REFLEKSI DIRI PRAKTIK IV SETTING KOMUNITAS (KELUARGA)
Oleh Yohana Andini, 1206218511
Praktikum Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (P-KKMP) dalam setting
komunitas yang saya jalani di semester 7 ini berlangsung dalam sistem block. Kami menjalani praktikum ini selama satu bulan saja, dimana kami harus memadatkan setiap pengkajian dan intervensi hanya dalam waktu dua hari yang berdekatan. Awalnya saya merasa pesimis dan khawatir tindak sanggup untuk menjalani P-KKMP ini, saya sudah membayangkan bahwa setiap habis pengkajian saya harus kurang tidur karena harus membuat laporan hasil pengkajian kemudian menyiapkan media intervensi untuk keesokan harinya. Saya juga mengetahui bahwa kelompok kelas sebelumnya yang sudah menjalani P- KKMP ini harus bolak-balik antara tempat setting praktiknya dengan kembali lagi ke RIK. Bayangan-bayangan seperti itu sungguh sangat mempengaruhi saya ketika ingin memulai P- KKMP ini. Namun semuanya berubah ketika diawal kelompok kelas kami telah dihubungi dari jauh-jauh hari sebelum P-KKMP ini dimulai oleh fasilitator kami, Ibu Yuni. Saat ini merupakan kali ketiga saya mendapatkan beliau sebagai fasilitator untuk mata ajar terkait keperawatan komunitas. Saya sudah paham bahwa jika bersama beliau, kami sekelas tidak bisa bersantai hanya dengan mengikuti alur jadwal yang disediakan oleh fasilitator, tetapi kami diajak untuk bekerja sama menyesuaikan jadwal masing-masing dengan kebutuhan mata ajar P-KKMP ini. Bagitu banyak manfaat yang saya rasakan selama melalui mata ajar ini bersama dengan Ibu Yuni. Hal pertama yang saya rasakan adalah, segala kekhawatiran saya dan kepesimisan saya untuk menjalani P-KKMP ini perlahan sirna, karena dari awal Ibu Yuni sudah menawarkan untuk bekerja lebih keras sebelum P-KKMP ini dimulai. Kami diajak untuk bekerja sama menyelesaikan renpra, instrumen pengkajian, dan media terkait renpra. Bagi saya hal ini tidak masalah untuk dikerjakan diawal, karena ketika pada saatnya akan melakukan pengkajian pada setting yang berbeda kami hanya tinggal menyesuaikan renpranya saja dan mempersiapkan media dalam waktu singkat. Mulai dari sinilah saya merasa bahwa beban dalam P-KKMP ini tidak begitu berat seperti yang saya rasakan sebelumnya. Dimulai ketika kami dalam kelompok kecil harus melakukan pengkajian kepada orang tua (lansia) yang terkena DM. Saya begitu senang, karena walaupun jadwal Ibu Yuni sebagai pembimbing kami begitu padat, beliau tidak serta merta meninggalkan kami melakukan aktivitas P-KKMP ini sendirian saja seperti orang hilang. Kami dititipkan oleh Ibu Yuni kepada Ibu Eny yaitu seorang mahasiswa residensi keperawatan komunitas yang sedang menjalani praktiknya di daerah yang sama dimana kami dapat melakukan pengkajian dengan keluarga. Selain itu, juga ada sosok Ibu Kader yang akrab dipanggil Bude di wilayah tersebut. Saya merasa dilayani dan difasilitasi dengan sangat memuaskan sekali di tahap awal menjalani P-KKMP ini. Selain itu saya juga merasa, bimbingan dari Ibu Yuni begitu sangat intens dengan selalu berkomunikasi bersama kami melalui grup pesan singkat yang ada di smartphone kami. Merasa begitu terfasilitasi dan terbimbing dengan pemantauan yang intens, saya dan kelompok merasa sangat percaya diri untuk melakukan pengkajian pertama kami dengan keluarga Bapak J. Keluarga Bapak J juga begitu ramah dan terbuka menerima kami sebagai mahasiswa yang sedang melakukan praktik keperawatan. Bapak dan Ibu J keduanya terkena DM, namun Ibu J karena sudah lebih awal beberapa tahun yang lalu sudah melakukan perawatan penyakit DMnya sehingga Ibu J sudah sangat mahir untuk meningkatan kesejahteraan dirinya dengan rutin berolahraga setiap hari dan Ibu J merasa dengan olahraga rutin yang dijalankannya begitu sangat bermanfaat dalam menyeimbangan kadar glukosa dalam darahnya sehingga dapat terkontrol dan dapat menyeimbangkannya melalui pola makan dan pola hidup yang baik. Berbeda dengan Bapak J, yang baru beberapa bulan ini mengetahui bahwa penyakit DMnya mulai dirasakannya, sehingga Bapak J masih harus beradaptasi dengan program perawatan terkait penyakit DMnya. Namun karena memiliki istri yang sudah melakukan perawatan terlebih dahulu, selain dengan perawat, Bapak J juga diayomi oleh Ibu J dalam melakukan perawatan penyakit DMnya. Ada beberapa catatan yang saya dapatkan ketika melakukan pengkajian keluarga Bapak J ini. Dimana keluarga ini sudah memiliki pengetahuan terkait penyakit DM, namun hanya dipermukaannya saja. Keluarga masih menganggap bahwa gejala-gejala yang dialami oleh Bapak J terlepas dari penyakit DM yang diderita oleh Bapak J. Seperti gejala yang baru- baru ini dirasakan oleh Bapak J yang dalam ilmu kesehatan dapat dikatakan sebagai penyakit stroke ringan, namun keluarga menganggap bahwa gejala seperti bibir yang miring ketika berbicara dan dengan pelafalan yang cadel adalah kejadian kesurupan makhluk gaib. Namun ketika mahasiswa sudah menjelaskan mengenai penyakit-penyakit yang dapat menyertai jika seseorang terkena DM, keluarga mulai merasa bahwa setiap gejala-gejala yang akan muncul kemudian perlu diwaspadai dan keluarga pun berniat akan segera melalukan pengecekan kesehatan mengenai gejala stroke ringan tersebut ke pelayanan kesehatan terdekat. Pada saat mahasiswa melakukan intervensi keperawatan dihari selanjutnya, Ibu dan Bapak J yang saat ini hanya tinggal bertiga dengan seorang lansia juga yaitu Ibu kandung dari Ibu J merasa sangat senang sekali. Keluarga senang ketika diberikan media edukasi yang menarik dibanding hanya diberikan media edukasi berupa tulisan saja. Media edukasi berperan sangat penting terhadap kepuasan klien dalam menyerap pendidikan kesehatan yang diberikan oleh perawat. Selain itu, media yang menarik juga dapat memberikan tambahan motivasi ketika klien dalam melakukan perawatan kesehatan secara mandiri. Oleh sebab itu, pada setiap intervensi selanjutnya saya dan kelompok akan berusaha untuk menyiapkan sebuah intervensi yang menarik dengan harapan klien kami dapat benar-benar merasakan intervensi yang telah diberikan dan memberikan kesan yang tak terlupakan agar mereka dapat menyerap segala informasi yang tidak hanya berlalu begitu saja. Harapan saya kedepannya ketika melakukan intervensi kepada keluarga, saya dapat tetap menerapkan sikap yang profesional agar klien saya dapat menjalin kepercayaan kepada sosok perawat sehingga proses keperawatan yang akan dijalankan dapat berlangsung dengan baik dan lancar. Oleh sebab itu, sangat perlu untuk membina hubungan saling percaya pada tahap awal pertemuan, sehingga klien dapat terbuka dan tidak segan-segan untuk berkoordinasi secara aktif selama perawat berinteraksi dengan klien. Sikap profesional juga harus dijunjung tinggi, agar keduanya dapat saling merasa dihargai dan klien dapat diajak untuk berkolaborasi demi mewujudkan outcome yang maksimal. REFLEKSI DIRI PRAKTIK IV SETTING KOMUNITAS (SEKOLAH) Oleh Yohana Andini, 1206218511
Praktikum Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (P-KKMP) dalam setting
komunitas yang saya jalani di semester 7 ini berlangsung dalam sistem block. Kami menjalani praktikum ini selama satu bulan saja, dimana kami harus memadatkan setiap pengkajian dan intervensi hanya dalam waktu dua hari yang berdekatan. Awalnya saya merasa pesimis dan khawatir tindak sanggup untuk menjalani P-KKMP ini, saya sudah membayangkan bahwa setiap habis pengkajian saya harus kurang tidur karena harus membuat laporan hasil pengkajian kemudian menyiapkan media intervensi untuk keesokan harinya. Saya juga mengetahui bahwa kelompok kelas sebelumnya yang sudah menjalani P- KKMP ini harus bolak-balik antara tempat setting praktiknya dengan kembali lagi ke RIK. Bayangan-bayangan seperti itu sungguh sangat mempengaruhi saya ketika ingin memulai P- KKMP ini. Namun semuanya berubah ketika diawal kelompok kelas kami telah dihubungi dari jauh-jauh hari sebelum P-KKMP ini dimulai oleh fasilitator kami, Ibu Yuni. Saat ini merupakan kali ketiga saya mendapatkan beliau sebagai fasilitator untuk mata ajar terkait keperawatan komunitas. Saya sudah paham bahwa jika bersama beliau, kami sekelas tidak bisa bersantai hanya dengan mengikuti alur jadwal yang disediakan oleh fasilitator, tetapi kami diajak untuk bekerja sama menyesuaikan jadwal masing-masing dengan kebutuhan mata ajar P-KKMP ini. Bagitu banyak manfaat yang saya rasakan selama melalui mata ajar ini bersama dengan Ibu Yuni. Hal pertama yang saya rasakan adalah, segala kekhawatiran saya dan kepesimisan saya untuk menjalani P-KKMP ini perlahan sirna, karena dari awal Ibu Yuni sudah menawarkan untuk bekerja lebih keras sebelum P-KKMP ini dimulai. Kami diajak untuk bekerja sama menyelesaikan renpra, instrumen pengkajian, dan media terkait renpra. Bagi saya hal ini tidak masalah untuk dikerjakan diawal, karena ketika pada saatnya akan melakukan pengkajian pada setting yang berbeda kami hanya tinggal menyesuaikan renpranya saja dan mempersiapkan media dalam waktu singkat. Mulai dari sinilah saya merasa bahwa beban dalam P-KKMP ini tidak begitu berat seperti yang saya rasakan sebelumnya. Selanjutnya saya masuk kedalam kelompok besar yang beranggotakan 9 orang. Saat itu, kami melakukan pengkajian keperawatan pada anak sekolah menengah pertama (SMP) swasta yang kharakteristik individunya masih dibawah rata-rata. Kali ini, saya berserta kelompok didampingi oleh Ibu Wira dan Kak Esti. Namun tetap dalam pengawasan dan bimbingan dari Ibu Yuni. Sekolah yang kelompok kami datangi termasuk dalam kategori yang biasa-biasa saja, tidak terlalu baik dan buruk pula. Fasilitas yang disediakan oleh sekolah juga lumayan baik namun hanya perlu sedikit perubahan saja. Dimana belum dijalankannya dengan baik sistem UKS, padahal UKS yang seharusnya menjadi pelopor untuk meningkatkan kesehatan pada setiap warga sekolah tersebut. Walaupun kotak P3K sudah tersedia dengan lengkap, namun perlu adanya penggerak agar UKS ini dapat berjalan dengan aktif di sekolah tersebut. Saya mengetahui bahwa anak usia SMP dalam proses tumbuh kembangnya adalah untuk mencari jadi diri. Sangat jelas sekali terlihat bahwa anak-anak ini begitu sangat aktif dalam setiap perilakunya. Masing-masing berusaha untuk menunjukkan bahwa dialah yang dominan dalam suatu kelompok anak, pada umumnya siswa laki-laki begitu sangat agresif ketika terdapat beberapa mahasiswa keperawatan yang mengunjungi kelas mereka. Terdapat beberapa kendala ketika kami melakukan pengkajian dengan anak usia SMP, dimana lingkungan sekolah yang begitu ramai dan tidak serentak diadakannya jadwal belajar dimana pada saat yang bersamaan ada pula siswa/i yang sedang bermain dilapangan sehingga membuyarkan konsentrasi pada setiap siswa/i. Pada proses pengkajian saat itu, kami berfokus pada penyakit anemia yang mungkin dialami oleh seorang remaja. Walaupun fokus penyakit anemia ini tidak murni ide dari mahasiswa P-KKMP namu saya menyadari bahwa pada pola aktivitas anak usia remaja yang begitu aktif sehingga sangat memungkinkan mereka melalaikan pola makan yang sehat sehingga mudah lelah dan sulit berkonsentrasi yang merupaka gejala dari penyakit anemia. Karena anak usia remaja di kelas yang kami kelola begitu aktif dan ramai sekali, proses pengkajiannya pun mengalami beberapa kendala dimana suara dari mahasiswa yang kurang begitu jelas terdengar sehingga ada beberapa siswa/i yang sulit menangkap tujuan dari mahasiswa yang sedang melakukan pengarahan. Selain itu, perilaku sebagian siswa yang begitu agresif sehingga berulang kali meminta penjelasan kepada mahasiswa membuat rencana mahasiswa sedikit terhambat. Dimana kelompok kami ingin semuanya berjalan sesuai alur rencana, namun ada saja yang menimbulkan ulah sehingga perlu ditangai oleh tiap-tiap mahasiswa agar para siswa yang agresif tersebut dapat tenang dan mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir dengan baik. Saat itu saya merasa begitu emosi saat menangani para siswa yang begitu aktif ini, saya paham bahwa mereka bercanda dan hanya ingin menonjolkan identitas dirinya, namun untuk menjunjung tinggi sikap profesional saya harus menaham emosi saya dalam menangani para siswa tersebut. Bagaimanapun mereka sangat perlu untuk mengikuti aktivitas yang dijalankan oleh kelompok kami walaupun mereka belum menyadari kebermanfaatannya. Namun saya bersyukur karena masih ada beberapa siswa yang secara mandiri dapat diajak untuk berkolaborasi secara aktif mengikuti arahan dari mahasiswa. Setelah itu, keesokan harinya kami melakukan intervensi keperawatan terkait penyakit anemia. Bentuk intervensi yang kami berikan yaitu roleplay, karena kami sudah mengetahui perilaku dari masing-masing individu dalam kelompok kelas tersebut, kami sudah mulai beradaptasi untuk dapat tahan dengan kesabaran dalam menyikapi segala tingkah laku mereka. Saya bersyukur intervensi dapat berjalan dengan baik, para siswa yang sebelumnya begitu agresif dapat tertangani dan dapat diajak untuk berkolaboratif mengikuti alur kegiatan pada saat itu. Beberapa siswa/i yang kami tanyakan mengenai kesan pesannya juga menyampaikan pendapatnya sesuai dengan harapan kami. Bahwa intervensi yang telah diberikan tidak sia-sia dan mereka pada akhirnya dapat memahami mengenai penyakit anemia. Selain itu, kelompok kami juga menyediakan sebuah poster mengenai manajemen anemia pada remaja yang dapat ditempel pada kelas mereka, agar setelah para mahasiswa selesai melakukan praktik di sekolah, mereka dapat secara mandiri meningkatkan pengetahuan kesehatan mereka melalui media edukasi yang telah kami sediakan. Pada akhirnya saya menyadari bahwa pada setiap target proses keperawatan perlu pendekatan yang berbeda. Tidak bisa semuanya dipersepsikan sama bahwa semua individu dapat menerima sosok mahasiswa keperawatan dengan baik. Saya harus siap sebelumnya, dan harus mengetahui pola pertumbuhan dan perkembangan pada kelompok umur tertentu, sehingga pada saat melakukan proses keperawatan dapat saling menghargai sehingga proses keperawatan dapat berjalan sesuai rencana. Hal yang sudah dilewati dapat saya jadikan sebagai pengalaman yang berharga dan juga sebagai hasil belajar yang tak terlupakan dan kedepannya merupakan sebuah tantangan bagi saya agar saya tetap dapat mempertahankan sikap profesional ketika akan memasuki setiap latar belakang target klien saya. REFLEKSI DIRI PRAKTIK IV SETTING KOMUNITAS (ANAK JALANAN) Oleh Yohana Andini, 1206218511
Praktikum Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (P-KKMP) dalam setting
komunitas yang saya jalani di semester 7 ini berlangsung dalam sistem block. Kami menjalani praktikum ini selama satu bulan saja, dimana kami harus memadatkan setiap pengkajian dan intervensi hanya dalam waktu dua hari yang berdekatan. Awalnya saya merasa pesimis dan khawatir tindak sanggup untuk menjalani P-KKMP ini, saya sudah membayangkan bahwa setiap habis pengkajian saya harus kurang tidur karena harus membuat laporan hasil pengkajian kemudian menyiapkan media intervensi untuk keesokan harinya. Saya juga mengetahui bahwa kelompok kelas sebelumnya yang sudah menjalani P- KKMP ini harus bolak-balik antara tempat setting praktiknya dengan kembali lagi ke RIK. Bayangan-bayangan seperti itu sungguh sangat mempengaruhi saya ketika ingin memulai P- KKMP ini. Namun semuanya berubah ketika diawal kelompok kelas kami telah dihubungi dari jauh-jauh hari sebelum P-KKMP ini dimulai oleh fasilitator kami, Ibu Yuni. Saat ini merupakan kali ketiga saya mendapatkan beliau sebagai fasilitator untuk mata ajar terkait keperawatan komunitas. Saya sudah paham bahwa jika bersama beliau, kami sekelas tidak bisa bersantai hanya dengan mengikuti alur jadwal yang disediakan oleh fasilitator, tetapi kami diajak untuk bekerja sama menyesuaikan jadwal masing-masing dengan kebutuhan mata ajar P-KKMP ini. Bagitu banyak manfaat yang saya rasakan selama melalui mata ajar ini bersama dengan Ibu Yuni. Hal pertama yang saya rasakan adalah, segala kekhawatiran saya dan kepesimisan saya untuk menjalani P-KKMP ini perlahan sirna, karena dari awal Ibu Yuni sudah menawarkan untuk bekerja lebih keras sebelum P-KKMP ini dimulai. Kami diajak untuk bekerja sama menyelesaikan renpra, instrumen pengkajian, dan media terkait renpra. Bagi saya hal ini tidak masalah untuk dikerjakan diawal, karena ketika pada saatnya akan melakukan pengkajian pada setting yang berbeda kami hanya tinggal menyesuaikan renpranya saja dan mempersiapkan media dalam waktu singkat. Mulai dari sinilah saya merasa bahwa beban dalam P-KKMP ini tidak begitu berat seperti yang saya rasakan sebelumnya. Pada proses keperawatan selanjutnya dilakukan di Sekolah Master yang latar belakang siswa/i merupakan anak jalanan yang tak jarang bekerja sebagai pengamen atau hanya sekedar beraktivitas tak menentu di jalanan. Selain itu, ada pula beberapa siswa yang tidak bekerja di jalan, namun membantu orang tuanya di rumah. Saat pertama kali mengunjungi Sekolah Master, kami didampingi oleh Kak Esti dan Pak Suki. Saat pembagian target kelolaan, saya bersama kelompok yang sama ketika di setting sekolah mendapatkan kelompok siswa laki-laki kelas 7 SMP. Karena pengalaman dari sekolah sebelumnya dimana para siswa yang begitu agresif, saya mulai bersiap-siap untuk bersikap untuk menangani para siswanya nanti yang mungkin saja lebih agresif dari yang sebelumnya. Namun setelah memasuki lingkungan para siswa tersebut, terdapat atmosfir yang berbeda yang saya rasakan. Para siswa di sekolah ini jauh lebih tenang dibanding anak sekolah yang sebelumnya. Walaupun ada beberapa yang agresif, namun siswa yang lain tidak terpengaruh dengan beberapa siswa yang begitu dominan tersebut, sehingga saya merasa tidak terlalu terbeban dalam menangai kelompok siswa kelas tersebut. Pengalaman menarik yang saya rasakan saat itu adalah ketika hadirnya seorang siswa yang berperilaku tidak seperti seorang siswa laki-laki pada umumnya. Dimana siswa tersebut berperilaku seperti seorang wanita, dari tutur katanya dan perilakunya bahkan lebih gemulai dari kami sebagai mahasiswi perempuan. Seperti anak remaja pada umumnya, dimana ada suatu perbedaan, maka timbullan suatu perbincangan yang kurang baik. Terkadang beberapa siswa tersebut mengejek seorang siswa yang berbeda ini. Namun karena sudah terbiasa diledeki oleh teman laki-lakinya yang lain, siswa ini menganggapnya biasa saja dan justru begitu senang ketika ada teman laki-lakinya yang menggoda dia. Selain itu, dia juga dapat berbaur dengan baik dengan teman-temannya sekelas dan saya beranggapan bahwa siswa ini memiliki koping yang baik dalam menyikapi perilaku teman-temannya. Saya juga beranggapan, mungkin karena adanya sosok siswa yang berbeda ini, suasana kelas dapat berjalan dengan baik karena begitu seimbang antara segala hal risiko keributan dengan keharmonisan lingkungan kelas. Pada kali itu, kami menerapkan pengkajian terkait perilaku membuli. Saya merasa konsep yang kami sediakan ini sangat cocok sekali untuk dijalankan di Sekolah Master tersebut. Saya senang sekali dari awal proses pengkajian para siswa yang dibentuk dalam kelompok wawancara dapat berjalan dengan baik. Walaupun tingkat pengetahuan mereka masih minim, namun mereka sangat tertarik sekali untuk diajak berdiskusi dengan mahasiswa keperawatan. Saya sendiri merasa sangat dihargai oleh mereka, walupun sesekali ada bercandaan diluar konsep, namun kami dapat memberikan fokus yang baik kepada sekelompok siswa tersebut sehingga pada proses pengkajian dapat berjalan dengan baik dan sesuai rencana. Keesokan harinya ketika kami melakukan intervensi, saya sendiri merasa percaya diri untuk bertemu dengan para siswa. Saya merasa pertemuan diawal, sudah cukup memberikan kesan yang baik agar kelompok mahawasiswa dapat membina hubungan saling percaya. Sesuai harapan saya, proses intervensi yang kami berikan dalam bentuk roleplay berjalan dengan baik, semua siswa memperhatikan secara fokus karena didukung juga oleh lingkungan yang lumayan kondusif walaupun kami berada di area terbuka. Setelah melakukan roleplay, kami mengajak beberapa siswa untuk mempraktikkan kembali mengenai edukasi terkali perilaku membuli. Untuk beberapa siswa yang aktif, mereka memberanikan diri untuk memeragakan kembali edukasi yang telah mahasiswa berikan. Bagi siswa yang masih malu-malu, mereka begitu tenang memperhatikan temannya memperagakan aktivitas yang secara langsung merupakan aktivitas yang dapat merubah perilaku mereka bahwa kebiasaan membuli merupakan kebiasaan yang tidak baik. Mereka pun pada akhirnya juga memahami cara menyikapi teman mereka yang hendak berperilaku membuli, melalui reka adegan ulang yang mereka peragakan.Kedepannya, saya berharap perilaku membuli yang merupakan kebiasaan pada anak-anak ini setidaknya dapat berkurang dan menjadi contoh perubahan bagi siswa yang lainnya. REFLEKSI DIRI PRAKTIK IV SETTING KOMUNITAS (ODHA) Oleh Yohana Andini, 1206218511
Praktikum Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (P-KKMP) dalam setting
komunitas yang saya jalani di semester 7 ini berlangsung dalam sistem block. Kami menjalani praktikum ini selama satu bulan saja, dimana kami harus memadatkan setiap pengkajian dan intervensi hanya dalam waktu dua hari yang berdekatan. Awalnya saya merasa pesimis dan khawatir tindak sanggup untuk menjalani P-KKMP ini, saya sudah membayangkan bahwa setiap habis pengkajian saya harus kurang tidur karena harus membuat laporan hasil pengkajian kemudian menyiapkan media intervensi untuk keesokan harinya. Saya juga mengetahui bahwa kelompok kelas sebelumnya yang sudah menjalani P- KKMP ini harus bolak-balik antara tempat setting praktiknya dengan kembali lagi ke RIK. Bayangan-bayangan seperti itu sungguh sangat mempengaruhi saya ketika ingin memulai P- KKMP ini. Namun semuanya berubah ketika diawal kelompok kelas kami telah dihubungi dari jauh-jauh hari sebelum P-KKMP ini dimulai oleh fasilitator kami, Ibu Yuni. Saat ini merupakan kali ketiga saya mendapatkan beliau sebagai fasilitator untuk mata ajar terkait keperawatan komunitas. Saya sudah paham bahwa jika bersama beliau, kami sekelas tidak bisa bersantai hanya dengan mengikuti alur jadwal yang disediakan oleh fasilitator, tetapi kami diajak untuk bekerja sama menyesuaikan jadwal masing-masing dengan kebutuhan mata ajar P-KKMP ini. Bagitu banyak manfaat yang saya rasakan selama melalui mata ajar ini bersama dengan Ibu Yuni. Hal pertama yang saya rasakan adalah, segala kekhawatiran saya dan kepesimisan saya untuk menjalani P-KKMP ini perlahan sirna, karena dari awal Ibu Yuni sudah menawarkan untuk bekerja lebih keras sebelum P-KKMP ini dimulai. Kami diajak untuk bekerja sama menyelesaikan renpra, instrumen pengkajian, dan media terkait renpra. Bagi saya hal ini tidak masalah untuk dikerjakan diawal, karena ketika pada saatnya akan melakukan pengkajian pada setting yang berbeda kami hanya tinggal menyesuaikan renpranya saja dan mempersiapkan media dalam waktu singkat. Mulai dari sinilah saya merasa bahwa beban dalam P-KKMP ini tidak begitu berat seperti yang saya rasakan sebelumnya. Pada kegiatan selanjutnya, tetap dalam kelompok besar yang 9 orang kami mendapat kewajiban untuk melakukan wawancara kepada ODHA yang berada di Kuldesak. Saat itu, merupakan kegiatan yang tidak asing bagi saya karena sebelumnya saya pernah berinteraksi bersama ODHA dalam suatu kegiatan talk show dilain kegiatan. Saya merasa biasa saja, seperti melalukan wawancara dengan orang normal, karena saya membandingkan dengan beberapa teman kelompok lain yang merasa ada yang takut untuk berinteraksi bersama ODHA. Mulai dari situ, ternyata stigma ODHA tidak hanya menjadi stigma yang kurang menyenangkan di kalangan masyarakat namun sebagai mahasiswa yang sudah berpendidikan pun masih ada saja yang beranggapan bahwa ODHA dianggap sebagai seseorang yang berbeda sehingga perlu perilaku yang berbeda pula. Ada yang merasa khawatir setelah bersalaman bersama ODHA dan saya merasa sangat prihatin melihat perilaku mahasiswa yang masih seperti itu. Terlepas dari sikap mahasiswa yang kurang menyenangkan ketikan berinteraksi bersama ODHA, klien yang kami kunjungi untuk dilakukannya wawancara begitu luar biasa. Beliau adalah mantan pengguna narkoba dengan jarum suntik. Walaupun mengetahui mengidap HIV/AIDS, beliau dan keluarganya sangat peduli sekali untuk melakukan pengobatan. Setelah melakukan serangkaian perawatan dan pengobatan seumur hidupnya ini, banyak sekali pengalaman yang dapat dijadikan pengetahuan oleh beliau. Beliau kini dapat mengetahui dengan baik terkait penyakit HIV/AIDS, berbekal pengetahuannya tersebut maka beliau dipercaya oleh Yayasan Kuldesak untuk menjadi fasilitator pendamping bagi para ODHA yang lainnya. Beliau biasa menjadi seorang pendamping dan kerjanya memberikan semangat bagi para ODHA agar dapat tetap bertahan hidup dan tidak menjadi putus asa dengan stigma masyarakat terkait HIV/AIDS. Beliau ingin membuktikan bahwa ODHA tetap dapat bertahan dan dapat berperilaku dengan baik jika orang tersebut memiliki pengetahuan yang baik terkait perawatan HIV/AIDS agar tidak semakin memburuk atau menularkan dengan orang lainnya. Selain itu, keluarga beliau juga tidak malu untuk memberitahukan kepada tetangganya yang memiliki anak dengan gejala HIV/AIDS yang juga dulunya teman sepermainan narkoba jarum suntik bersama anaknya untuk memberikan semangat melakukan pemeriksaan dan pengobatan dan memerikan bukti bahwa anaknya kini tetap dapat bertahan hidup dengan gaya hidup yang memang perlu dilakukannya penyesuaian terkait kondisi penyakit HIV/AIDS. Selain itu saya juga kagum, bahwa klien yang kami wawancarai memiliki tiga orang anak yang semuanya negatif terinfeksi HIV/AIDS walaupun sang istri juga sebelumnya merupakan ODHA di Yayasan Kuldesak. Beliau menceritakan bagaimana ia dan istrinya menjalani kehidupannya dengan penyakit HIV/AIDS tersebut. Mereka berjuang hidup bersama, menjadi sukarelawan menyebarkan informasi kesehatan terkait HIV/AIDS. Walaupun latar belakang mereka bukan dari orang pendidikan kesehatan, namun mereka sangat peduli untuk meningkatan pengetahuan mereka terkait HIV/AIDS melalui informasi terpercaya di internet, malalui buku-buku, dan jurnal-jurnal kesehatan agar informasi kesehatan yang mereka bagikan kepada orang sekitar merupakan edukasi yang berbobot dengan berlandaskan referensi yang terpercaya. Beliau juga mengatakan bahwa, masyarakat itu harus diberikan bukti yaitu ODHA sendiri yang melakukan intervensi pendidikan kesehatan terkait HIV/AIDS agak mereka sadar bahwa ODHA masih dapat berguna dimasyarakat dan dapat dijadikan sebagai motivasi karena dengan pola perilaku yang baik mereka masih dapat tetap bertahan hidup. Belajar dari pengalaman mewawancarai ODHA kali ini, saya merasa senang sekali karena mereka begitu percaya diri dengan kondisi mereka saat ini. Saya sebagai mahasiswa patut lebih bersyukur diberikan lingkungan masyarakat yang berbeda dengan jaman dahulu dimana saat ini masyarakat sudah mulai waspada terkait penyakit-penyakit menular yang berbahaya. Dari situ juga merupakan motivasi bagi saya ketika menjaga sikap dan perilaku yang baik ketika bergaul. Seperti ODHA yang tak bosan harus minum obat ARV dan menyesuaikan hidupnya dengan berbagai reaksi obat yang diberikan, namun mereka masih saja selalu bersyukur setidaknya mereka dapat bertahan hidup dan dapat berguna untuk orang lain. Oleh sebab itu, saya termotivasi dengan kondisi fisik saya yang sehat seharusnya tidak ada alasan untuk tidak bersyukur dan dapat terus mengembangan diri agar bermanfaat bagi orang sekitar saya. REFLEKSI DIRI PRAKTIK IV SETTING KOMUNITAS (NAPZA) Oleh Yohana Andini, 1206218511
Praktikum Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (P-KKMP) dalam setting
komunitas yang saya jalani di semester 7 ini berlangsung dalam sistem block. Kami menjalani praktikum ini selama satu bulan saja, dimana kami harus memadatkan setiap pengkajian dan intervensi hanya dalam waktu dua hari yang berdekatan. Awalnya saya merasa pesimis dan khawatir tindak sanggup untuk menjalani P-KKMP ini, saya sudah membayangkan bahwa setiap habis pengkajian saya harus kurang tidur karena harus membuat laporan hasil pengkajian kemudian menyiapkan media intervensi untuk keesokan harinya. Saya juga mengetahui bahwa kelompok kelas sebelumnya yang sudah menjalani P- KKMP ini harus bolak-balik antara tempat setting praktiknya dengan kembali lagi ke RIK. Bayangan-bayangan seperti itu sungguh sangat mempengaruhi saya ketika ingin memulai P- KKMP ini. Namun semuanya berubah ketika diawal kelompok kelas kami telah dihubungi dari jauh-jauh hari sebelum P-KKMP ini dimulai oleh fasilitator kami, Ibu Yuni. Saat ini merupakan kali ketiga saya mendapatkan beliau sebagai fasilitator untuk mata ajar terkait keperawatan komunitas. Saya sudah paham bahwa jika bersama beliau, kami sekelas tidak bisa bersantai hanya dengan mengikuti alur jadwal yang disediakan oleh fasilitator, tetapi kami diajak untuk bekerja sama menyesuaikan jadwal masing-masing dengan kebutuhan mata ajar P-KKMP ini. Bagitu banyak manfaat yang saya rasakan selama melalui mata ajar ini bersama dengan Ibu Yuni. Hal pertama yang saya rasakan adalah, segala kekhawatiran saya dan kepesimisan saya untuk menjalani P-KKMP ini perlahan sirna, karena dari awal Ibu Yuni sudah menawarkan untuk bekerja lebih keras sebelum P-KKMP ini dimulai. Kami diajak untuk bekerja sama menyelesaikan renpra, instrumen pengkajian, dan media terkait renpra. Bagi saya hal ini tidak masalah untuk dikerjakan diawal, karena ketika pada saatnya akan melakukan pengkajian pada setting yang berbeda kami hanya tinggal menyesuaikan renpranya saja dan mempersiapkan media dalam waktu singkat. Mulai dari sinilah saya merasa bahwa beban dalam P-KKMP ini tidak begitu berat seperti yang saya rasakan sebelumnya. Sebelumnya karena telah mewawancarai ODHA yang begitu luar biasa, kali ini saya dan kelompok diberikan kesempatan untuk mewawancarai seorang pengguna NAPZA. Lokasi kali ini masih berada disekitaran Depok, yaitu di KAKI Foundation dimana suatu tempat untuk menaungi para mantan dan pengguna NAPZA. Seseorang yang kami lakukan wawancara kali ini ternyata masih menggunakan obat Suboxone (obat substitusi untuk terapi NAPZA), sampai diwaktu kami melakukan wawancara ternyata narasumber kami baru saja memakai obat tersebut. Narasumber kami berbanding terbalik dengan narasumber ODHA. Kali ini kami mendapatkan narasumber yang pengetahuan tidak terlalu baik. Beliau dalam pengunaan obat substitusi ini sengaja disalahgunakan pemakaiannya, yang seharusnya dikonsumsi melalui oral secara sublingual, namun narasumber kami malah meraciknya sendiri sebagai obat cair yang disuntikkan kedalam tubuh. Beliau beranggapan bahwa obat tersebut lebih enak jika pemakaiannya dilakukan melalui jarum suntik dan menurut beliau akan semakin cepat reaksinya jika langsung berkontak dengan darahnya. Beliau pun juga tidak mengetahui bahwa obat suboxone tersebut memiliki dosis yang harus dikonsumsi sesuai dengan aturannya, namun ia malah malah memecahkan 8 mg obat tersebut agar dapat digunakan secara berkali-kali karena bagi beliau efeknya sama saja seperti menggunakan NAPZA sebelumnya. Bahkan beliau mengatakan bahwa obat substitusi tersebut merupakan narkoba jenis baru yang aman untuk dikonsumsi karena ia mendapatnya secara langsung dari RSKO oleh dokter yang menanganinya. Saya juga terkejut, karena beliau mengatakan bahwa obat suboxone yang ia konsumsi saat ini tidak berikan pengetahuan oleh dokternya bahwa obat tersebut adalah obat substitusi untuk mengurangi kecenderungan seorang pengguna NAPZA dalam mengkonsumsi narkoba yang sebelumnya. Ia hanya mengetahui cara penggunaan yang benar secara oral tetapi tidak mengetahui bahaya yang telah ia salah gunakan mengenai penggunaannya melalui jarum suntik, terlebih beliau meraciknya sendiri dengan menggunakan air minum sebagai pelarutnya. Pengalaman saya mewawancarai beliau begitu menarik, karena memberikan tantangan tersendiri bagi saya sebagai seorang perawat yang harus memperlakukan klien kelolaan dengan tepat. Contohnya saja dari kisah beliau yang walaupun penggunaan obatnya tidak perlu dalam pengawasan oleh tenaga kesehatan secara langsung, setidaknya dari awal klien sangat perlu diberikan edukasi sampai ia paham mengenai program pengobatan yang sedang dijalani. Dengan begitu, kasus penyalahgunaan penggunaan obat substitusi ini dapat dirubah dan pengguna NAPZA yang sedang dalam terapi obat substitusi ini memiliki pengtahuan yang cukup dan patuh pada program terapinya dengan prosedur yang aman. REFLEKSI DIRI PRAKTIK IV SETTING KOMUNITAS (PEKERJA) Oleh Yohana Andini, 1206218511
Praktikum Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (P-KKMP) dalam setting
komunitas yang saya jalani di semester 7 ini berlangsung dalam sistem block. Kami menjalani praktikum ini selama satu bulan saja, dimana kami harus memadatkan setiap pengkajian dan intervensi hanya dalam waktu dua hari yang berdekatan. Awalnya saya merasa pesimis dan khawatir tindak sanggup untuk menjalani P-KKMP ini, saya sudah membayangkan bahwa setiap habis pengkajian saya harus kurang tidur karena harus membuat laporan hasil pengkajian kemudian menyiapkan media intervensi untuk keesokan harinya. Saya juga mengetahui bahwa kelompok kelas sebelumnya yang sudah menjalani P- KKMP ini harus bolak-balik antara tempat setting praktiknya dengan kembali lagi ke RIK. Bayangan-bayangan seperti itu sungguh sangat mempengaruhi saya ketika ingin memulai P- KKMP ini. Namun semuanya berubah ketika diawal kelompok kelas kami telah dihubungi dari jauh-jauh hari sebelum P-KKMP ini dimulai oleh fasilitator kami, Ibu Yuni. Saat ini merupakan kali ketiga saya mendapatkan beliau sebagai fasilitator untuk mata ajar terkait keperawatan komunitas. Saya sudah paham bahwa jika bersama beliau, kami sekelas tidak bisa bersantai hanya dengan mengikuti alur jadwal yang disediakan oleh fasilitator, tetapi kami diajak untuk bekerja sama menyesuaikan jadwal masing-masing dengan kebutuhan mata ajar P-KKMP ini. Bagitu banyak manfaat yang saya rasakan selama melalui mata ajar ini bersama dengan Ibu Yuni. Hal pertama yang saya rasakan adalah, segala kekhawatiran saya dan kepesimisan saya untuk menjalani P-KKMP ini perlahan sirna, karena dari awal Ibu Yuni sudah menawarkan untuk bekerja lebih keras sebelum P-KKMP ini dimulai. Kami diajak untuk bekerja sama menyelesaikan renpra, instrumen pengkajian, dan media terkait renpra. Bagi saya hal ini tidak masalah untuk dikerjakan diawal, karena ketika pada saatnya akan melakukan pengkajian pada setting yang berbeda kami hanya tinggal menyesuaikan renpranya saja dan mempersiapkan media dalam waktu singkat. Mulai dari sinilah saya merasa bahwa beban dalam P-KKMP ini tidak begitu berat seperti yang saya rasakan sebelumnya. Tidak terasa ternyata kali ini merupakan aktivitas praktik terakhir yang telah saya jalani pada setting komunitas. Terakhir kelompok kami mengunjungi sebuah pabrik tahu, kami melakukan proses keperawatan didampingi oleh Ibu Eny dan Kak Esti, namun tetap dalam bimbingan Ibu Yuni sebagai fasilitator kami. Proses keperawatan komunitas di pabrik tahu ini hanya berlangsung satu hari, dimana pada saat itu kami melakukan pengkajian, setelah itu kami juga harus melakukan intervensi keperawatan. Berbekal media edukasi yang telah kami siapkan sangat sesuai dengan kondisi kesehatan di pabrik tahu tersebut, maka kami tidak mendapatkan kesulitan yang berarti selama kami melakukan aktivitas. Semua ini berkat bimbingan dari Ibu Yuni beserta Ibu Eny dan Kak Esti. Peran ketiganya sangat bermanfaat sekali saya rasakan. Dengan jadwal kegiatan Ibu Yuni yang begitu padat, Ibu Eny dan Kak Esti dapat dijadikan sebagai fasilitator yang sangat bermakna sekali selama kami melakukan koordinasi untuk menerapkan proses keperawatan. Saat itu seperti biasa sebelum melakukan intervensi, kami melakukan pengkajian kepada setiap pekerja. Karena kami memakai waktu kerja mereka, maka kami yang harus menyesuaikan diri mengikuti jadwal aktivitas mereka. Ada beberapa dari kami yang sampai harus masuk kedalam pabrik pengolahan tahu yang lingkungannya begitu panas untuk melakukan pengkajian kepada para pekerja yang sembari melakukan aktivitas di dalam pabrik. Sebagian ada pula yang melalukan pengkajian di luar area pabrik bagi para pekerja yang menunggu giliran untuk melakukan pekerjaan yang lain. Kali ini proses pengkajian berupa wawancara berjalan dengan baik, para pekerja walaupun dengan tingkat pendidikan di jenjang SD-SMP mereka tetap dapat diajak untuk berkolaborasi secara aktif. Pada saat dilakukannya intervensi, ada saja pekerja yang masih menyangkal terkait edukasi kesehatan yang mahasiswa berikan. Adapula yang enggan untuk melakukan perubahan perilaku untuk menerapkan sikap ergonomi yang baik dalam melakukan pekerjaannya, karena dianggap hal tersebut menyita waktu dan tidak cepat nantinya dalam mereka melakukan pekerjaan. Walaupun sebenarnya mereka juga merasakan sendiri bahwa kebiasaannya dalam melakukan pekerjaan berdampak langsung pada gangguan kesehatan yang rasakan seperti nyeri otot, pinggang dan punggung yang pegal-pegal dan sebagainya. Namun saya bersyukur masih ada beberapa pekerja yang mau untuk memperhatikan secara aktif intervensi yang diberikan oleh mahasiswa dan ketika diminta untuk mencontohkannya kembali, para pekerja tersebut dapat dengan benar mempraktikkannya. Saya juga merasa senang karena setelah diminta pendapat dari para pekerja terkait kesan dan pesannya, mereka mengatakan begitu senang mendapatkan edukasi kesehatan yang diberikan oleh mahasiswa karena bagi mereka begitu bermanfaat. Saya juga merasa memiliki kekurangan, karena selama proses intervensi di pabrik tahu ini kurang maksimal karena media edukasi kami begitu minim khususnya pada saat intervensi penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), karena bagi saya pekerja pabrik sangat penting sekali untuk patuh dalam menggunakan APD namun karena segala keterbatasan, dari pihak mahasiswa dan pengelola pabrik pun juga belum sanggup untuk memfasilitasi APD yang lengkap untuk menunjang keberlangsungan aktivitas pekerja di pabrik. Namun dengan pendidikan kesehatan terkait ergonomi, anemia, dan 6 langkah mencuci tangan sudah cukup memberikan bekal yang bermaanfaat bagi para pekerja untuk meningkatnya status kesehatannya.