Anda di halaman 1dari 8

Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya.

Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya tidak berada
dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan.[2] Ketahanan pangan merupakan
ukuran kelentingan terhadap gangguan pada masa depan atau ketiadaan suplai pangan penting
akibat berbagai faktor seperti kekeringan, gangguan perkapalan, kelangkaan bahan bakar, ketidak
stabilan ekonomi, peperangan, dan sebagainya. Penilaian ketahanan pangan dibagi menjadi
keswadayaan atau keswasembadaan perorangan (self-sufficiency) dan ketergantungan eksternal
yang membagi serangkaian faktor risiko. Meski berbagai negara sangat menginginkan
keswadayaan secara perorangan untuk menghindari risiko kegagalan transportasi, namun hal ini
sulit dicapai di negara maju karena profesi masyarakat yang sudah sangat beragam dan tingginya
biaya produksi bahan pangan jika tidak diindustrialisasikan.[3] Kebalikannya, keswadayaan
perorangan yang tinggi tanpa perekonomian yang memadai akan membuat suatu negara
memiliki kerawanan produksi.

World Health Organization mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan, yaitu
ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah
kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. Akses pangan adalah
kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan
pangan bernutrisi. Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan
dengan benar dan tepat secara proporsional. FAO menambahkan komponen keempat, yaitu
kestabilan dari ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang panjang.[2]

Kebijakan sebuah negara dapat mempengaruhi akses masyarakat kepada bahan pangan, seperti
yang terjadi di India. Majelis tinggi India menyetujui rencana ambisius untuk memberikan
subsidi bagi dua pertiga populasi negara itu. Rancangan Undang-Undang Ketahanan Pangan ini
mengusulkan menjadikan pangan sebagai hak warga negara dan akan memberikan lima kilogram
bahan pangan berharga murah per bulan untuk 800 juta penduduk miskinnya.[4]

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ketahanan_pangan

Pengertian Ketahanan Pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak
untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam
pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari
terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi
manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa.
Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidak-
stabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan
terganggu. Kondisi pangan yang kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan
stabilitas Nasional.

Bagi Indonesia, pangan sering diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini merupakan
makanan pokok utama. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada
ketahanan pangan seperti meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi
1997/1998, yang berkembang menjadi krisis multidimensi, telah memicu kerawanan sosial yang
membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.

Nilai strategis beras juga disebabkan karena beras adalah makanan pokok paling penting.
Industri perberasan memiliki pengaruh yang besar dalam bidang ekonomi (dalam hal penyerapan
tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi perdesaan, sebagai wage good), lingkungan
(menjaga tata guna air dan kebersihan udara) dan sosial politik (sebagai perekat bangsa,
mewujudkan ketertiban dan keamanan). Beras juga merupakan sumber utama pemenuhan gizi
yang meliputi kalori, protein, lemak dan vitamin.

Dengan pertimbangan pentingnya beras tersebut, Pemerintah selalu berupaya untuk


meningkatkan ketahanan pangan terutama yang bersumber dari peningkatan produksi dalam
negeri. Pertimbangan tersebut menjadi semakin penting bagi Indonesia karena jumlah
penduduknya semakin besar dengan sebaran populasi yang luas dan cakupan geografis yang
tersebar. Untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, Indonesia memerlukan ketersediaan
pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi kecukupan konsumsi maupun
stok nasional yang cukup sesuai persyaratan operasional logistik yang luas dan tersebar.
Indonesia harus menjaga ketahanan pangannya.

Pengertian ketahanan pangan, tidak lepas dari UU No. 18/2012 tentang Pangan. Disebutkan
dalam UU tersebut bahwa Ketahanan Pangan adalah "kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara
sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan".

UU Pangan bukan hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga memperjelas dan
memperkuat pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food
soveregnity) dengan kemandirian pangan (food resilience) serta keamanan pangan (food safety).
"Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan
Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat
untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal".

"Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang
beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang
cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam,
manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat". "Keamanan Pangan adalah
kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis,
kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga
aman untuk dikonsumsi".

Definisi ketahanan pangan dalam UU No 18 tahun 2012 diatas merupakan penyempurnaan dan
"pengkayaan cakupan" dari definisi dalam UU No 7 tahun 1996 yang memasukkan "perorangan"
dan "sesuai keyakinan agama" serta "budaya" bangsa. Definisi UU No 18 tahun 2012 secara
substantif sejalan dengan definisi ketahanan pangan dari FAO yang menyatakan bahwa
ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun
ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi
kebutuhan gizi sehari-hari sesuai preferensinya.

Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi
kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilisasi nasional yang dapat meruntuhkan Pemerintah
yang sedang berkuasa. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada
ketahanan seperti kenaikan harga beras pada waktu krisis moneter, dapat memicu kerawanan
sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional. Untuk itulah, tidak salah
apabila Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi masyarakat,
baik dari produksi dalam negeri maupun dengan tambahan impor. Pemenuhan kebutuhan pangan
dan menjaga ketahanan pangan menjadi semakin penting bagi Indonesia karena jumlah
penduduknya sangat besar dengan cakupan geografis yang luas dan tersebar. Indonesia
memerlukan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi kriteria konsumsi
maupun logistik; yang mudah diakses oleh setiap orang; dan diyakini bahwa esok masih ada
pangan buat rakyat.

Ketahanan pangan kita tidak lepas dari sifat produksi komoditi pangan itu sendiri yang musiman
dan berfluktuasi karena sangat mudah dipengaruhi oleh iklim/cuaca. Perilaku produksi yang
sangat dipengaruhi iklim tersebut sangat mempengaruhi ketersediaan pangan nasional. Kalau
perilaku produksi yang rentan terhadap perubahan iklim tersebut tidak dilengkapi dengan
kebijakan pangan yang tangguh maka akan sangat merugikan, baik untuk produsen maupun
konsumen, khususnya produsen berskala produksi kecil dan konsumen berpendapatan rendah.
Karakteristik komoditi pangan yang mudah rusak, lahan produksi petani yang terbatas; sarana
dan prasarana pendukung pertanian yang kurang memadai dan lemahnya penanganan panen dan
pasca panen mendorong Pemerintah untuk melakukan intervensi dengan mewujudkan kebijakan
ketahanan pangan.

Permasalahan yang muncul lainnya di dalam distribusi. Stok pangan yang tersedia sebagian
besar di daerah produksi harus didistribusikan antar daerah/antar pulau. Namun tidak jarang
sarana dan prasaran distribusi masih terbatas dan kadang lebih mahal daripada distribusi dari luar
negeri (kasus pengiriman sapi dari Nusa Tenggara ke Jakarta yang lebih mahal daripada dari
Australia ke Jakarta; atau biaya pengiriman beras dari Surabaya ke Medan yang lebih mahal dari
pada pengiriman dari Vietnam ke Jakarta).

Dari sisi tataniaga, sudah menjadi rahasia umum akan panjangnya rantai pasokan yang
mengakibatkan perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen yang cukup besar dengan
penguasaan perdagangan pangan pada kelompok tertentu (monopoli, kartel dan oligopoli).
Sedangkan dari sisi konsumsi, pangan merupakan pengeluaran terbesar bagi rumah tangga (di
atas 50% dari jumlah pengeluaran). Yang disayangkan adalah fenomena substitusi pangan pokok
dari pangan lokal ke bahan pangan impor.

Dengan pertimbangan permasalahan pangan tersebut di atas maka kebijaksanaan pangan


nasional harus dapat mengakomodasikan dan menyeimbangkan antara aspek
penawaran/produksi dan permintaan. Pengelolaan kedua aspek tersebut harus mampu
mewujudkan ketahanan pangan nasional yang tangguh menghadapi segala gejolak.
Pengelolaannya harus dilakukan dengan optimal mengingat kedua aspek tersebut dapat tidak
sejalan atau bertolak belakang. (@2014)

http://www.bulog.co.id/ketahananpangan.php

Pertanian berkelanjutan adalah gerakan pertanian menggunakan prinsip ekologi, studi hubungan
antara organisme dan lingkungannya.[1] Pertanian berkelanjutan telah didefinisikan sebagai
sebuah sistem terintegrasi antara praktik produksi tanaman dan hewan dalam sebuah lokasi dan
dalam jangka panjang memiliki fungsi sebagai berikut:[2]

Memenuhi kebutuhan pangan dan serat manusia

Meningkatkan kualitas lingkungan dan sumber daya alam berdasarkan kebutuhan ekonomi
pertanian

Menggunakan sumber daya alam tidak terbarukan secara sangat efisien

Menggunakan sumber daya yang tersedia di lahan pertanian secara terintegrasi, dan
memanfaatkan pengendalian dan siklus biologis jika memungkinkan

Meningkatkan kualitas hidup petani dan masyarakat secara keseluruhan

Namun tahap menuju pertanian berkelanjutan seringkali dipandang sebagai sebuah tahapan dan
bukan sebagai akhir. Beberapa menganggap bahwa pertanian berkelanjutan yang sebenarnya
adalah yang berkelanjutan secara ekonomi yang dicapai dengan: penggunaan energi yang lebih
sedikit, jejak ekologi yang minimal, barang berkemasan yang lebih sedikit, pembelian lokal yang
meluas dengan rantai pasokan pangan singkat, bahan pangan terproses yang lebih sedikit, kebun
komunitas dan kebun rumah yang lebih banyak, dan sebagainya.[3][4][5]

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pertanian_berkelanjutan

Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Informasi Publik Kementerian Pertanian (Kementan)
Agung Hendriadi mengatakan bahwa Kementan telah menyusun kebijakan pembangunan
pertanian yang berkelanjutan.
Hal itu sesuai dengan misi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menempatkan
kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani sebagai tujuan akhir dan satu satunya tujuan dalam
pembangunan pertanian.

Apa saja isi kebijakan pembangunan pertanian yang berkelanjutan yang selesai disusun
Kementan ini?

Pertama, identifikasi parameter (kemampuan) yang berpengaruh yang dapat digerakkan oleh
Kementan, maupun yang perlu dukungan sektor lain.

Kebijakan kedua, yakni daya ungkit dan sensitifitas masing-masing parameter terhadap
pencapaian tujuan berdasarkan analisis sensitifitas.

Ketiga, yakni kajian dampak dan efek ganda dari kebijakan yang dirumuskan, dari pendekatan
kesisteman.

Secara berturut-turut meliputi rehabilitasi infrastruktur dan sarana seperti alsintan, pupuk, benih,
pestisida. Serta, pendampingan dan penguatan sumber daya manusia.

Keempat, penanganan pasca panen, dan pengendalian harga adalah parameter pengungkit yang
mendapat prioritas dalam penyusunan program terobosan yang disesuaikan dengan kebutuhan
lapang.

Dari data Kementan, setelah dua tahun berjalan tahun pemerintahan Joko Widodo, program
terobosan tersebut telah diimplementasikan melalui kerja sama dengan sektor lain.
Misalnya saja, program tiga juta hektar infrastruktur irigasi telah direhabilitasi, 180.000 unit alat
sistim pertanian telah diadakan, embung sebanyak 3.771 unit telah dibangun, bantuan benih dan
pupuk untuk tujuh juta hektar.

"Kebijakan lain, ada juga pengendalian pasca panen dan harga melalui pendampingan intensif,
Asuransi Usaha Tani, kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), dan pemangkasan rantai
distribusi melalui toko tani indonesia dan rumah pangan kita," kata Agung melalui rilis ke
Kompas.com.

http://ekonomi.kompas.com/read/2017/03/17/084803126/ini.kebijakan.pembangunan.pertanian.b
erkelanjutan.dari.kementan

eraturan Pemerintah no 12 tahun 2012 yang dikeluarkan tanggal 9 Januari 2012 tentang Insentif
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Semoga peraturan ini bukan hanya
peraturan yang dipahami oleh satu pihak namun tidak dipahami oleh pihak lain. Artinya bahwa
peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah ini harus menjadi acuan peraturan-peraturan lain
yang terkait. Baik terkait langsung maupun tidak langsung.

Sektor pertanian dijadikan sebagai dasar (backbone) dari pembangunan nasional sudah
seharusnya dilakukan sejak dulu. Untuk menyongsong kebangkitan pembangunan dibidang
pertanian dalam jangka panjang ada satu trigger yang harus segera disosialisasikan. Apalagi
kalau bukan sistem pertanian berkelanjutan.

Dalam definisi umum pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan


sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat
diperbaharui (unrenewable resources). Yang juga tidak boleh dilupakan adalah membangun
sistem organisasi masyarakat dan pengembangan modal sosial.

Pemerintah perlu membangun alur kerja yang jelas berdasar perencanaan yang terukur dan
mencakup output dalam jangka pendek dan jangka panjang. Penetapan strategi yang tepat dan
penuh perhitungan dalam pengembangan sistem tentunya harus melibatkan banyak pihak. Posisi
masyarakat atau petani yang menjadi ujung tombak pelaksanaan dilapangan sudah tidak pantas
lagi dijadikan obyek. Mereka adalah subjek sebagaimana tataran pembuat peraturan.
Pertanian berkelanjutan tidak saja berbicara masalah peningkatan hasil panen atau produksi
komoditi, diversivikasi pangan, penyiapan infrastruktur. Namun secara jelas bahwa pertanian
berkelanjutan ini juga harus bisa menjamin ketahan pangan bagi rakyat dan bangsanya.

Merencanakan dan melakukan program pertanian berkelanjutan ini juga memerlukan upaya yang
serius. Agar bisa terlaksana dengan baik, sudah saatnya pemerintah menyiapakan sarana dan
prasarana yang diperlukan. Jauh akan lebih baik pemerintah juga menyiapkan insentif yang bisa
diberikan kepada masyarakat, petani dan pihak-pihak yang terkait langsung.

Pemerintah wajib berinvestasi menyediakan kebijakan yang mendorong pengelolaan pertanian


ke arah yang berkelanjutan. Semua pihak siap membantu pemerintah mengurangi biaya sosial
dan lingkungan yang tidak terduga dalam jangka panjang. Pertanian Sehat Indonesia yang juga
berkhitmat didalam pembangunan pertanian Indonesia juga menyiapkan seluruh perangkatnya
untuk turut berkomitmen mambangun pertanian Indonesia. [JO]

https://pertaniansehat.com/read/2012/06/25/membangun-pertanian-berkelanjutan-di-
indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai