Anda di halaman 1dari 6

Kronik Ramadan

Perang Yom Kippur: Ketika Mesir Menyerbu


Israel di Bulan Ramadan

Ilustrasi Perang Yom Kippur. tirto/Quita

Oleh: Muhammad Iqbal - 21 Mei 2018


Dibaca Normal 4 menit
Di bulan Ramadan 1973, pasukan Mesir berhasil menyentak militer Israel.
tirto.id - Presiden Mesir Anwar Sadat (1918-1981) menghadapi situasi internasional
yang tidak menguntungkan tatkala menempati jabatannya. Amerika Serikat di bawah
kepresidenan Richard Nixon berusaha mengendurkan ketegangan dengan sekutu
Mesir, Uni Soviet. Saat ketegangan antara kedua negara adidaya berkurang,
perselisihan regional seperti konflik Arab-Israel bukan urusan mendesak bagi Moskow
dan Washington.

Soviet dan Amerika bersedia menjalani kondisi status quo, kebijakan “tidak ada perang,
tidak ada perdamaian” antara Arab dan Israel, sampai pihak yang bersengketa
menunjukkan sikap lebih pragmatis untuk menyelesaikan persoalan. Sadat mafhum
kondisi status quo disukai Israel. Dengan berlalunya waktu, masyarakat internasional
semakin mudah menerima kekuasaan Israel atas wilayah Arab yang diduduki sejak
1967.

Untuk memecah kebuntuan ini, Sadat mengambil inisiatif. Dia harus memaksa Amerika
terlibat kembali dalam konflik Arab-Israel, mendorong Soviet untuk menyediakan
senjata berteknologi tinggi bagi Mesir, dan menunjukkan ancaman nyata kepada Israel
untuk mengembalikan Sinai. Demi mencapai tujuannya, Mesir harus berperang secara
terbatas dengan Israel.
Menurut Afaf Lutfi al-Sayyid Marsot dalam A History of Egypt: From the Arab Conquest
to the Present (2007), Sadat mengambil langkah pertama dengan mengusir 21.000
penasihat militer Soviet di Mesir pada Juli 1972. Hal ihwal ini merupakan strategi untuk
memaksa Amerika dan Soviet terlibat kembali dalam konflik Arab-Israel. Amerika mulai
mempertanyakan hubungan Mesir dengan Uni Soviet dan kemungkinan akan
mengalihkan negara Arab terkuat ini ke dalam kelompok pro-Barat.

Meski Sadat telah mengusir penasihat militer Soviet, dia berhati-hati untuk tidak
memutuskan hubungan dengan negara komunis itu. Dia mempertahankan Perjanjian
Persahabatan Mesir dan Soviet, agar tetap menunjukkan sikap bersahabat. Strategi
Sadat sukses: antara Desember 1972 hingga Juni 1973, Soviet mengekspor
persenjataan canggih ke Mesir lebih banyak dibanding ekspor dalam kurun 1970-1972
digabung jadi satu (hlm. 157-158).

Peperangan di Bulan Puasa


Perang pun meletus beberapa menit selepas pukul dua siang pada bulan suci
Ramadan, Sabtu, 6 Oktober 1973. Saat itu, tentara Suriah dan Mesir secara bersamaan
menyerang Israel dari utara dan selatan. Israel memang meyakini bahwa serangan
akan terjadi dalam waktu dekat. Namun, mereka berasumsi bahwa serangan tersebut
akan dilancarkan menjelang matahari terbenam. Serangan habis-habisan di dua front
pada siang hari itu adalah kejutan perdana untuk Israel.

Bersamaan dengan gempuran artileri yang gencar—panglima tentara Mesir Mohamed


el-Gamasy mengklaim pasukannya melepaskan 10.000 lebih tembakan pada menit-
menit pertama—gelombang tentara Mesir melintasi Terusan Suez menggunakan
perahu dinghy dan menyerbu benteng pasir Bar-Lev Line sambil bertakbir. Dalam
upaya menaklukkan posisi Israel yang secara luas diyakini tidak dapat ditembus itu,
tidak banyak korban jatuh di pihak Mesir..

“Pada pukul dua lewat lima menit, berita pertama dari pertempuran itu mulai
berdatangan ke [komando pusat] Nomor Sepuluh,” kenang jurnalis-cendekiawan Mesir
Mohamed Heikal dalam bukunya, Anwar Sadat: Kemarau Kemarahan (1984).

“Presiden Sadat dan [Panglima Perang] Ahmad Ismail mendengarkan dengan takjub.
Seolah-olah mereka hanya sedang menyaksikan latihan perang, ‘Misi berhasil... misi
berhasil’. Semuanya terdengar terlalu bagus untuk bisa dipercayai,” lanjut Heikal (hlm.
40).

Para komandan Israel pun mendengarkan dengan rasa tidak percaya saat tentara
mereka di benteng Yom Kippur—berarti Hari Penebusan bagi umat Yahudi—
menyembunyikan tanda peringatan dan menyatakan posisinya tak dapat dipertahankan
di hadapan pasukan musuh. Tank Suriah menyerbu Israel dan menekan jauh ke
Dataran Tinggi Golan. Angkatan udara Mesir dan Suriah merangsek ke dalam wilayah
Israel untuk menyerbu sejumlah pos militer utama.

Ketika militer Israel bergegas meluncurkan pasukan angkatan udara, jet tempur mereka
dicegat rudal SAM 6 Soviet begitu mencapai garis depan. Hilang sudah bayangan
kemenangan udara Israel pada Perang 1967. Tank Israel yang dikirimkan untuk
membantu di sepanjang Bar-Lev Line pun menghadapi kejutan serupa. Mereka
menghadapi infanteri Mesir yang dipersenjatai peluru kendali antitank bikinan Soviet
yang menghancurkan sekian banyak unit lapis baja Israel.

Atas keberhasilan itu, insinyur militer Mesir mempersiapkan pompa air tekanan tinggi
dan jalan bagi pasukan Mesir untuk melewati garis depan Israel menuju Semenanjung
Sinai. Jembatan ponton dihamparkan di atas kanal untuk digunakan tentara dan
kendaraan lapis baja menyeberangi bantaran timur dan masuk ke Sinai.

Menurut Eugene Rogan dalam The Arabs: A History (2011), pada pengujung hari
pertama pertempuran, sekitar 80.000 prajurit Mesir telah menyeberangi Bar-Lev Line
dan menggali parit sekitar 4 kilometer di Sinai. Di front utara, pasukan Mesir
menimbulkan kerugian besar pada tank-tank dan pesawat Israel dalam serangan di
dekat Danau Tiberias. Berkat strategi kejutan yang nyaris menyeluruh, keunggulan kini
berada di tangan Mesir dan Suriah dalam jam-jam pembukaan perang, saat Israel
tergesa-gesa dan panik untuk menanggapi ancaman terbesar yang pernah dihadapi
negara Yahudi itu (hlm. 529).

Militer Israel berhasil mengumpulkan kekuatan dan melakukan serangan balik. Dalam
waktu 48 jam, tentara cadangan berhasil disebarkan untuk mempertahankan posisi di
Sinai dan memusatkan serangan di Golan. Mereka berharap mampu mengalahkan
Suriah, sebelum berkonsentrasi pada pasukan Mesir yang lebih besar.

Sebagai tanggapan atas konsolidasi pasukan Israel, infanteri dan unit kendaraan lapis
baja Irak, Arab Saudi, dan Yordania dikirim ke Suriah untuk menghadapi serangan balik
Israel di Golan. Israel dan negara-negara Arab menderita korban berat dan
menghabiskan cadangan persenjataan dan amunisi mereka pada pertempuran paling
ganas dalam konflik Arab-Israel itu (hlm. 530).
Ketegangan yang Menyeret Dua Adidaya
Dalam A History of Modern Israel (2013), Colin Shindler mendedahkan bahwa
pemerintahan Nixon menyadari bahwa mereka berada dalam posisi sulit. Mereka ingin
memenangkan dunia Arab, tetapi tidak dengan mengorbankan keamanan Israel. Dalam
situasi Perang Dingin, Amerika bertekad bahwa Israel, dengan persenjataan yang
dipasok dari Amerika, harus menang atas negara-negara Arab yang didukung Soviet.
Tatkala Israel beralih ke AS dengan permintaan mendesak agar memasok kembali
persenjataan mereka yang kian menipis, Nixon menyetujui undang-undang pada 18
Oktober untuk mengirimkan paket persenjataan senilai $2,2 miliar ke Israel (hlm. 123).

Sikap AS yang terang-terangan mendukung Israel ini menyebabkan dunia Arab murka.
Satu demi satu negara-negara Arab memberlakukan embargo menyeluruh pada
Amerika. Produksi minyak Arab turun 25% dan harga minyak melonjak. Puncaknya
terjadi pada Desember 1973 ketika harga minyak menyentuh $11,65 per barel.

Selama enam bulan, harga minyak meroket empat kali lipat. Ini sangat meresahkan
negara-negara Barat dan merugikan konsumen. Negara-negara Barat menghadapi
tekanan rakyat mereka untuk mengakhiri embargo minyak. Satu-satunya cara untuk
menyelesaikan krisis minyak adalah mengatasi konflik Arab-Israel. Sadat telah
mencapai tujuan strategisnya dan memaksa Amerika Serikat memulai kembali
diplomasi regional (hlm. 124).

Pasukan Sadat semakin lemah jika perang itu semakin lama berlangsung. Ahron
Bregman dalam Israel’s Wars: A History since 1947 (2000) menelaah bahwa pada
minggu ketiga Oktober, Israel melakukan serangan balasan. Pasukannya bergerak jauh
ke dalam wilayah Arab hingga hanya berjarak sekitar 60 mil dari Kairo dan hanya 20 mil
dari Damaskus.

Keberhasilan itu diperoleh dengan pengorbanan luar biasa. Sekitar 2.800 tentara Israel
tewas dan 8.800 lainnya terluka. Jika mengacu pada populasi Israel dan gabungan
negara-negara Arab, jumlah korban di pihak Israel secara proporsional jauh lebih
merugikan dibandingkan 8.500 tentara Arab yang tewas dan hampir 20.000 terluka
dalam perang itu (hlm. 68).

Serangan balik Israel meningkatkan ketegangan baru antara kedua negara adidaya.
Saat Israel berhasil mengepung pasukan Mesir di tepi barat Terusan Suez, Perdana
Menteri Uni Soviet Leonid Brezhnev mengirimkan sepucuk surat kepada Nixon. Dalam
suratnya, Brezhnev menyerukan tindakan diplomatik bersama. Setelah beberapa jam
ketegangan yang meningkat, kedua negara adidaya sepakat menggabungkan kekuatan
untuk menyerukan upaya diplomatik guna mengakhiri Perang Yom Kippur.

Setelah perang intensif selama 16 hari, kedua pihak sudah siap untuk meletakkan
senjata dan menyepakati genjatan senjata yang dinegosiasikan melalui Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada 22 Oktober 1973. Pada hari
yang sama, DK mengeluarkan Resolusi 338 untuk mempertegas Resolusi 242 yang
menyerukan penyelenggaraan konferensi perdamaian melalui pertukaran tanah.
Pada Desember 1973, PBB akhirnya menyelenggarakan konferensi internasional di
Jenewa untuk membahas masalah tanah Arab yang diduduki Israel pada 1967 sebagai
langkah pertama menuju resolusi yang adil dan abadi atas konflik Arab-Israel.

Konferensi Jenewa terbukti tak menghasilkan keputusan apapun. Mesir menyebut Tepi
Barat sebagai wilayah Palestina dan merusak posisi negosiasi Yordania. Yordania
merasa Mesir sedang menghukum mereka karena tidak ambil bagian dalam Perang
Yom Kippur.

Menteri Luar Negeri Yordania Samir al-Rifa’i menyerukan penarikan seluruh tentara
Israel dari semua wilayah Arab yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur. Sementara
Menteri Luar Negeri Israel Abba Eban menegaskan bahwa Israel tidak akan kembali ke
garis batas 1967 dan menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang tak
terpisahkan.

Satu-satunya hasil penting dari konferensi itu adalah penciptaan bersama kelompok
kerja militer Mesir-Israel untuk merundingkan penarikan mundur tentara Mesir dan
Israel dari Sinai.

Sebagai buntut dari kegagalan konferensi itu, Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger
memulai upaya diplomasi gencar untuk mengadakan perjanjian penarikan mundur
tentara antara Israel dan tetangga Arab-nya. Perjanjian disepakati antara Mesir dan
Israel pada 18 Januari 1974 dan antara Suriah dan Israel pada Mei 1974.

Lewat perjanjian tersebut, Mesir mendapatkan kembali seluruh tepi timur Terusan Suez,
dengan zona penyangga yang dikendalikan PBB. Suriah juga memperoleh kembali
sepotong wilayah Golan yang hilang dalam Perang Juni 1967, diiringi pula penempatan
tentara penyangga PBB.

Dengan berakhirnya perang dan diplomasi gencar yang dilakukan setelahnya, negara-
negara Arab menyatakan tujuan mereka telah tercapai dan mengakhiri embargo minyak
pada 18 Maret 1974.

====================

Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam


sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel
tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad
Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangkaraya, mengampu rubrik ini selama satu
bulan penuh.

Anda mungkin juga menyukai