PENDAHULUAN
Banyaknya masalah sebagai akibat pertumbuhan kota yang cepat sebagai dampak
langsung dari lambatnya penyediaan prasarana, hal tersebut tidak terlepas dari kurang terlaksana
dengan baik manajemen pembangunan kota terutama pada tahap perencanaan dan terbatasnya
kemampuan fiskal untuk membiayai pembangunan prasarana. Namun demikian, dengan
perubahan sistem pemerintahan yang semula dekonsentrasi yang terpusat menjadi desentralisasi
(otonomi) memberikan harapan untuk membangun prasarana sesuai dengan pola pertumbuhan
kota. Dalam perencanaan persampahan pada suatu kota, perlu diketahui produksi sampah untuk
waktu mendatang sesuai dengan tingkatan aktifitas dan produktifitas serta income per kapita kota
tersebut. Dengan diketahuinya jumlah penduduk maka dapat diketahui jumlah sampah yang
dihasilkan oleh suatu kota dalam kurun waktu tertentu. Laju timbulan sampah kota
diekivalensikan menjadi liter/orang/hari (perhitungan dilakukan pada sumber sampah).
Kebutuhan kapasitas pelayanan sampah sejalan dengan timbulan sampah yang harus diangkut ke
TPA. Laju pertumbuhan sampah berbeda pada setiap kota, hal tersebut di pengaruhi oleh tingkat
sosial, ekonomi, tingkat konsumtifitas penduduk, adat istiadat dan kondisi geografi. Pada tahun–
tahun terakhir ini masalah sampah perkotaan di Indonesia sudah mendapat perhatian dari
berbagai pihak dan upaya penanganannya semakin nyata. Penampungan akhir sampah kota
dilakukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) mengalami berbagai macam kendala baik fisik
maupun non fisik, seperti masalah sosial, ekonomi, pemeliharaan dan lain–lain. Untuk itu kinerja
suatu TPA perlu dikaji dalam rangka meningkatkan kemampuannya dalam mengatasi masalah
sampah dalam korelasinya dengan perkembangan penduduk. Perlu diperhatikannya kinerja TPA
ini karena sejalan dengan perkembangan suatu kota, maka kepadatan penduduk semakin
bertambah dan terkonsentrasi pada suatu wilayah tertentu, sehigga tidak memungkinkan
penduduk untuk mengelola sampah secara mandiri. Dari berbagai kenyataan yang ada di
lapangan, di berbagai daerah, khususnya di Jawa Tengah, TPA sampah perkotaan yang umum
digunakan adalah sistem pembuangan terbuka (open dumping), dimana sistem ini kurang
memperhatikan aspek perlindungan lingkungan.
Masalah kesehatan merupakan suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling
berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Demikian pula untuk
mengatasi masalah kesehatan masyarakat tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya sendiri tapi
harus dari seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap kesehatan tersebut (Notoatmojdo, 1997).
Terwujudnya derajat kesehatan dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagaimana
telah dikemukakan oleh Hendrik L. Blum. Faktor-faktor dimaksud antara lain : faktor keturunan,
faktor pelayanan kesehatan, faktor perilaku dan faktor lingkungan. Diantara faktor-faktor
tersebut, faktor lingkungan merupakan faktor yang paling besar memegang peranan dalam status
kesehatan masyarakat (Kusnoputranto, 1986).
Manusia melakukan berbagai aktivitas untuk memenuhi kesejahteraan hidupnya dengan
memproduksi makanan minuman dan barang lain dari sumber daya alam. Aktivitas tersebut juga
menghasilkan bahan buangan yang disebut dengan sampah (Chandra, 2007).
Menurut WHO, sampah yaitu sesuatu yang tidak digunakan, tidak terpakai, tidak
disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi
dengan sendirinya. Pengelolaan sampah yang kurang baik dapat memberikan pengaruh negatif
terhadap kesehatan salah satunya adalah penyakit kulit (Mukono, 2006). Alat pelindung diri
adalah kelengkapan yang wajib dikenakan saat bekerja sesuai kebutuhan untuk menjaga
keselamatan dan kesehatan pekerja. Salah satu orang yang berisiko terganggunya kesehatan
adalah petugas pengelola sampah. Semakin sering dan lamanya kontak dengan sampah dan jika
tidak memperhatikan kebersihan perorangan yang baik dan penggunaan alat pelindung diri maka
berisiko terkena penyakit . Petugas pengelola sampah harus menggunakan alat pelindung diri
seperti menggunakan pakaian khusus kerja, menggunakan sepatu kerja ketika bekerja,
menggunakan sarung tangan agar dapat melindungi dirinya dari penyakit
Lokasi TPA merupakan tempat pembuangan akhir sampah yang akan menerima segala
resiko akibat pola pembuangan sampah terutama yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya
pencemaram lindi (leachate) ke badan air maupun air tanah, pencemaran udara oleh gas dan efek
rumah kaca serta berkembang biaknya vektor penyakit seperti lalat (Judith, 1996). Menurut
Qasim (1994) dan Thobanoglous (1993), potensi pencemaran leachate maupun gas dari suatu
landfill ke lingkungan sekitarnya cukup besar mengingat proses pembentukan leachate dan gas
dapat berlangsung dalam waktu yang cukup lama yaitu 20 – 30 tahun setelah TPA ditutup.
Dengan demikian maka perlu ada suatu upaya yang harus dilakukan untuk pengamanan
pencemaran lingkungan.
Penentuan lokasi TPA yang memenuhi syarat (SNI No. 03-3241-1997 tentang Tata Cara
Pemilihan Lokasi TPA).
Pembangunan fasilitas TPA yang memadai, pengoperasian TPA sesuai dengan
persyaratan dan reklamasi lahan bekas TPA sesuai dengan peruntukan lahan dan tata
ruang .
Monitoring pasca operasi terhadap bekas lahan TPA.
Selain itu perlu juga dilakukan perbaikan manajemen pengelolaan TPA secara lebih memadai
terutama ketersediaan SDM yang handal serta ketersediaan biaya operasi dan pemeliharaan TPA.
Tabel 1. Dampak potensial kegiatan pembuangan akhir
Pembangunan
Prakonstruksi Pemilihan lokasi TPA. Lokasi yang tidak
memenuhi persyaratan
akan mencemari
lingkungan dan
Perencanaan.
mengganggu kesehatan
masyarakat
Perencanaan yang
tidak didukung oleh
data yang akurat akan
Pembebasan lahan.
menghasilkan
konsntruksi yang tidak
memadai
Ganti rugi yang tidak
memadai akan
menimbulkan
keresahan masyarakat
Sesuai dengan SNI No. 03-3241-1997 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA, bahwa
lokasi yang memenuhi persyaratan sebagai tempat pembuangan akhir sampah adalah :
Pemilihan lokasi TPA sebagai langkah awal dalam peningkatan metode pembuangan akhir
sampah, perlu dilakukan secara teliti melalui tahapan studi yang komprehensif (feasibility study
dan studi amdal). Sulitnya mendapatkan lahan yang memadai didalam kota, maka disarankan
untuk memilih lokasi TPA yang dapat digunakan secara regional. Untuk lokasi TPA yang terlalu
jauh (>25 km) dapat menggunakan sistem transfer station.
Pengumpulan data tersebut dapat dilakukan secara langsung (primer) maupun tidak langsung
(sekunder).
Pengukuran lapangan dilakukan untuk mengetahui data kondisi lingkungan TPA seperti:
Topografi
Karakteristik tanah, meliputi karakteristik fisik (komposisi tanah, konduktivitas hidrolik,
pH, KTK dan lain-lain) dan karakteristik kimia (komposisi mineral tanah, anion dan
kation)
Sondir dan geophysic
Kondisi air tanah, meliputi kedalaman muka air tanah, arah aliran air tanah, kualitas air
tanah (COD, BOD, Chlorida, Fe, Organik dan lain-lain)
Kondisi air permukaan, meliputi jarak dari TPA, level air, fluktuasi level air musim hujan
dan kemarau, kualitas air sungai (BOD, COD, logam berat, chlorida, sulfat, pestisida dan
lain-lain)
Lokasi mata air ( jika ada) termasuk debit.
Kualitas lindi, meliputi BOD, COD, Chlorida, Logam berat, Organik dan lain-lain.
Kualitas udara, meliputi kadar CH4, COx, SOx, NOx dan lain-lain.
Jumlah penduduk yang tinggal disekitar TPA (radius < 500 m)
Dan lain-lain
3. Perencanaan
Perencanaan TPA berupa Detail Engineering Design (DED), harus dapat mengantisipasi
terjadinya pencemaran lingkungan . Dengan demikian maka perencanaan TPA tersebut
harus meliputi :
Perpindahan atau pergeseran lokasi TPA harus diikuti oleh pembuatan DED pada lokasi baru
(redisign).
4. Pembebasan lahan
Pembebasan lahan TPA perlu memperhatikan dampak sosial yang mungkin timbul seperti
kurang memadainya ganti rugi bagi masyarakat yang tanahnya terkena proyek. Luas lahan
yang dibebaskan minimal dapat digunakan untuk menampung sampah selama 5 tahun.
5. Pemberian izin
Pemberian izin lokasi TPA harus diikuti dengan berbagai konsekuensi seperti dilarangnya
pembangunan kawasan perumahan atau industri pada radius < 500 m dari lokasi TPA, untuk
menghindari terjadinya dampak negatif yang mungkin timbul dari berbagai kegiatan TPA
6. Sosialisasi
Untuk menghindari terjadinya protes sosial atas keberadaan suatu TPA, perlu diadakan
sosialisasi dan advokasi publik mengenai apa itu TPA, bagaimana mengoperasikan suatu
TPA dan kemungkinan dampak negatif yang dapat terjadi namun disertai dengan rencana
atau upaya pihak pengelola untuk menanggulangi masalah yang mungkin timbul dan
tanggapan masyarakat terhadap rencana pembangunan TPA. Sosialisasi dilakukan secara
bertahap dan jauh sebelum dilakukan perencanaan.
B. TAHAP KONSTRUKSI
a. Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang akan melaksanakan pekerjaan
konstruksi TPA. Untuk tenaga profesional seperti tenaga supervisi, ahli struktur dan mandor
harus direkrut sesuai dengan persyaratan kualifikasi, sedangkan untuk tenaga buruh atau tenaga
keamanan dapat direkrut dari tenaga setempat (jika ada). Rekrutmen tenaga setempat adalah
untuk menghindari terjadinya konflik atau kecemburuan sosial.
b. Alat
Pembersihan lahan akan menimbulkan dampak pengurangan jumlah tanaman dan debu
sehingga perlu dilakukan penanaman pohon sebagai pengganti atau membuat green barrier yang
memadai.
Jalan masuk TPA akan digunakan oleh kendaraan pengangkut sampah dengan kapasitas
yang cukup besar, sehingga kelas jalan dan lebar jalan perlu memperhatikan beban yang akan
lewat serta antrian yang mungkin terjadi. Pengaturan lalu lintas untuk kendaraan yang akan
masuk dan keluar TPA sedemikian rupa sehingga dapat menghindari antrian yang panjang
karena dapat mengurangi efisiensi pengangkutan.
b. Kantor TPA
Kantor TPA berfungsi sebagai kantor pengendali kegiatan pembuangan akhir mulai dari
penimbangan/ pencatatan sampah yang masuk (sumber, volume/berat, komposisi dan lain-lain),
pengendalian operasi, pengaturan menajemen TPA dan lain-lain. Luas dan konstruksi bangunan
kantor TPA perlu memperhatikan fungsi tersebut. Selain itu juga dapat dilengkapi dengan ruang
laboratorium sederhana untuk analisis kualitas lindi maupun efluen lindi yang akan dibuang
kebadan air penerima.
c. Drainase
Drainase keliling TPA diperlukan untuk menampung air hujan agar tidak masuk ke area
timbunan TPA, selain untuk mencegah tergenangnya area timbunan sampah juga untuk
mengurangi timbulan lindi.
d. Pagar TPA
Pagar TPA selain berfungsi sebagai batas TPA dan keamanan TPA juga dapat berfungsi
sebagai green barrier. Untuk itu maka pagar TPA sebaiknya dibuat dengan menggunakan
tanaman hidup dengan jenis pohon yang rimbun dan cepat tumbuh seperti pohon angsana.
Lapisan dasar kedap air berfungsi untuk mencegah terjadinya pencemaran lindi terhadap
air tanah. Untuk itu maka konstruksi dasar TPA harus cukup kedap, baik dengan menggunakan
lapisan dasar geomembrane/geotextile maupun lapisan tanah lempung dengan kepadatan dan
permeabilitas yang memadai (< 10-6 cm/det). Lapisan tanah lempung sebaiknya terdiri dari 2
lapis masing-masing setebal 30 cm. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya keretakan
akibat kerusakan lapisan pertama karena terekspose cukup lama. Selain itu untuk menghindari
terjadinya keretakan lapisan dasar tanah lempung, maka sebelum dilakukan peninmbunan
sebaiknya lapisan dasar “terlindung” . Sebagai contoh dapat dilakukan penanaman rumput atau
upaya lain yang cukup memadai.
Pipa jaringan pengumpul lindi di dasar TPA berfungsi untuk mengalirkan lindi yang
terbentuk dari timbunan sampah ke kolam penampung lindi. Jaringan pengumpul lindi dapat
berupa pipa PVC berlubang yang dilindungi oleh gravel. Tipe jaringan disesuaikan dengan
kebutuhan seperti luas TPA, tingggi timbunan, debit lindi dan lain-lain. Sebagai contoh :
Instalasi atau kolam pengolahan lindi berfungsi untuk menurunkan kadar pencemar lindi
sampai sesuai dengan ketentuan standar efluen yang berlaku. Mengingat karakteristik lindi
didominasi oleh komponen organik dengan nilai BOD rata-rata 2000 – 10.000 ppm (Qasim,
1994), maka pengolahan lindi yang disarankan minimal dengan proses pengolahan biologi
(secondary treatment). Proses pengolahan lindi perlu memperhatikan debit lindi, karakteristik
lindi dan badan air penerima tempat pembuangan efluen. Hal tersebut berkaitan dengan
pemilihan proses pengolahan, penentuan kapasitas dan dimensi kolam serta perhitungan waktu
detensi.
Secara umum proses pengolahan lindi secara sederhana terdiri dari beberapa tahap
sebagai berikut :
d. Ventilasi Gas
Ventilasi gas berfungsi untuk mengalirkan gas dari timbunan sampah yang terbentuk
karena proses dekomposisi sampah oleh aktivitas mikroorganisme. Tanpa adanya ventilasi yang
memadai, akan dapat menyebabkan tingginya akumulasi gas di timbunan sampah sehingga
sangat mudah terbakar. Gas yang mengalir dan keluar dari pipa ventilasi sebaiknya diolah
sebagai biogas (di negara maju, gas dari landfill dimanfaatkan untuk menghasilkan tenaga
listrik). Tetapi apabila tidak dilakukan pengolahan gas TPA, maka gas yang keluar dari pipa vent
harus dibakar, hal tersebut untuk menghindari terjadinya dampak negatif terhadap pencemaran
udara berupa efek rumah kaca (green house effect).
Pemasangan pipa gas berupa pipa PVC berlubang (vertikal) yang dilindungi oleh casing
yang diisi kerikil, harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan ketinggian lapisan sel sampah.
Letak pipa gas agar berada pada jalur jaringan pipa lindi.
e. Green Barrier
Untuk mengantisipasi penyebaran bau dan populasi lalat yang tinggi, maka perlu dibuat
green barrier berupa area pepohonan disekeliling TPA. Tebal green barrier kurang lebih 10 m
(canopi). Pohon yang cepat tumbuh dan rimbun untuk memenuhi kebutuhan ini antara lain jenis
pohon angsana.
f. Sumur Uji
Sumur uji diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya pencemaran terhadap air tanah yang
disebabkan oleh adanya rembesan lindi dari dasar TPA (dasar TPA tidak kedap, adanya retakan
lapisan tanah, adanya kebocoran geomembran ).
Air bersih di TPA diperlukan untuk pembersihan kendaraan pengangkut sampah (truck),
alat berat, keperluan mandi cuci bagi petugas maupun pengunjung TPA. Selain itu apabila
memungkinkan air bersih juga diperlukan untuk menyiram debu disekitar area penimbunan
secara berkala untuk mengurangi polusi udara.
b. Bengkel
Bengkel di TPA diperlukan untuk pemeliharaan alat berat serta memperbaiki kendaraan
yang mengalami kerusakan ringan yang terjadi di TPA, sehingga tidak sampai mengganggu
operasi pembuangan sampah. Peralatan bengkel harus disesuaikan dengan jenis kerusakan yang
akan ditangani.
c. Jembatan Timbang
Jembatan timbang diperlukan untuk mengetahui berat sampah yang masuk TPA sehingga
masa pakai TPA dapat dikendalikan. Selain itu jembatan timbang tersebut dapat digunakan
sebagai ukuran pembayaran pembuangan sampah per truk (untuk sampah dari sumber tertentu
yang tidak dikenakan retribusi).
C. TAHAP PASCA KONSTRUKSI
Operasi dan pemeliharaan TPA merupakan hal yang paling sulit dilaksanakan dari
seluruh tahapan pengelolaan TPA. Meskipun fasilitas TPA yang ada sudah cukup memadai,
apabila operasi dan pemeliharaan TPA tidak dilakukan dengan baik maka tetap akan terjadi
pencemaran lingkungan.
1 2 3 4 5
6 7 8 9 10
dst
Penerapan sistem sel memerlukan pengaturan lokasi pembuangan sampah yang jelas
termasuk pemasangan rambu-rambu lalu lintas truk sampah , kedisiplinan sopir truk untuk
membuang sampah pada sel yang telah ditentukan dan lain-lain
Pemadatan sampah sedemikian rupa agar dapat mencapai kepadatan 700 kg/m3,
yaitu dengan lintasan alat berat 5 x. Untuk proses pemadatan pada lapis pertama
perlu dilakukan secara hati-hati agar alat berat tidak sampai merusak jaringan pipa
leachate yang dapat menyebabkan kebocoran leachate.
Penutupan tanah dilakukan secara harian ( 20 cm), intermediate ( 30 cm) dan
penutupan tanah akhir (50 cm ). Pemilihan jenis tanah penutup perlu
mempertimbangkan tingkat kekedapannya, diusahakan merupakan jenis yang tidak
kedap. Dalam kondisi penutupan tanah tidak dilakukan secara harian, maka untuk
mengurangi populasi lalat dilakukan penyemprotan insektisida
Pengolahan lindi dikondisikan untuk mengoptimalkan proses pengolahan baik
melalui proses anaerob, aerob, fakultatif, maturasi dan resirkulasi lindi, sehingga
dicapai efluen yang memenuhi standar baku mutu (BOD 30 – 150 ppm)
Pipa ventilasi gas berupa pipa berlubang yang dilindungi oleh kerikil dan casing
dipasang secara bertahap sesuai dengan ketinggian lapisan timbunan sampah
menjadi lindi dan gas berlangsung dalam waktu yang sangat lama 30 tahun (Thobanoglous,
1993), maka lahan bekas TPA direkomendasikan untuk lahan terbuka hijau atau sesuai dengan
rencana tata guna lahannya. Apabila lahan bekas TPA akan digunakan sebagai daerah
perumahan atau bangunan lain, maka perlu memperhitungkan faktor keamanan bangunan secara
maksimal.
Reklamasi lahan bekas TPA disesuaikan dengan rencana peruntukannya terutama yang
berkaitan dengan konstruksi tanah penutup akhir. Untuk lahan terbuka hijau, ketebalan tanah
penutup yang dipersyaratkan adalah 1 m (tergantung jenis tanaman yang akan ditanam),
ditambah lapisan top soil. Sedangkan untuk peruntukan bangunan, persyaratan penutupan tanah
akhir serupa dengan konstruksi jalan dan faktor keamanan sesuai dengan peraturan konstruksi
yang berlaku.
Periode pemantauan sebaiknya dilakukan secara berkala terutama untuk parameter kunci,
sedangkan untuk parameter yang lebih lengkap dapat dilakukan setahun 1-2 kali (musim
kemarau dan hujan).
Menurut Sidik et al. (1985), pengolahan sampah metoda pembuangan akhir dilakukan
dengan teknik penimbunan sampah. Tujuan utama penimbunan akhir adalah menyimpan sampah
padat dengan cara-cara yang tepat dan menjamin keamanan lingkungan, menstabilkan sampah
(mengkonversi menjadi tanah), dan merubahnya kedalam siklus metabolisme alam. Ditinjau dari
segi teknis, proses ini merupakan pengisian tanah dengan menggunakan sampah. Lokasi
penimbunan harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Ekonomis dan dapat menampung sampah yang ditargetkan
b. Mudah dicapai oleh kendaraan-kendaraan pengangkut sampah
c. Aman terhadap lingkungan sekitarnya.
Ada dua teknik yang dikemukakan oleh Salvato (1982) yang termasuk dalam kategori TPA,
yaitu teknik open dumping dan sanitary landfill.
Teknik open dumping
cara pembuangan sampah yang sederhana, yaitu sampah dihamparkan disuatu lokasi dan
dibiarkan terbuka begitu saja. Setelah lokasi penuh dengan sampah, maka ditinggalkan. Teknik
ini sering menimbulkan masalah berupa munculnya bau busuk, menimbulkan pemandangan
tidak indah, menjadi tempat bersarangnya tikus, lalat, dan berbagai kutu lainnya, menimbulkan
bahaya kebakaran, bahkan sering juga menimbulkan masalah pencemaran air. Oleh karena itu,
teknik open dumping sebaiknya tidak perlu dikembangkan, melainkan diganti dengan teknik
sanitary landfill.
Teknik sanitary landfill
cara penimbunan sampah padat pada suatu hamparan lahan dengan memperhatikan
keamanan lingkungan karena telah ada perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini sampah
dihamparkan hingga mencapai ketebalan tertentu lalu dipadatkan untuk kemudian dilapisi
dengan tanah dan dipadatkan kembali. Pada bagian atas timbunan tanah tersebut dapat
dihamparkan lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya
hingga terbentuk lapisan-lapisan sampah dan tanah. Pada bagian dasar dari konstruksi sanitary
landfill dibangun suatu lapisan kedap air yang dilengkapi dengan pipa-pipa pengumpul dan
penyalur air lindi (leachate) serta pipa penyalur gas yang terbentuk dari hasil penguraian
sampah-sampah organik yang ditimbun. Menurut Sidik et al. (1985) penimbunan sampah yang
sesuai dengan persyaratan teknis akan membuat stabilisasi lapisan tanah lebih cepat dicapai.
Dasar dari pelaksanaannya adalah meratakan setiap lapisan sampah, memadatkan sampah
dengan menggunakan compactor, dan menutupnya setiap hari dengan tanah yang juga
dipadatkan. Ketebalan lapisan sampah umumnya sekitar 2 meter, namun boleh juga lebih atau
kurang dari 2 meter bergantung pada sifat sampah, metoda penimbunan, peralatan yang
digunakan, topografi lokasi penimbunan, pemanfaatan tanah bekas penimbunan, kondisi
lingkungan sekitarnya, dan sebagainya.
Adapun fungsi lapisan penutup tersebut sebagai berikut :
a. Mencegah berkembangnya vektor penyakit
b. Mencegah penyebaran debu dan sampah ringan
c. Mencegah tersebarnya bau dan gas yang timbul
d. Mencegah kebakaran
e. Menjaga agar pemandangan tetap indah
f. Menciptakan stabilisasi lokasi penimbunan sampah
g. Mengurangi volume lindi
Hal yang sangat penting diperhatikan sehubungan dengan pembangunan TPA dengan teknik
sanitary landfill adalah kemungkinan timbulnya pencemaran lingkungan di areal TPA tersebut.
Sidik et al. (1985) mengatakan bahwa ada beberapa jenis pencemaran di lahan penimbunan
sampah (TPA) yaitu :
a. Air lindi, yang keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air hujan ke
dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen-komponen hasil penguraian
sampah;
b. Pembentukan gas. Penguraian bahan organik secara aerobik akan meghasilkan gas CO2,
sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan menghasilkan gas CH4, H2S,
dan NH3. Gas CH4 perlu ditangani karena merupakan salah satu gas rumah kaca serta sifatnya
mudah terbakar. Sedangkan gas H2S, dan NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.
Pengomposan (Composting)
Uraian mengenai proses pengomposan berikut ini bersumber dari Suriawiria (1996).
Pengomposan merupakan salah satu contoh proses pengolahan sampah secara aerobik dan
anaerobik yang merupakan proses saling menunjang untuk menghasilkan kompos. Sampah yang
dapat digunakan dengan baik sebagai bahan baku kompos adalah sampah organik, karena mudah
mengalami proses dekomposisi oleh mikroba-mikroba. Proses dekomposisi senyawa organik
oleh mikroba merupakan proses berantai. Senyawa organik yang bersifat heterogen bercampur
dengan kumpulan jasad hidup yang berasal dari udara, tanah, air, dan sumber lainnya, lalu di
dalamnya terjadi proses mikrobiologis. Beberapa hal yang harus diperhatikan agar proses
tersebut berjalan lancar adalah perbandingan nitrogen dan karbon (C/N rasio) di dalam bahan,
kadar air bahan, bentuk dan jenis bahan, temperatur, pH, dan jenis mikroba yang berperan
didalamnya. Indikator yang menunjukkan bahwa proses dekomposisi senyawa organik berjalan
lancar adalah adanya perubahan pH dan temperatur. Proses dekomposisi akan berjalan dalam
empat fase, yaitu mesofilik, termofilik, pendinginan, dan masak. Hubungan diantara keempat fase
tersebut sebagai berikut:
a. Pada proses permulaan, media mempunyai nilai pH dan temperatur sesuai dengan kondisi
lingkungan yang ada, yaitu pH + 6.0 dan temperatur antara 18 - 22C;
b. Sejalan dengan adanya aktifitas mikroba (khususnya bakteri indigenousi) di dalam bahan,
maka temperatur mulai naik, dan akhirnya akan dihasilkan asam organik;
c. Pada kenaikan temperatur diatas 40C, aktifitas bakteri mesofilik akan terhenti, kemudian
diganti oleh kelompok termofilik. Bersamaan dengan pergantian ini, amoniak dan gas nitrogen
akan dihasilkan, sehingga nilai pH akan berubah kembali menjadi basa;
d. Kelompok jamur termofilik, yang terdapat selama proses, akan mati akibat kenaikan
temperatur diatas 60C. Selanjutnya akan diganti oleh kelompok bakteri dan actinomycetes
termofilik sampai batas temperatur + 86C.
e. Jika temperatur maksimum sudah tercapai serta hampir seluruh kehidupan di dalamnya
mengalami kematian, maka temperatur akan turun kembali hingga mencapai kisaran temperatur
asal. Fase ini disebut fase pendinginan dan akhirnya terbentuklah kompos yang siap digunakan.
.
2.1.3 Alat Pelindung diri sebagai faktor yang mempengaruhi Kondisi kesehatan
Pekerja/pemulung
2.2 Hasil Observasi
Pada tanggal 4 januari 2012 pukul 09.45 dimana kami melakukan observasi guna
mengetahui apakah lokasi serta proses pengolahan bahkan pekerja pada TPA di km 11 (Ganet)
telah memenuhi criteria dalam tinjauan pustaka yang telah kami paparkan.
TPA ganet memiliki luas sekita 12 hektar dan terletak sekitar 500 m dari pemukiman
pemulung dan 2 km dari perumahan Ganet dimana terdiri dari beberapa zona penampung
sampah padat,zona penampung limbah tinja, serta zona penampung air lindi/leachete.
Setiap jenis sampah/limbah yang ditampung pada lokasi TPA ini mendapatkan perlakuan
yang berbeda diantaranya yaitu :
Sampah padat terbagi menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Jenis sampah
anorganik diambil oleh pemulung untuk dijadikan mata pencarian dimana pemulung dapat
menukarkan sampah anorganik ini dengan uang kepada pihak yang melakukan aktivitas daur
ulang dan sampah organik ditampung oleh pihak TPA untuk dilakukan perlakuan
pengkomposan. Sisa dari sampah yang tidak dapat di daur ulang kembali dilakukan
perlakuan perlakuan dimana TPA memakai teknik semi sanitary landfill yaitu teknik sanitary
landfill yang tidak begitu sempurna, sampah yang telah ditimbun dipasang pipa-pipa untuk
mengeluarkan gas-gas hasil peguraian sampah yang dikeluarkan bebas ke udara memiliki
ukuran kedalaman sebesar 3 m danjarak setiap pipa 5 m serta pemasangan pipa-pipa air lindi
untuk dialirkan ke bak penampungan air lindi .
Kompos yang telah jadi ini sebagian digunakan pihak TPA dan sebagian dijual pada masyarakat
yang ingin membelinya dimana :
Aspek Kesehatan
Setelah ditelusuri dari beberapa responden, mereka hanya sering mengalami gejala ISPA
seperti pilek, batuk dan sebagainya. Ini dipengaruhi oleh tidak adanya pemakaian masker dalam
melakukan aktivitas pengumpulan sampah oleh pemulung tersebut. Bila mereka terkena penyakit
mereka jarang sekali untuk memeriksa kondisi ke puskesmas maupun rumah sakit dikarenakan
mereka tidak memiliki cukup uang untuk melakukan pemeriksaan mereka hanya mengonsumsi
obat-obatan yang biasa dipublikasikan di media iklan sesuai gejala yang mereka rasakan.
Pada lokasi TPA Ganet ini juga tidak adanya pemeriksaan kesehatan secara berkala oleh
pihak pelayanan kesehatan setempat.
Kebutuhan air
Apabila di jam makan siang para pemulung mendapatkan air untuk mencuci tangan
mereka dari sisa2 air dalam aqua. Pada pemukiman mereka sumber-sumber air dari sumur
dan menurut mereka bahwa air yangberada pada sumber air sumur pada lokasi jernih,dan
tidak berbau.
Kondisi Vektor
Kondisi vektor pada lokasi TPA biasanya terdapat vector nyamuk dan lalat kondisi
biasanya stabil menurut pemulung dan sangat jarang bahkan tidak pernah dilakukan nya
penyemprotan pada lokasi TPA ganet ini.