PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit jantung koroner merupakan kasus utama penyebab kematian dan
kesakitan pada manusia. Meskipun tindakan pencegahan sudah dilakukan seperti
pengaturan makanan (diet), menurunkan kolesterol dan perawatan berat badan, diabetes
dan hipertensi, penyakit jantung koroner ini tetap menjadi masalah utama kesehatan.
Masalah utama pada penyakit jantung koroner adalah aterosklerosis koroner. Merupakan
penyakit progresif yang terjadi secara bertahap yaitu penebalan dinding arteri koroner.
Aterosklerosis koroner dianggap sebagai proses pasif karena sebagian besar dihasilkan
oleh kolesterol yang berada pada dinding arteri.Penyakit jantung koroner merupakan
pembunuh nomor satu di negara-negara maju dan dapat juga terjadi di negara-negara
berkembang. Organisasi kesehatan duina (WHO) telah mengemukakan fakta bahwa
penyakit jantung koroner (PJK) merupakan epidemi modern dan tidak dapat dihindari
oleh faktor penuaan. Diperkirakan bahwa jika insiden PJK mencapai nol maka dapat
meningkatkan harapan hidup 3 sampai 9%. Gambaran kasus di atas menunjukkan
pentingnya penyakit ini yang belum mendapat perhatian mengenai besarnya resiko
seseorang, ketidakmampuan, hilangnya pekerjaan, dan pada saat masuk rumah sakit.
Pada dekade sekarang sejak konferensi klinis terakhir oleh New York Heart Association
atau asosiasi kesehatan New York menyatakan subjek ini, dari sejumlah loka karya telah
mengeluarkan informasi baru yang penting mengenai penyakit ini, cara pencegahan dan
kontrol. Hal ini dinyatakan dalam besarnya perubahan yang jelas secara klinis dari PJK
dan banyaknya faktor yang mungkin relevan, besarnya jumlah pasien yang ikut,
kelompok yang akan termasuk dalam semua kasus PJK yang timbul pada populasi umum
dengan karakteristik jelas.
Indonesia saat ini menghadapi masalah kesehatan yang kompleks dan beragam.
Tentu saja mulai dari infeksi klasik dan modern, penyakit degeneratif serta penyakit
psikososial yang menjadikan Indonesia saat ini yang menghadapi “ threeple burden
diseases”. Namun tetap saja penyebab angka kematian terbesar adalah akibat penyakit
jantung koroner – “the silence killer”. Tingginya angka kematian di Indonesia akibat
penyakit jantung koroner (PJK) mencapai 26%. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga Nasional (SKRTN), dalam 10 tahun terakhir angka tersebut cenderung
mengalami peningkatan. Pada tahun 1991, angka kematian akibat PJK adalah 16 %.
Kemudian di tahun 2001 angka tersebut melonjak menjadi 26,4 %. Angka kematian
akibat PJK diperkirakan mencapai 53,5 per 100.000 penduduk Indonesia.
Untuk itu perawat juga memiliki tanggung jawab untuk membangun
penyembuhan . Salah satu peran perawat untuk membangun penyembuhan kepada pasien
yang mengidap PJK d Rumah Sakit adalah melakukan intervensi intervensi keperawatan
yang membuat lingkungan pasien menjadi tenang. Karna pada pasien yang mengalami
PJK mengalami kecemasan yang besar terhadap penyakitnya. Salah satu fitur dari
lingkungan tersebut yang dapat menenangkan adalahMusic. intervensi ini dapat
membantu pasien fokus untuk mempromosikan relaksasi. Musikintervensi adalah
intervensi keperawatan untuk memfasilitasi penyembuhan melalui pra-rekaman musik,
didefinisikan sebagai "sumber yang mendukung suara lingkungan yang merangsang dan
memelihara relaksasi dan mengurangi atau kontrol tekanan oleh diri seorang. Penggunaan
mendengarkan pra- rekaman musik juga telah didefinisikan sebagai "Music obat"
.Intervensi musik sebagai intervensi sesi tunggal dapat mengurangi kecemasan pada
pasien dirawat di rumah sakit. Bukti menunjukkan bahwa mendengarkan musik
memodulasi emosional gairah sebagai indeks oleh perubahan kardiovaskular dan
aktivitas pernafasan . Ini juga telah menyarankan bahwa musik mengarahkan perhatian
dari pengalaman negatif, sehingga membantu individu mengatasi stres emosional. Di
sebuah kordinasi baru-baru ini meninjau telah dilaporkan musik yang di dengarkan
mungkin memiliki efek menguntungkan pada tekanan darah, denyut jantung, tingkat
pernapasan, kecemasan, dan rasa sakit pada subyek dengan penyakit jantung koroner.
Namun, kualitas bukti tidak kuat dan signifikansi klinis tidak jelas. Beberapa studi
sebelumnya telah dievaluasi sebelum dan selama angiografi koroner dan intervensi
perkutan koroner (PCI) .Buffum et al, melaporkan tingkat yang lebih rendah dari
kecemasan dan denyut jantung berkurang ketika pasien mendengarkan musik sebelum
angiografi pembuluh darah. musik di pilih sendiri,termasuk lima kategori musik; klasik,
jazz, rock, negara Barat, dan dua lainnya studi tidak menemukan efek musik sebelum
jantung kateterisasi sehubungan dengan kecemasan, denyut jantung, dan Tingkat
pernapasan atau ketidakpastian dan suasana hati. Dalam sebuah studi oleh Bally et al,
mereka melaporkan tidak ada efek musik pada nyeri pasca prosedural dan kecemasan.
mendengarkan rekaman kaset itu dipilih sendiri dengan musik sebelum, selama, dan
setelah angiografi koroner. ini jelas apakah subjek yang dipilih musik sepenuhnya pada
mereka sendiri atau dari daftar; serta apa genre musik yang digunakan dalam penelitian
ini. Intervensi musik selama angiografi koroner memiliki respon baik positif dan tidak
ada efek.
.
2. Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan kepeawatan kepada pasien dengan penyakit jantung
koroner (PJK)
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian penyakit jantung koroner
2. Untuk mengetahui Etiologipenyakit jantung koroner
3. Untuk mengetahui penyebab penyakit jantung koroner
4. Untuk mengetahui gejala penyakit jantung koroner
5. Untuk mengetahui penanggulangan penyakit jantung koroner
6. Untuk mengetahui pencegahan penyakit jantung koroner
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
a. Penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung akibat adanya kelainan pada
pembuluh koroner yakni pembuluh nadi yang mengantarkan darahke aorta ke
jaringan yang melindungi rongga-rongga jantung (Yenrina, Krisnatuti, 1999).
b. Penyakit jantung koroner dalam suatu keadaan akibat terjadinya penyempitan,
penyumbatan atau kelainan pembuluh nadi koroner. Penyakit jantung koroner
diakibatkan oleh penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah koroner.
Penyempitan atau penyumbutan ini dapat menghentikan aliran darah ke otot
jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri (Yenrina, Krisnatuti, 1999).
c. Penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung akibat adanya kelainan pada
pembuluh koroner yakni pembuluh nadi yang mengantarkan darahke aorta ke
jaringan yang melindungi rongga-rongga jantung (Kartohoesodo, 1982).
jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang ruang terletak
rongga dada, di bawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri stemum
(Elizabeth J.Corwin, 2009, 441).
B. Etiologi
Penyebab jantung koroner adalah karena penumpukan zat lemak secara
berlebihan di lapisan dinding nadi pembuluh koroner, yang dipengaruhi oleh pola
makan yang kurang sehat. Kecanduan rokok, hipertensi, kolesterol tinggi juga
dapat menjadi penyebab penyakit jantung koroner. Salah satu penyebab utamanya
adalah aterosklerosis koroner yaitu proses penimbunan lemak dan jaringan fibrin,
gangguan fungsi dan struktur pembuluh darah yang mengakibatkan berkurangnya
aliran darah ke miokard. Aterosklerosis adalah penyakit arteri yang berkembang
secara perlahan, dengan penebalan tunika intima yang terjadi akibat disfungsi
endotel, inflamasi vaskular, terbentuknya lipid kolesterol, kalsium, dan debris
seluler pada dinding pembuluh darah. Pembentukan ini akan menghasilkan plak,
remodelling pembuluh darah, obstruksi lumen pembuluh darah akut dan kronik,
abnormalitas aliran darah dan menurunnya suplai oksigen ke organ target. Adanya
aterosklerosis koroner dimana terjadi kelainan pada intima bermula berupa bercak
fibrosa (fibrous plaque) dan selanjutnya terjadi ulserasi, pendarahan, kalsifikasi
dan trombosis. Perjalanan dalam kejadian aterosklerosis tidak hanya disebabkan
oleh faktor tunggal, akan tetapi diberati juga banyak faktor lain seperti :
hipertensi, kadar lipid, rokok, kadar gula darah yang abnormal.
C. Patofisiologi
Aterosklerosis atau pengerasan arteri adalah kondisi pada arteri besar dan kecil yang
ditandai penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit dan makrofag di
seluruh kedalaman tunika intima (lapisan sel endotel), dan akhirnya ke tunika media
(lapisan otot polos). Arteri yang paling sering terkena adalah arteri koroner, aorta dan
arteri-arteri sereberal. Langkah pertama dalam pembentukan aterosklerosis dimulai
dengan disfungsi lapisan endotel lumen arteri, kondisi ini dapat terjadi setelah cedera
pada sel endotel atau dari stimulus lain, cedera pada sel endotel meningkatkan
permeabelitas terhadap berbagai komponen plasma, termasuk asam lemak dan
triglesirida, sehingga zat ini dapat masuk kedalam arteri, oksidasi asam lemak
menghasilkan oksigen radikal bebas yang selanjutnya dapat merusak pembuluh darah.
Cedera pada sel endotel dapat mencetuskan reaksi inflamasi dan imun, termasuk
menarik sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit, serta trombosit ke area
cedera, sel darah putih melepaskan sitokin proinflamatori poten yang kemudian
memperburuk situasi, menarik lebih banyak sel darah putih dan trombosit ke area lesi,
menstimulasi proses pembekuan, mengaktifitas sel T dan B, dan melepaskan senyawa
kimia yang berperan sebagai chemoattractant (penarik kimia) yang mengaktifkan
siklus inflamasi, pembekuan dan fibrosis. Pada saat ditarik ke area cedera, sal darah
putih akan menempel disana oleh aktivasi faktor adhesif endotelial yang bekerja
seperti velcro sehingga endotel lengket terutama terhadap sel darah putih, pada saat
menempel di lapisan endotelial, monosit dan neutrofil mulai berimigrasi di antara sel-
sel endotel keruang interstisial. Di ruang interstisial, monosit yang matang menjadi
makrofag dan bersama neutrofil tetap melepaskan sitokin, yang meneruskan siklus
inflamasi. Sitokin proinflamatori juga merangsan ploriferasi sel otot polos yang
mengakibatkan sel otot polos tumbuh di tunika intima. Selain itu kolesterol dan lemak
plasma mendapat akses ke tunika intima karena permeabilitas lapisan endotel
meningkat, pada tahap indikasi dini kerusakan teradapat lapisan lemak diarteri.
Apabila cedera dan inflamasi terus berlanjut, agregasi trombosit meningkat dan mulai
terbentuk bekuan darah (tombus), sebagian dinding pembuluh diganti dengan jaringan
parut sehingga mengubah struktur dinding pembuluh darah, hasil akhir adalah
penimbunan kolesterol dan lemak, pembentukan deposit jaringan parut, pembentukan
bekuan yang berasal dari trombosit dan proliferasi sel otot polos sehingga pembuluh
mengalami kekakuan dan menyempit. Apabila kekakuan ini dialami oleh arteri-arteri
koroner akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap
peningkatan kebutuhan oksigen, dan kemudian terjadi iskemia (kekurangan suplai
darah) miokardium dan sel-sel miokardium sehingga menggunakan glikolisis anerob
untuk memenuhi kebutuhan energinya. Proses pembentukan energi ini sangat tidak
efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat sehinga menurunkan pH
miokardium dan menyebabkan nyeri yang berkaitan dengan angina pectoris. Ketika
kekurangan oksigen pada jantung dan sel-sel otot jantung berkepanjangan dan
iskemia miokard yang tidak tertasi maka terjadilah kematian otot jantung yang di
kenal sebagai miokard infark (Corwin, 2009).
D. Tanda dan Gejala
Gejala PJK yang biasanya timbul adalah:
1. Dada terasa sakit, terasa tertimpa beban, terjepit, diperas, terbakar dan tercekik.
Nyeri terasa di bagian tengah dada, menjalar ke lengan kiri, leher, bahkan
menembus ke punggung. Nyeri dada merupakan keluhan yang paling sering
dirasakan oleh penderita PJK.
2. Sesak nafas
3. Takikardi
4. Jantung berdebar-debar
5. Cemas
6. Gelisah
7. Pusing kepala yang berkepanjangan
8. Sekujur tubuhnya terasa terbakar tanpa sebab yang jelas
9. Keringat dingin
10. Lemah
11. Pingsan
12. Bertambah berat dengan aktivitas
E. Faktor Resiko
Faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua
atau lebih faktor risiko yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable
factors) dan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable factors), Faktor yang dapat
dimodifikasi yaitu; merokok, aktivitas fisik, diet, dislipidemia, obesitas, hipertensi
dan DM. Sedangkan faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin,
suku/ras, dan riwayat penyakit keluarga (Bender et al, 2011)
F. Pencegahan
Untuk berhasilnya upaya pencegahan PJK, tidak hanya diperlukan tenaga medis
semata, namun perlu adanya kerja-sama dengan penderita, niat yang kuat dari
penderita, kesadaran keluarga, lingkungan dan pekerjaan sangat penting untuk
berhasilnya usaha ini. Pencegahan yang berhasil akan dapat menghemat biaya dari
pemondokan di rumah sakit, tindakan intervensi jantung baik untuk diagnosa maupun
terapi bahkan tindakan operasi jantung dan belum lagi menurunnya kemampuan fisik
setelah menderita serangan jantung (Martohusodo, 2007). Penanggulanagan PJK baik
dengan obat-obatan atau dengan tindakan lain belum memberi hasil yang
memuaskan. Oleh sebab itu, usaha pencegahan adalah yang paling penting untuk
menaggulang PJK. Pencegahan PJK dapat dibagi menjadi Pencegahan primer dan
pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah usaha menjaga agar orang tidak
menderita PJK, usah pencegahan ini harus sudah di mulai sejak dini, yaitu pada masa
remaja karena seperti yang telah di ketahui bahwa fatty streat atau proses awal
aterosklerosis sudah ditemukan pada usia remaja, sedangkan Pencegahan sekunder
adalah usaha yang dilakukan agar tidak terjadi serangan jantung dengan segala
komplikasinya bagi mereka yang sudah terkena PJK. Berhubung aterosklerosis pada
arteri koroner dipicu oleh berbagai faktor risiko seperti stres, tekanan darah tinggi,
DM dan lain-lain yang semuanya dapat diperoleh
dengan mengubah gaya hidup yang meterialistis, konsumtif dan hedonistis (Kabo,
2008).
Dalam pencegahan PJK ada 4 tingkatan yaitu:
1. Pencegahan Primordial (Pre Primary Prevention)
Pencegahan primordial adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah
munculnya faktor predisposisi PJK pada suatu wilayah dimana belum tampak
adanya faktor yang menjadi risiko PJK (Bustam, 2007). Dalam Noor (1997),
Upaya pencegahan primordial dapat berupa kebijaksanaan nutrisi nasional
dalam sektor agrokultural, industri makanan, impor dan ekspor makanan,
penanganan konprehensif rokok, pencegahan hipertensi dan promosi aktivitas
fisik/olah raga (Nasution, 2012).
2. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Pencegahan primer adalah upaya awal pencegahan PJK sebelum seseorang
menderita. Dilakukan dengan pendekatan komuniti berupa penyuluh faktor
risiko PJK terutama pada kelompok risiko tinggi. Pencegahan primer
ditujukan kepada pencegahan terhadap berkembangnya proses atherosklerosis
secara dini (Bustam, 2007).
3. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan pada penderita yang sudah
tekena PJK agar tidak berulang atau menjadi lebih berat. Disini diperlukan
perubahan pola hidup (terhadap faktor-faktor yang dapat dikendalikan) dan
kepatuhan berobat bagi mereka yang sudah menderita PJK. Pencegahan
tingkat ketiga ini ditujukan untuk mempertahankan nilai prognostik yang lebih
baik dan menurunkan mortalitas (Bustam, 2007).
4. Pencegahan Tersier (Tertiary Prevention)
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat atau kematian. Pencegahan dalam tingkatan ini
berupa rehabilitasi jantung, program rehabilitasi jantung ditujukan kepada
penderita PJK, atau pernah mengalami serangan jantung atau pasca operasi
jantung (Bustam, 2007).
G. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendiagnosa PJK secara lebih tepat maka dilakukan pemeriksaan penunjaung
diantaranya:
a. EKG
EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis, rekaman yang dilakukan
saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari EKG adalah :
1. Depresi segmen ST > 0,05 mV
2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang
simetris di sandapan prekordial. Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch
block (BBB) dan aritmia jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus
dibuat jika ditemukan adanya perubahan segmen ST, namun EKG yang normal
pun tidak menyingkirkan diagnosis APTS/NSTEMI. Pemeriksaaan EKG 12
sadapan pada pasien SKA dapat mengambarkan kelainan yang terjadi dan ini
dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut dengan berbagai ciri dan
katagori:
1. Angina pektoris tidak stabil; depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak dijumpai
gelombang Q
2. Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam (Kulick,
2014).
b. Chest X-Ray
Chest X-Ray (foto dada) Thorax foto mungkin normal atau adanya kardiomegali,
CHF (gagal jantung kongestif) atau aneurisma ventrikiler (Kulick, 2014).
c. Latihan tes stres jantung (treadmill)
Treadmill merupakan pemeriksaan penunjang yang standar dan banyak digunakan
untuk mendiagnosa PJK, ketika melakukan treadmill detak jantung, irama jantung,
dan tekanan darah terus-menerus dipantau, jika arteri koroner mengalami
penyumbatan pada saat melakukan latihan maka ditemukan segmen depresi ST pada
hasil rekaman (Kulick, 2014).
d. Ekokardiogram
Ekokardiogram menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambar jantung,
selama ekokardiogram dapat ditentukan apakah semua bagian dari dinding jantung
berkontribusi normal dalam aktivitas memompa. Bagian yang bergerak lemah
mungkin telah rusak selama serangan jantung atau menerima terlalu sedikit oksigen,
ini mungkin menunjukkan penyakit arteri koroner (Mayo Clinik, 2012).
e. Kateterisasi jantung atau angiografi
Kateterisasi jantung atau angiografi adalah suatu tindakan invasif minimal dengan
memasukkan kateter (selang/pipa plastik) melalui pembuluh darah ke pembuluh
darah koroner yang memperdarahi jantung, prosedur ini disebut kateterisasi jantung.
Penyuntikkan cairan khusus ke dalam arteri atau intravena ini dikenal sebagai
angiogram, tujuan dari tindakan kateterisasi ini adalah untuk mendiagnosa dan
sekaligus sebagai tindakan terapi bila ditemukan adanya suatu kelainan (Mayo Clinik,
2012).
f. CT scan (Computerized tomography Coronary angiogram)
Computerized tomography Coronary angiogram/CT Angiografi Koroner adalah
pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk membantu memvisualisasikan arteri
koroner dan suatu zat pewarna kontras disuntikkan melalui intravena selama CT scan,
sehingga dapat menghasilkan gambar arteri jantung, ini juga disebut sebagai ultrafast
CT scan yang berguna untuk mendeteksi kalsium dalam deposito lemak yang
mempersempit arteri koroner. Jika sejumlah besar kalsium ditemukan, maka
memungkinkan terjadinya PJK (Mayo Clinik, 2012).
g. Magnetic resonance angiography (MRA)
Prosedur ini menggunakan teknologi MRI, sering dikombinasikan dengan
penyuntikan zat pewarna kontras, yang berguna untuk mendiagnosa adanya
penyempitan atau penyumbatan, meskipun pemeriksaan ini tidak sejelas pemeriksaan
kateterisasi jantung (Mayo Clinik, 2012).
h. Pemeriksaan biokimia jantung (profil jantung) Petanda biokimia seperti troponin I
(TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari pada
CKMB. Troponin C, TnI dan TnT berkaitan dengan konstraksi dari sel miokrad.
Susunan asam amino dari Troponin C sama dengan sel otot jantung dan rangka,
sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk
memprediksi risiko kematian, infark miokard dan kebutuhan revaskularisasi dalam 30
hari. Kadar serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB merupakan indikator penting
dari nekrosis miokard, risiko yang lebih buruk pada pasien tanpa segment elevasi ST
namun mengalami peningkatan nilai CKMB
H. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Identitas Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan,
pendidikan, alamat, tanggal MRS dan diagnosa medis. (Wantiyah,2010: hal 17)
2. Keluhan utama Pasien pjk biasanya merasakan nyeri dada dan dapat dilakukan
dengan skala nyeri 0-10, 0 tidak nyeri dan 10 nyeri palig tinggi. Pengakajian nyeri
secara mendalam menggunakan pendekatan PQRST, meliputi prepitasi dan
penyembuh, kualitas dan kuatitas, intensitas, durasi, lokasi,
radiasi/penyebaran,onset.(Wantiyah,2010: hal 18)
3. Riwayat kesehatan lalu Dalam hal ini yang perlu dikaji atau di tanyakan pada klien
antara lain apakah klien pernah menderita hipertensi atau diabetes millitus, infark
miokard atau penyakit jantung koroner itu sendiri sebelumnya. Serta ditanyakan
apakah pernah MRS sebelumnya. (Wantiyah,2010: hal 17)
4. Riwayat kesehatan sekarang Dalam mengkaji hal ini menggunakan analisa systom
PQRST. Untuk membantu klien dalam mengutamakan masalah keluannya secara
lengkap. Pada klien PJK umumnya mengalami nyeri dada. (Wantiyah,2010: hal 18)
5. Riwayat kesehatan keluarga Mengkaji pada keluarga, apakah didalam keluarga
ada yang menderita penyakit jantung koroner. Riwayat penderita PJK umumnya
mewarisi juga faktor-faktor risiko lainnya, seperti abnormal kadar kolestrol, dan
peningkatan tekanan darah. (A.Fauzi Yahya 2010: hal 28)
6. Riwayat psikososial Pada klien PJK biasanya yang muncul pada klien dengan
penyakit jantung koroner adalah menyangkal, takut, cemas, dan marah,
ketergantungan, depresi dan penerimaan realistis. (Wantiyah,2010: hal 18)
7. Pola aktivitas dan latihan Hal ini perlu dilakukan pengkajian pada pasien dengan
penyakit jantung koroner untuk menilai kemampuan dan toleransi pasien dalam
melakukan aktivitas. Pasien penyakit jantung koroner mengalami penurunan
kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.(Panthee & Kritpracha, 2011:hal
15)
8. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum Keadaan umum klien mulai pada saat pertama kali bertemu
dengan klien dilanjutkan mengukur tanda-tand vital. Kesadaran klien juga
diamati apakah kompos mentis, apatis, samnolen, delirium, semi koma atau
koma. Keadaan sakit juga diamati apakah sedang, berat, ringan atau tampak
tidak sakit.
b. Tanda-tanda vital Kesadaran compos mentis, penampilan tampak obesitas,
tekanan darah 180/110 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit, frekuensi nafas 20
kali/menit, suhu 36,2
C. (Gordon, 2015: hal 22) c. Pemeriksaan fisik persistem
1) Sistem persyarafan, meliputi kesadaran, ukuran pupil, pergerakan
seluruh ekstermitas dan kemampuan menanggapi respon verbal
maupun non verbal. (Aziza, 2010: hal 13)
2) Sistem penglihatan, pada klien PJK mata mengalami pandangan
kabur.(Gordon, 2015: hal 22)
3) Sistem pendengaran, pada klien PJK pada sistem pendengaran
telinga , tidak mengalami gangguan. (Gordon, 2015:hal 22)
4) Sistem abdomen, bersih, datar dan tidak ada pembesaran hati.
(Gordon, 2015:hal 22)
5) Sistem respirasi, pengkajian dilakukan untuk mengetahui secara
dinit tanda dan gejala tidak adekuatnya ventilasi dan oksigenasi.
Pengkajian meliputi persentase fraksi oksigen, volume tidal, frekuensi
pernapasan dan modus yang digunakan untuk bernapas. Pastikan
posisi ETT tepat pada tempatnya, pemeriksaan analisa gas darah dan
elektrolit untuk mendeteksi hipoksemia. (Aziza, 2010: hal 13)
6) Sistem kardiovaskuler, pengkajian dengan tekhnik inspeksi,
auskultrasi, palpasi, dan perkusi perawat melakukan pengukuran
tekanan darah; suhu; denyut jantung dan iramanya; pulsasi prifer; dan
tempratur kulit. Auskultrasi bunyi jantung dapat menghasilkan bunyi
gallop S3 sebagai indikasi gagal jantung atau adanya bunyi gallop S4
tanda hipertensi sebagai komplikasi. Peningkatan irama napas
merupakan salah satu tanda cemas atau takut (Wantiyah,2010: hal 18)
7) Sistem gastrointestinal, pengkajian pada gastrointestinal meliputi
auskultrasi bising usus, palpasi abdomen (nyeri, distensi).
(Aziza,2010: hal 13) 8) Sistem muskuluskeletal, pada klien PJK
adanya kelemahan dan kelelahan otot sehinggah timbul ketidak
mampuan melakukan aktifitas yang diharapkan atau aktifitas yang
biasanya dilakukan. (Aziza,2010: hal 13)
9) Sistem endokrin, biasanya terdapat peningkatan kadar gula darah.
(Aziza,2010: hal 13)
10) Sistem Integumen, pada klien PJK akral terasa hangat, turgor
baik. (Gordon, 2015:hal 22)
11) Sistem perkemihan, kaji ada tidaknya pembengkakan dan nyeri
pada daerah pinggang, observasi dan palpasi pada daerah abdomen
bawah untuk mengetahui adanya retensi urine dan kaji tentang jenis
cairan yang keluar . (Aziza,2010: hal 13)
b. Chest X-Ray (foto dada) Thorax foto mungkin normal atau adanya
kardiomegali, CHF (gagal jantung kongestif) atau aneurisma ventrikiler
(Kulick, 2014: hal 42).
b. Diagnosa Keperawatan
f. perilaku distrasi
g. perilaku ekspresif
i. fokus menyempit
b. Gangguan Preload
c. Gangguan Afterload
d. Gangguan kontraktilitas
b. Frekuensi jantung atau tekanan darah tidak normal sebagai respon terhadap
aktivitas
c. Tingkat nyeri keparahan yang dapat di amati atau dilaporkan Intervensi NIC :
o Pemberian Analgesik
o Manajemen medikasi
o Manajemen nyeri
o Bantuan analgesia yang dikendalikan oleh pasien
o Manajemen sedasi
Aktivitas Keperawatan
Pengkajian
Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk
mengumpulkan informasi pengkajian
Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 sampai
10 (0=tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan, 10=nyeri hebat)
Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaan nyeri oleh analgesik dan
kemungkinan efek sampingnya
Kaji dampak agama, budaya, kepercyaan, dan lingkungan terhadap nyeri dan
repons pasien
Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata kata sesuai usia dan tingkat
perkembanagan pasien
Manajemen nyeri NIC : (a) Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif
meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi dan kualitas dan
intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya (b) Observasi isyarat
nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka yag tidak mampu
berkomunikasi efektif
1) Sertakan dalam intruksi pemulangan pasien obat khusus yang harus di minum,
frekuensi pemberian, kemungkinan efeksamping, kemungkinan interaksi obat,
kewaspadaan khusus saat mengkonsumsi oabat tersebut (misalnya, pembatasan
aktivitas fisik, pembatasan diet), dan nama orang yang harus dihubungi bila
mengalami nyeri membandel.
c. Aktivitas kolaboratif 1) Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiat
yang terjadwal (misalnya, setiap 4 jam selama 36 jam) atau PCA 2) Manajement
nyeri NIC : (a) Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih
berat (b) Laporkan kepada dokter jika tindakan berhasil (c) Laporkan kepada dokter
jika tindakn tidak berhasil atau jika keluhan saat ini merupakan perubahan yang
bermakna dari pengalaman nyeri pasien di maa lalu.
Tujuan: penurunan curah jantung tidak sensitif terhadap isu keperawatan. Oleh
sebab itu, perawat sebaiknya tidak bertindak secara mandiri untuk melakukannya;
upaya kolaboratif perlu dan penting dilakukan. Kriteria Hasil NOC :
c. Status sirkulasi : tingkat pengaliran darah yang tidak terhambat, satu arah, dan
pada tekanan yang sesuai melalui pembuluh darah besar aliran sistemik dan
pulmonal.
g. Perfusi jaringan: Perifer: keadekutan aliran darah yang melalui pembuluh darah
kecil ekstremitas untuk mempertahankan fungsi jaringan
i. Status tanda vital: tingkat suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah dalam
rentang normal. Intervensi NIC : a. Reduksi perdarahan
b. Perawatan jantung
j. Regulasi Hemodinamik
k. Pengendalian Hemoragi
m. Pemantauan Neurologis
REVIEW JURNAL
PEMBAHASAN
jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang ruang terletak
rongga dada, di bawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri stemum
(Elizabeth J.Corwin, 2009, 441).Jantung sehat berfungsi dengan baik dan memompa
darah ke seluruh tubuh, otot jantung membutuhkan penyedian darah yang cukup untuk
memenuhi keperluan hidup sehari-hari seperti berjalan kaki dan gerak badan. Dengan
tubuh yang semakin tua dan memburuk oleh bermacam-macam factor risiko seperi
tekanan darah, tinggi, merokok dan konsentrasi kolesterol darah yang abnormal,
pembuluh menjadi using, dan pembuluh arteri koroner menjadi sempit dan tersumbat
persis seperti karatan pada korosi pipa air.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit yng menyerang organ jantung.
Gejala dan keluhan dari PJK hampir sama dengan gejala yang dimiliki oleh penyakit
jantung secara umum. Penyakit jantung koroner juga salah satu penyakit yang tidak
menular. Kejadian PJK terjadi karena adanya faktor resiko yang antara lain adalah
tekanan darah tinggi (hipertensi), tingginya kolesterol, gaya hidup yang kurang
aktivitas fisik (olahraga), diabetes, riwayat PJK pada keluarga, merokok, konsumsi
alkohol dan faktor sosial ekonomi lainnya. Penyakit jantung koroner ini dapat
dicegah dengan melakukan pola hidup sehat dan menghindari fakto-faktor
resiko.seperti pola makan yang sehat, menurunkan kolesterol, melakukan aktivitas
fisik dan olehraga secara teratur, menghindari stress kerja. Kadar kolesterol yang
tinggi lebih dominan terjadi pada pekerja kantoran dibandingkan dengan pekerja
kasar. Terdapat perbedaan yang signifikan kadar kolesterol pada pekerja kantoran
dan pekerja kasar. Pada pekerja dengan aktivitas rendah perlu kiranya melakukan
control terhadap kadar kolesterol darah dan menjaga jenis makanan yang
dikonsumsi rendah kolesterol. Berolahraga secara rutin perlu dilakukan untuk
menjaga kelancaran peredaran darah dan keseimbangan metabolisme.
B. Saran
1. Kepada para pemberi layanan keseahtan selalu memberikan edukasi kebersihan
terhadap masyarakat
2. Kepada akademisi terus di lakukan peneletian baik medis dan keperawatan untuk
menagani penderita Penyakit Jantung Koroner
3. Kepada pemerintah untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang baik
dan terjangkau
4. Diharapkan untuk lebih meningkatkan kesadaran agar mempunyai kebiasaan
berolahraga, menjaga pola makan
DAFTAR PUSTAKA
Adam Sagan, 2009. Coronary Heart Disease Risk Factors and Cardiovascular Risk in Physical
Workers and Managers.
Anwar, B. 2004. Dislipidemia sebagai Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner. www.library.usu.ac.id
[diakses 18 Mei 2014].
Christian Sandi, Saryono, Dian Ramawati. (2013). Penelitian Tentang Perbedaan Kadar Kolesterol
Darah Pada Pekerja Kantoran dan Pekerja Kasar.
Corwin J. Elizabeth, ( 2009 ), Buku Saku Patofisiologi, Edisi Revisi 3, Penerbit : Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Corwin Elizabeth J. Buku saku patofisiologi : Sistem kardiovaskular. Edisi 1. Jakarta : EGC, 2009.
Davidson Christopher. (2003), Penyakit Jantung Koroner. Penerbit Dian Rakyat, Jakarta.
Diah Krisnatuti dan Rina Yenrina. (1999). Panduan Mencegah & Mengobati
Penyakit Jantung. Jakarta: Pustaka Swara
Hendriantika, H. (2012), Penelitian Tentang Studi Komparatif Aktivitas Fisik dengan Faktor Resiko
Terjadinya Penyakit jantung Koroner.
Hermansyah, Citrakesumasari, Aminuddin. (2009). Aktifitas Fisik dan Kesehatan Mental Terhadap
Kejadian Penyakit Jantung Koroner.
Hariadi, Ali Arsad Rahim, (2005). Hubungan Obesitas dengan Beberapa Faktor Risiko Penyakit
Jantung Koroner.
Marianna Virtanen, (2012). Long Working Hours and Coronary Heart Disease: A Systematic Review
and Meta-Analysis.
Marianna Virtanen, (2010). Overtime Work and Incident Coronary Heart Disease:The Whitehall II
Prospective Cohort Study.
Mika Kivimäki, (2013). Associations of job strain and lifestyle risk factors with risk of coronary artery
disease: a meta-analysis of individual participant data.
Tracey C. C. W. Rompas, A. Lucia Panda, Starry H. Rampengan. (2012), Hubungan Obesitas Umum
dan Obesitas Sentral dengan Penyakit Jantung Koroner
Sallim Annisa Yuliana, (2013), Hubungan Olahraga dengan Kejadian Penyakit Jantung Koroner.
Sivaramakrishna, R., Nancy A., William, A., Gilda, C., dan Kimerly, A. 2000. Powell American
Journal of Roentgenology, 175, 45-51
Sulistiani, W. (2005). Analisis factor Resiko Yang Berkaitan Dengan Penyakit Jantung. Universitas
Diponegoro.
Kuswadji, S. 2009. Kadar Lemak Darah pada Pekerja Bergilir di Suatu Instalasi Pengeboran Minyak
dan Gas Bumi. www.cerminduniakedokteran.com [diakses 18 Mei 2014].
OLEH KELOMPOK II
YOGYAKARTA