Anda di halaman 1dari 6

Topik: Problematika Hukuman Mati di Indonesia

Judul:

Menyoal Diskursus Pidana Mati:, Antara Asumsi dan Realita (?)

Oleh Avisena IR, S.H. (Alumni Fakultas Hukum-Universitas Indonesia)

Pidana mati adalah salah satu jenis pidana pokok yang termaktub dalam Pasal 10
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini. Pidana mati di
Indonesia tidak lain merupakan peninggalan hukum kolonial Belanda yang masih diterapkan
dalam sistem hukum nasional berdasarkan asas konkordansi dan sejak dilakukannya unifikasi
hukum pada periode 1918.1 Dalam perkembangannya, sanksi pidana mati kemudian diadopsi Commented [Author1]: Harus konsisten ya penggunaan
istilahnya. Sanksi=pidana=hukuman kan?
dalam sejumlah produk hukum di luar KUHP antara lain Undang-Undang Nomor 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme jo. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2oo3 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-
Undang, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dan lain sebagainya. Commented [Author2]: Ini boleh nggak disebut nama UU-
nya saja. Misal, Undang-Undang Pengadilan HAM, Undang-
Dalam tataran kaidah hukum Internasional pengaturan pidana mati dapat juga kita dilihat Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dll... Kecuali
ini mau jadi tugas akhir.
dalam Pasal 6 ayat (2) International Covenan Civil and Political Rights (ICCPR) yang
menyatakan bahwa:
“In countries which hav not abolished the death penalty, sentence of death may
imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the
time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present
covenant and to the convention on the Pevention and Punishment of the Crime of
Genoside. This penalty can only be carried out pursuant to a final judgement
rendered by a competent court”.

1
Asas konkordansi/asas keselarasan adalah asas yang menjadi landasan diberlakukannya hukum Eropa
atau hukum di negeri Belanda untuk diterapkan juga kepada golongan Eropa yang ada di Hindia Belanda
(Indonesia). Kemudian, KUHP yang diciptakan oleh pemerintah Belanda tersebut mulai 1 Januari 1918
diberlakukanlah satu macam Hukum Pidana untuk seluruh golongan penduduk Indonesia (disebut sebagai
unifikasi Hukum Pidana).
Berbagai pandangan mengemuka terkait pro-kontra penerapan pidana mati. Prof.
Roeslan Saleh, menyatakan ketidaksetujuannya dengan alasan apabila terdapat kekeliruan Commented [Author3]: Ketidaksetujuan atas pidana mati?

dalam putusan hakim maka tidak dapat diperbaiki lagi dan mengacu pada landasan filsafat
Pancasila, maka pidana mati tentu bertentangan dengan perikemanusiaan. Direktur Eksekutif
The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), Al Araf, berpandangan bahwa hukuman
mati harus ditolak karena secara prinsip tujuan pemidanaan dalam era kekinian telah bergeser
dari tujuan pemidanaan telah bergeser dari sebagai sarana pembalasan sekarang lebih
kepadamenjadi sarana koleksi sosial dan kontrol sosial. Hukuman mati secara esensial tidak
menghormati nilai-nilai kemanusian dan peradaban itu sendiri.2 Adapula pendapat Mantan
mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman, yang menyatakan Indonesia harus kembali
melakukan moratorium atau menghentikan sementara pelaksanaan eksekusi mati seperti yang
pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, Pemerintah tambahnya harus mencari
hukuman alternatif.3 Diari sisi yang berlawanan, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo,
menyatakan pendapatnya bahwa keputusan itu (penerapan sanksi pidana matii) semata-mata Commented [Author4]: Sanksi=pidana=hukuman

diterapkan untuk melindungi kehidupan bangsa dari bahaya narkotika. Ini untuk Commented [Author5]: Kok tiba-tiba ada narkotika?

menunjukkan pula bahwa Indonesia tidak main-main dalam memerangi penyalahgunaan


narkotika.4 Tanggapan yang mendukung pidana mati juga diungkapkan oleh Akhiar Salmi,
dosen pidana dari Fakultas Hukum UI, yang menyatakan bahwa pelaku tindak pidana
narkotika, korupsi, dan terorisme tidak boleh mendapat pembebasan bersyarat. Pelaku ketiga
jenis tindak pidana itu harus dijatuhi hukuman berat, bahkan hukuman mati. Karena akibat
perbuatannya sangat luas, menyangkut hidup orang banyak.

Secara garis besar, pandangan yang mendukung praktik pidana mati di Indonesia
berpegang pada dalil efek jera (deterrent effect) sebagai sandaran pikir pembenarannya. Dan
mungkin juga dapat ditambahkan argumen bernadaSelain itu, ada pula argumen socio-
oriented yang berdalih bahwa menganggap pidana mati semata-mata hendak melindungi Commented [Author6]: Siapa saja yang punya pandangan
ini? Kalau ada sebutkan scholarnya atau sebut di footnote,
kepentingan masyarakat secara umum. Sedangkan argumentasi kubupandangan kontra, lihat A,B,C.

pidana mati berpendapat jenis hukuman ini merupakan justru adalah bentuk pelanggaran atas

2
Fathiyah Wardah, “Koalisi Masyarakat Sipil Anti Hukuman Mati Desak Pemerintah Tinjau Ulang
Hukuman Mati” https://www.voaindonesia.com/a/koalisi-masyarakat-sipil-anti-hukuman-mati-desak-
pemerintah-tinjau-ulang-hukuman-mati/3325918.html diakses pada 11 September 2018.

3
Ibid.
4
Ibid.
hak untuk hidup sebagai salah satu Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-Undang
sekaligus Hak Konstitusional yang pemenuhannya menjadi suatu keharusan serta “mosi tidak
percaya” untuk mempersembahkan nyawa seseorang pada suatu proses peradilan yang masih
jauh dari prinsip-prinsip fair trial ini. Tidaklah mengherankan bahwa persoalan menghapus Commented [Author7]: Bisa dijadikan dua kalimat?

atau tidak menghapusmempertahankan pidana mati dalam sistem hukum terus menjadi soal
yang diperdebatkan olehdua kubu yang saling bertetangan, penganut teori-teori pemidanaan
absolut versus mereka yang menganut teori pemidanaan relatif. Pada titik inilah perbedaan
antara keduanya muncul paling tajam.5

Berbicara soal pidana mati disinggung dengan perspektif fair trial, rasanya masih
segar diingatan kita kasus terpidana nNarkotika asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso, yang
mana ia divonis pidana mati oleh Pengadilan Negeri Sleman pada Oktober 2010 dengan
amar, “menyatakan Terdakwa Mary Jane Fiesta Veloso tersebut di atas telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara tanpa hak atau melawan
hukum menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I bukan tanaman yang
beratnya melebihi 5 (lima) gram; Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut oleh
karena itu dengan Pidana Mati.” Telah banyakSalah satu kajian yang dilakukan terhadapatas Commented [Author8]: Coba dijadikan 2-3 kalimat. Kalau
bisa kutipan putusan ini diparafrase saja, jangan langsung.
kasus tersebut,Mary Jane salah satunya digagas oleh LBH Jakarta bersama Masyarakat
Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI. Kajian tersebut menyimpulkan
adanyaDitemukan adanya beberapa kejanggalan prosesueel (acara pidana) dalam kasus Mary Commented [Author9]: Istilah bahasa Indonesia dulu baru
yang asing.
Jane:6

1. Tidak disediakannya ahli bahasa yang kompeten bagi Terdakwa (penerjemah


bahasa Tagalog), sebagaimana itu merupakan hak terdakwa yang harus dipenuhi
dan telah diakomodir dengan jelas dalam Pasal 53 jo. 177 KUHAP.
2. Dalam kasus May Jane, semua saksi yang dihadirkan oleh pihak kejaksaan adalah
saksi penyidik. Permasalahan dari kekuatan saksi verbalisan adalah
objektifitasnya dan kedudukan penyidik berpotensi adanya konflik kepentingan.
3. Berdasarkan penelusuran berkas perkara, sejak proses penyidikan Mary Jane
didampingi oleh penasihat hukum yang ditunjuk oleh pihak kepolisian. Sedangkan
menurut penuturan dari Mary Jane dia tidak pernah didampingi oleh tim
pengacaranya saat melakukan pemeriksaan. Penasehat hukum hanya datang pada
hari kedua setelah Mary Jane ditangkap untuk menandatangani Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) dan melihat barang bukti. Hal tersebut melanggar Hak atas

5
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal terpenting dari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 461.
6
Dio Ashar Wicaksana, et.al., Eksaminasi Perkara Mary Jane, (Jakarta: Penerbit LBH Jakarta, 2016),
hlm. 31-38.
bantuan hukum kepada Tersangka ataupun Terdakwa sebagaimana telah diatur
dalam Pasal 56 Ayat (1) KUHAP. Commented [Author10]: Parafrase saja.

Di tengah tarik-ulur pendapat mengenai opini pemaknaan pidana mati, menurut


penulis cara terbaik untuk mengambil sikap ialah dengan meninjaunya menggunakan takaran
asas kemanfaatan. Dalam arti lain, melihat secara obyektif manakah yang lebih berperan Commented [Author11]: Kalau yang dimaksud ‘pendapat’
ini konteksnya akademik kan bebas saja? Coba diformulasi
dalam integrasi hukum dan sosial di dalam masyarakat. Untuk itu saya sependapat dengan lagi kalimatnya supaya jelas.

yang dikatakan oleh Dr. Eva Achjani Zulfa, yang menyatakan “Posisi perlunya
mempertahankankan hukuman mati pada dasarnya harus dikembalikan pada tujuan yang
ingin dicapai dari penjatuhan sanksi pidana tersebut. Pertimbangan untung rugi dari
dipertahankannya jenis pidana ini.”7 Commented [Author12]: Parafrase saja.

Harapan terbesar dari penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana ialah Commented [Author13]: Spesifik ke hukuman mati atau
semua sanksi pidana?
berkurangnya angka kriminalitas itu sendiri. Namun sebenarnya, hingga saat ini pun belum
Commented [Author14]: Footnote pls.
ada hasil kajian ilmiah atau studi empirik yang mampu meligitimasi pernyataan bahwa pidana
mati memberikan implikasi positif berupa berkurangnya tingkat kejahatan di Indonesia. Commented [Author15]: Footnote tulisan-tulisan pro
hukuman mati. Sebut kelemahannya.
Justru yang ada sebaliknya, contoh dalam tindak pidana narkotika, meski nilai prevalensi
penyalahgunaan narkoba menunjukkan tren menurun, tetapi tren kasus maupun jumlah
tersangka narkoba meningkat. Data Polri dan BNN menyebut ada 26.678 kasus narkoba pada
2010 dan meningkat menjadi 40.897 kasus pada 2016.8

Atas kondisi demikian, selanjutnya mungkin orang akan berpikir jika seandainya Commented [Author16]: ??

pidana mati benar-benar dihapuskan maka perjuangan pemberantasan narkotika maupun


kejahatan yang serius (the most serious crime) selama ini akan sia-sia. Sebab menghilangkan
sanksi terberat, yakni pidana mati, berarti pula menunjukkan tingkat antisipatif dan
kewaspadaan yang menurun terhadap munculnya potential offender baru di kemudian hari. Commented [Author17]: Bahasa Indonesia dulu deh.

Menurut penulis, kekhawatiran ini dapat dijawab dengan solusi pergeseran pidana mati
menjadi pidana seumur hidup. Tentu hal ini harus diimbangi pula dengan langkah perbaikan Commented [Author18]: Alasannya?

fungsi pemaksimalan kapasitas penjara yang ada. Contohnya bagi tindak pidana ekonomi
tidakkah lebih efektif apabila diterapkan pemberatan sanksi denda atau seperti mengutip
pernyataan Kepala Bagian Humas dan Protokoler Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Akbar Hadi Prabowo, bahwa 60 persen

7
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung: Lubuk Agung 2011), hlm. 107.
8
Scholastika Gerintya, “Anggaran BNN Meningkat, Tersangka Narkoba pun Meningkat,”
https://tirto.id/anggaran-bnn-meningkat-tersangka-narkoba-pun-meningkat-cty9 diakses pada 11 September
2018.
merupakan narapidana narkotika, yang sebenarnya jauh lebih membutuhkan perawatan dan
rehabilitasi. Langkah-langkah progresif seperti inilah yang kiranya patut untuk dilakukan Commented [Author19]: SPOK-nya ngga jelas.

demi perbaikan sistem pemidanaan hukum Indonesia.

Selanjutnya, yang juga menarik untuk dibahas adalah perspektif pidana Islam
terhadap pidana mati. Secara mendasar dikenal dengan adanya istilah Al-Qishash (hukuman
pembalasan setimpal/nyawa dibayar nyawa). Contohnya dalam perkara pembunuhan,
hukuman yang pertama adalah qishash dengan menjatuhkan hukuman mati bagi pembunuh
setelah terbukti dan terpenuhi syarat-syaratnya. Lebih lanjut Sayed Sikandar Shah Haneef
menjelaskan makna fundamental qishash yakni:9
“the very aim of qisas as enshrined in the Qur’anic provision (al-Baqarah, 178) is
primarily to put to death the offender because he has caused the death of another
soul.”

Diuraikan pula bahwa terkait dengan praktik pelaksanaannya (hukum acara qishash)
sendiri terdapat dua pandangan berbeda di dalam pemikiran Islam: 10

“as to how the qishash should be carried out on the convict, the jurists are divided.
The Hanafiyyah and the dominant Hanbali view is that he should be put to death by
the quickest and fastest means such as sword, while the Malikiyyah and Shafi’iyyah
maintain that the killer should be killed in qishash in the same way as he has killed
his victim. Thus, the best way to achieve this is to employ a sword which is prescribed
by the Sunnah to be the only means of carrying out the qishash”

Dalam keadaan ahli waris si terbunuh memberikan maaf, maka hukuman mati tidak
dijatuhkan melainkan diganti hukuman alternatif dengan membayar diyat (sejenis ganti rugi). Commented [Author20]: Kok tiba-tiba ke pidana Islam?
Kalau ini penting, beri linking sentences atau buat subjudul.

Selain itu, penulis ingin pula mencontohkannya dalam konteks perbuatan zina.
Berdasarkan hukum Islam, zina (melakukan hubungan seks yang tidak legal) tergolong
tindakan pidana yang diancam dengan hukuman tertentu dan mutlak (Al-Hudud). Namun jika
persyaratan yang diminta tidak terpenuhi, misalnya harus ada empat orang saksi yang melihat
secara langsung perbuatan perzinahan tersebut, maka hakim tidak boleh menerapkan
hukuman hudud. Berangkat dari pemikiran tersebut, dijatuhkannya suatu hukum terhadap
pelaku dalam Islam menunjukkan tingkat kehati-hatian yang teramat besar, sehingga jaminan
proses hukum yang adil menjadi syarat utama untuk dilakukannya eksekusi atau vonis
hukuman terhadap diri pelaku:

9
Sayed Sikandar Shah Haneef, Homicide in Islam: Legal Structure and the Evidence Requirements,
(Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 2000), hlm. 116-117.
10
Ibid.
“a sentence of qishash would only be implemented if it is proved beyond doubt; it has
not been remitted gratuitously by the heirs or compromised, and the offender does not claim
rightful defences; fend off the hudud punishments from the Muslim as much as you can. If you
find any way out for him let him go. This is because it is better for the judge to err in
forgivness rather that to err in punishment.” 11

Dari uraian diatas, kiranya dapat tercermin bahwa hukuman mati dalam sistematika
hukum pidana Islam adalah bersifat ultimum remedium, yakni upaya terakhir dari segala
upaya.12 Sebagai penutup, semoga apa yang saya sampaikan dalam tulisan ini dapat menjadi
bahan pemikiran kita kembali untuk menentukan pendirian menganai pidana mati dalam
tatanaan hukum pidana Indonesia ini. Commented [Author21]: Pidato?

11
Ibid. Hlm. 119-120.
12
Rudy Satriyo Mukantardjo, Ketentuan Pidana dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Materi
disampaikan pada acara Peningkatan Pengetahuan Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kementerian
Hukum dan HAM Dirjen Peraturan Perundang-Undangan, 27 Agustus 2010.

Anda mungkin juga menyukai