Anda di halaman 1dari 4

Prinsip Interaksi dengan Demokrasi

Mencari Titik Temu antara kaum Jihadis anti Demokrasi dengan aktifis penumpang Demokrasi

Demokrasi adalah jalan darurat. Ia bukan jalan normal. Ia tidak lahir dari rahim tauhid, tapi dari
rahim paganisme. Ia menokak peran Allah dalam menjaga kedaulatan negara. Demokrasi hanya
mau menerima peran manusia. Ia memanjakan manusia, apapun keinginannya akan
diakomodasi. Sementara kehendak Allah ditolak, sebaik apapun, jika kehendak mayoritas
manusia menolak-Nya.
Tapi masalahnya, demokrasi menjadi realita kekinian umat Islam yang tak bisa ditolak. Kita
mewarisinya dari pendahulu, para pendiri negeri ini. Menyalahkan para pendahulu, tak ada
gunanya karena realita yang ada tak lantas berubah karenanya. Cuci tangan dari Demokrasi
begitu saja, sama artinya membiarkan musuh Islam kian leluasa mendominasi kekuasaan dan
kita tambah tersudut tak punya peran di tengah umat Islam sendiri.
Demokrasi memaksa kita mengambil pilihan dilematis, mau tak mau harus terlibat dalam
pertarungan di panggung yang didesain oleh Demokrasi dan dengan aturan main buatan
Demokrasi. Kita dipaksa untuk mengambil hak dengan cara adu banyak suara, tidak boleh pakai
kekuatan senjata. Padahal adu suara sangat sulit dimenangkan karena obyeknya masyarakat
luas yang rentan dengan tawaran uang. Ketika suara mayoritas sudah dikantongi sekalipun,
kekuasaan belum tentu didapat. Masih harus berhadapan dengan politik dagang sapi; negosiasi
kepentingan dengan koalisi yang tidak jelas. Kadang minoritas A bergabung dengan minoritas B
dan C, bisa mengalahkan mayoritas tunggal yang tidak sampai 50%. Kemenangan dan kekalahan
menjadi sangat labil, tak ada pijakan kaki yang kuat.
Belum lagi soal jeratan aturan main yang bersifat sistemik. Seperti keharusan menerima
rumusan HAM yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kita dipaksa oleh
Demokrasi untuk tidak mengusung isu agama, sebab pilihan keyakinan bersifat bebas,
karenanya agama tertentu tidak boleh mendominasi konstitusi masyarakat. Dan aturan main
Demokrasi yang paling merugikan, tak boleh ada sumber kebenaran tunggal, sesama agama
bersifat setara, masing-masing dianggap benar secara relatif. Padahal kita sedang
memperjuangkan kebenaran tunggal dan mutlak yaitu Al-Qur’an. Dalam atura main Demokrasi,
kandungan Al-Quran hanya akan menjadi masukan, bukan keharusan diterima yang bersifat
sakral. Dengan aturan main ini, kita sudah kalah sebelum berperang.
Pada sisi lain, umat Islam memikul amanat memenangkan Islam dengan kemenangan mutlak
atau kemenangan paripurna; musuh Islam lumpuh tak berkutik, dan Islam berdaulat penuh di
muka bumi, seluruh bagian syariat dapat dilaksanakan dengan sempurna. Amanat ini hanya bisa
ditunaikan dengan jalan jihad; jalan perang yakni meruntuhkan kekuatan kafir hingga rata
dengan tanah. Kemenangan ini tak bisa diraih dengan negosiasi dan adu perolehan suara ala
Demokrasi karena sifat labil singgasana kemenangan Demokrasi tak akan bisa menopang
kemenangan mutlak. Islam harus dimenangkan dengan pijakan kokoh, dan itu hanya ada di balik

1
jalan jihad, bukan demokrasi. Lalu di balik reruntuhan peradaban kafir itu, Islam dibangun
dengan kedaulatan penuh.
Dengan demikian, Demokrasi tak bisa dijadikan jalan untuk kemenangan Islam yang paripurna.
Tapi masih bisa digunakan untuk memenangkan bagian-bagian tertentu dari Islam,
menggunakan ‘senjata’ tuntutan mayoritas rakyat yang beragama Islam. Meski hanya
kemenangn yang labil. Atau setidaknya mengurangi daya cengkeram kebatilan di tengah
masyarakat muslim. Atau menguragi madharat yang bakal menimpa umat Islam. Dari sisi ini,
umat Islam dituntut untuk mendukung upaya-upaya yang dilakukan unsur umat Islam dalam
membela Islam melalui jalan Demokrasi.
Bagi para aktifis yang berjuang memenangkan Islam dengan kemenangan paripurna melalui
jalan jihad, mereka harus fokus pada pilihan jalannya. Tapi saat bersamaan ia harus
menyediakan hati yang lapang untuk menghormati bahkan mendukung jalan yang ditempuh
aktifis lain yang berjuang melalui jalur Demokrasi, sepanjang perjuangannya memang untuk
Islam. Sebaliknya, bagi aktifis Islam yang bergelut dengan Demokrasi, jangan lupa Demokrasi
hanya boleh digunakan dalam rangka membela kepentingan Islam dan umat Islam. Selain itu,
mereka harus menyediakan dada lapang untuk menghormati dan membela aktifis lain yang
fokus membangun kekuatan jihad untuk meruntuhkan singgasana kekafiran.
Rumusan Titik Temu Dua Kubu
Persimpangan ini menjadi dilema. Kerap terjadi konflik antara pengusung jihad dengan
penumpang Demokrasi. Pengusung jihad menuduh penumpang Demokrasi sebagai sesat bahkan
kafir. Sebaliknya, penumpang Demokrasi mendiskreditkan kaun jihadis bahkan antipati. Mereka
menuduhnya sebagai teroris jahat yang merusak citra Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Ada
memang sebagian pengusung jihad yang serampangan hingga merusak nafas rahmat Islam, tapi
untuk mayoritas tuduhan itu tidak akurat.
Maka diperlukan arahan yang hati-hati agar semua dilema ini terakomodasi dan melahirkan
rekomendasi yang bijak, terarah dan terukur. Bukan hanya dari sisi syar’i tapi juga sisi taktik
strategi pemenangan Islam. Dan rekomendasi ini bisa dipakai oleh kedua kubu sekaligus sebagai
upaya mencari titik temu, sinkronisasi dan sinergi. Beberapa pertimbangan dalam interaksi
dengan demokrasi sebagai berikut:
Pertama, pada asalnya Demokrasi bertolak belakang dengan Islam, karenanya tidak boleh
seorang aktifis secara sengaja menempuhnya dalam kondisi normal dengan meninggalkan
Islam. Tak boleh terjadi hati kecilnya lebih menyukai Demokrasi dibanding Islam. Kesadaran ini
masih menjadi masalah di tengah aktifis penumpang Demokrasi. Umumnya mereka
menyerahkan jiwa raganya untuk Demokrasi, dan meletakkan Islam hanya sebagai jargon
pemanis dalam rangka menangguk suara pemilih yang mayoritas muslim. Demokrasi dijunjung
tinggi di atas kepala dan disucikan, sementara Islam hanya dijadikan alas kaki untuk berjalan
mengusung Demokrasi. Tragis. Perih. Tapi nyata. Kalau sudah begini, umat jadi serba salah.
Kedua, secara bangunan konseptual, sistem Demokrasi adalah syirik, kufur dan kontradiktif
dengan Islam. Karenanya wajib disalahkan, dihujat, dan diruntuhkan dengan kekuatan

2
argumen yang bertumpu pada khazanah ilmu Islam dan keadilan universal. Kaum jihadis
umumnya sudah memainkan peran mendelegitimasi Demokrasi dalam banyak kajian mereka.
Namun dari para penumpang Demokrasi belum nampak serangan mereka terhadap bangunan
konseptual Demokrasi. Umumnya justru memoles wajah Demokrasi dan merendahkan Islam.
Mereka tersinggung jika ada dai yang menghujat sistem Demokrasi. Mereka merasa hujatan
terhadap Demokrasi bermakna hujatan terhadap para aktifis penumpang Demokrasi. Padahal
serangan ilmiah ini sama sekali tak kontradiktif dengan keberadaan mereka di gerbong
Demokrasi, jika saja mereka menempatkan dirinya secara benar di hadapan Demokrasi, yaitu
menempuhnya melalui pintu darurat. Karenanya tidak perlu baper. Berawal dari menyerahkan
jiwa raga mereka untuk Demokrasi, maka mereka marah tambatan hatinya itu diserang secara
konseptual. Akibatnya Demokrasi masih duduk manis di singgasana kehormatan di mata umat.
Ketiga, menumpang kendaraan Demokrasi dalam rangka membela Islam dan umat Islam,
adalah menggunakan pintu darurat sehingga tidak merubah sama sekali substansi Demokrasi
yang bertolak belakang dengan Islam alias haram. Sebagai pembanding, orang yang
mengkonsumsi babi karena kondisi darurat yakni menyelamatkan nyawa sama sekali tak
merubah substansi babi sebagai barang haram yang harus dibenci dan dijauhi. Sikap ini akan
membuat upaya membela Islam melalui Demokrasi bisa berjalan seiring dengan dakwah yang
menyerang bangunan konseptual Demokrasi.
Keempat, menumpang kendaraan Demokrasi dalam mencapai tujuan, adalah bersifat
sementara. Saat umat Islam sudah berhasil memukul kekuatan kekafiran, dan terbuka peluang
untuk membangun kedaulatan bernegara dengan sistem Islam, para penumpag Demokrasi
harus legowo melepas Demokrasi, lalu hanya mau pakai Islam. Jika momentum seperti itu masih
bersikukuh dengan Demokrasi, itu artinya ia telah beraqidah Demokrasi dan menganggap Islam
hanya aksesori. Ia tidak mengerti betapa mematikan racun Demokrasi. Dan tidak tahu visi
pemenangan Islam yang hakiki. Celakanya, fenomena ini sudah terbaca sejak jarak kita dengan
kemenangan Islam yang hakiki masih jauh. Banyak penumpang Demokrasi yang sudah kadung
jatuh cinta terhadapnya sehingga gak kuasa berpisah dengannya.
Kelima, Demokrasi hanya bisa dipakai untuk memperjuangkan Islam secara parsial. Ia bukan
alat yang tepat untuk meraih kemenangan Islam secara paripurna dan kokoh. Oleh karenanya,
para jihadis harus mengerti bahwa mustahil menitipkan agenda pemenangan Islam yang
sempurna melalui kendaraan Demokrasi. Jangan memberi beban target pencapain ideal atau
terlalu berat kepada para penumpang Demokrasi. Bila itu terjadi, akhirnya akan kecewa lalu
menghujat secara tidak sehat kepada para aktifis penumpang Demokrasi. Siklus saling hujat tak
terelakkan.
Keenam, para penumpang Demokrasi wajib menghormati jalan jihad sebagai alat
memenangkan Islam yang paripurna. Cita-cita kemenangan Islam paripurna harus pula
meresap di benak sanubari para penumpang Demokrasi, meski ini bukan jalur perjalanan
mereka. Jangan sampai penumpang Demokrasi salah paham dengan para pengusung jihad
dengan menganggapnya sebagai para perusuh yang merusak Islam. Saling memahami peran
masing-masing, dan saling mendukung akan melahirkan sinergi yang baik.

3
Ketujuh, para penumpang Demokrasi harus sadar, bahwa Demokrasi harus dideligitimasi dan
diruntuhkan secara konseptual sebagai konsekwensi batilnya Demokrasi. Mereka tak boleh
marah terhadap para dai yang menghujat Demokrasi, sebab mereka sedang menunaikan
amanat dakwah. Serangan ilmiah ini tak boleh mati hanya karena menghormati para
penumpang Demokrasi secara keliru. Masalah bermula ketika para penumpang Demokrasi
membahasakan dirinya di hadapan umat sebagai pecinta Demokrasi dan pembelanya yang
paling militan, mengalahkan militansi Barat dalam membelanya. Sikap ini membuat syubhat
Demokrasi di mata umat kian parah. Toh jika para penumpang Demokrasi mengakui bahwa
keberadaan mereka di kendaraan Demokrasi adalah karena tuntutan situasi darurat, umat akan
bisa memahami dan syubhat batilnya Demokrasi bisa dikikis.
Kedelapan, kisruh dan konflik yang terjadi antara kaum jihadis dengan para penumpang
Demokrasi lahir karena masing-masing tak sadar peran. Padahal keduanya dibutuhkan umat
dalam rangka memperbaiki keadaan umat dan Islam. Jalur Demokrasi berguna untuk
menghadang penguasaan kaum kafir terhadap umat Islam. Sementara jalur jihad berguna untuk
memenangkan Islam yang paripurna dan membasmi kekuatan kufur hingga akar-akarnya.
Kesembilan, jika ada penumpang Demokrasi yang larut dalam kenikmatan Demokrasi, perlu
diingatkan agar kembali pada kesadaran amanat awal. Lakukan upaya ini dengan semangat
ukhuwah Islamiyah, bukan kemarahan dan kebencian jahiliyah.
Kesepuluh, jika ada pengusung jihad yang kelewat semangat hingga menimbulkan kerusakan
dan kezaliman, harus pula diingatkan dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang sama.
Ingatkan juga kepada semangat awal jihad, sebagai alat meruntuhkan kekuatan kafir, bukan
untuk menciptakan ketakutan di internal umat Islam.
Demikianlah upaya mencari titik temu antara dua kubu yang terkesan saling berseteru. Padahal
keduanya dibutuhkan oleh umat untuk memperbaiki keadaan dan meraih kemenangan.
Wallahu a’lam bis shawab.
@elhakimi – 14042017

Anda mungkin juga menyukai