Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA


CARSINOMA REKTI
DI RUANG CEDANA 2 RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA
Laporan Kasus Ini Diajukan Guna Melengkapi Syarat Untuk Menyelesaikan
Program Pendidikan DIII Keperawatan Pada Akademi Keperawatan Notokusumo
Yogyakarta

Disusun Oleh :

Nia Damayanti

2620152742

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO

YOGYAKARTA

2018
BAB II
KONSEP DASAR MEDIK

A. Pengertian
Kanker merupakan suatu kondisi dimana sel telah kehilangan
pengendalian dan mekanisme normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan
yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali.Kanker terjadi karena adanya
perubahan genetik atau mutasi Deoxyribonucleic Acid(DNA) yang
bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan pemulihan sel (LeMone, 2008).
Karsinoma Recti merupakan salah satu dari keganasan pada kolon dan
rektum yang khusus menyerang bagian Recti yang terjadi akibat gangguan
proliferasi sel epitel yang tidak terkendali(Kurniadi, 2012).
Ca Rekti adalah kanker yang terjadi pada rektum.Rektum terletak di
anterior sakrum and coccyx panjangnya kira kira 15 cm. Rectosigmoid
junction terletak pada bagian akhir mesocolon sigmoid. Bagian sepertiga
atasnya hampir seluruhnya dibungkus oleh peritoneum.Di setengah bagian
bawah rektum keseluruhannya adalah ektraperitoneral(Samsuhidayat, 2004).

Gambar 1.Anatomi usus besar termasuk rectum


Rektum dengan proliferasi abnormal dan tahapan perkembangan stadium kanker
rektum

B. Etiologi
Beberapa faktor risiko/faktor predisposisi terjadinya kanker rectum
menurut Brunner & Suddarth (2002) telah diidentifikasi sebagai berikut:
1. Diet rendah serat
Kebiasaan diet rendah serat adalah faktor penyebab utama, Bukitt (1971)
dalam Prince & Wilson (1995) mengemukakan bahwa diet rendah serat
dan kaya karbohidrat refined mengakibatkan perubahan pada flora feses
dan perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan
protein dan lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik.
Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi
karsinogenik dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu masa
transisi feses meningkat, akibat kontak zat yang berpotensi karsinogenik
dengan mukosa usus bertambah lama.
2. Lemak
Kelebihan lemak diyakini mengubah flora bakteri dan mengubah steroid
menjadi senyawa yang mempunyai sifat karsinogen.
3. Polip diusus (colorectal polyps)
Polip adalah pertumbuhan sel pada dinding dalam kolon atau rektum, dan
sering terjadi pada orang berusia 50 tahun ke atas.Sebagian besar polip
bersifat jinak (bukan kanker), tapi beberapa polip (adenoma) dapat
menjadi kanker.
4. Inflamatory Bowel Disease
Orang dengan kondisi yang menyebabkan peradangan pada kolon
(misalnya colitis ulcerativa atau penyakit Crohn) selama bertahun-tahun
memiliki risiko yang lebih besar.
5. Riwayat kanker pribadi
Orang yang sudah pernah terkena kanker colorectal dapat terkena kanker
colorectal untuk kedua kalinya. Selain itu, wanita dengan riwayat kanker
di indung telur, uterus (endometrium), atau payudara mempunyai tingkat
risiko yang lebih tinggi untuk terkena kanker colorectal.
6. Riwayat kanker colorectal pada keluarga
Jika mempunyai riwayat kanker colorectal pada keluarga, maka
kemungkinan terkena penyakit ini lebih besar, khususnya jika terkena
kanker pada usia muda
7. Faktor gaya hidup
Orang yang merokok, atau menjalani pola makan yang tinggi lemak dan
sedikit buah-buahan dan sayuran memiliki tingkat risiko yang lebih besar
terkena kanker colorectal serta kebiasaan sering menahan tinja/defekasi
yang sering.
8. Usia di atas 50
Kanker colorectal biasa terjadi pada mereka yang berusia lebih tua. Lebih
dari 90 persen orang yang menderita penyakit ini didiagnosis setelah usia
50 tahun ke atas.

C. Patofisiologi
Karsinogenesis dan onkogenesis merupakan nama lain dari perkembangan
kanker. Proses perubahan sel normal menjadi sel kanker disebut transformasi
maligna (Ignatavicius et al, 2006). Karsinogen adalah substansi yang
mengakibatkan perubahan pada struktur dan fungsi sel menjadi sel yang
bersifat otonom dan maligna. Transformasi maligna diduga mempunyai
sedikitnya tiga tahapan proses selular yaitu inisiasi, promosi, dan progresi
(Basavanthappa, 2007; Smeltzer & Bare, 2002), yaitu:
A. Inisiasi (Carcinogen)
Pada tahap ini terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang memancing
sel menjadi ganas.Perubahan ini disebabkan oleh status karsinogen berupa
bahan kimia, virus, radiasi atau sinar matahari yang berperan sebagai
inisiator dan bereaksi dengan DNA yang menyebabkan DNA pecah dan
mengalami hambatan perbaikan DNA.Perubahan ini mungkin dipulihkan
melalui mekanisme perbaikan DNA atau dapat mengakibatkan mutasi
selular permanen.Mutasi ini biasanya tidak signifikan bagi sel-sel sampai
terjadi karsinogenesis tahap kedua.
B. Promosi (Co-carcinogen)
Pemajanan berulang terhadap agen menyebabkan ekspresi informasi
abnormal. Pada tahap ini suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan
berubah menjadi ganas. Tahap promosi merupakan hasil interaksi antara
faktor kedua dengan sel yang terinisiasi pada tahap sebelumnya. Faktor
kedua sebagai agen penyebabnya disebut complete carcinogen karena
melengkapi tahap inisiasi dengan tahap promosi. Agen promosi bekerja
dengan mengubah informasi genetik dalam sel, meningkatkan sintesis
DNA, meningkatkan salinan pasangan gen dan merubah pola komunikasi
antarsel. Pada masa antara inisiasi dan promosi merupakan kunci konsep
dalam pencegahan kanker, karena bila pada tahap ini dilakukan
pencegahan pemaparan karsinogen ulang seperti makanan berlemak,
obesitas, rokok, dan alkohol akan dapat menurunkan risiko terbentuknya
formasi neoplastik.
C. Progresi (Complete Carcinogen )
Pada tahapan ini merupakan tahap akhir dari terbentuknya sel kanker atau
karsinogenesis.Sel-sel yang mengalami perubahan bentuk selama inisiasi
dan promosi kini melakukan perilaku maligna.Sel-sel ini sekarang
menampakkan suatu kecenderungan untuk menginvasi jaringan yang
berdekatan (bermetastasis).
Penyebab kanker pada saluran cerna bagian bawah tidak diketahui secara
pasti polip dan ulserasi colitis kronis dapat berubah menjadi ganas tetapi
dianggap bukan sebagai penyebab lambung asam empedu dapat berperan
sebagai karsinogen yang mungkin berada di kolon. Hipotesa penyebab yang
lain adalah meningkatnya penggunaan lemak yang bisa menyebabkan kanker
kolorektal. Diet rendah serat dan kaya karbohidrat refined mengakibatkan
perubahan pada flora feses dan perubahan degradasi garam-garam empedu atau
hasil pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat
karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang
berpotensi karsinogenik dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu
masa transisi feses meningkat, akibat kontak zat yang berpotensi karsinogenik
dengan mukosa usus bertambah lama.
Kelebihan lemak diyakini mengubah flora bakteri dan mengubah steroid
menjadi senyawa yang mempunyai sifat karsinogen. Menurut Physicians
Committee for Responsible Medicine, bakteri juga memiliki peranan dalam
timbulnya kanker usus. Bakteri dapat mengubah asam empedu, yang
dikeluarkan oleh tubuh untuk membantu pencernaan lemak, menjadi suatu
senyawa-senyawa yang dapat memicu kanker. Senyawa -senyawa tersebut
disebut sebagai asam empedu sekunder. Asam empedu secara normal
dikeluarkan oleh tubuh untuk mencerna lemak. Semakin banyak lemak yang
dikonsumsi, maka asam empedu yang dikeluarkan oleh tubuh akan semakin
banyak pula. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika beberapa bahan
makanan yang banyak mengandung lemak seperti daging merah, serta daging
dan makanan olahan lain yang berkadar lemak tinggi seperti keju, dapat
meningkatkan risiko kanker usus. Konsumsi alkohol juga dapat meningkatkan
risiko terjadinya kanker usus seperti halnya makanan yang kaya akan gula,
menurut World Cancer Research Fund.
Patologi Kebanyakan kanker usus besar berawal dari pertumbuhan sel
yang tidak ganas atau disebut adenoma, yang dalam stadium awal membentuk
polip (sel yang tumbuh sangat cepat). Pada stadium awal, polip dapat diangkat
dengan mudah. Tetapi, seringkali pada stadium awal adenoma tidak
menampakkan gejala apapun sehingga tidak terdeteksi dalam waktu yang
relatif lama dan pada kondisi tertentu berpotensi menjadi kanker yang dapat
terjadi pada semua bagian dari usus besar (Davey, 2006: 335).
Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup
serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel
kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang
lain (paling sering ke hati). Kanker kolorektal dapat menyebar melalui
beberapa cara yaitu: secara infiltratif langsung ke struktur yang berdekatan,
seperti ke dalam kandung kemih; melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe
perikolon dan mesokolon; melalui aliran darah, biasanya ke hati karena kolon
mengalirakan darah ke sistem portal; penyebaran secara transperitoneal;
penyebaran ke luka jahitan, insisi abdomen atau lokasi drain. Pertumbuhan
kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi penyumbatan lumen usus dengan
obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta perdarahan. Penetrasi kanker
dapat menyebabkan perforasi dan abses, serta timbulnya metastase pada
jaringan lain (Gale, 2000).
Pada keluarga tertentu yang memiliki kecenderungan terhadap kanker,
diduga bahwa satu atau lebih gen kanker sudah bermutasi dalam gen yang
diwarisi. Pertumbuhan kanker akan meningkat pada usia lebih dari 55 tahun.
Banyak kanker terjadi diusia tua seperti kanker prostat, kanker kolon, dan
leukemia. Peningkatan masa hidup memungkinkan memanjangnya paparan
terhadap karsinogen dan terakumulasinya berbagai perubahan genetik serta
penurunan berbagai fungsi tubuh (Basavanthappa, 2007). Menurut P. Deyle
(2005), perkembangan karsinoma kolorektal dibagi atas 3 fase. Fase pertama
ialah fase karsinogen yang bersifat rangsangan, proses ini berjalan lama sampai
puluhan tahun. Fase kedua adalah fase pertumbuhan tumor tetapi belum
menimbulkan keluhan (asimptomatis) yang berlangsung bertahun-tahun juga
kemudian fase ketiga dengan timbulnya keluhan dan gejala yang nyata.

D. Klasifikasi
Metode pentahapan yang dapat digunakan secara luas adalah klasifikasi Duke
(Brunner & Suddarth, 2002):
Keteranagan:
T N M Dukes
Kelas A : Tumor
Stage 0 Tis N0 M0 dibatasi pada mukosa
dan submukosa
Stage I T1 N0 M0
A Kelas B : Penetrasi
T2 N0 M0 melalui dinding usus
Stage II T3 N0 M0
B Kelas C : invasi
T4 N0 M0 kedalam sistem limfe
yang mengalir regional
Stage Any T N1 M0
III C Kelas D : metastase
Any T N2, N3 M0 regional tahap lanjut
dan penyebaran yang
Stage
Any T Any N M1 D luas
IV

TNM staging digunakan berdasarkan perjalanan penyakit kanker melalui


tiga parameter yaitu tumor size(T) atau ukuran tumor, lymph node (N) atau
kelenjar getah bening regional dan absence of metastasis(M) atau penyebaran
jauh (Otto, 2003).
1. T (Tumor Primer : ukuran, luas dan kedalaman)
TX : tumor primer tidak dapat dikaji
T0 : tidak ada bukti tumor primer
Tis : karsinoma in-situ
T1, T2, T3, T4 : dari T1 sampai T4 tumor primer semakin besar dan
semakin jauh infiltrasi di jaringan dan alat yang
berdekatan.
2. N (Metastasis nodus : luas, dan lokasi kelenjar getah bening regional yang
terkena)
NX : kelenjar getah bening regional tidak dapat dikaji
N0 : tidak ada metastasis kelenjar getah bening regional
N1, N2, N3 : menunjukkan banyaknya kelenjar getah bening
yang terlibat, dan ada atau tidaknya infiltrasi di alat
dan struktur yang berdekatan.
3. M (Metastasis: tidak ada atau ada penyebaran jauh penyakit)
MX : penyakit jauh tidak dapat dikaji
M0 : tidak ada penyebaran jauh dari penyakit
M1 : penyebaran penyakit jauh
Pada perkembangan selanjutnya, The American Joint Committee on Cancer
(AJCC) memperkenalkan TNM staging system, yang menempatkan kanker
menjadi satu dalam 4 stadium (Stadium I-IV) (Anderson, 2006):
1. Stadium 0
Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam rectum,
yaitu pada mukosa saja.Disebut juga carcinoma in situ.
2. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan
muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak
menyebar kebagian terluar dinding rektum ataupun keluar dari rektum.
Disebut juga Dukes A rectal cancer.
3. Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat
namun tidak menyebar ke limfonodi.Disebut juga Dukes B rectal cancer.
4. Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak
menyebar kebagian tubuh lainnya.Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5. Stadium IV
Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati,
paru, atau ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer.

E. Pemeriksaan penunjang
Untuk menegakkan diagnosa yang tepat diperlukan (Sudjatmiko, 2010):
1. Anamnesis yang teliti, meliputi:
a. Perubahan pola/kebiasaan defekasi baik berupa diare maupun
konstipasi (change of bowel habit)
b. Frekuensi, konsistensi tinja
c. Perdarahan per anus
d. Tenesmus
e. Nyeri perut: kolik, menetap
f. Penurunan berat badan
g. Faktor predisposisi:
1) Riwayat kanker dalam keluarga
2) Riwayat polip usus
3) Riwayat kolitis ulserosa
4) Riwayat kanker pada organ lain (payudara/ovarium)
5) Uretero-sigmoidostomi
6) Kebiasaan makan (tinggi lemak rendah serat)
2. Pemeriksaan fisik dengan perhatian pada: Status gizi
a. Anemia
b. Benjolan/massa di abdomen
c. Nyeri tekan
d. Pembesaran kelenjar limfe
e. Pembesaran hati/limpa
f. Colok rectum (rectal toucher) ditemukan darah dan lendir, tonus
sfingter ani keras/lembek, mukosa kasar, kaku biasanya dapat digeser,
ampula rectum kolaps/kembung terisi feses atau tumor yang dapat
teraba atau tidak.
2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Test darah samar: terkadang kanker atau polip mengeluarkan
darah, dan FOBT dapat mendeteksi jumlah darah yang sangat
sedikit dalam kotoran. Karena tes ini hanya mendeteksi darah,
tes-tes lain dibutuhkan untuk menemukan sumber darah tersebut.
Kondisi jinak (seperti hemoroid) juga bisa menyebabkan darah
dalam kototran.
2) Carcino embryonic antigen (CEA): pada eksisi tumor komplet
kadar CEA yang meningkat harus kembali ke normal dalam 48
jam, peningkatan CEA pada tanggal selanjutnya menunjukan
kekambuhan. Ditemukan tahun 1965 oleh Gold &
Freedman. Glikoprotein dengan BM 180.000 dalton. CEA di
bentuk di saluran gastro-intertinal dan pancreas sebagai antigen
pada permukaan sel yang selanjutnya di sekresikan ke dalam
cairan tubuh. CEA sebagai petanda tumor untuk kanker
kolorektal, oesofagus, pankreas, lambung, hati, payudara,
ovarium dan paru-paru. Pemeriksaan CEA untuk pemantauan
terapi dan meramalkan prognosis:
a) CEA > 20 ng/mL preoperasi keganasan tinggi (pronosis
Kurang baik
CEA > 2.5 ng/ml Postoperasi adanya kekambuhan 80 % (18
bln mendatang
CEA < 20 ng/ml Metastase
b. Digital rectal examination (DRE)
Dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining awal kurang lebih
75% karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan rectal.
Pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm
dari rektum, tumor akan teraba keras dan menggaung.
c. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin sebelum
dilakukan pemeriksaan lain. Pada pemeriksaan ini akan tampak filling
defect biasanya sepanjang 5-6cm berbentuk anular atau apple core.
Dinding usus tampak rigid dan gambaran mukosa rusak.
1) Foto Kolorektal: dengan barium enema dan kontras ganda
2) Ultra Sonografi: identifikasi metastase dan menilai reseklabilitas
3) Intra venous pyelograply (IVP) : menilai infiltrate ke system
urinary
4) Thoraks foto: menilai adanya metastase paru
d. Endoskopi dan biopsy
1) Protoskopi: deteksi kelainan 8-10 cm dari anus (polip rekti,
hemorrhoid, karsinoma rectum)
2) Sigmoidoskopi: mencapai 20-25 cm dari anus, untuk diagnistik
dan kauterisasi.
3) Kolonoskopi: dapat mencapai sakrum.
e. Ultrasonografi
Uraian tentang prosedur diagostik dijelaskan lebih lanjut dalam fokus
pengkajian keperawatan.

F. Penatalaksanaan
Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa adalah
terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi
standar untuk kanker rektal yang sering digunakan antara lain:
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama
untuk stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam
stadium III juga dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena
kemajuan ilmu dalam metode penentuan stadium kanker, banyak pasien
kanker rektal dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan
kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal
sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker rektal, neoadjuvant
chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan III.Pada pasien
lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar
jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih
membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk
membunuh sel kanker yang tertinggal (Anderson, 2006).
Tipe pembedahan tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Prosedur
pembedahan pilihan adalah sebagai berikut (Doughty & Jackson, 1993
dalam Brunner & Suddarth, 2002):
a. Reseksi segmental dengan anastomosis (pengangkatan tumor dan
porsi usus pada sisi pertumbuhan pembuluh darah, dan nodus limfatik)
b. Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen
(pengangkatan tumor dan prosi sigmoid dan semua rectum serta
sfingkter anal)
c. Kolostomi sementara diikuti reanastomosis reseksi segmental dan
anastomisis serta reanastomosis lanjut dari kolostomi (memungkinkan
dekompresi usus awal dan persiapan usus sebelum reseksi)
d. Kolostomi permanen atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi
obstruksi yang tidak dapat direseksi)
Berkenaan dengan teknik perbaikan melalui pembedahan, kolostomi
dilakukan pada kurang dari sepertiga pasien kanker kolorektal. Kolostomi
adalah pembuatan lubang (stoma) pada kolon secara bedah. Stoma ini
dapat berfungsi sebagai diversi sementara atau permanen.Ini
memungkinkan drainase atau evakuasi ini kolon keluar tubuh.Konsistensi
drainase dihubungkan dengan penempatan kolostomi, yang ditentukan
oleh lokasi tumor dan luasnya invasi jaringan sekitar (Brunner &
Suddarth, 2002).
Indikasi kolostomi menurut Kurnia (2012) memaparkan, sekitar 100.00
orang yang dilakukan indikasi pemasangan stoma pada umumnya
disebabkan oleh kanker kolorektal, kanker kandung kemih, kolitis
ulseratif, penyait Crohn, diverticulitis, obstruksi, inkontinensia urin dan
fekal, dan trauma. Indikasi pemasangan kolostomi pada neonatus dan
dewasa tentu berbeda. Lukong, Jabo, dan Mfuh (2012) melakukan
penelitian terhadap 38 neonatus, dan indikasi pemasangan kolostomi yang
ditemukan adalah karena malformasi anorektal (97,4%) dan atresia kolon
(2,6%).
2. Radiasi
Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III
lanjut, radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan
pembedahan. Peran lain radioterapi adalah sebagai sebagai terapi tambahan
untuk pembedahan pada kasus tumor lokal yang sudah diangkat melaui
pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh tertentu.
Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi
yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan risiko
kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%.
Pada penanganan metastasis jauh, radiasi telah berguna mengurangi efek
lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya
digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal
yang unresectable (Mansjoer, 2000).
3. Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy (menangani pasien yang tidak terbukti memiliki
penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan),
dipertimbangkan pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam
atau tumor lokal yang bergerombol (Stadium II lanjut dan Stadium III).
Terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan
dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan.5-FU
merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon.Agen
lainnya, levamisole (meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi
bagi leucovorin). Protokol ini menurunkan angka kekambuhan kira-kira
15% dan menurunkan angka kematian kira-kira sebesar 10% (Mansjoer,
2000).

G. Komplikasi
Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus parsial atau lengkap.
Pertumbuhan dan ulserasi juga dapat menyerang pembuluh darah sekitar
rectum yang menyebabkan hemoragi. Perforasi dapat terjadi dan
mengakibatkan pembentukan abses. Peritonitis dan atau sepsis dapat
menimbulkan syok (Brunner & Suddarth, 2002).
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah sebagai berikut :
1. Obstruksi usus partial atau lengkap
Obstruksi usus adalah penyumbatan parsial atau lengkap dari usus yang
menyebabkan kegagalan dari isi usus untuk melewati usus.
2. Hemorhargi
3. Perfosi dan dapat mengakibatkan pembentukan abses
4. Peritonotis
5. Syok
Syok merupakan keadaan gagalnya sirkulasi darah secara tiba-tiba akibat
gangguan peredaran darah atau hilangnya cairan tubuh secara berlebihan.

H. Diagnosa keperawatan
1. Diare b/d inflamasi, iritasi, malabsorbsi usus atau penyempitan parsial
lumen usus sekunder terhadap proses keganasan usus.
Ditandai dengan:
a. Peningkatan bunyi usus/peristaltik
b. Peningkatan defekasi cair
c. Perubahan warna feses
d. Nyeri/kram abdomen
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi
nutrien, status hipermetabolik sekunder terhadap proses keganasan usus.
Ditandai dengan:
a. Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot, tonus
otot buruk
b. Peningkatan bunyi usus
c. Konjungtiva dan membran mukosa pucat
d. Mual, muntah, diare
3. Ansietas (uraikan tingkatannya) b/d faktor psikologis (ancaman perubahan
status kesehatan, status sosio-ekonomi, fungsi-peran, pola interaksi) dan
rangsang simpatis (proses neoplasma)
Ditandai dengan:
a. Eksaserbasi penyakit tahap akut
b. Penigkatan ketegangan, distres, ketakutan
c. Iritabel
4. Koping individu tak efektif b/d intensitas dan pengulangan stesor
melampaui ambang adaptif (penyakit kronis, ancaman kematian,
kerentanan individu, nyeri hebat, sistem pendukung tak adekuat)
Ditandai dengan:
a. Menyatakan ketidakmampuan menghadapi masalah, putus asa,
ansietas
b. Menyatakan diri tidak berharga
c. Depresi dan ketergantungan
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang pemaparan dan atau kesalahan interpretasi
informasi.
Ditandai dengan:
a. Mengajukan pertanyaan, meminta informasi atau kesalahan
pernyataan konsep
b. Tidak akurat mengikuti instruksi
c. Terjadi komplikasi/eksaserbasi yang dapat dicegah
I. Intervensi keperawatan
1. Diare b/d inflamasi, iritasi, malabsorbsi usus atau penyempitan parsial
lumen usus sekunder terhadap proses keganasan usus.
Intervensi Rasional
1. Bantu kebutuhan defekasi (bila 1. Defekasi tiba-tiba dapat terjadi
tirah baring siapkan alat yang tanpa tanda sehingga perlu
diperlukan dekat tempat tidur, diantisipasi dengan menyiapkan
pasang tirai dan segera buang keperluan klien.
feses setelah defekasi). 2. Mencegah timbulnya maslah
2. Tingkatkan/pertahankan kekurangan cairan.
asupan cairan per oral. 3. Membantu klien menghindari
3. Ajarkan tentang makanan- agen pencetus diare.
minuman yang dapat 4. Menilai perkembangan maslah.
memperburuk/mencetus-kan 5. Mengantisipasi tanda-tanda
diare. bahaya perforasi dan peritonitis
4. Observasi dan catat frekuensi yang memerlukan tindakan
defekasi, volume dan kedaruratan.
karakteristik feses. 6. Antibiotika untuk
5. Observasi demam, takikardia, membunuh/menghambat
letargi, leukositosis, penurunan pertumbuhan agen patogen
protein serum, ansietas dan biologik, antikolinergik untuk
kelesuan. menurunkan peristaltik usus dan
6. Kolaborasi pemberian obat- menurunkan sekresi digestif,
obatan sesuai program terapi kortikosteroid untuk menurunkan
(antibiotika, antikolinergik, proses inflamasi.
kortikosteroid).
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi
nutrien, status hipermetabolik sekunder terhadap proses keganasan usus.
Intervensi Rasional
1. Pertahankan tirah baring selama 1. Menurunkan kebutuhan
fase akut/pasca terapi metabolik untuk mencegah
2. Bantu perawatan kebersihan penurunan kalori dan simpanan
rongga mulut (oral hygiene). energi.
3. Berikan diet TKTP, sajikan dalam 2. Meningkatkan kenyamanan dan
bentuk yang sesuai perkembangan selera makan.
kesehatan klien (lunak, bubur 3. Asupan kalori dan protein
kasar, nasi biasa) tinggi perlu diberikan untuk
4. Kolaborasi pemberian obat- mengimbangi status
obatan sesuai indikasi hipermetabolisme klien
(roborantia) keganasan.
5. Bila perlu, kolaborasi pemberian 4. Pemberian preparat zat besi dan
nutrisi parenteral. vitamin B12 dapat mencegah
anemia; pemberian asam folat
mungkin perlu untuk mengatasi
defisiensi karen amalbasorbsi.
5. Pemberian peroral mungkin
dihentikan sementara untuk
mengistirahatkan saluran cerna.
3. Kecemasan (uraikan tingkatannya) b/d faktor psikologis (ancaman)
perubahan status kesehatan, status sosio-ekonomi, fungsi-peran, pola
interaksi) dan rangsang simpatis (proses neoplasma).
Intervensi Rasional
1. Orientasikan klien dan orang 1. Orientasikan klien dan orang
terdekat terhadap prosedur terdekat terhadap prosedur
rutin dan aktivitas yang rutin dan aktivitas yang
diharapkan. diharapkan.
2. Eksplorasi kecemasan klien 2. Eksplorasi kecemasan klien
dan berikan umpan balik. dan berikan umpan balik.
3. Tekankan bahwa kecemasan 3. Tekankan bahwa kecemasan
adalah masalah yang lazim adalah masalah yang lazim
dialami oleh banyak orang dialami oleh banyak orang
dalam situasi klien saat ini. dalam situasi klien saat ini.
4. Ijinkan klien ditemani keluarga 4. Ijinkan klien ditemani keluarga
(significant others) selama fase (significant others) selama fase
kecemasan dan pertahankan kecemasan dan pertahankan
ketenangan lingkungan. ketenangan lingkungan.
5. Kolaborasi pemberian obat 5. Kolaborasi pemberian obat
sedatif. sedatif.
6. Pantau dan catat respon verbal 6. Pantau dan catat respon verbal
dan non verbal klien yang dan non verbal klien yang
menunjukan kecemasan. menunjukan kecemasan.

4. Koping individu tak efektif (koping menyangkal/defensif/depresi/agresi)


b/d intensitas dan pengulangan stesor melampaui ambang adaptif
(penyakit kronis, ancaman kematian, kerentanan individu, nyeri hebat,
sistem pendukung tak adekuat).
Intervensi Rasional
1. Bantu klien mengembangkan 1. Penderita kanker tahap dini
strategi pemecahan masalah dapat hidup survive dengan
yang sesuai didasarkan pada mengikuti program terapi
yang tepat dan dengan
kekuatan pribadi dan pengaturan diet dan aktivitas
pengalamannya. yang sesuai
2. Mobilisasi dukungan 2. Dukungan SO dapat
emosional dari orang lain membantu meningkatkan
(keluarga, teman, tokoh spirit klien untuk mengikuti
agama, penderita kanker program terapi.
lainnya) 3. Terapi psikiatri mungkin
3. Kolaborasi terapi diperlukan pada keadaan
medis/keperawatan psikiatri depresi/agresi yang berat dan
bila klien mengalami lama sehingga dapat
depresi/agresi yang ekstrim. memperburuk keadaan
4. Kaji fase penolakan- kesehatan klien.
penerimaan klien terhadap 4. Menilai perkembangan
penyakitnya (sesuai teori masalah klien.
Kubler-Ross)
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatanb/d kurang pemaparan dan atau kesalahan interpretasi
informasi.

Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat pengetahuan 1. Proses pembelajaran sangat
klien/orang terdekat dan dipengaruhi oleh kesiapan
kemampuan/kesiapan belajar klien. fisik dan mental klien.
2. Jelaskan tentang proses penyakit, 2. Meningkatkan pengetahuan
penyebab/faktor risiko, dan dampak klien tentang masalah yang
penyakit terhadap perubahan status dialaminya
kesehatan-sosio-ekonomi, fungsi- 3. Meningkatkan partisipasi dan
peran dan pola interaksi sosial klien. kemandirian klien untuk
3. Jelaskan tentang terapi pembedahan, mengikuti program terapi
radiasi dan kemoterapi serta efek 4. Penderita kanker yang
samping yang dapat terjadi mengikuti program terapi
yang tepat dengan status gizi
4. Tekankan pentingnya mempertahan- yang adekuat meningkatkan
kan asupan nutrisi dan cairan yang kualitas hidupnya.
adekuat.
DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. 2006. Cancer Facts and Figures 2006. Atlanta:
American Cancer Society Inc.
Anderson. 2006. A Patient’s Guide to Rectal Cancer. MD Anderson Cancer
Center. University of Texas.
Basavanthappa, B.T. 2003. Medical Surgical Nursing. New Delhi: Jaypee. 111-
134.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah.Vol. 2.
Jakarta: EGC
Dochtermen, J. et al. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC). Fourth
Edition. USA:Mosby Elsevier.
Doenges at al. 2000.Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3. Jakarta: EGC.
Herdman, T.H. 2012. Nanda International : Diagnosa Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi 2012-2014.Jakarta:EGC.
Ignatavicius, D.D. et al. 2006, Medical Surgical Nursing, A Nursing Process
Approach, 2nd edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia.
LeMone, P. et al. 2008.Medical-Surgical Nursing: Critical Thinking in Client Care.
Volume 2
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Media Aesculapius.
Otto, S. E. 2003.Buku Saku Keperawatan Oncologi. Jakarta: EGC. 1-123
Price & Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
4. Jakarta: EGC.
Samsuhidajat, R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Soeparman & Waspadji (1990), Ilmu Penyakit Dalam, Jld.II, Jakarta: BP FKUI.
Sudjatmiko. 2012. Kolon-Rektum dan Anus. Laboratorium Ilmu Bedah, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.
University IOWA. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fourth Edition.
Mosby Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai