Estherlina FHUI (1991) “Suatu Tinjauan terhadap Pasal 156 KUHP
dan 156a KUHP.” Deskripsi: Penulis akan menjadikan delik agama yang terdapat dalam pasal 156 KUHP dan pasal 156a KUHP sebagai suatu topik pembahsan yang nanatinya akan dihubungkan dengan kasus Monitor. Kasus Monitor ini timbul karena adanya suatu tulisan dalam tabloid Monitor taggal 15 Oktober 1990 yang memuat hasil angket yang diadakan oleh tabloid tersebut. Kemudian, yang menjadi persoalan utama kasus ini adalah dicantumkannya nama Nabi Muhammad Saw pada peringkat kesebelas dari hasil angket tersebut, dalam tulisan yang berjudul “INI DIA 50 TOKOH YANG DIKAGUMI PEMBACA KITA.” Akibat tulisan tersebut timbul protes, ketidaksenangan dan unjuk rasa di kalangan umat Islam. Pokok permasalahan: - Apakah dalam pasal ini terdapat delik agama dalam arti serangan langsung terhadap delik agama misalnya, penghinaan terhadap Tuhan, Raja, Kitab Suci, ataukah delik yang berhubungan dengan agama dalam arti serangan tidak langsung terhadap agama yaitu terhadap sarana keagamaan, misalnya: merusak masjid, gereja, atau tempat upacara keagamaan lainnya? - Bagaimanakah proses pelaksanaan dari hukum pidana formil apabila terjadi pelanggaran terhadap pasal 156 KUHP dan pasal 156a KUHP? Hasil penelitian: - Dalam pasal 156 KUHP hanya disinggung sedikit megenai delik agama, sehingga tidak jelas apa yang dilindungi dalam pasal ini orang (golongan agama) atau agamanya. - Masuknya pasal ini dalam bab V KUHP mempunyai konsekwensi bahwa penghinaan terhadap suatu golongan agama merupakan salah satu sebab timbulnya kejahatan terhadap ketertiban umum yang dapat dipidana. - Pasal 156a KUHP memberikan perlindungan terhadap agama-agama yang sah di Indonesia. Dengan adanya frasa “di muka umum” mempunyai konsekwensi yang sama dengan pasal 156 KUHP. Kepentingan umum lebih dominan daripada kepentingan agama. - Bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan ke dalam penodaan agama masih bersifat umum. Tidak diperinci apakah yang dihinan itu Tuhan, Kitab Suci, Nabi atau Pemuka agama. Hal ini memungkinkan adanya penafsiran-penafsiran yang berbeda menurut agama-agama yang ada di Indonesia. - Pasal 156 KUHP dan pasal 156a KUHP yang mana disebut juga hatzaai- artikelen, menurut penulis masih dapat diberlakukan demi menjaga adanya kepastian hukum di negara kita, sementara belum ada UU baru yang mengatur hal tersebut.
terhadap Tindak Pidana Agama melalui Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.” Deskripsi: penulis akan mengangkat permasalahan tentang efektifitas kebijakan hukum pidana yang berlaku saat ini di Indonesia sebagai upaya untuk menanggulangi tindak pidana agama dan perlindungaan hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan. Selain itu adanya perumusan kebijakan hukum pidana di masa yang akan datang terkait perluasan tindak pidana agama pad RKUHP sebagai pembaharuan hukum pidana nasional serta adanya RUU KUB yang tujuannya adalah penanggulangan terhadap tindak pidana agama dan upaya untuk melindungi hak atas kebebasan bergama/berkeyakinan di Indonesia. Perlu diketahui bagaimana prospek pembaharuan hukum pidana di masa yang akan datang terkait perluasan tindak pidana agama pada tatanan kebijakan hukum pidana di Indonesia. Pertanyaan penelitian: - Bagaimana kebijakan hukum pidana saat ini dalam upaya penanggulangan tindak pidana agama dan hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia? - Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dimasa yang akan datang terhadap penanggulangan tindak pidana agama dan hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia? - Bagaimanakah prospek perluasan delik agama dalam kebijakan hukum pidana dimasa yang akan datang terhadap penanggulangan tindak pidana agama dan hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia? Hasil penelitian: - Hukum yang melindungi pemeluk agama masih diperlukan untuk kasus- kasus yang jelas merupakan hasutan untuk kebencian, permusuhan, atau kekerasan atas komunitas agama. - Sebagaimana kasus-kasus yang terjadi yang diselesaikan dengan UU Nomor 1/pnps/1965 jo. Pasal 156a KUHP, kemudian menjadi tidak jelas apakah UU ini menjaga ketertiban atau justru menjustifikasi ketidaktertiban atas nama “penodaan agama”. - Jika ada pengganti UU atau pembaharuan, penggantinya harus memperhatikan batas-batas apa yang bisa dipidanakan dan apa yang tidak. - Banyak pertentangan terhadap penerapan pasal tersebut karena dalam penerapannya seringkali berbenturan dengan nilai HAM. - Pasal 156a KUHP menjadi pasar karet karena penerapannya bisa berbeda- beda dan rumusan pasal tersebut bisa ditafsirkan oleh penegak hukum sehingga asas keadilan tidak dapat dipenuhi. - Dalam RKUHP pembaharuan hukum juga mencakup pasal tentang tindak pidana agama, pasal 156a KUHP direntangkan menjadi pasal 341-345 dan 346-348. Namun, beberapa pasal masih tidak jelas “pengukurannya” sehingga berpotensi ditafsirkan berbeda-beda. - Banyak perumusan pasal dalam R-KUHP yang masih memiliki jiwa KUHP. Perluasan pasal tentang tindak pidana agama dalam RKUHP akan berpotensi menimbulkan overcriminaliztion. - Harus lebih dijelaskan tindak pidana yang ada supaya tidak menimbulkan kesimpangsiuran dalam praktik. - Tindak pidana agama supaya melalui tahap non penal terlebih dahulu, dilakukan dialog supaya terjadi kesepahaman terlebih dahulu tentang tindak pidana yang terjadi. - Belum terjaminnya kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia dikarenakan adanya kriminalisasi terhadap orang yang dianggap menyimpang atau melakukan penodaan agama karena pasal 156a KUHP. 3. Skripsi Ryand (2014) “Kebebasan Beragama di Indonesia: Tinjauan Hak Asasi Manusia terhadap UU Nomor 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.” Deskripsi: tulisan ini dibuat untuk menelaah mengenai adanya pembatasan atas kebebasan beragama dalam undang-undang Penodaan Agama serta adanya pengklasifikasian antara agama-agama yang diakui sebagai agama “resmi”, agama-agama di luar agam “resmi” dan aliran kepercayaan/kebatinan dalam undang-undang Penodaan Agama. Pembedaan tersebut dalam praktikny kerap menimbulkan perbedaan perlakuan dan diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama. 4. Skripsi “Efektifitas Hukum terkait Jaminan Hak atas Kebebasan Beragama di Indonesia Periode 2005-2011. Studi Kasus: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.) Deskripsi: penelitian ini dibuat untuk mengkaji secara mendalam untuk setiap langkah kebijakan, terutama menyangkut kebijakan hukum dan kebijakn non hukum terhadap permasalahan kerukunan beragama sebagai bagian dari masalah-masalh “agama” dan “kehidupan/berhubungan dengan agama”. Perumusan masalah: - Bagaimanakah pengaturan kerukunan beragama di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia? - Apakah undang-undang Nomor 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penoadaan Agama telah cukup efektif dalam melindungi kerukunan umat beragama di Indonesia?