Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam UU RI No. 36/2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik


secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Untuk mewujudkan upaya kesehatan pada masyarakat, ditunjang


salah satunya melalui pelayanan kesehatan di rumah sakit. Salah satu
kegiatan yang penting dalam penyediaan pelayanan kesehatan di rumah
sakit adalah pelayanan farmasi rumah sakit. Menurut keputusan Mentri
Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan
Rumah Sakit, disebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit
yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu,
termasuk pelayanan farmasi klinik yang terjangkau semua lapisan
masyarakat (Departemen Kesehatan,2004).

Istilah farmasi klinik digunakan untuk mendeskripsikan praktek


kefarmasian berorientasi pelayanan kepada pasien lebih dari orientasi
kepada produk. Merupakan suatu disiplin yang terkait dengan penerapan
dan pengetahuan dan keahlian farmasi dalam membantu memaksimalkan
efek obat dan meminimalkan efek toksisitas obat bagi pasien secara
individual. Tujuan dilakukannya kegiatan farmasi klinik untuk
memaksimalkan efek terapeutik yang meliputi tepat indikasi, tepat
pemilihan obat, tepat pengaturan dosis sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi pasien dan evaluasi hasil terapi, meminimalkan reaksi obat yang
tidak diinginkan, meminimalkan biaya pengobatan serta mampu
menghormati pilihan pasien (Aslam Mohammed dkk.,2003).

Satu diantara kegiatan farmasi klinis yaitu menentukan dosis rejimen


yang sesuai dengan kondisi pasien. Rejimen dosis adalah cara, jumlah,

1
dan frekuensi pemberian obat yang mempengaruhi onset dan durasi kerja
obat. Dosis rejimen diperlukan untuk memastikan penggunaan obat kepada
pasien sudah tepat dosis, waktu dan cara pemakaian, sehingga dapat
memberikan efek terapi yang optimal. Tanggung jawab seorang apoteker
untuk menentukan dan memberikan rekomendasi dosis rejimen yang tepat
dalam pengobatan pasien.

Selanjutnya melalui kegiatan ini, diharapkan mampu memberikan


gambaran kepada para tenaga kefarmasian dalam melakukan kegiatan
farmasi klinis terutama dalam hal menentukan dan memberikan
rekomendasi dosis rejimen yang sesuai agar tercipta sistem pelayanan
kesehatan yang optimal untuk mendapatkan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.

2.1 Tujuan
1. Mengidentifikasi rejimen pengobatan pasien melalui penelusuran rekam
medik pasien pada tanggal 19-24 Agustus 2018
2. Memberikan rekomendasi yang sesuai untuk rejimen pengobatan pasien
pada Tanggal19-24 Agustus 2018.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Congestive Heart Failure (CHF)


2.1.1 Pengertian Congestive Heart Failure
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah
keadaan dimana jantung tidak mampu lagi memompakan darah yang cukup
dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi badan untuk keperluan jaringan tubuh
pada keadaan tertentu, sedangkan tekanan pengisian ke dalam jantung masih
cukup tinggi.
Gagal jantung kongestif merupakan kondisi terminal pada banyak
jenis penyakit jantung, keadaan ini merupakan kondisi patologik ketika
fungsi jantung yang terganggu itu membuat jantung tidak mampu
mempertahankan curah jantung yang cukup untuk memenui kebutuhan
metabolik tubuh. Gagal jantung kongestif ditandai oleh berkurangnya curah
jantung (forward failure), penumpukan darah dalam sistem vena (backward
failure) atau keduanya (Mitchell, 2009. Buku Kedokteran : Jakarta)
2.1.2 Etiologi Congestive Heart Failure
Gagal jantung dapat disebabkan oleh berbagai hal. Penyebab-
penyebab gagal jantung tersebut dapat dikelompokkan sebagai dibawah ini :
a. Disfungsi miokard (kegagalan miokardial)
b. Beban tekanan berlebihan - pembebanan sistolik (systolic overload)
c. Beban volume berlebihan - pembebanan diastolic (diastolic overload)
d. Peningkatan kebutuhan tresse - peningkatan kebutuhan yang
berlebihanan (demand overload)
Selain penyebab di atas gagal jantung kongestif juga dapat disebabkan
oleh:
1. Kelainan otot jantung
Gagal jantung paling sering terjadi pada penderita kelainan otot
jantung. Menyebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang
mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup aterosklerosis
koroner, hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi.

3
2. Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran
darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosi (akibat penumpukan
asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya
mendahului terjadinya gagal jantung.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal (Peningkatan afterload)
Meningkatnya beban kerja jantung dan pada gilirannya
mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi
miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena
meningkatkan kontraktilitas jantung. Tetapi untuk alasan yang tidak
jelas, hipertrofi otot jantung tidak berfungsi secara normal, akhirnya
terjadi gagal jantung
4. Peradangan dan katub miokardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara
langsung merusak serabut jantung. Menyebabkan kontraktilitas menurun.
5. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi akibat penyakit jantung yang
sebenarnya tidak secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme
yang biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah melalui jantung
(misalnya : stenosis katup senilluner), ketidakmampuan jantung untuk
mengisi darah (misal : tamponade perikardium, perikardium konstriktif).

2.1.3 Patofisiologi Congestive Heart Failure


Kelainan tresse pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal
jantung yang di akibatkan penyakit jantung iskemik dapat menyebabkan
tergganggunya kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif.
Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup dan
meningkatkan volume residu ventrikel. Tekanan paru-paru dapat meningkat
sebagai respon terhadap peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi
pulmonary meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Setelah
itu akan menimbulkan seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan
terjadi pada jantung kanan, dimana akhirnya akan terjdi kongesti sistemik

4
dan edema. Perkembangan dari kongestif sistemik atau paru-paru dan edema
dapat dieksaserbasi oleh regurgitasi fungsional dan katub-katub
trikuspidalis.Tetapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan
dan kekakuan serabut otot, sekuncup berkurang dan curah jantung normal
masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup ialah jumlah darah yang
dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada 3 faktor :
1. Preload adalah sinonim dengan hukum starling pada jantung yang
menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi jantung bergandeng
langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya tegangan
serabut jantung.
2. Kontraktilitas mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi
pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut
jantung serta kadar kalsium.
3. Afterload mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus
dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang
ditimbulkan oleh tekanan arteriole.
4. Gagal jantung, jika satu atau lebih dari ketiga faktor tersebut terganggu,
hasil jantung berkurang kemudahan dalam menentukan hemodinamika
melalui prosedur pemantauan infasif telah mempermudah diagnosa
jantung kongestif dan mempermudah penerapan terapi farmakologis yang
efektif (Brunner dan Suddarth, Hal 805. KMB)

2.1.4 Manifestasi Klinis Congestive Heart Failure


Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan,
gagal jantung terbagi atas:
1. Gagal jantung kiri
2. Gagal jantung kanan
3. Gagal jantung kongestik
Gejala dan tanda yang timbul berbeda sesuai dengan pembagian
kegagalan pemompaan. Tanda yang paling dominan dalam gagal jantung
adalah meningkatnya volume intravaskuler.

5
Kongesti jaringan terjadi diakibatkan karena tekanan arteri dan vena
yang meningkat akibat turunnya curah jantung pada kegagalan jantung.
Tanda dominan gagal jantung adalah meningkatnya volume intravaskuler.
Turunnya curah jantung pada gagal jantung di manivestasikan secara luas
karena darah tidak dapat mencapai jaringan dan organ (perfusi rendah)
untuk menyampaikan oksigen yang di butuhkan. Beberapa efek yang timbul
yang diakibatkan perfusi rendah adalah pusing, konfusi, kelelahan, tidak
toleran terhadap latihan dan panas, ekstremitas dingin, dan keluaran urin
yang berkurang atau oliguri. Tekanan perfusi ginjal yang menurun
mengakibatkan pelepasan stress dari ginjal, yang pada gilirannya akan
menyebabkan sekresi aldosteron, retensi natrium dan cairan serta
peningkatan volume intravaskuler.
2.1.5 Data Penunjang
1. Radiologi:
 Bayangan hili paru yang tebal dan melebar, kepadatan makin ke
pinggir berkurang
 Lapangan paru bercak-bercak karena edema paru
 Distensi vena paru
 Hidrothorak
 Pembesaran jantung, Cardio-thoragic ratio meningkat
2. EKG
Dapat mengungkapkan adanya tachicardi, hipertrofi bilik jantung
dan iskemi (jika disebabkan AMI).
3. Ekokardiografi : Untuk deteksi gangguan fungsional serta anatomis yang
menjadi penyebab gagal jantung.
4. Foto torax
Dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, oedema atau
efusi pleura yang menegaskan CHF.

6
5. Kateterisasi Jantung
Pada gagal jantung kiri didapatkan ( VEDP ) 10 mmHg atau
Pulmonary arterial wedge Pressure > 12 mmHg dalam keadaan istirahat.
Curah jantung lebih rendah dari 2,7 lt/mnt/m2 luas permukaan tubuh.
6. Pemeriksaan Lab. Meliputi : Elektrolit serum yang mengungkapkan
kadar natrium yang rendah sehingga hasil hemodelusi darah dari adanya
kelebihan retensi air, K, Na, Cl, Ureum, gula darah.
2.1.6 Penatalaksanaan Pada Congestive Heart Failure
1. Terapi farmakologis
Glukosida jantung, diuretik, dan fasidilator merupakan dasar terapi
farmakologis gagal jantung.
2. Terapi diuretik
Digunakan untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal,
obat ini tidak diperlukan apabila pasien bersedia merespon.
3. Terapi vasodilator
 Obat - obat vaso aktif merupakan merupakan pengobatan utama pada
penatalaksana gagal jantung.
 Diit, diit jantung, makanan lunak rendah garam.
 Pemberian digitalis, membantu kontraksi jantung dan memperlambat
frekwensi jantung.
 Pemberian diuretik yaitu untuk memacu ekskresi natrium dan air
melalui ginjal.
 Morfin diberikan untuk mengurangi sesak nafas pada asma kardial.
 Pemberian oksigen.
2.2 Diabetes mellitus
Diabetes mellitus merupakan penyakit hiperglikemia yang ditandai
dengan ketiadaan absolut insulin atau penurunan relatif insensitivitas sel
terhadap insulin. Pemeriksaan yang digunakan untuk diagnosis diabetes,
diantaranya : pemeriksaan glukosa plasma puasa (FPG, fasting plasma
glucose), dan pemeriksaan toleransi glukosa oral (OGTT, oral glucose

7
tolerance test). Kadar FPG antara 100 dan 125 ml/dL mengindikasikan
pradiabetes, dan kadar FPG 126 ml/dL atau lebih dianggap diabetes. Untuk
OGTT, kadar gula darah individu diukur setelah puasa dan dua jam setelah
minum minuman manis. OGTT dua jam antara 140 dan 199 mg/dL
mengindikasikan pradiabetes, kadar 200 mg/dL atau lebih mengindikasikan
diabetes (Corwin, 2008).
2.2.1 Klasifikasi Diabetes mellitus (Corwin, 2008)

a. Diabetes Mellitus tipe I


Diabetes mellitus tipe I adalah penyakit hiperglikemia akibat
ketiadaan absolut insulin. Penyakit ini dapat timbul pada semua kelompok
usia. Diabetes tipe ini merupakan penyakit yang biasanya berkembang
secara perlahan selama beberapa tahun, dengan adanya autoantibodi dan
destruksi yang terjadi secara terus – menerus pada diagnosis lanjut.
b. Diabetes mellitus tipe II
Merupakan hiperglikemia yang disebabkan insensitivitas seluler
terhadap insulin. Selain itu, terjadi defek sekresi insulin ketidakmampuan
pankreas untuk menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan
glukosa plasma yang normal. Predisposisi genetik yang kuat dan faktor
lingkungan yang nyata dapat menyebabkan diabetes mellitus tipe 2.
c. Diabetes mellitus tipe III
Diabetes tipe III merupakan tipe spesifik diabetes yang disebabkan
trauma pankreatik, neoplasma, atau penyakit dengan karakteristik
gangguan endokrin, seperti penyakit Cushing.

d. Diabetes mellitus tipe IV


Diabetes mellitus tipe 4 atau diabetes gestasional merupakan
diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap
diabetes. Meskipun diabetes tipe ini dapat membaik setelah persalinan,
sekitar 50% pengidapnya akan kembali ke status diabetes setelah kehamilan
berakhir. Bahkan jika membaik setelah persalinan, resiko mengidap diabetes
tipe dua kira-kira lima tahun mendatang lebih besar daripada normal. Gejala
Diabetes

8
Penyakit diabetes mellitus dapat menunjukan gejala klinis yang
bermacam-macam. Beberapa gejala yang dapat terlihat dari pasien penderita
diabetes mellitus adalah poliuria (peningkatan pengeluaran urin), polidipsia
(peningkatan rasa haus), polifagia (peningkatan rasa lapar), rasa lelah dan
kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan
sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi
(Corwin,2008)

2.2.2 Terapi Diabetes

A. Terapi Nonfarmakologi
a. Diet
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak. Jumlah kalori
disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, dan kegiatan fisik,
untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan
berat badan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki
respon sel-sel beta terhadap stimulus glukosa. Selain itu, asupan serat
dapat penting karena dapat menghambat penyerapan lemak (Depkes
RI, 2005).
b. Olahraga
Olah raga utuk penderita diabetes pada umumnya ringan dan
dilakukan secara teratur. Olah raga dapat meningkatkan aktivitas
reseptor insulin dalam tubuh dan meningkatkan penggunaan glukosa
(Depkes RI, 2005).
Terapi obat diperlukan apabila terapi tanpa obat seperti pengaturan
diet dan olah raga belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah.
Terapi obat yang diberikan baik dalam bentuk antidiabetes oral ataupun
terapi insulin (Depkes RI, 2005). Antidiabetes oral meliputi agen yang
meningkatkan sekresi insulin seperti Sulfonilurea, biguanid, tiazolidin dan
agen penghambat alfa-glukosidase (Katzung, 2008), dan penghambat
Dipeptidil Peptidase IV (ACP, 2007).
a. Sulfonilurea

9
Sulfonilurea bekerja meningkatkan sekresi insulin dari pankreas
(ACP, 2007). Efek samping yang sering terjadi adalah hipoglikemia dan
penambahan berat badan (Wells, Dipiro, & Schwinghammer, 2003).
b. Meglitinid
Meglitinid merupakan antidiabetik oral dengan mekanisme kerja
meningkatkan sekresi insulin secara cepat seperti golongan sulfonilurea
sehingga disebut agen sekresi insulin nonsulfoniluea (ACP, 2007), tetapi
pengeluaran insulin bergantung dari konsentrasi gula darah, sehingga
dapat mengurangi terjadiya hipoglikemia berat (Wells, Dipiro, &
Schwinghammer, 2003).
c. Biguanid
Biguanid menghambat glukoneogenesis hati dan meningkatkan
glikogenolisis yang rendah (ACP, 2007). efek samping yang umum
adalah mual, muntah, diare, anoreksia, dan rasa logam di mulut (Wells,
Dipiro, & Schwinghammer, 2003).
d. Tiazolidin
Tiazolidin meningkatkan sensitivitas insulin dalam otot dan lemak
(ACP, 2007). efek sampingnya adalah edema, peningkatan berat badan
(Wells, Dipiro, Schwinghammer, & Hamilton, 2003).

e. Penghambat alfa-glukosidase

Penghambat alfa-glukosidase yang menghambat secara kompetitif


enzim alfa-glukosidase di usus kecil, sehingga penyerapan karbohidrat
tertunda (ACP, 2007). Efek sampingnya adalah diare (Wells, Dipiro, &
Schwinghammer, 2003)
f. Penghambat Dipeptidil Peptidase IV
Obat ini menghambat dipeptidil peptidase IV yaitu enzim yang
menurunkan sekresi inkretin. Hormon inkretin dapat meningkatkan
sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon (ACP, 2007).
3.1 Pemantauan Terapi Obat
PTO merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi obat yang aman, efekif dan rasional bagi pasien. Tujuan
dari PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan resiko

10
reaksi obat yang tidak diharapkan. PTO mencakup pengkajian pilihan obat,
dosis, cara pemberian obat, respon terapi, reaksi obat yang tidak diinginkan
(ROTD).
Tahapan dalam melakukan pemantauan terapi obat adalah:
1. Pengumpulan data base
2. Identifikasi amsalah terkait obat
3. Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat
4. Pemantauan tindak lanjut

11
BAB 3
STUDI KASUS

3.1 Data Diri Pasien


Tanggal PTO : 19 – 24 Agustus 2018
Nama : Ny. N
Usia : 60 tahun
Jenis kelamin : Wanita
No. Medical Record : 352965
Tinggi badan : cm
Berat badan : 54 kg
Past Medical History : DM tipe 2
Medication History : Levemir 5 x10
Novorapid 3 x 5 iu
Family History :-
Social History :-
3.2 Keluhan Utama
Pada tanggal 19 agustus 2018 Ny. N dibawa ke IGD Rumkital Marinir
Cilandak dengan keluhan sesak nafas sejak 6 hari SMRS, nyeri dada, nyeri
ulu hati,tidur harus dengan posisi duduk, hanya sanggup berjalan sampai
kamar mandi , lalu sesak 7 hari Pasien mengaku memiliki riwayat DM tipe
2.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Tabel 2. Pemeriksaan Fisik
pemeriksaan Nilai Tanggal
normal

19/08/2018 20/08/2018 21/08/2018 22/08/2018 23/08/2018 24/08/2014

Tekanan 120/80 190/70 > 140/80 > 140/90 > 160/90 > 140/60> 130/80 >
Darah mmHg

Nadi 60- 104 > 92x * 88x * 100x * 80x* 120 >
100x/menit
RR 14- 32x > 21x > 20x * 20x * 22x> 20x *
20x/menit
Suhu 36-37,50C 36OC * 36OC * 36OC * 36OC * 36OC * 36OC *

12
Diagnosa sementara dokter terhadap pasien adalah gagal jantung dan
memiliki riwayat DM tipe 2. Pasien diberi terapi infus Ringer Laktat,
C a p t o p r i l 1 x 2 5 m g , IS D N 3 x 1 0 m g , A s p i l e t 1 x 8 0 m g d a n
CPG 300 mg
3.4 Perkembangan Pasien
Perkembangan Tn. S selama dirawat di rumah sakit dapat dilihat pada
tabel 3.
Tabel 3. Data Perkembangan Pasien
Hari S O A P
Tanggal
Minggu Sesak sejak 6 hari SMRS, TD : 190/70 Penurunan curah Captopril 1x25
19-08-2018 nyeri dada, nyeri ulu mmHg jantung, pola mg
hati,tidur harus dengan Nadi : nafas tidak ISDN 3x 10 mg
posisi duduk, hanya 104x/menit efektif, intoleransi Aspilet 1x80 mg
O
sanggup berjalan sampai Suhu : 36 C aktivitas CPG 300 mg
kamar mandi , lalu sesak 7 Pernafasan:
hari, pasien di opname di 32x/menit
RSMC dengan gastritis dan
sesak
Senin Mengeluh sesak, lemas TD : 140/80 Penurunan curah Injeksi furosemid
20-08-2018 mmHg jantung, pola 20-20-0
Nadi : nafas tidak Spironolacton 1x
92x/menit efektif, intoleransi 25 mg
O
Suhu : 36 C aktivitas Digoxin 1x 0,25
Pernafasan : mg
21x/menit ISDN 3x10 mg
Aspilet 1x 80 mg
HCT 1x 25 mg
Valsartan 1x 80
mg
Amlodipin 1x 10
mg
Levemir 1x 10 u
Novorapid 3x 5 u
Selasa Sesak, lemas TD : 140/90 Penurunan curah Spironolacton 1x
21-08-2018 mmHg jantung, pola 25 mg
Nadi : nafas tidak Digoxin 1x 0,25
88x/menit efektif, intoleransi mg
O
Suhu : 36 C aktifitas , resiko ISDN 3x10 mg
Pernafasan : jatuh Aspilet 1x 80 mg
20x/menit HCT 1x 25 mg
Valsartan 1x 160
mg
Furosemid 2x 20
Levemir 1x 15 u
Novorapid 3x 8 u
Rabu Sesak nafas, nyeri jantung TD : 160/90 Penurunan curah Spironolacton 1x
22-08-2018 mmHg jantung, pola 25 mg
Nadi : nafas tidak Digoxin 1x 0,25
100x/menit efektif, intoleransi mg
O
Suhu : 36 C aktifitas , resiko ISDN 3x10 mg
Pernafasan : jatuh Aspilet 1x 80 mg
20x/menit HCT 1x 25 mg
Valsartan 1x 160
mg
Furosemid 2x 20

13
Levemir 1x 15 u
Novorapid 3x 8 u
Kamis - TD : 140/60 Penurunan curah Stop insulin
23-08-2018 mmHg jantung, pola Furosemide 2x 20
Nadi: nafas tidak KSR 1x1
80x/menit efektif, intoleransi ISDN 3x 10
O
Suhu : 36 C aktivitas Aspilet 1x 80 mg
Pernafasan : Valsartan 1x 80
22x /menit mg
Digoxin 1x 0,325
mg
HCT 1x 50 mg
Jumat - TD : 130/80 Penurunan curah Spironolacton 1x
24-08-2018 mmHg jantung, pola 25 mg
Nadi : nafas tidak Digoxin 1x 0,25
120x/menit efektif, intoleransi mg
O
Suhu : 36 C aktivitas Furosemid 2x 20
Pernafasan : KSR 1x1
20x/menit ISDN 1x 10 mg

3.5 Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium Tn. S dapat dilihat pada tabel.

Tabel 4 Hasil Pemeriksaan Astrup dan Elektrolit


pemeriksaan Nilai Waktu pemeriksaan dan hasil
normal
19- 21-08-2018 21-08-2018 22-08-2018 23-08-2018 24-
08- 08-
2018 2018

23.00 11.51 16.47 21.51 08.13 13.15 15.45 22.10 08.39 17.00 22.00 07.14 12.52 17.02 08.30

Hematologi
Darah Rutin

Glukosa cito <200 305 216 66 jam 127


mg/al 05.00
136
jam
06.00

Glukosa <200 151 218 127 185 280 181 201


sewaktu mg/al jam
11.00
88
jam
16.00

Glukosa <70- 125 70 173


puasa 105
mg/dl

Glukosa 2 <120 135 88


jam pp mg/dl

14
3.5.1 Regimen Pengobatan
Regimen pengobatan pasien selama dilakukan perawatan di Ruang
Cempaka Atas Rumah Sakit Marinir Cilandak dapat diamati pada tabel
berikut:

15
BAB 4

PEMBAHASAN

Ny. N masuk Unit Gawat Darurat (UGD) pada tanggal 19 Agustus 2018
pukul 22.00. keluhan sesak nafas sejak 6 hari SMRS, nyeri dada, nyeri ulu
hati,tidur harus dengan posisi duduk, hanya sanggup berjalan sampai kamar mandi
, lalu sesak 7 hari Pasien mengaku memiliki riwayat DM tipe 2..

Hasil pemeriksaan fisik pasien menunjukkan frekuensi nadi 104x/menit


yang menandakan pasien mengalami bradikardia (denyut nadi melemah),
kecepatan respirasi 32x/menit menunjukkan pasien mengalami takipnea dikarekan
pasien merasakan kecemasan dan rasa sakit. Tekanan darah pasien 190/70 mmHg
yang menurut JNC 7 tergolong ke dalam pre hipertensi. Diagnosa sementara
dokter terhadap pasien adalah CHF (Congetive Heart failure). Pasien diberi terapi
infus Ringer Laktat, captopril 1x 25 mg, ISDN 1x 5 mg, Aspilet 1x 80 mg dan
CPG 1x 75 mg.

Selama pasien dirawat dilakukan pemeriksaan perkembangan pasien


yang meliputi subjektive (S), objective (O), assesment (A) dan planning (P). Hari
pertama pemeriksaan pasien mengeluhkan (S) Sesak sejak 6 hari SMRS, nyeri
dada, nyeri ulu hati,tidur harus dengan posisi duduk, hanya sanggup berjalan
sampai kamar mandi , lalu sesak 7 hari, pasien di opname di RSMC dengan
gastritis dan sesak. Tekanan darah, frekuensi nadi dan kecepatan respirasi berada
dalam rentang tinggi, berturut- turut 190/70mmHg, 104x/menit dan 32x/menit.
Pasien direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium yaitu
Hematologi darah rutin.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa kadar gula darah
sewaktu pasien 218mg/dL, hal ini menunjukkan bahwa pasien mengalami
hiperglikemia, sehingga diberikan terapi insulin. Nilai ureum dan creatinin
berturut-turut 35mg/dL dan 1,4mg/dL, keduanya masih berada di dalam rentang
normal yang menunjukkan bahwa ginjal pasien masih berfungsi normal.

Pasien mendapat berbagai macam obat dengan multi regimen selama

16
perawatan. Pasien mendapatkan obat oral maupun injeksi 5-10 jenis perharinya.
Banyaknya obat yang diberikan kepada pasien selama perawatan memungkinkan
terjadinya DRPs. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, DRPs yang terjadi
pada terapi yang diberikan kepada Ny.N. adanya interaksi obat yaitu HCT
berinteraksi dengan alkohol, barbiturat dengan narkotik, obat-obat antidiabetik
(oral dan insulin), kolesteramin & resin kolestipol, kortikosteroid, ACTH, AINS,
garam kalsium, metotreksat, atropine. HCT merupakan antihipertensi golongan
thiazid dengan dosis > 50 mg/hari dapat meningkatkan glukosa dalam darah
sehingga pwnggunaan HCT dengan insulin hraus dipisah tidak boleh bersamaan.

Salah satu peran apoteker adalah memantau penggunaan obat terhadap


pasienpada pasien. Tujuannya untuk menentukan dan menilai apakah pengobatan
yang telah diberikan pada pasien sudah tepat. Seorang apoteker bertanggung
jawab untuk mencapai kesembuhan pada pasien, mengurangi gejala sakit,
memperlambat atau mencegah terjadinya sakit, atau timbulnya gejala suatu
penyakit.
Melalui konsep profesi kefarmasian yakni asuhan kefarmasian, apoteker
dituntut untuk bertanggungjawab dalam peningkatan kualitas hidup pasien.
Asuhan kefarmasian adalah suatu tanggungjawab dari profesi dalam hal
farmakoterapi, penggunaan obat aman, rasional, efektif dan efisien dengan tujuan
meningkatkan atau menjaga kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian
merupakan proses kolaboratif bersama dengan profesi kesehatan lainnya dalam
merancang, mengimplementasikan, serta memantau terapi obat pasien agar
tercapai hasil terapi obat yang optimal. Dengan demikian terwujudlah fungsi
utama dar profesi farmasi, yakni mengidentifikasikan permasalahan yang timbul
dan menanganinyasecara tepat dan cepat serta mengupayakan pencegahan
timbulnya permasalahan terkait obat.
Apoteker memiliki peran yang sangat pentingsebagai penyedia informasi
tentang pengobatan serta permasalahan yang timbul terkait dengan terapi obat.
Selain itu, apoteker juga berperan sebagai penyedia jasa penyuluhan dan
pendidikan yang diperlukan untuk memotivasi pasien dan keluarga pasien agar
tercapai hasil terapi yang diinginkan.

Mengatasi permasalahan terkait obat (DRP) yang dialami oleh pasien Ny.

17
N, apoteker berperan untuk menyampaikan permasalahan tersebut kepada dokter,
sehingga dapat ditangani misalnya untuk pemberian terapi HCT golongan tiazid
untuk mengatasi gejala hipertensi yang dikombinasi dengan insulin untuk
mengontror kadar gula dalam darah.

Untuk memberikan rekomendasi, saran dan memeriksa kondisi


pengobatan pasien berkala dengan memeriksa pasien atau dengan wawancara
langsung , Untuk pasien Ny. N yang menderita diabetes mellitus juga perlu
disarankan untuk memeriksakan kondisi kadar gulanya secara rutin dan diet
seperti yang dianjurkan oleh dokter, serta pengaturan pola hidup yang baik dan
seimbang.
Pemberitahuan informasi pengobatan dan saran seperti pemeriksaan
darah, dan kondisi pasien secara rutin juga perlu disampaikan kepada keluarga
pasien, untuk meningkatkan kualitas hidup Ny. N dan mencegah kondisi klinis
yang dapat membahayakan. Mengingat kondisi pasien Ny. N yang mendapatkan
pengobatan multi rejimen, apoteker juga dapat membuatkan lembaran isian jadwal
minum obat yang diberikan untuk keluarga pasien sehingga dapat memperkecil
risiko kegagalan terapi karena salah pemberian obat.
Kerjasama dan komunikasi yang baik antara apoteker dan profesi
kesehatan lainnya, serta dengan memberikan penyuluhan dan informasi kepada
pasien atau keluarga pasien dapat meminimalkan risiko bahkan mencegah

18
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Hasil identifikasi PTO (Pemantauan Terapi Obat) yang dilakukan melalui
penelusuran rekam medik terhadap pasien Ny. N di ruang Cempaka Atas Rumah
Sakit Marinir Cilandak didapatkan kesimpulan bahwa
1. penatalaksanaan yang dilakukan telah tepat yang ditandai dengan berkurangnya
keluhan pasien.
2. Adanya interaksi obat antara HCT golongan tiazid dengan insulin karena dapat
meningkatklan glukosa dalam darah

5.2 Saran
Penggunaan HCT dan Insulin dipantau efeknya diberi jeda penggunaan
untuk mengurangi adanya interaksi

19
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E.J. (2008). Handbook of Pathophysiology 3rd Edition. Baltimore :


Lippincott Williams & Wilkins.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta : Departemen Kesehatan
RI

Lacy, Charles F. 2009. Drug Information HandBook. Lexy-Comp’s Drug


Reference Handbooks. Amarican Phar

Wells, Barbara G. et al. 2012. Pharmacotherapy Handbook. Ninth Edition. The


McGraw-Hill Companies, Inc. macits Association

20

Anda mungkin juga menyukai