Anda di halaman 1dari 13

5

BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Pareto Chart


Menurut (Mengesha, Awaj, Singh, Yimer, & Amedie, 2013), diagram
Pareto merupakan sebuah diagram khusus dimana nilai-nilai yang terdapat
pada diagram tersebut diurutkan berdasarkan nilai dari yang terbesar hingga
terkecil. Penggunaan dari diagram Pareto yaitu untuk menyoroti suatu kejadian
yang paling sering terjadi atau permasalahan yang paling sering muncul.
Dijelaskan oleh (Magar & Shinde, 2014), prinsip Pareto juga dikenal
dengan aturan 80/20 yang diinterpretasikan dengan 20% dari permasalahan
yang ada memberikan kontribusi eror atau defect sebanyak 80% dari
keseluruhan masalah. Diagram ini dibuat dengan memakai data-data yang telah
dikumpulkan, dan hanya 20% dari sumber permasalahan utama yang
menyumbang mayoritas defect tersebutlah yang akan dilakukan penyelesaian.
Dengan demikian, penyebab utama suatu masalah akan berkurang jika
mayoritas penyebabnya juga menurun.

2.2 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)


Menurut penjelasan (Rakesh, Jos, & Mathew, 2013), failure mode and
effect analysis (FMEA) merupakan suatu model sistematis untuk
mengidentifikasi dan mencegah suatu permasalahan yang ada di suatu
sistem.Pada umumnya, metode ini dilaksanakan pada tahap pengembangan
desain atau proses. FMEA pada pengembangan desain membantu dalam
mengidentifikasi potensial kegagalan yang diketahui dan dapat diramalkan,
lalu memberikan peringkat berdasarkan dampaknya terhadap suatu produk.
FMEA pada proses diimplementasikan untuk mengidentifikasi suatu potensial
kegagalan pada proses dengan memberikan peringkat dan menentukan prioritas
tergantung pada dampaknya.
Dijelaskan oleh Sellappan & Palanikumar (2013) bahwa penggunaan
FMEA dilakukan dengan proses diskusi dari divisi yang berbeda pada
perusahaan untuk menganalisis penyebab kegagalan terhadap komponen dan
subsistem pada suatu proses atau produk.FMEA menggunakan kriteria-kriteria
kemungkinan kejadian (occurrence), deteksi (detection), dan tingkat kerusakan
(severity) untuk menentukan risk priority numbers (RPN) dan risk score value
(RSV) agar nantinya digunakan untuk menentukan aksi dari risiko yang
diprioritaskan.
Dalam penentuan nilai RPN dan RSV, terdapat kriteria dalam melakukan
penilaian tersebut. RPN merupakan sebuah nilai yang didasarkan pada tiga
penilaian: severity (S), occurrence (O), dan detection (D).Sedangkan RSV
hanya menggunakan severity (S) dan occurrence (O).Skala penilaian tersebut
mulai dari 1 hingga 10. Berikut merupakan perhitungan untuk menentukan
nilai RPN dan RSV:
RPN = O x S x D
RSV = O x S

Berikut merupakan tabel yang menunjukkan keterangan dalam


melakukan penilaian severity (S), occurrence (O), dan detection (D).
6

Tabel 2.1 Skala Penilaian untuk Occurrence, Severity, dan Detection


Skor Occurrence(O) Severity (S) Detection (D)
1 Hampir tidak pernah Tidak ada efek Hampir pasti
2 Sangat jarang Sangat kecil/ Sangat mudah
minor
3 Cukup jarang Kecil/ minor Mudah
4 Sedikit jarang Sangat rendah Cukup mudah
5 Jarang Rendah Biasa saja
6 Sedikit sering Sedang Agak sulit
7 Cukup sering Tinggi Cukup sulit
8 Sering Sangat tinggi Sulit
9 Sangat Sering Serius Sangat sulit
10 Hampir selalu terjadi Sangat berbahaya/ Hampir tidak
serius mungkin
Sumber: Sellappan & Palanikumar (2013)

Tabel 2.2 Skala Peringkat Severity


Skor Dampak Tingkat Kerusakan
1 Tidak ada efek Tidak ada
2 Sangat kecil/ minor Penyebab diketahui, sedikit
kerusakan pada prosedur
3 Kecil/ minor Penyebab diketahui, sedikit
kerusakan pada proses
4 Sangat rendah Penyebab diketahui, sedikit
kerusakan pada peraturan
5 Rendah Penyebab diketahui, banyak
kerusakan pada prosedur
6 Sedang Penyebab diketahui, banyak
kerusakan pada proses
7 Tinggi Penyebab diketahui, banyak
kerusakan pada peraturan
8 Sangat tinggi Penyebab tidak diketahui, masalah
diketahui dan dapat diatasi
9 Serius Penyebab tidak diketahui, masalah
diketahui dan tidak dapat diatasi
10 Sangat berbahaya/ serius Penyebab tidak diketahui, masalah
tidak diketahui
Sumber: Faizal & Palaniappan (2014)

Tabel 2.3 Skala Peringkat Occurrence


Skor Kemungkinan Tingkat Terjadinya Risiko
Kejadian
1 <1 dari 1.500.000 Hampir tidak pernah
2 1 dari 150.000 Sangat jarang
3 1 dari 15.000 Cukup jarang
4 1 dari 2.000 Sedikit jarang
5 1 dari 400 Jarang
6 1 dari 80 Sedikit sering
7 1 dari 20 Cukup sering
8 1 dari 8 Sering
7

9 1 dari 3 Sangat Sering


10 >1 dari 2 Hampir selalu terjadi
Sumber: Faizal & Palaniappan (2014)

Tabel 2.4 Skala Peringkat Detection


Skor Deteksi Kemungkinan Dideteksi
1 Hampir pasti Pengendalian pasti dapat mencegah
risiko
2 Sangat mudah Sangat besar risiko dapat dicegah
3 Mudah Besar risiko dapat dicegah
4 Cukup mudah Kemungkinan risiko dapat dicegah
5 Biasa saja Risiko cukup berkesempatan untuk
dapat dicegah
6 Agak sulit Kecil kemungkinan risiko dapat
dicegah
7 Cukup sulit Cukup kecil kemungkinan risiko dapat
dicegah
8 Sulit Tipis kemungkinan risiko dapat
dicegah
9 Sangat sulit Sangat tipis kemungkinan risiko dapat
dicegah
10 Hampir tidak Pengendalian tidak dapat mencegah
mungkin risiko
Sumber: Faizal & Palaniappan (2014)

2.3 Peramalan
Chopra & Meindl (2010) menyatakan bahwa peramalan permintaan
merupakan landasan dari segala proses perencanaan dalam supply chain.
Kemampuan untuk melakukan perencanaan dengan tepat merupakan sebuah
kemampuan yang penting yang harus dimiliki oleh perusahaan untuk
mengintegrasi proses internal dan external supply chain.
Menurut Chopra & Meindl (2010), perusahaan dan supply chain
manager harus dapat mengetahui karakteristik dari peramalan:
1. Peramalan (forecast)selalu tidak akurat dan harus menyertakan nilai yang
diperkirakan dalam sebuah peramalan dan memperkirakan kemungkinan
peramalan yang dibuat melakukan kesalahan atau nilai yang diramalkan
meleset dari nilai yang sesungguhnya. Kesalahan dalam peramalan
merupakan kunci dalam setiap proses supply chain.
2. Peramalan jangka panjang umumnya lebih tidak akurat jika dibandingkan
dengan peramalan jangka pendek. Karena, peramalan jangka panjang
memiliki nilai standar deviasi yang lebih besar dibandingkan dengan
peramalan jangka pendek.
3. Peramalan Aggregate pada umumnya lebih akurat jika dibandingkan dengan
peramalan disaggregate. Peramalan aggregate cenderung memiliki nilai
standar deviasi yang lebih rendah.
Sebuah perusahaan harus mengetahui dan mendalami metode-metode
peramalan. Metode peramalan diklasifikasikan beberapa jenis sebagai berikut:
1. Metode kualitatif
MenurutRender, Stair, & Hanna (2012), metode kualitatif
menggabungkan penilaian atau faktor yang bersifat subjektif kedalam suatu
8

peramalan. Pendapat dari para ahli, serta pengalaman pribadi terhadap


bidang yang berkaitan akan sangat mempengaruhi hasil dari metode ini.
Metode kualitatif akan cocok untuk digunakan jika data kuantitatif sulit
diperoleh dan terdapat berbagai faktor subjektif yang dipertimbangkan.
Contoh dari metode kualitatif adalah metode Delphi.Render, Stair, &
Hanna(2012)beranggapan pada metode ini pengambilan keputusan
dilakukan oleh suatu group yang terdiri dari tiga bagian yang berbeda yakni:
pembuat keputusan, staff, dan responden. Para staff melakukan
pengumpulan, pengolahan, dan meringkas data kuesioner dan survey. Para
responden melakukan penilaian mengenai data-data yang telah dikumpulkan
dan memberikan masukan kepada para pembuat keputusan sebelum
keputusan tersebut dibuat.
2. Metode kuantitatif
Menurut Render, Stair, & Hanna(2012), dalam metode kuantitatif
dibutuhkan data kuantitatif yang akurat dan diperbarui secara berkala,
sehingga prosedur untuk melakukan peramalan dapat dilakukan secara
berkala. Terdapat tiga metode dalam penggunaan kuantitatif dan dalam
perusahaan mungkin hanya menggunakan satu dari metode tersebut atau
mungkin kombinasi dari ketiganya. Chopra & Meindl (2010),
mengelompokan model peramalan kuantitatif menjadi tiga, yakni:
a. Time series
Metode peramalan time series menggunakan data dari masa lalu
untuk melakukan sebuah peramalan. Metode ini baik digunakan jika
keadaan lingkungan stabil dan perbedaan pola permintaan tidak jauh
berbeda setiap tahunnya. Metode ini merupakan metode yang paling
mudah untuk digunakan.
b. Causal
Metode peramalan causal menggabungkan faktor-faktor lain yang
mungkin mempengaruhi peramalan kedalam perhitungan peramalan.
Metode causal juga dapat menyertakan data dari penjualan sebelumnya
kedalam sebagai data time series dan memadukannya dengan faktor
lainnya.
c. Simulation
Simulasi adalah teknik yang menggunakan angka acak untuk
menarik sebuah kesimpulan mengenai probability distributions. Data-
data yang telah dikumpulkan dalam jangka waktu yang lama dapat di
kembangkan dalam hitungan detik dengan menggunakan komputer.

2.3.1 Pola Permintaan


Menurut Reid & Sanders (2010), untuk membuat sebuah ramalan
seorang profesional bergantung dari bermacam-macam model yang dipilihnya.
Pemilihan model tergantung kepada banyak faktor, seperti time horizon, data
pattern, the experience of the forecaster, dan evaluation technique.
Pola data banyak mempengaruhi pemilihan model yang digunakan dalam
peramalan. Dengan adanya pola, praktisi dapat menentukan bagaimana
kecenderungan data di masa lalu dan dapat memprediksi data di masa yang
akan datang. Pola data juga dapat menyajikan hubungan antara dua variabel
atau lebih.Data pattern dapat berupa horizontal, trend, seasonal, dan cyclical.
1. Horizontal pattern
9

Cakupan waktu merupakan faktor yang penting untuk dapat


mengetahui apakah horizontal pattern ini dapat dilihat atau tidak. Semakin
sedikit cakupan waktu semakin besar kemungkinan data tersebut memiliki
horizontal pattern.
2. Trend pattern
Trend pattern mengacu kepada sebuah pertumbuhan jangka panjang
dalam sebuah rangkaian waktu. Dalam hal ini, pergerakan dapat berupa tren
naik,dan tren turun.
3. Seasonal pattern
Seasonal pattern adalah saat dimana data dapat diprediksi dan
berulang-ulang dalam periode satu tahun atau kurang. Menurut Wisner, Tan,
& Leong (2012) variasi seasonal memperlihatkan pola puncak dan lembah
yang berulang dalam interval yang konsisten dalam hitungan jam, hari,
minggu, bukan, tahun, atau musiman.
4. Cyclical pattern
Cyclical pattern terjadi ketika terjadi sebuah perluasan maupun
penyusutan dalam bisnis dan ekonomi sehingga akan sangat sulit untuk
melakukan prediksi karena pergerakan terjadi dalam jangka waktu yang
panjang sekitar lebih dari satu tahun. Dalam membuat sebuah cyclical
pattern akan sangat sulit karena siklus tidak berulang dalam interval waktu
yang tetap.

(Sumber:Reid & Sanders, 2010)


Gambar 2.1Demand Pattern

2.3.2 Metode Peramalan Time Series


Render, Stair, & Hanna(2012) menyatakan bahwa metode time series
bertujuan untuk melakukan peramalan berdasarkan data masa lalu. Model ini
10

membuat asumsi dimana permintaansebuah periode yang akan terjadi di masa


depan ada kaitannya dengan permintaanpada periode di masa lalu.
1. Moving Average
Menurut Wisner, Tan, & Leong (2012), metode moving average
adalah sebuah metode yang menggunakan data masa lalu untuk melakukan
peramalan dan akan efektif bila permintaan dari waktu ke waktu stabil.

Dimana:
F(t+1)= peramalan untuk periode t+1
n = banyaknya periode untuk menghitung moving average
Ai = permintaan pada periode i
2. Simple Exponential Smoothing
Menurut Wisner, Tan, & Leong (2012), peramalan exponential
smoothing merupakan peramalan yang memerlukan data yang lebih sedikit
dibandingkan dengan moving average karena hanya memerlukan dua data.
Karena kemudahannya dan persyaratan data yang sedikit, metode ini
merupakan metode yang paling sering digunakan oleh masyrakat luas.
Menurut Chopra & Meindl (2010), berikut rumus untuk simple exponential
smoothing.

Dimana:
Ft : peramalan untuk periode t
Dt: Permintaan untuk periode t
α : smoothing constant (0<α<1)
3. Trend-Corrected Exponential Smoothing
Menurut Chopra & Meindl (2010),Trend-corrected exponential
smoothing(holt’s model)adalah sebuah metode yang baik digunakan jika
permintaan memiliki sebuah trend dan level akan tetapi bukan tren dan level
dalam jangka panjang (seasonal).
dan
Setelah mengetahui permintaan untuk periode t, praktikan melakukan
estimasi untuk level,dan tren sebagai berikut(Chopra & Meindl, 2010):

Dimana α adalah nilai dari smoothing constant untuk level, 0<α<1,


dan β merupakan nilai dari smoothing constant untuk tren dimana 0<β<1.
4. Trend-and Seasonality-Corrected Exponential Smoothing(Winter’s model)
Menurut Chopra & Meindl (2010),winter’s model dapat digunakan
jika sebuah permintaan terdapat faktor trend, level, dan faktor musiman
(seasonal).
dan
Setelah mengetahui permintaan untuk periode t+1 faktor-faktor dari
level, trend,dan seasonaldapat dicari dengan cara sebagai berikut:
11

Dimana α adalah nilai dari smoothing constant untuk level, 0<α<1,


dan β merupakan nilai dari smoothing constant untuk tren dimana 0<β<1.
Dan γ adalah nilai dari smoothing constant untuk faktor musiman (seasonal)
dimana 0<γ<1.
5. Regresi Linier
Merupakan dasar kecenderungan dari suatu persamaan karena dengan
persamaan tersebut dapat diproyeksikan hal-hal yang akan diteliti di masa
mendatang. Bentuk formula dari metode ini yaitu:
Yt = a + bt
Dimana:
a (intercept)= (Y-bt)/n atau
menggunakan rumus excel (=intercept(nilai y, nilai x))
b (slope)= n∑ty – ∑(t) ∑(y) atau
menggunakan rumus excel (=slope(nilai y, nilai x))

2.3.3 Ketepatan Peramalan


Tujuan utama dari segala peramalan adalah untuk memiliki tingkat akurat
data yang tinggi. Kerugian yang harus dihadapi oleh sebuah perusahaan apabila
peramalannya tidak tepat adalah menurunnya penjualan, pembeli yang tidak
puas, dan kehilangan kepercayaan. Perusahaan harus dapat mengurangi dari
kesalahan peramalan dan harus meningkatkan teknik peramalannya(Wisner,
Tan, & Leong, 2012).
Menurut Render, Stair, & Hanna(2012), untuk mengetahui seberapa baik
suatu metode peramalan bekerja, atau membandingkan dengan metode lain,
nilai dari peramalan dapat dibandingkan dengan nilai yang sebenarnya. Rumus
forecast error(deviasi) dapat dituliskan sebagai berikut:
Forecast error = actual value – forecast value
1. MAD (Mean Absolute Deviation)
Salah satu cara untuk mengukur tingkat akurasi peramalan adalah
MAD (mean absolute deviation). MAD dapat dihitung dengan cara
menghitung jumlah dari forecast error yang telah di mutlakkan dan dibagi
dengan jumlah peramalan yang salah (error).

Dimana:
n = banyaknya kesalahan dalam perhitungan
2. MSE (Mean Square Error)
Cara lain untuk mengukur tingkat akurasi ramalan selain MAD, dan
yang paling sering digunakan adalah MSE(Mean Square Error).

3. MAPE (Mean Absolute Percent Error)


Selain MAD dan MSE, MAPE (Mean Absolute Percent Error) dapat
digunakan. MAPE adalah rata-rata dari nilai mutlak dalam persentase dari
nilai yang sebenarnya.
12

Dimana:
Dt = Permintaan pada periode
4. Tracking Signal
Merupakan salah satu cara untuk mengetahui seberapa baik ramalan
yang telah dilakukan dibandingkan dengan nilai yang sebenarnya.

2.4 Sistem Pengendalian Persediaan Dengan Metode Continuous Review


System
Gozali, Adianto, & Halim (2013) menjelaskan bahwa inventory
management merupakan suatu kegiatan mengenai manajemen operasi utama.
Inventory management yang baik merupakan hal penting dalam mencapai
keberhasilan bisnis dan rantai supply.
Berdasarkan penjelasan Gozali, Adianto, & Halim (2013), sistem
persediaan dengan jumlah pemesanan tetap, sedang jarak
waktupemesananberubah-ubah, sistem ini biasa disebut sistem Q, atau
Continous Review System atau sistem jumlah pesanan tetap. Metode ini
digunakan untuk mengantisifasi laju perubahan permintaan yang menjadi acak
atau probabilistik.Persediaan diawasi setiap kali terjadi transaksi pemakaian
persediaan dan kemudian persediaan yang ada dibandingkan dengan reorder
point. Jika posisi persediaan sama atau lebih kecil dari reorder point, maka
dilakukan pemesanan kembali dengan jumlah pemesananyang tetap. Dan jika
posisi persediaan lebih besar dari reorder point berarti tidak ada tindakan
pemesanan yang perlu dilakukan.

2.4.1 Biaya Inventory


Berdasarkan penjelasan Godwin & Onwurah (2013), dalam inventory
management, terdapat tiga biaya dasar, yaitu:
1. Biaya Simpan (Holding Cost)
Merupakan biaya yang dikeluarkan untuk barang dalam penyimpanan.
2. Biaya Pesan (Order Cost)
Merupakan biaya yang berhubungan dengan aktivitas pemesanan dan
penerimaan barang.
3. Biaya Kekurangan (Shortage Cost)
Merupakan biaya yang dikeluarkan pihak perusahaan apabila terdapat
permintaan yang melebihi persediaan inventory.

2.4.2 Metode Q,R


MenurutNahmias (2009), metode continuous review system(Q,R)
merupakan sebuah system persediaan dengan jumlah pemesanan yang tetap,
namun waktu pesan dapat berubah. Metode ini diaplikasikan sebagai tindak
antisipasi laju perubahan permintaan yang menjadi acak.
Kelemahan yang ada pada sistem ini yaitu perlu dilakukan pengecekan
secara terus-menerus sehingga dapat menambah biaya tenaga kerja pada bagian
gudang.Tingkat persediaan perlu diawasi setiap transaksi pemakaian
persediaan terjadi, lalu dibandingkan dengan reorder point. Apabila tingkat
13

persediaan lebih kecil atau sama dengan nilai reorder point, maka pemesanan
harus dilakukan dengan jumlah yang tetap. Terdapat rumus yang digunakan
dalam metode Q,R, yaitu:
1. Tingkat permintaan selama periode lead time ( dan permintaan rata-rata

perbulan (

2. Standar deviasi permintaan selama periode lead time


Varians pertahun = 12 bulan x (standar deviasi)2

3. Perhitungan EOQ (Qo) untuk iterasi awal

Dimana: Qo = Nilai kuantitas pemesanan iterasi ke-o


K = biaya pemesanan barang
d = estimasi permintaan per tahun
h = biaya penyimpanan barang

4. Perhitungan F(R1)

Dimana: p = shortage cost

5. Perhitungan Tingkat Reorder(R1)

Dimana: z = nilai yang diperoleh dari tabel z dengan F(R) sebagai


inputnya

6. Perhitungan n(R1)
n(R) = σL(z)
Dimana: L(z)= nilai konversi dari nilai z pada tabel Z-chart&Loss
Function

7. Perhitungan EOQ (Q1) untuk iterasi berikutnya

8. Safety stock
s=R-µ
14

9. Perkiraan Biaya Total Penyimpanan per Unit Barang


Persamaan dari perkiraan biaya total yaitu:
Total cost= holding cost + fixed cost + shortage cost

2.4.3 Metode s,S (min-max)


Menurut (Nahmias, 2009), metode s,S merupakan sebuah system
persediaan dengan jumlah pemesanan yang bergantung pada tingkat inventory
yang ada. Dalam penggunaannya, kedua nilai tersebut menggunakan hasil
iterasi dari metode Q,R sebagai nilai awal untuk mencari nilai minimum (s)
dan maksimum (S). Nilai s ditentukan sebagai titik terendah dari tingkat
inventori, sehingga pemesanan akan dilakukan jika tingkat inventori telah
mencapai atau kurang dari tingkat tersebut. Dan tingkat maksimum inventori
(S) digunakan sebagai acuan dalam jumlah pemesanan. Apabila diasumsikan
bahwa x merupakan tingkat inventori pada suatu periode, maka:
Pemesanan akan dilakukan jika x < s, dan pesan sejumlah S-x.
Pemesanan tidak dilakukan jika x > s.

2.4.4 Simulasi Monte Carlo


Menurut Evans & Lindsay (2007), simulasi adalah pendekatan untuk
menyusun suatu model yang logis dari sistem bisnis yang sebenarnya, dan
bereksperimen dengan model tersebut untuk mendapatkan pemahaman
mengenai perilaku sistem tersebut atau untuk mengevaluasi dampak perubahan
dalam asumsi atau potensi perbaikan terhadapnya.
Terdapat dua jenis pendekatan pemodelan simulasi dasar yang digunakan,
antara lain:
1. Simulasi Proses
Adalah membuat model dinamika dan perilaku elemen-elemen yang saling
berinteraksi seiring dengan waktu dari sebuah sistem seperti fasilitas
produksi atau pusat layanan pelanggan.
2. Simulasi Monte Carlo
Didasari oleh pengambilan sampel berulang kali dari distribusi probabilitas
input model untuk mengarakterisasi distribusi output model, biasanya
simulasi ini dikerjakan dengan menggunakan lembar kerja (spreadsheet)
(Evans & Lindsay, 2007).
Berdasarkan penjelasan diatas, langkah pengerjaan dalam simulasi ini
dimulai dengan melakukan sampel beberapa kali dari distribusi atau data terkait
permasalahan yang akan dilakukan simulasi monte carlo, dari sampel tersebut
selanjutnya diolah hingga mendapatkan model ataupun karakterisasi sesuai
dengan range yang dihasilkan dari random number. Begitu selanjutnya hingga
kriteria yang akan dilakukan simulasi terpenuhi.

2.5 Multi Criteria Decision Making


Taylor (2005) menjelaskan bahwa pengambilan keputusan memerlukan
strategi yang tepat, oleh karena itu diperlukan pertimbangan, bahkan
perhitungan-perhitungan matematis dengan berbagai kriteria.Salah satu metode
15

yang dipakai untuk pengambilan keputusan adalah Analytical Hierarchy


Process.

2.5.1 Analytical Hierarchy Process (AHP)


Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah pengambilan keputusan
multikriteria dengan dukungan metodologi yang telah diakui dan diterima
sebagai prioritas yang secara teori dapat memberikan jawaban yang berbeda
dalam masalah pengambilan keputusan serta memberikan peringkat pada
alternatif solusinya(Kazibudzki & Tadeusz, 2013).
Menurut Dieter dan Schmidt (2013), AHP merupakan metodologi
pemecahan masalah untuk membuat keputusan dari beberapa alternatif dimana
alternatif-alternatif tersebut mempunyai beberapa tujuan, memiliki struktur
hierarki, atau meliputi kuantitatif dan kualitatif pengukuran.AHP
dikembangkan oleh Saaty (1995).AHP dibuat berdasarkan perumusan
matematika untuk membuat perbandingan antara kriteria yang konsisten.
Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan akan dipecahkan dalam
suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dapat
diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan
tersebut.AHP memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif
dari suatu kriteria majemuk dengan melakukan perbandingan berpasangan.
Seorang pengambil keputusan harus membuat gambaran keseluruhan mengenai
hirarki dari keputusan yang akan diambil, diantaranya adalah objektivitasnya,
kriterianya, dan alternatifnya. Proses hierarki menunjukkan beberapa faktor
penting yang berhubungan dengan pemilihan alternatif. Setelah menentukan
hierarki, selanjutnya lakukan pemilihan spesifikasi matriks alternatif dan
tentukan matriks dasar berdasarkan tingkat preferensi (preference level) pada
tabel berikut.

Tabel 2.5Preference Level


PreferenceLevel Numerical
Value
Equally Preferred 1
Equally to Moderately Preferred 2
Moderately Preferred 3
Moderately to Strongly Preferred 4
Strongly Preferred 5
Strongly to Very Strongly Preferred 6
Very Strongly Preferred 7
Very Strongly to Extremely Preferred 8
Extremely Preferred 9
Sumber: (Taylor, 2005)

Setelah melakukan penilaian terhadap seluruh kriteria, setelah itu


dilakukan perhitungan untuk memeriksa tingkat konsistensi dari kriteria
tersebut. Berikut adalah tahap-tahap perhitungan yang dilakukan:
1. Perhitungan weighted sum vector

2. Perhitungan consistency vector

3. Estimasi lambda (λ) sebagai rata-rata dari consistency vector


16

Setelah mendapatkan konsistensi vektor, selanjutnya menghitung


konsistensi indeks. Rumus untuk mencari konsistensi indeks (Taylor, 2005),
yaitu:

CI =

Dimana n adalah penjumlahan dari item yang dibandingkan.


Setelah mendapatkan CI, kemudian menghitung konsistensi rasio dengan

rumus: CR =

Dimana RI merupakan Random Index yang diambil berdasarkan tabel berikut.

Tabel 2.6 Random Index


Random Index
N
(RI)
2 0,00
3 0,58
4 0,90
5 1,12
6 1,24
7 1,32
8 1,41
9 1,45
10 1,49
11 1,51
12 1,48
13 1,56
14 1,57
15 1,59
Sumber: (Marimin, 2004)

Marimin (2004) mengantakan bahwa untuk mendapatkan nilai yang


konsisten, nilai dari CR harus lebih kecil daripada 0,10. jika nilai tersebut lebih
besar dari 0,10, maka harus dilakukan evaluasi ulang dari keputusan yang
dilakukan.
Berikut adalah gambar struktur Analytical Hierarchy Process (AHP), yaitu:
17

Sumber: (Marimin, 2004)


Gambar 2.2 Struktur Proses AHP

Anda mungkin juga menyukai