Anda di halaman 1dari 33

REFLEKSI KASUS

RINITIS ALERGI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi


Salah Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher
RSI Sultan Agung Semarang

Disusun oleh :
Wahyu Agus P
012106296

Pembimbing :
dr. Shelly Tjahyadewi Sp.THT-KL, M. Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
RSI SULTAN AGUNG SEMARANG
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah


satu syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher RSI Sultan Agung
Semarang periode 4 Juni 2018 – 6 Juli 2018
Nama : Wahyu Agus P
NIM : 012106296
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Bidang Pendidikan : Ilmu Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher
Periode Kepaniteraan Klinik : 4 Juni 2018 – 6 Juli 2018
Judul : Rinitis Alergi
Diajukan : Juni 2018
Pembimbing : dr. Shelly Tjahyadewi Sp.THT-KL, M. Kes

Telah diperiksa dan disahkan tanggal : …………………..

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Shelly Tjahyadewi Sp.THT-KL

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan
karunia-Nya, yang memungkinkan laporan kasus berjudul “Rhinitis Alergi” ini
dapat diselesaikan tepat waktu.
Laporan kasus ini disusun pada saat melaksanakan kepaniteraan klinik Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher RSI Sultan Agung
Semarang pada periode 4 Juni 2018 – 6 Juli 2018 dengan berbekalkan
pengetahuan, bimbingan, serta pengarahan yang diperoleh baik selama
kepaniteraan maupun pada saat kuliah pra-klinik.
Banyak pihak yang turut membantu penulis dalam penyusunan laporan
kasus ini, dan untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada:
 dr. Shelly Tjahyadewi Sp.THT-KL, M. Kes
 Pimpinan dan staff RSI Sultan Agung Semarang
 Rekan ko-asisten selama kepaniteraan Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok – Kepala Leher RSI Sultan Agung Semarang
Walau telah berusaha menyelesaikan laporan kasus ini dengan sebaik-
baiknya, penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang membangun akan diterima dengan
senang hati untuk perbaikan di masa mendatang, sehingga dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Semarang,

Wahyu Agus P

iii
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


- Nama : Nn. A
- Umur : 21 tahun
- JenisKelamin : Perempuan
- Alamat : Tambakroto Sayung Demak
- Tanggal Periksa : 23 Juni 2018
- No. RM : 01-21-29-43

1.2 ANAMNESIS
Dilakukan secara auto anamnesa pada tanggal 23 Juni 2018, pukul
10.00 WIB di poli THT-KL RSI Sultan Agung Semarang
a. Keluhan Utama
Hidung tersumbat
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli THT RSISA mengeluh hidung tersumbat
sejak 1 tahun yang lalu dan 2 bulan ini semakin memberat, hidung
tersumbat dirasakan sudah seminggu ini setiap hari pada kedua sisi
hidung, keluhan tersebut dirasakan sepanjang waktu dan semakin
memberat saat berkendara sepeda motor tidak memakai masker atau
saat terkena debu, keluhan tidak diperingan oleh apapun, saat hidung
tersumbat pasien mengeluhkan sampai susah bernafas dan susah
membau, 2 hari sebelumnya pasien mengaku pilek, hidung tersumbat
dan keluar ingus bening encer, dan ingus terasa mengalir ke
tenggorokan, pasien juga sering bersin-bersin (>3-5x tiap serangan)
saat pilek dan hidung terasa sangat gatal, pasien mengelukan mata
berair dan panas di sekitar mata, pasien juga mengeluhkan susah
konsentrasi saat belajar saat serangan muncul, pasien sudah berobat ke
dokter keluarga, tapi keluhan dirasa tidak mereda sehingga dirujuk ke
poli THT RSISA. Keluhan lain seperti demam, batuk, lemas, badan

1
pegal-pegal disangkal.Tidak ada keluhan pada telinga dan tenggorok
,riwayat sakit seperti ini di keluarga di sangkal, pasien belum pernah
melakukan tindakan operasi sebelum ini.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat keluhan yang sama sering dirasakan
- Riwayat alergi makanan, alergi udara dan debu tidak tahu
- Riwayat atopik lain (asma, dermatitis, konjungtivitis alergi)
disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat sakit serupa pada anggota keluarga : disangkal
- Riwayat asma : Disangkal
- Riwayat alergi : Tidak tahu
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan mahasiswi kesan ekonomi cukup

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalisata
 Keadaan Umum : Baik
 Kesadaran : Komposmentis
 Vital Sign :
o Tekanan Darah : 110/70 mmHg
o Nadi : 100 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup.
o RR : 20 x/menit
o Suhu : 37,5 ºC
 Kepala : mesocephal
 Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
secret (-/-)
 Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
 Ekstremitas : akral hangat, capillary refill < 2”

2
Status Lokalisata
a. Hidung dan Sinus Paranasal
1. Pemeriksaan Hidung Bagian Luar
- Inspeksi
Bentuk Normal, Simetri
Deformitas (-)
Massa (-)
Warna Sama dengan warna kulit sekitar
- Palpasi dan Perkusi Sinus Paranasal
Daerah sinus Nyeri tekan Nyeri ketok
Sinus frontal (-) (-)
Sinus ethmoid (-) (-)
Sinus maxilla (-) (-)
Rhinoskopi Anterior
Cavum Nasi Dextra Sinistra
Mukosa Pucat Pucat
Septum Deviasi (-) (-)
Konka Inferior Hipertrofi (+) Hipertrofi (+)
Sekret (+) serous (+) serous
Massa (-) (-)
Corpus alienum (-) (-)

3
b. Telinga
- Inspeksi dan Palpasi Telinga Luar
Bagian AD AS
Preaurikula Fistel (-) Fistel (-)
Retroaurikula abses(-), hiperemis (-) abses (-), hiperemis (-)
Aurikula hiperemis (-) hiperemis (-)
Kelainan kongenital Kelainan kongenital (-)
misal mikrotia(-), misal mikrotia(-)
Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
Tragus Nyeri tekan tragus (-) Nyeri tekan tragus (-)
Mastoid Nyeri ketok dan nyeri Nyeri ketok dan nyeri
tekan daerah mastoid tekan daerah mastoid
(-) (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)

- Canalis Akustikus Eksterna


Bagian AD AS
CAE Hiperemis Hiperemis
Serumen (+) ada, jumlah sedikit, (+) ada, jumlah sedikit,
konsistensi keras, konsistensi keras,
berwarna kuning berwarna kuning

Membran Timpani
AD AS
Intak (+) (+)
Warna Bening mengkilat Bening mengkilat
Reflek cahaya (+) (+)
Retraksi (-) (-)
Bulging (-) (-)

c. Tenggorok
- Rongga Mulut
 Mukosa buccal : normal, hiperemis (-), stomatitis (-)
 Lidah : bentuk normal, beslag (-)
 Gigi dan ginggiva : karies (-), gusi berdarah (-)
- Oropharynx
 Uvula : letak ditengah, simetris
 Palatum molle : simetris

4
 Pilar anterior dan posterior : simetris, hiperemis (-)
 Dinding posterior orofaring : mukosa hiperemis (-),
granulasi minimal, post nasal drip (-)
- Tonsil
Tonsil Dextra Sinistra
Ukuran T1 T1
Warna - -
Kripte - -
Detritus - -
Peritonsiler Abses (-) Abses (-)
Membran - -

d. Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher


Tidak didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah bening

1.4 RESUME
Seorang wanita usia 21 tahun datang dengan keluhan hidung tersumbat
sejak 1 tahun yang lalu dan 2 bulan ini semakin memberat, hidung tersumbat
dirasakan seminggu ini setiap hari, hidung tersumbat dirasakan pada kedua sisi
hidung, saat hidung tersumbat pasien mengeluhkan sampai susah bernafas dan
susah membau, hidung terasa sangat gatal, pasien mengelukan mata berair dan
panas di sekitar mata, pasien juga mengeluhkan susah konsentrasi saat belajar saat
serangan muncul, pasien sudah berobat ke dokter keluarga, tapi keluhan dirasa
tidak mereda, demam(-), batuk (-), malaise (-), bersin-bersin >3-5x tiap serangan
(+), rasa gatal pada hidung(+), sensasi mata gatal (+). Hasil pemeriksaan status
lokalis, Hidung ditemukan : mukosa pucat (+/+), konka hipertrofi (+/+), sekret
(+/+) serous, septum deviasi (-/-) Telinga luar dbn. CAE dbn, serumen(+/+). MT

5
intak, warna bening mengkilat , Dinding posterior orofaring: mukosa hiperemis (-),
granulasi (-), post nasal drip (+), Tonsil T1-T1.

1.5 DIAGNOSIS BANDING


 Rinitis Vasomotor
 Rinitis Akut

1.6 DIAGNOSIS PRIMER


Rhinitis Alergi persisten sedang-berat

1.7 DIAGNOSA SEKUNDER


Hipertrophy konka nasi dextra-sinistra

1.8 TERAPI
a. Medikamentosa
 Anti histamin : loratadine tab 10mg 1x1 selama 10 hari
 Decongestan oral : Tremenza tab 2x1 selama 10 hari
 Kortikosteroid spray : Avamys spray 2x1
b. Non medikamentosa
Diberikan edukasi tentang:
 Menghindari allergen pencetus (avoidance) dan eliminasi
 Evaluasi progesifitas gejala dan efek pengobatan

1.9 PROGNOSIS
 Quo Ad Vitam : Ad bonam
 Quo Ad Fungsionam : Ad bonam
 Quo Ad Sanationam : Ad bonam

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung


2.1.1 Anatomi Hidung
Hidung merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai alat
pernapasan dan indera penciuman. Septum nasi membagi hidung
menjadi sisi kiri dan sisi kanan rongga nasal. Terdapat lubang
hidung sebagai tempat masuk udara yaitu nares anterior (lubang
hidung depan) dan nares posterior (lubang hidung belakang).
Sementara kulit luar dipalisi oleh epitel berlapis gepeng bertanduk
bersama dengan kelenjar keringat dan kelenjar sebasea.
Nasal di bagian eksternal berbentuk piramid dan tersusun dari
rangka hidung serta cuping hidung. Cuping hidung tersusun dari
jaringan ikat sedangkan rangka hidung terbagi lagi menjadi bagian
yang terdiri dari tulang keras dan bagian yang terdiri dari tulang
rawan.
a) Bagian yang terdiri dari tulang keras terdapat:
1) Os nasale
2) Processus frontalis os maxillaris
3) Bagian nasal os frontalis
b) Bagian yang terdiri dari tulang rawan terdapat:
1) Cartilago septal nasi yang memisahkan nares nasi dextra
dan sinistra
2) Cartilago nasi lateralis
3) Cartilago ala nasi mayor dan minor
Selain tulang, hidung eksternal juga dibungkus oleh dua otot
yaitu M. nasalis dan M. depressor septi nasi. Untuk bagian septum
nasi, selain dibentuk oleh cartilago septal nasi, juga dibentuk oleh
os vomer dan lamina perpendicular ossis ethmoidalis.

7
a.

b.

c.

Gambar 2.1 (a) Rangka hidung tampak ventral & Cartilaginea nasi ;
(b) Rangka hidung tampak lateral ; (c) Septum nasi 2

8
Hidung Dalam

Kavitas nasi dimulai dari nares di anterior sampai koana di


posterior. Kavitas nasi dibagi menjadi dua bagian kanan dan kiri
oleh septum nasi, masing-masing paruh terdiri dari:
a. Atap hidung
Atap hidung dibentuk oleh cartilagines nasi dan tulang-
tulang os nasal, lamina cribosa os frontalis, os etmoid, dan
korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh
lamina kribrosa yang dilalui oleh filamen-filamen n.olfaktorius
yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan
menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial
konka superior.
b. Dasar hidung
Dasar hidung memisahkan cavitas nasi dengan cavitas oris.
Di bagian depan dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan
di belakang dibentuk oleh prosesus horizontal os palatum.
c. Dinding medial atau Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan
kiri. Dari anterior ke posterior terdiri atas: Cartilago septi nasi,
lamina perpendicularis os. ethmoid, os. vomer.

9
d. Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus
frontalis os maksila, os lakrimalis, konka nasalis superior dan
konka nasalis media yang merupakan bagian dari os etmoid,
konka nasalis inferior, dan os sphenoid (lamina pterigoideus
medial).
 Meatus nasi superior
Meatus nasi superior atau fisura etmoid merupakan
suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os
etmoid di atas konka nasalis media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior
melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi.
Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os
sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat
bermuaranya sinus sfenoid.
 Meatus nasi media
Merupakan salah satu celah yang penting yang
merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan
meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus
frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada
dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit
yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau
fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan
meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan
hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti
laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas
infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid
yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus
frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior

10
biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-
sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior
atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus
frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang
duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan
infundibulum.
 Meatus nasi inferior
Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara
ketiga meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis
yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm dibelakang
batas posterior nostril.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus
yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid.
Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara
lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya
menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah
apeks prosesus zygomatikus os maksilla.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang
kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak
hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal
dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan
zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh
pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan
melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel
epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel
goblet.
Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus
etmoid anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung.
Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat
jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina

11
papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM
adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. KOM
merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan
drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus
maksila, sinus etmoid anterior, dan sinus frontal.
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh
infundibulum karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila
akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk
ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan
keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai
serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret
dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam
celah di antara prosesus unsinatus dan konka media.
Perdarahan Hidung

Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari


a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.
oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung
mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di
antaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a .sfenopalatina yang

12
keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan
memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang – cabang
a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang a. sfenopalatina, a.etmoid anterior, a. labialis superior, dan
a. palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area).
Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan berbentuk anyaman
sehingga mudah cidera oleh trauma, dan sering menjadi sumber
epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur
luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan
sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.
Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari
n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga
hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari
n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus
superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada

13
sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah
sepertiga atas hidung.
Histologi hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologi
dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa
penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu
yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal
dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital
skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda
dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel goblet. Dibawah epitel hidung terdapat tunika
propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar
mukosa, dan jaringan limfoid.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan
yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari
tunika propia dan tersusun secara parallel dan longitudinal. Arteriol
ini memberikan perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler
dan sub epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka
ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh
jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid
mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan
darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan
susunan demikian mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa
yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi
dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf
otonom.

14
 Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu
epitel skuamous kompleks pada vestibulum, epitel transisional
terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar
berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius.
Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia
ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar
berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini
merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk
kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang
menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel
primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet.
Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal yang
menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir
dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di
daerah konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah
di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2. Pada konka superior
ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi
menghidu. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel
penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (berfungsi sebagai
reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron

15
olfaktorius otak), sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar
Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman
menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius
sehingga memudahkan akses neuron untuk membau zat-zat.

1
 Silia
Silia merupakan struktur yang menonjol dari
permukaan sel. Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran
sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah
pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 μm dengan diameter 0,3
μm. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral
tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar.
Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh
bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia
tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah
permukaan sel. Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-
tiba ke satu arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh
lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini. Dengan
demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan. Silia
ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek
domino (metachronical waves) pada satu area arahnya sama.
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat,
merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar
seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu

16
lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer)
yang disebut lapisan perisiliar. Cairan perisiliar mengandung
glikoprotein mukus, protein serum, protein sekresi dengan
berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperanan penting
pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada
dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam
cairan ini. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap
partikel terinhalasi dan dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar,
menelan dan bersin. Lapisan ini juga berfungsi sebagai
pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas
atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang
terperangkap. Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk
mengatur interaksi antara silia dan palut lendir, serta sangat
menentukan pengaturan transportasi mukosiliar.
 Membrana Basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran
rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat
lapisan yang lebih tebal yang terdiri atas kolagen dan fibril
retikulin.
 Lamina Propia
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana
basalis. Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan
subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial,
lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan
kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan
ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh
darah dan saraf. Mukosa pada sinus paranasal merupakan
lanjutan dari mukosa hidung. Mukosanya lebih tipis dan
kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu
bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan lamina
propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya.

17
Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan
lendir ke arah hidung melalui ostium masing-masing. Diantara
semua sinus paranasal, maka sinus maksila mempunyai
kepadatan sel goblet yang paling tinggi.
Sistem Transport Mukosilier
Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan
aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel
berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektivitas sistem
transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir.
Palut lendir dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar
seromusinosa submukosa.
Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa
sedangkan bagian dari permukaannya terdiri dari mukus yang lebih
elastik dan banyak mengandung protein plasma seperti albumin,
IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa
mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease dan IgA
sekretorik. Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting
untuk pertahanan lokal yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi
untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan
mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan
IgG beraksi dalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika
terpajan dengan antigen bakteri.
Pada sinus maksila, sistem transport mukosilier
menggerakkan sekret sepanjang dinding anterior, medial, posterior
dan lateral serta atap rongga sinus yang mengarah ke ostium
dengan sekret lebih kental tetapi drainasenya lebih cepat untuk
mencegah tekanan negatif dan berkembangnya infeksi. Kerusakan
mukosa yang ringan tidak akan menghentikan atau mengubah
transport dan secret akan melewati mukosa yang yang rusak
tersebut. Jika sekret lebih kental, secret akan terhenti pada mukosa
yang mengalami defek.

18
Gerakan sistem mukosilier pada sinus frontal mengikuti
gerakan spiral. Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal,
kemudian ke atap, dinding lateral dan bagian inferior dari dinding
anterior dan posterior menuju resesus frontal. Gerakan spiral
menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan pada
sinus etmoid terjadi gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di
dasar sinus atau gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah satu
dindingnya.
Terdapat dua rute besar transport mukosilier pada dinding
lateral:
1. Merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan
etmoid anterior. Sekretnya bergabung di dekat infundibulum
etmoid selanjutnya berjalan menuju tepi prosesus unsinatus,
dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju
nasofaring melewati bagian anterior orifisium tuba
eustachius. Transport aktif berlanjut ke batas epitel bersilia
dan skuamosa di nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah
dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan.
2. Merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan
sfenoid yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju
nasofaring pada bagian postero-superior orifisium tuba
eustachius.
Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan
bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba
eustachius. Sekret dari septum akan berjalan vertikal ke arah bawah
terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian
inferior tuba eustachius.

19
FISIOLOGI HIDUNG
a. Fungsi respirasi atau sebagai jalan nafas untuk mengatur
kondisi udara (air conditioning). Udara inspirasi masuk ke
hidung menuju system respirasi melalui nares anterior, lalu
naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke
bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami
humidifikasi oleh palut lender. Pada musim panas, udara
hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan
udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim
dingin terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung
diatur sehingga berkisar 37 derajat celcius oleh banyaknya
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka
dan septum yang luas.
b. Fungsi proteksi yang diperankan oleh sistem transport
mukosilier. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang
terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh rambut
(vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, dan palut lender. Debu
dan bakteri akan melekat pada palut lender dan partikel-
partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
c. Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius
(penciuman) pada atap rongga hidung, konka superior, dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai
daerah ini dengan cara difusi dengan palut lender atau bila
menarik nafas dengan kuat.
d. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara. Sumbatan
pada hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau atau rinolalia. Selain
itu juga membantu proses pembentukan kata-kata. Kata
dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada

20
pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup
dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
e. Refleks nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks
yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan
pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan
refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2.2 Rinitis Alergi


2.2.1 Definisi
Rhinitis didefinisikan sebagai suatu kondisi inflamasi yang
melibatkan mukosa hidung. Gejala-gejala rhinitis meliputi
sumbatan pada hidung, hiperirratabilitas dan hipersekresi. Rhinitis
bisa disebabkan oleh bermacam-macam kondisi yang berbeda-beda
alergi maupun non-alergi. Insidensi rhinitis terlihat meningkat di
kawasan eropa tepatnya setelah revolusi industri. Satu dari lima
orang Amerika diperkirakan menderita rhinitis
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
alergi pada pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut.
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s
Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE.

2.2.2 Epidemiologi
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau
lebih dari 600 juta penderita dari seluruh etnis dan usia.

21
Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya menderita
rhinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada
anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada
dewasa prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan perempuan.
Sekitar 80% kasus rhnitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun.
Insidensirinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan
dengan usia.
Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung
prevalensi rhinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup
tinggi (5,8%).

2.3 Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan,
misalnya tungau deburumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang,
rerumputan, serta jamur.
2. .Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, sapi,telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan
kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dansengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

2.4 Manifestasi Klinis


Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi
hari, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar
air mata (lakrimasi).

22
Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa
bersin, mata atau palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung
tersumbat.
Pada mata dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal,
conjungtivitis, mata terasa terbakar, dan lakrimasi. Pada telinga bisa
dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian tengah

2.5 Patofisiologi Rinitis Alergi


Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction
atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan allergen sampai satu jam setelahnya dan Late Phase Allergic
Reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung sampai24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosityang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap allergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T Helper (Th0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1(IL1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2
akan menghasilakan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4
dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel
inimenjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel

23
mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi
terpapar dengan allergen yang sama,maka kedua rantai IgE akan mengikat
allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk ( Preformed Mediators) terutama histamine. Selain itu juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrein D4 (LTD4),Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin.Inilah yang disebut
sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).
Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.
Histamine juga akan menyebabkan sel mukosa dan sel goblet megalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea.
Gejala lain dalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.Selain
histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan
rangsangan padamukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul
kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eusinofil dan noutrofil di
jaringan target. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiper responsive hidung
adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya
seperti ECP, EDP, MBP, EPO. Pada fase ini, selain factor spesifik
(allergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti
asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban
udara yang tinggi.

2.6 Klasifikasi Rinitis Alergi


Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi :
a. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya
ada di negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya
spesifik, yaitu tepungsari (pollen), rerumputan, dan spora jamur.

24
b. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul
intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang
paling sering ialah alergen inhalan dan alergen ingestan.
Berdasarkan WHO Initiative ARIA, rinitis alergi berdasarkan sifat
berlangsungnyadibagi menjadi:
a. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu
atau kurang dari 4minggu.
b. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari
4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi
dibagi menjadi:
a. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
mengganggu.
b. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut
di atas.

2.7 Penegakkan Diagnosis


2.7.1 Anamnesis
Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin yang berula
ng. Bersin ini merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang
RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain adalah
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak keluar air mata (lakrimasi).
Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan.
Pasien juga perlu ditanya gangguan alergi selain yang menyerang
hidung, seperti asma, eczema, urtikaria, atau sensitivitas obat.
Keadaan lingkungan kerja dan tempat tinggal juga perlu
ditanya untuk mengaitkan awitan gejala.

25
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema basah,
berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak.
Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertofi.
Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap
di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder
akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain
itu juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal
dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute.
Menggosok-gosok hidung mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut
allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-
langit yang tinggi,sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring
tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran
peta (geographic tongue)
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Invitro :Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau
meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total sering kali
menunjukkan nilai normal.
Invivo :Allergen penyebab dapat dicari dengan cara
pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang
tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/ SET). SET
dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen
dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Untuk allergen makanan, uji kulit Intracutaneus Provocative
Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat
dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test)

26
2.7.4 Diagnosis Banding
1. Rinitis Vasomotor
2. Rinitis infeksi
Rinitis alergi Rinitis vasomotor
Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4
Riwayat terpapar Riwayat terpapar
allergen ( + allergen ( - )
)
Etiologi Reaksi Ag - Ab Reaksi neurovaskuler
terhadap rangsangan terhadap beberapa
spesifik rangsangan mekanis atau
kimia, juga faktor
psikologis
Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol
Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif
Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak
meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
Ig E darah Meningkat Tidak meningkat
Neurektomi n. Tidak membantu Membantu
vidianus

2.8 Penatalaksanaan
a. Terapi yang paling ideal dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebab dan eliminasi.
b. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan
yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non-
sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik sehingga dapat
menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah
difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin. Antihistamin
generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah
otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak

27
mempunyai efek antikolinergik, anti adrenergik dan efek pada SSP
minimal. Antihistamin generasi-2 yang aman adalah loratadin,
setirizin, feksofenadin. Dianjurkan konsumsi antihistamin agar
dimakan secara reguler dan bukan dimakan seperlunya saja karena
akan memberikan efek meredakan gejala alergi yang efektif. Apabila
antihistamin generasi pertama dipilih, maka pemberian secara reguler
akan memberi toleransi kepada pasien terhadap efek sedasi sehingga
ia mampu tetap toleran terhadap pekerjaannya
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan
hidung akibat responfase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat
lain. Dekongestan oral berkerja mengurangi edema pada membran
mukus hidung karena bersifat vasokonstriksi (alfa adrenergik),
sehingga efek obat ini melengkapi pengobatan gejala rinitis alergi
oleh antihistamin dengan mengurangi edema membran mukus. Contoh
obat dekongestan oral adalah pseudoefedrin, fenilpropanolamin,
fenilefrin. Obat ini cukup diberikan beberapa hari saja. Dianjurkan
pemberian dekongestan oral dibandingkan dekongestan topikal karena
efek "rebound phenomena" obat tersebut terhadap mukosa hidung
yang dapat menyebabkan rinitis medikamentosa. Pemberian obat ini
merupakan kontraindikasi bila pasien sedang mengonsumsi atau
dalam fase "tappering off" dari obat-obatan monoamin oksidase
inhibitor karena bahaya akan terjadinya krisis hipertensi.
c. Operatif
Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple
outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi serta dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
d. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan
gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan
pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

28
Cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau
hiposensitisasi. Caranya adalah dengan memberikan injeksi berulang
dan dosis yang ditingkatkan dari alergen, tujuannya adalah
mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan menghilangkan sama
sekali. Imunoterapi bekerja dengan pergeseran produksi antibodi IgE
menjadi produksi IgG atau dengan cara menginduksi supresi yang
dimediasi oleh sel T (lebih meningkatkan produksi Th1 dan IFN-y).
Dengan adanya IgG, maka antibodi ini akan bersifat "blocking
antibody" karena berkompetisi dengan IgE terhadap alergen,
kemudian mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-antibodi
untuk kemudian difagosit. Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam
tubuh dan tidak merangsangmembran mastosit.
e. Edukasi Pasien
Memberikan edukasi pada pasien utnuk menghindari bahan-
bahan yang merupakanallergen.

2.9 Komplikasi
a. Polip hidung Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung
merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan
kekambuhan polip hidung.
b. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal

2.10 Prognosis
Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih
parah dapat memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-
anak) semakin dewasa akan semakin kurang sensitif terhadap. Namun,
sebagai aturan umum, jika suatu zat menjadi penyebab alergi bagi seorang
individu, maka zat tersebut dapat terus mempengaruhi orang itu dalam
jangka panjang.

29
DAFTAR PUSTAKA

ARIA. ARIA At A Glance Pocket Reference 2007 1st


Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R. Ear, Nose, and Throat Diseases A
Pocket Reference. 2nd ed. New York : Thieme Medical Publishers Inc,
1994. p. 210-3.
Edition. 2007.12.Plaut, M., Valentine, M D. Allergic Rhinitis. The New England
Journal of Medicine 353;18. 2005; 1934-1943.
Eroschenko, V P, Atlas Histologi di Fiore, edisi 11. EGC, Jakarta, 2010 2.
Junqueira,et. all, Histologi Dasar, Teks dan Atlas edisi 10, EGC,
Jakarta,2007
Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam.
Jakarta: BalaiPenerbit FK UI; 2007; 128-134
Jawertz, et al., 2012. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Jones AS. Intrinsic rhinitis. Dalam : Mackay IS, Bull TR, Ed. Rhinology.
ScottBrown’s Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth-Heinemann,
1997. p. 4/9/1 – 17.
National Library of Medicine. Allergic Rhinitis. Diunduh dari
:http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm. [Diakses
24 Juli 2018].
Netter F. H. Atlas of Human Anatomy. Edisi ke empat.USA : Saunders
Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
2013
Ramalingam KK,Sreeramamoorthy. A short practice of otolaryngology.India :All
India Publishers & Distributors, 1992, p.196 – 7.
Snell, R S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta:EGC.
2006; 803-805.
Soepardi, Efiaty A. et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi ke enam. FKUI. Jakarta; 2007; p 145-153

30

Anda mungkin juga menyukai