Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven) adalah berupa penyerangan
terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan merupakan
obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven). Atas dasar kesalahannya, ada dua
kelompok kejahatan terhadap nyawa, yaitu:
Unsur-unsur:
1. Unsur obyektif:
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 syarat yang harus
dipenuhi, yaitu:
Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (doodslag, 338 KUHP) dimaksudkan untuk
menghilangkan nyawa orang lain, sedangkan tindak pidana penganiayaaan
(mishandeling, 351 KUHP) yang ditujukan hanyalah rasa sakit (pijn), luka (letsel)
atau merusak kesehatan saja.
2. Pembunuhan yang Diikuti, Disertai atau Didahului Dengan Tindak Pidana Lain
(339 KUHP)
Unsur-unsur:
a) Untuk menghindarkan:
Unsur-unsur:
1. Unsur subyektif:
1) Dengan sengaja;
1. Unsur obyektif:
1. Pembunuhan Biasa Oleh Ibu Terhadap Bayinya Pada Saat Atau Tidak Lama
Setelah Dilahirkan (Kinderdoodslag, Pasal 341 KUHP)
Unsur-unsur:
4) Waktunya:
Syaratnya, petindaknya haruslah seorang ibu, yang artinya ibu dari bayi yang
dilahirkan.
Perbedaan antara kejahatan dalam pasal 341 KUHP dengan pasal 338 KUHP adalah
kejahatan dalam pasal 341 KUHP harus dilakukan oleh ibu terhadap bayinya ketika
bayi dilahirkan atau tidak lama setelahnya. Sedangkan pasal 338 KUHP tidak harus
dilakukan oleh ibu terhadap bayinya, melainkan oleh siapa saja.
1. Pembunuhan Ibu Terhadap Bayinya Pada Saat Atau Tidak Lama Setelah
Dilahirkan Dengan Direncanakan Lebih Dulu (Kindermoord, Pasal 342
KUHP)
Unsur-unsur:
Perbedaan kejahatan dalam pasal 340 KUHP dengan pasal 342 KUHP adalah dalam
hal pembentukan kehendak, pembunuhan berencana (340 KUHP) dilakukan dalam
keadaan atau suasana batin yang tenang, sebaliknya kindermoord (342 KUHP)
dilakukan dalam keadaan atau suasana batin yang tidak tenang karena dalam suasana
batin yang ketakutan akan diketahui bahwa ia melahirkan bayi.
Pasal 343 KUHP merupakan perkecualian dari ketentuan pasal 58, yang mana
ditujukan agar orang yang berkualitas pribadi selain ibu tidak mendapatkan
keringanan pidana. Tujuan pasal ini hanya dalam hal penjatuhan pidana semata.
Dengan kata lain beban tanggung jawab pidananya yang sama, bukan perbuatannya
yang sama atau dianggap sama.
Unsur-unsur:
Unsur-unsur:
a) Perbuatan:
(1) Mendorong,
(2) Menolong,
Dalam perbuatan mendorong (aanzetten), inisiatif untuk melakukan bunuh diri bukan
berasal dari orang yang bunuh diri, melainkan dari orang lain, yakni dari orang yang
mendorong. Berbeda dengan perbuatan menolong dan memberikan sarana, karena
dalam kedua perbuatan ini, inisiatif untuk bunuh diri berasal dari korban sendiri.
7. Pengguguran dan Pembunuhan Terhadap Kandungan (346, 347, 348, dan 349
KUHP)
Unsur-unsur:
Unsur obyektif:
1. Petindak: seorang wanita,
2. Perbuatan:
1) Menggugurkan
2) Mematikan
Unsur-unsur:
Unsur obyektif:
1) Perbuatan:
a) menggugurkan,
b) mematikan
Unsur-unsur:
Unsur obyektif:
1) Perbuatan:
a) menggugurkan,
b) mematikan
Perbedaan mendasar antara kejahatan dalam pasal 347 KUHP dengan kejahatan
dalam pasal 348 KUHP adalah dalam pasal 347, pengguguran dan pembunuhan
kandungan dilakukan tanpa persetujuan perempuan yang mengandung sedangkan
pasal 348 dilakukan atas persetujuan perempuan yang mengandung.
Perbuatan dokter, bidan atau juru obat tersebut dapat berupa perbuatan:
(1) Melakukan
Perbuatan melakukan adalah berupa perbuatan melaksanakan dari kejahatan itu, yang
artinya dialah (dokter, bidan atau juru obat) sebagai pelaku baik sebagai petindaknya
maupun sebagai pelaku pelaksananya (plegen). Sebagai petindak, apabila ia
melaksanakan kejahatan itu sendiri, tanpa ada orang lain yang ikut terlibat dalam
kejahatan itu. Sebagai pelaku pelaksananya apabila dalam melaksanakan kejahatan itu
dapat terlibat orang lain selain dirinya. Membantu melaksanakan adalah berupa
perbuatan yang wujud dan sifatnya sebagai perbuatan yang mempermudah atau
melancarkan pelaksanaan kejahatan itu.
Perbedaan pasal 338 KUHP dengan pasal 359 KUHP adalah dalam pasal 338,
kesalahan dalam pembunuhan adalah kesengajaan sedangkan dalam pasal 359 KUHP
kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati.
BAB II
Secara formal atau secara perumusan undang-undang, suatu tindakan adalah bersifat
melawan hukum, apabila seseorang melanggar suatu ketentuan undang-undang,
karena bertentangan dengan undang-undang. Dengan perkataan lain semua tindakan
yang bertentangan dengan undang-undang, atau suatu tindakan yang telah memenuhi
perumusan delik dalam undang-undang, baik sifat melawan hukum itu dirumuskan
atau tidak adalah tindakan-tindakan yang bersifat melawan hukum. Sifat melawan
hukum itu hanya akan hilang atau ditiadakan, jika ada dasar-dasar peniadaanya
ditentukan dalam undang-undang.
Bagi para sarjana yang menganut pandangan formal mengenai sifat melawan hukum
dalam hubungannya dengan perumusan suatu delik, apabila bersifat melawan hukum
(bmh) tidak dirumuskan dalan suatu delik, tidak perlu lagi diselidiki tentang bersifat
melawan hukum itu. Karena dengan sendirinya seluruh tindakan itu sudah bersifat
melawan hukum. Sedangkan jika bersifat melawan hukum ini dicantumkan dalam
rumusan delik, maka bersifat melawan hukum itu harus diselidiki. Dan dalam rangka
penuntutan/mengadili harus terbukti bersifat melawan hukum tersebut. Justru
dicantumkannya bersifat melawan hukum tersebut dalam norma delik, menghendaki
penelitian apakah tindakan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Demikianlah
antara lain pendapat SIMONS dan para pengikut ajaran formal.
Sebaliknya para sarjana yang berpandangan material tentang bersifat melawan
hukum, mengatakan bahwa sifat melawan hukum, selalu dianggap ada dalam setiap
delik, walaupun tidak dengan tegas-dirumuskan. Penganut teori ini mengemukakan
bahwa pengertian dari hukum yang merupakan salah satu kata yang terdapat dalam
bersifat melawan hukum, tidak hanya didasarkan kepada undang-undang saja, tetapi
kepada yang lebih luas lagi, yaitu asas-asas umum yang berlaku sebagai hukum.
Dengan perkataan lain bersifat melawan hukum berarti harus dapat dirasakan sebagai
tidak boleh terjadi, bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat.
Atau lebih tepat jika diartikan dengan tidak boleh terjadi dalam rangka pengayoman
hukum dan perwujudan cita-cita masyarakat.
Penganut ajaran bersifat melawan hukum material antara lain mengemukakan dalih:
Apakah tindakan seorang ayah yang memukul anaknya, seorang guru yang menyetrap
muridnya, seseorang yang sedang lalu menjewer kuping seorang anak yang
menakalinya, yang telah memenuhi rumusan pasal, penganiayaan, juga bersifat
melawan hukum? Apakah seorang dokter dengan alasan pengobatan melakukan
abortus, yang telah memenuhi unsur-unsur pasal 348 KIJHP, bersifat melawan
hukum? Apakah seorang ayah yang memukuli seorang jejaka yang telah menyetubuhi
anak gadisnya di luar nikah, bersifat melawan hukum?
Seseorang dari ekspedisi penyelidikan telah menembak salah searang rekannya yang
luka parah atas permintaan rekannya tersebut. Hal tersebut dilakukan karena tidak
mungkin ada pertolongan pengobatan, tanpa mana tidak mungkin lagi ia sembuh, dan
demi menghindarkan penderitaan yang berlarut-larut dari rekannya tersebut. Tindakan
tersebut sudah memenuhi unsur-unsur pasal 344 KUHP. Apakah tindakan tersebut
juga bersifat melawan hukum? Menurut para penganut ajaran bersifat melawan
hukum material, dalam hal-hal seperti tersebut tindakan itu tidak bersifat melawan
hukum, walaupun telah memenuhi unsur unsur dari suatu delik. Hal itu dikatakan
sebagai tidak bersifat melawan. hukum, karena tindakan tersebut tidak bertentangan
dengan suatu kepatutan dalam masyarakat. Pengikut-pengikut pandangan ini antara
lain ialah ZEVENBFRGEN, Van HAMEL, VOS, JONKERS, MOELJATNO,
ROESLAN SALEH dan sebagainya.
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara,
yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk :
- Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimanayang telah
diancamkan
Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara istilah “pidana” dengan istilah
“hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan
untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi menurut beliau istilah “pidana” lebih baik
daripada “hukuman. Menurut Muladi dan Bardanawawi Arief “Istilah hukuman yang
merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan
berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas.
Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam
istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena
pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian
atau makna sentral yang dapat menunjukan cirri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”.
Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit.
Para pembentuk undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut
mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai
strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah
tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik.
B. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang
termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia.
Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum
apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur
perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah
dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.
Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang
hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan.
Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan yaitu
harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang melakukan
tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja,
mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan
dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si
pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-
undang.
Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat
ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari
pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.
Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus
benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut
dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang, tetapi
apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu
tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam
dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur
yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi :
Ada beberapa tindak pidana yang untuk mendapat sifat tindak pidanya itu
memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya, seperti penghasutan (Pasal 160
KUHP), melanggar kesusilaan (Pasal 281 KUHP), pengemisan (Pasal 504 KUHP),
mabuk (Pasal 561 KUHP). Tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.
Unsur yang memberatkan tindak pidana. Hal ini terdapat dalam delik-delik
yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu,
maka ancaman pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan
seseorang (Pasal 333 KUHP) diancam dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman
pidana diperberat lagi menjadi pidana penjara paling lama 12 (dua belas)
tahun.
Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana. Misalnya dengan sukarela
masuk tentara asing, padahal negara itu akan berperang dengan Indonesia,
pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang (Pasal 123 KUHP).
Tindak pidana juga mengenal adanya unsur subjektif, unsur ini meliputi :
Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila orang tersebut melanggar undang-
undang yang ditetapkan oleh hukum. Tidak semua tindak pidana merupakan
perbuatan melawan hukum karena ada alasan pembenar, berdasarkan pasal 50, pasal
51 KUHP. Sifat dari melawan hukum itu sendiri meliputi :
b. Sifat materiil yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak selalu harus diatur dalam
sebuah undang-undang tetapi juga dengan perasaan keadilan dalam masyarakat.
Sifat melawan hukum untuk yang tercantum dalam undang-undang secara tegas
haruslah dapat dibuktikan. Jika unsure melawan hukum dianggap memiliki fungsi
positif untuk suatu delik maka hal itu haruslah dibuktikan. Jika unsure melawan
hukum dianggap memiliki fungsi negative maka hal itu tidak perlu dibuktikan.
D. KESALAHAN
Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus non facit
reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, maka
pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud pertanggungjawaban
tindak pidana.
Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu
dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga
dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal
apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.
Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut
dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan
unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat
perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan
sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan
dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan
kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang
dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan
mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini
adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah
memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan
memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Disini dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel maka dapat
dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak membuat suatu
perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau
akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu.
Jika unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya dengan
unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil -karena
memang maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materiil-
maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan
melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si
pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada
waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya
tersebut.
Disamping unsur kesengajaan diatas ada pula yang disebut sebagai unsur kelalaian
atau kelapaan atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai kealpaan
yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan disadari atau bewuste schuld.
Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat menduga terjadinya
akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati.
Wilayah culpa ini terletak diantara sengaja dan kebetulan. Kelalaian ini dapat
didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan perbuatan
itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun
pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak menimbulkan akibat yang dilarang
oleh undang-undang, atau pelaku dapat tidak melakukan perbuatan itu sama sekali.
Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai
kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan
adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa
pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu
akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-undang.
Maka dari uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa jika ada hubungan antara
batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada hubungan
lahir yang merupakan hubungan kausal antara perbuatan pelaku dengan akibat yang
dilarang itu, maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan
pidananya itu.
E. PERCOBAAN (POOGING)
Pada umumnya yang dimaksud dengan percobaan adalah suatu perbuatan dimana:
Percobaan adalah suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan akan tetapi pada akhirnya
tidak ada atau belum berhasil. Percobaan atau poooging diatur dalam Bab IX Buku I
KUHP Pasal 53. Dalam KUHP Indonesia tidak dijumpai mengenai rumusan arti atau
definisi “percobaan”, yang dirumuskan hanyalah batasan mengenai kapan dikatakan
ada percobaan untuk melakukan kejahatan. Yang dapat dipidana, hanyalah percobaan
terhadap kejahatan dan tidak terhadap pelanggaran (pasal 54)
Sanksi untuk percobaan berbeda dengan delik yang sempurna. Yakni maksimum
pidana yang dijatuhkan terhadap kejahatan yang bersangkutan dikurangi 1/3.
Niat;
Adanya permulaan pelaksanaan;
Pelaksanaan tidak selesai bukan semata‐mata karena kehendaknya sendiri;
Adalah suatu suatu percobaan apabla sipembuat telah melakukan kesengajaan untuk
menyelesikan suatu tindak pidana tetapi tdak terwujud bukan atas kehendaknya.
Contoh : seorang A menembak B tetapi meleset.
2. Percobaan tertunda atau Percobaan terhenti atau tidak lengkap (tentarif poging)
Adalah suatu percobaan apabila tidak semua perbuatan pelaksanaan disyaratkan untuk
selesainya tindak pidana yang dilakukan tetapi karena satu atau dua yang dilakukan
tidak selesai. Contoh : A membidikan pistolnya ke B dan dihalangi oleh C
Adalah suatu percobaan yang sejak dimulai telah dapat dikatakan tidak mungkin
untuk menimbulkan tindak pidana selesai karena :
- Alat yang dipakai untuk melakukan tindak pidana adalah tidak mampu
- Obyek tindak pidana adalah tidak mampu baik absolut maupun relative.
- Percobaan mutlak karena obyek yaitu suatu percobaan yang tidak mungkin
menimbulkan tindak pidana selesi kaena obyeknya sama sekali tidak mungkin
menjadi obyek tindak pidana.
- Percobaan relatif karena alat yaitu karena alatnya umumnya dapat dipai tetapi
kenyataanya tidak dapat dipakai.
- Percobaan relatif karena obyek yaitu apabila subyeknya pada umumnya dapat
menjadi obyek tindak pidana tetapi tidak dapat menjadi obyek tindaka pidana yang
bersangkutan.
Yaitu untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu tetapi tidak mempunyai hasil
sebagaimana yang dirahakan, melainkan perbuatannya menjadi delik hukum lain atau
tersendiri.
F. PENYERTAAN
Pembuat atau dader diatur dalam Pasal 55 KUHP. Pengertian dader itu berasal dari
kata daad yang di dalam bahasa Belanda berarti sebagai hal melakukan atau sebagai
tindakan. Dalam ilmu hukum pidana, tidaklah lazim orang mengatakan bahwa
seorang pelaku itu telah membuat suatu tindak pidana atau bahwa seorang pembuat
itu telah membuat suatu tindak pidana, akan tetapi yang lazim dikatakan orang adalah
bahwa seorang pelaku itu telah melakukan suatu tindak pidana. Pembuat atau dader
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 KUHP, yang terdiri dari :
1) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang
yang ontoerekeningsvatbaar seperti yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP.
2) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu
kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan
(dwaling).
3) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama sekali tidak
mempunyai schuld, baik dolus maupun culpa ataupun apabila orang tersebut tidak
memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi
tindak pidana tersebut.
4) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi
unsur oogmerk padahal unsur tersebut tidak disyaratkan di dalam rumusan
undang-undang mengenai tindak pidana.
5) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah
melakukannya di bawah pengaruh suatu overmacht atau di bawah pengaruh suatu
keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu
memberikan suatu perlawanan.
6) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik
telah melaksanakan suatu perintah jabatan padahal perintah jabatan tersebut
diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah
semacam itu.
7) Apabila orang yang disuruh melakukan suatu itndak pidana itu tidak mempunyai
suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh
undng-undang yaitu sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya
sendiri.
Yang turut serta (medepleger). Menurut MvT adalah orang yang dengan
sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Oleh karena
itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama.
1). Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang
pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
2). Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan
harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan
dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan
cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.
3). Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut
serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
1. Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana :
Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHP) dengan cara
memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan,
Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP),
Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417 KUHP).
2. Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu dalam hal melakukan
tindak pidana :
Membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3) KUHP).
Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349 KUHP).
Gabungan tindak pidana (samenloop van starfbare feiten) terdiri atas tiga macam
gabungan tindak pidana, yaitu :