Anda di halaman 1dari 100

LAPORAN KASUS

SEORANG PEREMPUAN 58 TAHUN DENGAN TUBERKULOSIS PARU


BTA (+), DM TIPE II, CHF NYHA IV DAN EFUSI PLEURA

DISUSUN OLEH :
ESY FATRISIA
030.13.069

PEMBIMBING
dr. YUSFI RYDOKA, Sp.P, M, KES

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RA. KARDINAH KOTA TEGAL
PERIODE 30 APRIL - 21 JULI 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus dengan judul :

“SEORANG PEREMPUAN 58 TAHUN DENGAN TUBERKULOSIS PARU


BTA (+), DM TIPE II, CHF NYHA IV DAN EFUSI PLEURA”

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kardinah Tegal periode 30
April - 21 Juli 2018

Disusun oleh :
Esy Fatrisia
030.13.069

Telah diterima dan disetujui oleh :


dr. Yusfi Rydoka, Sp.P, M, KES
selaku dokter pembimbing Departemen Ilmu Penyakit Dalam di RS RA Kardinah
Kota Tegal

Tegal, Juli 2018

dr. Yusfi Rydoka, Sp.P, M, KES

1
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. R
Umur : 58 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Tegal wangi RT 07/RW 02, kecamatan Talang
Pekerjaan : Pedagang baju
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah
Ruangan : Rosella
Asuransi : BPJS

2.2 ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 03 Juli 2018 pada pukul 13.00 WIB di
Bangsal Rosella RSUD Kardinah Tegal.
1. Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 bulan yang lalu SMRS
2. Keluhan Tambahan
Tangan dan kaki bengkak, perut membesar
3. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien perempuan (58tahun) ke instalasi gawat darurat rumah sakit RA
Kardinah hari Selasa, 26 Juni 2018 dengan keluhan sesak napas sejak 1
bulan sebelum masuk ke rumah sakit. Sesak napas dirasakan pasien terus
menerus, semakin hari semakin memberat. Sesak napas dirasakan sepanjang
hari, baik saat beraktifitas maupun saat istirahat. Sesak sedikit berkurang
dengan perubahan posisi yaitu jika pasien miring. Biasanya pasien
menggunakan 4 bantal untuk tidur. Pasien juga mengeluhkan batuk-batuk
sejak ± 1 bulan yang lalu. Batuk hilang timbul, tidak disertai dahak dan tidak
berdarah. Pasien mengeluh badan terasa lemah dan lemas. Terkadang pasien
merasakan nyeri dada. Pasien juga mengeluh tangan, perut dan kaki yang

2
membengkak. Kaki membengkak terutama apabila pasien duduk dalam
jangka waktu lama. Keluhan kaki membengkak tidak kunjung membaik
sehingga membuat pasien sulit beraktivitas. Pasien juga mengeluh sering
keringat dingin malam hari dan demam yang hilang timbul. Pusing, mual
dan muntah disangkal. BAB dan BAK tidak ditemukan adanya keluhan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pasien mengaku mempunyai riwayat DM. Asma dan alergi obat ataupun
makanan disangkal. Riwayat lainnya seperti batuk berdarah ataupun
pengobatan OAT selama 6 bulan atau lebih disangkal.
5. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Dikeluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien.
Tidak ada yang mengalami batuk lama. Riwayat penyakit jantung, hati,
hipertensi, DM, dan asma disangkal. Riwayat alergi tidak ada di keluarga.
6. Riwayat Kehidupan Pribadi dan Sosial Ekonomi
Pasien mengaku memiliki kebiasaan merokok 4bungkus/hari. Pasien biasa
mengendarai motor jika pergi dan pulang bekerja. Tempat tinggal pasien di
perkampungan yang padat penduduk, rumah memiliki ventilasi yang cukup
baik.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, tampak sesak, tidak pucat, tidak
sianosis.
Kesadaran : Compos mentis
Status gizi : Obesitas (BB/TB 85kg/150cm)
BMI : 37,7 kg/m2
Tanda vital : Tekanan darah : 140/100mmHg
Nadi : 110x/menit
Respirasi : 24x/menit
Suhu : 36,4 °C

3
Status Generalis
Tabel 1. Status Generalis
Kepala dan Wajah Rambut : Distribusi rambut merata dan tidak mudah
dicabut.
Kulit : Lesi (-), rash (-), scar (-), masa (-), deformitas (-
), sianotik (-), ikterik (-), edema (-).
Mata Konjungtiva anemis (-), ptosis (-), Sclera ikterik (-),
mata cekung (-), pupil bulat, isokor, diameter
3mm/3mm, refleks pupil langsung dan tidak langsung
(+/+). Exopthalmus (-), Retraksi Kelopak mata (-).
Hidung Bentuk dan ukuran normal, deviasi (-), septum nasal
normal berada ditengah, mukosa hiperemis (-), benda
asing (-), secret (-), deformitas (-).
Telinga Kedua telinga tampak simetris, serumen (-), hiperemis (-
), liang telinga lapang, deformitas (-), nyeri tekan (-),
benda asing (-).
Mulut Sianosis (-), deviasi lidah (-), atrofi lidah (-), lidah kotor
(-), mukosa mulut hiperemis (-), faring hiperemis (-),
letak uvula ditengah, tonsil T1/T1.
Leher JVP normal, deviasi trakea (-), pembesaran KGB leher
dan supraklavikular (-), pembesaran kelenjar parotis (-).
Jantung Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : ictus cordis (+) pada ICS V-VI
Perkusi :
- Batas jantung kanan : ICS IV, midclavicula dextra.
- Batas jantung kiri : ICS V-VI, midaxilaris sinistra.
- Batas atas jantung : ICS II linea parasternalis sinistra.
Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru Inspeksi : Gerak napas tidak simetris ada bagian yang
tertinggal, lesi (-).

4
Palpasi : Gerak simetris, vocal fremitus melemah pada
bagian basal paru dextra dan sinistra.
Perkusi : Redup pada basal paru dextra dan sinistra.
Auskultasi : Vesikuler menurun , Ronki +/+, Wheezing
-/-.
Abdomen Inspeksi : perut membuncit
Auskultasi : bising usus (+) 5 x/menit.
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
(-), ballotement (-), undulasi (+).
Perkusi : Timpani-redup, shifting dullness (+), nyeri
ketok CVA (-)
Ekstremitas Akral hangat (+), sianosis (-), ikterik (-), deformitas (-),
edema pada kedua tangan dan kaki (+) pitting (+) , CRT
normal (< 2 detik).

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tabel 2. Laboratorium (26 Juni 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 13.6 g/dL 11.2 – 15.7
Leukosit 8.3 10ˆ3/uL 4.4 – 11.3
Hematokrit 41.1 % 37 – 47
Trombosit 184 10ˆ3/uL 150 – 521
Eritrosit 4.5 10ˆ6/uL 4.1 – 5.1
RDW 15.9 % 11.5 – 14.5
MCV 85.4 U 80 – 96
MCH 28.3 Pcg 28 – 33
MCHC 33.1 g/dL 33 – 36
Netrofil 72.4 % 50 – 70
Limfosit 20.1 % 25 – 40
Monosit 6.5 % 2–8

5
Eosinofil 1 % 2–4
Basofil 0.4 % 0–1
LED 1 Jam 9 mm/jam 0 -20
LED 2 Jam 22 mm/jam 0 - 35
SGOT 13.0 U/L <34
SGPT 11.7 U/L <34
Ureum 33.3 mg/dL 21.0 – 43.0
Kreatinin 0.92 mg/dL 0.60 – 1.10
Glukosa Sewaktu 460 mg/dL 82.0 – 115.0
HIV (rapid test) Non reaktif Non reaktif
ONCOPROBE

Tabel 3. Laboratorium (28 Februari 2018)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Pengecatan BTA 2+ Negatif
Pengecatan BTA 3 - Negatif
Pengecatan BTA 2 2+ Negatif

6
RADIOLOGI

Gambar 1. Foto thorax (27 Februari 2018)


Interpretasi :
Posisi foto AP dan simetris
Cor : CTR >50%
Batas kiri ke laterokaudal

7
Pulmo : Penebalan hilus kanan dan kiri
Corakan bronkovaskular tampak meningkat dikedua hemithorax
Tampak bercak infiltrat di kedua lapang paru
Sinus costofrenikus paru kanan dan kiri tumpul
Diafragma kanan dan kiri tampak suram
KESAN :
 Cardiomegaly
 Suspek TB
 Efusi pleura dupleks minimal

8
Gambar 2. Foto thorax (24 April 2018)
Interpretasi :
Posisi foto AP dan simetris

Cor : tidak dapat dinilai


Pulmo : Terdapat perselubungan pada basal paru kanan dan kiri dengan sinus
costofrenikus paru kanan dan kiri tumpul
Diafragma kanan dan kiri tampak suram

9
KESAN :
 Cardiomegaly
 Suspek TB
 Efusi pleura dupleks

2.5 DAFTAR ABNORMALITAS


Anamnesis
1. Sesak napas sejak 1 bulan
2. Sesak napas dirasakan pasien terus menerus, semakin hari semakin
memberat.
3. Sesak sedikit berkurang dengan perubahan posisi yaitu jika pasien
miring.
4. Menggunakan 4 bantal untuk tiduran
5. Batuk hilang timbul, tidak disertai dahak dan tidak berdarah sejak ± 1
bulan yang lalu
6. Pasien mengeluh badan terasa lemah dan lemas
7. Terkadang nyeri dada.
8. Tangan , perut dan kaki membengkak sehingga membuat pasien sulit
beraktivitas.
9. keringat dingin malam hari dan demam yang hilang timbul.
10. Mempunyai riwayat DM.
11. Kebiasaan merokok 4bungkus/hari.
Pemeriksaan fisik
1. Auskultasi : Vesikuler menurun dan terdapat ronki pada paru dextra dan
sinistra.
2. Palpasi : Vocal fremitus melemah pada bagian basal paru dextra dan
sinistra.
3. Perkusi : Redup pada basal paru dextra dan sinistra.
4. Batas jantung kanan : ICS IV, midclavicula dextra.
5. Batas jantung kiri : ICS V-VI, midaxilaris sinistra.
6. Pada abdomen : perut cembung, undulasi (+), shifting dullness (+).

10
7. Pitting edema pada kedua tangan dan kaki (+).

Pemeriksaan Penunjang
1. RDW meningkat, netrofil meningkat, limfosit menurun, eosinofil
menurun, GDS meningkat, pengecatan BTA : 2+/-/2+
2. Foto Thorax : CTR >50%, batas kiri ke laterokaudal, terdapat
perselubungan pada basal paru kanan dan kiri dengan sinus costofrenikus
paru kanan dan kiri tumpul, diafragma kanan dan kiri tampak suram.

2.6 DAFTAR MASALAH


1. Efusi Pleura
2. Congestive Heart Failure
3. TB Paru BTA (+)
4. DM tipe II
5. Hipertensi stage 1

2.7 RESUME
Pasien perempuan (58tahun) ke instalasi gawat darurat rumah sakit RA
Kardinah hari Selasa, 26 Juni 2018 dengan keluhan sesak napas sejak 1 bulan
sebelum masuk ke rumah sakit. Sesak napas dirasakan pasien terus menerus,
semakin hari semakin memberat. Sesak napas dirasakan sepanjang hari, baik saat
beraktifitas maupun saat istirahat. Sesak sedikit berkurang dengan perubahan
posisi yaitu jika pasien miring. Biasanya pasien menggunakan 4 bantal untuk
tidur. Pasien juga mengeluhkan batuk-batuk sejak ± 1 bulan yang lalu. Batuk
hilang timbul, tidak disertai dahak dan tidak berdarah. Pasien mengeluh badan
terasa lemah dan lemas. Terkadang pasien merasakan nyeri dada. Pasien juga
mengeluh tangan, perut dan kaki yang membengkak. Kaki membengkak
terutama apabila pasien duduk dalam jangka waktu lama. Keluhan kaki
membengkak tidak kunjung membaik sehingga membuat pasien sulit
beraktivitas. Pasien juga mengeluh sering keringat dingin malam hari dan demam
yang hilang timbul. Pusing, mual dan muntah disangkal. BAB dan BAK tidak
ditemukan adanya keluhan.

11
Pasien mengaku mempunyai riwayat DM. Asma dan alergi obat ataupun
makanan disangkal. Riwayat lainnya seperti batuk berdarah ataupun
pengobatan OAT selama 6 bulan atau lebih disangkal. Dikeluarga tidak ada
yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien. Tidak ada yang mengalami
batuk lama. Riwayat penyakit jantung, hati, hipertensi, DM, dan asma
disangkal. Riwayat alergi tidak ada di keluarga. Pasien mengaku memiliki
kebiasaan merokok 4bungkus/hari. Pasien biasa mengendarai motor jika pergi
dan pulang bekerja. Tempat tinggal pasien di perkampungan yang padat
penduduk, rumah memiliki ventilasi yang cukup baik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan : pasien tampak sakit sedang dan tampak
sesak, BB: 85kg, TB 150cm, BMI : 37,7 kg/m2 , tekanan darah : 140/100mmHg,
nadi : 110x/menit, respirasi : 24x/menit, suhu: 36, 4 °C.
Pada auskultasi paru ditemukan : vesikuler menurun dan ronki pada paru
kanan dan kiri. Palpasi ditemukan : vocal fremitus melemah pada bagian basal
paru dextra dan sinistra. Perkusi paru ditemukan : redup pada basal paru dextra
dan sinistra. Pada pemeriksaan perkusi jantung ditemukan : batas jantung kanan
pada ICS IV, midclavicula dextra , batas jantung kiri pada ICS V-VI,
midaxilaris sinistra. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan : perut cembung,
undulasi (+), shifting dullness (+). Dan pada ektremitas ditemukan : pitting
edema pada kedua tangan dan kaki (+).
Hasil laboratorium tanggal 26 Juni 2018 didapatkan RDW meningkat
(15,9%), Netrofil meningkat (72,4%), Limfosit menurun (20,1%), Eosinofil
menurun (1%), GDS meningkat (460 mg/dL). Hasil pemeriksaan BTA tanggal
28 Februari 2018 : 2+/-/2+.
Pada pemeriksaan foto thorax AP tanggal 27 Februari 2018 ditemukan CTR
>50%, batas kiri ke laterokaudal, penebalan hilus kanan dan kiri, corakan
bronkovaskular tampak meningkat dikedua hemithorax, tampak bercak infiltrat
di kedua lapang paru, sinus costofrenikus paru kanan dan kiri tumpul dan
diafragma kanan dan kiri tampak suram dengan kesan kardiomegali, suspek TB,
efusi pleura dupleks minimal.

12
Pada pemeriksaan foto thorax AP tanggal 24 April 2018 ditemukan COR
tidak dapat dinilai, terdapat perselubungan pada basal paru kanan dan kiri
dengan sinus costofrenikus paru kanan dan kiri tumpul, diafragma kanan dan
kiri tampak suram dengan kesan kardiomegali, suspek TB dan efusi pleura
dupleks.

2.8 DIAGNOSIS KERJA


 Efusi Pleura Dupleks
 Congestive Heart Failure
 TB Paru BTA (+)
 DM tipe II
 Hipertensi Stage 1

2.9 PENATALAKSANAAN
 Infus ringer laktat 10 tetes/menit
 02 nasal canul 2 liter/menit
 Pasang dower cateter
 Rifampicin 1x 450mg
 INH 1x300mg
 Pirazinamid 500mg 1x2
 Etambutol 500mg 1x2
 Renafar 2x1
 Bisoprolol 1x1
 Fargoxin 1x1
 Alprazolam 1x1
 Omeprazole injeksi 2x1
 Lasix inj 3x2amp
 Novorapide 20unit

13
2.10 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad functionam : dubia ad malam

Quo Ad sanationam : dubia ad malam

14
2.11 Follow Up
26 Juni 2018 27 Juni 2018
S: Sesak napas (+) S: Susah tidur, sesak napas pada memberat malam hari
O : KU : Tampak sakit sedang, Kesadaran : Compos mentis O: KU: Tampak sakit sedang, Kesadaran : Compos mentis
Td : 110/70 mmHg Td : 120/80 mmHg
Hr : 89 x/ menit Hr : 85 x/menit
Rr : 26 x/ menit Rr : 22 x/menit
Pada auskultasi paru ditemukan : vesikuler menurun dan Pada auskultasi paru ditemukan : vesikuler menurun dan ronki
ronki pada paru kanan dan kiri. Palpasi ditemukan : vocal pada paru kanan dan kiri. Palpasi ditemukan : vocal fremitus
fremitus melemah pada bagian basal paru dextra dan melemah pada bagian basal paru dextra dan sinistra. Perkusi
sinistra. Perkusi paru ditemukan : redup pada basal paru paru ditemukan : redup pada basal paru dextra dan sinistra.
dextra dan sinistra. Pada pemeriksaan perkusi jantung Pada pemeriksaan perkusi jantung ditemukan : batas jantung
ditemukan : batas jantung kanan pada ICS IV, midclavicula kanan pada ICS IV, midclavicula dextra , batas jantung kiri
dextra , batas jantung kiri pada ICS V-VI, midaxilaris pada ICS V-VI, midaxilaris sinistra. Pada pemeriksaan
sinistra. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan : perut abdomen ditemukan : perut cembung, undulasi (+), shifting
cembung, undulasi (+), shifting dullness (+). Dan pada dullness (+). Dan pada ektremitas ditemukan : pitting edema
ektremitas ditemukan : pitting edema pada kedua tangan dan pada kedua tangan dan kaki (+).
kaki (+).

A:  CHF NYHA IV A:  CHF NYHA IV

15
P: Infus ringer laktat 8 tetes/menit P: Alprazolam 0,5mg
02 nasal canul 2 – 4 liter/menit Konsul Sp.P
Renafar 2x1
Bisoprolol 1x1
Fargoxin 1x1

28 Juni 2018 29 Juni 2018


S: Sesak napas (+) S: Sesak napas (+)

O : KU : Tampak sakit sedang, Kesadaran : compos mentis O: KU : Tampak sakit ringan, Kesadaran : compos mentis
Td : 130/80 mmHg TD : 130/80 mmHg
Hr : 90 x/menit HR : 90 x/menit
Rr : 22 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,2 ºC
Pada auskultasi paru ditemukan : vesikuler menurun dan Suhu : 36, 6ºC
Pada auskultasi paru ditemukan : vesikuler menurun dan ronki
ronki pada paru kanan dan kiri. Palpasi ditemukan : vocal
pada paru kanan dan kiri. Palpasi ditemukan : vocal fremitus
fremitus melemah pada bagian basal paru dextra dan
melemah pada bagian basal paru dextra dan sinistra. Perkusi
sinistra. Perkusi paru ditemukan : redup pada basal paru
paru ditemukan : redup pada basal paru dextra dan sinistra.
dextra dan sinistra. Pada pemeriksaan perkusi jantung
Pada pemeriksaan perkusi jantung ditemukan : batas jantung
ditemukan : batas jantung kanan pada ICS IV, midclavicula
kanan pada ICS IV, midclavicula dextra , batas jantung kiri
dextra , batas jantung kiri pada ICS V-VI, midaxilaris
pada ICS V-VI, midaxilaris sinistra. Pada pemeriksaan
sinistra. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan : perut

16
cembung, undulasi (+), shifting dullness (+). Dan pada abdomen ditemukan : perut cembung, undulasi (+), shifting
ektremitas ditemukan : pitting edema pada kedua tangan dan dullness (+). Dan pada ektremitas ditemukan : pitting edema
kaki (+). pada kedua tangan dan kaki (+).

A:  CHF NYHA IV A:  CHF NYHA IV


 DM tipe II  DM tipe II
 TB paru BTA (+)  TB paru BTA (+)

P:  Infus ringer laktat 10 tetes/menit P:  Infus ringer laktat 10 tetes/menit


 02 nasal canul 2 – 4 liter/menit  02 nasal canul 2 – 4 liter/menit
 Pasang dower cateter  Pasang dower cateter
 Rifampicin 1x 450mg  Rifampicin 1x 450mg
 INH 1x300mg  INH 1x300mg
 Pirazinamid 500mg 1x2  Pirazinamid 500mg 1x2
 Etambutol 500mg 1x2  Etambutol 500mg 1x2
 Renafar 2x1  Renafar 2x1
 Bisoprolol 1x1  Bisoprolol 1x1
 Fargoxin 1x1  Fargoxin 1x1
 Alprazolam 1x1  Alprazolam 1x1

17
 Omeprazole injeksi 2x1  Omeprazole injeksi 2x1
 Lasix inj 3x2amp  Lasix inj 3x2amp
 Novorapide 20unit  Novorapide 20unit

18
30 Juni 2018 1 Juli 2018
S: Sesak napas (+) S: Sesak napas (+) tidak bisa tidur
O : KU : Tampak sakit sedang, Kesadaran : Compos mentis O: KU: Tampak sakit sedang, Kesadaran : Compos mentis
Td : 120/80 mmHg Td : 140/90 mmHg
Hr : 100 x/ menit Hr : 110 x/menit
Rr : 22 x/ menit Rr : 24 x/menit
Pada auskultasi paru ditemukan : vesikuler menurun dan Pada auskultasi paru ditemukan : vesikuler menurun dan ronki
ronki pada paru kanan dan kiri. Palpasi ditemukan : vocal pada paru kanan dan kiri. Palpasi ditemukan : vocal fremitus
fremitus melemah pada bagian basal paru dextra dan melemah pada bagian basal paru dextra dan sinistra. Perkusi
sinistra. Perkusi paru ditemukan : redup pada basal paru paru ditemukan : redup pada basal paru dextra dan sinistra.
dextra dan sinistra. Pada pemeriksaan perkusi jantung Pada pemeriksaan perkusi jantung ditemukan : batas jantung
ditemukan : batas jantung kanan pada ICS IV, midclavicula kanan pada ICS IV, midclavicula dextra , batas jantung kiri
dextra , batas jantung kiri pada ICS V-VI, midaxilaris pada ICS V-VI, midaxilaris sinistra. Pada pemeriksaan
sinistra. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan : perut abdomen ditemukan : perut cembung, undulasi (+), shifting
cembung, undulasi (+), shifting dullness (+). Dan pada dullness (+). Dan pada ektremitas ditemukan : pitting edema
ektremitas ditemukan : pitting edema pada kedua tangan dan pada kedua tangan dan kaki (+).
kaki (+).

A:  CHF NYHA IV A:  CHF NYHA IV


 DM tipe II  DM tipe II
 TB paru BTA (+)  TB paru BTA (+)

19
 Efusi pleura  Efusi pleura
 Hipertensi stage 1
P:  Infus ringer laktat 20 tetes/menit P:  Infus ringer laktat 20 tetes/menit
 02 nasal canul 2 – 4 liter/menit  02 nasal canul 2 – 4 liter/menit
 Pasang double lumen cateter  Pasang double lumen cateter
 Rifampicin 1x 450mg  Rifampicin 1x 450mg
 INH 1x300mg  INH 1x300mg
 Pirazinamid 500mg 1x2  Pirazinamid 500mg 1x2
 Etambutol 500mg 1x2  Etambutol 500mg 1x2
 Renafar 2x1  Renafar 2x1
 Bisoprolol 1x1  Bisoprolol 1x1
 Fargoxin 1x1  Fargoxin 1x1
 Alprazolam 1x1  Alprazolam 1x1
 Omeprazole injeksi 2x1  Omeprazole injeksi 2x1
 Lasix inj 3x2amp  Lasix inj 3x2amp
 Novorapide 20unit  Novorapide 20unit

20
2 Juli 2018 3 Juli 2018
S : Sesak napas (+)tidak bisa tidur, tangan dan kaki masih S: Sesak napas (+) tidak bisa tidur, tangan dan kaki masih
membengkak membengkak
O : KU : Tampak sakit sedang, Kesadaran : Compos mentis O: KU: Tampak sakit sedang, Kesadaran : Compos mentis
Td : 140/90 mmHg Td : 140/100 mmHg
Hr : 110 x/ menit Hr : 110 x/menit
Rr : 24 x/ menit Rr : 24 x/menit
Pada auskultasi paru ditemukan : vesikuler menurun dan Pada auskultasi paru ditemukan : vesikuler menurun dan ronki
ronki pada paru kanan dan kiri. Palpasi ditemukan : vocal pada paru kanan dan kiri. Palpasi ditemukan : vocal fremitus
fremitus melemah pada bagian basal paru dextra dan melemah pada bagian basal paru dextra dan sinistra. Perkusi
sinistra. Perkusi paru ditemukan : redup pada basal paru paru ditemukan : redup pada basal paru dextra dan sinistra.
dextra dan sinistra. Pada pemeriksaan perkusi jantung Pada pemeriksaan perkusi jantung ditemukan : batas jantung
ditemukan : batas jantung kanan pada ICS IV, midclavicula kanan pada ICS IV, midclavicula dextra , batas jantung kiri
dextra , batas jantung kiri pada ICS V-VI, midaxilaris pada ICS V-VI, midaxilaris sinistra. Pada pemeriksaan
sinistra. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan : perut abdomen ditemukan : perut cembung, undulasi (+), shifting
cembung, undulasi (+), shifting dullness (+). Dan pada dullness (+). Dan pada ektremitas ditemukan : pitting edema
ektremitas ditemukan : pitting edema pada kedua tangan dan pada kedua tangan dan kaki (+).
kaki (+).

A:  CHF NYHA IV A:  CHF NYHA IV


 DM tipe II  DM tipe II

21
 TB paru BTA (+)  TB paru BTA (+)
 Efusi pleura  Efusi pleura
 Hipertensi stage 1  Hipertensi stage 1
P:  Infus ringer laktat 20 tetes/menit P:  Infus ringer laktat 20 tetes/menit
 02 nasal canul 2 – 4 liter/menit  02 nasal canul 2 – 4 liter/menit
 Pasang double lumen cateter  Pasang double lumen cateter
 Rifampicin 1x 450mg  Rifampicin 1x 450mg
 INH 1x300mg  INH 1x300mg
 Pirazinamid 500mg 1x2  Pirazinamid 500mg 1x2
 Etambutol 500mg 1x2  Etambutol 500mg 1x2
 Renafar 2x1  Renafar 2x1
 Bisoprolol 1x1  Bisoprolol 1x1
 Fargoxin 1x1  Fargoxin 1x1
 Alprazolam 1x1  Alprazolam 1x1
 Omeprazole injeksi 2x1  Omeprazole injeksi 2x1
 Lasix inj 3x2amp  Lasix inj 3x2amp
 Novorapide 20unit  Novorapide 20unit

22
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 EFUSI PLEURA


Anatomi dan Fisiologi Pleura
Pleura adalah membran tipis yang melapisi diluar paru dan didalam rongga
dada yang terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseral dan pleura parietal. Pleura
viseral menempel di paru, bronkus dan fisura mayor, sedangkan pleura parietal
melekat di dinding dada bagian dalam dan mediastinum. Kedua lapisan ini
dipisahkan oleh rongga kedap udara yang berisi cairan lubrikan. Kedua lapisan
pleura bersatu didaerah hilus dan mengadakan penetrasi dengan cabang utama
bronkus , arteri dan vena bronkialis, serabut saraf dan pembuluh limfe. Secara
histologis, kedua lapisan ini terdiri dari sel mesotelial, jaringan ikat, pembuluh
darah kapiler dan pembuluh getah bening.

Pleura normal memiliki permukaan licin, mengkilap, dan semitransparan.


Luas permukaan pleura visceral sekitar 4000 cm2 pada laki-laki dewasa dengan
berat badan 70 kg. Pleura parietal terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pleura
kostalis yang berbatasan dengan iga dan otot-otot intercostal, pleura diafragmatik,
pleura servikal sepanjang 2-3 cm menyusur sepertiga medial klavikula di belakang

23
otot-otot sternokleidomastoideus, dan pleura mediastinal yang membungkus organ-
organ mediastinum.
Eliminasi akumulasi cairan pleura terutama diatur oleh sistem limfatik
sistemik di pleura parietal. Cairan masuk ke dalam rongga pleura melalui arteriol
interkostalis pleura parietal melewati mesotel dan kembali ke sirkulasi melalui
stoma pada pleura parietal yang terbuka langsung menuju sistem limfatik.
Pleura berperan dalam sistem pernapasan melalui tekanan pleura yang
ditimbulkan oleh rongga pleura. Tekanan pleura bersama dengan tekanan jalan
napas akan menimbulkan tekanan transpulmoner yang selanjutnya akan
mempengaruhi pengembangan paru dalam proses respirasi.
Rongga pleura terisi cairan dari pembuluh kapiler pleura, ruang interstisial
paru, saluran limfatik intratoraks, pembuluh kapiler intratoraks, dan rongga
peritoneum. Jumlah cairan pleura bergantung pada mekanisme gaya Starling (laju
filtrasi kapiler di pleura parietal) dan sistem penyaliran limfatik melalui stoma di
pleura parietal. Senyawa-senyawa protein, sel-sel, dan zat-zat partikulat dieliminasi
dari rongga pleura melalui penyaliran limfatik ini. Seseorang dengan berat badan
60 kg akan memiliki nilai aliran limfatik dari masing-masing sisi rongga pleura
sebesar 20 mL/jam atau 500 mL/hari.

DEFINISI
Efusi pleura adalah akumulasi cairan secara berlebihan pada cavum pleura,
pada keadaan normal cavum pleura hanya terisi beberapa milliliter cairan. Volume
dari cairan pleura yang bertambah sering terkait oleh akibat adanya kelainan pada
pleura, paru atau penyakit sistemik. Kelainan yang paling sering menimbulkan efusi
pleura antara lain berupa gagal jantung, pneumonia dan penyakit keganasan.1

EPIDEMIOLOGI
Efusi pleura merupakan manifestasi umum adanya penyakit pleura, paru
atau penyakit sistemik lainnya. Gagal jantung merupakan penyebab tersering
diantara penyebab lainnya seperti pneumonia, keganasan dan emboli paru. Di
Amerika serikat setiap tahun ada sekitar 1 juta penduduknya mengalami efusi

24
pleura. Penyebab umum lainnya adalah keganasan, diestimasikan efusi pleura
akibat keganasan mencapai 150.000 penduduk per tahun di Amerika Serikat.
Hampir semua pasien datang ke dokter dengan keluhan sesak nafas akibat
akumulasi cairan dan kompresi parenkim paru.2,3

ETIOLOGI
Etiologi dari efusi pleura dapat ditentukan berdasarkan jenis cairan efusi
apakah tergolong transudat atau eksudat. Sehingga sangat penting menentukan jenis
dari efusi pleura. Berikut ini disajikan berbagai penyebab dari efusi pleura
berdasarkan jenis cairan efusi pleura.4
Tabel 4. Penyebab Efusi Pleura
Tipe Eksudat Transudat
Sering Efusi parapneumoni Gagal jantung
Penyakit keganasan Sirrosis hepatis
Hipoalbuminemia
Dialisis peritoneal
Kadang Emboli pulmonal Sindrom nefrotik
Reumatoid arthritis Emboli pulmonal
Mitral stenosis
Jarang Abses Hepar atau spleen Perikarditis constrictiva
Uremia Meig sindrom
Chylotoraks Superior vena cava
obstruction
Induksi obat
Radioterapi

Etiologi lainnya dapat diklasifikasikan berdasarkan temuan radiologi dari


efusi pleura yang terjadi. Pada efusi pleura bilateral seringkali disebabkan oleh
gagal jantung atau keganasan, efusi pleura masif seringkali disebabkan karena
keganasan, parapneumoni atau empyema dan tuberculosis.1,3

25
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung dari keseimbangan antara
cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal, cairan pleura
dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini
terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan interstitial
submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk kedalam rongga pleura.
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar paru. Efusi pleura
dapat berupa transudat atau eksudat.6

Proses penumpukan cairan dapat disebabkan oleh peradangan. Bila proses


radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus / nanah, sehingga terjadi empiema
/ piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat
menyebabkan hemotoraks. Efusi cairan yang berupa transudat terjadi apabila
hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotik menjadi
terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi
reabsorpi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada :6

1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik


2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3. Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intrapleura

Penyebabnynya karena penyakit lain bukan primer paru seperti gagal


jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum,
hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan,
atelektasis paru dan pneumotoraks. Efusi eksudat terjadi bila ada proses
peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura
meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi
pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang
paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai
pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab lain seperti parapneumonia, parasit, jamur,
pneumonia atipik, keganasan paru, proses imunologik seperti pleuritis lupus,

26
pleuritis reumatoid, sarkoidosis, radang sebab lain seperti pankreatitis, asbestosis,
pleuritis uremia dan akibat radiasi.6

Patofisiologi efusi pleura yang disebabkan oleh gagal jantung kongestif


adalah terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler pulmonal
akan menurunkan reabsorbsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah bening
juga akan menurun karena terhalang sehingga filtrasi cairan ke rongga pleura dan
paru-paru meningkat.

Efusi pleura yang berulang dengan cepat sering diakibatkan oleh neoplasma,
baik neoplasma primer ataupun sekunder. Terdapat beberapa teori yang
menjelaskan hubungan neoplasma hingga menyebabkan efusi pleura, antara lain:
- Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatkan permeabilitas pleura
terhadap air dan protein
- Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya aliran pembuluh darah
vena dan getah bening sehingga rongga pleura gagal dalam memindahkan
cairan dan protein.
- Adanya massa tumor menyebabkan infeksi lebih mudah terjadi dan
selanjutnya muncul hipoproteinemia.
Efusi pleura yang disebabkan oleh komplikasi TB biasanya muncul karena
adanya robekan dari fokus subpleura atau melalui saluran getah bening. Selain itu
efusi pleura juga dapat muncul karena robeknya perkijuan ke arah saluran getah
bening yang menuju ke rongga pleura. Apabila penyebaran secara hematogen dapat
menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Pada awal penyakit biasanya ditemukan
cairan yang kaya oleh sel polimorfonuklear lalu dominan sel limfosit. Pada cairan
pleura jarang ditemukan adanya kuman tuberkulosis.

DIAGNOSIS
Diagnosis efusi pleura dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisis, serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang terdiri dari gejala dan riwayat
penyakit sebelumnya dapat membantu diagnosis efusi pleura sekaligus evaluasi
terhadap kemungkinan penyebab efusi pleura. Contohnya riwayat menderita

27
pneumonia atau demam dapat mengarah ke kausa infeksi, riwayat penyakit jantung,
ginjal atau hepar dapat mengarah ke efusi transudat. Usia tua, penurunan berat
badan dan perokok dapat mengarah ke kausa keganasan. Gejala klinis yang timbul
sangat bergantung pada jumlah cairan efusi dan kausa dari efusi tersebut. Bahkan
ada yang asimptomatik, gejala yang mungkin didapat antara lain seperti dyspnea,
nyeri dada atau batuk kering. Nyeri dada biasanya bersifat nyeri yang bersifat tajam
dan terlokalisir memburuk pada inspirasi dalam atau batuk dan terkadang pada saat
bergerak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sesak yang ditandai dengan
digunakannya otot-otot bantu pernafasan, pergerakan hemithoraks yang sakit akan
tertinggal dibandingkan sisi yang sehat, palpasi taktil vokal fremitus menurun atau
menghilang, perkusi pada daerah efusi akan redup atau pekak. Pada auskultasi,
bunyi pernafasan akan menurun atau tidak terdengar. Pada efusi pleura masif dapat
ditemui kurangnya usaha untuk bernafas dan tanda-tanda pergesaran
mediastinum.2,4
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis ditemukan adanya
tanda-tanda efusi, maka diagnosa dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang yang sering digunakan antara lain:1
-
Foto thoraks
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan
membentuk bayangan seperti kurva dengan permukaan daerah lateral lebih
tinggi daripada bagian medial. Bila permukaannya horizontal dari lateral ke
medial pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal dari
luar atau dalam paru-paru sendiri. Terkadang sulit membedakan antara
bayangan cairan bebas dalam pleura dengan adhesi karena radang
(pleuritis).
Perlu pemeriksaan foto dada dengan posisi lateral dekubitus, cairan
bebas akan mengikuti posisi gravitasi. Cairan dalam pleura juga dapat tidak
membentuk kurva karena terperangkap atau terlokalisasi. Keadaan ini
sering terdapat pada daerah bawah paru yang berbatasan dengan permukaan
atas diafragma. Cairan ini dinamakan efusi subpulmonik. Cairan dalam
pleura kadang-kadang menumpuk mengelilingi lobus paru (biasanya lobus

28
bawah) dan terlihat dalam foto sebagai bayangan konsolidasi parenkim
lobus, dapat juga mengumpul di daerah paramediastinal dan terlihat dalam
foto sebagai fisura interlobaris, bisa juga terdapat secara parallel dengan sisi
jantung sehingga terlihat sebagai kardiomegali. Cairan seperti empiema
dapat juga terlokalisasi, gambaran seperti bayangan dengan densitas keras
di atas diafragma, keadaan ini sulit dibedakan dengan tumor paru. Hal lain
yang dapat terlihat dari foto dada pada efusi pleura adalah terdorongnya
mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan cairan. Disamping itu,
gambaran foto dada dapat juga menerangkan asal mula terjadinya efusi
pleura yakni bila terdapat jantung yang membesar, adanya massa tumor,
adanya densitas parenkim yang lebih keras pada pneumonia atau abses
paru.1,4
- USG Thorax
USG thoraks dapat mendeteksi cairan pada kavum pleura dengan
jumlah yang sangat kecil, Efusi pleura ditandai dengan adanya ruang bebas
echo diantara pleura visceralis dan pleura parietalis. USG sangat berguna
untuk mendeteksi efusi pleura yang terlokulasi dan dapat digunakan untuk
menentukan lokasi torakosentesis.1
- CT Scan Thorax
CT-scan pada kasus efusi pleura dapat digunakan bila ingin
memastikan lokasi anatomi yang tepat terjadinya efusi pleura yang tidak
dapat diakses dengan menggunakan foto konvensional dan USG, CT-scan
berguna untuk menentukan letak drainase yang tepat untuk suatu empyema,
membedakan empyema dengan abses paru dan dapat mendeteksi adanya
penyakit keganasan.1
- Torakosentesis
Torakosentesis adalah sebuah prosedur diagnostik yang sangat
bermanfaat pada pasien dengan efusi pleura yang etiologinya belum
diketahui. Kontraindikasi dari tindakan dapat dikatakan tidak ada, namun
perlu dipertimbangkan pada keadaan pasien dengan bantuan ventilasi
mekanik, gangguan pembekuan darah, infeksi pada tempat penusukan dan

29
atau dengan efusi yang minimal. Bila perlu USG dapat dilakukan sebagai
penuntun dalam melakukan tindakan torakosentesis pada beberapa keadaan
tersebut. Torakosentesis merupakan prosedur invasif dengan menggunakan
jarum yang dimasukkan ke dalam kavum pleura melalui kulit tepat di ruang
interkosta. Tindakan ini termasuk tindakan steril, terlebih dahulu posisikan
pasien dalam keadaan duduk, tingkat efusi harus diperhitungkan
berdasarkan tempat dimana suara napas mulai lemah atau hilang pada
asukultasi, pekak pada perkusi, dan lemah atau hilangnya vokal fremitus.
Prosedur ini dilakukan untuk mengeluarkan cairan sebagai sarana
diagnostik.7,8

PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan efusi pleura adalah terlebih dahulu meringankan
gejala simptomatik dengan cara mengeluarkan akumulasi cairan dari kavum pleura
dan menangani penyebab dari efusi pleura. Pemilihan terapi biasanya bergantung
pada jenis efusi pleura, jumlah efusi pleura dan penyakit yang mendasari. Pada efusi
pleura yang tidak terlalu banyak cairannya dapat dilakukan penangan terhadap
penyakit yang mendasarimya terlebih dahulu, seperti apabila efusi pleura
disebabkan oleh gagal jantung kongestif maka dapat diberikan terapi terlebih
dahulu terhadap penyakitnya seperti diuretik, digitalis dan lain sebagainya maka
cairan efusi pleura pun akan berkurang sampai dengan menghilang, tetapi pada
efusi pleura yang masif maka perlu ditangani terlebih dahulu efusi pleuranya agar
tidak memperberat kondisi pasien. Prinsip penatalaksanaan pertama adalah
menentukan jenis efusi pleura, transudat atau eksudat. Dibawah ini disajikan tabel
perbedaan antara transudat dan eksudat.3
Tabel 5. Perbedaan cairan efusi pleura
Transudat Eksudat
Penampakan Jernih Keruh
Leukosit <10.000 /mm3 >50.000 /mm3
pH >7,2 <7,2

30
Protein <3 g/dl >3 g/dl
Rasio protein cairan < 0,5 > 0,5
pleura dan serum
LDH < 200 IU/L > 200 IU/L
Rasio LDH cairan pleura < 0,6 > 0,6
dan serum
Glukosa > 60 mg/dl < 60 mg/dl

Adapun kriteria lainnya untuk membedakan cairan pleura eksudat atau


transudat yaitu dengan menggunakan kriteria lights (sensitivitas 98% dan
spesifisitas 74%). Berikut ini disajikan tabel dari kriteria lights:3,4

Tabel 6. Kriteria Lights


Dikatakan eksudat bila memenuhi 1 atau lebih dari kriteria berikut
1. Perbandingan antara protein cairan pleura dan protein serum > 0,5
2. Perbandingan antara LDH cairan pleura dan LDH serum > 0,6
3. Kadar LDH cairan pleura >2/3 dari nilai normal tertinggi dari LDH serum

Berdasarkan kriteria lights maka efusi transudat tergolong efusi tanpa


komplikasi, dapat ditangani dengan penanganan konservatif atau antibiotik saja.
Akan tetapi efusi eksudat atau efusi transudat dalam jumlah yang sangat banyak
harus ditangani dengan jalan drainase. Pilihan terapi dapat berupa pemasangan
chest tube dan water sealed drainage, pleurodesis dan pembedahan.3
Pemasangan chest tube dan water sealed drainage (WSD) dilakukan untuk
terapi efusi pleura dengan cara mengalirkan secara kontinyu produksi cairan dalam
kavum pleura. Prosedur sebaiknya dilakukan dengan posisi pasien berbaring dan
tergantung dari gejala klinik. Titik pemasangan chest tube pada anterior linea
aksilaris media pada ICS V. Setelah melakukan proses asepsis, antisepsis dan
drapping, maka dilakukan infiltrasi lidokain 2% secukupnya pada tempat
pemasangan. Insisi kulit dilakukan di ICS V kira-kira sepanjang ¾ inci hingga 1,5
inci, kemudian secara perlahan lakukan diseksi secara tumpul untuk menembus

31
jaringan yang lebih dalam hingga menembus pleura parietalis. Masukkan chest tube
sesuai ukuran dengan klem penuntun, setelah selesai maka drain yang terpasang
harus disambungkan dengan sistem drainase yang tepat. Biasanya digunakan botol
yang telah berisi air dengan ketinggian 2 cm untuk sistem drainase. Dilakukan
fiksasi jahitan pada luka bekas insisi dengan jahit matras horizontal dan simpul
hidup menggunakan benang silk ukuran 1,0. Luka kemudian ditutup dengan kasa
steril, lalu dilakukan follow up terhadap undulasi, bubble, warna cairan, produksi
cairan dan klinis pasien.9,10
Pleurodesis adalah sebuah tindakan yang bertujuan untuk melekatkan pleura
parietalis dan pleura visceralis untuk mencegah akumulasi udara atau cairan dalam
kavum pleura. Indikasi utama pleurodesis adalah efusi pleura maligna dan
pneumothoraks. Efusi pleura maligna sejauh ini merupakan indikasi paling umum
untuk dilakukan pleurodesis. Hal ini dikarenakan kurangnya terapi anti tumor yang
efektif pada stadium lanjut dan juga sebagai terapi paliatif untuk meringankan
gejala akibat efusi pleura. Sebelum melakukan pleurodesis pada pasien dengan
efusi pleura maligna, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu : apakah
keluhan (sesak napas) berhubungan langsung dengan efusi pleura, apakah efusi
pleura berulang, apakah paru dapat mengembang dengan baik, dan bagaimana
harapan hidup pasien. Untuk mencapai hasil yang baik, maka pleurodesis harus
memperhatikan dual hal yaitu aspek mekanik dan aspek biologis. Pengeluaran
secara sempurna dari udara dan cairan dari kavum pleura diperlukan untuk
membuat jarak antara pleura parietalis dan visceralis semakin dekat. Tujuan
tersebut dicapai dengan aplikasi suction pada drainase yang sesuai. Untuk
mencegah sumbatan akibat bekuan darah, maka biasanya digunakan chest tube
yang berukuran besar. Hal yang penting lainnya adalah suction kembali digunakan
secara progresif dan hati-hati setelah pemberian agen sklerosis untuk mencegah
edema paru. Dari aspek biologis, untuk mencapai perlekatan maka permukaan
pleura perlu teriritasi., dapat secara mekanik dengan abrasi pleura atau dengan
menggunakan agen sklerosis seperti tetrasiklin, doksisiklin, bleomisin,
corynebacterium parvum, kuinakrin, dan talc.11

32
Setelah dilakukan penanangan terhadap efusi pleura yang masif maka
penyebab dari efusi pleura tersebut harus ditangani lebih lanjut untuk menghindari
terjadinya efusi pleura berulang dan memperberat kondisi pasien.\

PROGNOSIS
Prognosis efusi pleura bervariasi tergantung pada penyakit yang
mendasari.Morbiditas dan mortalitas pada pasien efusi pleura berhubungan
langsung dengan etiologi, stadium penyakit, dan hasil pemeriksaan biokimia cairan
pleura.Pasien dengan efusi pleura maligna biasanya memiliki prognosis yang buruk

3.2 Congestive Heart Failure (CHF)


DEFINISI
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri
yang penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap
kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi
pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik
pada fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal
jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan
mencegah perkembangan penyakit menjadi gagal jantung. Beberapa istilah dalam
gagal jantung :
1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari
pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan
dengan echocardiography. Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan
kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan
menyebabkan kelemahan, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala
hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung

33
dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi
diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif.
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi,
kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada
penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia,
kehamilan, fistula A – V, beri-beri, dan Penyakit Paget. Secara praktis,
kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal
jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan
seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru
kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema
perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan
biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel, maka retensi
cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak
lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang
menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa
disertai edema perifer. Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati
dilatasi atau kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan.
Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara
dengan baik.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure, hampir
selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward
failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa darah dalam
jumlah normal, hal ini menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel
pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir di dalam jantung

34
dan akhirnya peningkatan tekanan vena. Gagal jantung kongestif mungkin
mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh rongga jantung.

EPIDEMIOLOGI

Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia
yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di
Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per tahunnya.
Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal jantung, di
RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar 400-500 pasien berobat jalan dan
sekitar 65% adalah pasien gagal jantung. Meskipun terapi gagal jantung mengalami
perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar
30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan
gejala gagal jantung yang ringan.

ETIOLOGI

Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta


dan defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana
terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat
menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat
memicu perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak
dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru.

Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit


katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium primer.
Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang
menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal
jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien
dengan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada
pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau trikuspid.

KLASIFIKASI

35
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The New York
Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4 kelas, berdasarkan
hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha yang dibutuhkan untuk
menimbulkan gejala, sebagai berikut:

1. Kelas I : Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas


fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan sesak napas.
2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.
3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan dari
kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.
4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan
kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat
beristirahat.
American College of Cardiology/American Heart Association
(ACC/AHA) heart failure guidelines melengkapi klasifikasi NYHA untuk
menggambarkan perkembangan penyakit dan dibagi menjadi 4 stage, yaitu:
1. Stage A pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak memiliki
penyakit jantung struktural atau gejala-gejala dari gagal jantung
2. Stage B pasien memiliki penyakit jantung struktural tetapi tidak memiliki
gejala-gejala dari gagal jantung
3. Stage C pasien memiliki penyakit jantung struktural dan memiliki gejala-
gejala dari gagal jantung
4. Stage D pasien memiliki gagal jantung berat yang menuntut intervensi
khusus.

PATOFISIOLOGI

Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan pada


jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan

36
pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini
menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin–
Angiotensin–Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretik
peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas
jantung dapat terjaga.

Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac


output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan
nekrosis miokard fokal.12

Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,


angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor
renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan
noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang
pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta
meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta
berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.13

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide
(BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan
ANP. C-type natriureticpeptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan
saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan
kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus
vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena
peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang

37
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah
digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.14

Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada


gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian
diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel
endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten
menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung
jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin
meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan
tekanan pulmonary arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian.
Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang
bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat
endotelin.14

Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan


kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri
menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering
adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan
kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit
jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita
gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita
gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul
bersamaan meski dapat timbul sendiri.14

38
Gambar 3. Patofisiologi dan Simptomatologi CHF

PENEGAKAN DIAGNOSIS

Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax,
EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker.

Kriteria Diagnosis yang dipakai adalah Kriteria Framingham untuk diagnosis


gagal jantung kongestif

a. Kriteria mayor :

39
1) Paroksismal nokturnal dispneu
2) Ronki paru
3) Edema akut paru
4) Kardiomegali
5) Gallop S3
6) Distensi vena leher
7) Refluks hepatojugular
8) Peningkatan tekanan vena jugularis
b. Kriteria minor :
1) Edema ekstremitas
2) Batuk malam hari
3) Hepatomegali
4) Dispnea d’effort
5) Efusi pleura
6) Takikardi (120x/menit)
7) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau satu
kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan.

1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :


Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen
(BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan
pemeriksaan gula darah, profil lipid.
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari
EKG adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel
hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave).

40
EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi
diastolik pada LV.
3. Radiologi
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran
jantung dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan
kadang-kadang efusi pleura. begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan
dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien.
4. Penilaian fungsi LV
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis,
mengevaluasi, dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling
berguna adalah echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat memberikan
penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV begitu pula
dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau
pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya).
Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan
adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan
oleh pencitraan, berguna untuk menilai gagal jantung dengan EF yang
normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai untuk menilai
ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting
dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga
memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi jantung dan
sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan volume LV.
Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke
volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur
dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan
ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa
keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi
oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF
meningkat pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam
atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan

41
pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya adekuat,
dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%).

PENATALAKSANAAN

Berdasarkan guideline ACC/AHA 2005 yang direvisi tahun 2009 memberikan


rekomendasi penatalaksanaan yang berbeda pada setiap stadium dari gagal jantung
yaitu15:

Stage A

Tujuan utama penatalaksanaan pada stadium ini adalah untuk mencegah


kelainan struktural dari jantung. Hal ini dapat dilakukan dengan mengontrol
faktor resiko seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus,
hiperlipidemia,merokok, konsumsi alkohol, dan penggunaan obat-obatan
kardiotoksik, yang akan menurunkan insidensi kejadian kardiovaskular. Evaluasi
periodik terhadap gejala dan tanda dari gagal jantung dapat dilakukan pada pasien
ini. Ventricular rate hausfi kontrol atau restorasi ke irama sinus pada pasien dengan
takiaritmia supraventrikular yang mempunyai resiko untuk menjadi gagal jantung.
Kelainan tiroid juga harus diatasi sesuai guideline yang berlaku pada psien resiko
tinggi. Penyedia kesehatan harus melakukan evaluasi nonivasif terhadap fungsi
ventrikel kiri (mis, LVEF) pada pasien dengan riwayat keluarga dengan
kardiomiopati ataupun pasien yang menerima intervensi kardiotoksik
(Rekomendasi kelas I).

ACE inhibitor dapat digunakan untuk mencegah gagal jantung pada pasien
dengan resiko tinggi menjadi gagal jantung yaitu pasien dengan riwayat penyakit
aterosklerosis, DM, dan hipertensi. Angiotensin receptor II juga dapat digunakan
sebagai pengganti ACE inhibitor (Rekomendasi Kelas II). Penggunaan suplemen
nutrisi rutin terhadap pencegahan kerusakan struktural jantung tidak
direkomendasikan (Rekomendasi Kelas III)

42
Stage B

Pada pasien stadium ini insidensi dari gagal jantung dapat diturunkan dengan
mengurangi resiko terjadinya cedera tambahan serta menghambat evolusi
dan progresi dari remodeling ventrikel kiri. Semua rekomendasi kelas I pada
stadium A harus diaplikasikan pada semua pasien dengan stadium B. Penyekat
reseptor beta dan ACE inhibitor harus digunakan pada semua pasien dengan riwayat
penyakit sekarang atau terdahulu dari infark miokard. Beta blocker juga
diindikasikan pada pasien tanpa riwayat infark miokard. ACE inhibitor harus
digunakan pada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi dan tidak ada gejala gagal
jantng, meskipun telah mengalami infark miokardium. Angiotensin II receptor
blocker juga harus diberikan pada pasien post-MI tanpa gagal jantung yang tidak
toleransi terhadap ACE inhibitor. Revaskularisasi koroner harus direkomendasikan
pada pasien yang tepat yang belum mengalami gejala gagal jantung. Terapi
pengganti atau perbaikan katup jantung harus direkomendasikan pada pasien
stenosis dan regurgitasi katup tanpa gejala gagal jantung (Rekomendasi Kelas I).

ACE inhibitor ataupun ARB dapat diberikan pada pasien hipertensi dan
hipertorfi ventrikel kiri. ARB dapt diberikan pada pasien dengan fraksi ejeksi yang
rendah dan tanpa gejala dari gagal jantung yang tidak toleransi terhadap ACE
inhibitor. Penempatan ICD dapat dilakukan pada pasien dengan kardiomiopati
iskemik yang minimal lewat 40 hari post-MI, mempunyai fraksi ejeksi ventrikel
kiri< 30%, NYHA fungsional kelas I yang telah mendapat terapi medis kronis
(Rekomendasi Kelas II). Digoksin tidak boleh digunakan pada pasien dengan EF
(ejection fraction) rendah, irama sinus, dan riwayat gejala gagal jantung. Pemakaian
suplemen nutrisi tidak direkomendasikan. Ca channel blocker dengan efek inotrofik
negatif dapat berbahaya pada pasien asimptomatik dengan LVEF rendah dan tidak
ada gejala dari gagal jantung (Rekomendasi Kelas III).

Stage C

Semua rekomendasi kelas I pada pasien stage A dan B dapat dilakukan


pada pasien stage ZC. Pemberian diuretik dan restriksi garam diindikasikan pada

43
pasien dengan gejala sekarang atau terdahulu dari gagal jantung dan penurunan
LVEF yang mengalami retensi cairan. ACE inhibitor direkomendasikan pada
semua pasien dengan gejala gagal jantung dan penurunan EF, kecuali ada
kontraindikasi. Penggunaan 1 dari 3 beta blocker yaitu bisoprolol, carvediol, dan
metoprolol terbukti mengurangi mortalitas dan direkomendasikan pada pasien ini
kecuali kontraindikasi. ARB dapat digunakan pada pasien yang tidak toleransi
terhadap ACE inhibitor. Obat-obatan yang dapat memperburuk gagal jantung harus
dihentikan dan dicegah penggunaannya jika mungkin sperti NSAID, obat
antiaritmia, dan Ca Channel blocker. Pemasangan implantable cardioverter-
defibrillator direkomendasikan sebagai pencegahan sekunder untuk
memperpanjang survival pada pasien dengan riwayat henti jantung, fibrilasi
ventrikular, atau takikardia ventrikular yang tidak stabil hemodinamiknya. Alat ini
juga sebagai pencegahan primer terhadap sudden cardiac death pada pasien
kardiomiopati dilatasi iskemik atau penyakit jantung iskemik dengan masa post-MI
lebih dari 40 hari, dan LVEF ≤ 35% dengan NYHA fungsional kelas II atau III.
Pasien dengan LVEF ≤35%, irama sinus, dan NYHA fungsional kelas III dan IV
dengan durasi QRS ≥0,12 detik, harus dilakukan terapi resinkronisasi jantung,
dengan atau tanpa ICD. Pemberian antagonis aldosterone direkomendasikan pada
pasien dengan gejala sedang sampai berat dan penurunan LVEF dimana kadar
kreatinin harus ≤2,5 mg/dL pada pria atau ≤2,0 mg/dL pada wanita dan kadar
kalium harus ≤5,0 mEq/L . Kombinasi hidralazine dan nitrat direkomendasikan
pada pasien afro-amerika dengan gejala sedang dan berat meskipun terapi yang
optimal. Pada pasien gagal jantung dengan hipertensi sistolik dan diastolik dengan
LVEF yang normal, tekanan darah harus dikontrol sesuai dengan guideline yang
berlaku. Kontrol rate ventrikular juga dilakukan pada pasien dengan LVEF normal
dan fibrilasi atrium. Edema pulmonal dan juga perifer juga harus dikontrol dengan
penggunaan diuretik pada pasien dengan LVEF normal (Rekomendasi Kelas I).

Pada pasien dengan fibrilasi atrium dan gagal jantung dapat diatasi dengan
kontrol rate ventrikular. ARB dapat digunakan sebagai lini pertama terutama
pada pasien dengan indikasi lain penggunaan ARB. Digitalis dapat diberikan pada
pasien dengan penurunan LVEF untuk mengurangi masa rawatan. Penambahan

44
kombinasi hidralazin dan nitrat pada pasien dengan penurunan LVEF pada pasien
dengan gejala yang persisten dapat dilakukan. Penggunaan terapi resinkronisasi
jantung dapat digunakan pada pasien dengan indikasi yang tepat. Kombinasi
hidralazin dan nitrat dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi terhadap ACE
inhibitor dan ARB, hipotensi ataupun insufisiensi ginjal. Revaskularisasi koroner
dapat dilakukan pada pasien tertentu yaitu pasien CAD yang simptomatik atau
iskemik miokardium. Restorasi dan maintenance terhadap irama sinus pada pasien
dengan fibrilasi atrial berguna untuk memperbaiki gejala pada gagal jantung dan
LVEF normal. Penggunaan beta blocker, ACE inhibitor, atau Ca antagonis efektif
pada pasein gagal jantung dengan LVEF normal. Penggunaan digitalis untuk
meminimalisir gejala pada pasien gagal jantung dengan LVEF normal belum
diketahui manfaatnya.(Rekomendasi Kelas II).

Penggunaan kombinasi rutin ACE inhibitor, ARB, dan aldosterone antagonist


tidak direkomendasikan. Pemberian Ca chanel blocker tidak diindikasikan secara
rutin pada pasien stadium C. Infus jangka panjang dari obat inotropik positif
dapat berbahaya dan tidak direkomendasikan. Penggunaan suplemen nutrisi dan
terapi hormon tidak direkomendasikan (Rekomendasi Kelas III).

Stage D

Pada pasien dengan stadium ini identifikasi dan kontrol yang cermat terhadap
retensi cairan direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung refraktoris tahap
akhir. Transplantasi jantung terhadap pasien yang sesuai dapat
direkomendasikan pada pasien ini, selain itu penanganan khusus juga dilakukan
pada pasien ini oleh ahli-ahli yang khusus. Diskusi perawatan end-of-life harus
dilakukan bersama dengan pasien dan keluarga. Pasien dengan implantable
defibrillators harus diinformasikan untuk pilihan menginaktivasi alat tersebut
(Rekomendasi Kelas I).

Pilihan untuk menggunakan LV assist device sebagai terapi akhir pada pasien
dengan gagal jantung tahap akhir refraktoris dan mortalitas 1-tahun >50% dengan
terapi medis. Pemasangan kateter arteri pulmonal dapat juga dilakukan pada gejala

45
yang sangat berat. Penggantian katup mitral belum terbukti pada pasien gagal
jantung refraktoris dengan regurgitasi mitral berat sekunder. Infus
intravena berkesinambungan dari agen inotropik untuk mengatasi gejala dapat
dilakukan (Rekomendasi Kelas II).

Ventrikulektomi kiri parsial tidak direkomendasi pada pasien dengan


kardiomiopati non-iskemik dan gagal jantung tahap akhir. Infus intermiten dari
agen vassoaktif dan inotropik positif tidak direkomendasikan pada pasien dengan
gagal jantung tahap akhir refraktoris (Rekomendasi Kelas III).

Rekomendasi ini dapat diringkas seperti pada gambar dibawah ini:

Gambar 4. Alur Guideline ACC/AHA Tahun 200915

Adapun penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan gagal jantung


meliputi:

1. Non farmakologi : Penyuluhan umum.

46
a. Penyuluhan tentang gagal jantung kepada pasien dan keluarganya.
b. Mengontrol berat badan]
c. Pengaturan diet dan kebiasaan sehari-hari
i. Diet rendah garam (<2 gr/hari)
ii. Pembatasan intake cairan (1,5-2L/hr)
iii. Hindari konsumsi alcohol
iv. Berhenti merokok
d. Pembatasan dan penyesuaian aktivitas fisik
e. Obat-obatan yang perlu mendapat perhatian khusus

2. Farmakologi
a. Diuretik
Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit
diuretik regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis
normal dan menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop
diuretik atau tiazid. Bila respons tidak cukup baik dosis diuretik dapat
dinaikkan, berikan diuretik intravena atau kombinasi loop diuretik
dantiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50
mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung
sedang sampai berat (kelas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung
sistolik. 16
b. ACE Inhibitor
ACE inhibitor bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonaldan pada
gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.

c. Beta Blocker
Beta Blocker bermanfaat sama seperti ACE inhibitor. Pemberian mulai
dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol
ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil.
Pada gagal jantung kelas fungsional II danIII.

d. Angiotensin II antagonis reseptor

47
Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada kontraindikasi
penggunaan ACE inhibitor dan diuretik.

e. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat


Memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan penghambat
ACE dapat dipertimbangkan.

f. Digoksin
Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung
disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial,
digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.

g. Antikoagulan dan antiplatelet.


Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral pada penderita
dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk.

h. Antiaritmia
Aritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik
atauaritmia ventrikel yang tidak menetap.

i. Antagonis kalsium dihindari.16

PROGNOSIS

Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui. Sedangkan
prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu:

1. Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%


2. Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
3. Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
4. Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%

48
3.3 TUBERKULOSIS PARU

DEFINISI
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis).17

ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI


Tuberkulosis di Indonesia merupakan salah satu masalah utama kesehatan
masyarakat, dimana jumlah penderita TB di Indonesia merupakan urutan ke-3
terbanyak di dunia setelah India dan China.Indonesia menyumbang sekitar 10%
dari seluruh kejadian TB di dunia. Pada tahun 2004, diperkirakan terdapat 539.000
kasus baru dengan angka kematian 101.000 orang.17
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyakit
system pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit system
sirkulasi, dan TB merupakan penyebab kematian pertama pada golongan penyakit
infeksi.18
Sekitar sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi kuman TB.
Selain itu, diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kasus kematian akibat TB terjadi
di negara berkembang.
Saat ini, tingginya angka kejadian HIV/AIDS di dunia meningkatkan angka
kejadian TB secara signifikan. Di samping itu, masalah resistensi kuman terhadap
obat (multidrug resistance / MDR) menjadi masalah berat dalam menanggulangi
dan menurunkan angka kejadian TB di dunia.17

KLASIFIKASI
a) Pembagian secara patologis :

 Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis)


 Tuberkulosis post primer (adult tuberculosis)
b) Pembagian secara aktivitas radiologis. Tuberkulosis paru aktif, non aktif, dan
quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh).19

49
c) Pembagian secara radiologis (luas lesi)

 Tuberculosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrate non kavitas pada


satu paru maupun kedua paru tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus
paru.
 Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih
dari 4 cm. jumlah infiltrate bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru.
Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.
 Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrate dan kavitas yang melebihi
keadaan pada moderately advanced tuberculosis.

Pada tahun 1974, American Thoracic Society memberikan klasifikasi :

 Kategori 0 : tidak pernah terpajan, tidak terinfeksi, riwayat kontak negative,


tes tuberculin negative.
 Kategori I : terpajan tuberculosis tetapi tidak terbukti ada infeksi. Riwayat
kontak positif, tes tuberculin negative.
 Kategori II : terinfeksi tuberculosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin positif,
radiologis dan sputum negative.
 Kategori III : terinfeksi tuberculosis dan sakit.

Klasifikasi yang banyak digunakan di Indonesia adalah :

 Tuberculosis paru
 Bekas tuberculosis paru
 Tuberculosis paru tersangka, yang terbagi dalam : a) TB paru tersangka
yang diobati. Sputum BTA negative tetapi tanda lain postif. B) TB paru
tersangka yang tidak diobati. Sputum BTA negative dan tanda lain
meragukan.

Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan termasuk TB paru aktif
atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan : 1) status bakteriologi,

50
2) Mikroskopis sputum BTA (langsung), 3) biakan sputum BTA, 4) status
radiologis, 5) status kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti
tuberculosis.19

WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni :6


Kategori I :

 Kasus baru dengan sputum positif


 Kasus baru dengan bentuk TB berat
Kategori II :

 Kasus kambuh
 Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Kategori III :

 Kasus BTA negative dengan kelainan paru yang tidak luas


 Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I
Kategori IV : TB kronik.

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:


1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan
lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi.
Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka
diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif. 20

51
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB
Paru:

1) Tuberkulosis paru BTA positif.


a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA negatif


Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik
TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.


- TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto
toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far
advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
- TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:
a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan
alat kelamin. 20

52
Catatan:

• Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.

• Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat
sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa


tipe pasien, yaitu:

1) Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2) Kasus kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan


tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3) Kasus setelah putus berobat (Default )


Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
6) Kasus lain:

53
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.

TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,
default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan
secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis
spesialistik.

PATOGENESIS
Kuman M.tuberculosis dapat masuk melalui saluran pernapasan, saluran
pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Infeksi TB sering terjadi melalui udara,
yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang
berasal dari orang yang terinfeksi. TB adalah penyakit yang dikendalikan oleh
respon imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit (biasanya
sel T) adalah sel imunoresponsif. Tipe imunitas ini biasanya lokal melibatkan
makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respon
ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas selular (lambat).21
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi
sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil, gumpalan basil yang lebih
besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak
menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, biasanya dibagian
bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini
membangkitkan reaksi inflamasi. Leukosit polimorfonuklear terdapat pada tempat
tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut.
Sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang
akan mengalami konsolidasi dan timbul pneumonia akut. Pneumonia seluler ini
akan sembuh dengan sendirinya sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses
dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel.21
Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening
regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian

54
bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit.
Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10-20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi
memberikan gambaran yang relative padat dan seperti keju yang disebut nekrosis
kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi
disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon yang
berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut
kolagenosa yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi
tuberkel.21
Lesi primer paru disebut fokus Ghon dan kumpulan dari kelenjar getah
bening regional yang terserang dan lesi primer disebut kompleks Ghon. Kompleks
Ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat pada orang sehat yang menjalani
pemeriksaan radiogram rutin. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis
adalah pencairan yaitu bahan cair lepas ke dalam bronkus yang berhubungan dan
menimbulkan kavitas. Bahan tubercular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan
masuk ke dalam percabangan trakeobronkial. Walaupun tanpa pengobatan, kavitas
yang kecil dapat menutup dan meninggalkan jaringan parut fibrosis. Bila
peradangan mereda, lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan
parut. Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.
Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam
jumlah yang kecil yang terkadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain.
Jenis penyebaran ini disebut sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya
sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang
biasanya menyebabkan TB milier, ini terjadi jika fokus nekrotik merusak pembuluh
darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vaskular dan tersebar ke
organ-organ tubuh.21

PATOFISIOLOGI
Tuberkulosis Primer
Penularan TB Paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap
dalam udara bebas selama 1-2 jam tergantung pada ada atau tidaknya sinar

55
ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana yang lembab dan
gelap, kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel
infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau
jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer.
Kuman akan direspon pertama kali oleh neutrofil, kemudian oleh makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.19
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh yang lain. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan
disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini
terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka dapat
terjadi efusi pleura. Kuman dapat pula masuk melalui saluran pencernaan, jaringan
limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk
ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila
masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi
TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis local) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis local dengan limfadenitis
regional disebut kompleks primer (Ranke). Semua proses ini membutuhkan waktu
3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya akan menjadi :19

 Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang paling sering
terjadi.
 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis fibrotic,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya
>5 mm dan sekitar 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena
kuman yang dorman.
 Berkomplikasi dan menyebar secara : a) perkontinuitatum, yakni menyebar
ke sekitarnya, b) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun

56
paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus, c) secara limfogen, ke organ tubuh lain, d)
secara hematogen, ke organ lain.

Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)


Kuman yang dorman pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa (Tuberkulosis
sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi
karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes,
AIDS, gagal ginjal. Tuberculosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang
berlokasi di regio atas paru (bagian apical-posterior lobus superior atau inferior).
Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hilus paru. Sarang
dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu
sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit
dan sel Datia Langhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan jaringan ikat. TB
sekunder juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia
tua. Tergantung dari jumlah kuman, virulensi, dan imunitas pasien, sarang dini ini
menjadi :19

 Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat


 Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan sebukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis, menjadi lunak membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju
dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding
tipis, lama-lama semakin menebal karena infiltrasi jaringan fibrosis dalam
jumlah besar sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya
perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat
oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag dan proses yang berlebihan

57
sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan lain adalah cryptic disseminate
TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut.
Kavitas dapat : a) meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru.
Bila isi kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri maka akan terjadi TB
milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan
selanjutnya ke usus menjadi TB usus. Sarang ini selanjutnya mengikuti
perjalanan seperti sudah dijelaskan. Bisa juga terjadi TB endobronkial dan TB
endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura, b) memadat atau membungkus
diri sehingga menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur atau
menyembuh atau dapat kembali aktif menjadi cair dan jadi kavitas lagi.19
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang : 1) sarang yang sudah
sembuh. Sarang tipe ini tidak butuh pengobatan lagi. 2) sarang aktif eksudatif.
Sarang bentuk ini butuh pengobatan yang lengkap dan sempurna, 3) sarang
yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini akan sembuh spontan,
tetapi sebaiknya diberikan pengobatan sempurna.19

MANIFESTASI KLINIS
Penderita TB akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk
berdahak kronis, demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak
napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan
produktivitas penderita bahkan kematian. Adapun gejala utama penderita TB yaitu
batuk terus-menerus dan berdahak selama dua sampai tiga minggu atau lebih.
Selain itu, gejala yang sering dijumpai yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa
kegiatan, dan demam meriang lebih dari satu bulan.19,20

DIAGNOSIS
Infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis bisa menimbulkan efek lokal di
bagian tubuh mana pun atau efek sistemik infeksi kronis. Anamnesis. Dalam
melakukan anamnesis pada pasien TB, diperlukan indeks kecurigaan yang tinggi

58
terutama pada pasien dengan imunosupresi atau dari daerah endernisnya. Orang
yang terkena TB dpat mengalami banyak gejala, baik gejala local maupun sistemik.
Berikut adalah gejala – gejala yang sering didapatkan dari anamnesis pada penderita
TB. Gejala lokal: Batuk, sesak napas, hemoptisis, limfadenopati, ruam (rnisalnya
lupus vulgaris), kelainan rontgen toraks, gangguan GI. Efek sistemik: Demam,
keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan.

Riwayat penyakit dahulu. Pada pasien yang kita curigai menderita TB,
pertanyaan– pertanyaan berikut harus disertakan pada anamnesis riwayat penyakit
dulu.
 Pernahkah pasien berkontak dengan pasien TB?
 Apakah pasien mengalarni imunosupresi (kortikosteroid/HIV)?
 Apakah pasien pernah menjalani pemeriksaan rontgen toraks dengan hasil
abnormal?
 Adakah riwayat vaksinasi BeG atau tes Mantoux? Adakah riwayat diagnosis
TB?
Obat-obatan
Pertanyaan mengenai obat- obatan juga perlu ditanyakan.
 Pemahkah pasien menjalani terapi TB?
 Jika ya, obat apa yang digunakan, berapa lama terapinya
 Bagaimana kepatuhan pasien mengikuti terapi, dan apakah dilakukan
pengawasan terapi?

Riwayat keluarga dan sosial


 Adakah riwayat TB di keluarga atau lingkungan sosial?
 Tanyakan konsumsi alkohol, penggunaan obat intravena?
 Riwayat bepergian ke luar negeri.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien sering ditemukan
konjunktiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam
(Subfebris), badan kurus atau berat badan menurun.

59
Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimtomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit
menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena hantaran getaran/suara
yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai seeara palpasi, perkusi dan
auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan
dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
(puncak) paru. Bila dieurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan
perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga
suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila
infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikular
melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara
hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi
menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat
menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari
setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran
darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis
(hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung
kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal
jantung kanan seperti takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right
atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena
jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites, dan edema.
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang
sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara
pekak. Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak
terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik
dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologi ada
pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.

60
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan
biaya lebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia
memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan
tuberkulosis milier. Pada kedua hal di atas diagnosis dapat diperoleh melalui
pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu
negatif.
Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal
lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus
bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai rumor paru (misalnya
pada tuberkulosis endobronkial).
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-
batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan
terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai
tuberkuloma.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis,
Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis
terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak
sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat
seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian
atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru sdalah
penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru efusi
pleura/empiema), bayangan hitam radio-Iusen di pinggir paru pleura
pneumotoraks).
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan

61
sekaligus (pada tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis- garis
fibrotik, kalsifikasi, kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan
emfisema.
Tuberkulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama
gambaran radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest imitator.
Gambaran infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia,
mikosis paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis. Gambaran
kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Di samping itu perlu diingat juga
faktor kesalahan dalam membaca foto. Faktor kesalahan ini dapat mencapai
25%. Oleh sebab itu untuk diagnostik radiologi sering dilakukan juga foto
lateral, top lordotik, oblik, tomografi dan foto dengan proyeksi densitas keras.
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya
aktivitas penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit
yang sudah non-aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berupa
fibrotik, kalsifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada orang-orang yang
sudah tua.
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah
bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang
disebabkan oleh tuberkulosis, Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila
pasien akan menjalani pembedahan paru.
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak
dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT
Scan). Pemeriksaan ini lebih superior dibanding radiologis biasa. Perbedaan
densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance
Imaging (MRI), Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat
mengevaluasi proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan
dada-perut, Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan koronal.

Pemeriksaan laboratorium

62
Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang
meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis
baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan
hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah lirnfosit masih di bawah normal. Laju endap
darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali
normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah
normal lagi.
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga: 1). Anemia ringan dengan
gambaran normokrom dan normositer; 2). Gama globulin meningkat; 3). Kadar
natrium darah menurun, Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik,
Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahashi.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau
tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Pemeriksaan ini
juga kurang mendapat perhatian karena angka-angka positif palsu dan negatif
palsunya masih besar.
Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga dipakai
yakni Peroksidase Anti Peroksida (pAP-TB) yang oleh beberapa peneliti
mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitasnya cukup tinggi (85-95%), tetapi
beberapa peneliti lain meragukannya karena mendapatkan angka-angka yang lebih
rendah. Sungguhpun begitu PAPTB ini masih dapat dipakai, tetapi kurang
bermanfaat bila digunakan sebagai sarana tunggal untuk diagnosis TB, Prinsip
dasar uji PAP-TB ini adalah menentukan adanya antibodi IgG yang spesifik
terhadap antigen M.tuberculosis. Sebagai antigen dipakai polimer sitoplasma M.
tuberculin var bovis BCG yang dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkan
secara ultrasentrifus. Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada titer 1:
10.000 didapatkan hasil uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu kadangkadang
masih didapatkan pada pasien reumatik, kehamilan dan masa 3 bulan revaksinasi
BCG.
Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama cara dan nilainya dengan uji
PAP-TB adalah uji Mycodol. Di sini dipakai antigen LAM (Lipoarabinomannan)

63
yang dilekatkan pada suatu alat berbentuk sisir plastik. Sisir ini dicelupkan ke dalam
serum pasien. Antibodi spesifik anti LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai
perubahan warna pada sisir yang intensitasnya sesuai dengan jumlah antibodi.

Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah
diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di
lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat
sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam
hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum
air sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan
mernberikan tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi
larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat
diperoleh dengan cara bronkos-kopi diambil dengan brushing atau bronchial
washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat
dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena
mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya
sesegar rnungkin. .
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan.
Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka
ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar.
Diperkirakan di Indonesia terdapat 50% pasien BTA positif tetapi kurnan tersebut
tidak ditemukan dalam sputum mereka,
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3
batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman
dalam I mL sputum.
Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiarn Hok yang
merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet. Cara
perncriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :

64
 Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa.
 Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan
khusus)
 Pemeriksaan dengan biakan (kultur).
 Pemeriksaan terhadap resistensi obat.
Pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens dengan sinar ultra violet walaupun
sensitivitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena pewarnaan yang dipakai
(aurarnin-rho-damin) dicurigai bersifat karsinogenik.
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 mmggu penanaman sputum
dalam medium biakan, koloni kuman tuberkuiosis mulai tampak. Bila setelah 8
minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan negatif. Medium
biakan yang sering dipakai yaitu Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa.
Saat ini sudah dikembangkan pemeriksa-an biakan sputum BTAdengan cara
Bactec (Bactec 400 Radiometric System), di mana kurnan sudah dapat dideteksi
dalam 7-10 hari. Di samping itu dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)
dapat dideteksi 0 A kuman TB dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi
Mituberculosae yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Dari hasil biakan biasanya
dilaku kan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan idenrifikasi kuman.
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman
BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. lni terjadi pad a fenomen dead
bacilli atau non culturable bacilli yang disebabkan kcampuhan panduan obat
antituberkulosis jangka pendek yang cepat mcmatikan kuman BTA dalam waktu
pendek. Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan,
bahan-bahan selain sputum dapatjuga diambil dari bilasan bronkus, jaringan paru,
pleura, cairan pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, eairan serebrospinal, urin,
dan tinja.

65
TATALAKSANA

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3


bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan.19,22

A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)

Obat yang dipakai:

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

 INH
 Rifampisin
 Pirazinamid
 Streptomisin
 Etambutol

2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

 Kanamisin
 Amikasin
 Kuinolon
 Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam
klavulanat

Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :

 Kapreomisin
 Sikloserino
 PAS (dulu tersedia)
 Derivat rifampisin dan INH
 Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

66
Kemasan :

- Obat tunggal : Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin,


pirazinamid dan etambutol.

- Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)

Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.

Tabel 7. Jenis dan Dosis OAT

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang


penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug
resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi
TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat
tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun
1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti
terlihat pada tabel 3.

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal

2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan


pengobatan yang tidak disengaja

3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar


dan standar

67
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit

5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan


penggunaan monoterapi

Tabel 8. Dosis Obat Antituberkulosis kombinasi dosis tetap

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang


dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih
termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat
kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk
ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.

B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

a) TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 2 RHZE/ 6HE atau 2
RHZE / 4R3H3 Paduan ini dianjurkan untuk:
- TB paru BTA (+), kasus baru
- TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk
luluh paru)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan
hasil uji resistensi

68
b) TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau : 6 RHE atau 2 RHZE/
4R3H3
c) TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase
lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji
resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
d) TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh
paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan
15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak
memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase
lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji
resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan. Dapat pula
dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru.

e) TB Paru kasus putus berobat


Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut :
 Berobat > 4 bulan
i. BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka
pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif,
lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB
dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit
paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama.

ii. BTA saat ini positif

69
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
 Berobat < 4 bulan
i. Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama.
ii. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif
pengobatan diteruskan. Jika memungkinkan seharusnya
diperiksa uji resistensi terhadap OAT.

f) TB Paru kasus kronik


Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil
uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif)
ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll.
Pengobatan minimal 18 bulan. Jika tidak mampu dapat diberikan INH
seumur hidup. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan
kemungkinan penyembuhan. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter
spesialis paru.

70
Tabel 9. Ringkasan panduan obat

C. EFEK SAMPING OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek


samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka

pemberian OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek


samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.

71
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan.

2. Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatis ialah :

a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-
kadang diare

c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan.

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :

a. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu
dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus.

b. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari
gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi
walaupun gejalanya telah menghilang.

c. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan
tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti
dan tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai


pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)
dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini

72
kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya


ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi
bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kgBB yang diberikan 3 kali
seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena
risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.

5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan


dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.
Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing
dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka
kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan
dan tuli).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba


disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan
ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka
dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus sawar plasenta
sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin.

73
Tabel 10. Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya

D. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila


keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan.
Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.

1. Pasien rawat jalan

a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk

pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)

b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam

74
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.

2. Pasien rawat inap

Indikasi rawat inap :

TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :

- Batuk darah masif

- Keadaan umum buruk

- Pneumotoraks

- Empiema

- Efusi pleura masif / bilateral

- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

TB di luar paru yang mengancam jiwa :

- TB paru milier

- Meningitis TB

Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat.

E. TERAPI PEMBEDAHAN

lndikasi operasi :

1. Indikasi mutlak

a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif

b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif

75
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif

2. lndikasi relatif

a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang

b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan

c. Sisa kaviti yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)

· Bronkoskopi

· Punksi pleura

· Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

F. EVALUASI PENGOBATAN

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

a) Evaluasi klinik
 Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
 Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi penyakit
 Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.
b) Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
 Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
 Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik :
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan

76
 Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
resistensi
c) Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
- Pada akhir pengobatan
d) Evaluasi efek samping secara klinik
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan
darah lengkap. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum,
kreatinin, dan gula darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit
penyerta atau efek samping pengobatan. Asam urat diperiksa bila
menggunakan pirazinamid. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila
menggunakan etambutol (bila ada keluhan). Pasien yang mendapat
streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada
keluhan). Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan
pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis
kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai
terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.
e) Evalusi keteraturan berobat
Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan
diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting
penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat.
Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkungannya. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya
masalah resistensi.

77
Kriteria Sembuh

- BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan)
dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat

- Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan

- Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

Evaluasi pasien yang telah sembuh

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi


minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan
foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada
gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).

Tujuan pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,


mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.

Tabel 11. Jenis, sifat dan dosis OAT

Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

78
 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
menelan Obat (PMO).
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu fase intensif dan fase
lanjutan.
Tahap Awal (Intensif)
- Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
ecara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan

- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

 Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis di Indonesia:
o Kategori 1: 2 (HRZE) / 4(HR)3
o Kategori 2: 2 (HRZE)S/ (HRZE)/ 5(HR)3E3
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan
(HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR

79
 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT KDT), sedangkan kategori anak
sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
 Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
 Paket kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniazid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan
program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT
KDT.

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa
pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntuntungan dalam pengobatan TB:

1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin


efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

1. KATEGORI 1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien baru TB paru BTA (+)
- Pasien TB paru BTA (-), foto toraks (+)
- Pasien TB ekstra paru

80
Tabel 12. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

3. OAT Sisipan (RHZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori
1 yang diberikan selama sebulan (28 hari). 23

81
Tabel 12. Dosis KDT untuk Sisipan

KOMPLIKASI

Komplikasi dibagi atas kompilkasi dini dan lanjut:22

 Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis.


 Komplikasi lanjut: SOPT, fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, Ca paru,
ARDS.

PROGNOSIS

Prognosis TB paru tergantung dari derajat berat, kepatuhan pasien, sensitivitas


bakteri, gizi, status imun, dan komorbiditas.22

82
3.4 DIABETES MELLITUS
Komplikasi kronis diabetes melitus (DM) terutama disebabkan gangguan
integritas pembuluh darah dengan akibat penyakit mikrovaskuler dan
makrovaskuler. Komplikasi tersebut kebanyakan berhubungan dengan perubahan-
perubahan metabolik, terutama hiperglikemia. Kerusakan vaskuler merupakan
gejala yang khas sebagai akibat DM, dan dikenal dengan nama angiopati diabetika.
Makro- angiopati (kerusakan makrovaskuler) biasanya muncul sebagai gejala
klinik berupa penyakit jantung iskemik dan pembuluh darah perifer. Adapun mikro-
angiopati (kerusakan mikrovaskuler) memberikan manifestasi retinopati, nefropati
dan neuropati.

KLASIFIKASI

83
GEJALA KLINIS
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah
ini:
- Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
- Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita

DIAGNOSIS
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat
jarang dilakukankarena membutuhkan persiapan khusus.

84
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung
pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dl (5,6 – 6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.

85
Tabel 2. Kriteria diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
2. Gejala klasik DM
+
Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah
satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandardisasi dengan baik.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):


• Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-
hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani
seperti biasa
• Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
• Diperiksa kadar glukosa darah puasa
• Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit
• Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai
• Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
• Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok

86
PEMERIKSAAN PENYARING
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada kelompok tersebut di bawah ini (Comitee
Report ADA-2006) :
1. Kelompok usia dewasa tua (> 45 tahun)
2. Obesitas BB (kg) > 110% BB ideal atau IMT > 25 (kg/m2)
3. Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam garis keturunan
5. Riwayat kehamilan dengan : BB lahir bayi > 4000 gram atau abortus
berulang
6. Riwayat DM pada kehamilan
7. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl)
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT,
maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan
TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan
sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk
terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari. Pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau
kadar glukosa darah puasa. Skema langkah-langkah pemeriksaan pada kelompok
yang memiliki risiko DM dapat dilihat pada bagan1.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak
dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti dengan
rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya kelainan. Pemeriksaan
penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau
general check-up. Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai
patokan penyaring dapat dilihat pada tabel 3.

87
Catatan :
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain,
pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

88
Bagan 1. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa

89
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dasar terapi DM meliputi pentalogi terapi DM :
Terapi Primer
 Penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) tentang DM
 Latihan Fisik (LF)
 Diet
Terapi Sekunder
 Obat Hipoglikemi (OHO dan Insulin)
 Cangkok Pankreas

Penyuluhan Kesehatan Masyarakat tentang DM


Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan
motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan
khusus.

Latihan Fisik Untuk DM


Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,
berkebun harus tetap dilakukan (lihat tabel 4). Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan
kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya

90
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak
atau bermalas-malasan.

Diet
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.

Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid

91
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
E. DPP-IV inhibitor

A. Pemicu Sekresi Insulin


1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang.
Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang
tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular,
tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari
2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin


Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan
ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV
karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.

92
Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal
hati secara berkala.
*golongan rosiglitazon sudah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya.

C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan
dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)


Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.

E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada
makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang
kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon.
Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4
(DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.

93
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM
tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon
asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk
golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap
dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang
penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:


 OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
 Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
 Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
 Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
 Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
 Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
 DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

2. Suntikan
Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Ketoasidosis diabetik
 Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
 Hiperglikemia dengan asidosis laktat
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

94
 Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin


Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
 Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
 Insulin kerja pendek (short acting insulin)
 Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
 Insulin kerja panjang (long acting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Efek samping terapi insulin


 Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
 Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bab komplikasi akut DM.
 Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Regulasi Cepat dengan Insulin


Dapat dibagi menjadi :
1) Regulasi cepat intravena (RCI)
2) Regulasi cepat subkutan (RCS)

 Jangan memberi cairan yang mengandung karbohidrat apabila kadar glukosa


masih diatas 250 mg/dl. Pasanglah infus Ringer-Laktat atau NaCl 0,9%
dengan kecepatan 15-20 tpm (bila bukan Ketoasidosis = KAD); apabila KAD,
maka tetesan harus cepat.
 Berikan Insulin Reguler Intravena 4 unit tiap jam sampai kadar gula darah
sekitar 200 mg/dl atau reduksi urine positif lemah.

95
 Cara RCI : dengan dosis reguler 4 unit/jam intravena, dapat menurunkan
glukosa darah sekitar 50-75 mg/dl setiap jamnya.
Contoh : pada glukosa darah 450 mg/dl, berikan insulin reguler intra vena 4
unit/jam sampai 3 kali (Rumus Minus Satu), maka akan memperoleh glukosa
darah sekitar 200 mg/dl. Angka 3 kali diperoleh dari : 4 dikurangi satu
(Rumus Minus Satu). Angka 4 berasal dari 450 mg/dl.
 Apabila kadar glukosa tersebut sudah tercapai, maka insulin reguler dapat
diteruskan secara subkutan dengan interval 8 jam dengan dosis 3 x 8 U
(Rumus Kali Dua). Angka 8 berasal dari 4 x 2 (Rumus Kali Dua). Sedangkan
angka 4 berasal dari 450 mg/dl.
 Glukosa 450 mg/dl juga dapat mengikuti rumus 1,2,3,4,5 untuk regulasinya,
dan dapat menggunakan rumus 4,6,8,10,12 untuk maintenance subkutannya.
Indikasi RCI dan RCS pada umumnya adalah untuk kasus-kasus yang memerlukan
kadar glukosa darah harus segera diturunkan, bahkan pada DM kasus biasa (non-
darurat) yang dirawat inap, misalnya : penderita dengan DM-sepsis pro-operasi
(gangren, kolesistitis, batu ginjal, dan lain-lain), DM dengan GDPO (stroke-CVA),
DM pro-amputasi, DM dan Infark Myokard Akut, semua DM rawat-inap dengan
glukosa darah > 250 mg/dl.

3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam
bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda
atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan
klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan
kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan.

96
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan
terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah
adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi
dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila
dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.

97
DAFTAR PUSTAKA

1. Karkhanis RV, Joshi MJ.Pleural Effusion : Diagnosis, Treatment and


Management. Open Access Emergency Medicine. 2012;4: 31-52
2. Garrido VV, Sancho FJ, Blasco H et al. Diagnosis and Treatment of Pleural
Effusion. Arch Bronconeumol. 2006;42(7):349-72
3. Yu H. Management of Pleural Effusion, Empyema and Lung Abscess.Semin
Intervent Radiol.2011;28:75–86.
4. McGrath EE, Anderson PP. Diagnosis of Pleural Effusion : A Systemic
Approach..AJCC. 2011;20(2):119-127.
5. Dweik AR. Pleural Disease.The Cleveland Clinic Foundation.2010.
6. Djojodibroto D. Respirologi (repiratory medicine). Jakarta : EGC;2009.
7. Sockrider M, Lareau S. Thoracentesis. ATS Journal. 2007;176.
8. Thomsen TW, DeLaPena J, Setnik GS. Thoracentesis. N Engl J Med.
2008;355(15).
9. Manthous C, Tobin M. Chest Tube Thoracostomy. ATS Journal. 2013;170.
10. Ciacca LD, Neal M, Highcock M, Bruce M, Snowden J, O'Donnel A.
Guidelines for the Insertion and Management of Chest Drains. United
Kingdom: NHS Foundation Trust; 2008.10.
11. Panadero R, Antoby VB. Pleurodesis : State of the Art. Eur Respir
J.2008;10;1650-52.
12. Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC, 2006.
13. Kumar, Cotran, Robbins.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2007.
Volume 2.

14. Greenberg, Barry H. Congestuve Heart Failure, Philadephia, USA:


Lipincott Williams & Wilkins 2007.
15. Hunt, S.A., Abraham, W.T., Chin, M.H., et al 2009 Focused
Update Incorporated Into the ACC/AHA Guidelines for the
Diagnosis andManagement of Heart Failure in the Adult: A Report of the

98
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force
onPractice Guidelines (Committee to revise the 1995 Guidelines
for the Evaluation and Management of Heart Failure). Circulation
119;e391-e479.
16. Braunwald, E., 2008. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper, D.L. et
all, ed.17th Edition Harrison’s Principles of Internal Medicine. New York:
McGraw-Hill, 2152-2180.
17. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, edisi 2. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI, 2007
18. Konsensus Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia
19. Halim, Hadi. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam : Sudoyo, Aru W Dkk. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Hal 2329 - 2336. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009
20. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
Jakarta. 2002.
21. Price, SA. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-
6. Jakarta : EGC;2005.
22. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2011.
23. Ahmad, Zen. 2002. Tuberkulosis Paru. Dalam : Hadi H, Rasyid A, Ahmad
Z, Anwar J. Naskah Lengkap Workshop Pulmonology Pertemuan Ilmiah
Tahunan IV Ilmu Penyakit Dalam, Sumbagsel. Lembaga Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam FK UNSRI, hlm: 95-119.
24. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe 2 di Indonesia. 2011
25. Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, Purwa AM, Ahmad Y,
Ottenhoff THM, dkk. The effect of type 2 diabetes mellitus on the
presentation and treatment response of pulmonary tuberculosis. J Clin
Infect Dis. 2007;45:428-35.

99

Anda mungkin juga menyukai