Anda di halaman 1dari 14

BAB VI

PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian tentang Hubungan karakteristik

Perawat Dengan motivasi Kerja Di Ruang rawat Inap Rumah Sakit Kepolisian

Pusat RS. Sukanto Jakarta Tahun 2010. Pembahasan dalam penelitian ini akan

diawali dengan keterbatasan penelitian dan dilanjutkan dengan pembahasan hasil

penelitian sebagai berikut:

A. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti masih menemukan berbagai keterbatasan

penelitian. Beberapa keterbatasan penelitian yang ada sebagai berikut :

1. Keterbatasan rancangan penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan cross sectional sehingga

hubungan yang ditentukan dari variabel independen dan variabel dependen

bukanlah merupakan hubungan sebab akibat, karena penelitian dilakukan

dalam waktu bersamaan dan tanpa adanya follow up.

2. Keterbatasan waktu dan tenaga dari peneliti

Masih banyak faktor-faktor lain yang berhubungan dengan motivasi kerja

perawat di rumah sakit dan dapat dijadikan sebagai variabel bebas dalam

penelitian ini. Namun karena kemampuan penulis terbatas dalam hal waktu

dan tenaga maka variabel bebas yang digunakan terbatas, serta kegiatan work

sampling tidak dilakukan. Dan untuk mengetahui motivasi kerja perawat

dilakukan dengan pengumpuan data melalui kuisioner.

66
67

Pada sat pengumpulan data peneliti tidak bisa membatasi interaksi diantara

responden sehingga kemungkinan jawaban yang sama untuk responden tidak

bisa dihindari.

3. Keterbatasan alat pengumpul data

Pengumpulan data menggunakan kuesioner mempunyai dampak yang

sangat subyektif sehingga kebenaran data tergantung pada kejujuran dari

responden. Peneliti belum menemukan standar baku kuesioner sehingga

instrumen tersebut dibuat berdasarkan pemahaman dan pengalaman dari

peneliti sendiri yang tentunya masih terbatas sebagai peneliti pemula.

4. Keterbatasan validitas instrument penelitian

Kuesioner baru pertama kali digunakan walaupun hasil uji validitas dan

reliablitas sudah cukup baik namun baru terbatas pada satu rumah sakit

sehingga akan menjadi lebih valid apabila dilakukan uji coba pada rumah

sakit lainnya.

B. Hasil Penelitian Univariat

Pembahasan hasil penelitian univariat meliputi pembahasan tentang usia, jenis

kelamin, pendidikan, status pernikahan, masa kerja, jabatan dan motivasi

sebagai berikut:

1. Usia Responden

Umur adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau

diadakan) yang dihitung sampai dengan ulang tahun terakhir (Depdikbud,

1989). Dari hasil penelitian yang dilakukan di Ruang Rawat Inap


68

Rumkitpolpus R.S. Sukanto Jakarta Timur dari 161 responden yang diteliti

terlihat bahwa 95 (59%) responden adalah berusia ≥ 30 tahun dan 66

responden (41%) berusia < 30 tahun.

Hal ini disebabkan karena Rumah Sakit R.S. Sukanto Jakarta

Timur adalah rumah sakit negeri, sehingga perawat pelaksana di rumah

sakit tersebut sebagian besar PNS yang telah lama menjadi perawat PHL

sebelum diangkat menjadi PNS.

Hasil tersebut tidak mendukung penelitian Sujono Riyadi dan Hari

Kusnato (2007) di RSUD Dr. H. Moh. Anwar Sumenep Madura. Usia

perawat relatif berusia muda yaitu kurang 30 tahun sebanyak 83% dan

yang berusia diatas 40 tahun sebanyak 3%. Ini kemungkinan disebabkan

karena pada thaun 2004 RSD Dr. H. Moh Anwar Sumenep Madura

membuka pendaftaran tenaga honorer atau pegawai harian lepas (PHL)

besar-besaran, dan secara kebetulan juga mereka yang diterima banyak

yang masih fresh graduade dan juga berusia relatif muda. Hal ini dapat

dilihat dengan status kepegawaian perawat yang rata-rata berstatus

pegawai tidak tetap (PHL) sebanyak 86% sedangkan yang berstatus PNS

(Pegawai negeri sipil) hanya 14%.

2. Jenis Kelamin

Didalam keperawatan kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan

keperawatan mungkin berbeda berkaitan dengan ciri fisik, karakter dan

sifat yang berbeda pula, jenis kelamin adalah penggolongan responden


69

yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dari hasil penelitian yang

dilakukan di di Ruang Rawat Inap Rumkitpolpus R.S. Sukanto Jakarta

Timur proporsi jenis kelamin responden perempuan lebih dominan dengan

149 responden (92,5%) sedangkan responden laki-laki hanya 12 responden

(7,5%).

Dunia keperawatan identik dengan ibu/wanita yang lebih dikenal

dengan Mother Instic. Sehingga untuk mencari perawat yang berjenis

kelamin laki-laki sangatlah tebatas, ditambah lagi output perawat yang

dihasilkan dari perguruan tinggi yang rata-rata juga wanita lebih banyak

dibandingkan dengan laki-laki.

Hasil tersebut mendukung penelitian Sujono Riyadi dan Hari

Kusnato (2007) di RSUD Dr. H. Moh. Anwar Sumenep Madura.

Karakteristik perawat jika dilihat dari jenis kelamin paling banyak adalah

perempuan 70% dan berjenis laki-laki sebanyak 29%.

3. Pendidikan Responden
Menurut Dewan Pimpinan Persatuan Perawat Nasional Indonesia

(DPP PPNI, 1999) yang dimaksud dengan perawat adalah seseorang yang

telah menyelesaikan pendidikannya pada pendidikan formal keperawatan

minimal lulusan D3 keperawatan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan di di Ruang Rawat Inap

Rumkitpolpus R.S. Sukanto Jakarta Timur dapat dilihat bahwa responden

dengan tingkat pendidikan D3 adalah 155 responden (96,3%) sedangkan

responden dengan tingkat pendidikan S1 adalah 6 responden (3,7%).


70

Meskipun demikian pada saat ini masih ada perawat di Indonesia

lulusan SPK, oleh sebab itu sampat saat ini perawat lulusan SPK masih

dianggap sebagai perawat. Selain lulusan D3 dan SPK sejak tahun 1985

pendidikan tinggi keperawatan telah meluluskan sarjana keperawatan.

Hasil tersebut mendukung penelitian Sujono Riyadi dan Hari

Kusnato (2007) di RSUD Dr. H. Moh. Anwar Sumenep Madura

Pendidikan perawat paling besar adalah AKPER (sebanyak 91%),

sedangkan 9% lainnya masih berpendidikan SPK

4. Status Responden
Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 1 dan 2

bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaan itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (UU Perkawinan

Indonesia).

Dari hasil penelitian yang dilakukan di di Ruang Rawat Inap

Rumkitpolpus R.S. Sukanto Jakarta Timur dapat dilihat bahwa proporsi

status perkawinan 139 responden (86,3%) adalah sudah menikah dan 22

responden (13,7%) belum menikah.

5. Masa Kerja

Lama masa kerja dan pengalaman kerja akan mempengaruhi

tingkat ketrampilan dan kematangan seseorang dalam bekerja, Menurut

Schermer Horn, (1986), terdapat perbedaan dalam menghasilkan suatu


71

produk antara tenaga kerja yang masih baru atau yang belum

berpengalaman dengan masa kerja atau berpengalaman yang berarti makin

lama masa kerja seseorang maka makin berpengalaman dan makin tinggi

tingkat produktivitasnya.

Dari hasil penelitian yang dilakukan di di Ruang Rawat Inap

Rumkitpolpus R.S. Sukanto Jakarta Timur dapat dilihat bahwa proporsi

masa kerja responden atau tenaga keperawatan yang ada di RS. Kepolisian

Pusat R.S. Sukanto Jakarta antara kelompok yang mempunyai masa kerja

< 5 tahun 63 responden (39,1%) dan 98 responden (60,9%) masa kerja ≥ 5

Tahun. Hal ini disebabkan perawat di Rumkitpolpus R.S. Sukanto

sebagian besar status kepegawaiannya adalah PNS dan sebagian besar

melalui masa PHL.

6. Jabatan

Jabatan adalah wewenang tanggung jawab dalam organisasi

sehingga kewajiban, hak, status dan penghasilannya disesuaikan. Menurut

Malayu Hasibuan (2002).

Dari hasil penelitian yang dilakukan di di Ruang Rawat Inap

Rumkitpolpus R.S. Sukanto Jakarta Timur dapat dilihat bahwa 19

responden (11,8%) sebagai kepala ruangan dan 142 responden (88,2%)

sebagai perawat pelaksana. Hal ini disebabkan Kepala Ruangan pada

setiap ruang rawat inap hanya satu orang, sedangkan perawat pelaksana

jumlahnya lebih banyak.


72

7. Motivasi
Menurut pengertian Sukanto Rekso Hadi Projo (Dalam Investasi

Human Capital 2009) adalah motivasi sebagai keadaan dalam pribadi

seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegitan

tertentu yang mencapai suatu tujuan.

Sedangkan menurut Mukijat (Dalam Investasi Human Capitall

2009) motivasi adalah proses atau faktor yang mendorong orang untuk

berprilaku dengan cara tertentu. Sedangkan menurut Sordgsi Agiar (2002)

adalah daya dorong bagi seseorang untuk memberikan kontribusi yang

besar demi keberhasilan organisasi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan di di Ruang Rawat Inap

Rumkitpolpus R.S. Sukanto Jakarta Timur dapat dilihat bahwa 92

responden (57,1%) memiliki motivasi kerja yang tinggi, sedangkan 69

responden (42,9%) memiliki motivasi kerja yang rendah. Artinya sebagian

besar responden memiliki motivasi kerja yang tinggi diharapkan dapat

memberikan kontribusi yang besar pada keberhasilan rumah sakit dalam

memberikan pelayanan.

C. Hasil Penelitian Bivariat

1. Hubungan Usia dengan Motivasi Kerja

Dari hasil penelitian yang dilakukan di di Ruang Rawat Inap

Rumkitpolpus R.S. Sukanto Jakarta Timur dari 95 responden dengan usia


73

≥ 30 tahun terlihat bahwa 29 responden (30,5%) mempunyai motivasi

rendah dan 66 responden (69,5%) mempunyai motivasi kerja yang tinggi.

Dan dari 66 responden dengan usia < 30 tahun terlihat bahwa 40

responden (60,6%) memiliki motivasi kerja rendah dan 26 responden

(39,4,5%) memiliki motivasi kerja yang tinggi. Artinya yang mempunyai

motivasi kerja yang tinggi adalah responden dengan usia ≥ 30 tahun

karena lebih mempunyai pengalaman.

Umur berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan atau matoritas

perawat, yang dimaksud adalah tingkat kedewasaan teknis yang dikaitkan

dengan melaksanakan tugas-tugas teknik maupun kedewasaan psikologis.

Siagian (1995) mengatakan semakin lama bekerja atau berkarya

kedewasaan teknisnya semakin meningkat, demikian pula kedewasaan

psikologisnya, semakin lanjut usia seseorang maka diharapkan semakin

mampu menunjukan kematangan jiwa.

Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

yang bermakna antara usia responden dengan motivasi kerja tenaga

keperawatan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Kepolisian Pusat R.S.

Sukanto, Jakarta Timur.

Usia yang makin tinggi dapat menimbulkan kemampuan seseorang

mengambil keputusan semakin bijaksana, semakin mampu berfikir secara

rasional, semakin mampu mengendalikan emosi dan semakin toleransi

terhadap pandangan orang lain. Robin (diterjemahkan oleh Panjaitan,

1996)
74

2. Hubungan Jenis Kelamin dengan Motivasi Kerja

Didalam keperawatan kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan

keperawatan mungkin berbeda berkaitan dengan ciri fisik, karakter dan

sifat yang berbeda pula, jenis kelamin adalah penggolongan responden

yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan di di Ruang Rawat Inap

Rumkitpolpus R.S. Sukanto Jakarta Timur dari 12 responden laki-laki

terlihat bahwa 3 responden (25%) memiliki motivasi kerja yang rendah

dan 9 responden (75%) memiliki motivasi kerja yang tinggi. Dan dari 149

responden perempuan terlihat bahwa 66 responden (44,3%) memiliki

motivasi kerja yang rendah dan 83 responden (55,7%) memiliki motivasi

kerja yang tinggi. Bahwa secara statistik laki-laki mempunyai 0,419 kali

lebih termotivasi kerja dibandingkan perempuan, hal ini disebabkan karena

laki-laki sebagai pencari nafkah. Hal ini dikarenakan di rumkitpolpus R.S.

dalam pemberian beban tugas dan tanggung jawa tidak membedakan jenis

kelamin.

Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara jenis kelamin responden dengan motivasi

kerja tenaga keperawatan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Kepolisian

Pusat R.S. Sukanto, Jakarta Timur.

Menurut Marilyn M. Freadman (2008) setiap posisi normatif dari

kelompok keluarga dihubungkan dengan peran-peran terkait. Suami atau

Ayah diharapkan menjadi pencari uang. Peran formal yang standar


75

terdapat dalam keluarga adalah kepala rumah tangga sebagai pencari

nafkah. Dapat disimpulkan bahwa laki-laki motivasi kerjanya lebih tinggi

dibandingkan perempuan.

3. Hubungan Pendidikan dengan Motivasi

Menurut Rensis Linkert (1967) seperti dikutif oleh (Gibson, 1994)

tingkat pendidikan yang lebih tinggi pada umumnya menyebabkan orang

lebih mampu dan bersedia menerima posisi yang bertanggung jawab.

Dari hasil penelitian yang dilakukan di di Ruang Rawat Inap

Rumkitpolpus R.S. Sukanto Jakarta Timur dari 155 responden dengan

tingkat pendidikan D3 terlihat bahwa 64 responden (41,3%) memiliki

motivasi kerja yang rendah dan 91 responden (58,7%) memiliki motivasi

kerja yang tinggi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar responden

pendidikan D3 adalah laki-laki sebagaimana terlihat dalam distribusi

frekuensi hubungan jenis kelamin dan motivasi kerja dimana dari jumlah

responden laki-laki 75% memiliki motivasi yang tinggi. Dan dari 6

responden dengan tingkat pendidikan S1 terlihat bahwa 5 responden atau

(83,3%) memiliki motivasi kerja yang rendah dan 1 responden (16,7%)

memiliki motivasi kerja yang tinggi. Hal ini dikarenakan di rumkitpolpus

R. S. Sukanto penghargaan bagi responden yang berpendidikan S1 kurang

ditandai dengan kurang signifikannya penghasilan yang didapat antara

responden yang berpendidikan D3 dan responden yang berpendidikan S1.


76

Perbedaan latar belakang tingkat pendidikan keperawatan, akan

mempengaruhi pelaksanaan terhadap pemberian asuhan keperawatan yang

selalu mengacu pada kewaspadaan umum (Siagian, 1995; Djajoesman,

1996)

Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara pendidikan responden dengan motivasi

kerja tenaga keperawatan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Kepolisian

Pusat R.S. Sukanto, Jakarta Timur.

4. Hubungan Status Perkawinan dengan Motivasi Kerja

Dari hasil penelitian yang dilakukan di di Ruang Rawat Inap

Rumkitpolpus R.S. Sukanto Jakarta Timur dari 139 responden dengan

status sudah menikah terlihat bahwa 58 responden (41,7%) memiliki

motivasi kerja yang rendah dan 81 responden (58,3%) memiliki motivasi

kerja yang tinggi. Dan dari 22 responden dengan status belum menikah

terlihat bahwa 11 responden (50%) memiliki motivasi kerja yang rendah

dan 11 responden (50%) memiliki motivasi kerja yang tinggi. Hal ini

menunjukan bahwa responden yang sudah menikah memiliki motivasi

lebih tinggi dibanding yang belum menikah, karena responden yang sudah

menikah memiliki tanggungan biaya lebih tinggi dibanding yang belum

menikah.

Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara status perkawinan responden dengan


77

motivasi kerja tenaga keperawatan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit

Kepolisian Pusat R.S. Sukanto, Jakarta Timur.

Dari beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa karyawan yang

telah menikah sedikit obsesinya, pergantian atau perpindahan yang lebih

rendah dan mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi dengan

pekerjaan daripada karyawan yang belum menikah (Robin, 1996)

5. Hubungan Masa Kerja dengan Motivasi Kerja

Dari hasil penelitian yang dilakukan di di Ruang Rawat Inap

Rumkitpolpus R.S. Sukanto Jakarta Timur dari 63 responden dengan masa

kerja kurang dari 5 tahun terlihat bahwa 27 responden (42,9%) memiliki

motivasi kerja yang rendah dan 36 responden (57,1%) memiliki motivasi

kerja yang tinggi. Dan dari 98 responden dengan masa kerja lebih dari 5

tahun terlihat bahwa 42 responden (42,9%) memiliki motivasi kerja yang

rendah dan 56 responden (57,1%) memiliki motivasi kerja yang tinggi.

Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara masa kerja responden dengan motivasi

kerja tenaga keperawatan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Kepolisian

Pusat R.S. Sukanto, Jakarta Timur. Hal ini dikarenakan responden yang

masa kerjanya kurang dari 5 tahun segian besar PHL yang mempunyai

standar penghasilan rumkitpolpus. Sedangkan responden yang masa

kerjanya lebuh dari 5 tahun terjadi tingkat kejenuhan, saran dilakukan

perputaran tempat dinas untuk menghindari kejenuhan


78

Menurut Robin (diterjemahkan oleh Pujaatmaka, 1996) bahwa

kinerja masa lalu cenderung dikaitkan dengan keluarnya dalamm posisi

baru, maka senioritas itu sendiri tidaklah merupakan peramal yang baik

produktivitas dengan kata lain jika semua hal sama tidak ada alasan untuk

meyakini bahwa orang-orang yang telah lama bekerja dalam suatu

pekerjaan akan lebih baik produktivitasnya dibanding mereka yang belum

lama bekerja.

6. Hubungan Jabatan dengan Motivasi Kerja

Dari hasil penelitian yang dilakukan di di Ruang Rawat Inap

Rumkitpolpus R.S. Sukanto Jakarta Timur dari 19 responden dengan

jabatan sebagai kepala ruangan terlihat bahwa 3 responden (15,8%)

memiliki motivasi kerja yang rendah dan 16 responden (84,2%) memiliki

motivasi kerja yang tinggi. Dan dari 142 responden dengan jabatan sebagai

perawat pelaksana terlihat bahwa 66 responden (46,5%) memiliki motivasi

kerja yang rendah dan 76 responden (53,5%) memiliki motivasi kerja yang

tinggi. Hal ini disebabkan sebagian besar kepala ruangan mempunyai

motivasi kerja yang tinggi karena kepala ruangan diberikan tanggung

jawab yang lebih tinggi disamping itu mendapatkan penghasilan yang

lebih tinggi pula.

Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

yang bermakna antara jabatan responden dengan motivasi kerja tenaga


79

keperawatan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Kepolisian Pusat R.S.

Sukanto, Jakarta Timur.

Jika jabatan direalisasikan kepada karyawan yang berprestasi

tinggi, maka akan ada pendorong bagi karyawan lainnya untuk

mempertinggi motivasi kerjanya. Dengan demikian dapat ditarik

kesimpulan bahwa untuk meningkatkan produktivitas kerja perusahaan

diperlukan motivasi kerja karyawan yang tinggi dan dapat diciptakan

melalui pemenuhan kebutuhan materil dan non materil. (Malayu

Hasibuan:2002).

Anda mungkin juga menyukai