PEMBIMBING
Disusun oleh
Resha Adi Wibowo
030 14 164
Referat dengan judul “Epilepsi Pada Perempuan” disusun dalam rangka memenuhi tugas
kepanitraan klinik Ilmu Penyakit Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih periode 5
November 2018 – 8 Desember 2018
NIM : 030.14.164
Pembimbing
1
KATA PENGANTAR
Segala puji penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Epilepsi Pada
Perempuan dengan tepat waktu. Penulisan Referat ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
Kepanitiaan Klinik Ilmu Penyakit Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Budhi Asih. Pada
kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis
dalam menyusun penyelesaian referat ini, terutama kepada:
1. dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S selaku dokter pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dalam penyusunan referat ini.
2. Seluruh Dokter Spesialis Saraf yang ada dan staf-staf SMF Saraf di RSUD Budhi Asih.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf RSUD Budhi Asih atas bantuannya.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Atas semua keterbatasan yang dimiliki,
maka kritik dan saran yang membangun akan diterima demi penyempurnaan penulisan. Diharapkan referat
ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang medis.
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi adalah gangguan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi secara terus
menerus untuk terjadinya suatu bangkitan epileptik dan juga ditandai oleh adanya faktor
neurobiologis, kognitif dan psikologis. Sedangkan bangkitan epileptik adalah tanda atau gejala
yang timbul sepintas akibat aktivitas neuron di otak yang berlebihan dan abnormal. 1 Kelainan ini
ditandai dengan terjadinya kejang berulang, spontan (unprovoked), dengan sifat kejang yang sama
dan menyebabkan konsekuensi neurobiologi, kognitif, psikologis, dan sosial dari kondisi ini.
Diperkirakan sekitar 50 juta orang di dunia hidup dengan epilepsi dengan perbandingan
sebesar 4 sampai 10 dari 1000 orang. Dalam beberapa studi lainnya menunjukan bahwa pada
negara-negara berpenghasilan rendah atau menengah jumlah penderita epilepsi dapat meningkat
hingga 2 kali lebih tinggi.2
Epilepsi merupakan gangguan neurologis yang juga dapat dipengaruhi oleh perubahan
fisiologis pada tubuh. Pada perempuan perubahan fisiologis dalam siklus reproduksi akan
berpengaruh terhadap epilepsi. Tingkat keparahan dan frekuensi kejang epilepsi pada perempuan
dapat berubah ubah selama pubertas, siklus menstruasi, kehamilan dan juga menopause. Keadaan
ini dipengaruhi perubahan hormonal terutama oleh 2 hormon yang berperan penting pada
perempuan yaitu estrogen dan progesteron. Estrogen disini meningkatkan risiko kejang sedangkan
progesteron menghambatnya.3
Epilepsi pada perempuan ini dapat menyebabkan munculnya berbagai masalah lain seperti
gangguan fungsi reproduksi, defek pada kelahiran, dan disfungsi seksual. Masalah- masalah ini
timbul akibat dari penggunan obat anti epilepsi tersendiri, sehingga diperlukan perhatian khusus
untuk menangani epilepsi pada perempuan.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Epilepsi merupakan kelainan serebral yang ditandai dengan faktor predisposisi menetap
untuk mengalami kejang selajutnya dan terdapat konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis
dan sosial dari kondisi ini. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan. Istilah epilepsi tidak boleh
digunakan untuk bangkitan yang terjadi hanya sekali saja. Bangkitan refleks adalah bangkitan yang
muncul akibat induksi oleh faktor pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik,
somatosensitif dan somatomotor. 1
Berdasarkan konsensus ILAE 2014 , epilepsi dapat ditegakan pada 3 kondisi yaitu :
Terdapat 2 kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari 24 jam
Terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi , namun risiko kejang selanjutnya sama
dengan risiko rekurensi umum setelah dua kejang tanpa provokasi dalam 10 tahun
mendatang
Sindrom epilepsi berdasarkan EEG
2.2 Epidemiologi
Menurut WHO, Sekitar 50 juta orang menderita epilepsi di seluruh dunia. Populasi yang
menderita epilepsi aktif diperkirakan antara 4-10 per 1000 penduduk, namun angka ini akan lebih
tinggi pada negara dengan pendapatan rendah atau menengah. Secara umum diperkirakan 2,4 juta
pasien didiagnosis epilepsi setiap tahunnya.
Angka prevalensi di Indonesia sendiri belum diketahui secara pasit namun hasil penelitian
Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia di beberapa RS di 5 ulau
5
besar di Indonesia pada tahun 2013 mendapatkan 2.288 penyandang epiepsi dengan 21,3% nya
merupakan pasien baru.
Berdasarkan jenis kelamin prevalensi laki laki lebih besar dibandingkan perempuan
dengan angka insidensi kumulatif sebesar 3,4% : 2,8%
2.3 Etiologi
Hampir setengah dari seluruh kasus epilepsi bersifat idiopatik. Beberapa penyebab lain
epilepsi yang dapat ditemukan seperti pengaruh genetik, trauma kepala, kelainan medis ( akibat
dari penyakit lain seperti stroke ), demensia, meningitis, ensefalitis, jejas prenatal atau gangguan
perkembangan ( down syndrome, autisme ) 4
Kejang Fokal
Dimulai dari cetusan epileptik di suatu area fokal di korteks. Kejang fokal di
klasifikasikan menjadi
6
Kesadaran terganggu sehingga pasien tidak ingat akan kejang, biasanya diawali
dengan henti gerak seluruh tubuh sementara ( behaviora arrest) dilanjutakn
dengan automatisme ( mengunyah meracau dll) tatapan kosong dan bingung post
iktal. Kejang fokal kompleks umumnya berlangsung 60-90 menit diikuti
kebingungan post icktal singkat.
Secondary generalized
Umumnya dimulai dengan aura yang berevolusi menjadi kejang fkal kompleks
dan kemudia menjadi kejang tonik klonik umum. Atau suatu aura dapat
berevolusi menjadi kejang umum tanpa kejang fokal kompleks yang nyata.
Kejang Umum
Kejang Absans
Kejang Mioklonik
Kejang Klonik
Kejang Tonik
Kejang umum tonik klonik primer (grand mal)
Kejang atonik
Kejang adalah manifestasi paroksismal sifat listrik dari korteks serebral. Epilepsi terjadi
ketika terjadi gangguan pada hubungan normal antara sel-sel saraf di otak dalam menghantarkan
listrik, terjadi ketidakseimbangan dari zat kimia natural atau neurotransmiter yang penting untuk
menghantarkan signal antara sel-sel otak, atau ketika terjadi perubahan pada membran sel-sel saraf
termasuk ion channel yang mengubah sensitivitas normal.1
Ada dua jenis neurotransmiter, yaitu nerotransmiter eksitasi dan inhibisi. Neurotransmiter
eksitasi memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik, sedangkan neurotransmiter inhibisi
7
yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan
listrik. Neurotransmitter eksitasi yaitu diantaranya glutamat, epinephrine, dan norepinephrine.
Beberapa neurotransmiter inhibisi yaitu gamma amino butyric acid (GABA), glisin, dan serotonin.
Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam
keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh
sel akan melepas muatan listrik.
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Transmisi listrik oleh neuron-neuron otak disebabkan oleh adanya potensial membran sel.
Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron, yakni
membran sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan sedikit sekali
oleh ion Ca, Na dan Cl. Hal ini menyebabkan di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan
kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang
ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.
Berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat mengubah atau mengganggu fungsi
membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke
intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan melepas muatan
listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepasan muatan listrik demikian oleh sejumlah
besar neuron secara sinkron merupakan penyebab suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas
serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi pra
dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus melepaskan muatan
listrik. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar pusat epileptik. Keadaan lain
yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
Fluktuasi hormon seks dapat meningkatkan kerentanan terhadap kejang pada banyak
perempuan dengan epilepsi. Perempuan dengan epilepsi mungkin memiliki pola kejang yang
berhubungan dengan perubahan kadar estrogen dan progesteron. Estrogen telah terbukti
8
meningkatkan aktivitas kejang dengan menurunkan batas ambang kejang. Sedangkan progesteron
telah terbukti memiliki sifat antikonvulsan.
Mekanisme yang diusulkan pada perubahan rangsangan membran neuron yaitu perubahan
inhibisi neuron yang dimediasi GABA dan eksitasi neuron yang dimediasi glutamat. Perubahan
fisiologis lain dapat memberikan kontribusi pada perubahan ambang kejang pada perempuan
dengan epilepsi saat pubertas dan dengan fluktuasi siklus hormonal.
Estrogen memiliki efek terhadap gen dan juga terhadap membran yang meningkatkan
eksitasi dan mengurangi inhibisi. Estrogen menyebabkan efek langsung pada eksitabilitas
membran di reseptor GABAA. Saat estrogen menempati reseptor GABAA, konduksi klorida
berubah sehingga inhibisi yang dimediasi oleh GABA menjadi kurang efektif.
Studi kohort yang dilakukan oleh Herzog et al menentukan tiga pola yang berbeda dari
epilepsi katamenial berdasarkan evaluasi statistik frekuensi kejang pada perempuan selama masa
9
reproduksi mereka. Definisi didasarkan pada Hari 1 sebagai hari pertama menstruasi dan ovulasi
dianggap terjadi 14 hari sebelum onset menstruasi berikutnya (Hari ke 14). Kejang dan menstruasi
dicatat dan tingkat progesteron serum midluteal diperoleh pada hari 22. Konsentrasi progesteron>
5 ng / ml dianggap ovulasi. Siklus dibagi menjadi empat fase: menstruasi (M), folikel (F), ovulasi
(O), dan luteal (L). Kejang yang dicatat selama siklus ovulasi terjadi memperlihatkan frekuensi
rata-rata harian lebih besar secara signifikan selama fase menstruasi dan ovulasi dibandingkan
selama fase folikuler dan luteal.
Studi menunjukkan bahwa kecenderungan terjadinya kejang paling tinggi sesaat sebelum
dan saat menstruasi, atau saat ovulasi. Waktu tersebut memiliki dasar fisiologi yang berhubungan
dengan periode estrogen yang relatif tinggi dan tingkat progesteron yang rendah. Fase ovulasi
ditandai dengan puncak tingginya estrogen dan pada fase perimenstruasi (sekitar 3 hari sebelum
menstruasi) atau menstruasi dengan penurunan progesteron.
Kejang katamenial dapat terjadi akibat berkurangnya konsentrasi Obat Anti Epilepsi di
plasma. Kejang katamenial disebabkan peningkatan estrogen saat ovulasi, penurunan kadar
progesteron saat menstruasi, dan meningkatnya rasio estrogen:progesteron (siklus anovulasi).
10
2.6.3 Epilepsi Pada Tahapan Reproduksi
Perubahan pola kejang bisa terjadi akibat perubahan hormonal, seperti selama pubertas,
kehamilan, dan menopause.
Beberapa sindrom epilepsi pertama kali terjadi atau memburuk selama masa
pubertas.Sindrom epilepsi umum primer yang berkembang saat pubertas termasuk Juvenile
Myoclonic Epilepsi (JME), dimana 18% dari JME merupakan epilepsi fotosensitif. Pada masa
pubertas, bangkitan umum tonik-klonik sering memburuk, sebaliknya bangkitan absence dapat
membaik, sedangkan bangkitan fokal kompleks tidak terpengaruh. Bangkitan akan lebih sering
kambuh apabila awitan bangkitan terjadi pada usia lebih muda, etiologi jelas, pemeriksaan fisik,
neurologi, dan EEG abnormal serta menarke terlambat.3
Perempuan yang menderita epilepsi sebelum kehamilan dapat mengalami bangkitan pada
saat hamil. Pada masa kehamilan, peningkatan produksi estrogen oleh plasenta dan kelenjar
adrenal janin dapat menurunkan ambang kejang dan memperburuk epilepsi.7
Termed gestational epilepsi adalah epilepsi yang terjadi pertama kali sewaktu masa
kehamilan dan berlanjut pada kehamilan berikutnya dengan masa bebas bangkitan di antara
kehamilan.7
Gestational onset epilepsi adalah epilepsi yang terjadi pertama kali pada masa kehamilan
dan berlanjut di luar masa kehamilan.7
11
Epilepsi pada menopause
Perubahan dalam pola kejang (peningkatan frekuensi) pada perempuan dengan epilepsi
pada masa menopause lebih mungkin terjadi pada perempuan yang mengalami pola katamenial
selama masa reproduksi mereka. Kejang tonik-klonik umum atau kejang fokal kompleks yang
sering terjadi lebih mungkin untuk kambuh saat menopause.9
2.7 Diagnosis
Didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinik dikombinasikan dengan hasil pemeriksaaan
EEG dan radiologis. Namun demikian, bila pemeriksa secara kebetulan melihat bangitan yang
sedang berlangsung, maka diagnosis epilepsi (klinik) sudah dapat ditegakkan.
Anamnesis untuk mendapatkan keterangan tentang kejadian kejang seperti aura, kesadaran dan
keadaan post iktal, perlu juga diketahui hal hal seperti :
12
Dari pemeriksaan fisik diperhatikan tanda-tanda riwayat kejang lama seperti luka-luka pada
ekstremitas akibat kejang umum yang berulang
2.8 Tatalaksana
Tujuan tatalaksana nya adalah status bebas kejang efek samping. Kemudian pencegahan
bangkitan berulang dan pencarian etiologi. Bangkitan epileptik dapat merupakan gejala dari suatu
penyakit sistemik ataupun kelainan intrakranial. Bangkitan Epileptik pertama yang terjadi pada
fase akut akibat penyakit yang mendasarinya biasanya tidak memerlukan terapi jangka panjang.
Sementara bangkitan epileptik yang terjadi akibat suatu kelainan intrakranial kronik memerlukan
terapi jangka panjang
Karbamazepin
Untuk kejang tonik klonik dan kejang fokal. Tidak efektif untuk kejang absans dapat
memperburuk kejang mioklonik
Lamotrigin
13
Efektif untuk kejang fokal dan kejang tonik klonik, dapat juga dikombinasikan dengan
asam valproat
Asam Valproat
Efektif untuk kejang fokal, kejang tonik klonik, dan kejang absans
Terapi bedah
Lobektomi dan Lesionektomi
Prinsip pengobatan epilepsi adalah monoterapi dengan target pengobatan 3 tahun bebas bangikita.
Bila monoterapi tidak dapat mencegah bangkitan berulang dipertimbangkan poli terapi. Apabila
masih tidak dapat diatasi maka perlu dipertimbangkan tindakan pembedahan
14
BAB III
KESIMPULAN
Epilepsi pada perempuan sangat erat kaitannya dengan faktor hormonal, dimana epilepsi
dan hormon endokrin saling mempengaruhi satu sama lain. Bangkitan epilepsi dapat berhubungan
dengan menarke, siklus menstruasi, dan menopause. Perubahan fisiologi yang terjadi pada
perempuan dapat mempengaruhi epilepsi yang dideritanya,. Fungsi seksual, kesehatan reproduksi,
dan kesehatan janin juga dapat maupun Obat Anti Epilepsi yang dikonsumsi oleh perempuan
dengan epilepsi
15
Daftar Pustaka
16