Anda di halaman 1dari 65

LAPORAN KASUS

OSTEOARTHRITIS, DISPEPSIA,
DAN INFEKSI SALURAN KEMIH

Oleh
dr. Arief Purwodito

Pembimbing
dr. Aprillia Maya Putri S., MARS

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2017

0
Nama Peserta dr. Arief Purwodito
Nama Wahana Puskesmas Kecamatan Cilincing
Topik Osteoarthritis, Dyspepsia, Infeksi Saluran Kemih
Tanggal Kasus 21 November 2017 Tanggal Presentasi Desember 2017
Nama Pasien Ny. W
Nama Pendamping dr. Aprillia Maya Putri
No. Rekam Medis 29101
Tempat Presentasi Puskesmas Kecamatan Cilincing
Obyektif Presentasi :
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Ibu Hamil
Wanita, usia 50 tahun, keluhan nyeri pada lutut sejak 2 bulan sebelum datang ke
Deskripsi
Poliklinik Umum Puskesmas Kecamatan Cilincing.
Mengetahui tanda dan gejala untuk mendiagnosis serta menatalaksana Osteoarthritis,
Tujuan
dispepsia, dan infeksi Saluran Kemih
Bahan Bahasan  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Cara Membahas  Diskusi  Presentasi dan Diskusi  Email  Pos

1
BAB I

LAPORAN KASUS

I.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. W
No Rekam Medis : P317506017002231
Jenis kelamin : Wanita
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : Sekolah Dasar
Status pernikahan : Menikah
Alamat : Komplek Rawa Malang Gg. 4 RT 10/RW 09
Usia : 50 tahun
Tgl Pemeriksaan : 21 September 2017, pukul 13.00 WIB

I.2. ANAMNESIS (12 Juni 2017)

A. Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada lutut sejak 2 bulan
sebelum datang ke Poliklinik Umum Puskesmas Kecamatan Cilincing.

B. Keluhan Tambahan :
Pasien juga menngeluhkan nyeri ulu hati, terkadang disertai mual
sehingga mengganggu napsu makan yang dirasakan hilang timbul
sejak 1 minggu yang lalu. Selain itu dirasakan pasien sering merasa
ingin BAK tetapi saat BAK sedikit dan dirasakan nyeri saat BAK.

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan nyeri lutut dirasakan sejak 2 bulan yang lalu, awalnya
keluhan nyeri lebih dirasakan pada lutut sebelah kanan, lalu seiring
berjalannya waktu lutut kiri juga mulai terasa nyeri. Nyeri dirasakan pasien
seperti ditusuk-tusuk. Nyeri tersebut juga tidak menghilang dengan kompres,
minyak urut, maupun obat pengurang rasa sakit yang dibeli pasien. Nyeri semakin
memberat saat pasien melipat lututnya dan menggerakkan kakinya tetapi sedikit
berkurang dengan istirahat. Keluhan nyeri tidak dirasakan di tempat lain seperti
sendi bahu, siku, panggul, ataupun tumit. Nyeri juga tidak dirasakan berpindah-
pindah, keluhan bengkak pada jari-jari tangan atau kaki disangkal. Awalnya, pasien
mengaku mendapatkan keluhan nyeri dan sulit berjalan ini ketika pasien ingin

2
beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Ketika akan berdiri, pasien
merasakan kedua kakinya sangat nyeri dan sulit untuk digerakkan hingga pasien
hampir terjatuh ke lantai. Pasien mengakatan terkadang saat bangun tidur lututnya
kaku kurang lebih tidak sampai 5 menit dapat digerakan kembali walaupun terasa
nyeri.
Sebenarnya, pasien sudah lama merasakan nyeri pada kedua lututnya ini yaitu
selama ± 6 bulan SMRS, namun perlahan dirasa semakin memberat. Keluhan pasien
ini menyebabkan kesulitan dalam mengerjakan aktifitas sehari-hari. Pasien mengaku
sudah pernah berobat ke alternatif (dipijat) dan mengkonsumsi obat yang dibeli di
apotek untuk meredakan keluhan nyeri pada lututnya, hanya saja pasien lupa nama
obatnya. Pasien juga mengaku bahwa sebelum sakit selama ± 6 bulan ini, pasien
masih sering melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu dan memasak, tetapi
semenjak kedua lututnya terasa nyeri pasien mulai terhambat dalam melakukan
aktifitas tetapi tetap mencoba menjalani seperti biasa.
Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah nyeri bagian ulu hati, sudah
dirasakan 3 hari ini, keluhan disertai mual dan begah, pasien mengaku memiliki
riwayat sakit lambung, sudah pernah berobat dan jarang kambuh sejak lebih dari 1
tahun. Pasien mengatakan rasa nyeri ulu hati timbul jika pasien terlambat makan,
dan jika pasien makan maka nyeri sedikit berkurang tetapi malah menjadi terasa
begah dan tidak nyaman pada perut pasien. Hal-hal lain yang dapat memicu
timbulnya gejala nyeri ulu hati seperti stress psikis ataupun fisik disangkal oleh
pasien. Konsumsi makanan-makanan pedas atau asam juga disangkal. Keluhan
BAB cair disangkal, keluar darah saat BAB juga disangkal. Walaupun pasien mual,
tapi tidak pernah merasakan rasa terbakar sampai ke dada ataupun tenggorokan.
Pasien memiliki kebiasaan makan sehari 3 kali dengan porsi cukup dan tidak
mengikuti program diet atau penurunan berat badan.
Selain itu 2 hari ini pasien mengeluhkan BAK sedikit, dan terasa anyang-
anyangan, keluhan perubahan warna kemerahan pada urine disangkal, rasa berpasir
atau keluar batu saat BAK juga disangkal. Pasien mengatakan kesulitan BAK tidak
dipengaruhi dengan perubahan posisi. Nyeri pinggang juga disangkal. Terkadang
terasa nyeri saat BAK disekitar tempat keluarnya urine. Keluhan ini tidak disertai
demam.

D. Riwayat Pengobatan

3
Keluhan nyeri lutut sudah sering dirasakan, pasien sering membeli
obat di apotek untuk menghilangkan nyeri pada lututnya tetapi pasien
mengatakan lupa nama obat-obatan yg di konsumsinya, selain itu pasien
juga sudah pernah mencoba di urut.
Keluhan nyeri ulu hati dan begah terasa berkurang jika pasien
tempelkan botol berisi air hangat ke perut nya, Pasien pernah berobat ke
Puskesmas Kecamatan Cilincing sebelumnya, dengan keluhan nyeri lutut
dan nyeri ulu hati, dan mendapatkan obat-obatan antara lain : meloxicam,
ranitidine, antasida, dan omeprazole. Untuk keluhan gangguan BAK pasien
pernah membeli obat sendiri untuk melancarkan BAK, obat tersebut berupa
furosemide.

E. Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan nyeri lutut dan ulu hati sudah pernah dialami pasien
sebelumnya. Keluhan gangguan BAK belum pernah dialami selain saat
ini. Pasien belum pernah dirawat atas indikasi apapun. Riwayat alergi
makanan, alergi obat, asma, kencing manis, jantung dan paru disangkal,
riwayat batuk lama disangkal. Riwayat trauma disangkal.

F. Riwayat Keluarga
Riwayat penyakit hipertensi, jantung, paru, kencing manis, asma,
ataupun alergi di dalam keluarga disangkal. Riwayat sakit serupa
disangkal.

G. Riwayat Pekerjaan dan Sosial


Pasien saat ini bekerja sebagai penjual makanan dan minuman di
sekitar rumahnya, pekerjaan ini dilakukan saat sore hari sampai malam. Pada
pagi hari pasien mengerjakan pekerjaan rumah dan menyiapkan bahan untuk
berjualan di sore hari nya.

Keseharian pasien makan 3 kali sehari dengan nasi, lauk pauk, dan
sayur mayur yang matang. Variasi makanan tidak terlalu beragam. Lauk lebih
sering telur dan ikan, untuk ayam, ataupun daging pasien jarang
mengkonsumsinya, tetapi untuk sayuran setiap hari, kadang disertai buah.
Pasien jarang berolahraga, sejak dulu muda pun tidak pernah ada kegiatan

4
olahraga rutin.

H. Penilaian Status Sosial


1. Lingkungan Tempat Tinggal
Pasien tinggal di rumah milik sendiri bersama suami dan
dua anaknya. Total penghuni rumah 4 orang. Lingkungan rumah cukup
padat penduduk. Tersedia air bersih menggunakan pam dan tempat
pembuangan sampah. Rumah pasien terletak di tepi rawa, bangunan
menggunakan kayu untuk menyangga rumah berada diatas sebagian
air. Lingkunan tampak kuranh higienis karena dekat dengan kandang
unggas seperti ayam dan bebek milik tetangga pasien. Rumah pasien
tidak memiliki WC yang layak, hanya disediakan sebuah bilik untuk
BAK atau BAB tanpa penampung, sehingga pembuangan limbah
langsung ke rawa.

WC

Dapur dan Penyimpanan Gudang berisi


Bahan Makanan barang-barang

Ruang Keluarga / Kamar Ruang Ganti,


Tidur Lemari Baju

Kamar Mandi
Gambar I.1. Denah Rumah

2. Genogram

Gambar 1.2 genogram

6
I. 3. PEMERIKSAAN FISIK (21 Nov 2017)
Keadaan Umum dan Vital Sign
Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E4 V5 M6)
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit, regular
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,5 °C
Berat Badan : 62 kg
Tinggi Badan : 150cm
Keadaan Gizi : IMT = 27,5 (Obese Gr. I)
Mobilitas : Sedikit
Aspek Kejiwaan : Wajar
VAS : 7/10

b. Status Generalis
Kepala: normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
 Mata : ca -/- si -/-
 Telinga : sekret (-) nyeri tekan tragus (-)
 Hidung : deformitas (-) deviasi septum (-) sekret (-)
 Mulut : mukosa lembab, sianosis (-)
 Leher : KGB membesar (-)
7
Thoraks:
 Jantung :
a. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus kordis teraba, tidak kuat angkat, terdapat
pada sela iga 5 garis midclavicula
c. Perkusi : Redup, batas jantung normal
d. Auskultasi : Suara jantung I dan II regular, tidak
terdapat gallop dan murmur. Takikardi.
reguler
 Paru :
a. Inspeksi : Simetris
b. Palpasi : Fremitus taktil kanan dan kiri simetris
c. Perkusi : Sonor
d. Auskultasi : Nafas vesikuler, tidak terdapat suara nafas
tambahan, rh -/- wh -/-
Abdomen:
a. Inspeksi : Simetris, bulat (cembung)
b. Auskultasi : Bising usus normal terdengar di seluruh kuadran
abdomen
1. Palpasi :
a. Tidak terdapat ascites
b. Hepar dan lien tidak teraba
c. Terdapat nyeri tekan epigastrium
d. Terdapar nyeri tekan suprapubik
e. Vesika Urinaria tidak teraba penuh
2. Perkusi : timpani. nyeri ketuk CVA : - / -

Ekstremitas:

1) Ekstremitas superior
Dekstra
Pergerakan motorik dalam batas normal, tanda-tanda inflamasi (-), oedem
(-), eritem (-), CRT < 3 detik, clubbing finger (-), kuku nekrosis (-), akral
hangat (+), deformitas (-).
Sinistra
Pergerakan motorik dalam batas normal, tanda-tanda inflamasi (-), oedem
(-), eritem (-), CRT < 3 detik, clubbing finger (-), kuku nekrosis (-), akral
hangat (+), deformitas (-).

8
2) Ekstremitas inferior
Dekstra
Pergerakan motorik sendi lutut terbatas (-), tanda-tanda inflamasi
sendi lutut (-), oedem sendi lutut (-), deformitas sendi lutut (-),
krepitasi sendi lutut (+), nyeri gerak dan tekan (+), hiperemi (-), kuku
nekrosis (-), akral hangat (+).

Sinistra
Pergerakan motorik sendi lutut terbatas (-), tanda-tanda inflamasi
sendi lutut (-), oedem sendi lutut (-), deformitas sendi lutut (-),
krepitasi sendi lutut (+), nyeri gerak dan tekan (+), hiperemi (-), kuku
nekrosis (-), akral hangat (+).

c. Status Neurologi
1. MENINGEAL SIGN :
a. Kaku Kuduk : -
b. Kernig : -
c. Brudzinski I-IV : -
2. NERVUS CRANIALIS :
i. N. Olfaktorius (N. I) : dalam batas normal
ii. N. Optikus (N. II)
a. Tajam Penglihatan : tidak dilakukan
b. Lapang pandang (visual field): dalam batas normal
c. Warna : dalam batas normal
d. Funduskopi : tidak dilakukan
iii. N. okulomotorius, troklearis, abducen (N. III,IV,VI)
1. Kedudukan bola mata saat diam : dalam batas normal
2. Gerakan bola mata : dalam batas normal
3. Pupil:
a. Bentuk, lebar, perbedaan lebar : dalam batas normal
b.Reaksi cahaya langsung dan konsensuil : +/+
c. Reaksi akomodasi dan konvergensi : dalam
batas normal
iv. N. Trigeminus (N. V)
a. Sensorik : tidak dilakukan
b. Motorik :
1. Merapatkan gigi : dalam batas normal
2. Buka mulut : dalam batas normal
3. Menggigit tongue spatel kayu: tidak dilakukan
4. Menggerakkan rahang : dalam batas normal

c. Refleks :
1. Maseter /mandibular : dalam batas normal
2. Kornea : tidak dilakukan
9
v. N. Facialis (N. VII)
a. Sensorik : dalam batas normal
b. Motorik
1. Kondisi diam : simetris
2. Kondisi bergerak : dalam batas normal
c. Sensorik khusus
1. Lakrimasi : tidak dilakukan
2. Refleks stapedius : tidak dilakukan
3. Pengecapan 2/3 anterior lidah : tidak dilakukan
vi. N. Statoakustikus (N. VIII)
a. Suara bisik : dalam batas normal
b. Jentikan jari : dalam batas normal
vii.N. Glosopharingeus, Vagus (N.IX, X)
a. Inspeksi oropharing keadaan istirahat : uvula simetris
b. Inspeksi oropharing saat berfonasi : tidak dilakukan
c. Refleks : muntah (+), batuk (+)
d. Sensorik :
1. Pengecapan 1/3 belakang lidah : tidak dilakukan
2. Suara serak atau parau : (-)
3. Menelan : Sulit menelan air atau cairan dibandingkan
padat: (-)
viii. N. Acesorius (N.XI)
a. Kekuatan m. trapezius : dalam batas normal
b. Kekuatan m. sternokleidomastoideus : dalam batas normal
ix. N. hipoglosus (N. XII)
a. Kondisi diam : dalam batas normal
b. Kondisi bergerak : dalam batas normal

3. KEKUATAN MOTORIK :
a. Observasi : dalam batas normal
b. Kekuatan otot : dalam batas normal 5/5/5/5
4. KEKUATAN SENSORIK
a. Eksteroseptik / protopatik (nyeri/suhu, raba halus/kasar) :
dalam batas normal
b. Proprioseptik (gerak/posisi dan tekan) : dalam batas
normal
5. REFLEKS FISIOLOGIS
a. Refleks Superficial
1. Dinding perut /BHR : tidak dilakukan
b. Refleks tendon / periostenum :
1. BPR / Biceps : + / +
2. TPR / Tricep : + / +
3. KPR / Patella : Tidak dilakukan
4. APR / Achilles : + / +
5. Klonus :
i. Lutut / patella : - / -
ii. Kaki / ankle : - / -

6. REFLEKS PATOLOGIS
a. Babinski :-/-
10
b. Chaddock :-/-
c. Oppenheim :-/-
d. Gordon :-/-
e. Schaeffer :-/-
f. Hoffman :-/-
g. Tromner :-/-
7. REFLEKS PRIMITIF
a. Grasp refleks :-/-
b. Palmo-mental refleks : - / -
8. PEMERIKSAAN SEREBELLUM
a. Koordinasi:
1. Asinergia /disinergia : (-)
2. Diadokinesia : (-)
b. Tes memelihara sikap :
1. Rebound phenomenon : dalam batas normal
2. Tes lengan lurus : dalam batas normal
c. Keseimbangan
1. Sikap duduk : dalam batas normal
2. Sikap berdiri :
o - Wide base / broad base stance : dbn
o - Modifikasi Romberg : dbn
d. Berjalan / gait :
1. Tendem walking : dalam batas normal
2. Berjalan maju-mundur : dalam batas normal
3. Lari ditempat : dalam batas normal
e. Tonus : DBN
f. Tremor: (-)
9. TES SENDI SACRO-ILIACA
a. Patrick’s : -/-
b. Contra patrick’s : -/-
10. TES PROVOKASI NERVUS ISCHIADICUS
a. Laseque : +/-
b. Sicard’s : -/-
c. Bragard’s : -/-
d. Door bell sign : +/-
11. TES RANGE OF MOVEMENT SPINAL
a. Ekstensi ke belakang : nyeri (-)
b. Fleksi ke depan : nyeri (-)

b. Status Lokalisata
1. et regio Genu Dekstra dan Sinistra:
a. Look : - Tidak Tampak edema
- Tidak tampak hiperemis
- tidak terlihat deformitas
b. Feel : - nyeri tekan (+)

11
- Undulasi (-)
- Teraba sedikit hangat
c. Move : range of movement terbatas
- fleksi Genu : nyeri (+)
- ekstensi Genu : nyeri (-)
- Ekstensi genu nyeri saat berdiri
Pemeriksaan Khusus :
Valgus Test (-), Valrus Test (-)
Anterior Drawer Test (-)
Posterior Drawer Test (-)

Pemeriksaan Penunjang :
1. Darah Rutin
Hb : 13,3 g/dL
Leukosit : 9700
Hematokrit : 39 %
Trombosit : 246.000
GDS : 97

2. Urine Lengkap
Makroskopis :
Warna : Kuning
Ketajaman : Jernih
pH : 6,0
Berat Jenis : 1020
Protein : (-)
Nitrit : (-)
Darah Samar : (-)
Mikroskopis :
Leukosit : 1-3/LPB
Eritrosit : 1-2/LPB
Epitel : (+)
Silinder : (-)
Kristal : (-)
Bakteri : (+)

I. 3 Resume
Wanita 50 Tahun datang dengan gejala nyeri pada kedua lututnya yang
dirasakan bertambah nyeri sejak 2 bulan ini. Nyeri dirasakan pasien seperti
berdenyut dan tertusuk jarum. Nyeri tersebut juga tidak menghilang dengan
kompres, minyak urut, maupun obat pengurang rasa sakit. Pasien mengaku sudah
pernah berobat ke alternatif (dipijat) dan mengkonsumsi obat yang dibeli di apotek
untuk meredakan keluhan nyeri pada lututnya, hanya saja pasien lupa nama obatnya.
Pasien juga mengaku bahwa sebelum sakit selama ± 1 tahun ini, pasien masih sering
12
melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu dan memasak, tetapi semenjak kedua
lututnya terasa nyeri pasien mulai terhambat dalam melakukan aktifitas tetapi tetap
mencoba menjalani seperti biasa.
Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah nyeri bagian ulu hati, sudah
dirasakan 3 hari ini, keluhan disertai mual dan begah, pasien mengaku memiliki
riwayat sakit lambung, sudah pernah berobat dan jarang kambuh sejak lebih dari 1
tahun. Pasien memiliki kebiasaan makan sehari 3 kali dengan porsi cukup dan tidak
mengikuti program diet atau penurunan berat badan. Selain itu 2 hari ini pasien
mengeluhkan BAK sedikit, dan terasa anyang-anyangan, keluhan perubahan warna
kemerahan pada urine disangkal, rasa berpasir atau keluar batu saat BAK juga
disangkal. Pasien mengatakan kesulitan BAK tidak dipengaruhi dengan perubahan
posisi. Nyeri pinggang juga disangkal. Terkadang terasa nyeri saat BAK disekitar
tempat keluarnya urine. pasien mengaku tidak demam.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keterbatasan pada ROM kedua sendi lutut,
nyeri saat dilakukan fleksi, nyeri saat ekstensi dengan beban (berdiri), krepitasi (+),
edema (-), dan tidak teraba hangat. Pemeriksaan Abdomen didapatkan nyeri tekan
epigastrium (+), nyeri tekan Suprapubik (+), dan tidak didapatkan nyeri ketuk CVA.
Pasien pernah berobat ke Puskesmas Kecamatan Cilincing
sebelumnya, dengan keluhan nyeri lutut dan nyeri ulu hati, dan
mendapatkan obat-obatan antara lain : meloxicam, ranitidine, antasida, dan
omeprazole.

E. Diagnosis Kerja:
- Osteoarthritis
- Dispepsia
- Infeksi Saluran Kemih

F. Diagnosis Banding:
- Rheumatoid Arthritis
- Gout Arthritis
- Gastritis erosif
13
- Irritable Bowel Syndrome
- Urolithiasis
- Cystitis

G. Tatalaksana
a. Medikamentosa
 Meloxicam 2 x tab 7,5 mg PO pc prn
 Ranitidine 2 x tab 150 mg PO
 Antasida 3 x tab PO ac
 Ciprofloxacin 2 x tab 500 mg PO pc selama 3 hari

b. Non Medikamentosa
 Edukasi mengurangi aktivitas yang menggunakan lutut sebagai tumpuan
berat badan seperti naik turun tangga, dan gerakan dari jongkok ke
berdiri.
 Edukasi mengurangi berat badan secara bertahap
 Edukasi bahwa obat-obatan yang diberikan hanya sebuah upaya untuk
mengurangi rasa sakit bukan menghilangkan penyakitnya.
 Edukasi tidak boleh angkat berat, baik itu angkat gallon ataupun angkat-
angkat makanan.
 Edukasi posisi yang baik untuk kegiatan dari jongkok ke bediri seperti
mencuci, BAB, BAK, dll yaitu menggunakan pegangan sehingga beban
tidak tertumpu di lutut.
 Edukasi menjaga pola makan tetap teratur, dan menghindari makanan
yang memicu nyeri perut seperti pedas, asam, kopi, dll.
 Menganjurkan perbaikan toilet sehingga kebersihan dan sanitasi lebih
terjaga.
 Menganjurkan penggunaan air bersih terutama untuk BAB dan BAK.

H. PROGNOSIS Osteoarthritis
 Quo ad Vitam : ad bonam
 Quo ad Fungsional : dubia
 Quo ad Sanationam : dubia

I. PROGNOSIS Infeksi Saluran Kemih


 Quo ad Vitam : ad bonam
 Quo ad Fungsional : ad bonam
 Quo ad Sanationam : dubia

14
J. PROGNOSIS Dispepsia
 Quo ad Vitam : ad bonam
 Quo ad Fungsional : ad bonam
 Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

I. 4 FOLLOW UP

Hari/Tanggal/ Hasil Pemeriksaan Instruksi


Jam
24/11/2017 S : Setelah minum obat keluhan nyeri TX
Jam 13.00 berkurang, nyeri ulu hati dan rasa begah juga - Meloxicam 2 x tab 7,5 mg PO pc
hilang, tetapi keluhan BAK masih dirasakan prn
sedikit. demam (-) -Ranitidine 2 x tab 150 mg PO
O: KU/KS : tampak sakit ringan / CM -Antasida 3 x tab PO ac
VS : TD : 115/80 mmhg Ciprofloxacin 2 x tab 500 mg
N : 84x/menit - dilarang membawa angkat berat
R : 20x/menit dan posisi mengambil barang harus
S : 36.7o C jongkok dulu tidak boleh sambil
VAS : 3 posisi rukuk
Kepala : normochepal - edukasi diet menurunkan bb
Mata : CA –/–, SI –/–
Hidung: rinorhe (-)
Thorax : Simetris, statis & dinamis,

15
retraksi (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-
Cor : SI, S2 regular, murmur (–),
gallop (–)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat (+)
Edema (-)
St. Lokalis:
a/ Look :
- Tidak Tampak edema
- Tidak tampak hiperemi
- tidak terlihat deformitas

Feel : - nyeri tekan (+)


- Krepitasi (+)

Move : range of movement terbatas


- fleksi Genu : nyeri (+)
- ekstensi Genu : nyeri (-)
- Ekstensi genu nyeri saat berdiri

A : OA, DISPEPSIA, ISK

01/12/2017 S : Keluhan nyeri berkurang, nyeri ulu hati Planning:


Jam 13.30 sudah tidak dirasakan, tetapi keluhan BAK TX
masih dirasakan sedikit, sering terasa ingin - Meloxicam 2 x tab 7,5 mg PO pc
kencing tetapi keluar hanya sedikit. demam (-) prn
O: KU/KS : tampak sakit ringan / CM -Ranitidine 2 x tab 150 mg PO
VS : TD : 110/80 mmhg -Antasida 3 x tab PO ac
N : 84x/menit -dilarang membawa angkat berat
R : 20x/menit dan posisi mengambil barang harus
S : 36.7o jongkok dulu tidak boleh sambil

16
Kepala : normochepal posisi rukuk
Mata : CA –/–, SI –/– - edukasi diet menurunkan bb
Hidung: rinorhe (-) -Edukasi menjaga sanitasi dan
Thorax : Simetris, statis & dinamis, higienitas daerah genital pada saat
retraksi (-) BAK ataupun BAB
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-
Cor : SI, S2 regular, murmur (–),
gallop (–)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat (+)
Edema (-)
St. Lokalis:
a/ Look :
- Tidak Tampak edema
- Tidak tampak hiperemi
- tidak terlihat deformitas

Feel : - nyeri tekan (-)


- Krepitasi (+)

Move : range of movement terbatas


- fleksi Genu : nyeri (+)
- ekstensi Genu : nyeri (-)
- Ekstensi genu nyeri saat berdiri

8/12/2017 S : Keluhan nyeri tidak mengganggu kegiatan Planning:


13.00 sehari2, nyeri ulu hati sudah tidak dirasakan, TX
BAK sudah normal tidak ada keluhan lagi. -Edukasi dilarang membawa angkat
O: KU/KS : tampak sakit ringan / CM berat dan posisi mengambil barang
VS : TD : 110/80 mmhg harus jongkok dulu tidak boleh
N : 84x/menit sambil posisi rukuk
R : 20x/menit - edukasi diet menurunkan bb
S : 36.7o -Edukasi menjaga sanitasi dan

17
BB: 60kg higienitas daerah genital pada saat
Kepala : normochepal BAK ataupun BAB
Mata : CA –/–, SI –/– -Anjuran kontrol jika ada keluhan
Hidung: rinorhe (-)
Thorax : Simetris, statis & dinamis,
retraksi (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+,
Rh -/- , Wh -/-
Cor : SI, S2 regular, murmur (–),
gallop (–)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat (+)
Edema (-)
St. Lokalis:
a/ Look :
- Tidak Tampak edema
- Tidak tampak hiperemi
- tidak terlihat deformitas

Feel : - nyeri tekan (-)


- Krepitasi (+)

Move : range of movement terbatas


- fleksi Genu : nyeri (+)
- ekstensi Genu : nyeri (-)
- Ekstensi genu nyeri saat berdiri

18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

OSTEO ARHTRITIS
I. Definisi
Osteoarthritis (OA, dikenal juga sebagai arthritis degeneratif, penyakit degeneratif
sendi) merupakan penyakit sendi degeneratif yang mengenai sendi-sendi penumpu
berat badan dengan gambaran patologis yang berupa kerusakan kartilago sendi, dimana
terjadi proses degradasi interaktif sendi yang kompleks, terdiri dari proses perbaikan
pada kartilago, tulang dan sinovium diikuti komponen sekunder proses inflamasi. 1,2
II. Epidemiologi
Osteoartritis merupakan penyakit sendi yang paling banyak ditemukan di dunia,
termasuk di Indonesia. Bahkan sejak tahun 2001 hingga 2010 dicanangkan sebagai
dekade penyakit tulang dan sendi di seluruh dunia. 5 Penyakit ini menempati urutan
kedua setelah penyakit kardiovaskuler sebagai penyebab ketidakmampuan fisik. Di
Inggris dan Wales, sekitar 1,3 hingga 1,75 juta orang mengalami gejala OA. Di Amerika, 1
dari 7 penduduk menderita OA.3,4
Di Australia pada tahun 2002, diperkirakan biaya nasional untuk OA sebesar 1%
dari GNP, yaitu mencapai $Aus 2.700/orang/tahun. 4 Di Indonesia sendiri, prevalensi total
OA sebanyak 34,3 juta orang pada tahun 2002 dan mencapai 36,5 juta orang pada tahun
2007. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena
osteoarthritis. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

19
terjadinya osteoarthritis pada obesitas dan sendi penahan beban tubuh. 5 Dari sekian
banyak sendi yang dapat terserang OA, lutut merupakan sendi yang paling sering
dijumpai terserang OA. Data Arthritis Research Campaign menunjukkan bahwa lebih dari
550 ribu orang di Inggris menderita OA lutut yang parah dan lebih dari 80 ribu operasi
replacement sendi lutut dilakukan di Inggris pada tahun 2000 dengan biaya 405 juta
Poundsterling.6
III. Patofisiologi Osteoartritis
Terjadinya OA tidak lepas dari banyak persendian yang ada di dalam tubuh
manusia. Sebanyak 230 sendi menghubungkan 206 tulang yang memungkinkan
terjadinya gesekan. Untuk melindungi tulang dari gesekan, di dalam tubuh ada tulang
rawan. Namun karena berbagai faktor risiko yang ada, maka terjadi erosi pada tulang
rawan dan berkurangnya cairan pada sendi. Tulang rawan sendiri berfungsi untuk
meredam getar antar tulang. Tulang rawan terdiri atas jaringan lunak kolagen yang
berfungsi untuk menguatkan sendi, proteoglikan yang membuat jaringan tersebut elastis
dan air (70% bagian) yang menjadi bantalan, pelumas dan pemberi nutrisi.9,10
Kondrosit adalah sel yang tugasnya membentuk proteoglikan dan kolagen pada
rawan sendi. Osteoartritis terjadi akibat kondrosit gagal mensintesis matriks yang
berkualitas dan memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis matriks
ekstraseluler, termasuk produksi kolagen tipe I, III, VI dan X yang berlebihan dan sintesis
proteoglikan yang pendek. Hal tersebut menyebabkan terjadi perubahan pada diameter
dan orientasi dari serat kolagen yang mengubah biomekanik dari tulang rawan, sehingga
tulang rawan sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya yang unik.9
Selain kondrosit, sinoviosit juga berperan pada patogenesis OA, terutama setelah
terjadi sinovitis, yang menyebabkan nyeri dan perasaan tidak nyaman. Sinoviosit yang
mengalami peradangan akan menghasilkan Matrix Metalloproteinases (MMPs) dan
berbagai sitokin yang akan dilepaskan ke dalam rongga sendi dan merusak matriks rawan
sendi serta mengaktifkan kondrosit. Pada akhirnya tulang subkondral juga akan ikut
berperan, dimana osteoblas akan terangsang dan menghasilkan enzim proteolitik. 9,10
Agrekanase merupakan enzim yang akan memecah proteoglikan di dalam matriks
rawan sendi yang disebut agrekan. Ada dua tipe agrekanase yaitu agrekanase 1
(ADAMTs-4) dan agrekanase 2 (ADAMTs-11). MMPs diproduksi oleh kondrosit, kemudian
diaktifkan melalui kaskade yang melibatkan proteinase serin (aktivator plasminogen,
plamsinogen, plasmin), radikal bebas dan beberapa MMPs tipe membran. Kaskade

20
enzimatik ini dikontrol oleh berbagai inhibitor, termasuk TIMPs dan inhibitor aktifator
plasminogen. Enzim lain yang turut berperan merusak kolagen tipe II dan proteoglikan
adalah katepsin, yang bekerja pada pH rendah, termasuk proteinase aspartat (katepsin
D) dan proteinase sistein (katepsin B, H, K, L dan S) yang disimpam di dalam lisosom
kondrosit. Hialuronidase tidak terdapat di dalam rawan sendi, tetapi glikosidase lain
turut berperan merusak proteoglikan.10
Berbagai sitokin turut berperan merangsang kondrosit dalam menghasilkan enzim
perusak rawan sendi. Sitokin-sitokin pro-inflamasi akan melekat pada reseptor di
permukaan kondrosit dan sinoviosit dan menyebabkan transkripsi gene MMP sehingga
produksi enzim tersebut meningkat. Sitokin yang terpenting adalah IL-1, selain sebagai
sitokin pengatur (IL-6, IL-8, LIFI) dan sitokin inhibitor (IL-4, IL-10, IL-13 dan IFN-γ). Sitokin
inhibitor ini bersama IL-Ira dapat menghambat sekresi berbagai MMPs dan
meningkatkan sekresi TIMPs. Selain itu, IL-4 dan IL-13 juga dapat melawan efek
metabolik IL-1. IL-1 juga berperan menurunkan sintesis kolagen tipe II dan IX dan
meningkatkan sintesis kolagen tipe I dan III, sehingga menghasilkan matriks rawan sendi
yang berkualitas buruk. 9,10

IV. Klasifikasi Osteoartritis


OA dapat terjadi secara primer (idiopatik) maupun sekunder, seperti
yang tercantum di bawah ini :19
IDIOPATIK SEKUNDER
21
Setempat Trauma
Tangan − akut
- nodus Heberden dan Bouchard (nodal) − kronik (okupasional, port)
- artritis erosif interfalang Kongenital atau developmental:
- karpal-metakarpal I Gangguan setempat:
Kaki: − Penyakit Leg-Calve-Perthes
- haluks valgus − Dislokasi koksa kongenital
- haluks rigidus − Slipped epiphysis
- jari kontraktur (hammer/cock-up toes) Faktor mekanik
- talonavikulare − Panjang tungkai tidak sama
Coxae − Deformitas valgus / varus
- eksentrik (superior) − Sindroma hipermobilitas
- konsentrik (aksial, medial) Metabolik
- difus (koksa senilis) − Okronosis (alkaptonuria)
Vertebra − Hemokromatosis
- sendi apofiseal − Penyakit Wilson
- sendi intervertebral − Penyakit Gaucher
- spondilosis (osteofit) Endokrin
- ligamentum (hiperostosis, − Akromegali
penyakit Forestier, diffuse idiopathic − Hiperparatiroidisme
skeletal hyperostosis=DISH) − Diabetes melitus
Tempat lainnya: − Obesitas
- glenohumeral − Hipotiroidisme
- akromioklavikular Penyakit Deposit Kalsium
- tibiotalar − Deposit kalsium pirofosfat dihidrat
- sakroiliaka − Artropati hidroksiapatit
- temporomandibular Penyakit Tulang dan Sendi lainnya
Menyeluruh: Setempat:
Meliputi 3 atau lebih daerah yang − Fraktur
tersebut diatas (Kellgren-Moore) −Nekrosis avaskular

Tabel 2.1 Osteoartritis Idiopatik dan Sekunder

V. Manifestasi Klinis 15
1. Nyeri sendi
Terutama bila sendi bergerak atau menanggung beban, yang akan berkurang bila
penderita beristirahat.
2. Kaku pada pagi hari (morning stiffness)
Kekakuan pada sendi yang terserang terjadi setelah imobilisasi yang cukup lama
(gel phenomenon), bahkan sering disebutkan kaku muncul pada pagi hari setelah
bangun tidur (morning stiffness).
22
3. Hambatan pergerakan sendi
Hambatan pergerakan sendi ini bersifat progresif lambat, bertambah berat secara
perlahan sejalan dengan bertambahnya nyeri pada sendi.
4. Krepitasi
Rasa gemeretak (seringkali sampai terdengar) yang terjadi pada sendi yang sakit.
5. Perubahan bentuk sendi
Sendi yang mengalami osteoarthritis biasanya mengalami perubahan berupa
perubahan bentuk dan penyempitan pada celah sendi.
6. Perubahan gaya berjalan
Hal yang paling meresahkan pasien adalah perubahan gaya berjalan, hampir semua
pasien osteoarthritis pada pergelangan kaki, lutut dan panggul mengalami
perubahan gaya berjalan (pincang).

VI. Faktor Risiko Osteoartritis Lutut (Genu)


Secara garis besar, terdapat dua pembagian faktor risiko OA lutut yaitu faktor
predisposisi dan faktor biomekanis.
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Demografi
1) Umur
Dari semua faktor risiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor ketuaan
adalah yang terkuat. Proses penuaan dianggap sebagai penyebab
peningkatan kelemahan di sekitar sendi, penurunan kelenturan sendi,
kalsifikasi tulang rawan dan menurunkan fungsi kondrosit, yang semuanya
mendukung terjadinya OA. Studi Framingham menunjukkan bahwa 27%
orang berusia 63 – 70 tahun memiliki bukti radiografik menderita OA lutut,
yang meningkat mencapai 40% pada usia 80 tahun atau lebih. 7
2) Jenis kelamin
Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih tinggi
dibandingkan perempuan, tetapi setelah usia lebih dari 50 tahun
prevalensi perempuan lebih tinggi menderita OA dibandingkan laki-laki.
Hal ini dikaitkan dengan pengurangan hormon estrogen yang signifikan
pada wanita.8
3) Ras / Etnis
Prevalensi OA lutut pada penderita di negara Eropa dan Amerika tidak
berbeda, sedangkan suatu penelitian membuktikan bahwa ras Afrika –
Amerika memiliki risiko menderita OA lutut 2 kali lebih besar dibandingkan
ras Kaukasia. Penduduk Asia juga memiliki risiko menderita OA lutut lebih
tinggi dibandingkan Kaukasia.10,11 Suatu studi lain menyimpulkan bahwa
23
populasi kulit berwarna lebih banyak terserang OA dibandingkan kulit
putih.9
b. Faktor Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis. Adanya mutasi
dalam gen prokolagen atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang
rawan sendi seperti kolagen, proteoglikan berperan dalam timbulnya
kecenderungan familial pada osteoartritis.10
c. Faktor Gaya Hidup
1) Kebiasaan Merokok

Merokok dapat merusak sel dan menghambat proliferasi sel tulang
rawan sendi.

Merokok dapat meningkatkan tekanan oksidan yang mempengaruhi
hilangnya tulang rawan.

Merokok dapat meningkatkan kandungan karbonmonoksida dalam
darah, menyebabkan jaringan kekurangan oksigen dan dapat
menghambat pembentukan tulang rawan.12

2) Konsumsi Vitamin D
Orang yang tidak biasa mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin
D memiliki peningkatan risiko 3 kali lipat menderita OA lutut. 13
d. Faktor Metabolik
1) Obesitas
Berat badan yang berlebih ternyata dapat meningkatkan tekanan mekanik
pada sendi penahan beban tubuh, dan lebih sering menyebabkan
osteoartritis lutut.7
2) Osteoporosis
Hubungan antara OA lutut dan osteoporosis mendukung teori bahwa
gerakan mekanis yang abnormal tulang akan mempercepat kerusakan
tulang rawan sendi.10
3) Penyakit Lain
OA lutut terbukti berhubungan dengan diabetes mellitus, hipertensi dan
hiperurikemi, dengan catatan pasien tidak mengalami obesitas. 10
4) Histerktomi
Hal ini diduga berkaitan dengan pengurangan produksi hormon estrogen
setelah dilakukan pengangkatan rahim. 10
5) Manisektomi

24
Menisektomi merupakan operasi yang dilakukan di daerah lutut dan telah
diidentifikasi sebagai faktor risiko penting bagi OA lutut. Hal ini berkaitan
dengan hilangnya jaringan meniscus.14
2. Faktor Biomekanis
a. Riwayat Trauma Lutut
Trauma lutut yang akut termasuk robekan pada ligamentum krusiatum dan
meniskus merupakan faktor risiko timbulnya OA lutut.9
b. Kelainan Anatomis
Faktor risiko timbulnya OA lutut antara lain kelainan lokal pada sendi lutut
seperti genu varum, genu valgus, Legg – Calve –Perthes disease dan displasia
asetabulum.10
c. Pekerjaan
Osteoartritis banyak ditemukan pada pekerja fisik berat, terutama yang banyak
menggunakan kekuatan yang bertumpu pada lutut (petani, kuli, dll).9
d. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik berat seperti berdiri lama (2 jam atau lebih setiap hari), berjalan
jarak jauh (2 jam atau lebih setiap hari), mengangkat barang berat (10 kg – 50
kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), mendorong objek yang berat (10
kg – 50 kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), naik turun tangga setiap
hari merupakan faktor risiko OA lutut. 9
e. Kebiasaan Olahraga
Atlit olah raga benturan keras dan membebani lutut seperti sepak bola, lari
maraton dan kung fu memiliki risiko meningkat untuk menderita OA lutut. 10

25
VII. Kriteria Diagnosis Osteoartritis Lutut (Genu)
Kriteria diagnosis OA lutut menggunakan kriteria klasifikasi American College of
Rheumatology seperti tercantum pada tabel berikut ini :16

Tabel 2.2 Kriteria Klasifikasi Osteoartritis Lutut

Derajat osteoartritis lutut dinilai menjadi lima derajat oleh Kellgren dan Lawrence, yaitu :17
- Derajat 0 : tidak ada gambaran osteoartritis.
- Derajat 1 : osteoartritis meragukan dengan gambaran sendi normal, tetapi
terdapat osteofit minimal.
- Derajat 2 : osteoartritis minimal dengan osteofit pada 2 tempat, tidak terdapat

26
sklerosis dan kista subkondral, serta celah sendi baik.
- Derajat 3 : osteoartritis moderat dengan osteofit moderat, deformitas ujung
tulang, dan celah sendi sempit.
- Derajat 4 : osteoartritis berat dengan osteofit besar, deformitas ujung tulang,
celah sendi hilang, serta adanyasklerosis dan kista subkondral.

27
VIII. Penatalaksanaan Osteoarthritis
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan osteoarthritis adalah: 18
1. Meredakan nyeri
2. Mengoptimalkan fungsi sendi
3. Mengurangi ketergantungan kepada orang lain dan meningkatkan kualitas hidup
4. Menghambat progresivitas penyakit
5. Mencegah terjadinya komplikasi

Pilar terapi pada pasien dengan osteoarthritis yaitu:


Nonfarmakologis:
1. Modifikasi pola hidup
2. Edukasi
3. Istirahat teratur yang bertujuan mengurangi penggunaan beban pada sendi
4. Modifikasi aktivitas
5. Menurunkan berat badan
6. Rehabilitasi medik/ fisioterapi
a. Latihan statis dan memperkuat otot-otot
b. Fisioterapi, yang berguna untuk mengurangi nyeri, menguatkan otot,
dan menambah luas pergerakan sendi
7. Penggunaan alat bantu.
Farmakologis:
1. Sistemik
a. Analgetik
 Non narkotik: parasetamol
 Opioid (kodein, tramadol)
b. Antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs)
 Oral
 Injeksi
 Suppositoria
c. DMOADs (disease modifying OA drugs)
Diantara nutraceutical yang saat ini tersedia di Indonesia adalah
Glucosamine sulfate dan Chondroitine sulfate.
2. Topikal
a. Krim rubefacients dan capsaicin.
Beberapa sediaan telah tersedia di Indonesia dengan cara kerja pada
umumnya bersifat counter irritant.
b. Krim NSAIDs
Beberapa yang dapat digunakan adalah gel piroxicam, dan sodium diklofenak.
28
3. Injeksi intraartikular/intra lesi
Pada dasarnya ada 2 indikasi suntikan intra artikular yakni penanganan simtomatik
dengan steroid, dan viskosuplementasi dengan hyaluronan untuk modifikasi
perjalanan penyakit. Beberapa preparat injeksi intraartikular, diantaranya :
a. Steroid ( triamsinolone hexacetonide dan methyl prednisolone )
Hanya diberikan jika ada satu atau dua sendi yang mengalami nyeri dan
inflamasi yang kurang responsif terhadap pemberian NSAIDs, tak dapat
mentolerir NSAIDs atau ada komorbiditas yang merupakan kontra indikasi
terhadap pemberian NSAIDs.
Dosis untuk sendi besar seperti lutut 40-50 mg/injeksi, sedangkan untuk
sendi-sendi kecil biasanya digunakan dosis 10 mg.
b. Hyaluronan: high molecular weight dan low molecular weight
Diberikan berturut-turut 5 sampai 6 kali dengan interval satu minggu
masing-masing 2 sampai 2,5 ml Hyaluronan. Sediaan di Indonesia diantaranya
adalah Hyalgan dan Osflex.
4. Pembedahan
Sebelum diputuskan untuk terapi pembedahan, harus dipertimbangkan terlebih
dahulu risiko dan keuntungannya. Pertimbangan dilakukan tindakan operatif bila :

a. Deformitas menimbulkan gangguan mobilisasi


b. Nyeri yang tidak dapat teratasi dengan penganan medikamentosa dan
rehabilitatif
Ada 2 tipe terapi pembedahan : Realignment osteotomi dan replacement joint.
Macam-macam operasi sendi lutut untuk osteoarthritis :
a. Partial replacement/unicompartemental
b. High tibial osteotomy : orang muda
c. Patella & condyle resurfacing
d. Minimally constrained total replacement : stabilitas sendi dilakukan sebagian
oleh ligament asli dan sebagian oleh sendi buatan.
e. Cinstrained joint : fixed hinges : dipakai bila ada tulang hilang dan severe
instability.
f. Total knee replacement, apabila didapatkan nyeri, deformitas, instability akibat
dari rheumatoid atau osteoarthritis.

29
Gambar 2.1 Piramida Penatalaksanaan Osteoartritis

30
DAFTAR PUSTAKA
1. Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Osteoartritis. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia;
2006. p. 1195-201.
2. Osteoarthritis. Wikipedia The Free Encyclopedia [serial on the internet]. 2009 [cited
2009 Sep 1]; Available from :
http://en.wikipedia.org/wiki/Osteoarthritis
3. Reginster J.Y. The Prevalence and Burden of Osteoarthritis. Rheumatology, 2002; 41
(suppl 1) : 3 – 6.
4. Wibowo Dhidik Tri, Kurniawan Yusuf, Latifah Tati, Gunadi Rachmat. Perancangan dan
Implementasi Sistem Bantu Diagnosis Penyakit Osteoartritis dan Reumatoid Artritis
Melalui Deteksi Penyempitan Celah Sendi pada Citra X-Ray Tangan dan Lutut. Dalam
Temu Ilmiah Reumatologi. Jakarta, 2003 : 168 – 172.
5. Konggres Nasional Ikatan Reumatologi Indonesia VI. http://pemda-diy.go.id/berita,
2005, 10:21:40.
6. Arthritis Research Campaign 2000. Available at :
http:///www.arc.org.uk/about_arth/astats.htm.
7. Felson D.T, Zhang Y., Hannan M.T., et al. The Incidence and Natural History of Knee
Osteoarthritis in the Elderly : The Framingham Osteoarthritis Study. Arthritis
Rheumatology; 1995; 38 : 1500 – 1505.
8. Felson D.T., Zhang Y. An Update on the Epidemiology of Knee and Hip Osteoarthritis
with a View to Prevention. Arthritis Rheumatology, 1998; 41 : 1343 – 1355.
9. Setiyohadi Bambang. Osteoartritis Selayang Pandang. Dalam Temu Ilmiah
Reumatologi. Jakarta, 2003 : 27 – 31.
10. /Klippel John H., Dieppe Paul A., Brooks Peter, et al. Osteoarthritis. In : Rheumatology.
United Kingdom : Mosby – Year Book Europe Limited, 1994 : 2.1 – 10.6.
11. Abbate L., Renner J.B, Stevens J., et al. Do Body Composition and Body Fat Distribution
Explain Ethnic Differences in Radiographic Knee Osteoarthritis Outcomes in African
-American and Caucasian Women? The North American Association for the Study of
Obesity, 2006; 14 : 1274 – 1281.

31
12. Amin, Niu Jingbo, Hunter David, et al. Smoking Worsens Knee Osteoarthritis. News
Center Oklahoma City, Oklahoma USA, 2006 : 1 – 4.
13. McAlindon Timothy E., Felson David T., Zhang Yuqing, et al. Relation of Dietary Intake
and Serum Levels of Vitamin D to Progression of Osteoarthritis of the Knee Among
Participants in the Framingham Study.
14. Englund M. and Lohmander L.S. Patellofemoral Osteoarthritis Coexistent with
Tibiofemoral Osteoarthritis in a Meniscectomy Population. Annals of the Rheumatic
Diseases, 2005; 64 : 1721 – 1726.
15. Carter MA. Osteoartritis. In: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-
proses penyakit. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 1380-4.
16. Altman R.D. Criteria for the Classification of Osteoarthritis. Journal of Rheumatology,
1991; 27 (suppl) : 10 – 12.
17. Milne AD, Evans NA, Stanish WD. Nonoperative Management of Knee Osteoarthritis.
In: Hartono IM. Studi komparasi antara WOMAC index dengan Kellgren-Lawrence
grading system pada penderita osteoarthritis genu [PPDS1 thesis]. Semarang: Medical
Faculty Diponegoro University; 2007. p. 12.
18. Haq I., Murphy E., Dacre J. Osteoarthritis Review. Postgrad Med J, 2003; 79 : 377 –
383.
19. Sinusas, K. (2012). Osteoarthritis: diagnosis and treatment. American family
physician, 85(1).
20. Anonim. [1986] Criteria for classification of idiopathic osteoarthtritis (OA) of the knee.
American College of Rheumatology [serial on the internet]. 2010 [cited 2010 Jan 20];
Available from:
http://www.rheumatology.org/publications/classification/oaknee.asp? aud=mem

DISPEPSIA

2.1 DEFINISI

32
Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari
nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat
kenyang, perut rasa penuh atau begah.1
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys-), berarti sulit, dan (Pepse),berarti
pencernaan (N.Talley, et al., 2005). Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis
yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami
kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn)
dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia. 2
Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi yang dikemukakan oleh
suatu kelompok kerja internasional adalah: Sindroma yang terdiri dari keluhan - keluhan
yang disebabkan karena kelainan traktus digestivus bagian proksimal yang dapat berupa
mual atau muntah, kembung, dysphagia, rasa penuh, nyeri epigastrium atau nyeri
retrosternal dan ruktus, yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Dengan demikian dispepsia
merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat kronik. 3
Dalam klinik tidak jarang para dokter menyamakan dispepsia dengan gastritis. Hal ini
sebaiknya dihindari karena gastritis adalah suatu diagnosa patologik, dan tidak semua
dispepsia disebabkan oleh gastritis dan tidak semua kasus gastritis yang terbukti secara
patologi anatomik disertai gejala dispepsia. Karena dispepsia dapat disebabkan oleh banyak
keadaan maka dalam menghadapi sindrom klinik ini penatalaksanaannya seharusnya tidak
seragam.3

Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :


1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ
tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas, radang empedu,
dan lain-lain.1,6
2. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispesia non ulkus, bila tidak jelas
penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ
berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi setelah 3 bulan
dengan gejala dispepsia.7
Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi

33
dispepsia menjadi tiga tipe :
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan gejala:
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan gejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. e.Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas). 2
2.2 ETIOLOGI
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau duodenum,
gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
Obat – obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa antibiotic,
digitalis, teofilin dan sebagainya.
Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis kronik.
Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti
adanya kelainan atau gangguan organic atau structural biokimia, yaitu dispepsia fungsional
atau dispepsia non ulkus.1

Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi


A. Organik
1. Obat-obatan
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik (makrolides,
metronidazole), Besi, KCl, Digitalis, Estrogen, Etanol (alkohol), Kortikosteroid,
Levodopa, Niacin, Gemfibrozil, Narkotik, Quinidine, Theophiline. 8-10
2. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)
a. Alergi susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk
kedelai dan beberapa jenis buah-buahan
b. Non-alergi

34
 Produk alam : laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein.
 Bahan kimia : monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat, nitrit, nitrat.
Perlu diingat beberapa intoleransi makanan diakibatkan oleh penyakit
dasarnya, misalnya pada penyakit pankreas dan empedu tidak bisa mentoleransi
makanan berlemak, jeruk dengan pH yang relatif rendah sering memprovokasi
gejala pada pasien ulkus peptikum atau esophagitis.10
3. Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus
 Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia
 Akhalasia
 Obstruksi esophagus
b. Penyakit gaster dan duodenum
 Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan sakit
keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan, trauma, shock
 Ulkus gaster dan duodenum
 Karsinoma gaster
c. Penyakit saluran empedu
 Kholelitiasis dan Kholedokolitiasis
 Kholesistitis
d. Penyakit pankreas
 Pankreatitis
 Karsinoma pankreas
e. Penyakit usus
 Malabsorbsi
 Obstruksi intestinal intermiten
 Sindrom kolon iritatif
 Angina abdominal
 Karsinoma kolon
B. Idiopatik atau Dispepsia Non Ulkus
Dispepsia fungsional
Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya gangguan struktural atau organik
atau metabolik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.Termasuk ini adalah

35
dispepsia dismotilitas, yaitu adanya gangguan motilitas diantaranya; waktu pengosongan
lambung yang lambat, abnormalitas kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks
gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi
asam lambung yaitu kenaikan asam lambung.
Kelainan psikis, stress dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia
fungsional.12
Kelainan non organik saluran cerna:
o Gastralgia
o Dispepsia karena asam lambung
o Dispepsia flatulen
o Dispepsia alergik
o Dispepsia essensial
o Pseudoobstruksi intestinal kronik
o Kelainan susunan saraf pusat (CVD, epilepsi).
o Psikogen : Histeria, psikosomatik

2.4 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dispepsia non ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor berikut
mungkin berperan penting (multifaktorial):
 Abnormalitas Motorik Gaster
Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia non
ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster. Demikian
pula pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial,
tetapi hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala-gejala dispepsia tidak jelas.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang "kaku" bertanggung
jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus
relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum.
Pengosongan makanan bertahap dari corpus gaster menuju ke bagian fundus dan

36
duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien dyspepsia non ulkus,
refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu
cepat.2
 Perubahan sensifitas gaster
Lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap distensi
gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang sedikit
mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster
intestinum atau distensi dini bagian Antrum postprandial dapat menginduksi nyeri
pada bagian ini.10
 Stres dan faktor psikososial
Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas
psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien dispepsia non ulkus daripada
subyek kontrol yang sehat.Banyak pasien mengatakan bahwa stres mencetuskan
keluhan dispepsia. Beberapa studi mengatakan stres yang lama menyebabkan
perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan motilitas
gaster.Kepribadian dispepsia non ulkus menyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif dan
dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda neurotik, ansietas dan depresi yang
lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan non-gastrointestinal ( GI ) seperti
nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih. Mereka cenderung tiba-tiba
menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri dan mempunyai fungsi sosial
lebih buruk dibanding pasien dispepsia organik. Demikian pula bila dibandingkan
orang normal. Gambaran psikologik dispepsia non ulkus ditemukan lebih banyak
ansietas, depresi dan neurotik.5

 Gastritis Helicobacter pylori


Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya gastritis non-erosif
non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran histologik yang ada
tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik yang bersangkutan.
Diagnosa endoskopik gastritis akibat infeksi Helicobacter pylori sangat sulit karena
sering kali gambarannya tidak khas. Tidak jarang suatu gastritis secara histologik
tampak berat tetapi gambaran endoskopik yang tampak tidak jelas dan bahkan

37
normal. Beberapa gambaran endoskopik yang sering dihubungkan dengan adanya
infeksi Helicobacter pylori adalah:
a. Erosi kronik di daerah antrum.
b. Nodularitas pada mukosa antrum.
c. Bercak-bercak eritema di antrum.
d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah korpus. 13
Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah diakui,
tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia non ulkus masih
kontroversi. Di negara maju, hanya 50% pasien dispepsia non ulkus menderita infeksi
Helicobacter pylori, sehingga penyebab dispepsia pada dispepsia non ulkus dengan
Helicobacter pylori negatif dapat juga menjadi penyebab dari beberapa dispepsia non ulkus
dengan Helicobacter pylori positif. Bukti terbaik peranan Helicobacter pylori pada dispepsia
non ulkus adalah gejala perbaikan yang nyata setelah eradikasi kuman Helicobacter pylori
tersebut, tetapi ini masih dalam taraf pembuktian studi ilmiah. Banyak pasien mengalami
perbaikan gejala dengan cepat walaupun dengan pengobatan plasebo. Studi "follow up"
jangka panjang sedang dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh. 2

 Kelainan gastrointestinal fungsional


Dispepsia non ulkus cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan fungsional GI,
termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak dan nyeri ulu hati
fungsional. Lebih dari 80% dengan Sindrom Kolon Iritatif menderita dispepsia dan
lebih dari sepertiga pasien dengan dispepsia kronis juga mempunyai gejala Sindrom
Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti ini sering ada gejala extra GI seperti
migrain, myalgia dan disfungsi kencing dan ginekologi. Pada anamnesis dispepsia
jangan lupa menanyakan gejala Sindrom Kolon Iritatif seperti nyeri abdomen mereda
setelah defikasi, perubahan frekuensi buang air besar atau bentuknya mengalami
perubahan, perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut kembung.
Beberapa pasien juga mengalami aerophagia, lingkaran setan dari perut kembung
diikuti oleh masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti oleh kembung yang
lebih darah. Ini memerlukan perbaikan tingkah laku.Abnormalitas di atas belum
semua diidentifikasi oleh semua peneliti dan tidak selalu muncul pada semua

38
penderita. Hasil yang kurang konsisten dari bermacam terapi yang digunakan untuk
terapi dispepsia non ulkus mendukung keanekaragaman kelompok ini. 2,12,14.
Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui beberapa
mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa lambung sebagai
pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang merupakan salah satu faktor defensif
mukosa lambung yang sangat penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak secara topikal.
Kerusakan topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif,
sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin juga dapat menurunkan sekresi
bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga kemampuan faktor defensif terganggu. 13
Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa esophagus,
lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan
mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali
dianggap juga sebagai ulkus. Ulkus kronik berbeda dengan ulkus akut, karena memiliki
jaringan parut pada dasar ulkus. Menurut definisi, ulkus peptik dapat ditemukan pada setiap
bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung,
duodenum, dan setelah gastroduodenal, juga jejunum.13
Sawar mukosa lambung penting untuk perlindungan lambung dan duodenum. Obat
anti inflamasi non steroid termasuk aspirin menyebabkan perubahan kualitatif mucus
lambung yang dapat mempermudah terjadinya degradasi mucus oleh pepsin. Prostaglandin
yang terdapat dalam jumlah berlebihan dalam mucus gastric dan tampaknya berperan
penting dalam pertahanan mukosa lambung.13
Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat – zat lain yang merosak mukosa lambung
mengubah permeabilitas sawar epitel, sehingga memungkinkan difusi balik asam klorida
yang mengakibatkan kerosakan jaringan, terutama pembuluh darah. Histamin dikeluarkan,
merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler
terhadap protein. Mukosa menjadi edema dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang.
Mukosa kapiler dapat rusak, mengakibatkan terjadinya hemoragi interstitial dan perdarahan.
Sawar mukosa tidak dipengaruhi oleh penghambatan vagus atau atropine, tetapi difusi balik
dihambat oleh gastrin.13
Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam
patogenesis ulkus peptikum. Ulkus peptikum sering terletak di antrum karena mukosa
antrum lebih rentan terhadap difusi balik disbanding fundus. Selain itu, kadar asam yang

39
rendah dalam analisis lambung pada penderita ulkus peptikum diduga disebabkan oleh
meningkatnya difusi balik dan bukan disebabkan oleh produksi yang berkurang. 13

2.5 GEJALA KLINIK


Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau
kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas
jangka waktu tiga bulan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan
sendawa dan suara usus yang keras. Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk
nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu
makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung). 6

2.6 ANAMNESIS
Jika pasien mengeluh mengenai dispepsia, dimulakan pertanyaan atau anamnesis
dengan lengkap. Berapa sering terjadi keluhan dispepsia, sejak kapan terjadi keluhan,
adakah berkaitan dengan konsumsi makanan, Adakah pengambilan obat tertentu dan
aktivitas tertentu dapat menghilangkan keluhan atau memperberat keluhan. Adakah pasien
mengalami nafsu makan menghilang, muntah, muntah darah, BAB berdarah, batuk atau
nyeri dada.11
Pasien juga ditanya, adakah ada konsumsi obat – obat tertentu, Atau adakah dalam
masa terdekat pernah operasi, Adakah ada riwayat penyakit ginjal, jantung atau paru.
Adakah pasien menyadari akan kelainan jumlah dan warna urin. 11
Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol dan jamu yang
dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau mungkin harus dihentikan. Hubungan
dengan jenis makanan tertentu perlu diperhatikan. Tanda dan gejala "alarm"(peringatan)
seperti disfagia, berat badan turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke
punggung, muntah yang sangat sering, hematemesis, melena atau jaundice kemungkinan
besar adalah merupakan penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi
dan / atau "USG" atau "CT Scan" untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster
atau esophagus, penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pankreas empedu. 11
Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial misalnya:
masalah anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar manusia (orang tua,
mertua, tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri (istri sibuk, istri muda, dimadu,

40
bertengkar, cerai), pekerjaan dan pendidikan (kegiatan rutin, penggusuran, pindah jabatan,
tidak naik pangkat). Hal ini berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa orang. 5
/
2.7 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau intra lumen
yang padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai dengan adanya ransang
peritoneal/peritonitis.1
Tumpukan pemeriksaan fisik pada bagian abdomen. Inspeksi akan distensi, asites,
parut, hernia yang jelas, ikterus, dan lebam. Auskultasi akan bunyi usus dan karekteristik
motilitasnya. Palpasi dan perkusi abdomen, perhatikan akan tenderness, nyeri, pembesaran
organ dan timpani.6 Pemeriksaan tanda vital bisa ditemukan takikardi atau nadi yang tidak
regular.10
Kemudian, lakukan pemeriksaan sistem tubuh badan lainnya. Perlu ditanyakan
perubahan tertentu yang dirasai pasien, keadaan umum dan kesadaran pasien diperhatikan.
Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung. Perkusi paru untuk mengetahui konsolidasi.
Perhatikan dan lakukan pemeriksaan terhadap ektremitas, adakah terdapat perifer edema
dan dirasakan adakah akral hangat atau dingin. Lakukan juga perabaan terhadap kelenjar
limfa.6-11

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi (leukositosis),
pakreatitis (amylase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA 19-9, AFP). Biasanya
meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan
urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda
infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung
lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita
dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan
perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA,
dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9. 1
2. Barium enema untuk memeriksa esophagus, Lambung atau usus halus dapat dilakukan
pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan

41
atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa saluran
cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor. 1,3,15
3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus
halus dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung.
Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah
lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku
emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. 2,3,7 Pemeriksaan ini sangat
dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut
alarm symptoms, yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan
dugaan adanya obstruksi, muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama,
dan terjadi pada usia lebih dari 45tahun.1
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:
a. CLO (rapid urea test)
b. Patologi anatomi (PA)
c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian15
4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan
kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia di
Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan
sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di
esofagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang
meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke
intestin. Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang
disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari
tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin). Kanker di lambung
secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah
kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akut perlu dibuat foto polos
abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign),
atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut sentina loops. 1
5. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi esofagus atau respon
esofagus terhadap asam.

42
2.9 DIAGNOSIS
Dispepsia melalui simptom-simptomnya sahaja tidak dapat membedakan antara
dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Diagnosis dispepsia fungsional adalah diagnosis
yang telah ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab kelainan organik atau struktural
harus disingkirkan melalui pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama dan banyak membantu
adalah pemeriksaan endoskopi. Oleh karena dengan pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan
di oesophagus, lambung dan duodenum. Diikuti dengan USG (Ultrasonography) dapat
mengungkapkan kelainan pada saluran bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat
memberikan perubahan anatomis. Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat
mengungkapkan penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran
bilier. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor. 1
Kriteria Diagnostik Dispepsia Fungsional berdasarkan Kriteria Rome III yaitu:
1. berasa terganggu setelah makan
2. cepat kenyang
3. nyeri epigastrik
4. panas/ rasa terbakar di epigastrik
Terbukti tidak ada penyakit struktural termasuk endoskopi proksimal yang dapat
menjelaskan penyebab terjadinya gejala klinis tersebut.
/
Kriteria haruslah terjadi dalam masa 3 bulan terakhir dengan onset gejala klinis
sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum diagnosis.3

2.10 DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok keluhan atau gejala dan
bukan merupakan suatu diagnosis. Diferensial diagnosis dyspepsia adalah seperti box 1.
Sangat penting mencari clue atau penanda akan gejala dan keluhan yang merupakan etiologi
yang bisa ditemukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. 50%–60% kasus,
didapati tidak ada penyebab yang terdeteksi di mana pasien dikatakan merupakan dispepsia
fungsional. Prevalensi ulkus peptikum adalah 15%- 25% dan prevalensi esofagitis adalah 5%-
15%. Kanker digestif bagian atas < 2%. Disebabkan kanker digestif bagian atas jarang pada
umur <50 tahun, pemeriksaan endoskopi direkomendasi pada pasien yang berusia > 50
tahun. Juga direkomendasi pada pasien yang mangalami penurunan berat badan yang

43
signifikan, terjadi pendarahan, dan muntah yang terlalu teruk.2

Box 1: Diagnosis banding dispepsia

 Dispepsia non ulkus

 Gastro-oesophageal reflux disease.

 Ulkus peptikum.

 Obat-obatan: obat anti inflamasi non-steroid, antibiotik, besi, suplemen kalium,


digoxin.

 Malabsorbsi Karbohidrat (lactose, fructose, sorbitol).

 Cholelithiasis or choledocholithiasis.

 Pankreatitis Kronik.

 Penyakit sistemik (diabetes, thyroid, parathyroid, hypoadrenalism, connective tissue


disease).

 Parasit intestinal.

 Keganasan abdomen (terutama kanser pancreas dan gastrik)

2.11 PENATALAKSANAAN
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
1. Antasid

Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam
lambung. Antasid biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg
triksilat. Pemberian antasid jangan terus- menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk
mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat
sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan
diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Sering digunakan adalah gabungan Aluminium
hidroksida dan magnesium hidroksida.Aluminum hidroksida boleh menyebabkan konstipasi
dan penurunan fosfat; magnesium hidroksida bisa menyebabkan BAB encer. Antacid yang
sering digunakan adalah seperti Mylanta, Maalox, merupakan kombinasi Aluminium
hidroksida dan magnesium hidroksida. Magnesium kontraindikasi kepada pasien gagal ginjal
kronik karena bisa menyebabkan hipermagnesemia, dan aluminium bisa menyebabkan
kronik neurotoksik pada pasien tersebut.15

44
2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu
pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi asam
lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif. 10
3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H 2 antara
lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.10,15
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses
sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol,
lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah ~18jam ; jadi, bisa dimakan antara 2
dan 5 hari supaya sekresi asid gastrik kembali kepada ukuran normal. Supaya terjadi
penghasilan maksimal, digunakan sebelum makan yaitu sebelum sarapan pag.15

5. Sitoprotektif

Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain


bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat
berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki
mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa,
serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar
lesi mukosa saluran cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang, bisa menyebabkan
konstipasi (2–3%). Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis standard adalah 1 g
per hari.15

6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid.
Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis
dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance). 10

7. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori

45
Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada sebagian pasien
dan biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti amoxicillin (Amoxil),
clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan tetracycline (Sumycin).6
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi (obat anti- depresi dan
cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul
berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.2,6-12
Terapi Dispepsia Fungsional :
1. Farmakologis
Pengobatan jangka lama jarang diperlukan kecuali pada kasus-kasus berat. (regular
medication) mungkin perlu pengobatan jangka pendek waktu ada keluhan. (on demand
medication)
2. Psikoterapi
 Reassurance
 Edukasi mengenai penyakitnya
3. Perubahan diit dan gaya hidup
 Dianjurkan makan dalam porsi yang lebih kecil tetapi lebih sering.
 Makanan tinggi lemak dihindarkan
Pengobatan terhadap dispepsia fungsional adalah bersifat terapi simptomatik. Pasien
dengan dispepsia fungsional lebih dominan gejala dan keluhan seperti nyeri pada abdomen
bagian atas (ulcer - like) bisa diobati dengan PPI (Proton Pump Inhibitors). Pasien dengan
keluhan yang tidak jelas di bagian abdomen atas di mana yang gagal dengan pengobatan PPI,
bisa diobati dengan tricyclic antidepressants, walaupun data yang menyokong masih
kurang.16
Pasien dengan keluhan dismotility – like symptom bisa diobati dengan sama ada
dengan acid suppressive therapy, prokinetic agents, atau 5-HT 1 agonists. Metoclopramide
dan domperidone menunjukkan antara obat placebo dalam pengobatan dispepsia
fungsional.16

46
DAFTAR PUSTAKA
1. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Ed. IV, 2007.
Indonesia; Balai Penerbit FKUI. H. 285
2. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al. Functional
Gastroduadenal. Gastroenterology. 2006;130:1466-1479.
3. LOYD, Ryan A.; MCCLELLAN, DAVID A. Update on the evaluation and
management of functional dyspepsia. 2013.
4. Drossman DA, Corazziari E, Delvaux M, et al. Rome III: The
Functional Gastrointestinal Disorders. 3rd ed. McLean, Va.: Degnon
Associates; 2006.
http://theromefoundation.org/assets/pdf/19_RomeIII_apA_885-
898.pdf. Accessed June 15, 2010.
5. Dickerson LM, King DE. Evaluation and management of nonulcer
dys- pepsia. Am Fam Physician. 2004;70(1):107-114.

6. Talley N, Vakil NB, Moayyedi P. American Gastroenterological Association technical


review: evaluation of dyspepsia. Gastroenterology. 2005;129:1754

47
7. Ringerl Y. Functional dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology and Hepatology.
2005;1:1-3.
8. Glenda NL. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi. Edisi ke-6. EGC;
2006.h.417-19.
9. Riza TC, Bushra S. Dyspepsia. Prim Care Clinical Office Pract 34 2007;1:99–108.
10. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et al. Peptic
ulcer disease in Harrison’s Principle of Internal Medicine, 17 th ed, Vol.II.2008. USA:
Mc Graw Hill Medical, p.287

INFEKSI SALURAN KEMIH (UTIs)

Definisi
Beberapa istilah yang perlu dipahami:

Bakteriuria bermakna (significant backteriuri) adalah keberadaan mikroorganisme murni
(tidak terkontaminasi flora normal dari uretra) lebih dari 105 colony forming units per mL
(cfu/ml) biakan urin dan tanpa lekosituria1,4.

Bakteriuria simtomatik adalah bakteriuria bermakna dengan manifestasi klinik 1,4

Bakteriuria asimtomatik (covert bacteriuria) adalah bakteriuria bermakna tanpa
manifestasi klinik1,4.
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan bakteriuria
patogen dengan colony forming units per mL CFU/ ml urin > 105, dan lekositouria >10 per
lapangan pandang besar, disertai manifestasi klinik4.
ISK akhir-akhir ini juga didefinisikan sebagai suatu respon inflamasi tubuh terhadap invasi
mikroorganisme pada urothelium3,6.

48
2.1 Epidemilogi
Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit yang paling sering ditemukan di praktik
umum. Kejadian ISK dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, gender, prevalensi
bakteriuria, dan faktor predisposisi yang mengakibatkan perubahan struktur saluran kemih
termasuk ginjal. ISK cenderung terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. ISK berulang
pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai factor predisposisi 1.
Menurut penelitian, hampir 25-35% perempuan dewasa pernah mengalami ISK
selama hidupnya. Prevalensi bakteriuria asimtomatik lebih sering ditemukan pada
perempuan. Prevalensi selama periode sekolah (School girls) 1% meningkat menjadi 5 %
selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai 30%
pada laki-laki dan perempuan jika disertai faktor predisposisi 1.
Di Amerika Serikat, terdapat >7 juta kunjungan pasien dengan ISK di tempat praktik
umum. Sebagian besar kasus ISK terjadi pada perempuan muda yang masih aktif secara
seksual dan jarang pada laki-laki <50 tahun 5. Insiden ISK pada laki-laki yang belum
disirkumsisi lebih tinggi (1,12%) dibandingkan pada laki-laki yang sudah disirkumsisi
(0,11%)3.

Tabel 2.1 Epidemiologi infeksi saluran kemih berdasarkan umur dan jenis kelamin
/
Sumber: Smith’s General urology 17th edition, 2008, halaman 194

2.2 Etiologi
Pada umumnya ISK disebabkan oleh mikroorganisme (MO) tunggal seperti:1
 Eschericia coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien dengan ISK
simtomatik maupun asimtomatik
 Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK anak
laki-laki berusia 5 tahun), Klebsiella spp dan Stafilokokus dengan koagulase negatif
 Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus jarang dijumpai, kecuali pasca
kateterisasi

2.3 Patogenesis

49
Patogenesis bakteriuri asimtomatik menjadi bakteriuri simtomatik tergantung dari
patogenitas bakteri sebagai agent, status pasien sebagai host dan cara bakteri masuk ke
saluran kemih (bacterial entry) 1,3.
2.3.1 Peranan Patogenisitas Bakteri (agent)
Tidak semua bakteri dapat menginfeksi dan melekat pada jaringan saluran kemih. Bakteri
tersering yang menginfeksi saluran kemih adalah E.coli yang bersifat uropathogen.1,3,7,8.
Strain bakteri E. coli hidup atau berkoloni di usus besar atau kolon manusia.
Beberapa strain bakteri E. coli dapat berkoloni di daerah periuretra dan masuk ke vesika
urinaria. Strain E. coli yang masuk ke saluran kemih dan tidak memberikan gejala klinis
memiliki strain yang sama dengan strain E. coli pada usus (fecal E.coli), sedangkan strain E.
coli yang masuk ke saluran kemih manusia dan mengakibatkan timbulnya manifestasi klinis
adalah beberapa strain bakteri E. coli yang bersifat uropatogenik dan berbeda dari sebagian
besar E.coli di usus manusia (fecal E.coli). Strain bakteri E.coli ini merupakan uropatogenik
E.coli (UPEC) yang memiliki faktor virulensi8.
Penelitian intensif berhasil menentukan faktor virulensi E.coli dikenal sebagai
virulence determinalis1.
Tabel 2.3 Faktor Virulensi E.coli
Penentu virulensi Alur
Fimbriae  Adhesi
 Pembentuk jaringan ikat (scarring)

Kapsul antigen K  Resistensi terhadap pertahanan tubuh


 Perlengketan (attachment)

Lipopolysaccharide side  Resistensi terhadap fagositosis


chains (O antigen)
Lipid A (endotoksin)  Inhibisi peristalsis ureter
 Proinflamatori

Membran protein  Kelasi besi


lainnya  Antibiotika resisten
 Kemungkinan perlengketan

 Inhibisi fungsi fagosit


Hemolysin  Sekuestrasi besi
Sumber: Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V, 2009, hal.1010

50
Bakteri patogen dari urin dapat menyebabkan manifestasi klinis bergantung pada
perlengketan mukosa oleh bakteri, faktor virulensi, dan variasi faktor virulensi 1.

 Peranan Perlengketan Mukosa oleh Bakteri (Bacterial attachment of mucosa)


Menurut penelitian, fimbriae (proteinaceous hair-like projection from bacterial surface)
merupakan salah satu pelengkap patogenesitas yang mempunyai kemampuan untuk
melekat pada permukaan mukosa saluran kemih1.
Fimbriae atau pili memiliki ligand di permukaannya yang berfungsi untuk berikatan
dengan reseptor glikoprotein dan glikolipid pada permukaan membran sel uroepithelial.
Fimbriae atau pili dibagi berdasarkan kemampuan hemaaglutinasi dan tipe sugar yang
berada pada permukaan sel. Pada umumnya P fimbriae yang dapat menaglutinasi darah,
berikatan dengan reseptor glikolipid antigen pada sel uroepithelial, eritrosit (antigen
terhadap P blood group) dan sel-sel tubulus renalis. Sedangkan fimbriae tipe 1 berikatan
dengan sisa mannoside pada sel uroepithelial3.
Berdasarkan penelitian P fimbriae terdapat pada 90% bakteri E.coli yang
menyebabkan pyelonefritis dan hanya < 20% strain E.coli yang menyebabkan ISK bawah.
Sedangkan fimbriae tipe 1 lebih berperan dalam membantu bakteri untuk melekat pada
mukosa vesika urinaria3.

 Peranan Faktor Virulensi


Setelah fimbrae atau pili berhasil melekat pada sel uroepithelial (sel epitel saluran kemih),
maka proses selanjutnya dilakukan oleh faktor virulensi lainnya. Sebagian besar
uropatogenik E.coli (UPEC) menghasilkan hemolysin yang befungsi untuk menginisiasi invasi
UPEC pada jaringan dan mengaktivasi ion besi bagi kuman patogen (sekuestrasi besi).
Keberadaan kaspsul K antigen dan O antigen pada bakteri yang menginvasi jaringan saluran
kemih melindungi bakteri dari proses fagositosis oleh neutrofil. Keadaan ini mengakibatkan
UPEC dapat lolos dari berbagai mekanisme pertahanan tubuh host. Beberapa penelitian
terakhir juga mengatakan bahwa banyak bakteri seperti E.coli memiliki kemampuan untuk
menginvasi sel host sebagai patogen oportunistik intraseluler1,3,4.
Sifat patogenitas lain dari strain E.coli yaitu toksin, dikenal beberapa toksin seperti α-
haemolysin, cytotoxic necrotizing factor-1 (CNF-1) dan iron uptake system (aerobactin dan

51
enterobactin). Hampr 95% sifat α-haemolysin ini terikat pada kromosom dan berhubungan
dengan phatogenicity island (PAIS) dan hanya 5 % terikat pada gen plasmid4.
 Peranan Variasi Fase Faktor Virulensi
Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami perubahan bergantung dari
respon faktor luar. Konsep variasi MO ini menunjukkan peranan beberapa penentu virulensi
yang bervariasi di antara individu dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu ketahanan hidup
bakteri berbeda dalam vesika urinaria dan ginjal1.

2.3.2 Peranan Faktor Tuan Rumah (host)


 Faktor Predisposisi Pencetus ISK
Menurut penelitian, status saluran kemih merupakan faktor risiko pencetus ISK. faktor
bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan penting untuk kolonisasi
bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bakteri sering mengalami kambuh (eksaserbasi) bila
sudah terdapat kelainan struktur anatomi saluran kemih. Dilatasi saluran kemih termasuk
pelvis ginjal tanpa obstruksi saluran kemih dapat menyebabkan gangguan proses klirens
normal dan sangat peka terhadap infeksi1.
Selain itu urin juga memiliki karakter spesifik (osmolalitas urin, konsentrasi urin,
konsentrasi asam organik dan pH) yang dapat menghambat pertumbuhan dan kolonisasi
bakteri pada mukosa saluran kemih. Menurut penelitian urin juga mengandung faktor
penghambat perlekatan bakteri yakni Tamm-Horsfall glycoprotein, dikatakan bahwa
bakteriuria dan tingkat inflamasi di saluran kemih meningkat pada defisit THG. THG
membantu mengeliminasi infeksi bakteri pada saluran kemih dan berperan sebagai salah
satu mekanisme pertahanan tubuh3.
Retensi urin, stasis, dan refluks urin ke saluran cerna bagian atas juga dapat
meningkatkan pertumbuhan bakteri dan infeksi. Selain itu, abnormalitas anatomi dan
fungsional saluran kemih yang dapat menganggu aliran urin dapat meningkatkan kerentanan
host terhadap ISK1,3. Keberadaan benda asing seperti adanya batu, kateter, stent dapat
membantu bakteri untuk bersembunyi dari mekanisme pertahanan host 3,9

Tabel 2.4 Faktor predisposisi (pencetus) ISK

52
Faktor predisposisi (pencetus) ISK
 Litiasis
 Obstruksi saluran kemih
 Penyakit ginjal polikistik
 Nekrosis papilar
 DM pasca transplantasi ginjal
 Nefropati analgesik
 Penyakit Sickle-cell
 Senggama
 Kehamilan dan peserta KB dengan tablet progesteron
 Kateterisasi
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V, 2009, halaman 1009

2.3.3 Cara Bakteri Menginvasi Saluran Kemih (bacterial entry)


Terdapat beberapa rute masuk bakteri ke saluran kemih. Pada umumnya, bakteri di area
periuretra naik atau secara ascending masuk ke saluran genitourinaria dan menyebabkan
ISK1,2,3 Sebagian besar kasus pielonefritis disebabkan oleh naiknya bakteri dari kandung
kemih, melalui ureter dan masuk ke parenkim ginjal. Kejadian ISK oleh karena invasi MO
secara ascending juga dipermudah oleh refluks vesikoureter. Pendeknya uretra wanita
dikombinasikan dengan kedekatannya dengan ruang depan vagina dan rektum merupakan
predisposisi yang menyebabkan perempuan lebih sering terkena ISK dibandingkan laki-laki 3,4
Penyebaran secara hematogen umumnya jarang, namun dapat terjadi pada pasien
dengan immunocompromised dan neonatus. Staphylococcus aureus, Spesies Candida, dan
Mycobacterium tuberculosis adalah kuman patogen yang melakukan perjalanan melalui
darah untuk menginfeksi saluran kemih2,3,4,9.
Penyebaran limfatogenous melalui dubur, limfatik usus, dan periuterine juga dapat
menyebabkan invasi MO ke saluran kemih dan mengakibatkan ISK. Selain itu, invasi langsung
bakteri dari organ yang berdekatan ke dalam saluran kemih seperti pada abses
intraperitoneal, atau fistula vesicointestinal atau vesikovaginal dapat menyebabkan ISK 3.

2.4 Klasifikasi

53
Berdasarkan letak anatomi, ISK digolongkan menjadi:
 Infeksi Saluran Kemih Atas
Infeksi saluran kemih atas terdiri dari pielonefritis dan pielitis. Pielonefritis terbagi menjadi
pielonefritis akut (PNA) dan pielonefritis kronik (PNK). Istilah pielonefritis lebih sering dipakai
dari pada pielitis, karena infeksi pielum (pielitis) yang berdiri sendiri tidak pernah ditemukan
di klinik4.
Pielonefritis akut (PNA) adalah radang akut dari ginjal, ditandai primer oleh radang
jaringan interstitial sekunder mengenai tubulus dan akhirnya dapat mengenai kapiler
glomerulus, disertai manifestasi klinik dan bakteriuria tanpa ditemukan kelainan radiologik 3,4.
PNA ditemukan pada semua umur dan jenis kelamin walaupun lebih sering ditemukan pada
wanita dan anak-anak. Pada laki-laki usia lanjut, PNA biasanya disertai hipertrofi prostat 4.
Pielonefritis Kronik (PNK) adalah kelainan jaringan interstitial (primer) dan sekunder
mengenai tubulus dan glomerulus, mempunyai hubungan dengan infeksi bakteri
(immediate atau late effect) dengan atau tanpa bakteriuria dan selalu disertai kelainan-
kelainan radiologi. PNK yang tidak disertai bakteriuria disebut PNK fase inaktif. Bakteriuria
yang ditemukan pada seorang penderita mungkin berasal dari pielonefritis kronik fase aktif
atau bakteriuria tersebut bukan penyebab dari pielonefritis tetapi berasal dari saluran kemih
bagian bawah yang sebenarnya tidak memberikan keluhan atau bakteriuria asimtomatik.
Jadi diagnosis PNK harus mempunyai dua kriteria yakni telah terbukti mempunyai kelainan-
kelainan faal dan anatomi serta kelainan-kelainan tersebut mempunyai hubungan dengan
infeksi bakteri. Dari semua faktor predisposisi ISK, nefrolithiasis dan refluks vesiko ureter
lebih memegang peranan penting dalam patogenesis PNK 4. Pielonefritis kronik mungkin
akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Pada PNK juga
sering ditemukan pembentukan jaringan ikat parenkim1.

 Infeksi Saluran Kemih Bawah


Infeksi saluran kemih bawah terdiri dari sistitis, prostatitis dan epidimitis, uretritis, serta
sindrom uretra. Presentasi klinis ISKB tergantung dari gender. Pada perempuan biasanya
berupa sistitis dan sindrom uretra akut, sedangkan pada laki-laki berupa sistitis, prostatitis,
epidimitis, dan uretritis1.
Sistitis terbagi menjadi sistitis akut dan sistitis kronik. Sistitis akut adalah radang selaput
mukosa kandung kemih (vesika urinaria) yang timbulnya mendadak, biasanya ringan dan
54
sembuh spontan (self-limited disease) atau berat disertai penyulit ISKA (pielonefritis akut).
Sistitis akut termasuk ISK tipe sederhana (uncomplicated type). Sebaliknya sistitis akut yang
sering kambuh (recurrent urinary tract infection) termasuk ISK tipe berkomplikasi
(complicated type), ISK jenis ini perlu perhatian khusus dalam pengelolaannya 4.
Sistitis kronik adalah radang kandung kemih yang menyerang berulang-ulang (recurrent
attact of cystitis) dan dapat menyebabkan kelainan-kelainan atau penyulit dari saluran kemih
bagian atas dan ginjal. Sistitis kronik merupakan ISKB tipe berkomplikas, dan memerlukan
pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor predisposisi4.
Sindrom uretra akut (SUA) adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan
mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis abakterialis karena tidak dapat diisolasi
mikroorganisme penyebabnya. Penelitian terkini menunjukkan bahwa SUA disebabkan oleh
MO anaerobik1,4.

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis ISK (simtomatologi ISK) dibagi menjagi gejala-gejala lokal, sistemik dan
perubahan urinalisis. Dalam praktik sehari-hari gejala cardinal seperti disuria, polakisuria,
dan urgensi sering ditemukan pada hampr 90% pasien rawat jalan dengan ISK akut4.
Tabel 2.5 Simtomatologi ISK
Lokal Sistemik
 Disuria  Panas badan sampai
 Polakisuria menggigil
 Stranguria  Septicemia dan syok
 Tenesmus
 Nokturia Perubahan urinalisis
 Enuresis nocturnal  Hematuria
 Prostatismus  Piuria
 Inkontinesia  Chylusuria
 Nyeri uretra  Pneumaturia
 Nyeri kandung kemih
 Nyeri kolik
 Nyeri ginjal
Sumber: Nefrologi Klinik Edisi III, 2006, hal. 37

Pada pielonefritis akut (PNA), sering ditemukan panas tinggi (39.5°C-40,5°C),


disertai menggigil dan sakit pinggang 1. Pada pemeriksaan fisik diagnostik tampak sakit berat,

55
panas intermiten disertai menggigil dan takikardia. Frekuensi nadi pada infeksi E.coli
biasanya 90 kali per menit, sedangkan infeksi oleh kuman staphylococcus dan streptococcus
dapat menyebabkan takikardia lebih dari 140 kali per menit. Ginjal sulit teraba karena
spasme otot-otot. Distensi abdomen sangat nyata dan rebound tenderness mungkin juga
ditemukan, hal ini menunjukkan adanya proses dalam perut, intra peritoneal. Pada PNA tipe
sederhana (uncomplicated) lebih sering pada wanita usia subur dengan riwayat ISKB kronik
disertai nyeri pinggang (flank pain), panas menggigil, mual, dan muntah. Pada ISKA akut
(PNA akut) tipe complicated seperti obastruksi, refluks vesiko ureter, sisa urin banyak sering
disertai komplikasi bakteriemia dan syok, kesadaran menurun, gelisah, hipotensi
hiperventilasi oleh karena alkalosis respiratorik kadang-kadang asidosis metabolik 4.
Pada pielonefritis kronik (PNK), manifestasi kliniknya bervariasi dari keluhan-keluhan
ringan atau tanpa keluhan dan ditemukan kebetulan pada pemeriksaan urin rutin. Presentasi
klinik PNK dapat berupa proteinuria asimtomatik, infeksi eksaserbasi akut, hipertensi, dan
gagal ginjal kronik (GGK)4.
Manifestasi klinik pada sistitis akut dapat berupa keluhan-keluhan klasik seperti
polakisuria, nokturia, disuria, nyeri suprapubik, stranguria dan tidak jarang dengan
hematuria. Keluhan sistemik seperti panas menggigil jarang ditemukan, kecuali bila disertai
penyulit PNA. Pada wanita, keluhan biasanya terjadi 36-48 jam setelah melakukan
senggama, dinamakan honeymoon cystitis. Pada laki-laki, prostatitis yang terselubung
setelah senggama atau minum alkohol dapat menyebabkan sistitis sekunder 1,4.
Pada sistitis kronik, biasanya tanpa keluhan atau keluhan ringan karena rangsangan
yang berulang-ulang dan menetap. Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan nyeri tekan
di daerah pinggang, atau teraba suatu massa tumor dari hidronefrosis dan distensi vesika
urinaria4.
Manifestasi klinis sindrom uretra akut (SUA) sulit dibedakan dengan sistitis. Gejalanya
sangat miskin, biasanya hanya disuri dan sering kencing1.

2.6 Pemeriksaan Penunjang Diagnosis


2.6.1 Analisis urin rutin4
Pemeriksaan analisa urin rutin terdiri dari pH urin, proteinuria (albuminuria), dan
pemeriksaan mikroskopik urin.

56
Urin normal mempunyai pH bervariasi antara 4,3-8,0. Bila bahan urin masih segar
dan pH >8 (alkalis) selalu menunjukkan adanya infeksi saluran kemih yang berhubungan
dengan mikroorganisme pemecah urea (ureasplitting organism). Albuminuria hanya
ditemukan ISK. Sifatnya ringan dan kurang dari 1 gram per 24 jam.
Pemeriksaan mikroskopik urin terdiri dari sedimen urin tanpa putar (100 x) dan
sedimen urin dengan putar 2500 x/menit selama 5 menit. Pemeriksaan mikroskopik dengan
pembesaran 400x ditemukan bakteriuria >10 5 CFU per ml. Lekosituria (piuria) 10/LPB hanya
ditemukan pada 60-85% dari pasien-pasien dengan bakteriuria bermakna (CFU per ml >10 5).
Kadang-kadang masih ditemukan 25% pasien tanpa bakteriuria. Hanya 40% pasien-pasien
dengan piuria mempunyai bakteriuria dengan CFU per ml >10 5. Analisa ini menunjukkan
bahwa piuria mempunyai nilai lemah untuk prediksi ISK.
Tes dipstick pada piuria untuk deteksi sel darah putih. Sensitivitas 100% untuk >50
leukosit per HPF, 90% untuk 21-50 leukosit, 60% untuk 12-20 leukosit, 44 % untuk 6-12
leukosit. Selain itu pada pemeriksaan urin yang tidak disentrifuge dapat dilakukan
pemeriksaan mikroskopik secara langsung untuk melihat bakteri gram negatif dan gram
positif. Sensitivitas sebesar 85 % dan spesifisitas sebesar 60 % untuk 1 PMN atau
mikroorganisme per HPF. Namun pemeriksaan ini juga dapat mendapatkan hasil positif palsu
sebesar 10%10.
2.6.2 Uji Biokimia4
Uji biokimia didasari oleh pemakaian glukosa dan reduksi nitrat menjadi nitrit dari
bakteriuria terutama golongan Enterobacteriaceae. Uji biokimia ini hanya sebagai uji saring
(skrinning) karena tidak sensitif, tidak spesifik dan tidak dapat menentukan tipe bakteriuria.
2.6.3 Mikrobiologi4
Pemeriksaan mikrobiologi yaitu dengan Colony Forming Unit (CFU) ml urin. Indikasi CFU per
ml antara lain pasien-pasien dengan gejala ISK, tindak lanjut selama pemberian antimikroba
untuk ISK, pasca kateterisasi, uji saring bakteriuria asimtomatik selama kehamilan, dan
instrumentasi. Bahan contoh urin harus dibiakan lurang dari 2 jam pada suhu kamar atau
disimpan pada lemari pendingin. Bahan contoh urin dapat berupa urin tengah kencing (UTK),
aspirasi suprapubik selektif.
Interpretasi sesuai dengan kriteria bakteriura patogen yakni CFU per ml >10 5 (2x)
berturut-turut dari UTK, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai lekositouria > 10 per ml tanpa
putar, CFU per ml >10 5 (1x) dari UTK disertai gejala klinis ISK, atau CFU per ml >10 5 dari

57
aspirasi supra pubik. Menurut kriteria Kunin yakni CFU per ml >10 5 (3x) berturut-turut dari
UTK..
2.6.4 Renal Imaging Procedures1
Renal imaging procedures digunakan untuk mengidentifikasi faktor predisposisi ISK, yang
biasa digunakan adalah USG, foto polos abdomen, pielografi intravena, micturating
cystogram dan isotop scanning. Investigasi lanjutan tidak boleh rutin tetapi harus sesuai
indikasi antara lain ISK kambuh, pasien laki-laki, gejala urologik (kolik ginjal, piuria,
hematuria), hematuria persisten, mikroorganisme jarang (Pseudomonas spp dan Proteus
spp), serta ISK berulang dengan interval ≤6 minggu.

2.7 Terapi
2.7.1 Infeksi saluran kemih atas (ISKA) 1
Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut (PNA) memerlukan rawat inap untuk
memelihara status hidrasi dan terapi antibiotik parenteral minimal 48 jam. Indikasi rawat
inap pada PNA antara lain kegagalan dalam mempertahankan hidrasi normal atau toleransi
terhadap antibiotik oral, pasien sakit berat, kegagalan terapi antibiotik saat rawat jalan,
diperlukan investigasi lanjutan, faktor predisposisi ISK berkomplikasi, serta komorbiditas
seperti kehamilan, diabetes mellitus dan usia lanjut.
The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga alternative
terapi antibiotic IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam, sebelum adanya hasil kepekaan
biakan yakni fluorokuinolon, amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin dan sefalosporin
spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.

2.7.2 Infeksi saluran kemih bawah (ISKB)


Prinsip manajemen ISKB adalah dengan meningkatkan intake cairan, pemberian antibiotik
yang adekuat, dan kalau perlu terapi simtomatik untuk alkanisasi urin dengan natrium
bikarbonat 16-20 gram per hari1,4
Pada sistitis akut, antibiotika pilihan pertama antara lain nitrofurantoin, ampisilin,
penisilin G, asam nalidiksik dan tetrasiklin. Golongan sulfonamid cukup efektif tetapi tidak
ekspansif. Pada sistitis kronik dapat diberikan nitrofurantoin dan sulfonamid sebagai
pengobatan permulaan sebelum diketahui hasil bakteriogram 4.

58
/

2.8 Komplikasi1
Komplikasi ISK bergantung dari tipe yaitu ISK tipe sederhana (uncomplicated) dan ISK tipe
berkomplikasi (complicated).
2.8.1 ISK sederhana (uncomplicated)
ISK akut tipe sederhana yaitu non-obstruksi dan bukan pada perempuan hamil pada
umumnya merupakan penyakit ringan (self limited disease) dan tidak menyebablan akibat
lanjut jangka lama.

2.8.2 ISK tipe berkomplikasi (complicated)


ISK tipe berkomplikasi biasanya terjadi pada perempuan hamil dan pasien dengan diabetes
mellitus. Selain itu basiluria asimtomatik (BAS) merupakan risiko untuk pielonefritis diikuti
penurun laju filtrasi glomerulus (LFG).
Komplikasi emphysematous cystitis, pielonefritis yang terkait spesies kandida dan
infeksi gram negatif lainnya dapat dijumpai pada pasien DM. Pielonefritis emfisematosa
disebabkan oleh MO pembentuk gas seperti E.coli, Candida spp, dan klostridium tidak
jarang dijumpai pada pasien DM. Pembentukan gas sangant intensif pada parenkim ginjal
dan jaringan nekrosis disertai hematom yang luas. Pielonefritis emfisematosa sering disertai
syok septik dan nefropati akut vasomotor.
Abses perinefritik merupakan komplikasi ISK pada pasien DM (47%), nefrolitiasis (41%),
dan obstruksi ureter (20%).
Tabel 2.6 Morbiditas ISK selama kehamilan
Kondisi Risiko Potensial
BAS tidak diobati  Pielonefritis
 Bayi prematur
 Anemia
 Pregnancy-induced hypertension

ISK trimester III  Bayi mengalami retardasi mental


 Pertumbuhan bayi lambat
 Cerebral palsy
 Fetal death

59
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, 2009, hal. 1012

2.9 Prognosis4
Prognosis pasien dengan pielonefritis akut, pada umumnya baik dengan penyembuhan 100%
secara klinik maupun bakteriologi bila terapi antibiotika yang diberikan sesuai. Bila terdapat
faktor predisposisi yang tidak diketahui atau sulit dikoreksi maka 40% pasien PNA dapat
menjadi kronik atau PNK. Pada pasien Pielonefritis kronik (PNK) yang didiagnosis terlambat
dan kedua ginjal telah mengisut, pengobatan konservatif hanya semata-mata untuk
mempertahankan faal jaringan ginjal yang masih utuh. Dialisis dan transplantasi dapat
merupakan pilihan utama.
Prognosis sistitis akut pada umumnya baik dan dapat sembuh sempurna, kecuali bila
terdapat faktor-faktor predisposisi yang lolos dari pengamatan. Bila terdapat infeksi yang
sering kambuh, harus dicari faktor-faktor predisposisi. Prognosis sistitis kronik baik bila
diberikan antibiotik yang intensif dan tepat serta faktor predisposisi mudah dikenal dan
diberantas.

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Sukandar, E. Infeksi Saluran Kemih. In Sudoyo A.W, et all.ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Internal Publishing. 2009:1008-1014.
2. Anonim. Urinary Tract Infections (Acute Urinary Tract Infection: Urethritis, Cystitis, and
Pyelonephritis). In Kasper, et all ed. Harrison’s Manual of Medicine16th Edition.
Newyork: Mc Graw Hill Medical Publishing Division. 2005:724
3. Nguyen, H.T. Bacterial Infections of The Genitourinary Tract. In Tanagho E. & McAninch
J.W. ed. Smith’s General urology 17th edition. Newyork: Mc Graw Hill Medical
Publishing Division. 2008: 193-195
4. Sukandar, E. Infeksi (non spesifik dan spesifik) Saluran Kemih dan Ginjal. In Sukandar E.
Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK UNPAD. 2006: 29-72
5. Scanlon, V.C & Sanders, T. Essential of Anatomy and Physiology 5th edition. Philadelpia: FA
Davis Company. 2007: 420-432
6. Macfarlane, M.T. Urinary Tract Infections. In, Brown B, et all ed. 4th Urology. California:
Lippincott Williams & Wilkins. 2006: 83-16
7. Ronald A.R & Nicollé L.E. Infections of the Upper Urinary Tract. In Schrier R.W, ed.
Diseases of the Kidney and Urinary Tract 7th edition Vol.1. Newyork: Lippincott
Williams & Wilkins Publishers. 2001: 1687
8. Weissman, S.J, et all. Host-Pathogen Interactions and Host Defense Mechanisms. In In
Schrier R.W, ed. Diseases of the Kidney and Urinary Tract 8th edition Vol.1. Newyork:
Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2007: 817-826
9. Abdelmalak, J.B, et all. Urinary Tract Infections in Adults. In Potts J.M, ed. Essential
Urology, A Guide to Clinical Practice. New Jersey: Humana Press. 2004:183-189
10. Anonim. Pyelonephritis Acute. In Williamson, M.A & Snyder L.M. Wallach’s Interpretation
of Diagnostic Test 9th. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins a Wolters Kluwer
Publishers. 2011: 730-731
11. Mehnert-Kay, Susan A. "Diagnosis and management of uncomplicated urinary tract
infections." Am Fam Physician 72.3 (2005): 451-6.

61
BAB III
DISKUSI

III.1. OSTEOARTHRITIS
Perempuan, Ny. W, usia 50 tahun mengeluhkan adanya nyeri kedua lutut yang
memberat sejak 2 bulan sebelum kunjungan ke puskesmas kecamatan Cilincing. Nyeri
dirasakan muncul saat beraktifitas dan hilang saat beristirahat. Pasien juga
mengeluhkan rasa kaku di kedua lututnya terutama saat pagi hari saat hendak
bangun dari tidurnya. Kedua lutut kaku dirasakan kurang dari 5 menit. Keluhan
nyeri kedua lutut dirasakan muncul sejak 6 bulan sebelum kunjungan ke puskesmas
kecamatan Cilincing. Riwayat nyeri sendi di bagian tubuh yang lain disangkal oleh
pasien Riwayat lutut bengkak, kemerahan, terasa panas, trauma, demam dan nyeri
saat istirahat disangkal oleh pasien. Saat ini pasien bekerja sebagai penjual
makanan dan minuman di dekat rumahnya pada malam hari, di pagi hari pasien
masih mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci memasak dll. Riwayat
keluhan serupa di keluarga pasien disangkal. Riwayat merokok dan konsumsi kopi
disangkal oleh pasien.
indeks massa tubuh pasien adalah sebesar 27.5 (obese grade I) hal ini merupakan
salah satu faktor resiko penyakit osteoarthritis yang menyerang sendi-sendi penopang tubuh
dalam hal ini kedua lutut pasien. Pada bagian sendi lutut tidak terdapat edema, rasa hangat
dan warna kemerahan, Pada sendi lutut ditemukan adanya krepitasi (+/+), rasa nyeri di kedua
lutut dengan VAS 7.
Penegakan diagnosis Osteoarthritis secara klinis dapat ditegakan berdasarkan Kriteria
diagnosis OA lutut oleh American College of Rheumatology, yaitu memenuhi syarat nyeri
lutut ditambah 3 gejala tambahan berupa umur diatas 50 tahun, krepitasi, kaku sendi <30
menit, nyeri tekan, tidak panas dalam perabaan, serta yang tidak ada pada pasien ini berupa
pembesaran atau pembengkakan sendi. Untuk menentukan derajat Osteoarthritis pada pasien
ini butuh pemeriksaan penunjang berupa Foto Rontgen Genu yang belum dilakukan pada
pasien ini.
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan osteoarthritis adalah, Meredakan nyeri,
Mengoptimalkan fungsi sendi, Mengurangi ketergantungan kepada orang lain dan
meningkatkan kualitas hidup, Menghambat progresivitas penyakit dan Mencegah terjadinya
komplikasi. Pada pasien ini terapi non farmakologis yang lakukan adalah Edukasi
mengurangi aktivitas yang menggunakan lutut sebagai tumpuan berat badan seperti naik
62
turun tangga, dan gerakan dari jongkok ke berdiri, Edukasi mengurangi berat badan secara
bertahap, Edukasi bahwa obat-obatan yang diberikan hanya sebuah upaya untuk
mengurangi rasa sakit bukan menghilangkan penyakitnya, Edukasi tidak boleh angkat
berat, baik itu angkat gallon ataupun angkat-angkat makanan, Edukasi posisi yang baik
untuk kegiatan dari jongkok ke bediri seperti mencuci, BAB, BAK, dll yaitu menggunakan
pegangan sehingga beban tidak tertumpu di lutut. Terapi farmakologis pada pasien ini
diberikan Meloxicam tablet 7,5 mg 2 kali sehari yang termasuk obat golongan NSAID
yang paling aman dari efek samping dispepsia, sehingga merupakan pilihan obat yang
tepat untuk pasien ini.
Berdasarkan data follow up pasien, pada tanggal 24 November 2017, keluhan nyeri
lutut pasien sudah berkurang menjadi VAS 4, pasien sudah mencoba beberapa perubahan
aktifitas seperti mencuci dan memasak sudah menggunakan tempat yang lebih tinggi,
sehingga tidak perlu jongkok. Pada follow up hari berikutnya tanggal 1 Desember 2017
pasien mengatakan obat sudah habis, dan terkadang nyeri timbul tetapi masih belum
mengganggu aktifitas. Berat badan pada tanggal 21 Desember ada penurunan kurang lebih
2 kg, sehingga ada perkembangan dalam program penurunan berat badan yang bertujuan
untuk mengurangi beban mekanik pada lutut pasien.
Prognosis OA pada pasien ini secara umum baik, tetapi kekambuhan atau ad
Sanationam dubia ad malam karena dipertimbangkan dari kegiatan pasien sebagai ibu
rumah tangga dan anak-anaknya yang masih sekolah, sehingga dia melakukan pekerjaan
rumah sendiri yang merupakan faktor untuk memicu timbulnya gejala nyeri pada lututnya.

63
III.2 DISPEPSIA
Pasien mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 2 hari sebelum datang ke puskesmas
kecamatan cilincing, nyeri dirasakan seperti ditusuk dan melilit, selain itu juga terasa
kembung dan begah, diare disangkal. Riwayat memiliki keluhan yang sama sudah pernah
dirasakan pasien, sudah pernah berobat dan pasien mengatakan sakit lambung. Keluhan lain
seperti mual muntah, diare, ataupun konstipasi disangkal pasien. Pada pemeriksaan fisik
Bising usus normal tidak ada peningkatan, pada Palpasi ditemukan nyeri tekan epgastrium.
Diagnosis Dispesia ditegakan melalui gejala klinis berdasarkaan kriteria Rome III, pada
pasien ini terdapat lebih dari 3 gejala sebagai syarat diagnosis Dispepsia berupa : Nyeri
epigastrik, cepat merasa kenyang, rasa terbakar atau panas, dan rasa tidak nyaman setelah
makan.
Terapi non Farmakologis pada pasien ini adalah anjuran menjaga pola makan yang
baik, menhindari zat- zat, obat-obatan atau makanan yang berhubungan dengan gejala
dispepsia seperti alkohol, kopi, kortikosteroid, bawang putih, dll. Terapi farmakologis yang
diberikan pada pasien ini adalah obat dari golongan Antasida dan Antagonis Reseptor H2
yaitu ranitidine. Pada follow up gejala nyeri ulu hati sudah tidak dirasakan, pasien merasakan
perut terasa lebih nyaman sebelum dan sesudah makan, gaya hidup pasien juga sudah
menunjukan perubahan mulai dari pola makan yang teratur dan menu makanan yang sudah
tidak memakan makanan pedas lagi.
Resiko kekambuhan Dispepsia pada pasien ini masih tinggi, karena pasien memiliki
penyakit lain berupa OA yang dalam terapi farmakologisnya diberikan obat-obatan NSAID
yang memiliki hubungan erat dengan terjadinya kasus dispepsia. Pada pasien ini terapi
NSAID yang diberikan adalah Meloxicam, berdasarkan British Journal of Rheumatology
yaitu penelitian oleh Hawkey C. et al dalam Gastrointestinal Tolerability of Meloxicam
Compared to Diclofenac in Osteoarthritis Patient, didapatkan hasil bahwa kedua obat
tersebut memiliki efikasi atau efek terapi yang baik pada pasien OA, tetapi jumlah kasus
terjadinya gejala GI tract pada pasien yang mengkonsumsi Diklofenak lebih banyak
dibandingkan dengan pasien dengan konsumsi Meloxicam.

64

Anda mungkin juga menyukai