Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara kumulatif, liberalisasi menjadi revolusi kebijakan di negara-negara berkembang


dan negara yang mengalami transisi. Sebelum 1980-an, 80% dari populasi dunia di luar Barat
tinggal di negara-negara berkembang akibat sangat tingginya tingkat proteksi eksternal, selain
besarnya intervensi pemerintah. Pada pertengahan 1990-an, sebagian besar orang-orang ini
menikmati sistem ekonomi yang lebih terbuka, baik secara domestic maupun internasional. Rata-
rata tarif yang diterapkan di negara-negara berkembang menurun dari hanya di bawah 30% pada
tahun 1985 menjadi hanya di bawah 11% pada tahun 2005.

Liberalisasi dimulai di Jepang, dan kemudian Korea Selatan dan Taiwan, pada 1950-an,
pada saat sebagian besar negara berkembang lain memberlakukan rezim substitusi impor dan
intervensi negara. Negara-negara ini mengalami perkembangan ekonomi tinggi dengan
mempertinggi ekspor melalui liberalisasi selektif, sembari mempertahankan perlindungan impor
dan pembatasan investasi. Kemudian, mereka secara bertahap meliberalisasi impor dan FDI.
Hong Kong kembali memberlakukan perdagangan bebas dan keterbukaan investasi setelah
Perang Dunia Kedua. Singapore mengikuti dalam waktu kemudian, meskipun sempat terjebak
dalam proteksi (ketika menjadi bagian dari Federasi Malaysia). Negara-negara di kawasan Asia
Tenggara lainnya (Malaysia, Thailand, Indonesia dan Filipina) melakukan liberalisasi
perdagangan dan penanaman modal asing secara signifikan sejak tahun 1970-an. Negara-negara
di kawasan Indocina mulai menerima pasar bebas secara bertahap pada 1980-an. Vietnam
mempercepat liberalisasi perdagangan dan investasi asing dalam rangka persyaratan keanggotaan
WTO pada 2006.

Tiongkok sebenarnya mulai menunjukkan minat liberalisasi pada 1978, namun secara
signifikan perubahan kebijakan baru nyata sejak awal 1990-an. Semenjak itu Tiongkok berputar
halauan dari sistem ekonomi yang tertutup menuju liberalisasi perdagangan, bahkan
menggunakan formula yang begitu liberal untuk ukuran negara sedang berkembang. Sistem tarif
ditekan hingga 5% dan secara keseluruhan, tarif telah turun rata-rata menjadi 42% pada tahun
1992 dan menjadi 5% pada saat diterima menjadi anggota WTO.

Titik puncak reformasi Tiongkok adalah aksesi WTO pada tahun 2001. Komitmennya
terhadap WTO jauh lebih kuat dibandingkan negara berkembang lain. Hal ini berlaku atas
penataan tarif barang (termasuk pertanian); pengurangan hambatan tarif jasa dan perdagangan
(seperti jasa keuangan, telekomunikasi, ritel, transportasi dan sejumlah layanan profesional yang
dibuka untuk persaingan asing); penetapan segala macam aturan untuk meningkatkan
transparansi dan mempromosikan kompetisi, dan meninjau prosedur administratif dan yudisial
untuk memastikan bahwa komitmen WTO dilaksanakan di dalam negeri
.
Di Asia Selatan, Sri Lanka merintis liberalisasi perdagangan pada akhir 1970. Negara ini
menghapus sistem perencanaan ekonomi bergaya Soviet dan menghapus hambatan tarif. Pada
tahun 1991, tarif telah diturunkan hingga 16% dari besaran 125%. Di Amerika Latin, Chile
mempelopori perdagangan bebas secara radikal pada akhir 1970-an. Meksiko mengikuti pada
1980-an, dan kemudian Brazil, Argentina, dan Peru pada dekade 1990-an. Afrika tertatih-tatih
melaksanakan liberalisasi perdagangan pada 1980an akan tetapi kemudian tumbuh cepat pada
1990-an.

Afrika Selatan mempelopori kebijakan yang besar semenjak dan setelah berakhirnya
apartheid. Negara-negara Eropa Timur dan semenanjung Balkan mengalami dentuman besar
setelah menghapus sistem ekonomi komando menjadi sistem ekonomi pasar sejak 1989, yang
diikuti perubahan kebijakan secara massif dalam sektor perdagangan dan arus modal asing.
Namun liberalisasi perdagangan tersendat-sendat justru terjadi di Rusia, sekalipun beberapa
negara bekas Soviet seperti Rumania, Bulgaria, dan Georgia, serta bekas Yugoslavia telah
mempercepat kebijakan liberalisasi perdagangan.

Akhirnya, liberalisasi perdagangan dan investasi di negara-negara OECD telah terjadi


dalam langkah-langkah kecil sejak 1980-an’ sesuatu yang tidak mengejutkan, karena sebagian
besar telah melakukan liberalisasi dilakukan sejak 1950-an dan 1960-an. Pengecualian adalah
Australia dan Selandia Baru. Setelah lebih dari satu abad mempertahankan proteskionisme,
keduanya secara tegas menggabungkan diri ke perekonomian dunia pada 1980-an.

Perdagangan bebas (free trade) atau liberalisasi perdagangan (trade liberalization) adalah
konsep ekonomi yang mengacu kepada berlangsungnya penjualan produk antar negara dengan
tanpa dikenai pajak ekspor – impor atau hambatan perdagangan lainnya. Perdagangan beas dapat
juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan atas dasar regulasi yang
diterapkan salam satu negara) dalam perdagangan antar indvidual dan antar perusahaan yang
berada di negara yang berbeda. Para pakar ekonomi politik dari negara berkembang kurang
sepakat terhadap pemberlakukan perdagangan bebas ini, yang diharapkan oleh mereka adalah
free and fair trade (perdagangan bebas dan adil). Dengan begitu perdagangan yang berlangsung
jangan hanya sebatas bebas semata, tetapi juga harus memenuhi aspek keadilan dan kesetaraan.

Perdagangan internasional seringkali terhambat dengan adanya hal – hal seperti berbagai
pajak yang ditetapkan oleh negara pengimpor, biaya tambahan yang diterapkan terhadap barang
ekspor dan impor, serta regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori perdagangan tersebut
ditolak oleh perdagangan bebas namun dalam prakteknya sangat berbeda.Perjanjian dan
kesepaktan perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan bebas ini justru
menimbulkan hambatan baru (terutama dalam bentuk hambatan non tarif) bagi terciptanya dan
terlaksananya pasar bebas. Perjanjian – perjanjian tersebut sering dikritik karena hanya
melindungi kepentingan industri maju dan perusahaan besar.

Banyak pakar ekonomi berpendapat bahwa perdagangan bebas akan meningkatkan taraf
hidup melalui Teori Komparatif dan ekonomi skala besar. Sebagian lain berpendapat bahwa
perdagangan bebas memungkinkan negara maju untuk mengeksploitasi negara berkembang dan
merusak industri lokal serta membatasi standar kerja dan standar sosial. Singkatnya perdagangan
bebas tidak akan bermanfaat bagi penduduk di negara berkembang dan negara miskin.
Liberalisasi perdagangan mengharuskan negara-negara di dunia mengurangi hambatan
perdagangan antar negara, baik yang berupa tarif maupun hambatan non-tarif. Dengan demikian
akan mendukung semakin mudahnya arus perdagangan antar negara. Prinsip liberalisasi dan free
market ini berakar dari teori yang diungkapkan oleh Adam Smith dimana comparative advantage
sebagai konsep kuncinya.

Alasan liberalisasi perdagangan adalah bahwa liberalisasi perdagangan akan memberikan


peluang bagi pemanfaatan terbaik atas berbagai sumber daya yang ada. Seperti dalam prinsip
comparative advantage, seluruh pihak akan mendapatkan manfaat manakala negara-negara
mengkhususkan diri memproduksi pangan dan jasa secara efisien, yang bisa diproduksi dengan
biaya yang lebih rendah ketimbang negara-negara lain. Alasan lainnya adalah bahwa liberalisasi
perdagangan akan memberikan peluang terhadap peningkatan akses pasar, sehingga juga akan
meningkatkan pendapatan ekspor negara. Menurut laporan OECD pada bulan November 1999
mengatakan bahwa penghapusan berebagai hambatan perdagangan akan mendorong
pertumbuhan ekonomi dan liberalisasi penuh atas tarif-tarif akan mendatangkan keuntungan
sebesar 3% dari GDP dunia. Disamping itu harga pangan yang rendah karena dihapuskannya
berbagai tarif perdagangan antar negara akan menunjang pertumbuhan industri.

Beberapa argumen perdagangan bebas di atas terkesan menjanjikan, namun fakta yang
terjadi ternyata jauh dari apa yang diharapkan. Teori tersebut bisa berlaku jika perdagangan
terjadi diantara negara-negara yang tingkat ekonominya kurang lebih setara. Tetapi ketika
perdagangan bebas terjadi diantara negara-negara makmur yang menjual barang-barang industri
dan negara-negara yang jauh lebih miskin menjual-produk-produk primer maka negara industri
majulah yang lebih banyak diuntungkan. Negara miskin perlu mengekspor lebih banyak produk
untuk dapat melakukan impor produk dari negara maju. Lebih jauh lagi negara-negara miskin
semakin lama akan tergantung pada produksi negara maju. Seiring dengan kedatangan
globalisasi maka saat ini muncul pula aktor baru dalam perdagangan internasional yaitu
korporasi-korporasi transnasional (MNCs), yang mendominasi perdagangan untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya dan bukan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat.
Liberalisasi pertanian berarti menyerahkan sistem pertanian dan nasib petani kepada
mekanisme pasar bebas, yaitu “free-fight liberalism”. Siapa yang kuatlah yang akan menang
sedangkan yang lemah akan semakin kalah. Posisi perusahaan-perusahaan importir dan MNCs-
lah yang akan semakin kuat, sedangkan petani-petani gurem akan semakin sulit bertahan dan
akhirnya harus menyerahkan tanah mereka kepada perusahaan-perusahaan pertanian berskala
besar.

Liberalisasi pertanian memiliki implikasi terhadap tiga hal, yaitu pengurangan atau
penghapusan hambatan perdagangan dengan mengurangi atau menghapus tarif (bea masuk)
terhadap produk-produk bahan pangan dan pertanian, pengurangan subsidi ekspor maupun
subsidi domestik terhadap petani lokal, dan pencabutan monopoli perdagangan terhadap produk
bahan pangan dan pertanian. Dengan demikian tidak akan ada lagi proteksi bagi petani-petani
lokal di negara berkembang, membanjirnya produk-produk impor yang akan menyebabkan
anjloknya harga produk pertanian sehingga membuat pertanian domestik mengalami
kemunduran. Namun yang terjadi di negara-negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat
adalah sebaliknya. Negara-negara industri maju tersebut justru semakin memperkuat proteksi
terhadap pertanian domestik dengan tetap melakukan subsidi yang cukup besar kepada petani
dan hambatan-hambatan –berupa tarif dan stansardisasi produk- terhadap produk pertanian dari
negara-negara berkembang. Dengan berbagai dalih negara-negara industri maju tersebut enggan
untuk mencabut kebijakan pertaniannya yang proteksionis tersebut, sedangkan di pihak lain
negara-negara berkembang juga sulit melakukan protes terhadap tindakan tersebut. Ternyata
dalam pelaksanaanya, liberalisasi perdagangan khususnya di sektor pertanian masih memiliki
banyak sekali kekurangan.

Perdagangan atas bahan-bahan pangan dan pertanian sudah berlangsung selama ratusan
tahun. Sesuai dengan prinsip comparative advantage, secara historis perdagangan antar negara
terjadi karena sebuah negara ingin membeli bahan pangan yang tidak dapat diproduksi sendiri
atau negara lain mampu memproduksi bahan pangan tersebut dengan harga lebih murah. Namun
semakin lama perdagangan bahan pangan tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan produk yang
sulit diproduksi sendiri, tetapi lebih bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara terutama
berupa devisa melalui ekspor bahan pangan dan pertanian.
Berbeda dengan perdagangan produk barang atau jasa lainnya, perdagangan bahan
pangan dan pertanian memiliki pengaruh yang lebih besar bagi negara-negara berkembang.
Sebagian besar negara berkembang mengandalkan sektor pertanian sebagai komditas ekepor
yang utama. Banyak negara-negara berkembang di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin
masih mengandalkan pertanian dalam ekonominya. Namun kenyataanya negara-negraa
berkembang yang perekonomiannya bertumpu pada sektor pertanian masih jauh tertinggal,
sedangkan pertanian dan industri bahan pangan adalah kebutuhan pokok masyarakat yang akan
terus meningkat permintaannya.

Globalisasi mensyaratkan adanya liberalisasi, terutama liberalisasi perdagangan. Dalam


sektor pertanian, liberalisasi perdagangan tidak muncul secara begitu saja. Sudah sejak tahun
1968 ketika diperkenalkannya istilah Revolusi Hijau terjadi perubahan cara bercocok tanam dari
pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Secara ekonomi, Revolusi Hijau adalah
modernisasi pertanian, khususnya tanaman pangan, yang mengandalkan asupan kimiawi dan
biologi, selain prasyarat kelancaran irigasi, ke dalam kultur bercocok tanam tanaman pangan
pokok. Dengan alasan modernisasi pertanian inilah negara-negara berkembang menjadi
pengimpor utama alat-alat mekanik yang diperlukan dalam proses produksi bahan pangan dari
negara industri maju karena mereka belum bisa memproduksi peralatan tersebut sendiri. Petani
harus membeli asupan produksi yang berupa bibit unggul, pupuk buatan, insektisida, pestisida
yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan besar. Rumus Revolusi Hijau adalah produksi
pangan, khususnya padi, diharapkan meningkat apabila meningkat pula asupan yang disuntikkan
berupa bibit unggul, aplikasi pupuk buatan, insektisida, herbisida, pembimbingan, kredit usaha
tani, tangan kuat pemerintah dan iklim yang mendukung. Dalam jangka pendek Revolusi Hijau
mampu dipakai untuk meningkatkan produksi pangan, namun hal ini akan menyebabkan masalah
yang lain diantaranya ketergantungan petani asupan bibit unggul tanaman –terutama padi- yang
bahkan pada tahap selanjutnya yaitu lepasnya keragaman bibit padi lokal dari tangan petani ke
tangan perusahaan multinasional, dan juga rusaknya lingkungan akibat pencemaran bahan-bahan
kimia yang berasal dari pupuk buatan, insektisida, dan pestisida, serta pola tanam monokultur
yang dominan.
Ternyata permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang tidak hanya sampai
disitu saja. Semakin lama bukannya produksi pertanian yang meningkat tetapi justru impor
terhadap bahan pangan yang semakin meningkat. Sebagai salah satu contoh adalah Indonesia.
Pada tahun 1985-1988 dan tahun 1990 Indonesia mampu melakukan swasembada pangan namun
setelah tahun 1993 justru impor atas bahan pangan semakin meningkat, bahkan menjadi salah
satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Padahal pertanian adalah salah satu sektor
unggulan dalam perekonomian Indonesia. Ditambah lagi jika laju liberalisasi pertanian semakin
tidak bisa dibendung maka arus impor terhadap bahan pangan dan pertanian akan semakin
membanjiri pasar Indonesia. Dari permasalahan tersebut di atas maka penulis akan mengangkat
sebuah judul yaitu “Liberalisasi Perdagangan dan Ancaman Terhadap Ketahanan Pangan Di
Indonesia”.
B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut diatas maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah Liberalisasi Perdagangan itu ?


2. Bagaimana kondisi ketahanan pangan di Indonesia?
3. Bagaimana ancaman Liberalisasi Perdagangan terhadap ketahanan pangan di Indonesia ?

C. Tujuan

Dari permasalahan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apa itu Liberalisasi Perdagangan.


2. Untuk mengetahui bagaimana kondisi ketahanan pangan di Indonesia.
3. Untuk mengetahui bagaimana ancaman Liberalisasi Perdagangan terhadap ketahanan
pangan di Indonesia.

D. Manfaat

Adapun manfaat pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Agar mengetahui apa itu Liberalisasi Perdagangan.


2. Agar mengetahui bagaimana kondisi ketahanan pangan di Indonesia.
3. Agar mengetahui bagaimana ancaman Liberalisasi Perdagangan terhadap ketahanan
pangan di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai