi air terasa pahit dan
panas di tenggorokan. Pasien juga mengeluh nyeri pada ulu hati hilang
timbul. Nafsu makan pasien juga menurun. Pasien hanya bisa makan 3
sendok saja kemudian di muntahkan kembali. Pasien memiliki penurunan
berat badan dalam beberapa bulan ini kurang lebih 12 kg. BAK tidak
terganggu. BAB belum sejak 4 hari yang lalu.
4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pasien pernah mengalami keluhan batuk sejak kurang lebih 2 tahun yang
lalu. Pasien juga pernah mengkonsumsi obat selama 2 bulan pada september
2015 yang membuat kencing menjadi merah dan pasien tidak pernah
mengkonsumsi lagi karena keterbatasan biaya. Pasien juga memiliki
kebiasaan merokok sudah lama dan dalam sehari menghabiskan 1 bungkus
rokok. Pasien menyangkal memiliki riwayat asma, tekanan darah tinggi,
kencing manis, penyakit jantung, penyakit ginjal dan sakit kuning
sebelumnya.
5. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Ibu kandung pasien mengalami penyakit yang sama seperti pasien dan
serumah dengan pasien. Riwayat kencing manis, darah tinggi, penyakit
jantung, dan penyakit paru juga di sangkal. Pasien menyebutkan bahwa ibu
pasien pernah mendapatkan pengobatan yang sama seperti pasien kemudian
tidak berobat sampai tuntas karena keterbatasan biaya.
6. Riwayat Kehidupan Pribadi dan Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama istri, anak, kakak perempuan dan ibu kandungnya.
Pasien tinggal di lingkungan yang padat penduduk. Saat ini pasien tidak

7
bekerja, namun sebelum sakit, pasien bekerja sebagai pedagang martabak.
Biaya pengobatan di tanggung oleh BPJS.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, tidak pucat, tidak sianosis, tampak
sesak.
Kesadaran : Compos mentis
Status gizi : Cukup (BB/TB 85kg/150cm)
BMI : kg/m2
Tanda vital : Tekanan darah : 140/100mmHg
Nadi : 110x/menit
Respirasi : 24x/menit
Suhu : 36,4 °C

Status Generalis
Kepala dan wajah Rambut Distribusi rambut merata, rambut berwarna hitam
dan tidak mudah dicabut

Kepala Ukuran normosefali, lesi (-), rash (-), scar (-),


massa (-), deformitas (-), sianotik (-), edema (-).

Mata Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), mata cekung (-/-),
pupil isokor, refleks pupil langsung dan tidak langsung (+/+).

Hidung Bentuk dan ukuran normal, deviasi septum (-), mukosa


hiperemis (-), benda asing (-), secret (-), deformitas (-).

Telinga Kedua telinga tampak simetris, serumen (-), hiperemis (-), liang
telinga lapang, deformitas (-), nyeri tekan (-) benda asing (-)
nyeri tekan (-), nyeri tarik (-).

Mulut Sianosis (-) deviasi lidah (-), atrofi lidah (-) lidah kotor (-).
Mukosa mulut hiperemis (-).
Faring normal tidak hiperemis, letak uvula di tengah. Ukuran
tonsil T1/T1.

Leher JVP normal (5±3), pembesaran tiroid (-), deviasi trakea (-).
Pembesaran KGB leher (-).

8
Thorax
Jantung Inspeksi Ictus cordis tidak tampak
Palpasi Ictus cordis teraba pada ICS (Intercostal) V
linea midclavicular sinistra, tidak teraba thrill
Perkusi Batas paru dan jantung kanan setinggi ICS IV
linea parasternal dextra, batas paru dan jantung
kiri setinggi ICS V linea midclavicularis sinistra,
batas atas jantung ICS II linea parasternalis
sinistra, pinggang jantung setinggi ICS III linea
parasternal sinistra.
Auskultasi S1 S2 regular, murmur (-), gallop (-).

Paru Inspeksi Bentuk dada normal, bintik kemerahan (-), luka


(-), bekas luka (-), benjolan (-), perubahan warna
(Anterior) (-), memar (-), pelebaran sela iga (-), kedua
dinding dada simetris.
Palpasi Benjolan (-), nyeri tekan (-), perubahan suhu(-),
vokal fremitus normal.
Perkusi Lapang paru kanan sonor, lapang paru kiri
sonor, batas paru-hepar pada sela iga ke VI linea
midclavicularis dextra, batas paru-lambung
pada sela iga ke VIII linea axilaris anterior
sinistra dengan perkusi timpani.
Auskultasi Vesikuler (+/+), Ronki (+/+), Wheezing (+/+).

Paru Inspeksi Luka (-), bekas luka (-), benjolan (-), perubahan
(pemeriksaan warna (-), memar (-), deviasi vertebra (-)
thorax belakang)
Palpasi Benjolan (-), nyeri tekan (-), perubahan suhu (-),
vokal fremitus normal.
Perkusi Sonor pada seluruh lapang paru kanan, sonor
pada seluruh lapang paru kiri
Auskultasi Vesikuler +/+, ronkhi +/+, wheezing +/+

Abdomen Inspeksi Bentuk abdomen datar, smiling Umbilicus (-)


caput medusae (-), spider naevi (-).
Auskultasi Bising usus 7x/menit

9
Palpasi Teraba supel, lien dan vesica velea tidak teraba,
ballottement ginjal (-), nyeri lepas (-) dan
undulasi (-).
Nyeri tekan - + -
- - -
- - -

Perkusi Timpani, Shiffting dullness (-)

Ekstremitas Akral hangat di ke empat ekstremitas, sianotis (-), ikterik (-),


deformitas (-), edema (-), CRT normal (<2 detik), turgor kulit
baik.

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Tabel 2.1 Laboratorium

HEMATOLOGI (18 Mei 2018)

Nilai
Pemeriksaan Hasil Satuan
Rujukan

CBC

Hemoglobin L 12.0 g/dL 13.7 – 17.7

10
Leukosit H17.7 10^3/ul 4.4 – 11.3

Hematokrit L 37.8 42 – 52

Trombosit 372 10^3/ul 150 – 521

Eritrosit 4.6 10^6/ul 4.5 – 5.9

RDW H 14.1 11.5 – 14.5

MCV 82.5 U 80 – 96

MCH L 26.2 Peg 28 – 33

MCHC L 31.7 g/dL 33 - 36

Diff

Netrofil H 77.1 50 – 70

Limfosit L 9.9 25 – 40

Monosit H 11.0 2–8

Eosinofil 2 2–4

Basofil 0.5 0–1

Laju Endap Darah

LED 1 jam H 73 mm/jam 0 – 15

LED 2 jam H 97 mm/jam 0 – 25

KIMIA KLINIS

SGOT 13.4 U/L < 35 u/l

SGPT 11.0 U/L <46 u/l

Ureum 23.0 mg/dL 19.0 – 44.0

Kreatinin 1.14 mg/dL 0.70 – 1.30

Glukosa sewaktu 97 mg/dL 82.0 – 115.0

HIV 3 TEST

Hiv (Rapid test) ONCOPROBE Non reaktif Non reaktif

Radiologi (18 Mei 2018)

11
Foto thorax
Interpretasi :
Posisi foto AP
Konsolidasi disertai air bronhogram, fibrotik line dan cavitas pada kedua
paru
Deviasi trakea ke kanan
Penebalan hilus kanan dan kiri
Sinus costo frenikus kanan kiri tampak lancip
Corakan bronkovaskular normal
Jantung : bentuk dan letak jantung normal
Terdapat perselubungan pada basal paru kanan dan kiri dengan
Kesan : TB paru
Penebalan hilus kanan kiri, suspek limfadenophaty

Radiologi (22 September 2015)

12
Pemeriksaan anjuran :
TCM
Kultur sputum
USG abdomen
Endoscopy

2.5 Daftar Abnormalitas


Anamnesis
1. Batuk berdarah sejak 1 tahun
2. Posisi tidur miring ke kiri
3. Pusing
4. Mual dan muntah
5. Demam
6. Menggigil dan keringat malam hari

13
7. penurunan berat badan
8. Nyeri ulu hati
9. Nafsu makan menurun
10. Penurunan berat badan
11. Belum BAB sejak 4 hari yang lalu
Pemeriksaan fisik
1. Ronki pada paru kanan dan kiri
2. Wheezing pada paru kanan dan kiri
3. Nyeri tekan pada kuadran epigastrium
Pemeriksaan Penunjang
1. Hb menurun, leukosit meningkat, Ht menurun, MCH menurun, MCHC
menurun, neutrofil meningkat, limfosit menurun, monosit meningkat,
LED meningkat.
2. Foto Thorax : terdapat Konsolidasi disertai air bronhogram (kesan :
Pneumonia), fibrotik line dan cavitas pada kedua paru (kesan : TB paru).

2.6 Daftar Masalah


1. TB paru drop out dengan hemoptisis
2. Pneumonia (Community Acquired Pneumonia)
3. Dyspepsia
4. Anemia ringan

2.7 Rencana pemecahan masalah


Problem I : TB Paru drop out dengan hemoptisis
Assesment : Berdasarkan riwayat pasien batuk darah sejak 1 tahun
yang lalu, disertai demam naik turun dan meningkat pada
malam hari disertai menggigil dan keringat malam.
Selain itu pasien mengeluh ada penurunan berat badan.
Hasil pemeriksaan rontgen menunjukan TB paru.
Initial plan : Terapi : OAT (Obat Anti Tuberkulosis)  menunggu
hasil TCM.

14
Monitor : KU, TTV, Kesadaran, perkembangan gejala
klinis
Edukasi : - Edukasi mengenai TB paru dan komplikasi
- Edukasi mengenai efek samping OAT
- Edukasi bahwa pengobatan TB harus rutin
Problem II : Pneumonia (Community Acquired Pneumonia)
Assesment : Demam tinggi disertai menggigil sejak 1 minggu SMRS,
batuk yang semakin parah disertai dahak, nafsu makan
menurun.
Initial plan : Terapi : Infus RL, antibiotik.
Monitor : KU, TTV, Kesadaran, perkembangan gejala
klinis
Problem III : Dyspepsia
Assesment : Mual, muntah dan nyeri ulu hati sejak 2 bulan yang lalu.
Initial plan : Terapi : inj.ondancentron, inj.ranitidine
Monitor : KU, TTV, kesadaran, perkembangan gejala
klinis.
Problem IV : Anemia ringan
Assesment : Hemoglobin rendah = 12 g/dL
Initial Plan : Terapi : makan-makanan bergizi seperti daging merah.
Monitor : kadar hemoglobin
2.8 Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Kardinah pada tanggal 18 Mei 2018 dengan
keluhan batuk berdarah sejak 1 tahun sebelum masuk Rumah sakit. Batuk
dirasakan semakin hari semakin memberat disertai dengan darah yang keluar
bercampur dengan dahak warna kuning. Merurut pasien darah berwarna merah
pekat, tidak berbusa dan kira-kira sebanyak sepertiga gelas kecil. Pasien sering
tidur dengan posisi miring ke kiri karena batuk. Selain batuk berdarah, pasien
juga mengeluh pusing, mual, muntah sesaat setelah batuk, dan demam kurang
lebih 2 bulan. Demam yang dirasakan naik turun, demam naik paling sering
pada malam hari disertai menggigil dan keringat dingin pada malam hari.
Menurut pasien muntah berisi air terasa pahit dan panas di tenggorokan. Pasien
juga mengeluh nyeri pada ulu hati hilang timbul. Nafsu makan pasien juga
menurun. Pasien hanya bisa makan 3 sendok saja kemudian di muntahkan

15
kembali. Pasien memiliki penurunan berat badan dalam beberapa bulan ini
kurang lebih 12 kg. BAK tidak terganggu. BAB belum sejak 4 hari yang lalu.

Tanda vital
Tekanan darah : 80/50mmHg,
Nadi : 103x/menit,
Respirasi : 24x/menit,
Suhu : 38,4 °C,
SpO2 : 96%,

Pada pemeriksaan fisik di temukan ronki pada paru kanan dan kiri, wheezing
pada paru kanan dan kiri dan nyeri tekan pada kuadran epigastrium. Foto
rontgen Thorax menunjukan Konsolidasi disertai air bronhogram, fibrotik line
dan cavitas pada kedua paru, serta penebalan hilus kanan dan kiri.

2.9 Diagnosis Kerja


TB paru kasus drop out dengan Hemoptisis
Pneumonia (Community Acquired Pneumonia)
Dyspepsia
Anemia ringan

2.10 Diagnosis Banding


Suspek syok sepsis

2.11 Follow Up
Tabel 2.2 Follow up
(18 Mei 2018)

S OS mengeluh batuk (+), Demam(+), mual(+), muntah (+), pusing


(+)

O Keadaan umum: Tampak sakit sedang


Kesadaran: Compos mentis
Tekanan darah: 80/50 mmHg Nadi: 103 x/menit

16
Suhu: 38,4 ˚C Pernapasan: 24 x/menit
Kepala  Normosefali, pupil isokor, reflex pupil +/+, CA -/-, SI -
/-
Leher  Pembesaran KGB (-), kelenjar tiroid (-)
Thorax  Gerak dinding dada simetris,
vokal fremitus normal, perkusi lapang paru kanan dan
kiri sonor, auskultasi vesikuler di paru kanan dan kiri.
Rhonki +/+, Wheezing +/+
Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis
sinistra
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen  Bentuk datar, bising usus (+), teraba supel, tidak
terdapat pembesaran lien dan hepar, nyeri tekan kuadran
epigastrium (+)
Ekstremitas  Oedem -/-, akral hangat +/+
A TB paru kasus drop out dengan Hemoptisis, DD: Suspek syok
sepsis
Pneumonia
Dyspepsia
Anemia ringan

P
- Infus Ringer laktat guyur 500cc  observasi TD ≥90 mmHg
 30 tpm
- Paracetamol 3x500mg, inj cefotaxime 2x1 gr, inj asam
traneksamat 500 mg/8 jam, inj ranitidine 2x1
ampul(25mg/mL) , inj ondancentron 2x8mg
- (OAT diberikan menunggu hasil TCM) Rifampisin 1x400mg,
Isoniazid 1x200mg, Pirazinamid 1x1000, Etambutol
1x600mg, Streptomisin 1x600, Codein 3x10mg
- Periksa TCM, kultur sputum, USG abdomen, Endoscopy

(19 Mei 2018)

S OS mengeluh batuk (+), Demam(+), mual(+), muntah (+)

O Keadaan umum: Tampak sakit sedang


Kesadaran: Compos mentis
Tekanan darah: 90/60 mmHg Nadi: 85 x/menit
Suhu: 36,7 ˚C Pernapasan: 22 x/menit

17
Kepala  Normosefali, pupil isokor, reflex pupil +/+, CA -/-, SI -
/-
Leher  Pembesaran KGB (-), kelenjar tiroid (-)
Thorax  Gerak dinding dada simetris,
vokal fremitus normal, perkusi lapang paru kanan dan
kiri sonor, auskultasi vesikuler di paru kanan dan kiri.
Rhonki +/+, Wheezing +/+
Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis
sinistra
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen  Bentuk datar, bising usus (+), teraba supel, tidak
terdapat pembesaran lien dan hepar, nyeri tekan kuadran
epigastrium (+)
Ekstremitas  Oedem -/-, akral hangat +/+
A TB paru kasus drop out dengan Hemoptisis
Pneumonia (Community Acquired Pneumonia), Sepsis perbaikan
Dyspepsia
Anemia ringan

P - Infus Ringer laktat 30 tpm


- Paracetamol 3x500mg, inj cefotaxime 2x1 gr, inj asam
traneksamat 500 mg/8 jam, inj ranitidine 2x1
ampul(25mg/mL) , inj ondancentron 2x8mg
- (OAT diberikan menunggu hasil TCM) Rifampisin 1x400mg,
Isoniazid 1x200mg, Pirazinamid 1x1000, Etambutol
1x600mg, Streptomisin 1x600, Codein 3x10mg

(21 Mei 2018)

S OS mengeluh batuk berkurang

O Keadaan umum: Tampak sakit sedang


Kesadaran: Compos mentis
Tekanan darah: 110/70 mmHg Nadi: 68 x/menit
Suhu: 36,4 ˚C Pernapasan: 20 x/menit
Kepala  Normosefali, pupil isokor, reflex pupil +/+, CA -/-, SI -
/-
Leher  Pembesaran KGB (-), kelenjar tiroid (-)
Thorax  Gerak dinding dada simetris,

18
vokal fremitus normal, perkusi lapang paru kanan dan
kiri sonor, auskultasi vesikuler di paru kanan dan kiri.
Rhonki +/+, Wheezing -/-
Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis
sinistra
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen  Bentuk datar, bising usus (+), teraba supel, tidak
terdapat pembesaran lien dan hepar, nyeri tekan (-), Ekstremitas 
Oedem -/-, akral hangat +/+
A TB paru kasus drop out dengan Hemoptisis
Pneumonia (Community Acquired Pneumonia), Sepsis perbaikan
Dyspepsia
Anemia ringan

P
- Infus Ringer laktat 20 tpm
- Paracetamol 3x500mg, inj cefotaxime 2x1 gr, inj asam
traneksamat 500 mg/8 jam, inj ranitidine 2x1
ampul(25mg/mL) , inj ondancentron 2x8mg
- (OAT diberikan menunggu hasil TCM) Rifampisin 1x400mg,
Isoniazid 1x200mg, Pirazinamid 1x1000, Etambutol
1x600mg, Streptomisin 1x600, Codein 3x10mg

Terapi pulang :
- Cefixime 2x100 mg
- Lansoprazole 1x30 mg
- Codein 3x10 mg bila perlu
- Vit K 1x10 mg
- OAT menunggu hasil TCM

2.12 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

BAB III

19
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tuberculosis Paru


3.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex. Sebagian besar basil Mycobacterium tuberculosis
masuk ke dalam jaringan paru melalui airborne infection dan selanjutnya
mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer dari Ghon.7
3.1.2 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai “Global Emergency”. Laporan WHO
tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada
tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut
regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33% dari
seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat
182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia
tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk.7

Gambar 1. Insidens TB di dunia8

20
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2
- 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah
terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang
atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti
tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi
HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang
muncul. Dalam laporan WHO tahun 2013 diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus
TB paru pada tahun 2012 di mana 1,1 juta (13%) diantaranya adalah pasien
TB dengan HIV positif. Sekitar 75% pasien tersebut berada di wilayah afrika.7

Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita


TBMDR dan 170.000 diantaranya meninggal dunia. Meskipun kasus dan
kematian sebagian besar terjadi pada pria, tetapi angka kematian dan
kesakitan wanita akibat TB juga sangat tinggi. Diperkirakan terdapat 2,9 juta
kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian karena TB mencapai
410.000 kasus termasuk di antaranya 160.000 wanita dengan HIV positif.
Separuh dari orang dengan HIV positif yang meninggal karena TB pada tahun
2012 adalah wanita.7

Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk


penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan tetap fakta juga
menunjukkan keberhasilan dalam pengendalian TB. Peningkatan angka
insidensi TB secara global telah berhasil dihentikan dan telah menunjukkan
tren penurunan (turun 2% per tahun pada tahun 2012), angka kematian juga
sudah berhasil diturunkan 45% bila dibandingkan tahun 1990.7

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif


secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3-4 bulan. Hal tersebut berakibat pada
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30% . Jika ia
meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun.

21
Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk
lainnya secara sosial, seperti stigma bakal dikucilkan oleh masyarakat.7

Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)


tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan
penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992
disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua,
sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab
kematian pertama pada golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil
laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun 2001
terdapat 50.443 penderita BTA positif yang diobati (23% dari jumlah
perkiraan penderita BTA positif). Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15
– 49 tahun. Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul
115 orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada setiap
100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di dunia
untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.9

Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus


TB setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan
sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah
pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab
kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut
pada seluruh kalangan usia.9

3.1.3 Etiologi

Penyakit TB paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam
(BTA).1
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar
0,3–0,6 mm dan panjang 1–4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks,

22
terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.
tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor dan mycobacterial sulfolipids yang
berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai
panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan
glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain
yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti
arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks
tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat
warna tersebut dengan larutan asam–alkohol.1
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu
komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M.
tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoclonal.
Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa
(kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan
spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang
menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang
disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya
dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP
40 dan lain lain.1

Gambar 2. Mycobacterium Tuberculosis1

23
3.1.4 Patofisiologi

Kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei


dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas
1–2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultaviolet, ventilasi yang buruk
dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap, kuman dapat tahan
berhari–hari sampai berbulan–bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh
orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel
dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer. Kuman akan
dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag.
Kebanyakkan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar
dari percabangan trankeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.1
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Disini dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya.
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang atau afek
primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap
bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi
pleura. Kuman dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe,
orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk
ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang.
Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian
paru menjadi TB milier.8

Tubercolosis Primer
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei)
yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan
menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar
kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.

24
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di
jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.8
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe
ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe
yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus
primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu
waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala
penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu
dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut,
kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup
untuk merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum
tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas.
Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan
telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas
terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji
tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah
kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi
baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.

25
Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli
akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional.
Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi
akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya
berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi
yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus
akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

26
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara
ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ
yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut,
kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dorman. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit,
tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apeks
paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan
menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan
lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada
bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju
ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis
penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini
timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya
pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized
hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang
dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama.
Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir

27
padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa
nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan
granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB
akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB
paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB
milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi
primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat
pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-
9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini
jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis Ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi,
dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian.
TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.10

28
Gambar 3. Patofisiologi Tuberculosis8

Tubercolosis Post-Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post
primer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk
dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya.
Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat,
karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai
dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus
superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu
sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah
satu jalan sebagai berikut:
 Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan
cacat.
 Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus
diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam
bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif

29
kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila
jaringan keju dibatukkan keluar.
 Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa).
Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar.
Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal
(kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini:
 Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan diatas
 Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
 Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open
healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri,
akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped).8

Gambar 4. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer


dan Perjalanan Penyembuhannya8

30
3.1.5 Faktor Risiko
 Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
 Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata
terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan
menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB
BTA (+).
 Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS
dan malnutrisi (gizi buruk).
 HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB
menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem
daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi
infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan
kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di
masyarakat akan meningkat pula.7
3.1.6 Manifestasi Klinis
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka
gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang
terlibat).9
1. Gejala Respiratorik
a) Batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b) Batuk darah
c) Sesak napas
d) Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien
terdiagnosis pada saat medical check-up. Bila bronkus belum terlibat dalam
proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang

31
pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan
untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala Sistemik
a) Demam
b) Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat
badan menurun.
3 Gejala Tuberkulosis Ekstra Paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis
tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang
rongga pleuranya terdapat cairan.9
3.1.7 Klasifikasi
Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan


paru, tidak termasuk pleura.

1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA


positif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil
pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif.

b. Tuberkulosis paru BTA (-)

1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran


klinik dan kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M. tuberculosis positif.

32
2. Berdasarkan tipe pasien. Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu menurut WHO:
Kategori I:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
Kategori II:
1. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik
dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus
dipikirkan beberapa kemungkinan:
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis, dll.) Dalam hal ini
berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
2. Kasus gagal
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
Kategori III :
1. Kasus BTA (-) dengan kelainan paru tidak luas
2. Kasus TB ekstraparu selain yang disebutkan di kategori I
Kategori IV:
Kasus kronik / persisten

33
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang Kategori II dengan pengawasan yang baik.10
Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak,
perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi
anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan
spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB
ekstra paru aktif.9
3.1.8 Diagnosis
Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari


organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2), serta daerah apeks
lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain
suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung


dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak,
pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi
yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah


bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor),
kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat
menjadi “cold abscess”.10

34
Pemeriksaan Bakteriologik

1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). BTA masih merupakan pilihan
utama untuk diagnosa TB karena memiliki Sensitivitas 100% dan
spesifisitas 69.2%.9

2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
 Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Pagi ( keesokan harinya )
 Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi
3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6
cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor.
Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas
objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di


gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat
ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek
dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium,
harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir
permohonan pemeriksaan laboratorium.

Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat


pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring

35
melalui jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas
saring:
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat
bagian tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian
tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada
satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam
kantong plastik kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal
pengambilan dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.
3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain
(cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk
BJH) dapat dilakukan dengan cara:
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik Biasa: pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik Fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening). lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan
ialah bila:
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan lebih dahulu
dengan cara sebagai berikut:

36
• Masukkan dahak sebanyak 2 – 4 ml ke dalam tabung sentrifuge dan
tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4%
• Kocoklah tabung tersebut selam 5 – 10 menit atau sampai dahak mencair
sempurna
• Pusinglah tabung tersebut selama 15 – 30 menit pada 3000 rpm.
• Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator fenol-merah pada
sediment yang ada dalam tabung tersebut, warnanya menjadi merah.
• Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati meneteskan larutan HCl
2n ke dalam tabung sampai tercapainya warna merah jambu ke kuning-
kuningan
• Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan pulasan (Dapat
juga dipakai untuk biakan M.tuberculosis).
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas
foto toraks, kemudian:
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union against
Tuberculosis and Lung Disease):
1) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative
2) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan.
3) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
4) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
5) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst. Skala Bronkhorst


(BR):
1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.
2) BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
3) BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.

37
4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.
b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan
metode konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media: Middle brook.
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis
pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga
Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT
dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan,
menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan
cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.
Kultur Ogawa atau Lowenstein Jensen (LJ) adalah media-media
kultur yang umum digunakan di Indonesia untuk identifikasi BTA M.
tuberculosis, mempunyai sensitivitas 99% dan spesifisitas 100%, tetapi
interpretasi hasil kultur memerlukan waktu cukup lama, yaitu sekitar
6-8 minggu. Hal ini akan mengakibatkan keterlambatan penegakan
diagnosis TB dan saat memulai pemberian terapi.10
Saat ini telah ditemukan pemeriksaan jenis baru yang menggunakan
pendeteksian antigen TB menggunakan Rapid Test Kit (TB Ag). Tes ini
memiliki sensitifitas 15.7% hingga 89.2% dan spesifisitas dari 50% hingga
100%.10
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto
toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.

38
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed Lung):


1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologik
luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikavitas dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti
proses penyakit.

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) :
1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak
di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta
tidak dijumpai kavitas
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.10
Pemeriksaan Lain

1. Analisis Cairan Pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji

39
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura
terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan


Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi.
Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu:
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan
Veen Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (Trans Bronchial Lung Biopsy/TBLB) dengan
bronkoskopi, trans-thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium
mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk
pemeriksaan histologi.

3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua
dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
4. Uji tuberculin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi
tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji
tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang
dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau
apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan
infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.10

40
Gambar 5. Alur Diagnosis TB Paru10

3.1.9 Tatalaksana
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif
(2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan
terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.11

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


1. Prinsip Pengobatan
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas
bakterisid di mana obat bersifat membunuh kuman–kuman yang sedang
tumbuh(metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat
membunuhkuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya
kurang aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat
tersebut membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan
didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan).

41
Hampir semua OAT mempunyai sifat bakterisid kecuali Etambutol
dan Tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk
mencegah resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid
mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan Streptomisin
menempati urutan lebih bawah.9
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.

Tabel 1. Sifat dan Jenis OAT9

Dosis 3x
Dosis harian
Jenis OAT Sifat seminggu
(mg/kg)
(mg/kg)

Isoniasid/INH (H) bakterisid 5(4-6) 10(8-12)

Rifampisin (R) bakterisid 10(8-12) 10(8-12)

Pirasinamid (Z) bakterisid 25(20-30) 35(30-40)

42
Streptomisin (S) bakterisid 15(12-18) –

Etambutol (E) bakteriostatik 15(15-20) 30(20-35)

Tahap awal (intensif):


a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan:
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
2. Paduan OAT yang Digunakan di Indonesia
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan:
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) TB paru BTA (+), kasus baru
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk
luluh paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk
memperpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang
ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan
dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi.

43
b. TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase
intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat
sesuai hasil uji resistensi). Lama Pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau
lebih, sehingga paduan obat yang diberikan: 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE.
Bila diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama tergantung dari
perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak dil akukan uji resistensi, maka
alternatif diberikan paduan obat: 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).
c. TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan
menggunakan minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif),
seandainya H resisten tetap diberikan. Lama Pengobatan minimal selama 1
- 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan obat 2
RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi.
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan
paduan obat: 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB).
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil
yang optimal.
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru.
d. TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut:
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT
dilanjutkan sesuai jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif, klinik dan radiologik tidak aktif
/ perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif,
lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti
TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih

44
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati
dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif: pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan
kategori II diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan
radiologik positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (Kultur
resistensi) terhadap OAT.

e. TB Paru kasus kronik


1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil
uji resistensi (minimal terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif
dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lini
2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru.
Catatan: TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus.

Paket Kombipak:
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT.
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal
yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB
(multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk

45
mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International
Union against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi
dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat
tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada
table 3.

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:


1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan
kesalahan pengobatan yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang
benar dan standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat
penurunan penggunaan monoterapi.
Tabel 2. Jenis dan Dosis OAT

Dosis (mg) / BB (kg)


Dosis yang dianjurkan
Dosis
Harian Intermitten Dosis
Obat (mg/kgBB/
(mg/kgBB/ (mg/kgBB/ Maksimum
Hari) < 40 40-60 > 60
Hari) Hari)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
Sesuai
S 15-18 15 15 1000 750 1000
BB

Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Tahap Intensif Tahap Lanjutan

Berat Badan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu

RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)

46
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 4. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


Dosis per hari / kali

Kaplet Jumlah
Tablet
Tahap Lama Rifampis Tablet Tablet hari/kali
Isoniasid
Pengoba Pengobat in Pirazinamid Etambutol menelan
tan an @ 300 obat
@ 450 @ 500 mg @ 250 mg
mg
mg

Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru
Tabel 5. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
Tahap Intensif Tahap Lanjutan

Berat Tiap hari 3 kali seminggu


Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)

47
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT


30-37 kg 2 tablet 4KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet Etambutol

3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT


38-54 kg 3 tablet 4KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet Etambutol

4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT


55-70 kg 4 tablet 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet Etambutol

5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT


≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet Etambutol

Tabel 6. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tablet Kaplet Tablet Etambutol
Jumlah/
Tahap Lama Isoniasi Rifamp Pirazina Strepto
d isin mid Tablet Tablet kali
Pengobat Pengob misin
an atan @ 250 @ 400 Injeksi menelan
@ 300 @ 450 @ 500
mg mg obat
mg mg mg

Tahap
Intensif
2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis
harian) 1 bulan 1 1 3 3 - - 28

Tahap
Lanjutan
(dosis 3x
seminggu 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
)

Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

48
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
Tabel 7. Dosis KDT untuk Sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)

30-37 kg 2 tablet 4KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 8. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan


Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Pengoba Pengobat Isoniasid Rifampisin Pirazina Etambutol hari/kali
tan an mid menelan
@ 300 @ 450 mg @ 250 mg obat
mg @ 500
mg

Tahap
Intensif
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 28
harian)

49
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan
rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang
efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada
kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami
efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru /
fasiliti yang mampu menanganinya.

Tabel 9. Sistem skoring (scoring system) gejala dan Pemeriksaan


penunjang TB

Parameter 0 1 2 3 Jumlah

Kontak TB Tidak Laporan BTA (+)


jelas keluarga,
BTA (-)
atau tidak
tahu, BTA
tidak jelas

Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10


mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)

Berat badan/ Bawah garis Klinis gizi


keadaan gizi merah (KMS) buruk
atau BB/U < 80 (BB/U <
% 60%)

Demam tanpa ≥ 2 minggu


sebab

Batuk ≥ 3 minggu

Pembesaran ≥ 1 cm, jumlah


kelenjar linfe > 1, tidak nyeri
koli, aksila,
inguinal

50
Pembengkakan Ada
tulang/sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang

Foto toraks Normal/ Kesan TB


tidak
jelas

Jumlah

Catatan :
a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
b. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk
kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
c. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis.
d. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan
tabel badan badan.
e. Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari
setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi
lebih lanjut.

Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:
a. Kejang, kaku kuduk
b. Penurunan kesadaran
c. Kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura

3. Gibbus, koksitis.

51
Gambar 6. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak Pada Unit Pelayanan
Kesehatan Dasar9

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan


cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis
maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan
parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai
perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.12
Efek Samping OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa
efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh
karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat
penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel
4&5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik
maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada
syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat
dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau

52
dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat
diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin
(Syndrom Pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat
timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau
ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada
keadaan khusus

2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simtomatik ialah:
a) Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b) Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare
c) Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d) Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
e) Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus
distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan
khusus:
 Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila
salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan
dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang.
 Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas. Rifampisin
dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air
liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat
dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar
dimengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan
sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi
(beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis
Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan

53
penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual,
kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa


berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau.
Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang
dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30
mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan
kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya
etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit
untuk dideteksi

5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping
tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan
dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan
gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah
telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau
dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan
tuli).
Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul
tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping
sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan
telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi
ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat
menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita
hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.

54
Tabel 10. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya
Efek samping Kemungkinan Tatalaksana
Penyebab

Minor OAT diteruskan

Tidak nafsumakan, mual, Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur


sakit perut

Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol

Kesemutan sampai dengan INH Beri vitamin B6 1x100 mg/hari


rasa terbakar di kaki

Warna kemerahan pada air Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi
seni apa-apa

Tabel 11. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana

Mayor Hentikan pengobatan

Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
kulit dievaluasi ketat

Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan,


ganti etambutol

Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisisn dihentikan,


(vertigo dan nistagmus) ganti etambutol

Ikterik/Hepatitis Imbas Obat Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT sampai
(penyebab lain disingkirkan) ikterik menghilang dan boleh
diberikan hepatoprotektor

Muntah dan bingung Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan
(suspect drug-induced pre- lakukan uji fungsi hati
icteric hepatitis)

Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan Etambutol

Kelainan sistemik, termasuk Rifampisin Hentikan Rifampisin


syok dan purpura

55
Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:
1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi
secara simptomatik
2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit,
umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat
dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian
dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat.
Desensitisasi ini tidak bias dilakukan terhadap obat lainnya
3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia,
syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena
etambutol, gangguan nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis
exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon
Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga
jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.12
Multi Drug Resistance (MDR)
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap
rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi
terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :
1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah
mendapat pengobatan TB.
2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya
sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak.
3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan
sebelumnya.
Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat,
khususnya pada pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian
70% –90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Laporan WHO tentang
TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah terinfeksi oleh
kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru
kronik sering disebabkan oleh MDR

56
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat
tuberkulosis, yaitu :
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu karena jenis obatnya
yang kurang atau karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi
yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan
rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua
obat tersebut sudah cukup tinggi
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter
dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi,
demikian seterusnya
4. Fenomena “ addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat
ditambahkan dalam suatu paduan
5. pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman
TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan”
(addition) satu macam obat hanya akan menambah panjang nya daftar
obat yang resisten
6. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan
secara baik, sehingga
7. mengganggu bioavailabiliti obat
8. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah
kadang terhenti
9. pengirimannya sampai berbulan-bulan
10. Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang
menimbulkan kebosanan
11. Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
12. Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru.10
Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)

Klasifikasi OAT untuk MDR


Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:

57
1. Obat dengan aktivitas bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid
yang bekerja pada pH asam
2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah: fluorokuinolon
3. Obat dengan akivitas bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS

Fluorokuinolon
Secara invitro fluorokuinolon dapat digunakan untuk kuman TB yang
resisten terhadap lini-1 yaitu moksifloksasin konsentrasi hambat minimal
paling rendah dibandingkan fluorokuinolon lainnya dengan urutan berikutnya
gatifloksasin, sparfloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin.
Siprofloksasin harus dihindari pemakaiannya karena efek samping pada kulit
yang berat (foto sensitif).

Resistensi silang
Tionamid dan Tiosetason
Etionamid pada kelompok tionamid komplit resistensi silang dengan:
a. Aminoglikosid
b. Fluorokuinolon
c. Sikloserindan terizidon
Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan
yang distandarisasi untuk pasien menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih
sensitif dan obat tambahan lain.
Obat tambahan yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon
(ofloksasin dan siprofloksasin), Aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan
kapreomisin), etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin, klavulanat.
Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif
minimal 2 –3 OAT lini 1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu Ciprofloksasin
dengan dosis 1000 – 1500 mg atau ofloksasin 600 – 800 mg (obat dapat
diberikan single dose atau 2 kali sehari).
Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan
memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai
24 bulan.

58
Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang
menggembirakan. Pada pasien non-HIV, konversi hanya didapat pada sekitar
50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65% kasus dan
kesembuhan pada 56% kasus.
Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang
baik, merupakan salah satu kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep
Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah satu
upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat. Prioriti yang dianjurkan
bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-TB.10

3.1.10 Komplikasi
TB paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru
dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.
2. Komplikasi pada stadium lanjut.
Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium lanjut
adalah:
a) Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok
hipovolemik
b) Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
c) Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
d) Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang
pecah
e) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya.7

3.1.11 Prognosis
Prognosis umumnya baik jika infeksi terbatas di paru, kecuali jika
infeksi disebabkan oleh strain resisten obat atau pasien berusia lanjut

59
dengan debilitas atau mengalami gangguan kekebalan yang beresiko tinggi
menderita tuberkulosis milier.
Resolusi penuh umumnya diharapkan dalam kasus-kasus non-MDR
dan non-XDR-TB, ketika pengobatan dengan obat anti TB telah selesai.
Dari penelitian-penelitian yang diterbitkan yangmelibatkan DOT sebagai
strategi pengobatan TB, tingkat kekambuhan berkisar 0-14 %. Di negara-
negara dengan tingkat TB yang rendah, kekambuhan biasanya terjadi dalam
waktu 12 bulan setelah pengobatan TB selesai. Di negara-negara dengan
tingkat TB yang lebih tinggi, sebagian besar kambuh setelah pengobatan
yang tepat, yang terjadi lebih banyak adalah kasus reinfeksi daripada kasus
kekambuhan.
Prognosis yang buruk ditandai dengan adanya keterlibatan TB
ekstrapulmoner, pada orang tua,dan riwayat pengobatan sebelumnya yang
buruk. Untuk kasus dengan resistensi obat, pasien dengan resistensi hanya
Rifampisin saja mempunyai prognosis yang lebih baik daripada kasus
MDR-TB tetapi mempunyai risiko yang lebih tinggi terjadi kegagalan
pengobatan.

3.2 Hemoptisis
3.2.1 Definisi
Batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak yang berdarah,
berasal dari saluran nafas di bawah pita suara. Sinonim batuk darah ialah
hemoptoe atau hemoptisis.13 Batuk darah lebih sering merupakan tanda
atau gejala dari penyakit yang mendasari sehingga etiologinya harus
dicari melalui pemeriksaan yang seksama.14
Hemoptisis merupakan salah satu bentuk kegawatan paru yang
paling sering terjadi diantara bentuk-bentuk klinis lainnya. Tingkat
kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh 3 faktor :
a. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah di
dalam saluran pernapasan. Terjadinya asfiksia ini tidak
tergantung pada jumlah perdarahan yang terjadi, akan tetapi

60
ditentukan oleh reflek batuk yang berkurang atau terjadinya
efek psikis dimana pasien takut dengan perdarahan yang terjadi.
b. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis
dapat menimbulkan renjatan hipovolemik (hypovolemic shock
). Bila perdarahan yang terjadi cukup banyak, maka hemoptisis
tersebut digolongkan ke dalam hemoptisis masif walaupun
terdapat beberapa kriteria, antara lain :
1) Kriteria Yeoh (1965) menetapkan bahwa hemoptisis masif
terjadi apabila jumlah perdarahan yang terjadi adalah
sebesar 200 cc/24 jam.
2) Kriteria Sdeo (1976) menetapkan bahwa hemoptisis masif
terjadi apabila jumlah perdarahan yang terjadi lebih dari
600 cc/24 jam.
c. Adanya pneumonia aspirasi, yaitu suatu infeksi yang terjadi
beberapa jam atau beberapa hari setelah perdarahan. Keadaan
ini merupakan keadaan yang gawat, oleh karena baik bagian
jalan napas maupun bagian fungsionil paru tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya akibat terjadinya obstruksi
total.15
3.2.2 Etiologi
Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas : 13
1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru,
pneumonia, dan kaverne oleh karena jamur dan
sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma
aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan
poliposis bronkus.
4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.

61
3.2.3 Patofiologi
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan
hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang
berperan untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru,juga bila
terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan
fungsinya untuk pertukaran gas
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut
1. Batuk darah pada tuberculosis pada umumnya terjadi oleh
karena:
a. Adanya Rasmussen’s aneurysm yang pecah.
Teori dimana terjadi perdarahan aneurisma dari
Rasmussen ini telah lama dianut, tetapi beberapa laporan
otopsi lebih membuktikan terdapat hipervaskularisasi
bronkus yang merupakan percabangan dari arteri
bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan.
Setelah berkembangnya arteriografi dapat dibuktikan
bahwa pada setiap proses paru terjadi hipervaskularisasi
dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperan
memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terdapat
kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan
fungsinya untuk pertukaran gas. Oleh karena itu
terdapatnya Rasmussen aneurisma pada kaverna
tuberculosis yang merupakan asal perdarahan diragukan.
b. Adanya kekurangan protrombin yang disebabkan oleh
toksemia dari basil tuberkulosa yang menginfeksi
parenkim paru.
2. Batuk darah pada karsinoma paru.
Terjadi oleh karena erosi permukaan tumor dalam lumen
bronkus atau berasal dari jaringan tumor yang mengalami
nekrosis, pecahnya pembuluh darah kecil pada area tumor
atau invasi tumor ke pembuluh darah pulmoner.

62
3. Batuk darah pada bronkiektasis:
a. Mukosa bronkus yang sembab mengalami infeksi dan
trauma batuk menyebabkan perdarahan.
b. Terjadi anastomose antara pembuluh darah bronchial
dan pulmonal dan juga terjadi aneurisma, bila pecah
terjadi perdarahan.
c. Pecahnya pembuluh darah dari jaringan granulasi pada
dinding bronkus yang mengalami ektasis.
4. Batuk darah pada bronchitis kronis: Terjadi oleh karena
mukosa yang sembab akibat radang, terobek oleh mekanisme
batuk
5. Batuk darah pada abses paru: Pada abses kronik dengan
kavitas berdinding tebal yang sukar menutup, maka
pembuluh darah pada dinding tersebut mudah pecah akibat
trauma pada saat batuk.
6. Batuk darah pada mitral stenosis dan gagal jantung kiri akut:
a. Bila batuk darah ringan, perdarahan terjadi secara
perdiapedesis, karena tekanan dalam vena pulmonalis
tinggi menyebabkan rupture vena pulmonalis atau
distensi kapiler sehingga butir darah merah masuk ke
alveoli.
b. Menurut ferguson, batuk darah terjadi karena pecahnya
varises di mukosa bronkus.
c. Pada otopsi ternyata ada anastomose vena pulmonalis
dan vena bronkialis yang hebat sehingga tampak seperti
varises.
7. Batuk darah pada infark paru: Pada infark paru karena
adanya penutupan arteri, maka terjadi anastomose. Selain itu
juga terjadi reflek spasme dari vena di daerah tersebut,
akibatnya terjadi daerah nekrosis dimana butir-butir darah
masuk ke alveoli dan terjadi batuk darah.

63
8. Batuk darah pada (Good Pasture syndrome)
Terjadi kelainan pada membrane basalis alveol kapiler yaitu
terbentuknya antibody to glomerular basement membrane
(anti GBM Ab) lebih spesifiknya kolagen tipe IV pada paru
sehingga membuat hilangnya keutuhan membranan basalis
epithelial-endotelial dan memudahkan masuknya sel darah
merah dan netrofil masuk ke dalam alveoli.
9. Batuk darah pada infeksi jamur: Terjadi friksi pada
pergerakan mycetoma dan terjadi pelepasan antikoagulan
serta enzim proteoitik yang menyerupai tripsin dari jamur.
10. Batuk darah pada batuk keras:
Sifat khas bahwa darah terletak di permukaan sputum, jadi
tidak bercampur di dalamnya.
a. Kelenjar getah bening yang mengapur, waktu batuk
terjadi erosi pada bronkus yang berdekatan.
b. Mungkin bronkolit yang ada pada saat batuk menggeser
lumennya.
c. Batuk yang keras dan berulang-ulang merobek mukosa
bronkus.
11. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan
mengalami transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan
memacu terjadinya batuk darah.

3.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang
dibatukkan:
1. Bercak (Streaking ) : <15-20 ml/24 jam Yang sering terjadi
darah bercampur dengan sputum. Umumnya pada bronkitis.

64
2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam Hal ini berarti perdarahan
pada pembuluh darh yang lebih besar. Biasanya pada kanker
paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.
3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam Biasanya pada kanker
paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.
4. Pseudohemoptisis Merupakan batuk darah dari struktur
saluran napas bagian atas (di atas laring) atau dari saluran
cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan
(factitious).
Johnson membuat pembagian lain menurut jumlah darah yang
keluar menjadi:
1. Single hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung kurang dari
7 hari.
2. Repeated hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung lebih
dari 7 hari dengan interval 2 sampai 3 hari.
3. Frank hemoptysis yaitu bila yang keluar darah saja tanpa
dahak. Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah
karena pada hemoptisis selain terjadi vasokontriksi perifer,
juga terjadi mobilisasi dari depot darah, sehingga kadar Hb
tidak selalu memberikan gambaran besarnya perdarahan
yang terjadi. Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan
selama hemoptisis juga mempunyai kelemahan oleh karena:
a. Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan
sputum dan kadang-kadang dengan cairan lambung,
sehingga sukar untuk menentukan jumlah darah yang
hilang sesungguhnya.
b. Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan, bersama-
sama dengan tinja, sehingga tidak ikut terhitung.
c. Sebagian dari darah masuk ke dalam paru-paru akibat
aspirasi. Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari
hemoptisis ditentukan oleh

65
a. Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang
mengarah pada renjatan hipovolemik.
b. Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari
bronkus yang dapat dinilai dengan adanya iskemia
miokardium, baik berupa gangguan aritmia,
gangguan mekanik jantung, maupun aliran darah
serebral. Bila terjadi hemoptisis, maka harus
dilakukan penilaian terhadap:
a. Warna darah untuk membedakannya dengan
hematemesis
b. Lamanya perdarahan
c. Terjadinya mengi (wheezing ) untuk menilai
besarnya obstruksi
d. Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi
dan kesadaran.
3.2.5 Manifestasi Klinik
Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan
bahwa perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan
bawah, dan bukan berasal dari nasofaring atau gastrointestinal.
Dengan perkataan lain bahwa penderita tersebut benar-benar
batuk darahdan bukan muntah darah.
Kriteria batuk darah:
1. Batuk darah ringan (<25cc/24 jam).
2. Batuk darah berat (25-250cc/ 24 jam).
3. Batuk darah masif (batuk darah masif adalah batuk yang
mengeluarkan darah sedikitnya 600 ml dalam 24 jam).
Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif
yang diajukan Busroh (1978) :
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24
jam dan dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.

66
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc /
24 jam dan tetapilebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar
Hb kurang dari 10 g%, sedangkanbatuk darahnya masih
terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc /
24 jam dan tetapilebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb
kurang dari 10 g%, tetapi selamapengamatan 48 jam yang
disertai dengan perawatan konservatif batuk darahtersebut
tidak berhenti.
3.2.6 Penegakan Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan gambaran radiologis. Untuk menegakkan
diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan
urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik
maupun penunjang sehinggapenanganannya dapat disesuaikan:
1. Anamnesis Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam hal batuk
darah adalah:
a. Jumlah dan warna darah yang dibatukkan.
b. Lamanya perdarahan.
c. Batuk yang diderita bersifat produktif atau tidak.
d. Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan.
e. Ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri
pleuritik.
f. Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik,
posisi badan dan batuk
g. Wheezing
h. Perdarahan di tempat lain bersamaan dengan batuk darah
i. Perokok berat dan telah berlangsung lama
j. Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit
dada
k. Hematuria yang disertai dengan batuk darah.

67
l. Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.
2. Pemeriksaan fisik
Untuk mengetahui perkiraan penyebab.
a. Panas merupakan tanda adanya peradangan.
b. Auskultasi :
1). Kemungkinan menonjolkan lokasi.
2) Ronchi menetap, whezing lokal, kemungkinan
penyumbatan oleh : Ca, bekuan darah.
c. Friction Rub : emboli paru atau infark paru d.
d. Clubbing finger : memberikan petunjuk kemungkinan
keganasan intratorakal dan supurasi intratorakal (abses paru,
bronkiektasis).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat
pada setiap penderitahemoptisis masif. Gambaran opasitas
dapat menunjukkan tempat perdarahannya. Pemeriksan
foto thoraks merupakan salah satu komponen penting
dalam pemeriksaan untuk mengetahui penyebab
perdarahan terutama kelainan parenkim paru, misalnya
pemeriksaan dengan kaviti, tumor, infiltrat dan atelektasis.
Perdarahan intra-alveolar menimbulkan pola infiltrat
retikulonedular. Namun demikian gambaran foto thoraks
bisa normal ataupun tidak informatif.
b. Pemeriksaanbronkografi untuk mengetahui adanya
bronkiektasis, sebab sebagian penderita bronkiektasis
sukar terlihat pada pemeriksaan X-foto toraks
c. Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi maupun
sitologi (bahan dapat diambil dari dahak dengan
pemeriksaan bronkoskopi atau dahak langsung).
Pemeriksaan sputum yang dapat dilakukan adalah untuk
pemeriksaan bakteri pewarnaan gram, basil tahan asam

68
(BTA). Pemeriksaan dahak sitologi dilakukan apabila
penderita berusia >40 tahun dan perokok. Biakan kuman
juga dapat dilakukan terutama untuk BTA dan jamur
d. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah tepi lengkap
i. Peningkatan Hb dan Ht kehilangan darah yang
akut
ii. Leukosit meningka infeksi
iii. Trombositopenia koagulopati
iv. Trombositosis kanker paru

b. CT dan BT; PT dan APTT jika dicurigai adanya


koagulopati atau pasien menerima warfarain/heparin
c. Analisa gas darah arterial harus diukur jika pasien
sesak yang jelas dan sianosis. e.

e. Pemeriksaan bronkoskopi
Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber
perdarahan dan sekaligus untuk penghisapan darah yang
keluar, supaya tidak terjadi penyumbatan. Sebaiknya
dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan
demikian sumber perdarahan dapat diketahui.
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah:
1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2. Batuk darah yang berulang
3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan
diagnosis, lokasiperdarahan, maupun persiapan operasi,
namun waktu yang tepat untukmelakukannya merupakan
pendapat yang masih kontroversial, mengingatbahwa selama
masa perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk

69
yanglebih impulsif, sehingga dapat memperhebat
perdarahan disampingmemperburuk fungsi pernapasan.
Lavase dengan bronkoskop fiberoptik dapatmenilai
bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan
lokasiperdarahan.
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior,
bronkoskop serat optikjauh lebih unggul, sedangkan
bronkoskop metal sangat bermanfaat dalammembersihkan
jalan napas dari bekuan darah serta mengambil benda
asing,disamping itu dapat melakukan penamponan dengan
balon khusus di tempatterjadinya perdarahan.
3.2.7 Penatalaksanaan
Tujuan pokok terapi ialah:
1. Mencegah asfiksia.
2. Menghentikan perdarahan.
3. Mengobati penyebab utama perdarahan.
Langkah-langkah:
1. Pemantauan menunjang fungsi vital
a. Pemantauan dan tatalaksana hipotensi, anemia dan kolaps
kardiovaskuler.
b. Pemberian oksigen, cairan plasma expander dan darah
dipertimbangkan sejak awal.
c. Pasien dibimbing untuk batuk yang benar.
2. Mencegah obstruksi saluran napas
a. Kepala pasien diarahkan ke bawah untuk cegah aspirasi.
b. Kadang memerlukan pengisapan darah, intubasi atau
bahkan bronkoskopi.
3. Menghentikan perdarahan
a. Pemasangan kateter balon oklusi forgarty untuk
tamponade perdarahan.

70
b. Teknik lain dengan embolisasi arteri bronkialis dan
pembedahan.
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan
support kardiopulmoner danmengendalikan perdarahan sambil
mencegah asfiksia yang merupakan penyebabutama kematian pada
para pasien dengan hemoptisis masif.
Masalah utama dalam hemoptisis adalah terjadinya
pembekuan dalam saluran napasyang menyebabkan asfiksia. Bila
terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptisis palingtinggi dan
menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptosis dalam
jumlahkecil dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan
kematian. Dalam jumlahbanyak dapat menimbukan renjatan
hipovolemik
Pada dasarnyya terapi yang dilakukan adalah:
1. Terapi konservatif
Dasar-dasarpengobatanyangdiberikan sebagai berikut :
a. Mencegah penyumbatan saluran nafas
Penderita yang masih mempunyai refleks batuk baik dapat
diletakkan dalam posisi duduk, atau setengah duduk dan
disuruh membatukkan darah yang terasa menyumbat
saluran nafas. Dapat dibantu dengan pengisapan darah dari
jalan nafas dengan alat pengisap. Jangan sekali-kali disuruh
menahan batuk. Penderita yang tidak mempunyai refleks
batuk yang baik, diletakkan dalam posisi tidur miring
kesebelah dari mana diduga asal perdarahan, dan sedikit
trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang
sehat. Kalau masih dapat penderita disuruh batuk bila terasa
ada darah di saluran nafas yang menyumbat, sambil
dilakukan pengisapan darah dengan alat pengisap. Kalau
perlu dapat dipasang tube endotrakeal. Batuk-batuk yang
terlalu banyak dapat mengakibatkan perdarahan sukar

71
berhenti. Untuk mengurangi batuk dapat diberikan
Codein10 - 20 mg. Penderita batuk darah masif biasanya
gelisah dan ketakutan, sehingga kadang-kadang berusaha
menahan batuk. Untuk menenangkan penderita dapat
diberikan sedatif ringan (Valium) supaya penderita lebih
kooperatif.
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
Bila perlu dapat dilakukan :
1. Pemberian oksigen.
2. Pemberian cairan untuk hidrasi.
3. Tranfusi darah.
4. Memperbaiki keseimbangan asam dan basa.
c. Menghentikan perdarahan
Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan.
Di dalam kepustakaan dikatakan hemoptisis rata-rata
berhenti dalam 7 hari. Pemberian kantongan es diatas dada,
hemostatiks, vasopresin (Pitrissin).ascorbic acid dikatakan
khasiatnya belum jelas. Apabila ada kelainan didalam
faktor-faktor pembekuan darah, lebih baik memberikan
faktor tersebut dengan infus. Pemberian obat-obat
penghenti perdarahan (obat- obat hemostasis), misalnya vit.
K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom. Di beberapa
rumah sakit masih memberikan Hemostatika (Adona
Decynone) intravena 3 - 4 x 100 mg/hari atau per oral.
Walaupun khasiatnya belum jelas, paling sedikit dapat
memberi ketenangan bagi pasien dan dokter yang merawat.
d. Mengobati penyakit yang mendasarinya
(underlyingdisease)ada penderita tuberkulosis, disamping
pengobatan tersebut diatas selalu diberikan secara bersama
tuberkulostatika. Kalau perlu diberikan juga antibiotika
yang sesuai.

72
2. Terapi pembedahan Pembedahan merupakan terapi definitif
pada penderita batuk darah masif yang sumber perdarahannya
telah diketahui dengan pasti, fungsi paru adekuat, tidak ada
kontraindikasi bedah. Reseksi bedah segera pada tempat
perdarahan merupakan pilihan. Tindakan operasi ini dilakukan
atas pertimbangan:
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan
pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka
kematian padaperdarahan yang masif menurun dari 70%
menjadi 18% dengan tindakanoperasi.
Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab
terjadinya hemoptisis yang berulang dapat dicegah.
Tindakan bedah meliputi:
1. Reseksi paru: lobektomi atau pneumonektomi
Reseksi paru ditujukan untuk membuang sisa-sisa kerusakan
akibat penyakit dasarnya. Macam reseksi:
- Pneumonektomi: reseksi satu paru seluruhnya
- Bilobektomi : reseksi dua lobus
- Lobektomi : reseksi satu lobus
-Wedgeresection: reseksi sebagian kecil jaringan paru
- Enukleasi : bila kelainan patologis kecil dan jinak
- Segmentektomi: reseksi segmen bronkopulmonal
Berdasarkan foto thoraks dan pemeriksaan faal paru,
luasnya operasi dapat ditentukan sebelum operasi.
Prinsipnya adalah mempertahankan sebanyak mungkin
jaringan paru yang dianggap sehat. Luas dan jenis lesi
(proses inflamasi, abses atau kavitas) menentukan jenis
reseksi yang akan dilaksanakan.
2. Terapi kolaps: pneumoperitoneum, pneumotoraks artifisia,
torakoplasti, frenikolisis (membuat paralise N. phrenicus

73
Terapi kolaps bertujuan untuk mengistirahatkan
bagian paru yang sakit dengan cara membuat kolaps
jaringan paru yang sakit tersebut. Pendapat ini benar untuk
kelainan berbentuk kavitas, tetapi cara ini banyak
ditinggalkan karena komplikasinya banyak. Prosedur yang
termasuk dalam kelompok terapi kolaps:
- Pneumotoraks artificial yaitu dengan memasukkan udara
ke rongga pleura kemudian secara bertahap
ditambahkan udara sehingga teracapai kolaps pada
jaringan paru yang sakit. Bila paru kolaps maka bagian
tersebut dapat istirahat sehingga mempercepat proses
penyembuhan. Bila terdapat adhesi dan paru tidak dapat
kolaps dilakukan
intrapleuralpneumonolysis
(operasi Jacoboes), tetapi sering terjadi komplikasi
perdarahan. Karena sering terjadi empyema setelah
pneumotorak artifisial, tindakan ini sudah tidak
dilakukan lagi.
- Pneumoperitoneum yaitu tindakan memasukkan udara ke
rongga peritoneum dengan tujuan menaikkan diafragma
agar terjadi kolaps pada jaringan paru dengan harapan
lesi di apikal akan menyembuh.
- Paralise nervus phrenicus yaitu dengan cara anestesi local
nervus phrenicus dibebaskan dari perlekatannya di M.
scalenus anterior, kemudian saraf dirusak (crushed )
sehingga timbul paralise diafragma. Akibatnya akan
terjadi elevasi diafragma dan diharapkan apeks paru
dapat diistirahatkan sehingga, terjadi proses
penyembuhan.

74
- Torakoplasti yaitu suatu bentuk operasi dimana kolaps
paru terjadi dengan cara menghilangkan supporting
framework-
nya, misalkan dengan membuang tulang iga dari dinding
dada. Indikasi torakoplasti:
Dulu: torakoplasti hamper selalu dilakukan setelah
lobektomi atau pneumonektomi dengan tujuan
meminimalisasi kemungkinan terjadinya over distensi
parenkim paru yang tersisa selain itu
dead space
akan segera menutup (obliterasi) sehimgga resiko
terbentuknya fistula bronkopleural dan empyema dapat
dikurangi.
Sekarang: kebutuhan torakoplasti diragukan dan dilakukan
bila direncanakan reseksi lebih dari 1 lobus atau mengatasi
komplikasi tindakan reseksi seperti fistula bronkopleura
dan empiema.
3. Lain-lain: embolisasi artifisial.
Embolisasi artifisial atau Bronchial Artery
Embolization
(BAE) adalah penyuntikan gel foam atau polivinil alcohol
melalui katerisasi pada arteri bronkialis. Menurut Ingbar
embolisasi berhasil menghentikan perdarahan 95%.
Dengan meningkatnya penggunaan embolisasi arteriografi,
sekarang penggunaan tindakan pembedahan untuk
pengelolaan batuk darah massif mulai ditinggalkan.
3.2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat mengancam jiwa penderita adalah
asfiksia, sufokasi dan kegagalan sirkulasi akibat kehilangan
banyak darah dalam waktu singkat. Komplikasi lain yang
mungkin terjadi adalah penyebaran penyakit ke sisi paru yang

75
sehat dan atelektasis. Atelektasis dapat terjadi karena sumbatan
saluran napas sehingga paru bagian distal akan mengalami
kolaps dan terjadi atelektasis. Atelektasis dapat terjadi karena
sumbatan saluran napas sehingga paru bagian distal akan
mengalami kolaps dan terjadi atelektasis.
Tingkat kegawatan dari batuk darah ditentukan oleh 3 faktor:
1. Terjadinya asfiksia karena adanya pembekuan darah dalam
saluran pernapasan. Pada dasarnya asfiksia tergantung dari:
a. Frekuensi batuk darah
b. Jumlah darah yang dikeluarkan
c. Kecemasan penderita
d. Siklus inspirasi
e. Reflek batuk yang buruk
f. Posisi penderita
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya batuk
darah dapat menimbulkan syok hipovolemik. Bila jumlah
perdarahan banyak maka digolongkan dalam massive
hemoptysis. Kriteria massive hemoptysis
menurut Yeoh adalah perdarahan 200 cc dalam 24 jam
sedangkan menurut Sdeo adalah perdarahan lebih dari 600 cc
dalam 24 jam.
3. Aspirasi pneumonia Yaitu infeksi yang terjadi beberapa jam
atau beberapa hari setelah perdarahan. Aspirasi adalah
masuknya bekuan darah ke dalam jaringan paru yang
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Meliputi bagian yang luas dari paru
b. Terjadi pada bagian percabangan bronkus yang lebih
kecil
c. Disamping perdarahan dapat pula disebabkan oleh
masuknya cairan lambung ke dalam paru karena
penutupan glottis yang tidak sempurna

76
d. Dapat diikuti sekunder infeksi. Aspirasi pneumonia
merupakan keadaan berat karena saluran napas dan
bagian fungsional paru tidak dapat berfungsi dengan
baik.
3.2.9 Prognosis
Pada hemoptosis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila
penderita mengalami hemoptosis yang rekuren. Sedangkan pada
hemoptisis sekunder ada beberapa faktor yang menentukan
prognosis :
1. Tingkatan hemoptisis: hemoptisis yang terjadi pertama kali
mempunyai prognosis yang lebih baik.
2. Jenis penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera
dilakukan untuk menghisap darah yang beku di bronkus
dapat menyelamatkan penderita.
a. Hemoptisis <200ml/24jam prognosa baik
b. Profuse massive>600cc/24jamprognosa jelek 85%
meninggal

3.3 Pneumonia
3.3.1 Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu
peradangan paru yangdisebabkan oleh mikroorganisme
(bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme
(bahan kimia, radiasi,aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan
lain-lain) disebut pneumonitis
3.3.2 Epidemiologi

77
Infeksi M. Pnemoniad apat dijumpai di seluruh dunia dan
bersifat endemik.Prevalensi kasus yang paling banyak
dijumpai biasanya pada musim panas sampaike awal musim
gugur yang dapat berlangsung satu sampai dua tahun.
Infeksitersebar luas dari satu orang ke orang lain dengan
percikan air liur (droplet)sewaktu batuk. Itulah sebabnya
infeksi kelihatan menyebar lebih mudah antara populasi yang
padat manusianya misalnya di sekolah, asrama, pemukiman
yang padat dan camp militer.
WHO memperkirakan bahwa hingga 1 juta kematian
disebabkan oleh bakteri. Streptococcus pneumoniae dan lebih
dari 90% dari kematian ini terjadi dinegara-negara
berkembang. Kematian akibat pneumonia umumnya menurun
dengan usia sampai dewasa akhir. Lansia juga berada pada
risiko tertentu untuk pneumonia dan kematian terkait penyakit
lainnya. Di Inggris, kejadian tahunandari pneumonia adalah
sekitar 6 kasus untuk setiap 1000 orang untuk kelompok usia
18-39. Bagi mereka 75 tahun lebih dari usia, ini meningkat
menjadi 75 kasusuntuk setiap 1000 orang. Sekitar 20-40%
individu yang memerlukan kontrak pneumonia masuk rumah
sakit yang antara 5-10% diterima ke Unit perawatankritis.
Demikian pula, angka kematian di Inggris adalah sekitar 5-
10%. Individu-individu ini juga lebih cenderung memiliki
episode berulang dari pneumonia.Orang-orang yang dirawat di
rumah sakit untuk alasan apapun juga beresikotinggi untuk
pneumonia.

3.3.3 Etiologi

78
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa.
Pneumonia komuniti yang diderita olehmasyarakat luar negeri
banyak disebabkan bakteri Gram Positif, sedangkan
pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram
Negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh
bakteri anaerob. Akhir-akhir inilaporan dari beberapa kota di
Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yangditemukan dari
pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah
bakteri Gram Negatif.
Bakteri
Agen penyebab pneumonia dibagi menjadi organisme Gram
Positif atauGram Negatif seperti: Streptococcus pneumoniae
(pnemokokus),
Streptococcus piogenes, Staphylococcus aureus, Klebsiela
pneumonia, Legionella, Haemophilusinfluenza.
Virus
Influenza virus, Parainfluenza virus, Syncytial adenovirus,
chicken-pox (cacar air), Rhinovirus, Sitomegalovirus, Virus
herpes simpleks, Hanta virus.
Fungi
Aspergilus, Fikomisetes, Blastomisetes dermatitidis,
Histoplasmakapsulatum.
Aspirasi
Makanan, kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion,
benda asing.

Beberapa kelompok-kelompok mempunyai faktor


risiko yang lebih tinggiuntuk terkena pneumonia, yaitu
antara:
1. Usia lebih dari 65 tahun

79
2. Merokok
3. Malnutrisi baik karena kurangnya asupan makan ataupun
dikarenakan penyakitkronis lain.
4. Kelompok dengan penyakit paru, termasuk kista
fibrosis, asma, PPOK, danemfisema
5. Kelompok dengan masalah-masalah medis lain, termasuk
diabetes dan penyakit jantung.
6. Kelompok dengan sistem imunitas dikarenakan HIV,
transplantasi organ,kemoterapi atau penggunaan steroid
lama.
7. Kelompok dengan ketidakmampuan untuk batuk karena
stroke, obat-obatansedatif atau alkohol, atau mobilitas yang
terbatas.
8. Kelompok yang sedang menderita infeksi traktus
respiratorius atas oleh virus
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret
bronkus merupakantindakan yang sangat invasif sehingga
tidak dilakukan. Hasil penelitian 44-85%CAP disebabkan
oleh bakteri dan virus, dan 25-40% diantaranya disebabkan
lebihdari satu patogen. Patogen penyebab pneumonia
bervariasi tergantung:
1. Usia.
2. Status lingkungan.
3. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi
udara).
4. Status imunisasi.
5. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi).
Sebagian besar pneumonia bakteri didahului dulu oleh
infeksi virus.Etiologi menurut umur, dibagi menjadi:
1. Bayi baru lahir (neonatus – 2 bulan).

80
Organisme saluran genital ibu: Streptokokus grup B,
Escheria coli dankuman Gram negatif lain, Listeria
monocytogenes, Chlamydia trachomatis:tersering,
Sifilis congenital pneumonia alba Sumber infeksi lain:
Pasasetransplasental, aspirasi mekonium, dan CAP
2. Usia > 2 – 12 bulan.
Streptococcus aureus danStreptokokus grup A tidak
sering tetapi fatal.Pneumonia dapat ditemukan pada
20% anak dengan pertusis.
3. Usia 1 – 5 tahun
Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus
grup A, S.
Aureus tersering Chlamydia pneumonia: banyak pada
usia 5-14 tahun (disebut pneumonia atipikal).
4. Usia sekolah, remaja sampai dengan dewasa.
pneumonia, Streptokokus grup A, dan Mycoplasma
pneumonia (pneumonia atipikal) terbanyak.
3.3.4 Patofisiologi
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan
mikroornagisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh
mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan
penyakit.
Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan
mikroorganismeuntuk sampai dan merusak permukaan
epitel saluran napas.
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol

81
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa.
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah
secara Kolonisasi.Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus,
mikroorganisme atipikal, mikrobakteriaatau jamur.
Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara
dapatmencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya
terjadi proses infeksi. Bilaterjadi kolonisasi pada saluran napas
atas (hidung, orofaring) kemudian terjadiaspirasi ke saluran
napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal
inimerupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi
paru. Aspirasi darisebagian kecil sekret orofaring terjadi pada
orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drugabuse)
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri
yang tinggi 10 8-10/ml,sehingga aspirasi dari sebagian kecil
sekret (0,001-1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri
yang tinggi dan terjadi pneumonia
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk
secara inhalasi atauaspirasi. Umumnya mikroorganisme
yang terdapat disaluran napas bagian atassama dengan di
saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa
penelitiantidak ditemukan jenis mikroorganisme yang sama
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka
mikroorganisme dapat melalui jalannafas sampai ke alveoli
yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli
membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat
stadium, yaitu:
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/ kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang

82
terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran
darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi.Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast jugamengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan
histamindan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler
paru. Hal ini mengakibatkan perpindahaneksudat plasma
ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi
pembengkakandan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen
dankarbondioksida maka perpindahan gas ini dalam
darah paling berpengaruhdan sering mengakibatkan
penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)Disebut hepatisasi merah,
terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darahmerah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)
sebagai bagiandari reaksi peradangan. Lobus yang
terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru
menjadimerah dan pada perabaan seperti hepar, pada
stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3 – 8 hari)Disebut hepatisasi kelabu yang
terjadi sewaktu sel-sel darah putihmengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan

83
fibrinterakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan
terjadi fagositosis sisa-sisasel. Pada stadium ini eritrosit
di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabudan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti.
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu
respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin
dan eksudat lisis dan diabsorsi olehmakrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
3.3.5 Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komuniti (community-acquired
pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured
pneumonia/nosocomial pneumonia.
c. Pneumonia aspirasid.Pneumonia pada penderita
Immunocompromise
d. Pembagian ini penting untuk memudahkan
penatalaksanaan
2. Berdasarkan bakteri penyebab.
a. Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada
semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi
menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella
pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada
penderita pascainfeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma,
Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus. Pneumonia jamur sering
merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama

84
pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksia.
a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial,
jarang pada bayi danorang tua. Pneumonia yang
terjadi pada satu lobus atau segmenkemungkinan
sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus
misalnya: padaaspirasi benda asing atau proses
keganasan.
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak
infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh
bakteria maupun virus. Sering pada bayi danorang
tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
c. Pneumonia interstisial
3.3.6 Diagnosa
1. Gambaran klinisa.
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan
demam, menggigil, suhutubuh meningkat dapat
melebihi 40C, batuk dengan dahak mukoid atau
purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan
nyeri dada.
Bisa juga ditujukan untuk mengetahui
kemungkinan kuman penyebabyang berhubungan
dengan faktor infeksi:
Evaluasi faktor predisposisi :
PPOK : H. Influenza
Penyakit kronik : lebih dari satu kuman
kejang / tidak sadar : aspirasi Gram negatif,
anaerob
Penurunan imunitas : gram negatif

85
Kecanduan obat bius : staphylococcus
Bedakan lokasi infeksi
PK :S. Pneumoniae, H. Influenza, M. Pneumoniae
Rumah jompo
PN : Staphylococcus aureus
Usia pasien
Bayi : virus
Muda : M. Pneumoniae
Dewasa : S. Pneumoniae
Awitan
Cepat, akut, dengan rusty coloured sputum :S.
Pneumoniae
Perlahan, batuk dengan dahak sedikit: M.
Pneumoniae
b. Pemeriksaan fisik Temuan pemeriksaan fisis dada
tergantung dari luas lesi di paru. Padainspeksi dapat
terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas,
pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi
redup, pada auskultasiterdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang
mungkindisertai ronki basah halus, yang kemudian
menjadi ronki basah kasar padastadium resolusi
2. Pemeriksaan penunjang.
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan
penunjang utamauntuk menegakkan diagnosis.
Gambaran radiologis dapat berupa infiltratsampai
konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab
bronkogenik daninterstisial serta gambaran kaviti. Foto
toraks saja tidak dapat secara khasmenentukan
penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke

86
arahdiagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia
lobaris terseringdisebabkan oleh Steptococcus
pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa
seringmemperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumoniasedangkan Klebsiela pneumonia
sering menunjukkan konsolidasi yangterjadi pada
lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa
lobus. Pada pasien yang mengalami perbaikan klinis
ulangan foto toraks dapatditunda karena resolusi
pneumonia berlangsung 4 – 12 minggu
b. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat
peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari
10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan
padahitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri
serta terjadi peningkatanLED. Untuk menentukan
diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan
dahak,kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat
positif pada 20- 25% penderitayang tidak diobati.
Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia
danhikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik

3.3.7 Diagnosis Banding


1. Tuberculosis Paru (TB), adalah suatu penyakit infeksi
menular yangdisebabkan oleh M. tuberculosis. Jalan
masuk untuk organism M. tuberculosisadalah saluran
pernafasan, saluran pencernaan. Gejala klinis TB antara
lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3
minggu), nyeri dada, danhemoptisis dan gejala sistemik

87
meliputi demam, menggigil, keringat malam,lemas,
hilang nafsu makan dan penurunan berat badan.
2. Atelektasis, adalah istilah yang berarti pengembangan
paru yang tidak sempurna dan menyiratkan arti bahwa
alveolus pada bagian paru yangterserang tidak
mengandung udara dan kolaps.
3. Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD), adalah suatu penyumbatan menetap pada
saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau
bronkitis kronis. COPD lebih sering menyerang laki-laki
dan sering berakibatfatal. COPD juga lebih sering terjadi
pada suatu keluarga, sehingga diduga adafaktor yang
dirurunkan.
4. Bronchitis, adalah suatu peradangan pada bronkus
(saluran udara ke paru- paru). Penyakit bronchitis
biasanya bersifat ringan dan pada akhirnya akansembuh
sempurna. Tetapi pada penderita yang memiliki penyakit
menahun(misalnya penyakit jantung atau penyakit paru-
paru) dan pada usia lanjut, bronchitis bisa bersifat serius.
5. Asma bronkial, adalah penyakit yang ditandai dengan
penyempitan saluran pernapasan, sehingga pasien yang
mengalami keluhan sesak napas/kesulitan bernapas.
Tingkat keparahan asma ditentukan dengan mengukur
kemampuan paru dalam menyimpan oksigen. Makin
sedikit oksigen yang tersimpan berartisemakin buruk
kondisi asma.
3.3.8 Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif.
Pemberianantibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya
berdasarkan data mikroorganismedan hasil uji kepekaannya,
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :

88
1. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa2.Bakteri
patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai
penyebab pneumonia.3.Hasil pembiakan bakteri
memerlukan waktu
2. Pengobatan Pneumoni dibagi menjadi dua antara lain :
a. Pneumoni Komunitas
Kelompok I : pasien berobat jalan tanpa riwayat
penyakit jantung parudan tanpa adanya faktor
peubah (resiko pneumokokkus resisten, infeksigram
negatif, resiko infeksi P. Aeruginosa-RPA.
Kelompok II : pasien berobat jalan dengan riwayat
penyakit jantung paru dengan atau tanpa adanya
faktor peubah.
Kelompok IIIa. : pasien dirawat di RS diluar ICU.
Kelompok IIIb. : pasien tidak disertai tidak disertai
penyakit jantung – pare dan tidak ada faktor
pengubah.
Kelompok IV : pasien dirawat di ICU ( a. Tanpa
resiko persisten P.Aeruginosa-RPA dan b. Dengan
resiko).
b. Pneumoni Nosokomial
Pemberian terapi empirik antibiotik awal untuk
pneumonia nosokomialyang tidak disertai faktor
resiko untuk patogen resisten jamak, denganonset
dini pada semua tingkat berat sakit adalah dengan
antibiotik spektrum terbatas :
Pemberian antibiotik harus diberikan sesegera
mungkin. Jika ada faktor resiko resistensi maka antibiotik
diberikan secara kombinasi, jikatidak ada resiko maka
diberikan monoterapi.Modifikasi antibiotik biasanya
diberikan setelah didapat hasil bakteriologik dari bahan

89
sputum atau darah. Respon terhadap antibiotik dievaluasi
dalam 72 jam
3.3.9 Komplikasi
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari
penyebaran bakteri dalamrongga thorax (seperti efusi pleura,
empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan
hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis
adalahkomplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi
hematologi.
Pneumonia biasanya dapat obati dengan baik tanpa
menimbulkankomplikasi. Bagaimanapun, komplikasi dapat
terjadi pada beberapa pasienterutama penderita yang
termasuk ke dalam kelompok resiko tinggi (faktor risiko).
Akumulasi cairan: cairan dapat menumpuk diantara
pleura dan bagian bawah dinding dada (disebut efusi pleura)
dan dapat pula terjadi empiema. Chesttube (atau drainage
secara bedah) mungkin dibutuhkan untuk
mengeluarkancairan.
Abses: pengumpulan pus (nanah) pada area yang
terinfeksi pneumoniadisebut dengan abses. Biasanya
membaik dengan terapi antibiotik, namunmeskipun jarang
terkadang membutuhkan tindakan bedah untuk
membuangnnya.Bakteremia: Banteremia muncul bila
infeksi pneumonia menyebar dari parumasuk ke peredaran
darah. Ini merupakan komplikasi yang serius karena
infeksidapat menyebar dengan cepat melaui peredaran darah
ke organ-organ lain.
Kematian: walaupun sebagian besar penderita dapat
sembuh dari pneumonia, pada beberapa kasus dapat menjadi
fatal. Kurang dari 3% penderitayang dirawat di rumah sakit
dan kurang dari 1% penderita yang dirawat di

90
rumahmeninggal dunia oleh peneumonia atau
komplikasinya.
3.3.10 Prognosis
Prognosis penyakit pneumonia secara umum baik,
tergantung dari kuman penyebab dan penggunaan antibiotika
yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik serta intensif
sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita
yang dirawat.
1. Pneumonia Komunitas
Kejadian PK di USA adalah 3.4-4 juta kasus pertahun,
dan 20% diantaranya perlu dirawat di RS. Secara umum
angka kematian pneumonia oleh pneumokokkus adalah
sebesar 5%, namun dapat meningkat pada orang
tuadengan kondisi yang buruk. Pneumonia dengan
influenza di USA merupakan penyebab kematian no. 6
dengan kejadian sebesar 59%. Sebagian besar padalanjut
usia yaitu sebesar 89%. Mortalitas pasien CAP yang
dirawat di ICU adalah sebesar 20%. Mortalitas yang
tinggi ini berkaitan dengan faktor perubahyang ada pada
pasien.
2. Pneumonia nasokomialAngka mortalitas PN dapat
mencapai 33-50%, yang bisa mencapai 70% bila
termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang
dideritanya.Penyebab kematian biasanya adalah akibat
bakteremia terutama oleh Ps. Aeruginosa
atau Acinobacter spp.

3.4 Dyspepsia
3.4.1 Definisi
Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala
atau keluhan yangterdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu

91
hati, kembung, mual, muntah,sendawa, rasa cepat kenyang,
perut rasa penuh atau begah.
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys-), berarti
sulit, dan(Pepse),berarti pencernaan (N.Talley, et al., 2005).
Dispepsia merupakankumpulan keluhan/gejala klinis yang
terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang
menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan
refluksgastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada
(heartburn) dan regurgitasi asamlambung, kini tidak lagi
termasuk dispepsia.
Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi
yangdikemukakan oleh suatu kelompok kerja internasional
adalah: Sindroma yangterdiri dari keluhan - keluhan yang
disebabkan karena kelainan traktus digestivus bagian proksimal
yang dapat berupa mual atau muntah, kembung, dysphagia, rasa
penuh, nyeri epigastrium atau nyeri retrosternal dan ruktus, yang
berlangsunglebih dari 3 bulan. Dengan demikian dispepsia
merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat kronik.
Dalam klinik tidak jarang para dokter menyamakan
dispepsia dengangastritis. Hal ini sebaiknya dihindari karena
gastritis adalah suatu diagnosa patologik, dan tidak semua
dispepsia disebabkan oleh gastritis dan tidak semuakasus
gastritis yang terbukti secara patologi anatomik disertai gejala
dispepsia.Karena dispepsia dapat disebabkan oleh banyak
keadaan maka dalam menghadapisindrom klinik ini
penatalaksanaannya seharusnya tidak seragam.
Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan
organik sebagai penyebabnya. Sindroma dispepsia organik
terdapat kelainan yang nyata terhadaporgan tubuh misalnya

92
tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang
pankreas,radang empedu, dan lain-lain.
2. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau
dispesia non ulkus, bilatidak jelas penyebabnya. Dispepsi
fungsional tanpa disertai kelainan ataugangguan struktur
organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium,
radiologi,dan endoskopi setelah 3 bulan dengan gejala
dispepsia.
Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang
dominan,membagi dispepsia menjadi tiga tipe :
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like
dyspepsia), dengan gejala:
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-
like dyspesia), dengangejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di
atas).

3.4.2 Etiologi

93
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna;
tukak gaster atauduodenum, gastritis, tumor, infeksi
Helicobacter pylori
Obat-obatan seperti anti inflamasi non steroid
(OAINS), aspirin, beberapa antibiotic, digitalis, teofilin dan
sebagainya.
Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis,
pancreatitis,kolesistetis kronik. Penyakit sistemik: diabetes
mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada
kasus yang tidak terbukti adanya kelainan atau gangguan
organic atau structural biokimia, yaitudispepsia fungsional
atau dispepsia non ulkus.
Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi
A. Organik
1. Obat-obatan
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik
(makrolides,metronidazole), Besi, KCl, Digitalis,
Estrogen, Etanol (alkohol),Kortikosteroid, Levodopa,
Niacin, Gemfibrozil, Narkotik,
Quinidine,Theophiline.
2. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)
a. Alergi susu sapi, putih telur, kacang, makanan
laut, beberapa jenis produk kedelai dan beberapa
jenis buah-buahan
b. Non-alergi
Produk alam : laktosa, sucrosa, galactosa,
gluten, kafein.
Bahan kimia : monosodium glutamate (vetsin),
asam benzoat,nitrit, nitrat

94
Perlu diingat beberapa intoleransi makanan
diakibatkan oleh penyakit dasarnya, misalnya pada
penyakit pankreas dan empedu tidak bisa
mentoleransi makanan berlemak, jeruk dengan pH
yang relatif rendah sering memprovokasi gejala pada
pasien ulkus peptikum atauesophagitis.
3. Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus
Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa
hernia
Akhalasia
Obstruksi esophagus
b. Penyakit gaster dan duodenum
Gastritis erosif dan hemorhagik; sering
disebabkan oleh OAINSdan sakit keras (stres
fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan,
trauma, shock
Ulkus gaster dan duodenum
Karsinoma gaster
c. Penyakit saluran empedu
Kholelitiasis dan Kholedokolitiasis
Kholesistitis

d. Penyakit pankreas
Pankreatitis
Karsinoma pankreas
e. Penyakit usus
Malabsorbsi
Obstruksi intestinal intermiten
Sindrom kolon iritatif
Angina abdominal

95
Karsinoma kolon
4. Penyakit metabolik / sistemik
a. Tuberculosis
b. Gagal ginjal
c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar
d. Diabetes melitius
e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid
f. Ketidakseimbangan elektrolit
g. Penyakit jantung kongestif
5. Lain-lain
a. Penyakit jantung iskemik
b. Penyakit kolagen
B. Idiopatik atau Dispepsia Non Ulkus
Dispepsia fungsional
Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya
gangguan struktural atauorganik atau metabolik tetapi
merupakan kelainan fungsi dari
saluranmakanan.Termasuk ini adalah dispepsia
dismotilitas, yaitu adanya gangguanmotilitas diantaranya;
waktu pengosongan lambung yang lambat,
abnormalitaskontraktil, abnormalitas mioelektrik
lambung, refluks gastroduodenal. Penderita dengan
dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi
asam lambungyaitu kenaikan asam lambung.
Kelainan psikis, stress dan faktor lingkungan
juga dapat menimbulkandispepsia fungsional. Kelainan
non organik saluran cerna:
 Gastralgia
 Dispepsia karena asam lambung
 Dispepsia flatulen
 Dispepsia alergik

96
 Dispepsia essensial
 Pseudoobstruksi intestinal kronik
 Kelainan susunan saraf pusat (CVD, epilepsi).
 Psikogen : Histeria, psikosomatik
3.4.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI GASTER
Lambung atau ventrikulus berupa suatu kantong yang
terletak di bawahdiafragma, berbentuk huruf J. Fungsi
lambung secara umum adalah tempat dimana makanan dicerna
dan sejumlah kecil sari-sari makanan diserap. Lambungdapat
dibagi menjadi tiga daerah, yaitu daerah kardia, fundus dan
pilorus. Kardia adalah bagian atas, daerah pintu masuk
makanan dari oesofagus . Fundus adalah bagian tengah,
bentuknya membulat. Pilorus adalah bagian bawah, daerah
yang berhubungan dengan usus 12 jariduodenum.
Dinding lambung tersusun menjadi empat lapisan,
yaknimukosa, submukosa, muscularis,danserosa.Mukosa
ialah lapisan dimana sel-sel mengeluarkan berbagai jenis
cairan, seperti enzim, asam lambung, dan hormon.Lapisan ini
berbentuk seperti palung untuk memperbesar perbandingan
antara luasdan volume sehingga memperbanyak volume getah
lambung yang dapatdikeluarkan. Submukosa ialah lapisan
dimana pembuluh daraharteridanvena dapat ditemukan untuk
menyalurkan nutrisi dan oksigen ke sel-sel perut
sekaligusuntuk membawa nutrisi yang diserap,urea,dankarbon
dioksidadari sel-sel tersebut. Muscularis adalah lapisan otot
yang membantu perut dalam pencernaan mekanis. Lapisan ini
dibagi menjadi 3 lapisan otot, yakni otot
melingkar,memanjang, dan menyerong. Kontraksi dari ketiga
macam lapisan otot tersebutmengakibatkan gerak peristaltik
(gerak menggelombang). Gerak peristaltik menyebabkan
makanan di dalam lambung diaduk-aduk. Lapisan terluar

97
yaituserosa berfungsi sebagai lapisan pelindung perut. Sel-sel
di lapisan inimengeluarkan sejenis cairan untuk mengurangi
gaya gesekan yang terjadi antara perut dengan anggota tubuh
lainnya.
Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang berfungsi
dalam pencernaan,yaitu [sel goblet goblet cell],sel parietal
[parietal cell], dansel chief [chief cell].Sel goblet berfungsi
untuk memproduksi mucus atau lendir untuk menjaga
lapisanterluar sel agar tidak rusak karena enzim pepsin dan
asam lambung. Sel parietal berfungsi untuk memproduksi
asam lambung [Hydrochloric acid] yang bergunadalam
pengaktifan enzim pepsin. Diperkirakan bahwa sel parietal
memproduksi 1.5 mol dm-3 asam lambung yang membuat
tingkat keasaman dalam lambungmencapai pH 2 yang bersifat
sangat asam. Sel chief berfungsi untuk memproduksi
pepsinogen,yaituenzimpepsindalam bentuk tidak aktif. Sel
chief memproduksi dalam bentuk tidak aktif agar enzim
tersebut tidak mencerna protein yang dimilikioleh sel tersebut
yang dapat menyebabkan kematian pada sel tersebut.
Di bagian dinding lambung sebelah dalam terdapat
kelenjar-kelenjar yangmenghasilkan getah lambung. Aroma,
bentuk, warna, dan selera terhadapmakanan secara refleks
akan menimbulkan sekresi getah lambung. Getah
lambungmengandung asam lambung (HCI), pepsin, musin,
danrenin.Asam lambung berperan sebagai pembunuh
mikroorganisme dan mengaktifkan enzim pepsinogenmenjadi
pepsin.
Pepsin merupakan enzim yang dapat mengubah protein
menjadimolekul yang lebih kecil. Musin merupakan mukosa
protein yang melicinkan makanan. Renin merupakan enzim
khusus yang hanya terdapat pada mamalia, berperan sebagai

98
kaseinogen menjadi kasein. Kasein digumpalkan oleh Ca2+
darisusu sehingga dapat dicerna oleh pepsin. Tanpa adanya
renim susu yang berwujudcair akan lewat begitu saja di dalam
lambuing dan usus tanpa sempat dicerna.
Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung
mengubah makanan menjadilembut seperti bubur, disebut
chyme
(kim) atau bubur makanan. Otot lambung bagian pilorus
mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit dalam
duodenum.Caranya, otot pilorus yang mengarah ke lambung
akan relaksasi (mengendur) jikatersentuh kim yang bersifat
asam. Sebaliknya, otot pilorus yang mengarah keduodenum
akan berkontraksi (mengerut) jika tersentuh kim. Jadi,
misalnya kimyang bersifat asam tiba di pilorus depan, maka
pilorus akan membuka, sehinggamakanan lewat. Oleh karena
makanan asam mengenai pilorus belakang, pilorusmenutup.
Makanan tersebut dicerna sehingga keasamannya menurun.
Makananyang bersifat basa di belakang pilorus akan
merangsang pilorus untuk membuka.Akibatnya, makanan
yang asam dari lambung masuk ke duodenum.
Demikianseterusnya. Jadi, makanan melewati pilorus menuju
duodenum segumpal demisegumpal agar makanan tersebut
dapat tercerna efektif. Seteleah 2 sampai 5 jam,lambung
kosong kembali.
Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf
maupun hormon. Impuls parasimpatikus yang disampaikan
melalui nervus vagus akan meningkatkanmotilitas, secara
reflektoris melalui vagus juga akan terjadi
pengosonganlambung. Refleks pengosongan lambung ini akan
dihambat oleh isi yang penuh,kadar lemak yang tinggi dan
reaksi asam pada awal duodenum. Keasaman inidisebabkan

99
oleh hormon saluran cerna terutama sekretin dan
kholesistokinin- pankreo zimin, yang dibentuk dalam mukosa
duodenum dan dibawa bersamaaliran darah ke lambung.
Dengan demikian proses pengosongan lambungmerupakan
proses umpan balik humoral
Kelenjar di lambung tiap hari membentuk sekitar 2-
3 liter getah lambung,yang merupakan larutan asam klorida
yang hampir isotonis dengan pH antara 0,8-1,5, yang
mengandung pula enzim pencemaan, lendir dan faktor
intrinsik yangdibutuhkan untuk absorpsi vitamin B12. Asam
klorida menyebabkan denaturasi protein makanan dan
menyebabkan penguraian enzimatik lebih mudah.
Asamklorida juga menyediakan pH yang cocok bagi enzim
lambung dan mengubah pepsinogen yang tak aktif menjadi
pepsin
Asam klorida juga akan membunuh bakteri yang
terbawa bersamamakanan. Pengaturan sekresi getah lambung
sangat kompleks
Seperti pada pengaturan motilitas lambung serta
pengosongannya, di sini pun terjadi pengaturan oleh saraf
maupun hormon. Berdasarkan saat terjadinya, maka
sekresigetah lambung dibagi atas fase sefalik, lambung
(gastral) dan usus (intestinal).
Fase Sekresi Sefalik diatur sepenuhnya melalui
saraf. Penginderaan penciuman dan rasa akan menimbulkan
impuls saraf aferen, yang di sistem saraf pusat akan
merangsang serabut vagus
Stimulasi nervus vagus akan menyebabkandibebaskannya
asetilkolin
dari dinding lambung. Ini akan menyebabkan
stimulasilangsung pada sel parietal dan sel epitel serta akan

100
membebaskan gastrin dari selG antrum. Melalui aliran darah,
gastrin akan sampai pada sel parietal dan akan
menstimulasinya sehingga sel itu membebaskan asam klorida.
Pada sekresi asamklorida ini, histamin juga ikut berperan.
Histamin ini dibebaskan oleh mastosit karena stimulasi vagus
(gambar 3). Secara tak langsung dengan pembebasanhistamin
ini gastrin dapat bekerja.
Fase Lambung Sekresi getah lambung disebabkan
oleh makanan yangmasuk ke dalam lambung. Relaksasi serta
rangsang kimia seperti hasil urai protein, kafein atau alkohol,
akan menimbulkan refleks kolinergik lokal dan pembebasan
gastrin. Jika pH turun di bawah 3, pembebasan gastrin akan
dihambat.
Fase Usus mula-mula akan terjadi peningkatan dan
kemudian akan diikutidengan penurunan sekresi getah
lambung. Jika kim yang asam masuk ke ususduabelas jari akan
dibebaskan sekretin.
Ini akan menekan sekresi asam kloridadan merangsang
pengeluaran pepsinogen. Hambatan sekresi getah
lambunglainnya dilakukan oleh
kholesistokinin-pankreozimin,
terutama jika kim yang banyak mengandung lemak sampai
pada usus halus bagian atas.
Di samping zat-zat yang sudah disebutkan ada hormon
saluran cernalainnya yang berperan pada sekresi dan motilitas.
GIP (gastric inhibitory polypeptide) menghambat sekresi HC1
dari lambung dan kemungkinan jugamerangsang sekresi
insulin dari kelenjar pankreas.
Somatostatin, yang dibentuk tidak hanya di
hipothalamus tetapi juga disejumlah organ lainnya antara lain
sel D mukosa lambung dan usus halus sertakelenjar pankreas,

101
menghambat sekresi asam klorida, gastrin dan pepsin
lambungdan sekresi sekretin di usus halus. Fungsi endokrin
dan eksokrin pankreas akanturun (sekresi insulin dan glukagon
serta asam karbonat dan enzim pencernaan).Di samping itu,
ada tekanan sistemik yang tak berubah, pasokan darah di
daerahn. Splanchnicus akan berkurang sekitar 20-30%.
3.4.4 Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia non ulkus masih sedikit diketahui,
beberapa faktor berikut mungkin berperan penting
(multifaktorial):
Abnormalitas Motorik Gaster Dengan studi Scintigraphic
Nuklear
dibuktikan lebih dari 50% pasiendispepsia non ulkus
mempunyai keterlambatan pengosongan makanandalam
gaster. Demikian pula pada studi monometrik didapatkan
gangguanmotilitas antrum postprandial, tetapi hubungan
antara kelainan tersebutdengan gejala-gejala dispepsia
tidak jelas. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus
gaster yang "kaku" bertanggung jawab Rangsang bau dan
rangsang kecap Rangsang Ganglion Rangsang
Lokal(makanan)Rangsangan.VagusPembebasanasethilkoli
nDegranulasi mastositPembebasan histaminStimulasi sel
GPembebasan GastrinPembebasan HClStimulasi Sel
Parietal terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal
seharusnya fundusrelaksasi, baik saat mencerna makanan
maupun bila terjadi distensiduodenum. Pengosongan
makanan bertahap dari corpus gaster menuju ke bagian
fundus dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada
beberapa pasien dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak
berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum
terlalu cepat.

102
Perubahan sensifitas gaster Lebih 50% pasien dispepsia non
ulkus menunjukkan sensifitas terhadapdistensi gaster atau
intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makananyang
sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara,
gangguankontraksi gaster intestinum atau distensi dini
bagian Antrum postprandialdapat menginduksi nyeri pada
bagian ini.
Stres dan faktor psikososialPenelitian menunjukkan bahwa
didapatkan gangguan neurotik danmorbiditas psikiatri lebih
tinggi secara bermakna pada pasien dispepsianon ulkus
daripada subyek kontrol yang sehat.Banyak pasien
mengatakan bahwa stres mencetuskan keluhan dispepsia.
Beberapa studi mengatakanstres yang lama menyebabkan
perubahan aktifitas vagal, berakibatgangguan akomodasi
dan motilitas gaster.Kepribadian dispepsia non
ulkusmenyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif dan
dispepsia organik, tetapidisertai dengan tanda neurotik,
ansietas dan depresi yang lebih nyata dansering disertai
dengan keluhan non-gastrointestinal ( GI ) seperti
nyerimuskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih. Mereka
cenderung tiba-tibamenghentikan kegiatan sehari-harinya
akibat nyeri dan mempunyai fungsisosial lebih buruk
dibanding pasien dispepsia organik. Demikian pula
biladibandingkan orang normal. Gambaran psikologik
dispepsia non ulkusditemukan lebih banyak ansietas,
depresi dan neurotik
Gastritis Helicobacter pylori Gambaran gastritis
Helicobacter pylori
secara histologik biasanya gastritisnon-erosif non-spesifik.
Di sini ditambahkan non-spesifik karenagambaran
histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya

103
dankeadaan klinik yang bersangkutan. Diagnosa
endoskopik gastritis akibatinfeksi
Helicobacter pylori
sangat sulit karena sering kali gambarannyatidak khas.
Tidak jarang suatu gastritis secara histologik tampak
berattetapi gambaran endoskopik yang tampak tidak jelas
dan bahkan normal.Beberapa gambaran endoskopik yang
sering dihubungkan dengan adanyainfeksi
Helicobacter pyloriadalah:
a. Erosi kronik di daerah antrum.
b. Nodularitas pada mukosa antrum.
c. Bercak-bercak eritema di antrum.
d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema
di daerahkorpus.
Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan
ulkus peptikumsudah diakui, tetapi apakah Helicobacter
pyloridapat menyebabkan dispepsia nonulkus masih
kontroversi. Di negara maju, hanya 50% pasien dispepsia non
ulkusmenderita infeksi Helicobacter pylorisehingga penyebab
dispepsia padadispepsia non ulkus dengan Helicobacter pylori
negatif dapat juga menjadi penyebab dari beberapa dispepsia
non ulkus dengan Helicobacter pylori positif. Bukti terbaik
peranan Helicobacter pylori pada dispepsia non ulkus adalah
gejala perbaikan yang nyata setelah eradikasi kuman
Helicobacter pylori
tersebut, tetapiini masih dalam taraf pembuktian studi ilmiah.
Banyak pasien mengalami perbaikan gejala dengan cepat
walaupun dengan pengobatan plasebo. Studi"follow up"
jangka panjang sedang dikerjakan, hanya beberapa saja yang
tidak kambuh.
Kelainan gastrointestinal fungsional

104
Dispepsia non ulkus cenderung dimasukkan sebagai bagian
kelainanfungsional GI, termasuk di sini Sindrom Kolon
Iritatif, nyeri dada non-kardiak dan nyeri ulu hati fungsional.
Lebih dari 80% dengan SindromKolon Iritatif menderita
dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengandispepsia
kronis juga mempunyai gejala Sindrom Kolon Iritatif.
Pasiendengan kelainan seperti ini sering ada gejala extra GI
seperti migrain,myalgia dan disfungsi kencing dan
ginekologi. Pada anamnesis dispepsia jangan lupa
menanyakan gejala Sindrom Kolon Iritatif seperti
nyeriabdomen mereda setelah defikasi, perubahan frekuensi
buang air besar atau bentuknya mengalami perubahan, perut
tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut
kembung. Beberapa pasien juga mengalamiaerophagia,
lingkaran setan dari perut kembung diikuti oleh
masuknyaudara untuk menginduksi sendawa, diikuti oleh
kembung yang lebihdarah. Ini memerlukan perbaikan
tingkah laku.Abnormalitas di atas belumsemua diidentifikasi
oleh semua peneliti dan tidak selalu muncul padasemua
penderita. Hasil yang kurang konsisten dari bermacam terapi
yangdigunakan untuk terapi dispepsia non ulkus mendukung
keanekaragamankelompok ini.
Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau
pendarahan mukosalambung. Gastritis karena bakteri H.
Pylori dapat mengalami adaptasi padalinkungan dengan pH
yang sangat rendah dengan menghasilkan enzim ureaseyang
sangat kuat. Enzim urease tersebut akan mengubah urea
dalam lambungmenjadi ammonia sehingga bakteri
Helicobacter pylori yang diselubungi “awanamoniak” yang
dapat melindungi diri dari keasaman lambung. Kemudian
dengan flagella Helicobacter pylori menempel pada dinding

105
lambung dan mengalamimultiplikasi. Bagian yang
menempel pada epitel mukosa lambung disebut adheren
pedestal. Melalui zat yang disebut adhesin Helicobacter
pylori dapat berikatan dengan satu jenis gliserolipid yang
terdapat di dalam epitel.
Selain urease, bakteri juga mengeluarkan enzim lain
misalnya
katalase,oksidase, alkaliposfatase, gamma glutamil
transpeptidase, lipase, protease, dan musinase. Enzim
protease dan fosfolipase diduga merusak glikoprotein
danfosfolipid yang menutup mukosa lambung. H. Pylori juga
mengeluarkan toksinyang beperan dalam peradangan dan
reaksi imun local.
Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa
lambung melalui beberapa mekanisme. Obat-obat ini
menghambat siklooksigenase mukosalambung sebagai
pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang
merupakansalah satu faktor defensif mukosa lambung yang
sangat penting. Selain itu, obatini juga dapat merusak secara
topikal. Kerusakan topikal ini terjadi karenakandungan asam
dalam obat tersebut bersifat korosif, sehingga merusak sel-
selepitel mukosa. Pemberian aspirin juga dapat menurunkan
sekresi bikarbonat danmukus oleh lambung, sehingga
kemampuan faktor defensif terganggu.
Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana
kontinuitas mukosaesophagus, lambung ataupun duodenum
terputus dan meluas sampai di bawahepitel. Kerusakan
mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel
disebuterosi, walaupun seringkali dianggap juga sebagai
ulkus. Ulkus kronik berbedadengan ulkus akut, karena
memiliki jaringan parut pada dasar ulkus. Menurutdefinisi,

106
ulkus peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran
cerna yangterkena getah asam lambung, yaitu esofagus,
lambung, duodenum, dan setelahgastroduodenal, juga
jejunum.
Sawar mukosa lambung penting untuk perlindungan
lambung danduodenum. Obat anti inflamasi non steroid
termasuk aspirin menyebabkan perubahan kualitatif mucus
lambung yang dapat mempermudah terjadinyadegradasi
mucus oleh pepsin. Prostaglandin yang terdapat dalam
jumlah berlebihan dalam mucus gastric dan tampaknya
berperan penting dalam pertahanan mukosa lambung.
Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat-zat lain yang
merosak mukosalambung mengubah permeabilitas sawar
epitel, sehingga memungkinkan difusi balik asam klorida
yang mengakibatkan kerosakan jaringan, terutama
pembuluhdarah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi
asam dan pepsin lebih lanjut danmeningkatkan permeabilitas
kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema
dansejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa
kapiler dapat rusak,mengakibatkan terjadinya hemoragi
interstitial dan perdarahan. Sawar mukosatidak dipengaruhi
oleh penghambatan vagus atau atropine, tetapi difusi balik
dihambat oleh gastrin.
Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan
faktor penting dalam patogenesis ulkus peptikum. Ulkus
peptikum sering terletak di antrum karenamukosa antrum
lebih rentan terhadap difusi balik disbanding fundus. Selain
itu,kadar asam yang rendah dalam analisis lambung pada
penderita ulkus peptikumdiduga disebabkan oleh
meningkatnya difusi balik dan bukan disebabkan oleh
produksi yang berkurang.

107
Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus
peptikum diduga akibatfungsi kelenjar Brunner (kelenjar
duodenum submukosa dalam dinding usus)yang
memproduksi sekret mukoid yang sangat alkali, pH 8 dan
kental untuk menetralkan kimus asam. Penderita ulkus
peptikum sering mengalami sekresiasam berlebihan. Faktor
penurunan daya tahan jaringan juga terlibat dalam ulkus
peptikum. Daya tahan jaringan juga bergantung pada
banyaknya suplai darah dancepatnya regenerasi sel epitel
(dalam keadaan normal diganti setiap 3 hari).kegagalan
mekanisme ini juga berperan dalam patogenesis ulkus
peptikum.
3.4.5 Gejala klinik
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang,
dan berat, serta dapatakut atau kronis sesuai dengan perjalanan
penyakitnya. Pembagian akut dankronik berdasarkan atas
jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada
perut atas atau dada mungkin disertaidengan sendawa dan
suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita,
makan dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain,
makan bisamengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu
makan yang menurun, mual,sembelit, diare dan flatulensi
(perut kembung).
Dispepsia Organik
a. Dispepsia Ulkus
Dispepsia ulkus merupakan bagian penting
dari dispepsia organik. Dinegara negara barat prevalensi
ulkus lambung lebih rendah dibandingkandengan ulkus
duodeni. Sedang di negara berkembang termasuk
Indonesiafrekuensi ulkus lambung lebih tinggi. Ulkus

108
lambung biasanya diderita padausia yang lebih tinggi
dibandingkan ulkus duodeni.
Gejala utama dari ulkus peptikum adalah
hunger pain food relief.Untuk ulkus duodeni nyeri
umumnya terjadi 1 sampai 3 jam setelah makan,dan
penderita sering terbangun di tengah malam karena nyeri.
Tetapi banyak juga kasus kasus yang gejalanya tidak jelas
dan bahkan tanpa gejala. Padaulkus lambung seringkali
gejala hunger pain food relief tidak jelas, bahkankadang
kadang penderita justru merasa nyeri setelah makan.
Penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama
ulkus duodenumadalah infeksi H. Pylori dan ternyata
sedikitnya 95% kasus ulkus duodeniadalah H. pylori positif,
sedang hanya 70% kasus ulkus lambung yang H. Pylori
positif.
b. GERD
Dahulu GERD dimasukkan dalam dispepsia
fungsional tetapi setelahditemukan dasar-dasar organik
maka GERD dimasukan kedalam dispepsiaorganik. Penyakit
ini disebabkan Inkompetensi/relaksasi sphincter cardiayang
menyebabkan regurgitasi asam lambung ke dalam
esofagus.Dulu sebelum penyebab GERD diketahui dengan
jelas, GERDdimasukkan ke dalam kelompok dispepsia
fungsional. Setelah penyebabnya jelas maka GERD
dikeluarkan dari kelompok tersebut dan dimasukkan
kedalam dispepsia organik
Gejala GERD :Gejala khas, terdiri dari :
 Heart Burn”
 Rasa panas di epigastrium
 Rasa nyeri retrosternal
 Regurgitasi asam

109
 Pada kasus berat : ada gangguan menelanGejala tidak
khas :
 Nafas pendek
 Wheezing
 Batuk-batuk
Gejala GERD lebih menonjol pada waktu penderita terbaring
terlentangdan berkurang bila penderita duduk.

Gambaran Endoskopi:
Didapatkan lesi berupa robekan pada daerah spinter
esophagus yang dibagimenjadi 4 derajat (Pembagian Los
Angeles) :
Grade A :
Robekan mukosa tidak lebih dari 5 mm
Grade B :
Ada robekan mukosa yang lebih dari 5 mm dan kalau ada
robekan mukosa ditempat lain tidak berhubungan dengan
robekan mukosa yang pertama.
Grade C :
Robekan mukosa pada 1 lipatan mukosa berhubungan
dengan lipatan mukosayang lain tetapi tidak difus.
Grade D :
Robekan mukosa difus.
Dispepsia Fungsional
Gejala dispepsia fungsional (menurut kriteria Roma) :
a. Gejala menetap selama 3 bulan dalam 1 tahun terakhir.
b. Nyeri epigastrium yang menetap atau sering kambuh
(recurrent).
c. Tidak ada kelainan organik yang jelas (termasuk
endoskopi)
d. Tidak ada tanda-tanda IBS (Irritable Bowel Syndrome)

110
3.4.6 Anamnesis
jika pasien mengeluh mengenai dispepsia, dimulakan
pertanyaan atauanamnesis dengan lengkap. Berapa sering
terjadi keluhan dispepsia, sejak kapanterjadi keluhan, adakah
berkaitan dengan konsumsi makanan? Adakah pengambilan
obat tertentu dan aktivitas tertentu dapat menghilangkan
keluhanatau memperberat keluhan? Adakah pasien
mengalami nafsu makan menghilang,muntah, muntah darah,
BAB berdarah, batuk atau nyeri dada.
Pasien juga ditanya, adakah ada konsumsi obat--obat
tertentu? Atauadakah dalam masa terdekat pernah operasi?
Adakah ada riwayat penyakit ginjal, jantung atau paru?
Adakah pasien menyadari akan kelainan jumlah dan
warnaurin?
Riwayat minum obat termasuk minuman yang
mengandung alkohol dan jamu yang dijual bebas di
masyarakat perlu ditanyakan dan kalau mungkin
harusdihentikan. Hubungan dengan jenis makanan tertentu
perlu diperhatikan. Tandadan gejala "alarm"(peringatan)
seperti disfagia, berat badan turun, nyeri menetapdan hebat,
nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang sangat
sering,hematemesis, melena atau jaundice kemungkinan
besar adalah merupakan penyakit serius yang memerlukan
pemeriksaan seperti endoskopi dan / atau"USG" atau "CT
Scan" untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma
gaster atau esophagus, penyakit ulkus, pankreatitis kronis
atau keganasan pankreasempedu.
Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan
stresor psikososialmisalnya: masalah anak (meninggal,
nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar manusia (orang
tua, mertua, tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-

111
istri(istri sibuk, istri muda, dimadu, bertengkar, cerai),
pekerjaan dan pendidikan(kegiatan rutin, penggusuran,
pindah jabatan, tidak naik pangkat). Hal ini berakibat
eksaserbasi gejala pada beberapa orang.
Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab
dispepsia. Pasienulkus peptikum biasanya berumur lebih
dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang dengan
mencerna makanan tertentu atau antasid. Nyeri
seringmembangunkan pasien pada malam hari banyak
ditemukan pada ulkus duodenum.Gejala esofagitis sering
timbul pada saat berbaring dan membungkuk setelahmakan
kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang
tidak spesifik (bedakan dengan pasien jantung koroner),
regurgitasi dengan gejala perasaanasam pada mulut. Bila
gejala dispepsia timbul segera setelah makan
biasanyadidapatkan pada penyakit esofagus, gastritis erosif
dan karsinoma. Sebaliknya bilamuncul setelah beberapa jam
setelah makan sering terjadi pada ulkus duodenum. Pasien
dispepsia non ulkus lebih sering mengeluhkan gejala di luar
GI, ada tandakecemasan atau depresi, atau mempunyai
riwayat pemakaian psikotropik.
3.4.7 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan
intra-abdomen atauintra lumen yang padat misalnya tumor,
organomegali, atau nyeri tekan sesuaidengan adanya ransang
peritoneal/peritonitis.
Tumpukan pemeriksaan fisik pada bagian abdomen.
Inspeksi akandistensi, asites, parut, hernia yang jelas, ikterus,
dan lebam. Auskultasi akan bunyiusus dan karekteristik
motilitasnya. Palpasi dan perkusi abdomen, perhatikan
akantenderness, nyeri, pembesaran organ dan

112
timpani.Pemeriksaan tanda vital bisaditemukan takikardi atau
nadi yang tidak regular.
Kemudian, lakukan pemeriksaan sistem tubuh badan
lainnya. Perluditanyakan perubahan tertentu yang dirasai
pasien, keadaan umum dan kesadaran pasien diperhatikan.
Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung. Perkusi
paruuntuk mengetahui konsolidasi. Perhatikan dan lakukan
pemeriksaan terhadapektremitas, adakah terdapat perifer
edema dan dirasakan adakah akral hangat ataudingin. Lakukan
juga perabaan terhadap kelenjar limfa.

3.4.8 Pemeriksaan penujang


Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa
bagian, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya
faktor infeksi(leukositosis), pakreatitis (amylase, lipase),
keganasan saluran cerna (CEA,CA 19-9, AFP). Biasanya
meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan
pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil
pemeriksaan darah biladitemukan lekositosis berarti ada
tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak
cair berlendir atau banyak mengandung lemak
berartikemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang
yang diduga menderitadispepsia tukak, sebaiknya diperiksa
asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu
diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma
kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas
perlu diperiksa CA 19-9.
2. Barium enema untuk memeriksa esophagus, Lambung atau
usus halus dapatdilakukan pada orang yang mengalami
kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan

113
atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila
penderita makan. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi
kelainanstruktural dinding/mukosa saluran cerna bagian
atas seperti adanya tukak ataugambaran ke arah tumor.
3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa esofagus,
lambung atau usushalus dan untuk mendapatkan contoh
jaringan untuk biopsi dari lapisanlambung.Contoh tersebut
kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk
mengetahuiapakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter
pylori Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas,
selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk dikerjakan bila
dispepsia tersebutdisertai oleh keadaan yang disebut alarm
symptoms yaitu adanya penurunan berat badan, anemia,
muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi,
muntahdarah, melena, atau keluhan sudah berlangsung
lama, dan terjadi pada usialebih dari 45 tahun.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi
adalah:
a. CLO (rapid urea test)
b. Patologi anatomi (PA)
c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka
penelitian
4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi,
yaitu OMD dengankontras ganda, serologi Helicobacter
pylori dan urea breath test (belumtersedia di Indonesia).
Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluranmakan
bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada
refluksgastroesofageal akan tampak peristaltik di esofagus
yang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-

114
peristaltik di antrum yang meninggi serta sering
menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk
ke intestin. Padatukak baik di lambung, maupun di
duodenum akan terlihat gambar yangdisebut niche, yaitu
suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk
niche dari tukak yang jinak umumnya reguler,
semisirkuler, dengan dasar licin). Kanker di lambung
secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak
terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung
berubah.Pankreatitis akut perlu dibuat foto polos abdomen,
yang akan terlihat tandaseperti terpotongnya usus besar
(colon cut off sign), atau tampak dilatasi dariintestin
terutama di jejunum yang disebut sentina loops.
5. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran
kontraksi esofagusatau respon esofagus terhadap asam
3.4.9 Diagnosis
Dispepsia melalui simptom-simptomnya sahaja tidak
dapat membedakan antara dispepsia fungsional dan dispepsia
organik.
Diagnosis dispepsia fungsional adalah diagnosis yang
telah ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab
kelainanorganik atau struktural harus disingkirkan melalui
pemeriksaan. Pemeriksaanyang pertama dan banyak
membantu adalah pemeriksaan endoskopi. Oleh karenadengan
pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di oesophagus,
lambung danduodenum. Diikuti dengan USG
(Ultrasonography) dapat mengungkapkankelainan pada
saluran bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang
dapatmemberikan perubahan anatomis. Pemeriksaan
hematologi dan kimia darah akandapat mengungkapkan
penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid

115
dangangguan saluran bilier. Pada karsinoma saluran
pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor.
Kriteria Diagnostik Dispepsia Fungsional berdasarkan Kriteria
Rome III yaitu:
1. berasa terganggu setelah makan
2. cepat kenyang
3. nyeri epigastrik
4. panas/ rasa terbakar di epigastrik
Terbukti tidak ada penyakit struktural termasuk
endoskopi proksimal yangdapat menjelaskan penyebab
terjadinya gejala klinis tersebut.Kriteria haruslah terjadi dalam
masa 3 bulan terakhir dengan onset gejalaklinis sekurang-
kurangnya 6 bulan sebelum diagnosis.
3.4.10 Diferensial Diagnosis
Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau
kelompok keluhan ataugejala dan bukan merupakan suatu
diagnosis. Diferensial diagnosis dyspepsiaadalah seperti box 1.
Sangat penting mencari clue atau penanda akan gejala
dankeluhan yang merupakan etiologi yang bisa ditemukan
berdasarkan anamnesisdan pemeriksaan fisik. 50%-60% kasus,
didapati tidak ada penyebab yangterdeteksi di mana pasien
dikatakan merupakan dispepsia fungsional. Prevalensi ulkus
peptikum adalah 15%- 25% dan prevalensi esofagitis adalah
5%-15%.Kanker digestif bagian atas < 2%. Disebabkan kanker
digestif bagian atas jarang pada umur <50 tahun, pemeriksaan
endoskopi direkomendasi pada pasien yang berusia > 50 tahun.
Juga direkomendasi pada pasien yang mangalami penurunan
berat badan yang signifikan, terjadi pendarahan, dan muntah
yang terlalu teruk.
Box 1: Diagnosis banding dispepsia
Dispepsia non ulkus

116
Gastro-oesophageal reflux disease.
Ulkus peptikum.
Obat-obatan: obat anti inflamasi non-steroid, antibiotik, besi,
suplemenkalium, digoxin.
Malabsorbsi Karbohidrat (lactose, fructose, sorbitol).
Cholelithiasis or choledocholithiasis.
Pankreatitis Kronik.
Penyakit sistemik (diabetes, thyroid, parathyroid,
hypoadrenalism,connective tissue disease).
Parasit intestinal.
Keganasan abdomen (terutama kanser pancreas dan gastrik).
3.4.11 Penatalaksanaan
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan
Helicobacter pylori1996, ditetapkan skema penatalaksanaan
dispepsia, yang dibedakan bagi sentrakesehatan dengan tenaga
ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai
fasilitasendoskopi dengan penatalaksanaan dispepsia di
masyarakat.Pengobatan dispepsia mengenal beberapa
golongan obat, yaitu:
1. Antasid
Golongan obat ini mudah didapat dan murah.
Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasid
biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3,Mg(OH)2,
dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus- menerus,
sifatnyahanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri.
Mg triksilat dapat dipakai dalamwaktu lebih lama, juga
berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat
nontoksik,namun dalam dosis besar akan menyebabkan
diare karena terbentuk senyawa MgCl Sering digunakan
adalah gabungan Aluminium hidroksida danmagnesium
hidroksida.Aluminum hidroksida boleh menyebabkan

117
konstipasi dan penurunan fosfat; magnesium hidroksida
bisa menyebabkan BAB encer. Antacidyang sering
digunakan adalah seperti Mylanta, Maalox, merupakan
kombinasiAluminium hidroksida dan magnesium
hidroksida. Magnesium kontraindikasikepada pasien gagal
ginjal kronik karena bisa menyebabkan
hipermagnesemia,dan aluminium bisa menyebabkan kronik
neurotoksik pada pasien tersebut.
2. Antikolinergik Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini
tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin
bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang
dapatmenekan seksresi asam lambung sekitar 28-43%.
Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.

3. Antagonis reseptor H
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati
dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat
yang termasuk golongan antagonisreseptor antara lain
simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor =
PPI).Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung
pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung.
Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalahomeperazol,
lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah
~18jam ; jadi, bisa dimakan antara 2 dan 5 hari supaya
sekresi asid gastrik kembali kepada ukuran normal. Supaya
terjadi penghasilan maksimal, digunakan sebelum
makanyaitu sebelum sarapan pagi kecuali omeprazol.
5. Sitoprotektif Prostoglandin sintetik seperti misoprostol
(PGE1) dan enprostil (PGE2).Selain bersifat sitoprotektif,

118
juga menekan sekresi asam lambung oleh sel
parietal.Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi
prostoglandin endogen, yangselanjutnya memperbaiki
mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus
danmeningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta
membentuk lapisan protektif (site protective), yang
bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran
cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang,
bisamenyebabkan konstipasi (2--3%). Kontraindikasi pada
pasien gagal ginjal kronik.Dosis standard adalah 1 g per
hari.
6. Golongan prokinetik Obat yang termasuk golongan ini,
yaitu sisaprid, domperidon, danmetoklopramid. Golongan
ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsionaldan
refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan
memperbaiki bersihan asamlambung (acid clearance).
7. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori Eradikasi
bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi
simptom padasebagian pasien dan biasanya digunakan
kombinasi antibiotik seperti amoxicillin(Amoxil),
clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan
tetracycline(Sumycin).
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan
psikofarmakoterapi (obat anti-depresi dan cemas) pada pasien
dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarangkeluhan yang
muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas
dandepresi.
Terapi Dispepsia Fungsional :
1. FarmakologisPengobatan jangka lama jarang diperlukan
kecuali pada kasus-kasus berat.(regular medication)

119
mungkin perlu pengobatan jangka pendek waktu
adakeluhan. (on demand medication)
2. Psikoterapi
Reassurance
Edukasi mengenai penyakitnya
3. Perubahan diit dan gaya hidup
Dianjurkan makan dalam porsi yang lebih kecil tetapi
lebih sering.
Makanan tinggi lemak dihindarkan
Pengobatan terhadap dispepsia fungsional adalah bersifat
terapisimptomatik. Pasien dengan dispepsia fungsional lebih
dominan gejala dankeluhan seperti nyeri pada abdomen bagian
atas (ulcer - like) bisa diobati denganPPI (Proton Pump
Inhibitors). Pasien dengan keluhan yang tidak jelas di
bagianabdomen atas di mana yang gagal dengan pengobatan
PPI, bisa diobati dengantricyclic antidepressants, walaupun
data yang menyokong masih kurang.
Pasien dengan keluhan dismotility like symptom bisa
diobati dengansama ada dengan acid suppressive therapy,
prokinetic agents, atau 5-HT agonists.Metoclopramide dan
domperidone menunjukkan antara obat placebo dalam
pengobatan dispepsia fungsional.
3.4.12 Pencegahan
Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat
mengiritasi terutamamakanan yang pedas, asam, gorengan
atau berlemak. Yang sama pentingnya dengan pemilihan
jenis makanan yang tepat bagi kesehatanadalah bagaimana
cara memakannya. Makanlah dengan jumlah yangcukup,
pada waktunya dan lakukan dengan santai.

120
Hindari alkohol. Penggunaan alkohol dapat mengiritasi dan
mengikislapisan mukosa dalam lambung dan dapat
mengakibatkan peradangan dan pendarahan.
Jangan merokok. Merokok mengganggu kerja lapisan
pelindung lambung,membuat lambung lebih rentan
terhadap gastritis dan borok. Merokok jugameningkatkan
asam lambung, sehingga menunda penyembuhan
lambungdan merupakan penyebab utama terjadinya kanker
lambung. Tetapi, untuk dapat berhenti merokok tidaklah
mudah, terutama bagi perokok berat.Konsultasikan dengan
dokter mengenai metode yang dapat membantuuntuk
berhenti merokok.
Lakukan olah raga secara teratur. Aerobik dapat
meningkatkan kecepatan pernapasan dan jantung, juga
dapat menstimulasi aktifitas otot usussehingga membantu
mengeluarkan limbah makanan dari usus secara lebihcepat.
Kendalikan stress. Stress meningkatkan resiko serangan
jantung danstroke, menurunkan sistem kekebalan tubuh dan
dapat memicu terjadinya permasalahan kulit. Stress juga
meningkatkan produksi asam lambung danmelambatkan
kecepatan pencernaan. Karena stress bagi sebagian
orangtidak dapat dihindari, maka kuncinya adalah
mengendalikannya secaraeffektif dengan cara diet yang
bernutrisi, istirahat yang cukup, olah ragateratur dan
relaksasi yang cukup.
Ganti obat penghilang nyeri. Jika dimungkinkan, hindari
penggunaanOAINS, obat-obat golongan ini akan
menyebabkan terjadinya peradangandan akan membuat
peradangan yang sudah ada menjadi lebih parah.
Gantidengan penghilang nyeri yang mengandung
acetaminophen.

121
Ikuti rekomendasi dokter.
3.4.13 Prognosis
Statistik menunjukkan sebanyak 20% pasien dispepsia
mempunyai ulkus peptikum, 20% mengidap Irritable Bowel
Syndrome, kurang daripada 1% pasienterkena kanker, dan
dispepsia fungsional dan dyspepsia non ulkus adalah 5-40%.
Terkadang dispepsia dapat menjadi tanda dari masalah
serius, contohnya penyakit ulkus lambung yang parah. Tak
jarang, dispepsia disebabkan karenakanker lambung, sehingga
harus diatasi dengan serius. Ada beberapa hal pentingyang
harus diperhatikan bila terdapat salah satu dari tanda ini, yaitu:
Usia 50tahun ke atas, kehilangan berat badan tanpa disengaja,
kesulitan menelan,terkadang mual-muntah, buang air besar
tidak lancar dan merasa penuh di daerah perut.

122
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonedia. 2016. Tuberculosis: Temukan


Obati Sampai Sembuh. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan Republik
Indonesia.http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin
/infodatin/Infodatin-2016-TB.pdf
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Laporan Rasional Riset
Kesehatan Dasar. Pusat Penelitian Pengembangan Kesehatan. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
3. Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :
Airlangga University Press.
4. Swanson KL, Johnson CM, Prakash UB, McKusick MA, Andrews JC,
Stanson AW. Bronchial artery embolization, experience with 54 patients.
Chest 2002; 121: 789-95.
5. PDPI. 2003. Pneumonia Komuniti-Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksaan
di Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

123
6. Djojoningrat D. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Ed. IV. Indonesia : Balai Penerbit FKUI. 2007; hlm 285.
7. World Health Organization (WHO). 2016. Global Tuberculosis Report
2016: Country Profiles for 30-high Burden Countries. WHO Document
Production Services, Geneva, Switzerland.
http://www.who.int/tb/publications/global_report/gtbr2016_annex2.pdf?u
a=1
8. Hunter, RL. 2015. Tuberculosis as a three-act play: A new paradigm for the
pathogenesis of pulmonary tuberculosis. Elsevier Tuberculosis. 97 (2016)
8-17.

9. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
10. Zignol, Matteo. 2016. Twenty Years of Global Surveillance of
Antituberculosis-Drug Resistance. N Engl J Med; September 2016.375;11.

11. Horsburgh, CR. 2015. Treatment of Tuberculosis. N Engl J Med 2015;


373:2149-2160.

12. World Health Organization(WHO). 2017. Guidelines for the treatment of


drug-susceptible tuberculosis and patient care, 2017 update. Geneva: World
Health Organization. Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO.
13. Nirwan A. 2009. Kegawatdaruratan Paru. Jakarta: Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI.
14. Tabrani, Rab. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: TIM.
15. Pitoyo CW. 2011. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid
II, edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
16. PAPDI. 2012. Hemoptisis Dalam: Rani Aziz, Sugondo Sidartawan, Nasir
Anna U.Z., Wijaya Ika Prasetya, Nafrialdi, Mansyur Arif. Panduan

124
pelayanan medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI
17. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. Tuberkulosis paru dalam buku at a glance
Sistem respirasi. Jakarta: Erlangga; 2008.hal.80-81
18. Arief,Nirwan. 2009.Kegawatdaruratan Paru Jakarta: Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI
19. Snell, SS. Thorak dalam buku anatomi klinik. Jakarta: EGC; 2009.Hal : 94-
95
20. Eddy, JB. Clinical assessment and management of massive hemoptysis. Crit
Care Med 2010; 28(5):1642-7
21. Osaki S, Nakanishi Y, Wataya H, Takayama K, Inoue K, Takaki Y, etal.
2013. Prognosis of bronchial artery embolization in the management of
hemoptysis. Respiration 67:412-6
22. Kosasih A., Susanto AD., Pakki TR., Martini T., Diagnosis dan tatalaksana
kegawatdaruratan paru dalam praktek sehari-hari, Jakarta : Sagung Seto,
2008. Hal 1-15
23. Tabrani, Rab. 2010.Ilmu Penyakit Paru Jakarta: TIM
24. Helmi et all 2005. Pnemonia Mikoplasma
.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2033/1/anak-helmi3.pdf .
25. American Thoracic Society. 2001. Guidelines for management of adults
withcommunity-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of
severity,antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit.Care Med;
163: 1730-54
26. Leman, 2007. Pneumonia dan Bronkopneumoia di Indonesia.
http://www.scribd.com/doc/7688175/referat/bronkopneumonia
27. Sudoyo, 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit
FK UI
28. Kurniawan, dkk. 2009. Pneumonia Pada Dewasa. FK Universitas
Riau.Pekanbaru.http://belibis-a17.com/2009/10/11/pneumonia-pada-
dewasa/.

125
29. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo
AW,Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam, Ed. IV, 2007. Indonesia; Balai Penerbit FKUI. H. 285
30. Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate
MedicalJournal. 2003;79:25-29
31. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al.Functional
Gastroduadenal. Gastroenterology. 2006;130:1466-1479.
32. Citra JT. Perbedaan depresi pada pasien dispepsia organik dan
fungsional.Bagian Psikiatri FK USU 2003
33. Talley N, Vakil NB, Moayyedi P. American
GastroenterologicalAssociation technical review: evaluation of dyspepsia.
Gastroenterology.2005;129:1754
34. Dyspepsia. Edition 2010. Available
from:http://www.mayoclinic.org/dyspepsia/.
35. Greenburger NJ. Dyspepsia. The Merck Manuals Online Medical
Library.2008 March. Available
from:http://www.merck.com/mmpe/sec02/ch007/ch007c.html
36. Delaney BC. 10 Minutes consultation dyspepsia. BMJ. 2001.
Availablefrom: http://www.bmj.com/cgi/content/full/322/7289/776.
37. Ringerl Y. Functional dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology
andHepatology. 2005;1:1-3
38. Glenda NL. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi. Edisi ke-
6.EGC; 2006.h.417-19.
39. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ etal.
Peptic ulcer disease in
40. Harrison’s Principle of Internal Medicine 17 Th ed, Vol.II.2008. USA: Mc
Graw Hill Medical, p.287
41. David JB. Test and Treat or PPI Therapy for Dyspepsia? Journal
WatchGastroenterology. 2008 april;17.
42. Dyspepsia. Edition 2001. Available
from:http://mercyweb.org/MICROMEDEX/health_information.

126
127

Anda mungkin juga menyukai