Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gizi merupakan salah satu faktor penentu utama kualitas sumber daya
manusia. Peran gizi dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia telah
dibuktikan dari berbagai penelitian. Gangguan gizi pada awal kehidupan akan
mempengaruhi kualitas kehidupan berikutnya.1

Masa kehamilan merupakan masa dimana ibu membutuhkan berbagai


unsur gizi yang lebih banyak daripada yang diperlukan dari keadaan tidak hamil.
Gizi tersebut selain diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, diperlukan
juga untuk pertumbuhan dan perkembangan janin yang ada dalam kandungnya.
Asupan kebutuhaan ibu hamil yang tidak tercukupi dapat berakibat buruk bagi ibu
dan janin. Janin dapat mengalami kecacatan atau lahir dengan Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR), anemia pada bayi, keguguran, dan kematian neonatal. Ibu hamil
yang kekurangan gizi akan menderita Kurang Energi Kronis (KEK), sehingga
berdampak kelemahan fisik, anemia, perdarahan, berat badan ibu tidak bertambah
secara normal dan diabetes dalam kehamilan yang membahayakan jiwa ibu. Ibu
dengan status gizi kurang akan beresiko melahirkan bayi berat badan rendah 2-3
kali lebih besar dibandingkan yang berstatus gizi baik, disamping kemungkinan
bayi meninggal sebesar 1,5 kali.2

Laporan status gizi Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013


melaporkan status risiko Kurang Energi Kronis (KEK) ibu hamil berumur 15-49
tahun berdasar indikator Lingkar Lengan Atas (LILA) secara nasional sebanyak
24,2%. Resiko terjadinya KEK dapat dialami pada Wanita Usia Subur (WUS).
WUS adalah wanita usia 15-45 tahun. KEK pada usia muda atau remaja putri
dapat berlanjut pada saat hamil dan menyusui karena memilki cadangan energi
dan zat gizi yang rendah.1

1
Wanita hamil yang menglami KEK memiliki resiko melahirkan bayi
BBLR 4,8 kali lebih besar dibandingkan yang tidak KEK. Diperkirakan setiap
tahunnya sekitar 350 ribu bayi BBLR ( < 2500 gram) merupakan salah satu
penyebab utama tingginya angka gizi kurang dan kematian balita.1

Laporan WHO tahun 2005 menyatakan bahwa batasan berat badan normal
dewasa ditentukan berdasarkan nilai body mass index (BMI) atau IMT. Selain
dengan IMT, pengukuran status gizi pada WUS dapat dilakukan dengan
menggunakan LILA. Meskipun IMT tidak dapat digunakan pada wanita hamil,
IMT dapat digunakan untuk melihat status gizi ibu sebelum hamil. Diketahuinya
status gizi ibu sebelum hamil berguna untuk mengetahui kelompok ibu dengan
resiko KEK. Bila seorang ibu tidak mengetahui berat badannya sebelum hamil
maka perhitungan IMT dapat dihitung berdasarkan LILA dengan dikontrol oleh
faktor lain yang terkait.6

Penggunaan LILA sebagai pengukuran tidak dapat digunakan untuk


memantau perubahan status gizi jangka pendek. LILA dapat dijadikan sebagai
salah satu cara deteksi dini yang mudah untuk mengetahui kelompok beresiko
kekurangan energi yang telah kronis dan dapat dilakukan oleh masyarakat awam
karena penggunaan LILA lebih mudah dibandingkan dengan IMT dalam deteksi
dini resiko KEK.1

1.2. Tujuan

Makalah ini dibuat untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik di RSUD


Solok, dan juga sebagai bahan pengayaan materi agar mahasiswa mengetahui dan
memahami lebih jauh tentang gambaran ukuran lingkar lengan atas terhadap
indeks massa tubuh pada ibu hamil.

1.3. Manfaat

Agar makalah ini dapat digunakan sebagai referensi dalam pembelajaran,


menambah ilmu pengetahuan dan agar pembaca lebih memahami tentang
gambaran ukuran lingkar lengan atas terhadap indeks massa tubuh pada ibu hamil.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Gizi


2.1.1. Pengertian Status Gizi

Status gizi adalah tanda-tanda atau penampilan fisik yang diakibatkan


karena adanya keseimbangan antara asupan gizi dengan kebutuhannya.
Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel pertumbuhan, yaitu berat
badan, tinggi badan atau panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan, dan
panjang tungkai.3,5

Berbeda sedikit dengan Soekirman (2000) dan Almatsier (2001).


Soekirman mendefinisikan status gizi sebagai keadaan kesehatan akibat
interaksi antara makanan, tubuh manusia, dan lingkungan hidup manusia.
Serta, menurut Almatsier, status gizi ialah keadaan tubuh sebagai akibat
konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.3

Status gizi dapat dibedakan menjadi gizi kurang, baik, dan lebih. Bila
tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien, maka
akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada
tingkat setinggi mungkin. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Berdasarkan kerangka konseptual UNICEF, faktor-faktor tersebut dapat
dibedakan menjadi faktor langsung, tidak langsung, dan dasar. Faktor
langsung ialah kecukupan asupan makanan (dietary intake) dan status
kesehatan, seperti misalnya adanya infeksi. Faktor tidak langsung ialah
jumlah makanan yang diberikan, kualitas makanan yang diberikan, dan cara
pemberian makanan. Faktor tidak langsung ini mempengaruhi faktor
langsung. Selanjutnya, yang merupakan faktor dasar yang dapat
memepengaruhi status gizi ialah kondisi sosial, politik, budaya, dan ekonomi
seseorang tersebut.1

3
2.1.2. Status Gizi Wanita Usia Subur (WUS)

Wanita Usia Subur (WUS) adalah wanita pada masa atau periode
dimana dapat mengalami proses reproduksi. Ditandai masih mengalami
menstruasi (umur 15-45 tahun). Status gizi wanita usia subur perlu perhatian
yang lebih. Hal ini dikarenakan, menurut Depkes RI (2005), status gizi
masyarakat dapat diukur melalui beberapa indikator yaitu bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR), status gizi balita, dan status gizi WUS kurang
energi kronis (KEK).3,4

Selain itu, status gizi pada saat masa remaja dan WUS sangat penting
diperhatikan sebab akan dapat mempengaruhi kondisi status gizi saat
hamil. Status gizi kurang pada WUS dan saat hamil dalam waktu lama (kronis)
memungkinkan tingginya risiko KEK. KEK memiliki dampak yang buruk.
Dampak jangka panjang dari wanita usia subur dan ibu hamil yang mengalami
KEK adalah melahirkan bayi BBLR yang merupakan penyebab kematian
neonatal tertinggi. KEK juga dapat menyebabkan orang yang mengalaminya
menjadi lemah dan pucat. Oleh karena itu, status gizi yang buruk pada
WUS secara tidak langsung dapat mempengaruhi produktifitasnya sehingga
dapat menurunkan kualitas sumberdaya manusia.4

2.2. Kekurangan Energi Kronis (KEK)

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang


memiliki masalah gizi cukup kompleks. Salah satu yang masih menjadi
permasalah gizi di Indonesia adalah Kekurangan Energi Kronis (KEK).
KEK ialah keadaan kekurangan asupan energi dibandingkan dengan yang
dikeluarkan dalam jangka waktu beberapa bulan atau tahunan. Menurut
Depkes (2007), KEK merupakan suatu kejadian dimana seseorang dalam hal
ini WUS menderita kekurangan makanan yang berlangsung dalam jangka
waktu lama atau menahun (kronis) yang mengakibatkan timbulnya gangguan
kesehatan dengan tanda-tanda atau gejala seperti badan lemas dan muka pucat.
Sedangkan, risiko KEK adalah keadaan kekurangan energi pada WUS dan Ibu
hamil dalam jangka waktu lama yang ditandai dengan ukuran lingkar lengan

4
atas kurang dari 23,5 cm. Selain itu untuk WUS Indeks Massa Tubuh (IMT)
kurang dari 18,5 kg/m2 juga dapat dijadikan sebagai indikator KEK.8

2.2.1. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Risiko KEK

Menurut FAO, jika seseorang mengalami sekali atau lebih


kekurangan energi, maka dapat terjadi penurunan berat badan bahkan
dengan aktifitas ringan dan pada tingkat permintaan Basal Metabolic Rate
(BMR) yang rendah sekalipun sehingga mereka akan mengurangi sejumlah
aktifitas untuk menyeimbangkan masukan energi yang lebih rendah tersebut.
Secara spesifik, penyebab dari KEK ialah ketidakseimbangan antara asupan
untuk pemenuhan kebutuhan dengan pengeluaran energi. Umumnya, hal ini
terjadi karena ketidaktersediaan pangan secara musiman atau secara kronis
ditingkat rumah tangga. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang memiliki
hubungan bermakna dengan resiko KEK. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Maria (2010), faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan risiko
KEK ialah berat badan pra-hamil, Ibu dengan berat badan prahamil <42 Kg
mempunyai peluang risiko KEK sebesar 4,148 kali lebih tinggi bila
dibandingkan dengan ibu dengan berat badan prahamil > 42 Kg. Dengan
begitu, perbaikan gizi sebelum masa hamil atau saat usia remaja sebagai calon
ibu lebih efektif daripada suplementasi setelah kehamilannya. Berdasarkan
frekuensi makan sumber energi, WUS dengan frekuensi energi kurang atau
rendah memiliki risiko KEK 3,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
WUS yang memiliki frekuensi konsumsi energi yang baik.8

2.2.2. Dampak Kekurangan Energi Kronis

Kekurangan energi yang telah kronis dapat menimbulkan berbagai


dampak kesehatan. Seseorang yang mengalami KEK, selain berat badanya
kurang atau rendah bila dibandingkan dengan tinggi badannya,
produktifitasnya juga akan terganggu karena tidak dapat bergerak aktif dan
kekurangan makan. Bila KEK terjadi pada wanita usia subur dan Ibu hamil
akan berdampak pada proses melahirkan dan berat lahir bayi. Ibu hamil
dengan risiko KEK (LiLA < 23,5 cm) kemungkinan akan mengalami
kesulitan persalinan, perdarahan, dan berpeluang melahirkan bayi dengan

5
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang akhirnya dapat menyebabkan
kematian pada Ibu atau Bayi. Status gizi ibu sebelum atau selama hamil
memiliki peluang sebanyak 50% dalam mempengaruhi kasus tingginya kejadian
bayi BBLR di Negara Berkembang.4,8

Bayi BBLR adalah istilah yang digunakan untuk bayi yang lahir dengan
berat badannya kurang dari 2500 gram. Berdasarkan beratnya, berat badan
lahir dibedakan menjadi tiga, yaitu bayi BBLR dengan berat lahir 1500-2500
gram, bayi Berat Badan Lahir Sangat Rendah (BBLSR) dengan berat lahir
kurang dari 1500 gram, dan bayi Berat Badan Lahir Ekstrim Rendah
(BBLER) ialah bayi dengan berat lahir kurang dari 1000 gram.4

Bayi BBLR menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan dan


perkembangan janin saat di dalam rahim. Pada kondisi ini janin tidak tumbuh
dan berkembang dengan sempurna. Gangguan ini dapat terjadi sejak awal
masa kandungan atau kehamilan, namun bisa juga saat beberapa bulan
sebelum kelahiran. Gangguan yang terjadi sejak awal kehamilan dapat
menyebabkan peningkatan risiko kesakitan dan kematian bayi serta
kerusakan permanen (loss generation) dibandingkan dengan gangguan terjadi
pada beberapa bulan sebelum kelahiran.4

Bayi BBLR memiliki kemungkinan 17 kali lebih besar untuk


meninggal dunia dalam umur 1 tahun daripada bayi yang lahir dengan berat
yang cukup atau normal. Menurut SDKI (Survei Demografi Kesehatan
Indonesia) 2002-2003, bayi BBLR merupakan penyebab kematian neonatal
tertinggi, yaitu sebesar 29%.8

2.3. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi menurut Supariasa (2002) dalam Najoan (2011),


dibagi menjadi dua yaitu penilaian secara langsung dan secara tidak
langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat
penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Penilaian status
gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga penilaian yaitu survei konsumsi

6
makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Penilaian status gizi ibu hamil
dapat dilakukan pengukuran biokimia dan antropometri.2,7

Penilaian biokimia adalah penilaian gizi yang penting pada darah


maupun urin dan dapat mendeteksi keadaan kekurangan gizi pada tingkat dini.
Penilaian antropometri adalah penilaian ukuran tubuh manusia. Penilaian status
gizi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pengukuran
antropometri. Pengukuran antropometri memiliki kelebihan: prosedurnya
sederhana, aman dan dilakukan untuk jumlah sampel besar, relatif tidak
membutuhkan tenaga ahli, alat murah, mudah dibawa dan tahan lama,
metodenya tepat dan akurat karena dapat dibakukan, dapat menggambarkan
keadaan gizi masa lampau, serta sudah memiliki ambang batas yang jelas.7

Antropometri yaitu ilmu yang mempelajari ukuran tubuh manusia yang


dapat memberikan indikasi gizi dan pengkajian gizi. Pengukuran antropometri
ibu hamil yang paling sering digunakan adalah kenaikan berat badan ibu hamil
dan LILA selama kehamilan. Penilaian yang lebih baik untuk menilai status
gizi ibu hamil yaitu dengan pengukuran LILA, karena pada ibu hamil dengan
malnutrisi (gizi kurang atau lebih) kadang-kadang menunjukkan udem tetapi
jarang mengenai lengan atas. Berat badan prahamil di Indonesia, umumnya
tidak diketahui sehingga LILA dijadikan indikator gizi kurang pada ibu hamil.3

Di Negara berkembang, seperti Indonesia, pengukuran status gizi


dilakukan dengan pengukuran antropometri. Secara umum antropometri
artinya ukuran tubuh manusia. Antropometri gizi merupakan pengukuran yang
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat status gizi.7

Pengukuran antropometri telah ditetapkan dan digunakan secara luas


sebagai indikator status gizi, baik anak maupun orang dewasa. Pengukuran
antropometri, khususnya bermanfaat bila ada ketidakseimbangan antara
protein dan energi. Dalam beberapa kasus, pengukuran antropometri dapat
mendeteksi malnutrisi tingkat sedang maupun parah, namun metode ini
tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi status kekurangan (defisiensi)
gizi tertentu.10

7
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter, antara lain umur, berat badan, tinggi badan,
lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal
lemak dibawah kulit. Selain adanya parameter antropometri, ada juga istilah
indeks antropometri. Indeks antropometri adalah kombinasi antara beberapa
parameter antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering
digunakan adalah berat badan menurut umur, berat badan menurut tinggi
badan, tinggi badan menurut umur, dan indeks massa tubuh. Tidak semua
parameter dan indeks antropometri digunakan dalam mengukur staus gizi
orang dewasa.3,5

Parameter antropometri yang biasa digunakan pada pengukuran status


gizi orang dewasa yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi umur, berat
badan, tinggi badan, dan lingkar lengan atas. Indeks antropometri yang
dianalisis alam penelitian ini ialah indeks massa tubuh. 5

2.3.1. Umur

Faktor umur sangat penting dalam menentukan status gizi. Kesalahan


penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah.
Batasan umur yang digunakan adalah umur penuh (completed year) dan untuk
anak usia 0-2 tahun digunakan bulan penuh (completed month). Berdasarkan
penelitian di Iran, umur memiliki hubungan yang sangat cukup kuat atau
sedang dan positif dengan ukuran LiLA, berat badan, dan IMT sedangkan
dengan tinggi badan hubungannya sangat lemah meskipun hubungan tersebut
berpola positif.5

2.3.2. Berat Badan (BB)

Berat badan adalah salah satu ukuran antropometri yang digunakan


sejak lama dalam penentuan status gizi, khususnya pada orang dewasa. Berat
badan dapat memberikan gambaran tentang massa tubuh seseorang dan dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Berat badan seseorang terdiri dari beberapa komponen seperti cairan
tubuh, organ tubuh, lemak, otot, dan tulang dengan komposisi yang berbeda-

8
beda untuk setiap komponen. Pada wanita komposisi lemak lebih banyak
dibandingkan pria. Sedangkan, pada olahragawan yang memiliki komposisi
otot lebih banyak dibandingkan dengan yang bukan olahragawan.5

Sebagai antropometri parameter antrompometri yang mudah


terpengaruh oleh faktor lain, berat badan seseorang mudah berubah, baik
mengalami peningkatan maupun penurunan berat badan. Hal ini dapat
mempengaruhi status gizi dan derajat kesehatan pada orang dewasa.5,7

Berat badan memiliki hubungan dengan pengukuran lain, seperti LiLA


dan IMT. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa berat badan memiliki
hubungan yang sangat kuat dengan LiLA maupun IMT. Dengan hubungan
yang sangat kuat ini, berat badan, LiLA, dan IMT memiliki kemampuan
untuk dijadikan sebagai prediktor status gizi, KEK, dan bayi BBLR.4,5

2.3.3. Tinggi Badan (TB)

Tinggi badan adalah jarak dari lantai sampai dengan atas kepala
dalam posisi berdiri. Tinggi badan merupakan indikator umum ukuran tubuh
dan panjang tulang, serta merupakan gambaran status gizi masa lalu. Tinggi
badan dapat menjadi indikator status gizi bila digabungkan dengan indikator
lain seperti umur dan berat badan. Selain itu, tinggi badan dapat
memberikan gambaran fungsi pertumbuhan dan sangat baik untuk melihat
keadaan gizi masa lalu.5
Tinggi badan memiliki hubungan dengan risiko KEK yang berisiko
melahirkan bayi BBLR. Tinggi badan < 145 cm digunakan untuk
mengidentifikasi wanita yang KEK dan berisiko melahirkan bayi BBLR.
National Institute of Nutrition (2003) di negara dengan pendapatan rendah
diketahui bahwa insiden bayi BBLR terbesar ditemukan pada wanita
dengan tinggi badan < 145 cm.5

2.3.4. Lingkar Lengan Atas (LiLA)

Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LiLA) merupakan salah satu cara


untuk dapat mengetahui risiko KEK pada Ibu hamil dan Wanita Usia Subur
(WUS). Pengukuran LiLA juga dapat memberi gambaran tentang keadaan

9
jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. Pada penelitian ini LiLA yang
dimaksudkan ialah LiLA berkaitan dengan keadaan lemak bawah kulit. Dari
hasil data Riskesdas tahun 2007 juga diperoleh bahwa semakin meningkat
usia seorang wanita, semakin besar juga ukuran lingkar lengan atas nya. Hal
ini disebabkan persentase lemak tubuh umumnya akan selalu meningkat seiring
dengan bertambahnya umur, terutama karena berkurangnya aktifitas fisik.6

LILA adalah lingkar lengan bagian atas pada bagian trisep. LILA
digunakan untuk perkiraan tebal lemak-bawah-kulit. LILA adalah cara untuk
mengetahui gizi kurang pada wanita usia subur umur 15-45 tahun yang terdiri
dari remaja, ibu hamil, ibu menyusui dan pasangan usia subur (PUS).
Pengukuran LILA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi
dalam jangka pendek. Pengukuran LILA cukup representatif, dimana ukuran
LILA ibu hamil erat dengan IMT ibu hamil yaitu semakin tinggi LILA ibu
hamil diikuti pula dengan semakin tinggi IMT ibu. Penggunaan LILA telah
digunakan di banyak Negara sedang berkembang termasuk Indonesia .6

Penelitian Ariyani (2012) di seluruh provinsi di Indonesia melaporkan,


ambang batas yang digunakan untuk menentukan seorang ibu hamil gizi
kurang adalah 23,5 cm. Ambang batas LILA <23,5 cm atau dibagian pita
merah LILA menandakan gizi kurang dan ≥23,5 cm menandakan gizi baik.
LILA < 23,5 termasuk kelompok rentan kurang gizi. LILA menunjukkan
status gizi ibu hamil dimana <23,5 cm menunjukkan status gizi kurang.1,6

LILA digunakan untuk keperluan skrining, tidak untuk pemantauan,


mengetahui gizi kurang dan relatif stabil. Ukuran LILA selama kehamilan
hanya berubah sebanyak 0,4 cm. Perubahan ini selama kehamilan tidak terlalu
besar sehingga pengukuran LILA pada masa kehamilan masih dapat dilakukan
untuk melihat status gizi ibu hamil sebelum hamil. Berlainan dengan berat
badan yang terus naik dari awal sampai akhir umur kehamilan dan dapat
digunakan untuk memonitor status gizi ibu hamil, maka LILA tidak dapat
digunakan untuk keperluan tersebut, karena LILA relatif stabil pada setiap
bulan umur kehamilan. Pengukuran LILA independen terhadap umur
kehamilan. Implikasi ukuran LILA terhadap berat badan bayi adalah LILA

10
menggambarkan keadaan konsumsi makanan terutama konsumsi energi dan
protein dalam jangka panjang.1

Gambar 1. Pita LiLA1

1. Cara mengukur
Cara mengukur LILA menurut Almatsier (2011) dan Depkes (2001) dalam
Mulyaningrum (2009):8
a) Lengan kiri di istirahatkan dengan telapak tangan menghadap ke paha (sikap
tegap).
b) Cari pertengahan lengan atas dengan memposisikan siku membentuk
sudut 90o. Kemudian ujung skala cliper (pita ukur) yang bertuliskan angka 0
diletakkan di tulang yang menonjol dibagian bahu atau acromion dan ujung
lain pada siku yang menonjol atau olecranon.
c) Pertengahan lengan diberi tanda dengan spidol, lengan kemudian
diluruskan dengan posisi telapak tangan menghadap ke paha.
d) Cliper dilingkarkan (tidak dilingkarkan terlalu erat dan tidak longgar) pada
bagian tengah dan bagian trisep lengan dengan memasukkan ujung pita
kedalam ujung yang lain; angka yang tertera pada caliper (beberapa pita
ukuran bertanda panah) menunjukkan ukuran LILA.

11
Gambar 2. Cara mengukur LiLA

2. Penggunaan LiLA oleh Depkes RI dalam Memperkirakan Risiko


KEK

Departemen Kesehatan RI merekomendasikan penggunaan LiLA dalam


mendeteksi risiko KEK pada WUS dan Ibu hamil. Menurut Depkes
RI pengukuran LiLA pada kelompok wanita usia subur adalah satu cara deteksi
dini yang mudah dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat awam dalam
deteksi kelompok beresiko KEK. Pengukuran LiLA sangat mudah dilakukan.
Namun, pengukuran LiLA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan
status gizi dalam jangka pendek.8
Departemen Kesehatan RI menganjurkan penggunaan LiLA ini
dengan beberapa tujuan yang mencakup masalah WUS baik ibu hamil maupun
calon ibu, masyarakat umum, dan peran petugas lintas sektoral. Adapun tujuan
pengukuran LiLA ialah sebagai berikut :8
a. Mengetahui risiko KEK WUS, baik Ibu hamil maupun calon Ibu
untuk menapis wanita yang mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR
b. Meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat agar lebih berperan
dalam pencegahan dan penanggulangan KEK WUS
c. Mengembangkan gagasan-gagasan baru di kalangan masyarakat dengan
tujuan meningkatkan kesejahteraan Ibu dan anak
d. Meningkatkan peranan petugas lintas sektor dalam upaya perbaikan gizi
WUS yang menderita KEK

12
e. Mengarahkan pelayanan kesehatan pada kelompok sasaran WUS
yang menderita KEK.

Departemen Kesehatan RI membagi standar ukuran lingkar lengan


atas pada wanita, sebagai berikut: 8

Tabel 1. Ukuran Lingkar Lengan Atas untuk Remaja dan Dewasa

Lingkar Lengan Atas (cm)


Umur
100% 85% 80%
15 24,5 20,5 19,5
16 24,5 21,5 19,5
17 25,0 20,5 20,0
Dewasa 28,5 23,5 23,0

Tabel diatas menjelaskan bahwa ukuran ideal LiLA untuk remaja usia 15-
17 tahun ialah berkisar pada rentang nilai 24,5 cm - 25 cm. Sedangkan,
ideal ukuran LiLA pada wanita dewasa ialah 28,5 cm. Ukuran LiLA 85%
masih dikatakan normal, sedangkan ukuran LiLA 80% dikatakan rendah.8

Tabel 2. Kriteria Ukuran Lingkar Lengan Atas

Lingkar Lengan Atas Kriteria


25,7 – 28,5 Normal
28,5 – 34,2 Obesitas
34,2 – 39,7 Obesitas Berat
> 39,7 Obesitas Sangat Berat

Tabel diatas tersebut menunjukkan bahwa ukuran LiLA pada wanita


dewasa dikatakan berada dalam kriteria normal apabila ukuran LiLA nya
berada pada rentang nilai 25,7 cm hingga 28,5 cm. Ukuran LiLA yang lebih
dari itu termasuk ke dalam kriteria obesitas, sedangkan kurang dari ukuran
tersebut dikatakan tidak normal.8

Hal-hal yang perlu diperhatikan saat pengukuran bagian tengah, lengan


harus dalam posisi bebas, lengan baju dan otot lengan dalam keadaan tidak
tegang atau kencang. World Health Organization (WHO) merekomendasikan
pengukuran LiLA di lengan kiri dalam posisi lengan yang lentur atau

13
tidak kaku. Alat pengukuran dalam keadaan baik dalam arti tidak kusut atau
sudah dilipat-lipat sehingga permukaannya sudah tidak rata.5,8

2.3.5. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Salah satu cara memantau status gizi orang dewasa adalah dengan
menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT ialah indeks antropometri
yang terdiri dari kombinasi parameter berat badan dan tinggi badan. IMT
sangat penting karena mempengaruhi interpretasi status gizi. Penggunaan
IMT hanya dapat digunakan pada orang dewasa usia lebih dari 18 tahun,
penggunaan IMT bagi <18 tahun dipengaruhi oleh umur (IMT/U). IMT tidak
dapat digunakan pada bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, dan olahragawan.
Selain itu IMT juga tidak dapat digunakan pada kondisi-kondisi khusus
(penyakit) seperti adanya asites, edema, dan hepatomegali.5,6

Untuk mengetahui nilai IMT, diperlukan keterangan berat badan dan


tinggi badan sehingga dapat dihitung dengan rumus berikut (FAO/WHO/UNU,
1965; WHO, 1995):5,6

Berat Badan (Kg)


IMT = --------------------------------------------------
Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)

Cut-off point IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO yang


membedakan cut-off point untuk laki-laki dan perempuan. Disebutkan cut-off
point normal untuk laki-laki adalah: 20,1-25,0; dan untuk perempuan adalah
: 18,7-23,8. Berbeda dengan LiLA, baku IMT yang digunakan saat ini
telah mendapat rekomendasi dari FAO/WHO/UNU sehingga telah sesuai
dengan ukuran orang Asia, khususnya orang Indonesia. Kemudian, untuk
kepentingan Indonesia, cut-off point IMT dimodifikasi lagi berdasarkan
pengalaman klinis dan hasil penelitian dibeberapa negara berkembang. Pada
akhirnya diambil kesimpulan, batas ambang IMT untuk Indonesia adalah
sebagai berikut:7,10

14
Tabel 3. Kategori Cut-off Point IMT untuk Orang Indonesia

Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 - 18,4
Normal 18,5 - 25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 - 27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0

Berdasarkan data tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa : 7,8


1. Orang yang memiliki IMT < 17,0 disebut kurus dengan kekurangan
berat badan tingkat berat atau Kurang Energi Kronis (KEK) berat.
2. Orang dengan IMT 17,0 - 18,4 disebut kurus dengan kekurangan berat
badan tingkat ringan atau KEK ringan.
3. Orang dengan IMT 18,5 - 25,0 termasuk kategori normal.
4. Sedangkan, orang dengan IMT 25,1 - 27 disebut gemuk dengan
kelebihan berat badan tingkat ringan, dan orang dengan IMT >27,
disebut gemuk dengan kelebihan berat badan tingkat berat.

Klasifikasi ini berdasarkan klasifikasi FAO (1994) dan WHO (1995).


FAO mengadopsi istilah “Kekurangan Energi Kronis (KEK)” dalam
menunjukan kekurusan. Mereka mengelompokan KEK berdasarkan IMT ke
dalam 3 kategori seperti pada tabel 4. Kemudian, WHO mengadopsi cut-off
point yang sama untuk mendefinisikan tiga level untuk IMT rendah. WHO
lebih memilih menggunakan istilah “thinness” atau “kurus” dan “berat badan
kurang” atau “underweight” daripada istilah “Kekurangan Energi Kronis
(KEK)” atau “Chronic Energy Deficiency (CED)” dalam menerjemahkan IMT
rendah. Pada tahun 2004, WHO mengklasifikasikan IMT 17,0 - 18,4 sebagai
level I yang disebut kurus ringan (mild underweight), IMT 16,0 - 16,9
sebagai level 2 yaitu “moderat underweight” atau “kurus sedang”,
kemudian level 3 untuk IMT <16,0 yang disebut “severe underweight” atau
“kurus parah”. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 4. sebagai
berikut:8

15
Tabel 4. Klasifikasi Risiko KEK Berdasarkan IMT
Level Kekurangan Energi Kronis (KEK)
IMT (kg/m2)
berdasarkan IMT
Normal > 18,5
KEK I 17,0 – 18,4
KEK II 16,0 – 16,9
KEK III < 16,0

2.4. Hubungan LiLA dengan IMT dalam Mendeteksi Risiko KEK


Berdasarkan survei penelitian yang telah dilakukan di Asia, Afrika,
dan Pasifik diperoleh bahwa cut-off point LiLA memiliki korelasi dengan IMT
dalam menunjukkan KEK pada orang dewasa. Hasil dari penelitian tersebut
dapat dilihat pada tabel 5.1,8

Tabel 5. Korelasi Cut-off Point Lingkar Lengan Atas terhadap Indeks Massa
Tubuh dalam Deteksi Kekurangan Energi Kronis

Kategori Lingkar Lengan Atas (LiLA) IMT (kg/m2)


Diagnosis Pria (cm) Wanita(cm) Lk Pr

Undernourished < 23 < 22 < 17 < 17


Severe Wasting < 20 < 19 < 13 < 13
Extreme Wasting < 17 < 16 < 10 < 10

Dari data tabel 5. diperoleh bahwa terdapat perbedaan cut-off point LiLA
untuk pria dan wanita. Berdasarkan data tersebut juga diketahui bahwa cut-
off point LiLA<23 cm untuk pria dan <22 cm untuk wanita memiliki
hubungan dengan IMT<17 kg/m2 dalam mengidentifikasi KEK yang
menunjukkan keadaan undernourished atau kekurangan gizi. Cut-off point
LiLA<20 cm untuk pria dan <19 cm untuk wanita berhubungan dengan
IMT<13 kg/m2 dalam mendeteksi KEK dengan kondisi sangat kurus.
Sedangkan, cut-off point LiLA <17 cm untuk pria dan <16 cm untuk wanita
memiliki hubungan dengan IMT <10 kg/m2 dalam mendeteksi KEK dengan
kondisi kurus yang ekstrim atau sangat parah.8,10

16
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Solok Mulai
tanggal 24 Februari sampai 2 April 2017

3.3. Populasi Penelitian


1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh ibu hamil di bagian kebidanan RSUD
Solok.
2. Besar Sampel
Jumlah sampel berdasarkan pasien yang masuk ke bagian nifas dan ponek
kebidanan RSUD Solok dari bulan 24 Februari sampai 2 April 2017.
3. Kriteria Penerimaan
a. Semua kasus kehamilan normal di bagian ponek dan nifas kebidanan
RSUD Solok dimasukkan kedalam penelitian ini tanpa memandang usia
kehamilan, baik primipara maupun multipara.
b. Penilaian parameter KEK dengan pemeriksaan LiLA dan IMT.
4. Kriteria Penolakan
Pasien yang menolak untuk dijadikan sampel penelitian dan pasien dengan
eklamsia
5. Bahan dan Cara Kerja
a. Pasien yang memenuhi kriteria penerimaan diminta persetujuannya secara
lisan sebelum dilakukan pemeriksaan.
b. Dicatat identitas pasien berupa nama.
c. Dilakukan pemeriksaan tinggi badan, berat badan dan ukuran lingkar
lengan atas.
d. Dicatat hasil dari pemeriksaan terhadap ibu hamil diatas.

17
6. Manajemen dan Analisa Data
Terhadap data yang telah dikumpulkan dilakukan editing dan cleaning data.
Selanjutnya untuk melihat perbedaan data-data kategori seperti kategori tinggi
badan, berat badan dan ukuran lingkar lengan atas pada ibu hamil.
7. Etika Penelitian
Semua peserta diberi penjelasan mengenai tujuan dan cara yang akan
dijalankan pada penelitian ini. Penelitian dijalankan setelah didapat
persetujuan sukarela dari masing- masing peserta. Setiap peserta berhak
mengetahui hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadapnya.

18
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini berlangsung mulai tanggal 24 Februari sampai dengan 2


April 2017. Jumlah pasien hamil di ruang kebidanan RSUD adalah 169 orang.
Karakteristik tinggi badan dibagi menjadi enam kategori yaitu 135 – 140 cm, 141
– 145 cm, 146 - 150 cm, 151 – 155 cm, 156 – 160 cm dan > 160 cm. Karakteristik
berat badan pasien dibagi menjadi enam kategori yaitu < 40 kg, 40 - 50 kg, 51 -
60 kg, 61 – 70 kg, 71 – 80 kg, > 80 kg. Karakteristik lingkar lengan atas dibagi
menjadi tiga kategori yaitu < 23,5 cm, 23,5 – 28,5 cm, > 28,5 cm.

Tabel 6. Gambaran ukuran indeks massa tubuh di RSUD Solok

Karakteristik N % Mean
135 – 140 cm 1 0,6%
141 – 145 cm 5 2,9%
Tinggi 146 – 150 cm 28 16,5%
155, 26 cm
Badan 151 – 155 cm 70 52,1%
156 – 160 cm 54 31,9%
> 160 cm 11 6,5%
< 40 kg 1 0,6%
40 – 50 kg 17 10,05%
Berat
51 – 60 kg 32 18,9%
Badan 69,24 kg
61 – 70 kg 80 47,3%
71 – 80 kg 31 18,3%
> 80 kg 8 4,7%

IMT (kg/m2) N % Mean


17,0 – 18,4 2 1,2%
18,5 – 25,0 21 12,4%
28,84 kg/m2
25,1 – 27,0 68 40,2%
> 27,0 78 46,1%

19
Tinggi Badan
0,6% 2,9%

6,5%

16,5% 135 - 140 cm

141 - 145 cm
31,9%
146 - 150 cm

151 - 155 cm

156 - 160 cm
52,1%
> 160

Gambar 3. Diagram tinggi badan pasien hamil di kebidanan RSUD Solok

Berat Badan
0,1%

4,7%
10,05%
< 40 kg
18,3%
40 -50 kg
18,9%
51 - 60 kg

61 - 70 kg

71 - 80 kg

47,3% > 80 kg

Gambar 4. Diagram berat badan pasien hamil di kebidanan RSUD Solok

20
IMT
1,2%
17,0 - 18,4 (Kekurangan
12,4% BB tingkat ringan)

18,5 -25,0 (Normal)


46,1%
25,1 -27,0 (Kelebihan
BB tingkat Ringan)
40,2%
> 27,0 (Kelebihan BB
Tingkat Berat)

Gambar 5. Diagram IMT pasien hamil di kebidanan RSUD Solok

Berdasarkan tabel dan diagram diatas, dari 169 orang pasien hamil di
bagian kebidanan yang masuk RSUD Solok 2 kasus (1,18%) diantaranya
merupakan kategori kekurangan berat badan tingkat ringan dengan nilai IMT 17,0
– 18,4 kg/m2, sebanyak 21 kasus (12,4%) diantaranya merupakan kategori normal
dengan nilai IMT 18,5 – 25,0 kg/m2, sebanyak 68 kasus (40,2%) diantaranya
merupakan kategori kelebihan berat badan tingkat ringan dengan nilai IMT 25,1 –
27,0 kg/m2 dan sebanyak 78 kasus (46,1%) diantaranya merupakan kelebihan
berat badan tingkat berat dengan nilai IMT > 27,9 kg/m2.
Berdasarkan tinggi badan, rata rata pasien hamil yang masuk ke kebidanan
RSUD Solok adalah 155,26 cm. Rata rata berat badan pasien hamil yang masuk
ke kebidanan RSUD Solok adalah sebanyak 69,24 dan rata rata Indeks Massa
Tubuh (IMT) pasien hamil di RSUD Solok adalah 28,84 kg/m2 dan termasuk
kategori kelebihan berat badan tingkat berat.

Tabel 7. Gambaran ukuran lingkar lengan atas di RSUD Solok

Karakteristik N % Mean
< 23,5 cm 9 5,3%
Lingkar
Lengan 23,5 – 28,5 cm 104 61,5% 28,2 cm
Atas > 28,5 cm 56 33,1%

21
LILA

5,3%

33,1% < 23,5 cm (Kurus)

23,5 - 28,5 cm (Normal)

61,5% > 28,5 cm (Obesitas)

Gambar 6. Diagram LILA pasien hamil di kebidanan RSUD Solok

Berdasarkan tabel dan diagram diatas, rata rata lingkar lengan atas pasien
hamil yang masuk ke nifas dan ponek kebidanan RSUD Solok adalah 28,2 cm.
Pasien dengan kriteria LiLA kurang/kurus adalah sebanyak 9 kasus (5,3%), pasien
dengan kriteria LiLA normal sebanyak 104 kasus (61,5%) dan pasien dengan
kriteria LiLA berlebih/obesitas sebanyak 56 kasus (33,1%). Rata-rata LiLA pasien
kebidanan RSUD Solok adalah 28,2 cm dan termasuk kategori normal.

Tabel 8. Perbandingan Penelitian Indeks Massa Tubuh

Penelitian Lain Penelitian di kebidanan RSUD Solok

Penelitian Hermanto Quedarusman Dari penelitian yang dilakukan pada


yang dilakukan pada bulan November tanggal 24 Februari sampai 2 April
– Desember 2012, dari 481 sampel 2017 dengan besar sampel 169 orang
penelitian didapatkan sekitar 15% didapatkan hasil 86,3% (146 orang)
subjek penelitian kelompok kasus masuk kelompok overweight, 12,4%
yang masuk di kelompok overweight (21 orang) termasuk normoweight dan
dan obesitas dan 85% termasuk 1,2% (2 orang) termasuk kelompok
normoweight. underweight.

22
Berdasarkan hasil penelitian ini dan penelitian pembanding memiliki
perbedaan yang mana pada penelitian pembanding dengan 481 sampel persentase
kelompok IMT terbesar yaitu pada kelompok normoweight sebesar 85%
sedangkan pada penelitian ini dari 169 sampel didapatkan persentase kelompok
IMT terbesar yaitu pada kelompok overweight sebesar 86,3%. Hal ini dapat
dipengaruhi beberapa faktor seperti jumlah sampel dan waktu penelitian.

Tabel 9. Perbandingan Penelitian Lingkar Lengan Atas

Penelitian Lain Penelitian di kebidanan RSUD Solok

Penelitian LILA oleh Zilya Andriani Dari penelitian yang dilakukan pada
di Kelurahan Sukamaju Kota Depok tanggal 24 Februari sampai 2 April
pada tahun 2015 dengan besar sampel 2017 dengan besar sampel 169 orang
100 orang didapatkan 85 responden didapatkan hasil 61,5% (104 orang)
memiliki ukuran LILA ≥23,5 cm dan pasien termasuk normal, 33,1% (56
15 ibu hamil memiliki ukuran LILA orang) masuk kelompok obesitas dan
<23,5 cm. 5,3% (9 orang) termasuk kelompok
kurus.

Berdasarkan hasil penelitian ini dan penelitian pembanding memiliki


persamaan yang mana pada penelitian pembanding dengan 100 sampel jumlah
LILA ibu hamil > 23,5 sebanyak 85 orang dan 15 orang dengan LILA < 23,5
sedangkan pada penelitian ini dari 169 sampel didapatkan LILA > 23,5 sebanyak
160 orang dan LILA < 23,5 sebanyak 9 orang.

23
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang gambaran status gizi ibu
hamil berdasarkan LILA dan IMT di Ruang Kebidanan RSUD Solok, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Indeks massa tubuh ibu hamil di kebidanan RSUD Solok pada tanggal 24
Februari – 2 April 2017 mayoritas termasuk kategori berlebih yaitu sebanyak
68 kasus (40,2%) merupakan kategori kelebihan berat badan tingkat ringan
dan sebanyak 78 kasus (46,1%) diantaranya merupakan kelebihan berat badan
tingkat berat.
2. Ukuran lingkar lengan atas pada ibu hamil di kebidanan RSUD Solok pada
tanggal 24 Februari – 2 April 2017 mayoritas termasuk kategori normal yaitu
dengan rata rata nilai 28,2 cm.

5.2. Saran
Diharapkan dilakukan penelitian tentang gambaran ukuran lingkar lengan
atas terhadap indeks massa tubuh pada pasien hamil dengan jumlah sample yang
lebih luas.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Agustina, dkk. Hubungan Perilaku Ibu Hamil dalam Memenuhi Kebutuhan


Nutrisi dengan Status Gizi Ibu Hamil di Rumah Sakit Khusus Daerah Ibu dan
Anak Siti Fatimah Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis, no. 5
(2014): h. 578- 583.

2. Alimul, A. Aziz. Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk Kebidanan.


Jakarta: Salemba Medika, 2008.

3. Almatsier, dkk. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama, 2011.

4. Sinclair, Constance. Buku Saku Kebidanan. Jakarta: EGC, 2009.

5. Susilowati, SKM. 2008. Pengukuran Status Gizi dengan Antropometri Gizi.


Dosen Kopertis Wilayah IV. (pdf_Online).

6. Achmad Djaini Sediaoetama. 1993. Ilmu Gizi. Jakarta; Penerbit Dian Rakyat.

7. Almatsier, 2006.Prinsip Ilmu Gizi. EGC. Jakarta.

8. Ariyani, dkk. Validitas Lingkar Lengan Atas Mendeteksi Risiko


Kekurangan Energi Kronis pada Wanita Indonesia. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional, no. 2 (September 2012): h. 83-90.

9. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pengukuran dan Pemeriksaan.


Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2007.

10. Gulo, W. Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,


2010.

25

Anda mungkin juga menyukai