Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati/rusak irreversible
disebut proses primer dan sel otak disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional. Proses
selanjutnya disebut proses sekunder. Proses inflamasi terjadi ditandai dengan aktivasi substansi
mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah, penurunan aliran darah dan permeabilitas
kapiler meningkat. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah
trauma.
Menurut hukum Monro-Kellie menyatakan bahwa volume total dari isi intrakranial harus
selalu konstan, karena cranium adalah ruangan yang rigid dan tidak bias mengembag. Aliran
vena dan LCS dapat didesak keluar dari ruang intrakranial, menjadi buffer terhadap terjadinya
peningkatan tekanan. Pada awal trauma, terjadi edema, sementara TIK normal. Namun jika
batas pengeluaran LCS dan darah intravaskuler telah tercapai, TIK akan meningkat. Pembuluh
darah serebral mengalami vasokonstriksi dan menyebabkan pengurangan perfusi serebral
menyebabkan iskemia serebral sehingga terjadi penurunan kesadaran.
American College of Surgeons Committee on Trauma. (2012). Cedera Kepala dalam Advance
Trauma Life Support ATLS Student Course Manual 9th edition. USA.
(American College of Surgeons Committee on Trauma. (2012). Cedera Kepala dalam Advance
Trauma Life Support ATLS Student Course Manual 9th edition. USA.
Catatan: Pada pasien cedera kranioserebral dengan GCS 13-15, pingsan <10 menit, tanpa
defisit neurologik, tetapi pada hasil scanning otaknya terlihat perdarahan, diagnosisnya
bukan cedera kranioserebral ringan (CKR)/komosio, tetapi menjadi cedera kranioserebral
sedang (CKS)/kontusio.
1. Cairan hipotonik:
Osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah
dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum.
Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip
cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi
sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada
pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar
gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah
perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps
kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang.
Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
2. Cairan Isotonik:
Osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen
darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang
mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus
menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada
penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-
Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
3. Cairan hipertonik:
Osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik” cairan dan
elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan
darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya
kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik,
Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah),
dan albumin.
1. Kristaloid:
Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume
expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada
pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.
Kristaloid terbuat dari larutan air steril dan elektrolit, yang mengandung sejumlah
mineral yang serupa atau hamper sama dengan plasma manusia. Larutan ini dibuat dalam
berbagai formulasi, dari hipotonis, isotonik sampai keadaan hipertonik. Nomal Saline
adalah salah satu contoh kristaloid, yang mempunyai konsentrasi elektrolit sama seperti
yang ditemukan pada tubuh manusia. Ringer Lactate (RL), mempunyai kandungan
elektrolit menyerupai saline, namun larutan ini mengandung sedikit laktat yang berperan
sebagai buffer.
Keuntungannya yaitu komposisi elektrolit seimbang, tidak ada risiko alergi, tidak
mempengaruhi homeostatis, mengakibatkan terjadinya diuresis, harganya murah.
Kerugiannya yaitu perlu 3-4x jumlah perdarahan, bisa mengakibatkan edema,
hipotermia, lama kerjanya kurang lebih 90 menit.
2. Koloid:
Ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar
dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik,
dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan
steroid.
Koloid mengadung air dan elektrolit, namun memiliki komponen zat koloid yang
membuat larutan tersebut tidak bebas melintasi membrane semipermeable sel. Substansi
koloid dalam pati berasal dari polisakarida yang tergabung dalam cairan dengan berbagai
berat molekul. Sebagai contoh, solusi dekstran memiliki protein dekstran sintesis, dan
solusi gelatin memiliki komponen gelatin sintesis.
Keuntungannya yaitu tetap berada dalam volume intravaskuler, kebutuhan sama
dengan jumlah darah yang hilang, risiko edema minimal, meningkatkan aliran darah
mikrovaskuler.
Kerugiannya yaitu kelebihan beban cairan, menggangu hemostasis,
mempengaruhi fungsi ginjal, reaksi anafilaktoid, harganya mahal.
Wijaya, I. and Yahya, C.Q. (2013). Variabilitas Cairan Infus. Ethnical Digest, [online] 116(10).
Tersedia di: http://portal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2090/1/Ethical%20Digest-
Oct%202013-Variabilitas%20cairan%20infus.pdf [Diakses pada 4 Juli 2018].
5a. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan pada pemeriksaan secondary survey?
Secondary survey adalah pemeriksaan kepala sampai ke kaki (head to toe examination),
termasuk re-evaluasi tanda vital. Melakukan pemeriksaan neurologis lengkap, rontgen &
pemerikasaan laboratorium.
A. Anamnesis
M : Mechanism of trauma
I : Injury Sustain
S : Sign
T : Treatment
B. Riwayat
A : alergi
L : last meal
E : environment
C. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan kepala
2. Maksilo – facial
3. Vertebra cervicalis & leher
4. Thoraks
5. Abdoment , perineum
6. Muskulo skeletal
7. Neurologis
D. Pemantauan & Re- Evaluasi
1. Evaluasi secara terus menerus
2. Mengenali perubahan
3. Penanganan secepatnya
4. Monitoring tanda vital & urin out put
5. Pulse oxymetri