Anda di halaman 1dari 10

ISSN 1907-0799

PERTANIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA


DALAM ERA OTONOMI DAERAH

I. Ar-Riza1 dan Alkasuma2


1
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Jl. Kebun Karet Lok Tabat, Kotak Pos 31, Banjarbaru 70700
2
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123

ABSTRAK
Lahan rawa merupakan kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan secara bijak. Lahan rawa dapat menjadi sumber
pertumbuhan yang dapat mendorong laju pembangunan perekonomian dan memakmurkan rakyat. Oleh karena itu walaupun dalam
era otonomi yang memberikan wewenang luas bagi daerah, pengelolaan lahan rawa pasang surut harus tetap mengindahkan kondisi
dan sifat-sifat lahan yang khas dan unik. Yaitu tidak membuat kegiatan yang mengarah pada perubahan lingkungan yang drastis
yang dapat berdampat negatif terhadap kualitas lingkungan diwilyahnya (wilayah administrasi) maupun wilayah lain yang masih
menjadi satu kesatuan sistem rawa yang melingkupinya. Pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian perlu diarahkan kepada usaha
pertanian berkelanjutan yang dapat menjamin keberlanjutan produksi dan kelestarian lingkungan.Untuk menuju ke arah tersebut
perlu strategi pengelolaan : (1) Pemetaan sumberdaya lahan secara rinci, (2) Pewilayahan kesesuaian lahan untuk pengembangan
komoditas unggulan yang sesuai, (3) Pembenahan dan peningkatan fungsi jaringan tata air, (4) Mengembangan teknologi spesifik
lokasi, (5) Peningkatan kemampuan dan keberdayaan masyarakat, dan (6) Pengembangan sarana dan kelembagaan agribisnis.
Implementasi strategi ini memerlukan sinkronisasi dan koordinasi kerja yang efektif antar institusi terkait mulai dari perencanaan
sampai pelaksanaan di lapangan.

Kata kunci : Rawa pasang-surut, strategi, pertanian

ABSTRACT

Swamp land is one of natural resources which must be utilized wisely. Swamp land is able to be a growth resource that
supports economic development and people welfare. In the autonomy era which has delegated a large authority to the regency
administration, however, the tidal swamp land management has to consider the specific of land properties and characteristics. Land
use policy should not be performed through a number of activities which can cause dramatically changes that has negative impact to
environment qualities in the entire swamp system in the area. Swamp land utilization for agriculture should be recommended for
sustainable agriculture that capable to grant the sustainability in terms of production and friendly environment. To approach the
sustainability as mention above, it needs several strategies in swamp land management, including: (1) Detail land resources
mapping, (2) Land suitability mapping followed by development of suitable commodities, (3) Soil amelioration and improvement of
irrigation net work, (4) Specific location technology development, (5) Improvement and empowerment farm community
cappabilities, (6) Infrastructure and agribusiness institution development. The implementation of these strategies needs effective
work synchronization and coordination starting from planning towards field work among the related institution, in order to effective
works in swamp land management can be reached.

Keywords : Tidal swamp land, strategy, agriculture

P
embangunan akan terus bergerak maju, sesuai peruntukannya dalam upaya lebih
demikian juga paradigma baru telah mulai memakmurkan kehidupan rakyat daerah.
berkembang untuk memenuhi dan
Lahan rawa merupakan kekayaan alam
mengakomodasi tuntutan rakyat dalam
yang dapat dimanfaatkan secara bijak agar
mendapatkan haknya secara adil, termasuk hak
dapat menjadi sumber pertumbuhan yang
daerah dalam mengelola kekayaan alam yang
ada di daerahnya. Undang-Undang No. 22 tahun mampu mendorong laju pembangunan
1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang- perekonomian dan memakmurkan rakyatnya.
Undang No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan Oleh karena itu walaupun dalam era otonomi
keuangan pusat dan daerah, memberikan yang memberikan wewenang luas, pengelolaan
kesempatan daerah untuk mengelola dan lahan rawa pasang surut harus tetap
memanfaatkan sumber daya alam secara optimal mengindahkan kondisi dan sifat-sifat lahan yang

95
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 2 No. 2, Desember 2008

khas dan unik. Dalam arti tidak membuat pertanian lahan rawa pasang surut dalam era
kegiatan yang mengarah pada perubahan otonomi daerah.
lingkungan yang drastis, yang dapat berdampat
negatif tehadap kualitas lingkungan setempat
maupun wilayah lain. Wilayah lain yang
KONDISI PERTANIAN LAHAN RAWA
PASANG SURUT SAAT INI
dimaksud adalah wilayah yang secara
administrasi dan hukum sudah di luar
wilayahnya, namun masih menjadi satu kesatuan Kondisi lahan
karena sistem rawa yang melingkupinya.
Lahan rawa pasang surut mempunyai sifat
Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992), yang spesifik, diantaranya macam tipologi, jenis
pemanfaatan lahan rawa pasang surut untuk tanah, dan tipe genangan yang berbeda,
pertanian masih akan menghadapi berbagai spesifikasi tersebut mengandung makna bahwa
masalah diantaranya adalah kondisi luapan dan potensinya sebagai lahan pertanian tentu akan
genangan air yang sangat variatif dari satu berbeda. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis
wilayah ke wilayah lain, jenis tanah yang sangat tingkat kesesuaiannya berdasarkan besarnya
beragam dengan tingkat kesuburan yang rendah faktor pembatas yang ada bagi sistem usaha
dan variatif, kemasaman tanah dan potensi pertanian yang akan dikembangkan.
racun pirit yang tinggi yang dapat mematikan
Lahan rawa pasang surut terletak di
tanaman, ketebalan dan tingkat kematangan
daerah datar, sehingga luapan dan genangan air
gambut yang berbeda, serta kondisi petani yang
secara periodik merupakan ciri khas yang
masih lemah baik dari segi keterampilan maupun
dimilikinya. Sesuai karakteristik dan potensinya
permodalan. Melihat karakter lahan dan kondisi
serta dikaitkan dengan kesiapan teknologinya,
sosial tersebut maka pemanfaatan lahan rawa
lahan rawa pasang surut sangat potensial untuk
pasang surut untuk pertanian memerlukan
dijadikan lahan pertanian maju, walaupun masih
kecermatan dan kehati-hatian dalam
banyak kendala dan permasalahan yang harus
perencanaan dan kesungguhan pelaksanaan
dicarikan solusinya.
pengembangannya.
Pembangunan pertanian pada lahan rawa
Sistem jaringan tata air
harus diupayakan menuju ke sistem pertanian
berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber Memahami kondisi tata air dan pola
daya secara optimal berdasarkan karakteristik dinamikanya mempunyai arti yang sangat
lahan, kesesuaian komoditas dan dengan tetap penting dalam menentukan kesesuaian wilayah
memperhatikan budaya masyarakat setempat. untuk usaha pertanian di lahan rawa pasang
Menurut Sinukaban (1999), pertanian surut. Hal ini sudah disadari oleh petani sejak
berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan awal, yang ditandai dengan telah dibangunnya
pertanian di suatu daerah yang tidak merusak saluran-saluran air yang dalam bahasa Banjar
lingkungan, dan memberikan hasil tinggi disebut sebagai “Handil”. Handil biasanya dibuat
sehingga dapat memacu petani untuk terus dengan cara membuat saluran kecil untuk
berusaha lebih lanjut pada lahan tersebut. Untuk mengalirkan air dari sungai-sungai besar masuk
menuju ke arah tersebut maka lahan rawa hingga sejauh 2 atau 3 km dari pinggir sungai.
pasang surut harus dimanfaatkan sesuai kondisi Saluran-saluran tersebut dimaksudkan untuk
tipologi, tipe luapan air dan peruntukannya, serta mempercepat pembuangan kelebihan air yang
preferensi wilayah karena tidak semua lahan masam serta memasukkan kembali air segar ke
rawa dapat dimanfaatkan untuk pertanian lahan pertanaman. Upaya tersebut terlihat telah
(Abdurachman et al.,1999). memberikan hasil yang baik walaupun belum
Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan optimal. Dalam perkembangan selanjutnya
beberapa pemikiran strategi pengembangan dibangun berbagai sistem jaringan tata air oleh

96
I. Ar-Riza dan Alkasuma : Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Strategi Pengembangannya

pemerintah yang dikenal dengan sistem harus disiapkan dengan baik, dan dilakukan
Kanalisasi (Anjir), sistem Garpu untuk wilayah sosialisasi yang intensif pada masyarakat.
Kalimantan, dan sistem Sisir untuk wilayah
4. Jarak antar saluran tersier (berkisar 400-600
Sumatera. Sistem jaringan tata air tersebut telah m) kurang sesuai dengan tipe luapan. Perlu
dibangun di beberapa daerah, seperti Riau
dikaji dan disesuaikan dengan tipe luapannya
153.755 ha, Jambi 66.134 ha, Sumatera
(hidro-topografinya), sehingga tidak harus
Selatan 301.780 ha, Lampung 76.040 ha;
sama pada semua tipe luapan, mungkin tipe
Kalimantan Barat 138.750 ha, Kalimantan
B-C, lebih rapat dibanding dengan tipe
Selatan 200.051 ha, Kalimantan Tengah
luapan B atau A. Dengan pengaturan jarak
244.366 ha, dan yang terakhir adalah mega
antar saluran yang disesuaikan dengan tipe
proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektar luapan, diharapkan distribusi air dapat
di Kalimantan Tengah yang menimbulkan merata dan sirkulasi air dapat berjalan
dilematis, sehingga memerlukan rehabilitasi yang
dengan baik.
sungguh-sungguh.
Sistem jaringan tata air tersebut umumnya
Karakteristik lahan pasang surut
terdiri atas saluran primer, saluran sekunder,
saluran tersier, dan saluran kwarter yang Lahan rawa pasang surut terletak pada
diharapkan dapat difungsikan untuk mengairi topografi datar, sehingga sering terluapi dan
lahan sawah untuk mencukupi kebutuhan air tergenang air secara periodik. Berdasarkan
bagi tanaman dan untuk memperbaiki kualitas jangkauan pasang surutnya air, Widjaja-Adhi et
lahan, seperti mengurangi kemasaman tanah dan al. (1992) membagi lahan rawa pasang surut
mencuci unsur/senyawa yang bersifat meracun menjadi dua zona, yaitu : (1) zona pasang surut
bagi tanaman. Namun demikian semua sistem payau/salin, dan (2) zona pasang surut air
jaringan yang ada belum memberikan manfaat tawar. Kedua zona tersebut mempunyai ciri dan
seperti yang diharapkan, dsebabkan oleh sifat yang berbeda sehingga dalam upaya
beberapa hal: pemanfaatannya perlu dihubungkan antara aspek
1. Saluran induk (primer), saluran sekunder, lahan (tipologi lahan) dengan aspek air (tipe
bahkan pada saluran tersier, meskipun sudah luapan) yang mengandung ciri-ciri yang lebih
dibuat pintu pengatur tetapi kinerjanya tidak khas.
sesuai dengan yang diharapkan, akibat dari Tipologi lahan yang terdapat pada zona
desain yang masih perlu disempurnakan. pasang surut air payau yaitu tipologi lahan salin,
Perlu petugas pintu air yang dibekali mempunyai ciri unsur Na tukar yang cukup
keterampilan, dan disosialiasikan pada tinggi >8 me/100g tanah, dan berada dekat
masyarakat, sehingga masyarakat lebih siap dengan pantai. Lahan tersebut pada umumnya
menerima teknologi tata air yang diterapkan. telah dimanfaatkan oleh petani untuk usahatani
2. Model pintu air ulir, yang ditarik ke atas dan padi, juga telah banyak yang mengkombinasikan
bagian bawah yang membuka nampaknya padi di tabukan dan tanaman kelapa di surjan
kurang sesuai untuk lahan rawa pasang atau tukungan.
surut. Mungkin yang lebih cocok adalah
Tipologi lahan yang terdapat pada zona
sistem daun pintu bagian atas yang dapat
pasang surut air tawar, lebih banyak dibanding
diturun naikkan, sehingga arus air bagian
dengan yang terdapat pada zona air payau/
bawah tidak deras, dan permukaan air dapat
salin. Pengelompokan tipologi lahan pada zona
dipertahankan sesuai yang diinginkan sesuai
air tawar, berdasarkan pada kedalaman bahan
tahap kegiatan usahatani dan fase
sulfidik, tingkat oksidasi pirit dan ketebalan
pertumbuhan tanaman.
gambut. Atas dasar itu ditemukan delapan
3. Pintu sering rusak akibat aktivitas tipologi lahan yang terdiri atas : (1) lahan sulfat
transportasi air. Sarana transportasi darat masam aktual (SMA), (2) lahan sulfat masam

97
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 2 No. 2, Desember 2008

potensial (SMP), (3) lahan sulfat masam lingkungan dan kepentingan wilayah atau daerah
bergambut (SMPG), (4) lahan potensial (P), (5) lain. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa
lahan gambut dangkal (GDK), (6) lahan gambut lahan rawa merupakan lahan yang rapuh dan
sedang (GSD), (7) lahan gambut dalam (GDL), mempunyai keragaman sifat yang sangat tinggi,
dan (8) lahan gambut sangat dalam (GSDL) serta mempunyai hubungan fungsional dengan
(Abdurachman et al.,1999). wilayah lain, sehingga kerusakan di satu wilayah
dapat mengakibatkan dampak negatif pada
Selain tipologi lahan, tipe luapan air
mempunyai arti yang sangat penting dalam wilayah lain.
menentukan kesesuaian wilayah untuk usaha Sistem rawa merupakan satu kesatuan
pertanian. Berdasarkan tipe luapan air pasang, ekosistem yang sangat luas, sehingga batas
lahan rawa pasang surut dapat dibagi dalam fungsionalnya sulit dibedakan antara wilayah
empat kategori, yaitu: satu dengan wilayah lainnya. Oleh karena itu
1. Tipe luapan A, yaitu suatu wilayah yang pengelolaannya harus memperhatikan kelestarian
dapat diluapi oleh air pasang baik oleh agroekologi secara keseluruhan. Artinya satu
pasang besar maupun oleh pasang kecil. wilayah sebaiknya berkoordinasi dan
disinkronkan dengan rencana di wilayah lain jika
2. Tipe luapan B, yaitu wilayah yang hanya
dalam kegiatannya harus mengubah kondisi
dapat diluapi oleh air pasang besar saja,
lingkungan secara drastis untuk keperluan
sedang pada pasang kecil air tidak dapat
meluap ke petak sawah. daerahnya.

3. Tipe luapan C, yaitu wilayah yang tidak Pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian
terluapi air pasang, tetapi air pasang mempe- perlu diarahkan kepada usaha pertanian
ngaruhi kedalaman muka air tanah kurang berkelanjutan, yang dapat menjamin keberlanjut-
dari 50 cm dari permukaan tanah. an produksi dan kelestarian lingkungan melalui
optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan dan
4. Tipe D, yaitu wilayah yang sama sekali tidak
kesesuaian lahannya. Berdasarkan kondisi
dipengaruhi oleh air pasang, namun demikian
wilayah dan mengacu berbagai pengalaman,
air pasang mempengaruhi kedalam muka air
baik keberhasilan maupun kegagalan masa lalu,
tanah pada kedalaman lebih dari 50 cm dari
maka strategi pengembangan perlu mencakup :
permukaan tanah.
(1) pewilayahan kesesuaian lahan yang
5. Tipe luapan A dan B, sering juga disebut disinkronkan dengan rencana tata ruang daerah
sebagai pasang surut langsung, sedangkan lain yang mempunyai kepentingan bersama
tipe C dan D disebut sebagai pasang surut terhadap satu sistem rawa, (2) pemetaan rinci,
tidak langsung. dan kesepakatan pengembangan komoditas
unggulan masing-masing, sesuai preferensi
wilayah dan sinkron dengan tata ruang masing-
STRATEGI PENGEMBANGAN PERTANIAN
masing daerah yang berkompeten, (3)
Pada era otonomi daerah, menurut UU No. pembenahan dan peningkatan fungsi jaringan
22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah tata air secara bersama, yang dapat memberikan
dan UU No. 25 tahun 1999 tentang manfaat bersama, (4) pengembangan teknologi
perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang spesifik lokasi yang sesuai kondisi lingkungan,
menjelaskan bahwa daerah mempunyai dan komoditas yang dikembangkan, (5)
kewenangan seluas-luasnya untuk mengatur tata peningkatan kemampuan dan keberdayaan
ruang dan tataguna lahan rawa di wilayahnya masyarakat, dan (6) pengembangan sarana dan
untuk kemakmuran masyarakatnya. Namun kelembagaan agribisnis, dan (7) dilaksanakan
demikian pemanfaatannya harus tetap secara bertahap, dengan tetap mengindahkan
memperhatikan kelestarian sumberdaya lahan, aspek kelestarian lingkungan bersama.

98
I. Ar-Riza dan Alkasuma : Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Strategi Pengembangannya

Pewilayahan kesesuaian lahan pada kondisi tereduksi. Berdasarkan masalah


tersebut, penerapan sistem persawahan adalah
Lahan rawa mempunyai karakter yang pemilihan yang tepat. Sedangkan pada tipe
sangat bervariasi dari satu wilayah ke wilayah luapan C dan D dapat diterapkan sistem
lainnya, meliputi jenis tanah, tingkat kesuburan, perkebunan.
potensi kandungan racun pirit dan alumunium,
Kawasan rawa yang luas dan bervariasinya
ketebalan dan kematangan gambut, kemasaman
kendala yang ada, akan menyulitkan pengem-
tanah dan air, tipe luapan, dan genangan air.
bangan kawasan ini. Pada kondisi demikian
Sehingga penetapan komoditas harus
berdasarkan pada tingkat kesesuaian dan pengembangan sebaiknya dilakukan secara
peruntukannya. Memaksakan usaha satu bertahap, dimulai dengan memilih lahan yang
komoditas dengan mengubah kondisi lingkungan mempunyai tingkat kesesuaian yang lebih tinggi,
secara drastis tidak akan memberikan hasil yang sehingga risiko kegagalan lebih kecil dan dapat
optimal, dan dilain pihak akan memberikan diperoleh hasil yang optimal.
dampak negatif terhadap ekosistem yang Penentuan jenis usaha pertanian yang
mungkin kerugiannya akan lebih besar dibanding akan dikembangkan sebaiknya mengacu pada
manfaatnya. Sebaliknya pemilihan usaha peta kesesuaian lahan yang telah ada, dan hasil-
pertanian yang memiliki kesesuaian lebih tinggi, hasil penelitian oleh lembaga penelitian,
tidak perlu mengubah lingkungan secara drastis, perguruan tinggi dan swasta pada wilayah insitu
sehingga masukan yang diperlukan lebih kecil, atau di tempat lain yang sejenis.
dan hasil yang diperoleh lebih besar.
Penataan lahan untuk tipologi lahan Pemetaan rinci dan pengembangan
gambut, terutama bergambut dan gambut komoditas unggulan
dangkal dapat ditata sebagai sistem pertanian
padi sawah. Sejumlah penelitian budidaya padi Lahan rawa mempunyai sifat yang dinamis
pada lahan ini dapat memberikan hasil yang dan rapuh, sehingga dengan berjalannya waktu
berkisar antara 3,5-4,0 t/ha (Ar-Riza et al., telah terjadi perubahan-perubahan yang sangat
2006; Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, signifikan. Tipologi gambut telah banyak yang
2006). Wilayah dengan tipologi gambut dalam berubah menjadi bergambut dan bahkan tidak
sampai sangat dalam (dome), sebaiknya diman- sedikit yang telah berubah menjadi lahan sulfat
faatkan sebagai wilayah konservasi yang akan masam, tipe luapan B telah banyak yang
sangat bermanfaat bagi keberlanjutan usaha berubah menjadi tipe C akibat telah terjadinya
pertanian di wilayah sekitarnya. Pada tipologi drainase yang berlebih. Sebagai contoh, wilayah
lahan sulfat masam potensial terutama SMP-2 Tamban Catur Kalimantan Tengah, yang semula
dan SMP-3, karena mempunyai tingkat bahaya bertipe luapan B (tahun 1973) telah berubah
yang relatif kecil, mempunyai peluang penerapan menjadi tipe luapan C (Ar-Riza et al., 2001),
sistem pertanian yang lebih luas. Pada tipologi Wilayah Desa Babatraya, Kecamatan Belawang,
sulfat masam potensial dapat diusahakan yang dahulu bertipologi sulfat masam potensial
sebagai sawah, atau sawah sistem surjan telah berubah menjadi aktual dan banyak yang
terutama pada tipe luapan B. Sedangkan pada telah menjadi lahan tidur, sehingga usaha
tipe luapan C dan D dapat diusahakan sebagai rehablitasi memerlukan masukan yang cukup
lahan kering untuk palawija dan hortikultura atau besar (Tabel 1).
perkebunan. Namun demikian pengelolaannya Pada Tabel 1, terlihat bahwa untuk
tetap harus mengacu pada aspek konservasi dan meningkatkan hasil padi pada wilayah Desa
perbaikan kualitas lahan. Adapun pada tipologi Babatraya yang telah menjadi lahan tidur akibat
lahan sulfat masam aktual (SMA) yang degradasi kualitas lahan, diperlukan masukan
mempunyai tingkat bahaya yang lebih tinggi, yang cukup tinggi berupa pupuk N 135 kg/ha,
sehingga perlu diupayakan agar tetap berada P2O5 135 kg/ha, K2O 100 kg/ha, dan masih

99
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 2 No. 2, Desember 2008

Tabel 1. Upaya menaikkan hasil padi pada lahan sulfat masam aktual (lahan tidur) di
Desa Babatraya, Kecamatan Belawang MT 2002
Bahan amelioran
Perlakuan NPK Rata-rata
Kapur Abu sekam padi Abu serbuk kayu gergaji Kontrol
kg/ha .............................. 3 t/ha ..............................
135-135-100 2,90 1,46 1,76 - 2,04 a
90-90-50 2,66 1,50 1,03 - 1,73 b
Kontrol - - - 0,40 0,40 c
2,78 d 1,48 d 1,40 d 0,40 e
Sumber : Ar-Riza dan Alihamsyah (2002)

harus ditambah dengan kapur sekitar 3 t/ha saluran air telah dibangun tetapi tanpa diikuti
untuk mendapatkan hasil kurang dari 3 t/ha. dengan pengelolaan yang baik, saluran tersebut
tidak akan efektif. Pengelolan yang tidak baik/
Berdasar sifat lahan yang dinamis serta
salah justru dapat merusak lahan, sebagai akibat
telah banyaknya wilayah yang berubah
drainase yang berlebihan atau genangan yang
kondisinya, maka pemetaan kembali sangat
berlebih (Saragih et al., 2003). Pembenahan
diperlukan untuk memudahkan pengelolaan,
jaringan tata air yang ada sangat diperlukan,
menentukan komoditas unggulan serta penerapan
agar sistem tata air yang diterapkan selain
teknologinya. Menurut Fagi et al. (1997),
mampu mencukupi kebutuhan air bagi tanaman,
penentuan keunggulan harus berdasar-kan
juga dapat memperbaiki kualitas lahan secara
prinsip keunggulan kompetitif, yang berarti tidak
gradual.
hanya menyangkut aspek teknis dan biaya,
tetapi harus mempertimbangkan aspek lingkung- Berdasarkan hasil penelitian yang telah
an dan aspek pasar serta peluang untuk dapat dilakukan, diketahui bahwa sistem pengelolaan
menarik infestasi. air yang sesuai untuk tanaman pangan di lahan
pasang surut adalah dengan sistem aliran satu
Komoditas unggulan yang diusahakan arah (one way flow system) untuk lahan bertipe
pada lahan yang mempunyai tingkat kesesuaian luapan air A dan B. Penerapan sistem tata air
yang lebih tinggi akan memberikan hasil yang satu arah yang dikombuasi dengan pengolahan
optimal. Menurut Sinukaban (1999), hasil yang tanah, dapat secara cepat meningkatkan pH
tinggi dengan harga yang baik akan tanah dari 4,2 sebelum aplikasi, naik menjadi
meningkatkan gairah kerja untuk melanjutkan 4,8 saat tanam, dan 5,4 saat panen (Gambar 1).
usahataninya, sehingga keberlanjutannya lebih
Pada saat yang sama besi fero (Fe2+)
terjaga. Komoditas tersebut tentu tidak hanya
turun dari 160 ppm menjadi 72 ppm, sehingga
terbatas kepada tanaman pangan, tetapi juga
diperoleh hasil padi 6,26 t/ha. (Widjaja-Adhi dan
sayuran, buah-buahan, perkebunan, ternak dan
Alihamsyah, 1998 dalam Suriadikarta dan
ikan. Komoditas tersebut dapat diusahakan
Setyorini, 2006). Subagyono et al. (1992) dalam
secara monokultur maupun dalam suatu sistem
Abdurachman (2006), menyampaikan bahwa
usahatani terpadu untuk mengurangi risiko
penerapan sistem tata air searah, selama lima
kegagalan panen. musim tanam dapat menurunkan konsentrasi
Fe2+ dari konsentrasi awal 2,8 me/kg menjadi
Pembenahan dan peningkatan 0,2 me/kg, konsentrasi Al3+ turun dari 37,1
fungsi jaringan tata air me/kg menjadi 17,0 me/kg. Penurunan unsur
meracun tersebut bervariasi tergantung kelancar-
Keberhasilan usaha pertanian di lahan an aliran air pada penerapan tata airnya. Di lahan
rawa sangat ditentukan oleh keberhasilan pasang surut wilayah Kalimantan, penurunan
penerapan sistem tata air. Walaupun saluran- unsur meracun seperti pada Gambar 2.

100
I. Ar-Riza dan Alkasuma : Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Strategi Pengembangannya

sistem garpu, saluran sekunder hendaknya


dibuat 3 buah yaitu saluran sekunder kanan,
saluran sekunder kiri, dan saluran sekunder
tengah. Saluran sekunder tengah difungsikan
sebagai saluran irigasi, sedangkan saluran
sekunder kanan dan kiri difungsikan sebagai
saluran sekunder drainase.
Saluran sekunder perlu dilengkapi dengan
pintu-pintu pengatur air otomatis sesuai dengan
fungsinya. Pemisahan fungsi saluran yang jelas
sebaiknya juga dilakukan pada saluran tersier.
Saluran tersier yang berfungsi sebagai saluran
drainase juga dilengkapi dengan pintu pengatur
air dengan model pintu overflow (tabat) pada
lahan dengan tipe lupan C dan D (seperti di
Sumber : Saragih et al. (2003) Belawang, Pinang habang dan sejumlah lokasi
lainnya) dan pintu model otomatis pada lahan
Gambar 1. Pengaruh penerapan sistem tata air dengan tipe luapan A dan B.
satu arah, terhadap perubahan pH
Dimensi pintu air pada saluran tersier
pada lahan pasang surut
irigasi dan tersier drainase, perlu disesuaikan
dengan permasalahan yang dihadapi. Untuk
saluran tersier irigasi, dimensi pintu air harus
diperhitungkan dengan lamanya waktu pasang
yang dapat melimpah petak sawah, jumlah
kebutuhan air harian pada pertanaman, luas
areal yang diairi, jumlah rata-rata curah hujan
harian dan besarnya rembesan (infiltrasi).
Demikian juga demensi pintu pada saluran
drainase juga dapat dibuat dengan memper-
hitungkan lamanya waktu yang digunakan untuk
drainase, jumlah supai air dari saluran tersier
irigasi, ditambah jumlah rata-rata curah hujan
dan besarnya rembesan dikurangi dengan
Sumber : Saragih et al. (2003) besarnya evapotranspirasi yang terjadi.
Permukaan lahan pasang surut umumnya
SO = saat olah tanah, ST = saat tanam, PT = pada
bergelombang terutama pada lahan yang baru
pertanaman, SP = saat panen
dibuka, akibatnya distribusi air tidak merata.
Gambar 2. Pengaruh penerapan tata air searah Untuk memperlancar distribusi dan pembuangan
terhadap konsentrasi besi Fero dan air, diperlukan saluran-saluran kemalir pada petak
Al-dd, di lahan pasang surut lahan pertanaman.
Kalimantan Hasil penelitan menunjukkan bahwa untuk
tanaman padi di lahan sulfat masam jarak antar
Saluran induk (primer) untuk sistem sisir saluran 6-9 m memberikan hasil yang baik,
sebaiknya dilengkapi dengan pintu otomatis sedangkan untuk tanaman palawija seperti
yang dapat mengontrol muka air pada saluran Kedelai diperlukan saluran dangkal intensiv
tersier, sedangkan untuk sistem garpu pintu air (intensive shallow drained canals), yaitu saluran
cukup dipasang pada saluran sekunder. Pada dangkal berdimensi lebar 40 cm, dalam 20 cm

101
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 2 No. 2, Desember 2008

untuk musim kemarau, lebar 40 cm dan dalam atau kemunduran hasil akibat merosotnya
40 cm untuk musim hujan (Gambar 3). kualitas lingkungan tumbuh (Fagi et al., 1999;
Sedangkan kerapatan/jarak antar saluran yang Alihamsyah et al., 2002).
memberikan hasil baik adalah 3 m pada musim Pengelolaan dan pemanfaatan lahan rawa
kemarau, dan 4,5 m pada musim hujan (Gambar harus direncanakan secara cermat, mengacu
4). kepada kaidah lingkungan sebagai sumber daya
yang harus dijaga kelestariannya. Hasil penelitian
pada berbagai wilayah dan tipologi,
menunjukkan bahwa usaha pertanian yang
diikuti penerapan teknologi spesifik yang
ditempatkan pada wilayah yang sesuai dapat
memberikan hasil yang lebih baik.
Penerapan teknologi yang sesuai dan
efisien, merupakan kunci penting dalam
pengembangan pertanian berkelanjutan. Tekno-
logi tersebut harus bersifat spesisik lokasi dan
ramah lingkungan, sehingga kualitas lahan tidak
merosot, tetapi justru membaik secara gradual
agar keberlanjutan produksi dapat terpelihara.
Sumber : Anwar et al. (2001)
Komponen teknologi telah tersedia,
diantaranya varietas toleran, pengelolaan lahan
Gambar 3. Pengaruh kedalaman saluran
dan hara, ameliorasi, pemanfaatan bahan
terhadap hasil kedelai pada MK dan
organik in situ, pengendalian organisme
MK di Lahan pasang surut tipe C
pengganggu tanaman (OPT), alat dan mesin
pertanian (Balai Penelitian Pertanian Lahan
Rawa, 2006).
Menurut Alihamsyah et al. (2002), untuk
mendapatkan teknologi tepat guna yang spesifik
lokasi, sebaiknya di setiap wilayah dikembang-
kan satu site pengkajian untuk mengkaji masalah
spesifik lokasi, sekaligus menjadi lokasi acuan
(reference point) bagi pengembangan pertanian
di wilayah tersebut. Pelaksanaannya sebaiknya
model kerjasama antara petani, daerah (Dinas),
Balai Pengkajian Teknologi, Balai Penelitian serta
Perguruan Tinggi.

Meningkatkan kemampuan
Sumber : Anwar et al. (2001).
dan keberdayaan masyarakat
Gambar 4. Pengaruh jarak saluran mikro Kemampuan masyarakat petani terkait
(kemalir) terhadap hasil kedelai pada
pengetahuan/pemahaman karakter lahan,
MH dan MK di lahan pasang surut
keterampilan,dan permodalan pada umumnya
tipe C
masih rendah, sehingga perlu ditingkatkan
melalui berbagai upaya seperti pelatihan,
Pengembangan teknologi spesifik lokasi penyuluhan, dan percontohan. Hal ini sangat
dibutuhkan terutama bagi petani pendatang yang
Keberhasilan dan keberlanjutan produksi berasal dari daerah bukan rawa, karena di
sangat ditentukan oleh pengelolaan dan daerah asalnya peluang tersebut sulit didapat
teknologi yang diterapkan. Tanpa teknologi karena terpinggirkan oleh persaingan ekonomi
peningkatan produksi akan mengalami stagnasi, akibat rendahnya sumber daya yang dimilikinya.

102
I. Ar-Riza dan Alkasuma : Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Strategi Pengembangannya

Peningkatan keberdayaan petani menurut fungsional sangat mungkin melingkup seluruh


Rasahan. (1999), dapat ditempuh : (1) mem- wilayah/daerah dengan batas adminstrasi dan
posisikan petani sebagai “provider” melalui tiga hukum tertentu. Maka dari itu pengembangannya
jurus : (a) membangkitkan semangat dan memerlukan strategi pengelolaan yang dapat
mengembangkan potensi yang dimilikinya, (b) menjamin berkelanjutan produksi dan kelestarian
memampukan petani mengakses peluang- kualitas lingkungan. Pada era otonomi daerah,
peluang yang tersedia, dan (c) melindungi yang sinkronisasi kegiatan, tata ruang serta kesamaan
lemah agar tidak menjadi semakin lemah, dan (2) pemahaman terhadap karakteristik dan masalah
rawa sangat diperlukan. Untuk mewujudkan itu
Memotivasi petani untuk melakukan pembenahan
semua, maka mulai dari perencanaan sampai
terhadap kelembagaan petani agar mempunyai
pada kegiatan lapangan harus terkoordinasi
kinerja yang lebih kuat.
dengan baik, tidak menonjolkan ego wilayah.
Selain itu sosialisasi program perlu dilakukan
Pengembangan sarana lebih intensif pada masyarakat, agar tujuan dan
dan kelembagaan agribisnis manfaatnya dapat lebih dipahami, sehingga
dapat menerima teknologi inovasi untuk
Sebagai wilayah yang diharapkan menjadi memajukan sistem pertanian di wilayahnya.
sumber pertumbuhan ekonomi, maka kelemba-
gaan penunjang yang telah ada perlu
disempurnakan dan ditingkatkan kinerjanya. DAFTAR PUSTAKA
Kondisi kelembagaan tersebut di lahan rawa
umumnya masih relatif rendah, yang tercermin Abdurachman, A., A. Bambang, K. Sudarman,
dengan masih rendahnya serapan kredit, dan D.A. Suriadikarta. 1999. Perspektif
pengembangan pertanian di lahan rawa.
rendahnya kemampuan pengembalian pinjaman
Hlm. 42-51. Dalam Prosiding Temu
dan masih rendahnya kinerja kelompok tani Pakar dan Lokakarya Nasional Diseminasi
(Sutikno dan Rina, 2002; Rina dan Nazemi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya
2006). Untuk pengembangan pertanian ber- Lahan Rawa. Pusat Penelitian Tanah dan
kelanjutan, kelembagaan tersebut harus Agroklimat. Bogor.
ditumbuh kembangkan sesuai dengan pola Abdurachman, A., K. Subagyono, dan M. Al-
pertanian spesifik lokasi yang akan dikembang- Jabri. 2006. Konservasi dan rehabilitasi
kan, artinya dapat berbeda antara satu lokasi lahan rawa. Hlm. 250. Dalam D.A.
dengan lokasi lainnya. Suriadikarta, U. Kurnia, Mamat H.S., W.
Sarana penting yang perlu dibangun adalah Hartatik, dan D. Setyorini (Eds.). Karak-
teristik dan Pengelolaan Lahan Rawa.
transpotasi, pasar, penyuluhan serta fasilitas
Balai Besar Penelitian dan Pengembang-
sosial, kesehatan dan pendidikan. Sedangkan an Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
lembaga agribisnis yang perlu dikembangkan
Alihamsyah, T., M. Sarwani, dan I. Ar-Riza.
adalah kelompok tani mandiri, P3A, koperasi,
2002. Komponen utama teknologi
penyedia sarana produksi, pemasaran hasil, optimalisasi lahan rawa sebagai sumber
perbenihan dan pembibitan, jasa pelayanan pertumbuhan produksi padi masa depan.
alsintan dan perbengkelannya, serta lembaga Makalah Utama. Seminar IPTEK Padi.
keuangan pedesaan yang mudah diakses oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
petani. Pertanian. Sukamandi, 5 Maret 2002.
Anwar, K., M. Alwi, S. Saragih, A. Supriyo, D.
Nazemi, dan K. Sari. 2001. Karakterisasi
PENUTUP Dinamika Tanah dan Air untuk Perbaikan
Pengelolaan Lahan Pasang Surut.
Lahan rawa mempunyai potensi yang Laporan Akhir Hasil Penelitian. Balai
besar sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa.
tetapi mempunyai sifat yang rapuh, dan secara Banjarbaru. Hlm. 27 -28.

103
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 2 No. 2, Desember 2008

Ar-Riza, I. dan T. Alihamsyah. 2002. Teknologi Rina, Y. dan D. Nazemi. 2006. Keunggulan kom-
budidaya padi di lahan tidur pada petitif padi unggul di lahan rawa lebak.
kawasan sawah pasang surut. Hlm. 84- Hlm. 266-267. Dalam. B. Suprihatno, I
85. Dalam. Suhaya, Y., S. Suriatna, A. N. Widiarta, A.A. Darajat, H. Pane,
Rachman, Yunizar, D. Pasaribu T. Hermanto, dan A.S. Yahya (Eds.). Inovasi
Herawati, dan A. Syam (Eds.). Prosiding Teknologi Padi Menuju Swasembada
Seminar Nasional Penelitian dan Pengem- Beras Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan
bangan Pertanian di Lahan Rawa. Pusat Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Penelitian dan Pengembangan Sosial Saragih, S., I. Ar-Riza, dan Y. Rina. 2003.
Ekonomi Pertanian. Bogor. Teknologi pengelolaan air sistem satu
Ar-Riza, I., M. Alwi, dan S. Saragih. 2006. arah pada usahatani padi di lahan pasang
Dinamika tanah pada pengelolaan lahan surut. Hlm.436-437. Dalam. U. Kurnia,
dan hara dalam pertanaman padi di lahan R.D.M. Simanungkalit, M. Sarwani, N.
rawa pasang surut. Dalam. B. Suprihatno, Suharta, Y. Sugianto, dan Wahyunto
I N. Widiarta, A.A. Darajat, H. Pane, (Eds.). Seminar Nasional Inovasi Tekno-
Hermanto, dan A.S. Yahya (Eds.). Inovasi logi Sumberdaya Tanah dan Iklim. Pusat
Teknologi Padi Menuju Swasembada Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Beras Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Agroklimat. Bogor.
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Sinukaban, N. 1999. Pembangunan pertanian
Ar-Riza, I., Khairudin, dan Sardjijo. 2001. berkelanjutan di lahan rawa. Makalah.
Pengaruh pemupukan NPK terhadap Temu Pakar dan Lokakarya Nasional
pertumbuhan dan hasil Padi di lahan Optimasi Pemanfaatan Suberdaya Lahan
sulfat masam. Dalam. Prosiding Seminar Rawa. Direktorat Jenderal Tanaman
Nasional Sumber Daya Lahan Kering dan Pangan dan Hortikultura. Direktorat Bina
Lahan Rawa. Cisarua. Bogor. Pusat Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan.
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Jakarta, 6 November 1999.
Agroklimat. Bogor Suriadikarta, D.A. dan D. Setyorini. 2006.
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. 2006. Teknologi pengelolaan lahan sulfat
Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian masam. Hlm. 124. Dalam. D.A.
Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru. Suriadikarta, U. Kurnia, Mamat H.S., W.
Fagi, A.M., M.Y. Maamun, M. Djamhuri, M. Hartatik, dan D. Setyorini (Eds.). Karak-
Sarwani, dan I. Ar-Riza. 1997. Pengem- teristik dan Pengelolaan Lahan Rawa.
bangan pertanian tanaman pangan Balai Besar Penelitian dan Pengembang-
berwawasan agribisnis pada lahan rawa an Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
sejuta hektar. Hlm.100-108. Dalam. Sutikno, H. dan Y. Rina. 2002. Kondisi sosial
Prosiding Seminar Hasil Penelitian/ ekonomi pertanian lahan pasang surut.
Pengkajian untuk Mendukung Pengem- Dalam. I. Ar-Riza, M. Sarwani, dan
bangan Lahan Rawa/Gambut Sejuta Hek- Alihamsyah (Eds.). Monograf. Pengelola-
tar di Kalimantan Tengah. Balai Pengkaji- an Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut.
an Teknologi Pertanian Kalimantan Badan Penelitian dan Pengembangan
Tengah, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Balai Penelitian Tanaman
Pertanian. Pangan Lahan Rawa. Banjarbaru.
Rasahan, C.A. 1999. Kebijaksanaan dan strategi Widjaja-Adhi I P.G., K. Nugroho, D.A.
perluasan areal tanaman di lahan rawa Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992.
mendukung ketahanan pangan. Makalah. Sumber daya lahan rawa: Potensi,
Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Kebutuhan dan Pemanfaatan. Dalam.
Optimasi Pemanfaatan Suberdaya Lahan Risalah Pertemuan Nasional Pengem-
Rawa. Direktorat Jendral Tanaman bangan Pertanian Lahan Rawa Pasang
Pangan dan Hortikultura. Direktorat Bina Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret
Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan. 1992. Pusat Penelitian dan Pengembang-
Jakarta, 6 November 1999. an Tanaman Pangan.

104

Anda mungkin juga menyukai