Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi
akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa ataupun akibat
keduanya.1 Katarak memiliki derajat kepadatan yang sangat bervariasi dan dapat
disebabkan oleh berbagai hal, tetapi biasanya berkaitan dengan proses degenatif.2,3
Berdasarkan usia penderitanya, katarak dapat diklasifikasikan menjadi
katarak kongenital yang sudah terlihat pada usia dibawah 1 tahun, katarak juvenile
yang terjadi sesudah usia 1 tahun dan katarak senilis yang mengenai orang-orang
berusia diatas 50 tahun. Diantara ketiganya, katarak senilis merupakan jenis katarak
yang paling sering terjadi. Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terdapat
pada usia lanjut, yaitu usia di atas 50 tahun. Katarak senilis dapat dibagi kedalam 4
stadium, yaitu katarak insipien, katak imatur, katarak matur dan katarak hipermatur.
Katarak insipient merupakan stadium katarak yang paling awal dan belum
menimbulkan gangguan visus. Pada katarak imatur, kekeruhan belum mengenai
seluruh bagian lensa sedangkan pada katarak matur, kekeruhan telah mengenai
seluruh bagian lensa. Sementara katarak hipermatur adalah katarak yang mengalami
proses degenerasi lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair.1
Berdasarkan American Academy of Ophthalmology, (Pterygium berasal
dari bahasa Yunani yang berarti sayap kecil) adalah berbentuk sayap, vaskuler,
daging tumbuh yang berasal dari konjungtiva dan dapat bertumbuh hingga limbus.
Pterygium umum terjadi di masyarakat dan menimbulkan kecacatan, dengan
gangguan pada penglihatan dan mata itu sendiri. Karena pada awalnya pterygium
sering tidak bergejala, telah dilakukan penelitian mengenai sejarah dan pengobatan,
dan kebanyakan ahli mata menganggap ini adalah masalah sepele, hingga lesi
mengganggu axis visual. 4
Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah
mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi dan dilaporkan dua kali lebih
banyak terjadi pada pria dibanding wanita. Sedangkan menurut usia, pterigium
muncul pada usia 20 tahun. Prevalensi tertinggi pada pasien di atas 40 tahun, di
mana pasien usia 20-40 tahun dilaporkan merupakan insiden tertinggi terjadinya
pterigium. Hingga saat ini etiologi dari penyakit ini masih belum jelas, namun
1
diperkirakan pterigium disebabkan oleh karena seringnya terpajan sinar matahari
dan radiasi ultraviolet serta iritasi dari debu, pasir, area dengan angin kencang. UV-
B yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor
suppressor gene pada stem sel di basal limbus.4,5,6

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.KATARAK
2.1.1. Definisi
Katarak senilis imatur merupakan salah satu stadium katarak senilis, dimana
pada stadium ini kekeruhan lensa belum terjadi disemua bagian lensa.
Kekeruhan pada stadium ini utamanya terjadi di bagian posterior dan
belakang nukleus lensa. Pada katarak imatur, volume lensa dapat bertambah
akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan degeneratif lensa. Pada
keadaan ini, lensa akan mencembung dan dapat menimbulkan hambatan
pupil sehingga terjadi glaukoma sekunder.1,2

2.1.2 Patofisiologi 2

Kekeruhan lensa dapat terjadi akibat hidrasi dan denaturasi protein


lensa. Dengan bertambahnya usia, ketebalan dan berat lensa akan meningkat
sementara daya akomodasinya akan menurun. Dengan terbentuknya lapisan
konsentris baru dari kortek, inti nucleus akan mengalami penekanan dan
pengerasan.
Proses ini dikenal sebagai sklerosis nuclear. Selain itu terjadi pula proses
kristalisasi pada lensa yang terjadi akibat modifikasi kimia dan agregasi
protein menjadi high-molecular-weight-protein. Hasil dari agregasi protein
secara tiba tiba ini mengalami fluktuasi refraktif index pada lensa sehingga
menyebabkan cahaya menyebar dan penurunan pandangan. Modifiaksi
kimia dari protein nukleus lensa juga menghasilkan pigmentasi progresif
yang akan menyebabkan warna lensa menjadi keruh.

3
Perubaha lain pada katarak terkait usia juga menggambarkan penurunan
konsentrasi glutatin dan potassium serta meningkatnya konsentrasi sodium dan
calcium.
Terdapat berbagai faktor yang ikut berperan dalam hilangnya transparasi
lensa. Sel epithelium lensa akan mengalami proses degeneratif sehingga
densitasnya akan berkurang dan terjadi penyimpangan diferensiasi dari sel-sel
fiber. Akumulasi dari sel-sel epitel yang hilang akan meningkatkan
pembentukan serat-serat lensa yang akan menyebabkan penurunan transparasi
lensa. Selain itu, proses degeneratif pada epithelium lensa akan menurunkan
permeabilitas lensa terhadap air dan molekul-molekul larut air sehingga
transportasi air, nutrisi dan antioksidan kedalam lensa menjadi berkurang.
Peningkatan produk oksidasi dan penurunan antioksidan seperti vitamin dan
enzim-enzim superoxide memiliki peran penting pada proses pembentukan
katarak.
2.1.3 Faktor Resiko 2

a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Pekerjaan
d. Merokok
e. Penyakit diabetes mellitus
f. Trauma mata
g. Obat-obatan
h. Kortikosteroid
2.1.4 Klasifikasi
Katarak senilis secara klinik dikenal dalam 4 stadium yaitu insipien, imatur, matur
dan hipermatur 7
1. Katarak insipien
Stadium paling awal, belum menimbulkan gangguan visus. Dengan koreksi,
visus masih 5/5 atau 6/6. Kekeruhan terutama pada bagian perifer, berupa
bercak-bercak seperti baji yang membentuk gerigi dengan dasar di perifer dan
daerah jernih diantaranya.

4
2. Katarak imatur
Terjadi kekeruhan yang lebih tebal tetapi tidak atau belum mengenai seluruh
lensa sehingga masih terdapat bagian-bagian yang jernih pada lensa. Pada
katarak imatur akan dapat bertambah volume lensa akibat meningkatnya
tekanan osmotik bahan lensa yang degeneratif.
Pada keadaan lensa mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil,
sehingga terjadi glaukoma sekunder. Shadow test (+)
3. Katarak matur
Pada katarak matur kekeruhan telah mengenai seluruh masa lensa. Kekeruhan
ini akibat deposisi ion Ca yang menyeluruh. Bila katarak imatur atau intumesen
tidak dikeluarkan maka cairan lensa akan keluar, sehingga lensa kembali pada
ukuran yang normal. Akan terjadi kekeruhan lensa yang bila lama akan
mengakibatkan kalsifikasi lensa. Bila dilakukan uji bayangan iris akan terlihat
negatif.
4. Katarak hipermatur
Merupakan proses degenerasi lanjut lensa sehingga korteks lensa mencair dan
dapat keluar melalui kapsul lensa sehingga lensa menjadi mengkerut dan
berwarna kuning. Akibat pengeriputan lensa dan mencairnya korteks, nukleus
lensa tenggelam ke arah bawah (katarak Morgagni). Akibat masa lensa yang
keluar melalui kapsul lensa dapat menimbulkan penyulit berupa uveitis
fakotoksik atau galukoma fakolitik.

Tabel 2.1 Perbedaan stadium katarak senilis

Insipient Imatur Matur Hipermatur

Kekeruhan lensa Ringan Sebagian Seluruh Massif


Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang (air
(air masuk) + masa lensa
keluar)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik mata depan Normal Dangkal Normal Dalam
Sudut bilik mata Normal Sempit Normal Terbuka
Shadow test Negatif Positif Negatif Pseudopos
Penyulit - Glaucoma - Uveitis +
glaucoma

5
2.1.5 Etiologi 8,9
Penyebab katarak senilis sampai saat ini masih belum diketahui
secara pasti dan diduga multifaktorial. Beberapa penyebab katarak
diantaranya adalah:
- Faktor biologi, yaitu karena usia tua dan pengaruh genetik
- Faktor fungsional, yaitu akibat akomodasi yang sangat kuat
sehingga mempunyai efek buruk terhadap serabu-serabut lensa
- Faktor imunologik
- Gangguan yang bersifat lokal pada lensa, seperti gangguan nutrisi,
gangguan permeabilitas kapsul lensa, efek radiasi cahaya matahari.
- Gangguan metabolisme umum
2.1.6 Manifestasi Klinis 2
Gambaran klinis katarak senilis bervariasi menurut tipe dan maturasi
katarak. Pada awal penyakit, hanya terdapat sedikit keluhan penglihatan,
kemudian terjadi kehilangan penglihatan progresif tanpa nyeri. Tajam
penglihatan dekat biasanya masih baik kecuali pada tipe posterior
subkapsuler dan pada vakuola hidropik padat yang terletak pada bagian
sentral.
Rasa silau adalah keluhan yang paling umum, terlebih jika sedang
mengemudikan kendaraan. Hal ini terjadi karena katarak mendispersikan
cahaya putih dan mengakibatkan penurunan tajam penglihatan secara
drastis, multilopia, “starburst”, serta penurunan tajam penglihatan malam
hari yang dramatis.
Pandangan kabur dapat muncul dengan hilangnya resolusi objek dan
memerlukan banyak manipulasi posisi untuk menempatkan objek pada
posisi pandangan yang baik untuk membaca atau menjahit. Gejala lain yang
mungkin timbul adalah diplopia dan gangguan tajam penglihatan warna.
Pada pemeriksaan, standar emas diagnosa katarak adalah pemeriksaan slit
lamp yang menunjukkan kekeruhan lensa disertai dengan penurunan tajam
penglihatan pada uji kartu Snellen.
Pada kebanyakan katarak nuklearis, tajam penglihatan dekat pada
awalnya masih baik dengan tajam penglihatan jauh yang menurun. Tajam
penglihatan dekat yang menurun pada awal katarak biasa terjadi pada
6
katarak subkapsuler posterior, kortikalis, atau agregasi vakuola anterior
maupun posterior pada area pupiler.
2.1.7 Diagnosa 2
Diagnosis katarak senilis imatur dapat diperoleh dari gejala-gejala klinis
yang dialami serta pemeriksaan oftalmologi. Pasien pada katarak senilis imatur
biasanya datang dengan keluhan mata kabur serta silau. Sementara pemeriksaan
oftalmologi dapat dilakukan dengan menggunakan senter, slit lamp dan
funduskopi. Berikut merupakan hasil temuan pemeriksaan oftalmologi pada
katarak senilis dan katarak stadium lainnya.

Insipien Imatur Matur Hipermatur


Kekeruhan lensa Ringan Sebagian Komplit Masif
Cairan Lensa Normal Bertambah (air Normal Berkurang (air+masa
masuk) lensa keluar)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik Mata Normal Dangkal Normal Dalam
Depan
Sudut Bilik Normal Sempit Normal Terbuka
Mata
Shadow Test Negatif Positif Negatif Pseudopos
Visus (+) < << <<<
Penyulit - Glaukoma - Uveitis+glaucoma

Pada katarak senilis imatur, terdapat kekeruhan pada sebagaian lensa yang
dapat menimbulkan gangguan visus. Dengan koreksi, visus masih dapat
mencapai 1/60-6/6. Pada stadium ini, kekeruhan belum mengenai seluruh
lapisan lensa. Pada lensa normal yang tidak terdapat kekeruhan, sinar dapat
masuk kedalam mata tanpa ada yang dipantulkan. Oleh karena kekeruhan
dibagian posterior lensa, maka sinar obliq yang mengenai bagian yang keruh
ini, akan dipantulkan lagi, sehingga pada pemeriksaan, terlihat dipupil, ada
daerah yang terang sebagai reflek pemantulan cahaya pada daerah lensa yang
keruh dan daerah yang gelap, akibat bayangan iris pada bagian lensa yang
keruh. Keadaan ini disebut shadow test (+).

7
2.1.8 Diagnosis Banding7
Diagnosis banding katarak senilis imatur yaitu :
1. Kekeruhan badan kaca
2. Endopthalmitis
3. Glaukoma Kronis
2.1.9 Penatalaksanaan 1,10,11
Terapi farmakologis untuk katarak masih dalam penelitian yang terus
berjalan. Perkembangan dari penelitian tersebut salah satunya ialah obat untuk
menghambat atau bahkan membalik proses pembentukan katarak pada manusia.
Inhibitor aldosa redukrase yang menghambat konversi dari glukosa ke sorbitol
menunjukkan dapat mencegah katarak pada hewan coba. Obat-obatan lain yang
mungkin memiliki efek serupa terhadap katarak antara lain obat penurun
sorbitol, aspirin, obat peningkat glutatuion. Antioksidan berupa vitamin C, E,
beta karoten, dan zink tidak dapat menghambat perkembangan proses
terbentuknya katarak.
Pengobatan terhadap katarak adalah pembedahan. Pembedahan dilakukan
jika tajam penglihatan sudah menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu
pekerjaan sehari-hari, bila katarak ini menimbulkan penyulit seperti glaukoma
dan uveitis. Pembedahan lensa dengan katarak dilakukan bila mengganggu
kehidupan sosial atau atas indikasi medis lainnya.
Penatalaksanaan definitif untuk katarak senilis adalah ekstraksi lensa.
Terdapat 2 tipe ekstraksi lensa yaitu intra capsuler cataract ekstraksi (ICCE)
mengeluarkan lensa bersama dengan kapsul lensa dan ekstra capsuler cataract
ekstraksi (ECCE) mengeluarkan isi lensa (korteks dan nukleus) dengan
meninggalkan kapsul posterior. ECCE sendiri terdiri dari dua teknik yaitu Small
Incision Cataract Surgery (SICS) dan Phakoemulsifikasi.
2.1.10 Prognosis12
Dengan teknik bedah yang mutakhir, komplikasi atau penyulit menjadi
sangat jarang. Hasil pembedahan yang baik dapat mencapai 95%. Pada bedah
katarak resiko ini kecil dan jarang terjadi. Keberhasilan tanpa komplikasi pada
pembedahan dengan ECCE atau fakoemulsifikasi menjanjikan prognosis dalam
penglihatan dapat meningkat hingga 2 garis pada pemeriksaan dengan
menggunakan snellen chart.
8
2.2.PTERYGIUM
2.2.1 Definisi
Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium (L. Pterygion = sayap) adalah suatu
proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk segitiga
(sayap) yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea antara lain lapisan
stroma dan membrana Bowman. Pterygium tumbuh berbentuk sayap pada
konjungtiva bulbi. Asal kata pterygium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron
yang artinya sayap. Menurut kamus kedokteran Dorland, pterygium adalah
bangunan mirip sayap, khususnya untuk lipatan selaput berbentuk segitiga yang
abnormal dalam fisura interpalpebralis, yang membentang dari konjungtiva ke
kornea, bagian puncak (apeks) lipatan ini menyatu dengan kornea sehingga tidak
dapat digerakkan sementara bagian tengahnya melekat erat pada sclera, dan
kemudian bagian dasarnya menyatu dengan konjungtiva.1,7,8,13
Menurut American Academy of Ophthalmology, pterygium adalah poliferasi
jaringan subconjunctiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal
konjuntiva bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi
permukaannya. 4

Gambar 2.1 Pterygium

2.2.2 Epidemiologi 13,


Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang
terletak kurang 370 Lintang Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi
sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang
terletak di atas 400 Lintang. Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang
terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.
9
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi
pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Pasien yang berusia lebih
dari 40 tahun merupakan prevalensi tertinggi. Kejadian berulang (rekuren) lebih
sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari
perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat
terpapar lingkungan di luar rumah.
2.2.3 Etiologi 4,5,14,15
Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit ini
lebih sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan
yang paling mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor
lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin
tinggi dan debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki kemungkinan
sebagai faktor etiologi.
Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal
pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini
mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis
dan proliferasi sel.2 Radiasi cahaya UV tipe B menjadi faktor lingkungan
yang paling signifikan dalam patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah
melaporkan bahwa gen p53 dan human papilloma virus dapat juga terlibat
dalam patogenesis pterigium.
2.2.4 Faktor Risiko 8,13,16,17
Faktor risiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni
radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan
faktor herediter.
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium
adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan
konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu
di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.

10
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan
berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterygium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.
3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Wong
juga menunjukkan adanya pterygium angiogenesis factor dan penggunaan
pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembaban yang
rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus
papilloma juga penyebab dari pterygium. Faktor lainnya yang berperan dalam
terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan
(angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor
gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over
produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan
angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi
elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea
menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan
fibrovaskuler.
2.2.5 Patofisiologi
Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus
menerus terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV
memainkan bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV
memulai rantai peristiwa terjadinya pterigium pada level intraselular dan
ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks
ekstraselular.16

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak


dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan
dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini
biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama
untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran

11
pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum
lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.4,16,17

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab


pterigium. Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu
penyebabnya. Sinar UV B Merupakan sinar yang dapat menyebabkan
mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal
limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan
pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan
pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan
angiotenesis, perubahan patologis termaksud juga degenerasi elastoid
kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikuler, seringkali disertai dengan
inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan
biasanya menunjukkan dysplasia.4,15,16,18,19,20

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang


lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di
samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar
ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu
pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium
dibandingkan dengan bagian temporal.4,15,16,20

Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa pterigium


seringkali muncul di daerah nasal berasal dari peran patogenetik cahaya
matahari. Cahaya matahari diteruskan ke dalam limbus sklerokorneal setelah
dipantulkan oleh dinding nasal lateral, di mana konjungtiva bulbar di daerah
nasal inilah yang lebih sering terpapar sinar matahari. Mengingat juga, bulu
mata di dekat nasal jauh lebih pendek dibanding bulu mata di daerah
temporal.4,20

Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas,


termasuk laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk
mengganggu regulasi p53. Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat berefek
pada ekspresi beberapa jenis sitokin dalam sel, seperti reseptor faktor
pertumbuhan. Adanya perubahan ekspresi sel-sel sitokin ini telah dievaluasi
12
oleh beberapa studi menggunakan berbagai macam teknik pemeriksaan
imunihistokimia dan ELISA. Sinar UV dapat menginduksi sitokin seperti
interleukin-1 (IL-1) bersama dengan tumor necrosis factor (TNF-α)
membantu keratosit korneal beradaptasi memperbaiki fenotip. IL-6 berfungsi
dalam migrasi sel epitel melalui reseptor integrin dan IL-8 melakukan
aktivitas mitogenik dan angiogenetik. Faktor pertumbuhan yang berperan
dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth factor (EGF) dan EGF
heparin-binding (HB-EGF), vascular endothelial growth factor (VEGF),
basic fibroblast growth factor (bFGF), platelet-derived growth factor
(PDGF), transforming growth factor-ß (TGF-ß) and insulin-like growth
factor binding proteins (IGF-BP).15

Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis. Diproduksi


oleh fibroblast korneal saat terjadi inflamasi atau adanya stimulus yang
dianggap berbahaya bagi mata, termasuk UVR. VEGF telah dideteksi
bertanggung jawab terhadap pertumbuhan terus-menerus epitel pterigium,
dibandingkan dengan konjungtiva normal melalui studi imunohistokimia.
Hasilnya dapat dilihat menggunakan RT-PCR assay.15,20

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen


dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium.
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik
menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini
juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan
elastik yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh
elastase. 15,20

2.2.6 Klasifikasi Pterygium 8,13


a. Berdasarkan lokasi:
1. Pterygium Simpleks, jika terjadi hanya di nasal atau temporal saja
2. Pterygium Dupleks, jika terjadi di nasal dan temporal
b. Pembagian pterygium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe,
yaitu :

13
1. Progresif pterygium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
depan kepala pterygium (disebut cap pterygium).
2. Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi 4
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
Pterygium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :
1. Derajat 1 : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea.
3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata
dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)
4. Derajat 4 : pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.

Gambar 2.2. Pterigium derajat I Gambar 2.3 Pterigium derajat II

Gambar 2.4 Pterigium derajat III Gambar 2.5 Pterigium derajat IV

2.2.7 Manifestasi Klinis 8,13,19,20

Pterygium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah.
Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterygium
yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun
pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi
jarang simetris. Perluasan pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus
sehingga menutupi sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur.

14
Pterygium dapat ditemukan dalam berbagai bentuk. Pterygium dapat hanya
terdiri atas sedikit vaskular dan tidak ada tanda-tanda pertumbuhan. Pterygium
dapat aktif dengan tanda-tanda hiperemia serta dapat tumbuh dengan cepat.
Pasien yang mengalami pterygium dapat tidak menunjukkan gejala apapun
(asimptomatik). Kebanyakan gejala ditemukan saat pemeriksaan berupa iritasi,
perubahan tajam penglihatan, sensasi adanya benda asing atau fotofobia. Penurunan
tajam penglihatan dapat timbul bila pterygium menyeberang axis visual atau
menyebabkan meningkatnya astigmatisme. Efek lanjutnya yang disebabkan
membesarnya ukuran lesi menyebabkan terjadinya diplopia yang biasanya timbul
pada sisi lateral. Efek ini akan timbul lebih sering pada lesi-lesi rekuren
(kambuhan) dengan pembentukan jaringan parut. Pterigium dapat tidak
memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan mata iritatif, gatal, merah,
sensasi benda asing dan mungkin menimbulkan astigmat atau obstruksi aksis visual
yang akan memberikan keluhan gangguan penglihatan.
2.2.8 Diagnosis 1,7,13
Anamnesis
Pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali (asimptomatik).Beberapa keluhan yang sering dialami
pasien antara lain: .

a. Mata sering berair dan tampak merah.


b. Merasa seperti ada benda asing
c. Timbul astigmatase akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium
tersebut, biasanya astigmatase with the rule ataupun astigmatase
irregular sehingga menganggu penglihatan.
d. Pada stadium yang lanjut ( derajat III dan IV ) dapat menutupi pupil dan
aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun. .
Pemeriksaan Fisik
Pterigium bisa berupa berbagai macam perubahan fibrofaskular
pada permukaan konjungtiva dan pada kornea. Penyakit ini lebih sering
menyerang pada konjungtiva nasal dan akan meluas ke kornea nasal
meskipun bersifat sementara dan juga pada lokasi yang lain.

15
Pemeriksaan Oftalmologis
a. Jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala yang
mengarah ke kornea dan badan.
b. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea
yang oleh pertumbuhan pterigium dan dapat menjadi gradasi.
- Stadium 1 : Jika hanya terbatas pada limbus kornea
- Stadium 2: Sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea.
- Stadium 3: Sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4
mm)
- Stadium 4: sudah melewati pupil sehingga menganggu penglihatan.
2.2.9 Diagnosa Banding
Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium
adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk
karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini
biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada mata.14,15,21
a) Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang
berwarna kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau
temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi
ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya
tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan
steroid topikal.16,20

Gambar 2.6. Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus


sklerokorneal yang berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh
mencapai permukaan kornea.15

16
b) Pseudopterigium15
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan
kornea yang cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses
penyembuhan dari ulkus kornea, dimana konjungtiva tertarik dan
menutupi kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja
bukan hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada pterigium. Pada
pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya sedangkan
pada pterigium tidak. Pada pseudopterigium melalui anamnesa selalu
didapatkan riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus
kornea. Selain pseudopterigium, pterigium dapat pula didiagnosis
banding dengan pannus dan kista dermoid.

Gambar 2.7. Pseudopterigium yang tumbuh dari kuadran inferior


nasal konjunciva bulbar yang diikuti luka bakar asam lokal15
Pterigium Pseudopterigium Pinguekulum
Reaksi tubuh
Iritasi atau kualitas
penyembuhan dari
Sebab Proses degeneratif higienitas air yang
luka bakar, GO,
kurang.
difteri,dll.
Lokasi Selalu di fissure
Sembarang lokasi Sembarang lokasi
Lesi palpebra
Tes
Negatif Positif -
Sondase
Progresif /
Progresif Stationer Tidak
stationer
Dewasa dan anak-
Usia Dewasa Anak-anak
anak
Riwayat
Ulkus kornea (-) Ulkus kornea (+) -
Penyakit

2.2.10 Penatalaksanaan 1,7,13,20


a. Medikamentosa

Pterigium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda.
Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.
Beberapa obat topikal seperti lubrikans, vasokonstriktor dan kortikosteroid
17
digunakan untuk menghilangkan gejala terutama pada derajat 1 dan derajat 2.
Untuk mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan
kacamata pelindung ultraviolet. Pengobatan pterigium adalah dengan sikap
konservatif atau dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat
terjadinya astigmatisme ireguler atau pterigium yang telah menutupi media
penglihatan.
Lindungi mata dari sinar matahari, menghindari debu, asap dan udara kering
dengan kacamata pelindung ultraviolet. Bila terdapat tanda radang berikan air mata
buatan dan bila perlu dapat diberi steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri
air mata buatan dalam bentuk salep. Bila vasokonstriktor maka perlu kontrol 2
minggu dan bila terdapat perbaikan maka pengobatan dihentikan.
a. Tindakan operatif
Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang dilakukan
dengan indikasi:
1. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm.
2. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vascular.
3. Mata terasa mengganjal.
4. Visus menurun, terus berair.
5. Mata merah sekali.
6. Telah masuk daerah pupil atau melewati limbus.
7. Alasan kosmetik.
8. Mengganggu pergerakan bola mata.
2.2.11 Komplikasi 8,20
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterigium adalah astigmatisme
karena pterigium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya
mekanisme penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran dari pada meridian
horizontal pada kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat. Komplikasi lain
yang dapat disebabkan yaitu mata kemerahan, iritasi, luka kronik dari konjungtiva
dan kornea. pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan sentral
berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia.
Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan epitel di atas
pterygium yang ada.

18
Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft oedem,
graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen, granuloma
konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar kornea dan
astigmatisma, disinsersi otot rektus. Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren
pterygium post operasi. Komplikasi post-operatif bisa terjadi infeksi, granuloma
dan sikatriks kornea.
2.2.12 Prognosis 13
Prognosis visual dan kosmetik dari eksisi pterigium adalah baik.
Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien
dengan pterygium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion.

19
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS
Nama : Ny. MK
Umur : 59 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Bangsa : Indonesia
Suku : Serui
Pekerjaan : IRT
Alamat : Polimak IV

3.2. ANAMNESIS (Autoanamnesis)


3.2.1 Keluhan Utama
Mata sebelah kanan dan kiri terasa kabur ± 1 tahun yang lalu.
Keluhan Tambahan
Silau pada mata ketika terpapar panas matahari.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Mata RS Dok 2 dengan keluhan mata sebelah
kanan dan kiri terasa kabur ± 1 tahun yang lalu, mata kabur tersebut
terjadi secara perlahan-lahan, dan dirasakan semakin kabur dalam 3
bulan ini, pasien mengatakan tidak bisa melihat benda-benda yang
terletak jauh. Pasien juga mengeluh silau pada mata terutama setelah
terpapar panas matahari. Keluhan tersebut tidak disertai dengan mata
merah ataupun nyeri pada kedua mata.
Pasien juga merasakan ada muncul selaput pada mata kiri ± 3 bulan
yang lalu dan mata kiri kadang-kadang merah dan berair terutama saat
terpapar panas matahari dan merasa ada yang mengganjal di mata
kirinya, dan pada Tanggal 17 Juni 2016 pasien memutuskan untuk
berobat ke Poli RS Dok 2 dan diberikan obat tetes mata. Pasien
mengaku memiliki riwayat tekanan darah tinggi (pasien lupa waktunya),

20
pasien sudah berobat ke RS Serui dan diberikan obat Amlodipin dan
hingga saat ini pasien masih mengkonsumsi obat tersebut.
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat trauma (-), sering terpapar sinar matahari dan debu
 Riwayat Penyakit Sistemik :
 Riwayat Hipertensi (+)
 Riwayat Diabetes Melitus disangkal
 Riwayat Jantung koroner disangkal
 Riwayat penggunaan kacamata (-)
3.2.4 Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti pasien.
Riwayat keluarga dengan Hipertensi dan Diabetes Mellitus disangkal.
3.2.5 Keadaan Sosial Ekonomi : pasien merupakan seorang ibu rumah
tangga, yang memiliki 4 (empat) orang anak, untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari, pasien sering berkebun.

3.3. PEMERIKSAAN FISIK


3.3.1 Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : Afebris
3.3.2. Status Oftalmologi
1. Pemeriksaan Subjektif
JENIS PEMERIKSAAN OD OS
Form Sence Sentral Distance vision 2/60 6/30
(Snellen Card)
Near Vision Tidak dilakukan Tidak dilakukan
(Jaeger Test)
Perifer Tidak dilakukan Tidak dilakukan

21
Colour Sence Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Light Sence Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Light Projection Tidak dilakukan Tidak dilakukan

1. Pemeriksaan Objektif
a. Pemeriksaan bagian luar
JENIS PEMERIKSAAN OD OS
Inspeksi Edema (-) (-)
Umum Hiperemis (-) (-)
Secret (-) (-)
Lakrimasi (-) (-)
Fotofobia (-) (-)
Blefarospasme (-) (-)
Posisi bola mata Ditengah Ditengah
Benjolan/tonjolan (-) (-)
Supersiliar Sekret (-) Sekret (-)
Inspeksi Palpebra Posisi Dbn Dbn
Khusus Warna Dbn Dbn
Bentuk Dbn Dbn
Edema (-) (-)
Pergerakan Dbn Dbn
Ulkus (-) (-)
Tumor (-) (-)
Lain-lain (-) (-)
Margo Posisi Dbn Dbn
Palpebra Ulkus (-) (-)
Krusta (-) (-)
Silia (-) (-)
Skuama (-) (-)
Konjungtiva Palpebra Warna Dbn Dbn
Sekret (-) (-)
Edema (-) (-)
22
Bulbi Warna Putih Putih
Benjolan (-) (-)
Pembuluh (+) (+)
darah
Selaput bentuk (-) (+)
segitiga
Injeksi (-) (-)

Forniks Dbn Dbn


Posisi Dbn Dbn
Gerakan Normal Normal
Bulbus Okuli Sklera Warna Putih Putih
Perdarahan (-) (-)
Benjolan (-) (-)
Lain-lain (-) (-)
Kornea Kekeruhan (-) (-)
Ulkus (-) (-)
Sikatriks (-) (-)
Panus (-) (-)
Arkus senilis (-) (-)
Permukaan Licin Licin
Refleks (+) (+)
kornea
Lain-lain (-) (-)

COA Cukup Cukup


dalam dalam
Iris Perlekatan (-) (-)
Warna Coklat Coklat
Lain-lain (-) (-)
Pupil Bentuk Bulat Bulat
Refleks (+) (+)

23
Lensa Kekeruhan (+) (+)
sebagian sebagian

Palpasi Nyeri tekan (-) (-)


Tumor (-) (-)
TIO digital Normal Normal

b. Pemeriksaan kamar gelap


JENIS PEMERIKSAAN OD OS
Obligus Ilumination Kornea Jernih Jernih
COA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat Coklat
JENIS PEMERIKSAAN OD OS
Obligus Ilumination Lensa (Kekeruhan) Shadow test (+) Shadow test (+)
Direct Ophtalmoscope Kornea Jernih Jernih
COA Cukup dalam Cukup dalam
Lensa Keruh sebagian Keruh sebagian
Badan kaca Jernih Jernih
Refleks fundus (+) Non uniform (+) Non uniform
Pembuluh darah (+) (+)
Macula lutea Dbn Dbn
Slit Lamp Kornea Jernih Jernih
COA Cukup dalam Cukup dalam
Iris Dbn Dbn
Lensa Keruh sebagian Keruh sebagian
Konjungtiva bulbi Hiperemis (-) Hiperemis (-)
selaput bentuk selaput bentuk
segitiga (-) segitiga (+)
Tensi Okuli Schiotz 17,3 mmHg 17,3 mmHg
Placido Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pupil Distance (PD) Tidak dilakukan Tidak dilakukan

24
Gambaran Klinis Pasien Saat di Periksa

3.4. RESUME

Pasien perempuan usia 59 tahun datang dengan keluhan Pasien datang ke


Poli Mata RS Dok 2 dengan keluhan mata sebelah kanan dan kiri terasa kabur
± 1 tahun yang lalu, mata kabur tersebut terjadi secara perlahan-lahan, dan
dirasakan semakin kabur dalam 3 bulan ini, pasien tidak dapat melihat dengan
baik benda-benda yang terletak jauh. Pasien juga mengeluh silau pada mata
terutama setelah terpapar panas matahari. Keluhan tersebut tidak disertai
dengan mata merah ataupun nyeri pada kedua mata. Pasien merasakan ada
muncul selaput pada mata kiri dan pasien juga merasakan mata kiri kadang-
kadang merah dan berair terutama saat terpapar panas matahari dan merasa
ada yang mengganjal di mata kirinya. riwayat trauma (-), riwayat hipertensi
(+), DM (-),riwayat menggunakan kacamata (-). Riwayat keluarga, tidak ada
keluarga pasien menderita hal yang sama dengan pasien.

Pada pemeriksaan fisik, secara umum tampak baik, status optalmologikus


ditemui visus mata kanan 2/60 dengan lensa keruh sebagian, dan visus mata
kiri 6/30 dengan lensa keruh sebagian. Pada konjungtiva bulbi okuli sinistra
didapatkan selaput berbentuk segitiga dari limbus kornea tetapi tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea.

3.5. DIAGNOSIS KERJA


Katarak Senilis Stadium Imatur Okuli Dextra et Sinistra dan
Pterigium Stadium II Okulus Sinistra

25
3.6. PENATALAKSANAAN
 Medikamentosa
 Artitisial tears 4x 1 tetes/hari ODS
 Edukasi :
 Menganjurkan memakai kacamata pelindung
 Jangan mengucek-ngucek mata apabila gatal
 Edukasi bahwa penyakit ini bisa berulang.

3.7. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

26
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien perempuan usia 59 tahun datang dengan keluhan mata sebelah kanan
dan kiri terasa kabur ± 1 tahun yang lalu, mata kabur tersebut terjadi secara
perlahan-lahan, dan dirasakan semakin kabur dalam 3 bulan ini, pasien juga tidak
dapat melihat dengan baik benda-benda yang terletak jauh. Pasien juga mengeluh
silau pada kedua mata terutama setelah terpapar panas matahari. Keluhan tersebut
tidak disertai dengan mata merah ataupun nyeri pada kedua mata. Pada
pemeriksaan status oftalmologis didapatkan visus VOD 2/60 dan VOS 6/30 serta
didapatkan adanya kekeruhan pada sebagian lensa dikedua mata.
Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa pasien dengan
katarak, pada anamnesa akan didapatkan adanya keluhan penglihatan berasap atau
terasa kabur serta terjadi penurunan tajam penglihatan. Pada pemeriksaan status
oftalmologis didapatkan terjadi kekeruhan pada lensa, hal tersebut sesuai dengan
definisi dari katarak yaitu setiap kekeruhan atau berkurangnya tranparasi pada
lensa.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien di diagnosa
katarak senilis stadium imatur okuli dextra et sinistra. Katarak senilis adalah
katarak yang terjadi pada umur lebih dari 50 tahun dan termasuk katarak senilis
stadium imatur karena kekeruhan belum mengenai seluruh lapisan lensa.
Pasien juga merasakan ada selaput pada mata kiri ± 3 bulan yang lalu dan
kadang-kadang mata menjadi merah dan berair terutama saat terpapar panas
matahari serta pasien merasakan ada yang mengganjal pada mata kirinya. Pada
pemeriksaan visus didapatkan VOD 2/60 dan VOS 6/30. Pada pemeriksaan status
oftalmologis, didapatkan adanya selaput yang berbentuk segitiga pada daerah
kornea sekitar 2 mm dari limbus pada mata kiri.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien di diagnosa
pterigium stadium II okulus sinistra. Literatur mengatakan bahwa pada inspeksi
pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler pada permukaan konjungtiva.
Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke
kornea nasal. Kasus ini juga didukung dengan adanya faktor resiko yaitu paparan
sinar matahari. Ptergium pada pasien ini termasuk stadium II dimana menurut
27
tinjauan pustaka pterigium stadium II sudah melewati limbus kornea tetapi tidak
lebih dari 2 mm melewati kornea.
Pada pasien ini ditemukan adanya riwayat hipertensi, tekanan darah pasien
saat dilakukan pemeriksaan yaitu 120/80 mmHg dan saat ini pasien masih
mengkonsumsi obat anti hipertensi yang diberikan secara rutin.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini yaitu dengan memberikan
terapi medikamentosa berupa pemberian obat tetes mata yaitu Artitisial tears 4x1
tetes/hari ODS yang bertujuan sebagai emolien/pelembut & pengganti air mata
pada kekurangan air mata serta sebagai pelicin untuk air mata buatan dan terapi
non medikamentosa yaitu menganjurkan memakai kacamata pelindung yang
bertujuan untuk melindungi mata dari paparan sinar matahari secara langsung serta
udara dan debu, jangan mengucek-ngucek mata apabila gatal, tujuannya untuk
mencegah terjadinya iritasi atau peradangan pada mata, serta edukasi bahwa
penyakit ini sewaktu-waktu akan berulang.
Prognosis pada kasus ini, untuk ad vitam adalah bonam karena pada kasus
ini pasien memiliki riwayat penyakit sistemik yaitu hipertensi dan hingga saat ini
pasien masih mengkonsumsi obat anti hipertensi secara rutin sehingga TD pasien
saat dilakukan pemeriksaan masih dalam batas normal. Untuk ad fungsionam
adalah dubia ad bonam karena secara fungsional organ mata pasien sudah
terganggu yang diakibatkan karena penyakit pada mata yang diderita oleh pasien
untuk itu dibutuhkan penanganan yang tepat pada kasus ini. Sedangkan untuk ad
sanationam adalah dubia ad bonam karena pada kasus ini dapat bersifat rekurent.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta. 2009. Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Khalilullah, Said Alvin. 2010. Patologi dan Penatalaksanaan pada Katarak
Senilis.
3. Vaughan, Daniel G; Asbury, Taylor and Eva, Paul Riordan. 2000.
Oftalmologi Umum. 14th ed. Jakarta : Widya Medika.
4. American Academy Of Ofthalmology. 2012. Available From :
http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec-
2010.pdf. pada tanggal 15 Agustus 2016
5. Dzunic B, Jovanovic P, Et Al.Analysis Of Pathohistological
chataracteristics Of Pterigium. Bosnian Journal Of Basic Medical Science.
2010;10 (4) : 308-13.
6. Raju Kv, Chandra A, Doctor R. Management Of Pterigium- A Brief
Review. Karala Journal Of Opthalmology. 2008;10 (4): 63-5
7. Nana, Wijana. Konjungtiva., pterygium Dalam: Ilmu Penyakit Mata.
Jakarta: EGC. 1996. Hal: 41-42.
8. Riordan, Paul. Anatomi & Embriologi Mata. Dalam: Daniel G. Vaughan,
Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta:
Penerbit Widya Medika. 2002. Hal: 7
9. Faradila, Nova. 2009. Glaukoma dan Katarak Senilis. Riau: Fakultas
Kedokteran Universitas Riau
10. Tsai James C. Oxford American Handbook of Ophthalmology. New York:
Oxford University Press; 2011. p 228 – 230, 625
11. American academy of ophtalmology. Lens and cataract, basic and clinical
science course. AAO. 2011
12. J. Mariannete. Cataract and Lens Disorder. Clinical Guide to Comprehensive
Opthalmology. New York: Thieme Medical Publishers, 1999, 303-331.
13. Fisher, Jerome P, Hampton Roy Sr. Pterigium Clinical Presentation.
Updated: 17 April 2013. Diunduh dari URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-clinical pada tanggal 15
Agustus 2016

29
14. Ang Kpl, Chua Llj, Dan Htd. Current Concepts And Techniques In
Pterigium Treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308–313
15. Efstathios T. Pathogenetic Mechanism and Treatment Options for
Ophthalmic Pterigium : Trends and Perspectives (Review). International
Journal of Melecular Medicine. 2009. Greece. P.439-447
16. Solomon A.S. Pterigium. British.Journal.Ophtalmology. P.665 [Online].
[Cited 2014 September 1]. Availble From:
http://www.v2020la.org/pub/PUBLICATIONS_BY_TOPICS/Pterigium/Pt
erigium.pdf.
17. Sharma Ka, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting In
Pterigium Surgery. Postgraduate Department Of Opthalmology, Govt.
Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.
18. Chui J, Coroneo Tm, Et Al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder
With Premalignant Features. The American Journal Of Pathology.
2011;178 (2):817-27.
19. Gazzard G, Saw Ms, Et Al. Pterigium In Indonesia: Prevalence, Severity,
And Risk Factors.Br J Ophthalmol .2002;86:1341–46
20. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Available From:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6395/1/10E00178.pdf pada
tanggal 15 Agustus 2016
21. Eva Paul Riordan, Witcher Jp. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Edisi 17. Mcgraw-Hill Companies. London. 2008. P 5-6;119

30

Anda mungkin juga menyukai