Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah suatu trauma
yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar
karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di
kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan
masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar-benar, serta rujukan
yang terlambat (Baheram, 2007).
Di Indonesia kejadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera
kepala ringan, 10% termasuk cedera sedang dan 10 % termasuk cedera kepala berat
(Abdul Latip, 2004).
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada
penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan
darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak
sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan
kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary
survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan,
dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala (Baheram, 2007).

1
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara
konservatif. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan secara tepat dan cepat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kepala


Kepala merupakan bagian superior tubuh yang menempel dengan batang tubuh
melalui leher. Kepala terdiri dari :
A. Kulit Kepala (SCALP)
Kulit kepala menutupi cranium, dan meluas dari linea nuchalis superior pada
os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit
kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala
terdiri dari lima lapis jaringan; tiga lapis pertama saling berhubungan secara
erat satu dengan yang lain dan bergerak sebagai satu kesatuan (Baheram,
2007).
1. Skin (kulit)
Merupakan kulit yang tipis, mengandung banyak kelenjar keringat dan
kelenjar minyak (kecuali daerah occipital), serta folikel rambut.
2. Connective tissue (jaringan ikat)
Merupakan lapisan subkutan, memiliki banyak pembuluh darah dan saraf.
3. Aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica)
Selembar jaringan ikat yang kuat dan merupakan lembar tendo bagi m.
occipitalis dan m. frontalis.
 M. frontalis: menarik kulit kepala ke depan, mengerutkan dahi, dan
mengangkat kedua alis.
 M. occipitalis: menarik kulit kepala ke belakang dan mengerutkan
kulit tengkuk.
4. Loose connective tissue (jaringan ikat longgar)
Bentuknya menyerupai spon karena berisi banyak ruang potensial yang
dapat mengembang karena menyerap cairan yang terbentuk akibat
cedera atau infeksi; lapis ini memungkinkan ketiga lapis di atasnya
bergerak secara bebas terhadap lapis terdalam.
5. Pericranium

3
Selapis jaringan ikat padat, melekat erat pada ossa cranii. Jaringan
penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan
merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgleal (hematoma
subgalea). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila
terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang
cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkannya (Abdul Latip, 2004).
.

Gambar 1. Scalp (kulit kepala), calvaria, dan meningen

4
5
Gambar 2. Arteri dan nervus pada scalp

B. Tulang Tengkorak (Cranium / SKULL)


Cranium (skull) adalah bagian superior tengkorak yang bulat dan
besar, yang menutupi otak dan terbuat dari tulang-tulang cranii yang Terdiri
dari :

6
Gambar 3. Skematik Foto Polos
Kepala Proyeksi Lateral (A) dan AP
(B)

Gambar 4. Foto Polos Kepala dari Proyeksi Lateral

7
Gambar 5. Vaskularisasi pada Tulang Tengkorak

C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari
kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera
otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat
(Baheram, 2007).

8
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Laserasi pada arteri ini dapat menyebabkan laserasi
dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa
media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater (Baheram, 2007).

9
Gambar 6. Circulation of cerebrospinal fluid

D. Otak
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri
dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon
(otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum. Serebrum
terdiri dari hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falk serebri yaitu lipatan
dura mater yang berada di inferior sinus sagitalis superior.

Gambar 7. Lobus pada otak


Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrain), pons dan
medulla oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan (Baheram, 2007).

E. Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 30 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju

10
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari (Guerrero, 2000).

F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior). Nervus okulomotorius (saraf otak ke
3) berjalan di sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat tertekan pada keadaan
herniasi otak yang umumnya diakibatkan oleh adanya masa supratentorial atau
edema otak.
Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi melakukan konstriksi pupil
mata berada pada permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut ini yang
disebabkan oleh penekanan akan mengakibatkan dilatsi pupil karena aktivitas
serabut simpatik tidak dihambat. Bila penekanan ini terus berlanjut akan
menimbulkan paralisis total okulomotorik yang menimbulkan gejala deviasi
bola mata ke lateral dan bawah.
Bagian otak besar yang sering mengalami herniasi melalui insisura
tentorial adalah sisi medial lobus temporalis yang disebut girus unkus. Herniasi
unkus juga menyebabkan penekanan traktur piramidalis yang berjalan pada otak
tengah. Traktus piramidalis atau trunkus motorik menyilang garis tengah menuju
sisi berlawanan pada level foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus
ini menyebabkan paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral. Dilatasi pupil
ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai sindrom kalsik
herniasi. Jadi, umumnya perdarahan intracranial terdapat pada sisi yang sama
dengan sisi pupil yang berdilatasi, walaupun tidak selalu (Guerrero, 2000).

11
2.2 CEDERA KEPALA
A. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat
temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America,
cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
B. Patofisiologi

12
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi
deselarasi gerakan.kepala.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan
dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan
kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih
cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (contrecoup) .
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Guerrero, 2000).

Gambar 8. Mekanisme cedera otak

13
C. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan secara praktis dikenal tiga deskripsi klasifikasi
yaitu berdasarkan:

1. Mekanisme
 Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-
motor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.

14
 Cedera kepala tembus, disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya
penetrasi selaput dura menentukan cedera apakah cedera tembus atau
tumpul.

2. Beratnya cedera
GCS digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan
dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.
Penderita dengan GCS 14-15 di klasifikasikan ke dalam cedera kepala ringan,
GCS 9-13 termasuk cedera kepala sedang, dan GCS 3-8 termasuk cedera kepala
berat. Koma didefinisikan bila penderita tidak mampu melaksanakan perintah,
tidak dapat mengeluarkan suara dan tidak dapat membuka mata. Penderita yang
mampu membuka kedua mata secara spontan, mematuhi perintah dan
berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita
yang keseluruhan otot ekstremitasnya flaksid dan tidak dapat membuka mata
sama sekali nilai GCSnya minimal atau sama dengan 3 (Guerrero, 2000).

Glasgow Coma Scale nilai ai


Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
1

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

Respon motorik (M)

Mengikuti perintah 6

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5

15
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

3. Morfologi
a. fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan
teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda
klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis
periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran
CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis. Sebagai patokan umum
bila terdapat fragmen tulang yang menekan ke dalam, lebih dari tebal tulang
kalvaria, biasanya memerlukan tindakan pembedahan (Mack LR, 2003).
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya
selaput duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya
fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup
berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura
tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan
pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria
linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien
yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang
sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya
fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk
pengamatan.
Fraktur dasar tengkorak sering disertai dengan kebocoran CSS baik
melalui hidung (rhinorrhea) atau melalui telinga (otorrhea). Fraktur ini juga

16
sering menyebabkan paresis nervus fasialis yang dapat terjadi segera setelah
cedera atau timbul beberapa hari kemudian. Umunnya prognosis pemulihan
paresis nervus fasialis lebih baik pada keadaan paresis yang terjadi beberapa
waktu kemudian (Mack LR, 2003).

b. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural dan kontusio (atau hematoma
intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun keadaan klinis neurologis penderita
sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Maka cedera difus
dikelompokan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan cedera aksonal
difus.
1) Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk
bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio
temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh
meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun
mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-
kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio
parietal-oksipital atau fossa posterior (Mack LR, 2003).
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat
saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera,
prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak
berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural
berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum
pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan
adanya “lucid interval” yang klasik dimana penderita yang semula mampu
bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya

17
tindakan bedah memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari
seorang ahli bedah saraf.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak
selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada
tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space
occupying lesion). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya
jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara
intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali, 2007).

2) Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling
sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus
venosus. Namu juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau
substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
daripada perdarahan epidural.
Mortalitas yang tinggi pada perdarahan ini hanya dapat diturunkan
dengan tindakan pembedahan yang cepat dan penatalaksanaan
medikamentosa yang agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan
kronis (Mack LR, 2003).

18
Gambar 9. SDH dan EDH

a) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat
tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas
medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure
interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural.

b) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi
yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada
pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit
hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada

19
prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin
lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya
menjadi hipodens (Gazali, 2007)..

3) Kontusi dan hematoma intraserebral.


Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir
selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi
dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk
serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral
traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan
kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa
hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan
otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan
otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya
(countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung
pada lokasi dan luas perdarahan (Gazali, 2007)..

Gambar 10. Hematoma intraserebral

4) Cedera difus

20
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera
kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak
terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai
derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan.
Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi
tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera
komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde
dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau
hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita
dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya
kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-
gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana
pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam
keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering
menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam
keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala
disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga
akibat cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak
mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan.
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan
cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski
bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu
menjadi pertimbangan (Gazali, 2007)..

Cedera Maxiilofacial
a) Faktur maxilaris
Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan dicirikan oleh:

21
 Mobilitas palatum
 Mobilitas hidung yang menyertai palatum
 Epistaksis
 Mobilitas 1/3 wajah bag tengah.
Klasifikasi menurut lefort
 Lefort 1
Fraktur melintang rendah pada
maxila yang hanya melibatkan
palatum, dicirikan oleh pergeseran
arcus dentalis maxila dan palatum,
maloklusi gigi biasanya bisa terjadi.

Gambar 11 a. Lefort 1
 Lefort II
Fraktur ini dicirikan mobilitas palatum
dan hidung end-block, juga epistaksis
yang jelas. Biasanya maloklusi gigi dan
pergeseran pllatum kebelakang. Fraktur
end-block pada palatum dan sepertiga
tngah wajah tremasuk hidung

Gambar 11 b. Lefort II

 Lefort III

Merupakan cedera paling berat,


dimana perlekatan seluruh

22
rangka wajah terputus.seluruh
komplek zigomatikus menjadi
mobile dan tergeser.

Gambar 11 c. Lefort III

b) Fraktur Mandibula
Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah
akibat kerusakan pada nervus mandibularis. Fraktur pada umumnya akan disertai
dislokasi fragmen tulang sesuai dengan tonus otot yang berinsersi di tempat tersebut.
Pada fraktur daerah dagu, otot akan menarik fragmen tulang kearah dorsokaudal,
sedangkan pada fraktur bagian lateral tulang akan tertarik kearah cranial (Nursalam,
2003).
c) Fraktur Gigi
Merupakan fraktur tersendiri atau bersama- sama dengan fraktur maksila maupun
mandibula, dimana gigi yang hancur perlu dicabut, sementara yang patah dibiarkan.
d) Fraktur Os Nasal
Biasanya disebabkan oleh trauma langsung, dimana pada pemeriksaan didapatkan
pembengkakan, epistaksis nyeri tekan dan teraba garis fraktur. Foto radiologi
diperlukan dalam membantu diagnosis yakni, proyeksi foto PA dan lateral, sedangkan
tindakan yang perlu dilakukan adalah reposisi atau septoplasty.
e) Fraktur Orbita
Biasanya didapatkan gejala klinis berupa hematom monokel yang dapat disertai
diplopia, hemomaksila dan mati rasa pipi karena cedera nervus infraorbitalis atau mati
rasa dahi karena kerusakan nervus supraorbitalis. Fraktur juga dapat menyebabkan
enoftalmus dan sering disertai terjepitnya muskulus rectus inferior di dalam patahan
sehingga gerakan bola mata sangat terganggu dan penderita mengalami diplopia
(Nursalam, 2003).

f) Fraktur Os Zygoma
Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai
hematom orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi di daerah arcus
zygomaticus. Diagnosis ditegakan secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi
waters, yaitu temporooksipital.

23
24
BAB III

INTERPRETASI RADIOLOGIS PADA CIDERA KEPALA

3.1 Indikasi Pemeriksaan Radiologis


Tidak semua pasien dengan cedera kepala membutuhkan pemeriksaan
neuroradiologis. Penelitian menunjukkan bahwa kurang dari 10% pasien dengan
cedera kepala ringan ternyata memiliki hasil yang positif pada pemeriksaan CT scan,
dimana kurang dari 1% yang membutuhkan intervensi. Hal ini menunjukkan bahwa
masih ada sejumlah kecil pasien yang diuntungkan dengan pencitraan radiologis
(Smeltzer S, 2002).
Pasien harus diperiksa secara klinis dan diagnosis dibuat berdasarkan apakah pada
pemeriksaan fisik dan riwayat perjalanan penyakit menunjukkan cedera kepala
sedang hingga berat atau cedera kepala ringan. CT, MRI, atau radiografi tengkorak
tidak diperlukan untuk pasien berisiko rendah. Risiko rendah didefinisikan sebagai
mereka yang tidak menunjukkan gejala atau hanya pusing, sakit kepala ringan, kulit
kepala lecet, atau hematoma, usia lebih dari 2 tahun, dan tidak memiliki temuan yang
berisiko sedang ataupun tinggi (Nursalam, 2003).
Pasien dengan resiko sedang adalah mereka yang memiliki salah satu kondisi
berikut: riwayat penurunan tingkat kesadaran beberapa waktu ataupun setelah terjadi
cedera kepala, sakit kepala berat atau progresif, kejang pasca-trauma, muntah terus
menerus, multipel trauma, cedera wajah yang serius, tanda-tanda dari fraktur
tengkorak basilar (hemotympanum, “raccoon eyes”, rinorrea atau otorrea), dugaan
kekerasan pada anak, gangguan perdarahan, atau usia lebih muda dari 2 tahun
(Smeltzer S, 2002).
Pasien berisiko tinggi adalah mereka dengan salah satu kondisi berikut: temuan
neurologis fokal, pasien dengan derajat kesadaran berdasarkan GCS dengan skor 8
atau kurang, dipastikannya terdapat penetrasi tengkorak, gangguan metabolik,
keadaan postictal, atau penurunan atau depresi tingkat kesadaran (tidak berhubungan
dengan narkoba, alkohol , atau obat-obatan depresan pada system saraf pusat
lainnya). Jika terdapat cedera sedang atau berat dan pasien dengan kondisi neurologis
yang tidak stabil, CT scan harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya hematoma.

25
Jika pasien dengan kondisi neurologis yang stabil, MR scan lebih digunakan untuk
mencari cedera dengan penekanan parenkim. Dalam cedera kepala ringan (tanpa
kehilangan kesadaran atau defisit neurologis), pasien dapat hanya diobservasi. Jika
sakit kepala terus-menerus terjadi setelah trauma, CT scan harus dilakukan (Smeltzer
S, 2002).

3.2 Foto Polos Kepala


Foto polos kepala hanya menunjukkan ada tidaknya patah tulang, dan tidak
mampu menghasilkan visibilitas yang baik pada otak atau adanya darah untuk
menunjukkan cedera intrakranial. Adanya patah tulang tengkorak tanpa kelainan
neurologis tidak begitu signifikan. Patah tulang tengkorak yang ditentukan
berdasarkan pemeriksaan foto polos kepala pada pasien dengan cedera kepala ringan
telah dilaporkan dengan angka sangat rendah, mulai dari 1,9% hingga 4,3%. Patah
tulang tengkorak tidak selalu berarti cedera intrakranial yang signifikan, meskipun
tidak adanya patah tulang tengkorak, pasien dapat memiliki kelainan patologis yang
signifikan pada intrakranialnya (Nursalam, 2003).
Foto polos kepala sangat membantu pada pasien yang dicurigai tidak cedera
akibat kecelakaan, patah tulang tengkorak depresi, cedera kepala akibat penetrasi
oleh benda asing, atau cidera kepala pada anak-anak kurang dari 2 tahun,walaupun
tanpa gejala neurologis.
A. Fraktur pada Tulang Tengkorak
Pemeriksaan foto polos kepala untuk melihat pergeseran (displacement)
fraktur tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan
intrakranial. Fraktur pada tengkorak dapat berupa fraktur impresi (depressed
fracture), fraktur linear, dan fraktur diastasis (traumatic suture separation).
Fraktur impresi biasanya disertai kerusakan jaringan otak dan pada foto terlihat
sebagai garis atau dua garis sejajar dengan densitas tinggi pada tulang tengkorak
(Gambar 12 a). Fraktur linear harus dibedakan dari gambaran pembuluh darah
normal atau dengan garis sutura interna, yang tidak bergerigi seperti sutura
eksterna. Garis sutura interna bersifat superimposisi pada sutura yang bergerigi,
sedangkan fraktur akan menyimpang dari itu di beberapa titik. Selain itu, pada
foto polos kepala, fraktur ini terlihat sebagai garis radiolusen, paling sering di
daerah parietal (Gambar 12 a). Garis fraktur biasanya lebih radiolusen dari pada

26
pembuluh darah dan arahnya tidak teratur. Fraktur diastasis lebih sering pada
anak-anak dan terkihat sebagai pelebaran sutura (Gambar 12 a).

Gambar 12 a. Gambaran Fraktur Impresi (kiri), Fraktur Linear (tengah),


dan Fraktur Diastasis (kanan) pada Foto Polos Kepala

3.3 CT scan (Computerized Tomography, CT) Kepala


B. Indikasi CT scan pada Cidera kepala
Dengan CT scan, isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada
cidera kepala, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik
bentuk maupun ukurannya. Indikasi pemeriksaan CT scanpada kasus cidera
kepala adalah seperti berikut:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi cidera kepala sedang dan berat.
2. Cidera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan
otak.
7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.
Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala, dan
merupakan alat yang paling baik untuk mengetahui, menentukan lokasi dan
ukuran dari perdarahan intracranial (Smeltzer S, 2002).

C. Interpretasi Gambaran CT Scan pada Cidera kepala


1. Fraktur Tulang Kepala
Fraktur pada dasar tengkorak seringkali sukar dilihat. Fraktur dasar
tengkorak (basis kranii) biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan

27
teknik “Jendela Tulang” (bone window) untuk mengidentifikasi garis
frakturnya. Fraktur dasar tengkorak yang melintang kanalis karotikus dapat
mencederai arteri karotis (diseksi, pseuoaneurisma ataupun trombosis) perlu
dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan angiography cerebral
(Nursalam, 2003).

Gambar 13. Gambaran Fraktur Basis Kranii


pada CT Scan Kepala

Pada Gambar 13, memperlihatkan gambaran fraktur tulang temporal


petrous kiri, yang melibatkan telinga tengah (panah kecil). Dapat dilihat juga
adanya gambaran sedikit udara pada fossa posterior dari tulang tengkorak
(panah terbuka).
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural didefinisikan sebagai perdarahan ke dalam ruang
antara duramater, yang tidak dapat dipisahkan dari periosteumtengkorak dan
tulang yang berdekatan.
Hematoma epidural biasanya dapat dibedakan dari hematoma subdural
dengan bentuk bikonveks dibandingkan dengan crescent-shape dari
hematoma subdural. Selain itu, tidak seperti hematoma subdural, hematoma
epidural biasanya tidak melewati sutura. Hematoma epidural sangat sulit

28
dibedakan dengan hematoma subdural jika ukurannya kecil. Dengan bentuk
bikonveks yang khas,elips, gambaran CT scan padahematoma epidural
tergantung pada sumber perdarahan, waktu berlalu sejak cedera, dan tingkat
keparahan perdarahan. Karena dibutuhkan diagnosis yang akurat dan
perawatan yang cepat, diperlukan pemeriksaan CT scan dengan cepat dan
intervensi bedah saraf (Smeltzer S, 2002).

Gambar 14. Gambaran Perdarahan Epidural


pada CT Scan Kepala Non-kontras

Pada Gambar 14, pasien mengalami kecelakaan kendaraan bermotor,


terlihat peningkatan kepadatan (hiperdens) di daerah lenticular pada CT Scan
aksial non kontras di wilayah parietalis kanan. Ini biasanya terjadi akibat
pecahnya arteri meningeal media. Sedikit perdarahan juga terlihat di lobus
frontal kiri (perdarahan intraserebral) (Smeltzer S, 2002).

3. Perdarahan Subdural
Sebelum CT scan dan teknologi pencitraan magnetik (MRI), hematoma
subdural didiagnosis hanya berdasarkan efek massa, yang digambarkan
sebagai perpindahan dari pembuluh darah pada angiogram atau sebagai
kalsifikasi kelenjar hipofisis pada foto polos kepala. Munculnya CT scan dan
MRI telah menjadi pilihan diagnosik rutin bahkan untuk perdarahan kecil.

29
Temuan CT scan dalam hematoma subdural tergantung pada lamanya
perdarahan (Gambar 14). Pada fase akut, hematoma subdural muncul
berbentuk bulan sabit, ketika cukup besar, hematoma subdural menyebabkan
pergeseran garis tengah. Pergeseran dari gray matter-white matter junction
merupakan tanda penting yang menunjukkan adanya lesi.

Gambar 15. Gambaran Perdarahan Subdural pada CT Scan

Jika ditemukan hematoma subdural pada CT scan, penting untuk


memeriksa adanya cedera terkait lainnya, seperti patah tulang tengkorak
(Gambar 15), kontusio intra parenkimal, dan darah pada subaraknoid
(Gambar 15). Adanya cedera parenkim pada pasien dengan hematoma
subdural adalah faktor yang paling penting dalam memprediksi hasil klinis
mereka.

30
Gambar 16. Gambaran Perdarahan Subdural dengan Fraktur Tengkorak (kiri)
dan Perdarahan Subdural disertai Perdarahan Subarakhnoid (kanan)

4. Perdarahan Subaraknoid
Pada CT scan, perdarahan subaraknoid (SAH) terlihat mengisi ruangan
subaraknoid yang biasanya terlihat gelap dan terisi CSF di sekitar otak.
Rongga subaraknoid yang biasanya hitam mungkin tampak putih di
perdarahan akut. Temuan ini paling jelas terlihat dalam rongga subaraknoid
yang besar (Smeltzer S, 2002).

Gambar 17. Gambaran Perdarahan Subarakhnoid pada CT Scan Kepala

Ketika CT scan dilakukan beberapa hari atau minggu setelah perdarahan


awal, temuan akan tampak lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan
cenderung menurun, dan tampak sebagai abu-abu. Sebagai tambahan dalam
mendeteksi SAH, CT scan berguna untuk melokalisir sumber perdarahan.
5. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral biasanya disebabkan oleh trauma terhadap
pembuluh darah, timbul hematoma intraparenkim dalam waktu ½-6 jam
setelah terjadinya trauma. Hematoma ini bisa timbul pada area kontralateral
trauma. Pada CT scan sesudah beberapa jam akan tampak daerah hematoma
(hiperdens), dengan tepi yang tidak rata.

31
Gambar 18. Gambaran Perdarahan Intraserebral pada CT Scan Kepala

6. Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel
otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan
intraserebral (Gambar 19).Pada perdarahan intraventrikular akan terlihat
peningkatan densitas dari gambaran CT scan kepala. Jika terlambat ditangani,
perdarahan intraventrikular akan menyebabkan terjadinya ventrikulomegali
pada sistem ventrikel (hidrosefalus) dari gambaran CT scan.

Gambar 19. Gambaran Perdarahan Intraserebral disertai


Perdarahan Intraventrikular pada CT Scan Kepala
BAB IV
KESIMPULAN

Cidera kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur
kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak. Berdasarkan Skala Koma Glasgow, cidera kepala dibagi
atas cidera kepala ringan (SKG 14-15), sedang (SKG 9-13) dan berat (SKG 3-8).
Cidera kepala dapat menimbulkan perdarahan intrakranial berupa fraktur tulang

32
kepala, perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan subarakhnoid,
perdarahan intraventrikular, dan perdarahan intraserebral. Pemeriksaan foto polos
kepala digunakan untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur tulang
tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial.
Pemeriksaan tomografi computer (CT Scan) kepala sangat berguna pada cidera
kepala karena isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada cidera
kepala, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk
maupun ukurannya.

33

Anda mungkin juga menyukai