Anda di halaman 1dari 12

PENEGAKAN HUKUM DALAM APLIKASI POLITIK DAN

PEMERINTAHAN

BAB I
PENDAHULUAN

Kita menapaki media 2009 dalam suasana transisi electoral yang amat
dinamis. Usai riuh rendah apresisasi dan resistenasi terhadap pelaksanaan pemilu
yang masih berlanjut hingga kini, diselingi dengan keterkejutan publik terhadap
serangan bom di Jakarta, kejutan-kejutan terhadap isu penegakan hukum pun ikut
mewarnainya. Lihatlah bagaimana akhirnya KPK-Polri-Kejaksaan tampak saling
sikut dalam mengiris kewenangan yang selama ini melekat kepada tubuh masing-
masing. Profesionalisme MA diuji ketika memutus perkara PK Syahril Sabirin
dan Djoko Tjandra, badan pengadilan—MK dan MA—yang mencoba membuat
kreativitas putusan mereka sehingga memasuki legal policy terkait dengan system
pemilihan umum, dan harapan masyarakat terhadap realita hukum yang semakin
bermartabat menjelang pemerintahan baru nanti silih berganti menjadi sorotan dan
harapan agenda. Namun bacaan isu pada sisi transisional ini dapat diperas menjadi
satu hal masalah pemilu dan terorisme mengemuka, tetapi perbincangan mengenai
pemberantasan korupsi meredup. Publik pun seolah-olah digiring untuk tidak lagi
berbicara soal kasus korupsi BI, kasus Agus Condro, dan kasus korupsi kakap
lainnya. Maka wacana pemberantasan korupsi, teristimewa isu penegakan hukum
mengalami ujian superberat. Pada satu sisi ia harus berhadapan dengan tantangan
memfasilitasi tercapainya keadilan masyarakat yang mayoritas masih bergulat
kepada masalah ekonomi dan di sisi lain harus memancarkan energi untuk
“berebut” dengan ketegangan-ketegangan politik yang melingkupinya.
Semestinya hal ini tidaklah lagi menjadi persoalan, mengingat secara teoritis,
semenjak reformasi 1998, republib ini mengalami dinamika sosial dan politik
yang amat cepat. Satu kesepakatan dalam literature menunjuk bahwa masa transisi
paling “lunak” adalah 10 tahun sesudah terjadinya banyak goncangan-goncangan

1
kenegaraan, tetapi Indonesia telah menempuh rutenya sendiri dibandingkan apa
yang “in book” tersebut. Sebaliknya, Indonesia justru masih memulai format dan
formalisasi penegakan hukum yang bermartabat tersebut, tetapi tiada pernah bisa
menentukan kapan akan melembaga dan menuju kepada titik finalnya. Tetapi saya
kira justru di sinilah letak Indonesia sebagai “laboratorium hukum” yang par
execellent untuk melihat dan mengkaji persoalan-persoalan tersebut. Termasuk,
bagaimana isu penegakan hukum, kadang-kadang kemudian bergeser dari
“kehangatan formal” masyarakat menuju situasi “amnesia kolektif”: mencuat
kencang sesaat untuk kemudian meredup dalam waktu singkat. Tulisan ini
mencoba mengidentifikasi teoritisasi penegakan hukum dan kemudian mencoba
memberikan gambaran anatomi problem yang meliputi paling kurang 5 tahun
terakhir, dan terakhir dicoba untuk memberikan “urun rembug” bagaimana
penegakan hukum harus menjadi agenda pasca Pemilu 2009 ini.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimanakah penegakan hukum di Indonesia sekarang ini ?
2. Bagaimanakah aplikasi politik di Indonesia di kaitkan pasca pemilu
2009 ini ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Optik Akademik

Seperti dituturkan oleh Charles Himawan, para idealis hukum tata negara
sering berilusi tentang pemerintahan oleh hukum (government of law) dan tidak
pemerintahan oleh manusia (government of men)1. Tetapi praktik menunjukkan
hal yang sebaliknya pemerintahan selalu oleh manusia. Hukum hanya sebagai
alat. Untuk melahirkan hukum yang berwibawa perlu kombinasi yang tepat antara
manusia dan hukum. Jatuh bangunnya suatu negara ditentukan oleh kombinasi ini.
Berhubung dengan hal ini, tokoh Mahzab Hostoris, Friedrich Carl von Savigny
(1779-1861) mengemukakan bahwa hukum tidaklah berada demi dirinya sendiri,
artinya dia terjadi dan berada karena dikehendaki.2 Untuk menerjemahkan hal
tersebut, para pengajur Positivisme Hukum, seperti Rudolf von Jhering (1818-
1892) misalnya, mempunyai proyek besar untuk membangun dan
mengembangkan hukum dalam kenyataan eksistensial.3 Hans Kelsen (1881-
1973), yang sering dituding sebagai pelopor “aliran hukum (yang) murni”
menganggap perlu untuk membersihkan hukum dari anasir-anasir politik dan
kekuasaan.4 Dalam kerangka idealis seperti itu, Satjipto Rahardjo memberikan cap
bahwa kehadiran hukum pada akhirnya akan mengguncang jagat ketertiban. 5
Finalisasi dari kenyataan demikian: hukum melakukan intervensi ke dalam proses
dan suasana alami kehidupan manusia dan hal itu akan membuat hukum menjadi

1
Charles Himawan, Hukum sebagai Panglima, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2003)
2
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum:Problematik Ketertiban yang Adil,
(Jakarta:
Grasindo, 2004) hal 95.
3
Ibid
4
Adi Sulistiyono, Menggugat Dominasi Positivisme dalam Ilmu Hukum, (Surakarta: UNS
Press, 2004) hal 35

5
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2007) hal. 67

3
lebih perkasa lagi jika petuah John Austin (1790-1861) yang mengatakan bahwa
hukum harus ditentukan oleh penguasa, maka jadilah bejana “negara hukum”
yang menempatkan sentralisasi negara sebagai aktor tunggal untuk memetakan
relung dan celah pemanfaatan hukum untuk “tujuan bernegara.” Situasi ini akan
menyebabkan implikasi yang sangat besar, ketika harus berhadapan dengan
paradigma ketertiban versi masyarakat sendiri, lebih-lebih untuk negara majemuk
superwahid seperti Indonesia. Alih-alih membahagiakan rakyatnya, justru akan
melahirkan hukum yang menindas. Padahal, seperti dikatakan oleh Soerjono
Soekanto, berfungsinya hukum mempunyai tujuan ideal untuk menyerasikan
ketertiban dan ketenteraman di dalam masyarakat.6 Jadi, sekalian lahirnya hukum
tidaklah otomatis tercipta ketertiban dan ketenteraman. Agar hukum dapat
berfungsi tentunya perlu penegakan hukum, yang dalam hal ini membutuhkan
energi kekuasaan politik agar keadilan tidak menjadi lumpuh. Sebaliknya, tidaklah
diartikan juga dalam kondisi ini, politik mendorong hukum menjadi perisai
kekuasaan untuk memotong keadilan dan sebagai topeng penguasa agar dapat
berbuat sewenang-wenang. Pada titik ini dapat dipahami bahwa meskipun hukum
mengandung kekuasaan, tetapi kekuasaan tidaklah serta merta menjadi hukum.
Oleh karena itu, walaupun dalam konteks yang lebih moderat, ada rasionalisasi
tuntutan penguatan kapasitas negara untuk menjadi aktor penegakan hukum
primer. Satu dan lain hal karena memang hanya negaralah yang secara moral
politik mempunyai kemampuan untuk memaksakan keberlakuan hukum, tetapi
pada sisi lain mengajak untuk membuat cakrawala yang lebih luas. Seperti kasus
Indonesia, peran negara tidaklah semata-mata sebagai corong ketertiban, tetapi
untuk menciptakan keadilan sosial yang menjunjung martabat kemanusiaan
warganya, di tengah cuatan kapitalisme ekonomi dan mendorong kesejahteraan
pada umumnya. Di sinilah penegakan hukum khas Indonesia yang harus
dipahami: hukum harus membahagikan rakyatnya. Karena hukum itu suatu
sistem, seperti dikatakan oleh Sudikno Mertokusumo, maka dia bukanlah unsur
yang tunggal.7 Dalam konteks ini, ketika hukum harus mampu “membahagiakan

6
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Bina Cipta dan Badan Pembinaan
Hukum
Nasional, 1983) hal. 87
7
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Yogyakarta: Liberty, 2003) hal 58.

4
rakyat”nya, maka agenda penegaan hukum harus tajam menyorot kepada tujuan
mulia tersebut, termasuk pasca Pemilu 2009. Agenda itu dalam pandangan saya
bisa disorot oleh 5 kerangka makro, yaitu: (i) komitmen presiden dan wakil
presiden;
(ii) nasionalisme parlemen;
(iii) idealisme aparat penegak hukum;
(iv) peta legislasi yang responsive; dan
(v) penguatan budaya hukum.
Oleh karena itu percakapan mengenai penegakan hukum akan
menggunakan faktor tersebut sebagai entry point.

B. Komitmen Presiden - Idealisme


Penegakan hukum membutuhkan agenda yang harus didukung oleh
strukturisasi yang kuat. Seperti dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa
penegakan hukum (modern) dijalankan oleh komponen aparatur negara.8 Oleh
sebab itu, perilaku aparatur negara dalam struktur hukum Indonesia menjadi amat
penting untuk disorot dalam proses penegakan hukum. Pada titik ini, langkah
paling awal adalah komitmen presiden dan wakil presiden untuk menjadikan
agenda penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi, menjadi isu penting
dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Walaupun kita telah memasuki era reformasi,
akan tetapi wacana-wacana seperti pemerintahan bersih, penghindaran conflict of
interest dalam birokrasi, dan ketetapan menjalankan hukum nondiskriminatif terus
mengemuka. Berbagai wacana itu saya kira jika dicermati akan membawa kepada
satu pemahaman tunggal, supremasi hukum. Kepemimpinan presiden menjadi
amat penting, bukan saja pelekatan kepada keteladanan yang terbungkus oleh
patronase, akan tetapi pengalaman 5 tahun terakhir, komitmen sang pemimpin
menentukan citra pemerintahannya dan harus diuji kepada rakyat, apakah
mempunyai komitmen kepada supremasi hukum ataukah justru mendorong
penegakan hukum ke jalur lambat yang mencederasi persepsi publik. Dengan
komitmen yang melembaga kepada moralitas kepresidenan, diharapkan akan
menjadi pendorong bagi berkembangnya idealisme aparatur dalam birokrasi

8
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1986) hal 35

5
penegakan hukum. Masalah idealisme aparat penegak hukum—polisi, jaksa, dan
hakim—sudah menjadi masalah legenda di tanah air. Tidak mudah mendapatkan
aparat penegak hukum yang baik dan jujur. Kritik pedas yang selama ini masih
bergaung untuk menggambarkan betapa legenda itu terus menjadi persoalan
negara ini adalah mafia peradilan. Di tangan para gangster peradilan, hukum lahir
sebagai produk yang dapat diperjualbelikan dan akhirnya dinistakan yang
akhirnya akan menghancurkan dunia hukum itu sendiri. Mafia peradilan
merambah semua lini sistem hukum kita dari hulu hingga hilir. Dari proses
penyelidikan hingga proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung, hingga
proses pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan. Terungkapnya praktik jual beli
perkara yang dilakukan oleh Hariniadvokat Probosutedjo—dengan beberapa
pegawai MA, yang diduga melibatkan pula majelis hakim yang memeriksa
perkara tersebut, kasus jaksa Urip dan Artalyta Suryani beberapa waktu lalu
misalnya, hanyalah puncak gunung es, praktik serupa telah, masih, dan
kemungkinan akan terus terjadi. Itu hanya sekelumit kisah yang menunjukkan
satu hal akibat mafia peradilan: krisis peradilan.9 Untuk pembenahan pengadilan
misalnya, usaha pembentukan Komisi Yudisial sebenarnya merupakan teroban
inkonvensional yang amat penting. Tetapi akibat ketidaksamaan visi mengenai
judicial corruption, maka yang terjadi adalah konflik kelembagaan Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial. Bahkan melalui putusan No.005/PUU-IV/2006,
Mahkamah Konstitusi—lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman pasca
Perubahan UUD 1945—mengamputasi kewenangan Komisi Yudisial untuk
mengawasi para hakim dengan alasan tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian
hukum. Kita pun bisa meributkan, di mana saat ini posisi Komisi Kepolisian
Nasional dan Komisi Kejaksaan yang bertugas untuk mendorong institusi masing-
masing dalam melakukan reformasi internal Pada sisi lain, kehadiran Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memberikan kinerja yang amat signifikan
dalam upaya pemberantasan korupsi, khususnya yang menyeret pejabat negara
dan politisi. Akan tetapi, keberhasilan itu tidaklah ditanggapi dengan apresiasi
yang baik karena yang muncul adalah upaya untuk dari hari ke hari makin

9
Lihat selengkapnya dalam Adi Sulistiyono, Krisis Lembaga Peradilan di Indonesia,
(Surakarta:UNS Press, 2006) hal. 45

6
memojokkan komisi ini mulai dari pernyataan Presiden mengenai watak
superbody-nya, keenggaan DPR untuk mendukung pendanaan, upaya menggugat
UU No.30/2002, hingga penetapan inkonstitusionalitasnya Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi oleh Mahkamah Konstitusi. Bahkan batas waktu 3 tahun
semenjak 2006 untuk menyempurnakan eksistensi Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi nampaknya amat sulit untuk dipenuhi oleh DPR dan Pemerintah yang
sudah sepakat untuk mengakhiri keadidayaan KPK. Belum lagi, jerat hukum pada
diri Ketua KPK Antasari Azhar yang kemudian ditarik ke ranah publik dalam
persoalan kerja KPK dalam melakukan wewenangnya disertai ancaman
memidanakan para pimpinan KPK. Jangan juga dilupakan, bahwa komposisi
parlemen akan menentukan dan membangun realitas penegakan hukum. Harapan
besar sangat layak dibebankan kepada Partai Demokrat, yang telah memenangi
pemilu legislatif. Kepadanya dinisbatkan kepercayaan untuk mendorong
terbentuknya Undang-Undang Antikorupsi, pemilihan Kepala Kepolisian yang
tidak hanya bersemangat memberantas terorisme tetapi juga memiliki legitimasi
moral untuk memberantas korupsi dan bukan menggunakan kekuasaannya kepada
lembaga antikorupsi seperti kejadian sekarang. Mereka juga bertanggung jawab
untuk memulihkan strukturasi Komisi Yudisial dan memilih anggotanya yang
bersih, serta dalam jangka panjang mereka juga harus membangun komitmen
yang mendalam untuk mengisi hakim agung dan hakim konstitusi yang secara
professional akan mendorong agenda penegakan hukum dalam titik yang
mencerahkan. Bersamaan dengan ini upaya pembenahan di Departemen
Keuangan, khususnya menyangkut pajak dan bea cukai harus tetap mendapatkan
dukungan politik yang kuat dari Presiden untuk menarik investasi dengan
menunjuk pejabat yang bersih dan bersedia untuk “bertempur” melawan kekuatan
hitam yang mengotori sektor itu selama ini. Pada sisi lain, kiranya pelembagaan
alternatif penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan, khususnya untuk sektor
bisnis dan ekonomi, layak untuk dipertimbangkan dan dikembangkan.
C. Nasionalisme - Peta Legislasi

Dewan Perwakilan Rakyat (Pusat maupun di daerah) mempunyai peranan


yang sangat strategis dan menentukan ‘mewarnai’ substansi perundang-undangan.

7
Sehubungan dengan hal tersebut, maka departemen, lembaga negara, atau badan
negara bila hendak meloloskan suatu produk hukum mempunyai kewajiban untuk
memberikan pelayanan ekstra pada komisi terkait. Sudah menjadi rahasia umum
menyusun produk undang-undang di Indonesai membutuhkan dana milyaran. 10
Namun itu lebih karena Dalam rencana anggaran tahun 2007 misalnya,
pembentukan tiap satu RUU yang berasal dari usul inisiatif anggota DPR, mulai
dari perencanaan, sampai dengan disahkan, menghabiskan anggaran hampir Rp 5
milyar. Padahal untuk tahun 2007 direncakan ada 50 RUU yang diusulkan sebagai
inisiatif DPR. Sementara proses pembahasan RUU yang berasal dari pemerintah
membutuhkan biaya sekitar Rp 2, 3 milyar per RUU hingga pengesahannya,
dengan asumsi bahwa pada tahun 2007 terdapat 20 RUU yang masuk dari
pemerintah. Jumlah tersebut belum termasuk perjalanan studi banding ke luar
negeri untuk 20 RUU yang dialokasikan sebesar Rp 3 milyar per RUU. Satu RUU
“dijatah” studi banding ke tiga negara, tanpa ada penjelasan mengenai urgensi
studi banding tersebut. Lebih tragis, produk hukum yang disusun seringkali tidak
berkualitas dan mengabaikan kepentingan bangsa sebagaimana termuat dalam
konstitusi. Karena pembahasan pasalpasal di lembaga legislatif tidak selamanya
steril untuk tujuan yang baik, tapi sering kali juga merupakan wahana
pertempuran untuk memperjuangan kepentingan konglomerat, perusahaaan asing,
penguasa, partai, dan sebagainya.11 Pembicaraan meloloskan rancangan undang-
undang, rancangan kebijakan publik pemerintah, serta berbagai hal yang
memerlukan persetujuan DPR membutuhkan waktu yang tidak bisa diprediksi
karena itu juga berdimensi ketidakpastian. Padahal, sementara itu oleh
masalahnya sendiri maupun dalam hubungannya dengan investasi serta proses

10
Secara umum, menarik apa yang dikatakan oleh sosiolog Universitas Airlangga Daniel
Sparingga, yang mengatakan bahwa tingginya biaya politik saat ini, yang akhirnya membuat
politisi “lapar uang”, bukan dikarenakan penerapan system demokrasi liberal
11
Penyusunan suatu produk legislative memang secara teoritis tidak mungkin bersih dari
kemungkinan nonlegal. Seidman dan kawan-kawan memperkenalkan cara mengidentifikasi dan
memecahkan masalah hukum yang terkait dengan penyusunan produk legislasi, yang disebut
ROCCIPI (Rule, Oppurtunity, Capacity, Communiation, Interest, Process, Ideology). Ia merupakan
identifikasi tentang tujuh factor yang kerapkali menimbulkan masalah berkaitan dengan
berlakunya suatu peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, baca: Seidman dkk, Legislatice
Drafting for Democratic Social Change a Manual for Drafters, First Published, Boston: Kluwer
Law International Ltd., 2001

8
ekonomi lainnya, kecepatan tindakan diperlukan.12 Berbicara tentang prosedur
legislasi berarti berbicara tentang pembentuikan undang-undang dario awal
sampai akhir. Mulai dari tahap perencanaan, perancangan, pembahasan, hingga
pengundangan. Sejauh ini upaya perbaikan yang sudah diusahkan DPR adalah
menyangkut aspek pembahasan, sementara untuk aspek yang lain belum disentuh
secara substansial. Prosedur yang lama dalam pembentukan RUU di DPR antara
lain disebabkan distribusi beban kerja anggota yang menumpuk, komposisi
anggota Panitia Khusus yang besar, administrasi jadwal RUU yang kacau,
minimnya keterbukaan rapat Panitia Kerja, dan akses informasi yang tidak
optimal. Penting bagi DPR untuk meninjau kembali Peraturan Tata Tertib agar
proses legislasi dapat berjalan efisien dan terbuka. Dan ini harus dibarengi dengan
kesantunan politik: nasionalisme parlemen. Para politisi di Senayan dapat saja
berbicara secara berbeda dalam argumentasi untuk memperjuangkan
kepentingannya, tetapi ketika kepada mereka diamanahkan untuk “memahat”
pasal-pasal legislasi, seketika baju rendahnya integritas sebagian politisi dan
maraknya korupsi kekuasaan. Saat ini cita-cita bersama sudah menguap dan
diganti oleh politik yang bersifat transaksional dan instrumental. Akibatnya,
politisi harus mengeluarkan banyak uang ketika akan meraih kekuasaan. Baca:
“Integritas Politisi Rendah: Biaya Politik Tinggi Bukan karena Kesalahan
Sistem”, Kompas, 26 Oktober 2007.13 kepentingan itu harus ditanggalkan dan
harus mengemuka semangat menjaga kepentingan bangsa. Perlu sekali untuk
menghindarkan kontroversi legislasi yang amat menguras energi dan focus kepada
persoalan bangsa yang membutuhkan dukungan legislasi untuk pemecahannya.
Penumbuhan nasionalisme itu mempunyai tali temali yang erat dengan upaya
pembangunan karakter bangsa yang harus dilaksanakan secara realistis. Tidak lagi
cukup dengan dikemas dalam jargon terkait nasionalisme belaka, melainkan harus
ada upaya yang realistis. Sebagaimana diungkapkan oleh Gumilar Rusliwa
Somantri13, membangun karakter bangsa berarti secara nyata dan realistis
membangun keunggulan, daya saing, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pembangunan karakter bangsa menjadi bagian dari upaya

12
Tajuk Rencana, Kompas, 26 Februari 2007

13
“Pembangunan Karakter Harus Realistis”, Kompas, 26 Oktober 2007.

9
menumbuhkan memori kolektif ke arah bangsa ke depan. Diungkapkan juga
bahwa pada masa kini dan mendatang, Indonesia dihadapkan pada pilihan yakni
antara Nationstate yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia dan suatu
bangsa yang dibayangkan memancarkan karakter bangsa tertentu. Pilihan lainnya
adalah welfare state, yaitu negara yang mengutamakan kesejahteraan warganya
tanpa harus memosisikan ideologi kebangsaan yang kentara sebagai sentralnya.
Dalam welfare state, manusia dipandang sebagai subyek yang dapat berpikir,
merancangkehidupannya, dan memproduksi sesuatu. Negara menjadi fasilitator
dan tak lagi merupakan kekuasaan sentral yang mendominasi. Dengan
peningkatan kesejahteraan, pendidikan, perbaikan hukum secara nyata akan
tercipta kebanggaan sebagai suatu bangsa. Budaya Hukum Dalam konteks
struktur dan substansi, maka budaya hukum diarahkan untuk melekatkan kepada
jalur timbangan yang serasi antara unsur hukum dan unsure manusia dalam proses
penegakan hukum. Bila dalam suatu proses penegakan hukum, unsur manusia
terlalu besar, maka ini akan membahayakan penegakan hukum itu sendiri. Telusur
terhadap upaya perjuangan hukum dan hak asasi manusia misalnya,
mencerminkan bahwa ketika unsur manusia menjadi besar, maka hilangah
keadilan dalam masyarakat bersangkutan. Sebaliknya, bila dalam suatu system
pemerintahan, unsur hukum sebagai tulisan yang mati (dead letter rules) terlalu
dipojokkan, maka ini juga akan menghilangkan unsure keadilan yang justru
hendak dicari oleh hukum yang bersangkutan. Lebih dari 2000 tahun yang lalu,
Aristoteles sudah melihat kemungkinan ini dan menyarankan perlu adanya
keadilan distributif atau kebijaksanaan untuk mengoreksi pelaksanaan hukum
yang melihatnya semata-mata sebagai tulisan mati. Dari uraian tersebut,
nampaknya dalam upaya penegakan hukum diperlukan seni untuk mencari titik
tengah yang memberikan keseimbangan antara manusia yang penuh emosi dan
hukum yang hanya merupakan tulisan mati. Inilah kesekurannya dalam
“berhukum” versi masyarakat majemuk seperti halnya di Indonesia. Hanya hukum
yang mencerminkan keseimbangan tersebut dapat berwibawa. Dalam hal acuan
awal untuk menetapkan kultur hukum dalam penegakan hukum, kiranya pendapat
Phillipe Nonet dan Philip Zelznick mengenai hukum yang responsive (responsive

10
law) dapat doigunakan sebagai acuan awal.14 Makna responsif, seperti dikatakan
oleh Ayres dan John Braithwaite adalah regulasi harus responsive terhadap
struktur industri. Pengaturan yang responsif mengarahkan transaksi pasar (market
place transaction) kepada bentuk intervensi otoritas pengaturan yang tidak terlalu
intrusive dan terpusat. Ciri-ciri hukum yang responsif tersebut seharusnya dapat
terefleksikan dalam hukum yang terkait dengan hukum ekonomi pada umumnya,
di mana inovasi terhadap produk demikian cepat sehingga ketentuan yang rigid
sangat mungkin akan tertinggal dengan perekmbnangan pasar. Responsifitas
hukum di atas harus dibarengi dengan perubahan pendekatan operasionalisasinya,
dari dewasa ini yang cenderung didasarkan kepada peraturan perundang-undangan
(rule based regulation) seperti aturan rinci mengenai kecukupan modal (capital
adequacy) kepada pendekatan enforced- selfregulation. Pendekatan ini merupakan
kecenderungan dalam perkembangan hukum modern dan berisi komponen
empiris maupun normatif. Enforced self regulation dipandang sebagai bentuk
reulasi yang paling ideal dalam tingkat perkembangan hukum yang dikemukakan
oleh Gunter Teubner.15 Oleh karena itu gagasan penerapan hukum responsif
menarik untuk dijadikan suatu alternatif pendekatan yang dapat mendorong
regulasi yang kompetitif di lingkungan global seperti sekarang. Dengan
pendekatan Enforced self regulation diharapkan dapat merespon perkembangan
perekonomian mondial dewasa ini agar interaksi perekonomian antarnegara dan
adopsi transaksi baru di Indonesia dapat berjalan dengan baik.

BAB III
KESIMPULAN

Dari paparan di atas, kita semua mempunyai harapan agar konsentrasi


energi politik pasca Pemilu 2009 diarahkan untuk menciptakan mekanisme
14
Phillipe Nonet dan Philip Zelznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive,
New York,Harper and Raw Publisher, 1978
15
Menurut Teubner, ada 3 (tiga) model tingkat perkembangan hukum dalam masyarakat
modern, yaitu (1) The formal rationality, di mana hjukum berorientasi kepada aturan dan deduktif;
(2) The substantive rationality di mana hukum ditujukan untuk mengatur aktivitas ekonomi dan
social dalam rangka kompensasi terhadap kekurangan pasar dan diterapkan melalui regulasi,
satndar , dan prinsipprinsip; dan (3) The reflective rationality, di ana kemunculan jenis rasionalitas
yang menggantikan dua rasionalitas sebelumnya.

11
penegakan hukum yang memberikan keseimbangan antara manusia yang penuh
emosi dan hukum yang hanya merupakan tulisan mati. Pelaksanaan penegakan
hukum dapat ditetapkan ke dalam 3 lapis prioritas. Lapis pertama adalah
menuntaskan pembenahan struktur penegakan hukum. Dalam hal ini tentunya
revisi UU Komisi Yudisial, UU Pengadilan Tipikor, dan UU Mahkamah
Konstitusi harus menjadi sasaran utama karena akan amat penting bagi upaya
penegakan hukum, lebih-lebih dikaitkan dengan idealisasi pemberantasan korupsi,
pertumbuhan ekonomi, dan reformasi birokrasi. Bersamaan dengan ini upaya
pembenahan di Departemen Keuangan, khususnya menyangkut pajak dan bea
cukai harus tetap mendapatkan dukungan politik yang kuat dari Presiden untuk
menarik investasi dengan menunjuk pejabat yang bersih dan bersedia untuk
“bertempur” melawan kekuatan hitam yang mengotori sector itu selama ini. Pada
sisi lain, kiranya pelembagaan alternatif penyelesaian sengketa di luar jalur
pengadilan, khususnya untuk sector bisnis dan ekonomi, layak untuk
dipertimbangkan dan dikembangkan. Lapis kedua adalah pemenuhan dan struktur
penggajian yang rasional bagi aparat penegak hukum dan sejalan dengan hal
tersebut program renumerasi bagi aparatur birokrasi harus segera dilaksanakan.
Sedangkan lapis ketiga adalah upaya pembenahan kultur dan perilaku hukum.
Pada lapis ini komitmen Presiden dan Wakil Presiden untuk melanjutkan tradisi
good governance menjadi amat menentukan. Sejalan dengan hal itu, penumbuhan
semangat nasionalisme di kalangan parlemen menjadi modal sosial yang amat
penting dalam menentukan arah pertumbuhan peraturan hukum.

12

Anda mungkin juga menyukai