Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Seiring dengan perkembangan obat di bidang farmasi, sediaan obat juga
semakin bervariasi sehingga mudah dikonsumsi dan dapat disesuaikan dengan
kondisi pasien. Bentuk sediaan obat merupakan sediaan farmasi dalam bentuk
tertentu sesuai dengan kebutuhan, mengandung satu zat aktif atau lebih dalam
pembawa yang digunakan sebagai obat dalam ataupun obat luar. Ada berbagai
bentuk sediaan obat di bidang farmasi, yang dapat diklasifikasikan menurut wujud
zat dan rute pemberian sediaan. Berdasarkan wujud zat, bentuk sediaan obat dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu bentuk sediaan cair (larutan sejati, suspensi, dan
emulsi), bentuk sediaan semipadat (krim, lotion, salep, gel, supositoria), dan
bentuk sediaan solida/padat (tablet, kapsul, pil, granul, dan serbuk).
Salah satu contoh sediaan farmasi yang beredar di apotek, instalasi kesehatan,
maupun toko obat adalah sediaan cair atau liquid dengan berbagai fungsi
pembuatan. Sediaan yang ditawarkan sangat beragam mulai dari pemilihan zat
aktif serta zat tambahan seperti bahan pengisi, pemanis, pengawet dan sebagainya.
Pemilihan zat tambahan yang tepat dapat membuat sediaan liquid tetap stabil
dalam penyimpanan dengan jarak waktu yang telah ditentukan.
Sediaan liquid merupakan sediaan dengan wujud cair, mengandung satu atau
lebih zat aktif yang terlarut atau terdispersi stabil dalam medium yang homogen
pada saat di aplikasikan. Sediaan cair atau liquid lebih banyak diminati oleh
kalangan anak-anak dan lanjut usia karena lebih mudah dikonsumsi. Sediaan cair
memiliki keunggulan dalam hal kemudahan pemberian obat dan dosis yang
diberikan relatif lebih akurat dan pengaturan dosis lebih mudah di variasi dengan
penggunaan sendok takar.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mengatasi kontaminasi mikroba pada sediaan cair atau
liquid ?
2. Bagaimana cara mengatasi masalah oksidasi pada sediaan cair atau liquid ?
3. Bagaimana cara mengatasi masalah pembuatan sediaan suspensi dan
emulsi ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui cara mengatasi kontaminasi mikroba pada sediaan cair
atau liquid.
2. Untuk mengetahui cara mengatasi masalah oksidasi pada sediaan cair atau
liquid.
3. Untuk mengetahui cara mengatasi masalah pembuatan sediaan suspensi
dan emulsi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Sediaan Cair


Sediaan cair atau liquid adalah obat minum dengan penggunaan secara oral
yang berupa larutan, suspensi dan emulsi. Secara umum formulasi untuk sediaan
cair antara lain :
a. Bahan obat/zat aktif
b. Bahan tambahan/zat tambahan, berupa :
 Pelarut
 Pembantu pelarut (kosolven)
 Dapar
 Pemanis
 Pengawet
 Air suling

2.2 Larutan
Menurut FI IV, solutiones atau larutan adalah sediaan cair yang mengandung
satu atau lebih zat kimia yang terlalut. Larutan terjadi jika sebuah bahan padat
tercampur atau terlarut secara kimia maupun fisika ke dalam bahan cair.
Menurut FI IV, bentuk sediaan larutan dapat digolongkan menurut cara
pemberiannya, yaitu larutan oral dan larutan topikal, atau digolongkan
berdasarkan sistem pelarut dan zat terlarut seperti spirit, tingtur, dan air aromatik.
2.2.1 Penggolongan larutan menurut cara pemberiannya
Menurut cara pemberiannya larutan dibagi menjadi beberapa golongan,
yaitu :
1. Larutan oral
Larutan oral adalah sediaan cair yang dibuat untuk pemberian oral,
mengandung satu atau lebih zat dengan atau tanpa bahan pengaroma, pemanis,
atau pewarna yang larut dalam air atau campuran konsolven-air.

3
a. Sirop
Sirop adalah larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain dalam
kadar tinggi. Selain sukrosa dan gula lain, pada larutan oral dapat ditambahkan
senyawa poliol seperti sorbitol dan gliserin untuk menghambat penghabluran dan
untuk mengubah kelarutan, rasa, dan sifat zat pembawa lainnya. Umumnya
ditambahkan juga zat antimikroba untuk mencegah pertumbuhan bakteri, jamur,
dan ragi.
b. Eliksir
Elixir adalah larutan oral yang mengandung etanol sebagai kosolven
(pelarut). Untuk mengurangi kadar etanol yang dibutuhkan untuk pelarut, dapat
ditambahkan kosolven lain seperti gliserin dan propilen glikol.
2. Larutan topikal
Larutan topikal adalah larutan yang biasanya mengandung air, tetapi sering
kali mengandung pelarut lain seperti etanol dan poliol untuk penggunaan pada
kulit, atau dalam larutan lidokain oral topikal untuk penggunaan pada permukaan
mukosa mulut.
a. Losio (larutan atau suspensi) yang digunakan secara topikal.
b. Larutan otik adalah larutan yang mengandung air atau gliserin atau pelarut
lain dan bahan pendispersi. Penggunaan telinga luar, misalnya larutan otik
benzokain dan antipirin, larutan otik neomisin B sulfat, dan larutan otik
hidrokortison.
2.2.2 Penggolongan larutan berdasarkan sistem pelarut dan zat terlarut
Ada beberapa golongan larutan berdasarkan sistem pelarut dan zat
terlarutnya, yaitu :
1. Spirit adalah larutan yang mengandung etanol atau hidroalkohol dari zat
mudah menguap, umumnya digunakan sebagai bahan pengaroma.
2. Tingtur adalah larutan mengandung etanol atau hidroalkohol yang dibuat dari
bahan tumbuhan atau senyawa kimia.
3. Air aromatik adalah larutan jernih dan jenuh dalam air, dari minyak mudah
menguap atau senyawa aromatik, atau bahan mudah menguap lainnya. Air
aromatik dibuat dengan cara destilasi dan disimpan dalam wadah yang
terlindungi dari cahaya dan panas berlebih.

4
Pelarut yang biasa digunakan adalah:
1. Air yang melarutkan bermacam-macam garam
2. Spiritus untuk melarutkan kamfer, iodin, mentol.
3. Gliserin untuk melarutkan tanin, zat samak, boraks, fenol.
4. Eter untuk melarutkan kamfer, fosfor, sublimat.
5. Minyak untuk melarutkan kamfer, menthol.
6. Parafin liquidum untuk melarutkan cera, cetasium, minyak-minyak,
kamfer, mentol, klorbutanol.
7. Kloroform untuk melarutkan minyak-minyak lemak.
2.2.3 Keuntungan dan kerugian bentuk larutan
 Keuntungan:
1. Merupakan campuran homogen.
2. Dosis dapat diubah-ubah dalam pembuatan .
3. Dapat diberikan dalam larutan encer, sedangkan kapsul dan tabel sulit
diencerkan.
4. Kerja awal obat lebih cepat karena obat cepat diabsorpsi.
5. Mudah diberi pemanis, baua-bauan, dan warna, dan hal ini cocok untuk
pemberian obat pada anak-anak .
6. Untuk pemakaian luar, bentuk larutan mudah digunakan.
 Kerugian:
1. Volume bentuk larutan lebih besar.
2. Ada oabat yang tidak stabil dalam larutan.
3. Ada obat yang sukar ditutupi rasa dan baunya dalam larutan.

2.3 Suspensi
Suspensi adalah suatu bentuk sediaan yang mengandung bahan obat padat
dalam bentuk halus dan tidak larut, terdispersi dalam cairan pembawa. Zat yang
terdispersi harus halus dan tidak boleh cepat mengendap. Jika dikocok, perlahan-
lahan endapan harus segera terdispersi kembali.
Suspensi oral adalah sediaan cair yang menggunakan partikel-partikel padat
terdispersi dalam suatu pembawa cair dengan flavouring agent yang cocok yang
dimaksudkan untuk pemberian oral. Suspensi topical adalah sediaan cair yang

5
mengandung partikel-partikel padat yang terdispersi dalam suatu pembawa cair
yang dimaksudkan untuk pemakaian pada kulit. Suspensi otic adalah sediaan cair
yang mengandung partikel-partikel mikro untuk pemakaian di luar telinga. (USP
XXVII, 2004).
2.3.1 Jenis-Jenis Suspensi
 Berdasarkan penggunaannya
Jenis-jenis suspensi berdasarkan penggunaannya, yaitu:
1. Suspensi oral adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat dalam
bentuk halus yang terdispersi dalam fase cair dengan bahan pengaroma yang
sesuai dan ditujukan untuk penggunaan oral.
2. Suspensi topikal adalah sediaan cair mengandung partikel padat dalam bentuk
halus yang terdispersi dalam pembawa cair yang ditujukan untuk penggunaan
pada kulit.
3. Suspensi tetes telinga adalah sediaan cair yang mengandung partikel-partikel
halus yang ditujukan untuk diteteskan pada telinga bagian luar.
4. Suspensi optalmik adalah sediaan cair steril yang mengandung partikel-
partikel halus yang terdispersi dalam cairan pembawa yang ditujukkan untuk
penggunaan pada mata.
5. Suspensi untuk injeksi adalah sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium
cair yang sesuai dan tidak disuntikan secara intravena atau ke dalam saluran
spinal.
6. Suspensi untuk injeksi terkontinyu adalah sediaan padat kering dengan bahan
pembawa yang sesuai untuk membentuk larutan yang memenuhi semua
persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan pembawa yang
sesuai.
 Berdasarkan istilah
Jenis-jenis suspensi berdasarkan istilah, yaitu:
1. Susu, suspensi dengan pembawa yang mengandung air dan ditujukan untuk
pemakaian oral. Contohnya : susu magnesia.
2. Magma, suspensi zat padat organik dalam air seperti lumpur, jika zat
padatnya mempunyai kecenderungan terhidrasi dan teragregasi yang

6
menghasilkan konsistensi seperti gel dan sifat reologi tiksotropik. Contohnya:
magma bentonit.
3. Lotio, untuk golongan suspensi topikal dan emulsi untuk pemakaian pada
kulit. Contoh : lotio kalamin.
2.3.2 Keuntungan danKerugian Suspensi
 Keuntungan Suspensi
1. Baik digunakan untuk pasien yang sukar menerima tablet/kapsul, terutama
anak-anak.
2. Homogenitas tinggi.
3. Bisa digunakan untuk partikel/bahan obat yang tidak larut.
4. Mengurangi penguraian zat aktif yang tidak stabil dalam air.
5. Beberapa bahan obat tidak stabil jika tersedia dalam bentuk larutan dapat
dibuat dalam sediaan suspensi.
6. Obat dalam sediaan suspensi rasanya lebih enak dibandingkan dalam larutan,
karena rasa obat yang tergantung kelarutannya.
7. Stabil secara kimia karena suspensi tidak mengalami perubahan secara kimia
karena bahan aktifnya tidak larut sehingga tidak berinteraksi dengan
pelarutnya.
8. Kerjanya lebih cepat dibandingkan sediaan padat.
 Kerugian Suspensi
1. Tidak praktis dibawa bila dibandingkan dalam bentuk sediaan lain, misalnya
puyer, tablet dan kapsul.
2. Keseragaman dan keakuratan dosis tidak dapat dibandingkan dengan sediaan
tablet.
3. Efektifitas formulasi sulit dicapai karena dalam pembuatannya lebih sulit
dibandingkan tablet.
4. Terjadinya sedimentasi zat atau bahan obat yang tidak terlarut.
5. Sediaan suspensi harus dikocok terlebih dahulu untuk memperoleh dosis yang
diinginkan.
6. Pada saat penyimpanan, kemungkinan terjadi perubahan sistem dispersi
(cacking, flokulasi-deflokulasi) terutama jika terjadi fluktuasi/perubahan
temperatur.

7
7. Ketepatan dosis lebih rendah daripada bentuk sediaan larutan.
8. Aliran menyebabkan sukar dituang.
9. Jika membentuk “cacking” akan sulit terdispersi kembali sehingga
homogenitasnya turun.
10. Kestabilan rendah akan terjadi pertumbuhan kristal (jika jenuh), degradasi
dan lain-lain.

2.4 Emulsi
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam
cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Jika minyak yang merupakan fase
terdispersi dan larutan air merupakan fase pembawa, sistem ini disebut emulsi-
minyak dalam air. Sebaliknya, jika air atau larutan air yang merupakan fase
terdispersi dan minyak atau bahan seperti minyak merupakan fase pembawa,
sistem ini disebut emulsi air dalam minyak.
2.4.1 Jenis Emulsi
Salah satu fase cair dalam suatu emulsi terutama bersifat polar (contoh: air),
sedangkan lainnya relatif nonpolar (contoh: minyak). Emulsi obat untuk
pemberian oral biasanya dari tipe emulsi minyak dalam air(m/a) dan
membutuhkan penggunaan suatu zat pengemulsi m/a. Tetapi tidak semua emulsi
yang dipergunakan termasuk tipe m/a. Makanan tertentu seperti mentega dan
beberapa saus salad merupakan emulsi tipe air dalam minyak(a/m). Berdasarkan
jenisnya, emulsi dibagi dalam empat golongan, yaitu emulsi minyak dalam air
(m/a), emulsi air dalam minyak(a/m), emulsi minyak dalam air dalam
minyak(m/a/m), dan emulsi air dalam minyak air(a/m/a).
a. Emulsi jenis minyak dalam air (m/a)
Bila fase minyak didispersikan sebagai bola-bola ke seluruh fase kontinu air,
sistem tersebut dikenal sebagai suatu emulsi minyak dalam air.
b. Emulsi jenis air dalam minyak (a/m)
Bila fase minyak bertindak sebagai fase kontinu, emulsi tersebut dikenal
sebagai produk air dalam minyak (a/m).

8
c. Emulsi jenis minyak dalam air dalam minyak (m/a/m)
Emulsi minyak dalam air dalam minyak (m/a/m), juga dikenal sebagai emulsi
ganda, dapat dibuat dengan mencampurkan suatu pengemulsi m/a dengan suatu
fase air dalam suatu mikser dan perlahan-lahan menambahkan fase minyak untuk
membentuk suatu emulsi minyak dalam air.
d. Emulsi jenis air dalam minyak dalam air(a/m/a)
Emulsi a/m/a juga dikenal sebagai emulsi ganda, dapat dibuat dengan
mencampurkan suatu pengemulsi a/m dengan suatu fase minyak dalam suatu
mikser dan perlahan-lahan menambahkan fase air untuk membentuk suatu emulsi
air dalam minyak. Emulsi a/m tersebut kemudian didispersikan dalam suatu
larutan air dari suatu zat pengemulsi m/a, seperti polisorbat 80 (Tween 80),
sehingga membentuk emulsi air dalam minyak dalam air. Pembuatan emulsi a/m/a
ini untuk obat yang ditempatkan dalam tubuh serta untuk memperpanjang kerja
obat, untuk makanan-makanan serta untuk kosmetik.
2.4.2 Keuntungan dan Kerugian Emulsi
 Keuntungan
1. Banyak bahan obat yang mempunyai rasa dan susunan yang tidak
menyenangkan dan dapat dibuat lebih enak pada pemberian oral bila
diformulasikan menjadi emulsi.
2. Aksi obat diperpanjang dari beberapa emulsi karena obat-obatan tersebut
berdifusi dari fase air terdispersi melalui medium fase kontinyu minyak untuk
mencapai aliran/sirkulasi jaringan.
3. Zat obat yang mengiritasi kulit umumnya kurang mengiritasi jika berada
dalam fase luar yang mengalami kontak langsung dengan kulit.
4. Beberapa senyawa yang larut dalam lemak, seperti vitamin diabsorbsi lebih
sempurna jika diemulsikan dan jika diberikan peroral dalam suatu larutan
berminyak.
5. Emulsi dapat divariasikan dalam warna, tergantung bahan pengemulsi yang
digunakan, bahan-bahan yang diemulsikan dan fase eksternal. Konsistensinya
dapat berupa cairan bergerak sampai padatan keras.

9
 Kerugian
1. Emulsi kadang-kadang sulit dibuat dan membutuhkan teknik pemprosesan
khusus. Untuk menjamin karya tipe ini dan untuk membuatnya sebagai
sediaan yang berguna, emulsi harus memiliki sifat yang diinginkan dan
menimbulkan sedikit mungkin masalah-masalah yang berhubungan.
2. Meskipun sekarang telah ditetapkan dengan baik bahwa struktur dari emulsi
dapat menutupi pengaruh bioavailabilitas obat, mekanismenya jauh lebih sulit
dan banyak literatur yang berlawanan dalam pelepasan obat ke kulit.
3. Walaupun dispersinya lebih baik, ada kecenderungan dari partikel tunggal
untuk bergabung setelah kontak dan berkondensasi menjadi partikel yang
lebih besar. Hal ini akan berlanjut hingga semua cairan bercampur berkumpul
membentuk massa yang lebih besar dan membentuk lapisan terpisah.

10
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengatasan Kontaminasi Mikroba


Dalam rangka mengoptimalkan metode untuk mengendalikan kontaminasi
mikroba obat-obatan, perlu untuk memahami sumber-sumber dan rute dari mana
kontaminasi mungkin berasal. Kontaminasi mikroba dari bahan baku selalu akan
ditransfer ke produk, sedangkan kontaminasi lebih lanjut mungkin diperoleh dari
peralatan dan lingkungan, dari operator proses dan bahan kemasan.
Contoh sediaan liquid yang berpotensi besar terkontaminasi mikroba adalah
sediaan sirup. Sirup adalah sediaan yang komposisiterbesar pada umumnya adalah
air sebagai pelarut. Karena komposisi terbesar dari sediaan ini adalah air maka,
sirup rentan sekali terkontaminasi oleh mikroba sebab air adalah media yang
sesuai untuk pertumbuhan mikroba.
Untuk mengantisipasi tumbuhnya mikroba pada sediaan selalu di lengkapi
dengan zat pengawet atau zat anti bakteri. Selain itu tetap menjaga stabilitas dari
sediaan salah satunya dengan cara memperkecil ukuran partikel sehingga zat
mudah terlarut. Zat aktif stabil pada pH tertentu. Oleh karena itu diperlukan dapar
untuk mempertahankan pH sediaan. Untuk kontaminasi mikroba pada alat
ataupun kemasan biasanya digunakan uji sterilitas. (bloomefield,2007)

3.2 Pengatasan Problema Oksidasi


Ada tiga definisi yang dapat digunakan untuk oksidasi, yaitu kehilangan
elektron, memperoleh oksigen, atau kehilangan hidrogen. Dalam arti sempit, yang
dimaksud dengan oksidasi adalah pengambilan oksigen dari udara. Reaksi
oksidasi merupakan reaksi pelepasan electron oleh suatu zat. Oksidasi memiliki 2
jenis, yaitu :
1. Auto-oksidasi
Auto-oksidasi adalah suatu proses oksidasi dimana oksigen hadir di udara
yang terlibat. Proses ini berlangsung perlahan-lahan di bawah pengaruh oksigen
atmosfer, misalnya mknyak, lemak tak jenuh dan senyawa dapat mengalami auto-
oksodasi. Ada 3 tahap reaksi auto-oksidasi suatu molekul organik, yaitu :

11
a. Tahap Permulaan
Tahap permulaan merupakan pembentukan radikal-radikal bebas karena
adanya pengaruh cahaya, panas atau logam-logam berat dan lamanya tahap
permulaan ini disebut Masa Induksi.
RH →R° + H°
b. Tahap Propagasi
Tahap propagasi adalah terjadinya reaksi antara radikal bebas dengan organik
molekul oksigen membentuk radikal peroksi. Radikal ini bereaksi dengan organik
molekul membentuk hydrogen peroksida dan suatu radikal baru yang akan
memulai reaksi selanjutnya. Hydrogen peroksida akan terpecah menghasilkan
aldehid, keton, asam-asam lemak rantai pendek, yang menyebabkan bau tengik
pada lemak-lemak dan minyak-minyak.
R° + O2 → ROO° (radikal peroksida)
c. Tahap Terminasi
ROO° + X → Produk-produk non reaktif
R° + R° → R-R
2. Foto-oksidasi
Foto-oksidasi adalah reaksi oksidasi dimana penghapusan elektron yang
terlibat dengan kehadiran diluar dari O2. Tipe ini jarang ditemui.
Cara mengatasi reaksi oksidasi :
a. Ekslusi Oksigen
Dengan mengeluarkan molekul oksigen dan logam-logam katalis dari sediaan
diganti dengan gas inert.
b. Mengubah pH Larutan
Obat dengan gugus fenol lebih mudah teroksidasi pada suasana Netral-alkali
sehingga untuk menghambat oksidasi pH dibuat asam misan 3.
c. Dihindarkan dari Cahaya
Dibuat dalam wadah berwarna
d. Menggunakan Chelating Agent
 Bahan-bahan yang bersifat cherlat logam-logam inisiator oksidasi.
Contohnya : asam sitrat, asam tatrat.

12
 Bahan pereduksi
Contoh : natrium tiosulfat, asam ascorbat
 Bahan yang mudah mengalami osidasi daripada bahan yang ingin
dilindungi.
Contoh : natrium bisulfat
e. Antioksidan
Antioksidan merupakan zat yang mampu memperlambat atau mencegah
proses oksidasi. Antioksidan juga didefenisikan sebagai senyawa-senyawa yang
melindungi sel dari efek berbahaya radikal bebas oksigen relatif jika berkaitan
dengan penyakit, radikal bebas ini dapat berasal dari metabolisme tubuh maupun
faktor eksternal lainnya.
Radikal bebas adalah spesies yang tidak stabil karena memiliki elektron yang
tidak berpasangan dan mencari pasangan elektron dalam makromolekul biologi.
Komponen kimia yang berperan sebagai antioksidan adalah senyawa
golongan fenolik dan polifenolik. Senyawa-senyawa golongan tersebut banyak
terdapat pada tumbuh-tumbuhan, dan memiliki kemampuan untuk menangkap
radikal bebas.
Antioksidan dapat digolongkan menjadi :
1. Antioksidan Primer
Antioksidan primer berperan untuk mencegah pembentukan radikal bebas
baru dengan memutus reaksi beranatai dan mengubahnya menjadi produk yang
lebih stabil. Contohnya adalah enzim superoksida dimustase (SOD), katalase, dan
glutation dimustase.
2. Antioksidan Sekunder
Antioksidan sekunder berfungsi menangkap senyawa radikal serta mencegah
terjadinya reaksi berantai. Contoh antioksidan sekunder adalah vitamin E, vitamin
C, dan β-karoten.
3. Antioksidan tersier
Antioksidan tersier berfungsi memperbaiki kerusakan sel dan jaringan yang
disebabkan oleh radikal bebas. Contohnya adalah enzim yang memperbaiki DNA
pada inti sel adalah metionin sulfoksida reduktase.

13
3.3 Pengatasan Problema Pembuatan Sediaan Suspensi dan Emulsi
3.3.1 Pengatasan Problema Pembuatan Sediaan Suspensi
Salah satu problem yang dihadapi dalam proses pembuatan suspensi adalah
cara memperlambat penimbunan partikel serta menjaga homogenitas dari pertikel.
Cara tersebut merupakan salah satu tindakan untuk menjaga stabilitas suspensi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas suspensi, diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Ukuran Partikel
Ukuran partikel erat hubungannya dengan luas penampang partikel tersebut
serta daya tekan keatas dari cairan suspensi itu. Hubungan antara ukuran partikel
merupakan perbandingan terbalik dengan luas penampangnya. Sedangkan antar
luas penampang dengan daya tekan keatas merupakan hubungan linier. Artinya
semakin besar ukuran partikel maka semakin kecil luas penampangnya
(Lachman,2008). Ukuran partikel dapat diperkecil dengan menggunakan mixer,
homogenizer, colloid mill, dan mortis.
2. Kekentalan / Viskositas
Kekentalan suatu cairan mempengaruhi pula kecepatan aliran dari cairan
tersebut,makin kental suatu cairan kecepatan alirannya makin turun (kecil).
3. Jumlah Partikel/Konsentrasi
Apabila di dalam suatu ruangan berisi partikel dalam jumlah besar, maka
partikel tersebut akan susah melakukan gerakan yang bebas karena sering terjadi
benturan antara partikel tersebut (Lachman,2008). Benturan itu akan
menyebabkan terbentuknya endapan dari zat tersebut, oleh karena itu makin besar
konsentrasi partikel, makin besar kemungkinan terjadinya endapan partikel dalam
waktu yang singkat.
4. Sifat/Muatan Partikel
Dalam suatu suspensi kemungkinan besar terdiri dari beberapa macam
campuran bahan yang sifatnya tidak terlalu sama. Dengan demikian ada
kemungkinan terjadi interaksi antar bahan tersebut yang menghasilkan bahan
yang sukar larut dalam cairan tersebut. Karena sifat bahan tersebut sudah
merupakan sifat alami, maka kita tidak dapat mempengruhi (Lachman,2008).
Ukuran partikel dapat diperkecil dengan menggunakan pertolongan mixer,

14
homogeniser, colloid mill dan mortar. Sedangkan viskositas fase eksternal dapat
dinaikkan dengan penambahan zat pengental yang dapat larut ke dalam cairan
tersebut. Bahan-bahan pengental ini sering disebut sebagai suspending agent
(bahan pensuspensi), umumnya bersifat mudah berkembang dalam air
(hidrokoloid).
Untuk mengatasi problema pembuatan suspensi seperti yang disebutkan
diatas maka pada proses pembuatan suspensi dapat di tambahkan zat tambahan
berupa :
a. Bahan Pensuspensi/Suspending Agent
Berfungsi untuk memperlambat pengendapan, mencegah penurunan partikel,
dan mencegah penggumpalan resin dan bahan berlemak. Cara kerjanya dengan
meningkatkan kekentalan. Kekentalan yang berlebihan akan mempersulit
rekonstitusi dengan pengocokan. Suspensi yang baik mempunyai kekentalan yang
sedang dan partikel yang terlindung dari gumpalan/aglomerasi. Hal ini dapat
dicapai dengan mencegah muatan partikel, biasanya muatan partikel ada pada
media air atau sediaan hidrofil.
b. Bahan Pembasah (Wetting agent)/Humektan
Digunakan untuk menurunkan tegangan permukaan bahan dengan air (sudut
kontak) dan meningkatkan dispersi bahan yang tidak larut. Bahan pembasah yang
biasa digunakan adalah surfaktan yang dapat memperkecil sudut kontak antara
partikel zat padat dan larutan pembawa. Surfaktan kationik dan anionik efektif
digunakan untuk bahan berkhasiat dengan zeta potensial positif dan negatif.
Sedangkan surfakatan nonionik lebih baik untuk pembasah karena mempunyai
range pH yang cukup besar dan mempunyai toksisitas yang rendah.
Konsentrasi surfaktan yang digunakan rendah karena bila terlalu tinggi dapat
terjadi solubilisasi, busa dan memberikan rasa yang tidak enak. Bahan pembasah
bekerja dengan menghilangkan lapisan udara pada permukaan zat padat, sehingga
zat padat dan humektan lebih mudah kontak dengan pembawa. Contoh: gliserin,
propilen glikol, polietilen glikol dan lain−lain.
c. Pengawet
Pengawet sangat dianjurkan jika dalam sediaan mengandung bahan alam,
atau bila mengandung larutan gula encer (karena merupakan tempat tumbuh

15
mikroba). Selain itu, pengawet diperlukan juga bila sediaan dipergunakan untuk
pemakaian berulang (multiple dose). Pengawet yang sering digunakan,
diantaranya :
 Metil/propil paraben (2 : 1 ad 0,1–0,2 % total)
 Asam benzoat/Na-benzoat
 Chlorbutanol/chlorekresol (untuk obat luar/mengiritasi)
 Senyawa ammonium (amonium klorida kuarterner)→ OTT dengan
metilselulosa.
3.3.2 Pengatasan Problema Pembuatan Sediaan Emulsi
Problema yang sering terjadi pada pembuatan sediaan emulsi adalah
ketidakstabilan emulsi. Ketidakstabilan dalam emulsi farmasi dapat digolongkan
menjadi tiga golongan, yaitu flokulasi dan creaming, penggabungan dan
pemecahan, dan inversi.
a. Flokulasi dan creaming
Pengkriman (creaming) mengakibatkan ketidakrataan dari distribusi obat dan
tanpa pengocokan yang sempurna sebelum digunakan, berakibat terjadinya
pemberian dosis yang berbeda. Tentunya bentuk penampilan dari suatu emulsi
dipengaruhi oleh creaming, dan ini benar-benar merupakan suatu masalah bagi
pembuatannya jika terjadi pemisahan dari fase dalam.
b. Penggabungan dan Pemecahan
Creaming adalah proses yang bersifat dapat kembali, berbeda dengan proses
cracking (pecahnya emulsi) yang bersifat tidak dapat kembali. Pada creaming,
flokul fase dispers mudah didispersi kembali dan terjadi campuran homogen bila
dikocok perlahan-lahan, karena bola-bola minyak masih dikelilingi oleh suatu
lapisan pelindung dari zat pengemulsi(Anief, 1994). Sedang pada cracking,
pengocokan sederhana akan gagal untuk membentuk kembali butir-butir tetesan
dalam bentuk emulsi yang stabil, karena lapisan yang mengelilingi partikel-
partikel tersebut telah dirusak dan minyak cenderung untuk bergabung.
c. Inversi
Fenomena penting lainnya dalam pembuatan dan penstabilan dari emulsi
adalah inversi fase yang meliputi perubahan tipe emulsi dari m/a menjadi a/m atau
sebaliknya.

16
Untuk mengatasi problema diatas maka diperlukan zat pengemulsi. Zat
pengemulsi (emulgator) merupakan komponen yang paling penting agar
memperoleh emulsi yang stabil. Semua emulgator bekerja dengan membentuk
lapisan disekeliling butir-butir tetesan yang terdispersi dan lapisan ini berfungsi
agar mencegah terjadinya koalesan dan terpisahnya cairan dispers sebagai fase
terpisah. Zat pengemulsi antara lain adalah PGA, tragacantha, gelatin, sapo,
senyawa amonium kwarterner. Kolesterol, surfaktan seperti tween dan Span.
Untuk menjaga kestabilan emulsi perlu ditambahkan pengawet yang cocok.

17
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Pengatasan kontaminasi mikroba pada sediaan cair dapat dilakukan dengan
menambahkan zat pengawet atau zat antibakteri dan zat dapar untuk
mempertahankan pH sediaan.
Untuk mengatasi problema oksidasi sediaan cair dapat dilakukan dengan
ekslusi oksigen, mengubah pH larutan, dihindarkan dari cahaya, menggunakan
chelating agent dan menggunakan antioksidan.
Problema pembuatan sediaan suspensi dapat diatasi dengan menambahkan zat
tambahan seperti Bahan Pensuspensi/Suspending Agent, Bahan Pembasah
(Wetting agent)/Humektan dan pengawet sedangkan untuk mengatasi problema
pembuatan sediaan emulsi diperlukan zat pengemulsi atau emulgator.

18
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta. 448, 515, 771, 1000.
Leon Lachman. 2008. Teori dan Praktek Farmasi Industri Edisi 2. Jakarta :
Universitas Indonesia.
Martin, A., Bustamante, P., & Chun, A.H.C., 1993, Physical Pharmacy, 4th Ed.,
324-361, Lea and Febiger, Philadelphia, London.
Setyaningsih, Y & Lestari, N.D. 2014. Suspensi Obat Maag. Jakarta: Program
Studi Farmasi, ISTN.
Syamsuni, H.A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.
Tousey. 2002. The Granulation Process 101 – Basic Technologies for Tablet
Making. Pharmaceutical Technology page 8-1.
USP 27−NF 22. 2004. United States Pharmacopeia and The National Formulary.
Rockville (MD) : The United States Pharmacopeial Convention.

19

Anda mungkin juga menyukai