Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pertama kali diidentifikasi


pada tahun 1981 setelah muncul kasus-kasus pneumonia Pneumocystis carinii
dan sarcoma Kaposi pada laki-laki muda homoseks di berbagai wilayah Amerika
Serikat. Sebelumnya kasus tersebut sangat jarang terjadi, apabila terjadi biasanya
disertai penurunan kekebalan imunitas tubuh. Pada tahun 1983 Luc Montagnier
mengidentifikasi virus penyebab AIDS, yang telah diisolasi dari pasien dengan
limfadenopati dan pada waktu itu diberi nama LAV ( Lymphadenopathy virus ).
Sedangkan Robet Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada tahun 1984 yang
saat itu dinamakan HTLV-III. (Djoerban Z dkk, 2006)

Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen


Kesehatan pada tahun 1987, yaitu pada seorang warga Negara Belanda yang
sedang berlibur ke Bali. Sebenarnya sebelum itu, yaitu pada tahun 1985 telah
ditemukan kasus yang gejalanya sangat sesuai dengan HIV/AIDS dan hasil tes
ELISA tiga kali diulang dinyatakan positif. Tetapi tes Western Blot hasilnya
negative, sehinga tidak dilaporkan. Kasus kedua ditemukan pada bulan Maret
1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia. Masalah HIV/AIDS
adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara di seluruh
dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari HIV (Djoerban Z
dkk, 2006).

Menurut UNAIDS di tahun 2013 jumlah odha mencapai 35 juta, dengan


kasus baru sebanyak 2,1 juta,dan per hari lebih dari 7000 orang telah terinfeksi
HIV, 97 % dari Negara berpenghasilan rendah dan menengah. Penderitanya
sebagian besar adalah wanita sekitar 16 juta dan 3,2 juta anak berusia < 15 th
( WHO, 2017). HIV dan AIDS menyebabkan krisis secara bersamaan,

1
menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara, krisis ekonomi,
pendidikan , dan juga krisis kemanusiaan. (Djoerban Z dkk, 2006).

Di Indonesia sendiri, jumlah odha terus meningkat. Data terakhir pada


tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah odha di Indonesia telah mencapai 22.664
orang. (Depkes RI, 2014). Menurut UNAIDS, Indonesia merupakan Negara
dengan pertunbuhan epidemic tercepat di Asia. Pada tahun 2007 menempati
urutan ke-99 di dunia, namun karena pemahaman dari gejala penyakit dan
stigmata social masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan dilakukan
pengobatan.(UNAIDS, 2016)

Nahlen et al. melaporkan bahwa dari 147.225 pasien AIDS yang


dilaporkan ke CDC dari 9/87 ke 8/91, 7,1% memiliki sindrom wasting sebagai
satu-satunya penyakit terdefinisi AIDS, sementara 10,7% memiliki wasting
sindrom. Data awal menunjukkan bahwa wasting sindrom dapat terjadi lebih
sering pada wanita dibandingkan pria. Fleming dkk. mengatakan > 60.000 kasus
AIDS dilaporkan ke CDC sampai 9/90. Dengan wasting sindrom 19,6% wanita
dan 16,0% pria

2
BAB II

HIV - AIDS

2.1 DEFINISI

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala


atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya
infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili
retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk,
2006). HIV merupakan virus RNA dari family retrovirus dan subfamili
Lentiviridae. Dikenal ada dua serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. Secara
morfologis HIV-1 berbentuk bulat yang terdiri dari bagian inti (core) dan selubung
(envelope). (Levinson, 2006).

2.2 EPIDEMIOLOGI

Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut


lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun
2013, jumlah odha diperkirakan mencapai 35 juta orang, dengan sebangian besar
penderitanya adalah usia produktif , 16 juta penderita adalah perempuan dan 3,2
juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.1 juta jiwa.
Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 240.000 di antaranya terjadi pada anak-
anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS.
(WHO-UNAIDS 2016 )

Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada


tahun 1990, jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat
ini, jumlahnya sudah mencapai 35 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67%
diantaranya disumbangkan oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika. (WHO,
2010)

Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual.

3
Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak
pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama
disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. (Djoerban Z dkk, 2006)

Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat


di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-
populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika
suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Di beberapa propinsi
seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur telah tergolong sebagai
daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic).
Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic). ( Mustikawati DE dkk, 2009)

Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan


kasus baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana
terjadi kenaikan tiga kali lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15
tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju
peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352
kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110 kasus.
(Mustikawati DE dkk, 2009 ).

Dari jumlah kumulatif 24.110 kasus HIV AIDS yang dilaporkan pada
September 2014, sekitar 54% adalah laki-laki dan 17% adalah perempuan.
Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 61,5% pada heteroseksual; 15,2% pada
pengguna narkotika suntik; 2,4% pada homoseksual dan 2,7% pada transmisi
perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok
homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Kumulatif kasus AIDS
tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 20–29 tahun (32,9%), disusul kelompok
usia 30–39 tahun (28,3) . (Depkes RI, 2014)

Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama


jumlah kumulatif kasus HIV berasal dari propinsi DKI Jakarta sebesar 32.782
kasus, disusul Jawa Timur dengan 19.249 kasus, kemudian diikuti Papua, Jawa

4
Barat dan Bali dengan masing-masing jumlah kasus secara berurutan sebesar
16.051 kasus, 13.507 kasus, dan 9.637 kasus HIV. (Depkes RI,2014)

Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir
Desember 2014 adalah sebesar 19,1 per 100.000 penduduk (dengan jumlah
penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2014).
Proporsi kasus yang dilaporkan meninggal sebesar 0,46%. Lima infeksi
oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus, diare
kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata
1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus. (Depkes
RI,2014)

2.3 ETIOLOGI

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA
berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1).
Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop)
berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung
glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-
helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam
terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini
terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase
enzyme). ( Merati TP dkk,2006)

Gambar 1: struktur virus HIV-1

5
Sumber : Fauci AS at al, 2005

Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV
global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan
beberapa negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat. (Merati TP
dkk,2006)

2.4 MODE PENULARAN

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi
melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah
melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang
terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan
adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.

Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh


.
Risiko tinggi Risiko masih sulit Risiko rendah selama
ditentukan tidak terkontaminasi
darah

6
Darah, serum Cairan amnion Mukosa seriks
Semen Cairan Muntah
Sputum serebrospinal Feses
Sekresi vagina Cairan pleura Saliva
Cairan peritoneal Keringat
Cairan perikardial Air mata
Cairan synovial Urin
Sumber : Djauzi S, 2006

Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun


percikan cairan darah sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit
(misal akibat tusukan jarum atau luka karena benda tajam yang tercemar HIV)
hanya sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan akibat terpercik cairan tubuh yang
tercemar HIV pada mukosa sebesar 0,09%. (Djauzi S dkk, 2006)

2.5 PATOGENESIS

Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi
HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.
Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang
penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan
gangguan imun yang progresif. (Djoerban Z dkk, 2006)

Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara
in vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral
dendritik, folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks,
mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.
(Merati TP dkk, 2006)

Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama
HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui
kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal
sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing
nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan

7
ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 47 sebagai reseptor penting lainnya
untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan
dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi
antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4,
sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA
dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan
berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus
yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini
akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi
mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur
sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus.
Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang
nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada
permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan
matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)

8
Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.

Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat


defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio
CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus
HIV dibentuk terhada berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul

9
virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah
infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan
bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk
antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut
tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek.
Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T
sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas
sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV.
(Djoerban Z dkk, 2006)

Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan


kerusakan progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi
sel T CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan
proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan
antiretrovirus. (Djoerban Z dkk, 2006)

2.6 PERJALANAN PENYAKIT

Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang
menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua
orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai
dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (Djoerban Z dkk,
2006)

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan
menunjukkan gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan
berlangsung selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan

10
gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z dkk,
2006)

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala)


yang berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang
perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula
perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan
tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti
berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah
bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.

Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV

Kelompok Gejala Kekerapan (%)


Umum Demam 90
Nyeri otot
54
Nyeri sendi
-
Rasa lemah
-
Mukokutan Ruam kulit
70
Ulkus di mulut
12
Limfadenopati 74
Neurologi Nyeri kepala 32
Nyeri belakang mata -
Fotofobia -
Depresi -
Meningitis 12
Saluran cerna Anoreksia -
Nausea -
Diare 32
Jamur di mulut 12
Sumber : (Djauzi S, 2006)

Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV
akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada
akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti
telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului

11
oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala
klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan
hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam
kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah
kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas
ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu.
Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah
tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,
muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran
limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan
memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban Z dkk,
2006)

Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari


80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung
juga adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan
biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya
pengguna jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan
tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin
mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan
menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan
menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan
meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam
limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif. (Djoerban
Z dkk, 2006)

12
Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan
hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+
ditampilkan dalam gambar 3.

Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer,


HIV menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat
pada pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV,
ditandai dengan penurunan viremia.

Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV

sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi
hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya
infeksi oportunistik.

2.7 DIAGNOSIS

13
2.7.1. Anamnesis

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,


pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan
laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya.

Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini
mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA
(table 3 dan table 4).

Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV

- Penjaja seks laki-laki atau perempuan


- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan
transgender (waria)
- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Sumber : Depkes RI 2014

Table 4: Daftar tilik riwayat pasien

14
Sumber :Depkes RI 2014

2.7.2 Pemeriksaan fisik

Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat
dilihat pada tabel 6

15
Tabel 6 : Daftar tilik pemeriksaan fisik

Sumber :Depkes RI 2014

Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik


atau kanker yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma
malignum dan karsinoma serviks invasif. Daftar tilik pemeriksaan fisik pada

16
pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 6. Di RS Dr. Cipto
Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering ditemukan pada odha
umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan berat badan, sariawan,
dan diare, seperti pada tabel 5 .

Tabel 5. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo

Gejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %
Ensefalopati 4,5 %
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005

2.7.3 Pemeriksaan penunjang

Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan


pemeriksaan laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain
dengan pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus
HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan
PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan
untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm 3 (Tabel 7) . ( Depkes RI,
2014)

17
Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha

Tes antibodi terhadap HIV (AI);


Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);
HIV RNA plasma (viral load) (AI);
Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan
kreatinin, urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma
gondii IgG, dan pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko
penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi
terapi (AIII);

Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan


biasanya dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang
tidak aman atau penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan
pada mereka dengan infeksi menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis
aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil
pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes
juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi
3C yakni confidential (rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan
hanya dilakukan dengan informed consent. (Djoerban Z dkk,2006)

Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang


memiliki sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan
hasil yang reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan
konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang
sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes
positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan
kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV
positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang
berasal dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada
kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18 bulan. (Djoerban Z dkk,2006)

18
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah
dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin
dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan
kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB
sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali
positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak
sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-
reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka
keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki
riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa
riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan
dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).

Table 8 : Algoritma pemeriksaan HIV

19
Sumber : Permenkes,2014

2.7.4 Penilaian Klinis

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan


meliputi penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang
berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait
dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan
terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta mengidentifikasi pengobatan lain yang
sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan terapi. (Djauzi S dkk,2006)

2.7.5 Stadium Klinis

20
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I
(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium
IV (sakit berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan
jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk
memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi
ARV.

AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa


saja merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada
stadium lanjut, system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi
Opportunistik dan mereka terus menerus menderita penyakit minor dan mayor
Karen tubuhnya tidak mampu memberikan pelayanan.

Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi,
memang tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu
kemudian orang tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-
hari seperti flu dan diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-
4 penderita tidak memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai
timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan
di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan
tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal.

Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan


spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium
awal sampai dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut.
Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun
sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
berkembangnya HIV menjadi AIDS belum diketahui jelas. Diperkirakan infeksi
HIV yang berulang – ulang dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain
mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Menurunnya hitungan sel CDA di
bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk. Keadaan yang
buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro globulin dan juga peningkatan
I9A.

Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :


a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000

21
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan.
Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia,
malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada,
nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal
(nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi
viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis
yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.

b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml


Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya
sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi
replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami
pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP),
meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh bagi
hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai
petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat
500/ml.

c. Infeksi Kronis Simtomatik


Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala
penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat
imunitas pemderita.

1) Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500


Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya
reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau
hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang
lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian
juga yang disebut AIDS-Related (ARC).

2) Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200


Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa
penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase
yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh
sudah dalam kehilangan kekebalannya.

Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:

22
• Limfadenopati Generalisata yang menetap
• Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB
involunter > 10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.
• Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis
aseptik, mielopati, neuropati perifer, miopati.
• Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M.
Tuberculosis, Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus
Herpes simpleks
• Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma
limfoid
• Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita
TB atau komplikasi

Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus


memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika
dia positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan
ARC (AIDS Relative Complex) Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada
penderita AIDS adalah:

a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan
satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
2. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif

b. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan
dua gejala minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.

23
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang
Batuk parsisten
Dermatitis

2.7.6 Penilaian Imunologi

Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam
menilai status imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan
dalam memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai
pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4
dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau
menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon
terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC)
dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia
namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar
menentukan kegagalan terapi ARV. (Depkes RI, 2014)

Tabel 9. Stadium klinis HIV

Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan

24
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang


Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)


Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

Sumber : Depkes RI, 2014

2.8 PENATALAKSANAAN

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara


total. Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat
meyakinkan bahwa pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat
anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat
infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)

25
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat


antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu
menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka
kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi
oportunistik amat berkurang.

2.8.1Terapi Antiretroviral (ARV)


Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S
dkk,2006):

 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:


zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti
evafirens dan nevirapin
 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena


obat antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi
ARV meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan
pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence,
toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga

26
atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat
keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2014)

Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4
harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau
secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis
lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi
HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2014)

Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa

Stadium Jika tidak tersedia


Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
Terapi ARV tidak
1
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 diberikan
<200 Bila jumlah total limfosit
2
<1200
3
Jumlah CD4 200 – 350/mm ,
pertimbangkan terapi sebelum CD4
<200/mm3.
Pada kehamilan atau TB: Terapi ARV dimulai
3  Mulai terapi ARV pada semua ibu tanpa memandang jumlah
hamil dengan CD4 350 limfosit total
 Mulai terapi ARV pada semua ODHA
dengan CD4 <350 dengan TB paru
atau infeksi bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang
4
jumlah CD4
Sumber : Depkes RI, 2014

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi.


Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan
kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV
(misal, diare kronis, demam berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai
belum dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila
pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan
dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada
ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA
asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada
petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

27
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai
terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama.
Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat
CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah
tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai
sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai
terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan
pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis
maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau
infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis
manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada
ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis.
Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu
keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load)
tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2014)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi
oportunistik yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain
perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya
diberikan sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi
M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB
dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga
untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes
RI, 2014)

2.8.2 Panduan Kombinasi Obat ARV


Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV
yang dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral
Therapy atau HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi
HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT

28
dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti
oleh resistensi. (Yunihastuti E, 2005)

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa


kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang
termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan
yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ). ( Depkes RI,
2014) Adapun terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada tabel 11.

Tabel 11 : Terapi ARV

Sumber : Depkes RI, 2014


Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT
+ 3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena
dapat menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa
digunakan adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai daripada
stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis

29
laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila
NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil
karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2014). Pemilihan ARV golongan
NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-
masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada
tabel 12.

Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR

Sumber : Depkes RI, 2014

Tabel 13 mencoba menampilkan ringkasan mengenai keuntungan dan kerugian


obat ARV golongan ini.

30
Tabel 13 : Kombinasi ARV

Sumber : Depkes RI, 2014


PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa
PI pada awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di
Indoneesia di mana sumber dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat
digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada
terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3 yang mendapat
ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.

2.6.3 Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)


Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh
selama terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing

31
(hidup atau mati) dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami
pemulihan respon imun terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan
sepertiga dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang
mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 /
mm3. Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.

Tabel 14: pedoman tatalaksana IRIS

Sumber : Depkes RI, 2014

32
2.8.3 Penatalaksanaan Infeksi Opurtunistik
Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan
kekebalan tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus)
yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia
namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. (Yunihastuti E,
2005)
Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh
yang ditandai dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200
sel/L ataupun > 200 sel/L. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati
namun apabila kekebalan tubuh tetap rendah maka infeksi oportunistik mudah
kambuh kembali atau juga dapat timbul oportunistik yang lain. Pada umumnya
kematian pada odha disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga infeksi ini
perlu dikenal dan diobati. Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh
( CD4 ) dapat dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi.
Terdapat banyak penyakit yang digolongkan infeksi oportunistik seperti terlihat
pada table 15.
Tabel 15. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis
AIDS
Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV a
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau
esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu

33
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c
a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab
lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan
pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal
2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,
intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain
(missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.
Sumber :Yunihastuti E dkk, 2005

2.8.3.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada odha
di Indonesia.TB mempercepat progesivitas infeksi HIV dengan meningkatkan
replikasi HIV dan juga menjadi penyebab kematian tersering pada odha. TB paru
merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada infeksi HIV awal
dengan jumlah median CD4 > 300 sel/L sedangkan TB ekstraparu atau
diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih rendah.
(Yunihastuti E dkk, 2005)
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3
minggu, demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih,
berkeringat pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB
ekstra paru yang tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi
pleura dan osteomielitis. Sayangnya, gambaran klinis TB pada odha seringkali
tidak khas dan sangat bervariasi sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih
sulit. (Yunihastuti E dkk, 2005)
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan
odha. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50%
dan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran
TB paru pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda dengan non – HIV

34
berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan
CD < 200 sel/µL, gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati
mediastinum dan infiltrat di lobus bawah. Diagnosis definitif TB pada odha
adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen
sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA pada specimen
dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi OAT.
Yunihastuti E dkk, 2005)
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB
pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada
tabel 16. Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB
dengan CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm 3. Bila
tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk
semua odha dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama
dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, dan
ketidakpatuhan minum obat. (Yunihastuti E dkk, 2005)

Tabel 16. Obat yang dipakai dan lama pengobatan

Klasifikasi Regimen Obat


Kasus TB baru 2HRZE / 6 HE (DOTS)
TB kambuh/ pengobatan ulang 2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV dan
OAT adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara
terapi berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17. Untuk itu, perlu
dilakukan tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB. (Yunihastuti E dkk,
2005)
Tabel 17. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV

CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan

35
CD4 <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 – 8
mm3 segera setelah terapi TB dapat minggu setelah OAT
ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2
bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800 mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat
dilakukan dengan melakukan
pemantauan fungsi hati
(SGOT/SGPT) secara ketat
CD4 200-350/ Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi
mm3 TB
CD4 >350/ Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai
mm3 kembali pada saat minggu
ke 8 terapi TB dan setelah
terapi TB lengkap
CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV
mungkin mulai 2 – 8 minggu setelah
diperiksa terapi TB dimulai
Sumber : Depkes RI, 2007

2.8.4 Pencegahan Infeksi Oportunistik

Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua


kelompok besar yakni (Djauzi S dkk, 2006) :

1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi


terjadi. Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 <
200/mm3 untuk mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP).
Pencegahan ini dapat mengurangi risiko PCP.
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi
terjadi. Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat
pencegahan (dalam dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan
PCP yang telah sembuh.

Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena
infeksi oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik

36
dapat dihentikan. Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi
oportunistik harus diberikan lagi. Tabel berikut menampilkan secara ringkas
pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik. Beberapa upaya
profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi pneumokok,
hepatitis B dan hepatitis A. (Djauzi S dkk, 2006)

Tabel 18. Pencegahan infeksi oportunistik

Penyakit Mulai Obat yang digunakan


o
PCP 1 CD4 < 200, sariawan, TMP.SMX 1 DS/hari
pertimbangkan bila CD4 < 250 TMP.SMX 1 SS/ hari
atau CD4 % < 14
INH 300mg/hari +
TB PPD > 5 ml Piridoksin
Kontak Positif

T. Gondii CD4 < 100 TMP.SMX 1 DS/hari


IGG Toksoplasma aviditas rendah

S. pneumoniae CD4 > 200 Vaksinasi pneumovax

Hepatitis B Anti HBs (-) Vaksinasi Hepatitis B


HBs Ag(-)

Hepatitis A Anti HAV (-) Vaksinasi Hepatitis A


Risiko paparan tinggi (IDU,
MSM, dll)

Sumber : Djauzi S dkk, 2006

WASTING SYNDROME

37
HIV wasting sindrom diberi nama oleh pusat pengendalian penyakit pada tahun
1987 sebagai penyakit terdefinisi AIDS. Adalah penurunan berat badan tanpa sadar>
10% berat badan awal ditambah diare kronis (setidaknya dua kali per hari selama> 30
hari) atau kelemahan kronis dan demam (> 30 hari yang intermiten atau konstan) dengan
tidak adanya kondisi lain selain infeksi HIV. Sindrom wasting hanya ada pada
sekelompok kecil pasien dengan HIV terkait penurunan berat badan.

Yang ditandai dengan kemungkinan: Pertama, penurunan berat badan mungkin


menjadi aspek penting dari wasting daripada hilangnya massa tubuh tanpa lemak. Kotler
et al telah melaporkan bahwa kematian karena wasting pada penderita AIDS terkait
dengan besarnya penipisan jaringan tanpa lemak. Hellerstein dan lainnya menunjukkan
enuruna yang signifikan pada AIDS yang ditandai dengan hilangnya massa tubuh tanpa
lemak, terutama protein otot, yang merupakan pengeluaran protein paling umum yang
terlihat pada pasien yang sangat kelaparan. Namun, sementara definisi penurunan berat
badan yang lebih penting secara klinis jauh lebih sedikit. Penurunan berat badan terkait
HIV, biasanya berasal dari infeksi oportunistik akut, yang sering kembali, dan penurunan
berat badan kronis.

Epidemiologi

Meskipun sulit untuk mengetahui prevalensi keseluruhan sindrom wasting karena


masalah definisi ini, sejumlah penelitian telah melaporkan pada populasi. Nahlen et al.
melaporkan bahwa dari 147.225 pasien AIDS yang dilaporkan ke CDC dari 9/87 ke 8/91,
7,1% memiliki sindrom wasting sebagai satu-satunya penyakit terdefinisi AIDS,
sementara 10,7% memiliki sindrom wasting plus setidaknya satu penyakit terdefinisi
AIDS lainnya. Pasien dengan wasting lebih cenderung berkulit hitam atau Hispanik,
wanita, dan memiliki cara penularan transfusi untuk hemofilia. Hubungan antara
penggunaan narkoba dan risiko berkemih dari wasting setuju dengan temuan penelitian
sebelumnya yang menunjukkan bahwa penggunaan narkoba dapat memiliki efek gizi
yang buruk.

Data awal menunjukkan bahwa sindrom wasting dapat terjadi lebih sering pada
wanita yang pria, tetapi penelitian lain gagal menemukan peningkatan tingkat wasting di
antara pasien wanita dengan AIDS. Fleming dkk. Dianalisis > 60.000 kasus AIDS
dilaporkan ke CDC sampai 9/90. Pada pasien ini, sindrom wasting dilaporkan pada
19,6% wanita dibandingkan 16,0% pria. Untuk risiko relatif 1,2%. peningkatan

38
prevalensi pada wanita mungkin hanya mencerminkan persentase penggunaan obat
intravena (IVDU) yang lebih tinggi di antara perempuan HIV-positif dibandingkan laki-
laki. Bukti menunjukkan bahwa setiap peningkatan insidensi wasting pada perempuan
yang terinfeksi HIV mencerminkan perbedaan dalam diagnosis, penularan penyakit yang
berbeda, atau akses yang tertunda untuk perawatan kesehatan dibandingkan dengan laki-
laki, lebih daripada efek biologis dari gender.

Penurunan berat badan pada pasien terinfeksi HIV, terutama mereka dengan
AIDS, telah dilaporkan sangat umum, dengan> 50% pasien AIDS dalam beberapa
penelitian mengalami penurunan berat badan tidak disengaja> 10% dari berat awal
mereka. Graham dkk. melaporkan bahwa analisis multivariat menunjukkan bahwa AIDS,
CD4 <100 sel / mm, demam dan sariawan adalah faktor penyebab penurunan berat badan.
Penurunan berat badan pada pasien yang terinfeksi HIV di negara berkembang
Khususnya Afrika, Kegagalan untuk berkembang atau penurunan berat badan merupakan
komplikasi penting di antara anak-anak yang terinfeksi HIV. Karena patofisiologi dan
pengobatan penurunan berat badan pada kedua populasi ini sangat kompleks dan
mungkin berbeda.

Hubungan antara penurunan fungsi kekebalan tubuh dan penurunan berat badan
dan malnutrisi belum juga dipelajari atau didokumentasikan secara definitif dalam AIDS.
Studi sebelumnya dan prognosis yang lebih buruk dari pasien AIDS dengan penurunan
berat badan menunjukkan bahwa wasting dapat menyebabkan peningkatan risiko infeksi
pada pasien terinfeksi HIV. Tidak ada bukti sejauh ini bahwa penurunan significan
memiliki efek langsung pada HIV itu sendiri. lebih dari itu, intervensi nutrisi belum
ditemukan untuk memiliki dan berpengaruh pada jalannya HIV itu sendiri atau pada
kelangsungan hidup. Data yang disajikan menghubungkan jumlah CD4 pada pasien
terinfeksi HIV dengan status gizi secara keseluruhan, sebagaimana tingkat serum
albumin. Defisiensi mikronutrien sering terjadi pada pasien terinfeksi HIV, mungkin lebih
umum dengan wasting, dan menurun dalam fungsi kekebalan tubuh

Malnutrisi pada pasien yang terinfeksi HIV dapat menyebabkan disfungsi organ
tertentu. Gangguan fungsi paru, hati jantung, pankreas, dan usus kecil telah dilaporkan,
sementara penurunan massa otot atau diare mengakibatkan kelemahan, gangguan
fungsional melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, dan penurunan kualitas hidup.
Penurunan kualitas hidup, sementara yang paling sulit diukur, mungkin merupakan salah

39
satu konsekuensi paling serius dari pemborosan pada pasien terinfeksi HIV. Malnutrisi
juga dapat mempengaruhi penyerapan obat, farmakokinetik, dan volume distribusi obat.
itu dapat menyebabkan penurunan keefektifan obat atau peningkatan toksisitas, meskipun
ada sedikit dokumentasi pengaruh ini, satu atau lain cara, pada pasien terinfeksi HIV.

Patofisiologi

Ada sejumlah kemungkinan etiologi penurunan berat badan pada infeksi HIV.
Kemungkinan sindrom hiv wasting juga multifaktorial dalam etiologi. Beberapa etiologi
mungkin ada pada satu pasien. Etiologi yang paling mungkin dapat dibagi menjadi
kategori broa hypermetabolisme, perubahan dalam metabolisme, penurunan asupan oral,
malabsorpsi, efek sitokin, disfungsi endokrin, dan penyakit otot primer.

1. Asupan oral menurun


Penurunan asupan oral tampaknya sangat umum pada pasien yang terinfeksi HIV
dan mungkin merupakan etiologi berat badan yang sangat penting dan sindrom HIV
wasting 24,25. Ada banyak penyebab penurunan asupan oral (lihat tabel). Sementara
beberapa penelitian telah menghubungkan penurunan berat badan dengan asupan
kalori yang menurun, penelitian lain, sebaliknya, telah melaporkan bahwa pasien
yang terinfeksi HIV sering memiliki asupan kalori di atas kebutuhan mereka yang
dihitung dan bahwa asupan kalori tidak berkorelasi dengan baik dengan penurunan
berat badan. 20,24. interpretasi studi diet rumit oleh pertanyaan tentang keakuratan
catatan diet, terutama pada pasien rawat jalan. Selain itu, beberapa studi tentang
asupan oral telah memasukkan pasien dengan penurunan berat badan (> 10% berat
badan awal) yang bermakna. Mayoritas bukti menunjukkan bahwa penurunan asupan
oral adalah masalah umum pada pasien yang terinfeksi HIV, yang mungkin berasal
dari berbagai etiologi, dan itu mungkin menjadi penyumbang utama untuk
membuang.

Gambar 1.

40
2. Hipermetabolisme
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan infeksi HIV mungkin
mengalami peningkatan metabolisme, bahkan tanpa adanya infeksi akut atau
neoplasma. Hommes dkk. dan Melchior et al. melaporkan bahwa pengeluaran energi
istirahat (REE) terkait kompleks, termasuk mereka dengan dan tanpa penurunan berat
badan, dibandingkan dengan sukarelawan yang sehat. Sebaliknya, beberapa
penelitian lain melaporkan bahwa pasien yang terinfeksi HIV tidak
hipermetabolisme.

Selain itu, tidak jelas bahwa penurunan berat badan jelas berkorelasi dengan
tingkat metabolisme, dengan beberapa penelitian benar-benar menunjukkan
penurunan pengeluaran energi selama periode weghtloss. Grunfeld dan rekan
melaporkan bahwa sementara REE meningkat pada pasien HIV positif dan AIDS,
perubahan berat badan tidak berkorelasi dengan REE tetapi dengan asupan kalori.
Helerstein et al. menunjukkan bahwa penyebab fisiologis yang paling umum dari
hipermetabolisme, yaitu kehamilan, remaja, dan olahraga, biasanya tidak
menyebabkan pemborosan, mungkin karena adaptasi asupan kalori yang lebih tinggi.
etiologi kemungkinan hipermetabolisme masih belum jelas, karena peningkatan
hormon atau faktor nekrosis tumor (TNF) tidak ditemukan pada pasien dengan REE
tinggi. Apakah hipermetabolisme kronis terjadi atau tidak, demam yang sering, sering
dikaitkan dengan infeksi sekunder, pada pasien terinfeksi HIV dapat menyebabkan
peningkatan REE jangka pendek. Keganasan juga dapat meningkatkan REE.
Sementara hipermetabolisme dapat terjadi pada beberapa pasien terinfeksi HIV, tidak
jelas bahwa hipermetabolisme cukup untuk menyebabkan pemborosan tanpa adanya
proses lain.

3. Malabsorpsi
Malabsorpsi, ditandai dengan gejala diare kronis atau berulang, telah terlibat
sebagai etiologi utama terkait penurunan berat badan dan sindrom HIV wasting.
Sangat mungkin bahwa itu meningkat dengan memajukan penyakit HIV. Ada
sejumlah besar penyebab potensial malabsorpsi pada pasien terinfeksi HIV (Lihat
gambar 2). Pasien yang terinfeksi HIV sering mengalami kehilangan D-xy yang
abnormal dan tes absorpsi C-gliserol-tripalmitin tes skunder abnormal pada kelainan
usus kecil pada biopsi, termasuk atropi villus dan crypthyperplasia. Defisiensi laktase
dan steatorrhea. malabsorpsi nutrisi dapat menyertai area permukaan usus kecil yang

41
parah, defek sel fungsional dari kerusakan patogen langsung, dan ketidakmatangan
fungsional dari sel-sel epitel villus terkait dengan pergantian sel yang cepat.

Banyak organisme diketahui menyebabkan diare pada saluran pencernaan pasien


dengan infeksi HIV (lihat tabel 2). Beberapa organisme ini telah dikaitkan dengan
peningkatan disfungsi gastrointestina. Sebagai contoh. Biopsi jejunum, menunjukkan
bahwa cryptosporidiosis dan miscrosporidiosis dikaitkan dengan penurunan aktivitas
disakaridaase jejunal dan malabsropsi xilosa pada pasien dengan AIDS 6. Dworkin el
al melaporkan malabsorpsi paling sering terjadi pada pasien dengan infeksi
gastrointestinal spesifik yang diidentifikasi.Namun, pada banyak pasien, malabsorpsi
dan diare terjadi tanpa patogen yang teridentifikasi. Pada pasien ini, telah disarankan
bahwa malabsorpsi mungkin

Gambar 2

merupakan efek dari HIV itu sendiri atau apa yang disebut HIV enteropati. HIV dapat
langsung melukai usus kecil. Beberapa penelitian telah melokalisasi HIV asam nukleat
atau antigen protein ke mukosa usus, serta mencatat kelainan usus kecil yang spesifik 74
95. Penelitian lain, bagaimanapun, telah mempertanyakan peran HIV dalam

42
menyebabkan malabsorpsi dan diare, mencatat bahwa patogen enterik spesifik, seperti
sebagai mikrosporidiosis, sering dapat ditemukan dengan evaluasi yang lebih luas 93,98.
Singkatnya, diare dan malabsorpsi terjadi umumnya pada pasien yang terinfeksi HIV dan
kemungkinan penyebab utama penurunan berat badan kronis pada pasien ini.

4. Aktifitas Endocrine
Disfungsi endokrin adalah kemungkinan etiologi lain dari sindrom wasting.
Kelainan endokrin pada pasien terinfeksi HIV, termasuk perubahan fungsi gonad,
adrenal, dan tiroid. Telah sering dicatat dan berpotensi dapat menyebabkan penurunan
berat badan yang signifikan. Lopresti dkk. melaporkan bahwa infeksi HIV ditandai
dengan rendahnya tingkat triidotthyronine (Rt3) dan ketekunan triidothyronine (T3),
dalam kisaran normal. Temuan ini berbeda dengan situasi sebagian besar infeksi
berat, di mana Rt3 meningkat dan T3 sangat menurun. dimana kadar serum T3 yang
normal ini merupakan respons yang tepat terhadap penghilangan kalori. Hasil dari
efek sitokin, dan mungkin menghasilkan pengeluaran energi tinggi yang
berkelanjutan yang menyebabkan penurunan berat badan. Lopresti dan liga mencatat
bahwa TNF dan IL-I menyebabkan T3 normalt, Rt3 rendah dilakukan percobaan pada
tikus dan muncul untuk merangsang enzim iodothyronine-5-deiodinase, yang
menghasilkan peningkatan sintesis T3 dari T4 dan peningkatan degradasi Rt3.
Sementara temuan ini telah direproduksi oleh beberapa peneliti, penelitian lain
menunjukkan bahwa serum T3 tidak mengalami infeksi apportunisti.

Insufisiensi adrenal telah dilaporkan sesekali di AIDS, sering berasal dari infeksi
oportunistik atau efek obat. Beberapa pasien memiliki tanggapan kortisol suboptimal
terhadap pemberian kortikotropin sintetis (ACTH) dan mungkin dapat
mengembangkan insufisiensi adrenal klinis selama infeksi akut. Penelitian lain telah
melaporkan bahwa tingkat kortisol basal meningkat pada pasien dengan HIV
dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan kortisol dapat menjadi respon fisiologis
terhadap penurunan berat badan yang berat pada tubuh yang berusaha
mempertahankan hemostasis glukosa di otak.

Penurunan testosteron telah dilaporkan dalam sejumlah penelitian laki-laki yang


terinfeksi HIV. Disfungsi gonad ini telah dikaitkan dengan tingkat gonadotropin
(LH / FSH) yang menurun atau tidak tepat, yang diduga berasal dari disfungsi
hipotalamus. Croxon dkk. Namun, melaporkan bahwa penurunan serum testosteron

43
pada pasien AIDS dikaitkan dengan peningkatan kadar LH dan FSH serum,
menyiratkan disfungsi testis primer daripada hypogonadotropic hypogonadism. IL-1
telah dilaporkan untuk menghambat respone sel leydig in vivo, dan peningkatan
kadar sitokin dapat menyebabkan testis unresponsiveness. Menurunkan kadar
testosteron telah berkorelasi dengan penurunan berat badan serta mungkin dengan
kelangsungan hidup yang menurun. Dalam penelitian kami tentang pasien dengan
sindrom HIV wasting, bebas dan Jumlah testosteron secara signifikan lebih rendah
pada pasien dengan jumlah CD4 yang sama tetapi tanpa membuang (p <0,001).
Karena testosteron adalah hormon anabolik, defisiensi dapat mengakibatkan
penurunan massa tubuh tanpa lemak dan berkontribusi pada sindrom wasting HIV.

Defisiensi hormon pertumbuhan sebagai penyebab kemungkinan wasting HIV.


penelitian gagal menemukan bukti defisiensi hormon pertumbuhan pada orang
dewasa yang terinfeksi HIV. Sindrom wasting infeksi rabies telah ditemukan
menyebabkan disfungsi pada hipofisis dan hipotalamus, yang mengakibatkan
penurunan produksi gowth hormon. Ada kemungkinan bahwa mekanisme serupa
dapat terjadi pada AIDS. Singkatnya, disfungsi endokrin mungkin cukup umum
terutama pada penyakit HIV lanjut, tetapi hubungannya dengan wasting masih tidak
jelas.

5. Metabolisme yang berubah


Perubahan dalam metabolisme juga telah diusulkan sebagai etiologi HIV wasting
sindrom. Hellerstein mencatat bahwa respon fisiologis normal terhadap insufisiensi
kalori adalah beralih dari oksidasi karbohidrat menjadi oksidasi asam lemak,
sementara hipermetabolisme juga biasanya ditandai dengan penurunan relatif
oksidasi protein (nitrogen). Hellerstein dan lain-lain telah berhipotesis bahwa dalam
AIDS mungkin ada kegagalan untuk beralih ke oksidasi asam lemak sementara hemat
karbihidrat dan oksidasi protein, yang mengarah ke konservasi paradoksal jaringan
adiposa dan deplesi protein otot.

Grunfeld dan Feingold dan Grunfeld dan Kotler telah menyarankan bahwa
peningkatan lipolisis diikuti oleh resintesis trigliserida, (dengan menggunakan
adenosin trifosfat dengan setiap resintesis) yang dapat terjadi pada AIDS
Hipertrigliseridemia, meskipun tidak ada hiperkolesterolemia, tampaknya pada pasien
dengan AIDS dan mungkin mencerminkan penurunan atau peningkatan sintesis

44
trigliserida. Hipertrigliseridemia, umumnya pada pasien dengan AIDS dan mungkin
mencerminkan penurunan atau peningkatan sintesis trigliserida hati, Penurunan relatif
dalam pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dapat menyebabkan
peningkatan pemanfaatan karbohidrat dan protein, yang mengakibatkan hilangnya
lemak tubuh.

Untuk mendukung hipotesis ini, Hellerstein et al, melaporkan bahwa pasien


terinfeksi HIV dengan penurunan berat badan telah meningkatkan lipogenesis hati
yang berkorelasi dengan peningkatan trigliserida, dan mereka menyarankan bahwa
anabolisme lemak ini malabsorptif dalam menghadapi penipisan jaringan tanpa lemak
(74). Tiga penelitian kecil telah mencoba untuk menilai apakah pergantian protein
lebih tinggi pada pasien terinfeksi HIV dan telah menghasilkan hasil yang
bertentangan (77 - 79). Mengingat data yang terbatas ini, hipotesis tentang
metabolisme yang berubah tetap menarik, tetapi spekulatif.

6. Sitokin
Ada kemungkinan bahwa peningkatan kadar sitokin tertentu, khususnya TNF,
mungkin bertanggung jawab atas enurunan signifikan terhadap penurunan berat
badan yang terlihat pada. Namun, sementara beberapa penulis telah melaporkan
peningkatan TNF, terutama pada pasien yang bergejala, dan penelitian lain telah
melaporkan bahwa TNF tidak meningkat secara konsisten pada pasien terinfeksi HIV.
Dworkin dkk. Tercatat bahwa pada 33 pasien rawat jalan HIV-positif, peningkatan
kadar TNF tidak berkorelasi dengan penurunan berat badan atau peningkatan laju
metabolik. Beberapa peneliti berpendapat bahwa tes serum TNF sering tidak sensitif
atau cukup akurat untuk mendeteksi peningkatan, terutama karena TNF disekresikan
dengan cara pulsatil. Data mengenai sitokin lain lebih terbatas, dengan beberapa
penelitian kecil yang secara bervariasi mencatat peningkatan interleukin 6,
interleukin 1 (IL-1), interleukin 2, reseptor interleukin 2 yang dapat larut, dan
interferon alfa pada pasien HIV-positif.

TNF atau mungkin sitokin lain dapat menyebabkan penurunan berat badan atau
HIV wasting sindrom oleh sejumlah mekanisme. TNF, dan mungkin IL-1, dapat
bertindak untuk menginduksi anoreksia atau, alternatifnya, TNF dapat mempengaruhi
metabolisme lipid, yang mengarah ke penurunan oksidasi lemak relatif dibandingkan
dengan karbohidrat atau oksidasi protein dan kehilangan masa tubuh yang relatif

45
lebih besar. Tracey et al, menyarankan bahwa efek TNF pada pasien dengan AIDS
mungkin tergantung pada tempat produksinya,

7. Penyakit Otot Primer


Beberapa penulis menyarankan bahwa sindrom wasting HIV dapat terjadi akibat
miopati. Simpson dkk. melaporkan lima pasien dengan HIV wasting sindrom yang
semuanya memiliki gejala klinis miopati,dengan hasil laboratorium (creatinin kinase
(CK) dan electromyelogram), dan kriteria biopsi otot. Pada pasien ini, prednison
tampaknya menyebabkan penurunan CK dan peningkatan kekuatan otot. Koneksi
zidovudine dan HIV ke miopati dan hilangnya massa otot akan memerlukan evaluasi
lebih lanjut.

Pengobatan

Strategi pengobatan yang diusulkan untuk sindrom HIV wasting dan penurunan berat
badan terkait HIV dapat dibagi menjadi empat kategori umum. Mereka menemukan dan
mengobati gumpalan yang dapat diobati yang mengobati gejala, dukungan nutrisi melalui
nutrisi enteral atau parenteral, dan, terakhir menggunakan berbagai agen eksperimental
dalam upaya untuk membalikkan potensi yang mendasari etiologi wasting (tabel 3).

Pasien dengan sindrom wasting HIV harus dievaluasi untuk patogen yang dapat diobati
(3,135). Pendekatan ini mungkin sangat berguna bagi mereka yang mengalami diare
adalah gejala yang menonjol, menunjukkan bahwa penurunan berat badan pasien dapat
diakibatkan dari patogen gastrointestinal yang dapat diobati. Beberapa penelitian telah,
pada kenyataannya, menunjukkan bahwa pengobatan yang berhasil patogen yang dipilih,
termasuk cytomegalovirus (CMV) dan mycobacterium avium intracellulare (MAI),
menghasilkan kenaikan berat badan. Berbagai kondisi lain yang dilaporkan menyebabkan
penurunan berat badan juga dapat diobati. Mereka termasuk oral pharyngeal, dan patogen
esofagus, obat ulkus diinduksi anoreksia atau diare dan penurunan asupan oral yang
berasal dari depresi. AZT (retrovir) telah menunjukkan beberapa keberhasilan dalam
pengobatan ensefalopati HIV.

Adalah wajar bagi dokter untuk mengarahkan pemeriksaan berdasarkan riwayat,


pemeriksaan, dan temuan laboratorium masing-masing pasien. Terapi antiretroviral juga
telah terbukti mengurangi pemborosan. Pengobatan dengan AZT dapat menyebabkan
kenaikan berat badan pada pasien, sementara pengobatan agen retroviral lainnya,

46
meskipun kurang dipelajari, juga dapat menyebabkan penurunan berat badan yang
signifikan. Dengan tidak adanya patogen yang dapat diobati atau kondisi yang dapat
dibalik.

pendekatan kedua adalah untuk mengobati gejala, seperti mual atau diare, yang dapat
menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan. agen farmakologi yang
direkomendasikan termasuk acetaminophen, aspirin atau obat antiinflamasi non steroid
lainnya (untuk demam), diphenoxylate hydrochloride, loperamid, kodein, dan opiat
lainnya (untuk diare), dan berbagai antiemetik, termasuk metoclopramide,
prochlorperazine, dan ondansetron (untuk mual dan muntah).

Meningkatkan asupan kalori mungkin sangat penting. Berbagai penelitian telah


menunjukkan bahwa nutrisi parenteral dapat mengakibatkan setidaknya kenaikan berat
badan sementara pada pasien terinfeksi HIV dengan wasting. Kotler berpendapat bahwa
indikasi untuk dukungan nutrisi (parenteral) pada pasien AIDS harus serupa dengan
pasien dengan penyakit kronis lainnya, yaitu deplesi massa tubuh yang signifikan,
keseimbangan kalori negatif yang persisten, tidak ada komplikasi penyakit yang tidak
dapat diobati, dan potensi berkepanjangan. Kelangsungan hidup yang nyaman jika proses
dihentikan atau dibalik. Kotler et al melaporkan dalam uji coba total nutrisi parenteral
(TPN), di mana semua pasien memperoleh berat badan, bahwa pasien dengan riwayat
penurunan asupan atau gangguan penyerapan juga memiliki jumlah sel tubuh yang
signifikan.

Singer et al menyarankan bahwa TPN juga mungkin memiliki efek


menguntungkan pada fungsi kekebalan tubuh, melaporkan peningkatan tanggapan
mitogen limfosit pada pasien, Tidak ada penelitian acak atau prospektif tentang apakah
TPN pada akhirnya akan meningkatkan kelangsungan hidup pasien telah dilakukan. Satu-
satunya data yang tersedia, sebuah penelitian retrospektif, melaporkan kelangsungan
hidup yang lebih buruk pada pasien yang menerima nutrisi parenteral daripada enteral,
mungkin mencerminkan keadaan klinis yang buruk sebelum dukungan nutrisi. Sampai uji
coba terkontrol plasebo prospektif telah mengkonfirmasi bahwa TPN sebenarnya
mengarah pada kelangsungan hidup yang lebih baik atau infeksi oportunistik yang lebih
sedikit, penggunaannya harus dengan hati-hati.

Berbagai suplemen dan diet oral telah dianjurkan untuk pasien terinfeksi HIV
dengan wasting, tetapi pilihan terbaik tetap tidak jelas karena hampir tidak ada penelitian

47
terkontrol yang diterbitkan yang membandingkan diet atau suplemen yang berbeda pada
pasien terinfeksi HIV. Diet Elemental (tercerna) atau suplemen (dicerna) diet telah
dilaporkan untuk mengurangi diare dan menstabilkan berat badan dengan menjadi lebih
mudah untuk menyerap. Satu studi tentang formula enteral berbasis peptida dibandingkan
dengan formula protein keseluruhan menunjukkan bahwa kelompok pada diet
sebelumnya memiliki penurunan yang lebih sedikit dalam fungsi kekebalan tubuh,
sementara berat badan stabil dengan kedua formula. Beberapa penulis telah menyarankan
kalori tinggi, protein tinggi, rendah lemak, laktosa. diet untuk pasien, bersama dengan
suplemen oral. Saran lain termasuk diet individual, diet serat rendah atau tinggi,
suplemen vitamin, beberapa makanan kecil. Penambahan lactobacillus adiphilus melalui
yogurt atau susu acidophilus, makanan lunak dan cair, dan suplemen albumin dan
konseling nutrisi.

Metode pengobatan utama keempat untuk HIV wasting sindrom dengan


penggunaan obat eksperimental dengan harapan merangsang nafsu makan, menurunkan
sitokin, atau bertindak dengan cara lain pada apa yang dianggap sebagai kelainan
mendasar pada pasien dengan wasting (Tabel 3). Sejumlah penelitian telah menunjukkan
bahwa megestrol acetate (MA), progesteron oral sintetis, dapat membantu dalam
stimulasi nafsu makan dan penambahan berat badan dan menanamkan rasa kesejahteraan
pada pasien dengan AIDS dan penurunan berat badan. MA mungkin lebih cenderung
menghasilkan peningkatan berat badan pada pasien tanpa penyakit gastrointestinal,
visceral Kaposi's sarcoma, atau MAI. Tidak jelas apakah MA dapat menginduksi
peningkatan massa tubuh tanpa lemak serta berat keseluruhan. Sementara MA telah
dianggap bertindak dengan meningkatkan nafsu makan, Tchekmedyian dkk. Disarankan
bahwa MA mungkin juga memiliki pengaruh metabolik dengan menginduksi sintesis
lemak meningkat, mencatat bahwa kenaikan berat badan pada tikus yang diberi
progesteron masih terjadi bahkan jika progensteron yang diinduksi hyperphagia dicegah
dengan membatasi asupan makanan hewan.

Dronabinol (delta-9-tetrahydrocannabinol, komponen psikoaktif utama ganja)


telah dicatat untuk meningkatkan nafsu makan dan berat badan pada sukarelawan normal
dan pasien kanker. Sejumlah studi terbatas pada pasien yang terinfeksi HIV dengan
wasting menunjukkan bahwa dronabinol dapat menjadi agen yang berguna untuk pasien
tertentu untuk meningkatkan nafsu makan, menurunkan mual, dan menstimulasi
peningkatan berat badan.

48
Pentoxifylline (trental) telah disarankan sebagai pengobatan untuk HIV wasting
sindrom karena kemampuannya untuk menurunkan kadar TNF dan mungkin
mengganggu replikasi HIV. Namun, data terbatas yang tersedia dari percobaan
pentoxicifylline yang tidak terkontrol, 400 mg t.i.d. pada beberapa penelitian
menunjukkan pada 25 pasien ketika ada penurunan TNF, pasien masih mengalami
penurunan berat badan yang berarti. Hormon pertumbuhan adalah hormon anabolik alami
yang menginduksi keseimbangan nitrogen positif dan peningkatan massa tubuh tanpa
lemak. Tingkat hormon pertumbuhan yang lebih rendah belum ditemukan pada pasien
yang terinfeksi HIV, tetapi dua penelitian telah melaporkan bahwa pemberian hormon
pertumbuhan, suplemen jangka pendek pada pasien AIDS dengan wasting menyebabkan
kenaikan berat badan.

Sedangkan Intervensi endokrin lainnya kurang mendapat perhatian. Studi


glukokortikoid dalam pengobatan HIV wasting sindrom telah diajukan, baik sebagai
stimulator nafsu makan dan sebagai penekan sitokin. Tambahan concerss telah
dibangkitkan oleh studi kontrol kasus baru-baru ini menunjukkan bahwa terapi
prednisone dapat meningkatkan risiko penyakit CMV. Sebuah studi menunjukkan
dexamethasone pada pasien dengan kanker gastrointestinal preterminal menunjukkan
bahwa obat ini meningkatkan nafsu makan tetapi gagal mempengaruhi berat badan atau
kelangsungan hidup pada pasien dengan keganasan lanjut. Pengalaman kami adalah
bahwa prednisone dosis rendah (10-20 mg qd), dengan memperbaiki insufisiensi adrenal
okultisme, merangsang nafsu makan, atau menekan TNF, dapat merangsang dengan
wasting terkait HIV. Percobaan terkontrol diperlukan untuk menilai potensi utilitas dan
risiko prednison untuk pasien dengan sindrom HIV wasting.

BAB III

KESIMPULAN

 AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang diakibatkan karena


penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human
Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.

49
 Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang,
dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta
penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. perkembangan
epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
 Nahlen et al. melaporkan bahwa dari 147.225 pasien AIDS yang
dilaporkan ke CDC dari 9/87 ke 8/91, 7,1% memiliki sindrom wasting
sebagai satu-satunya penyakit terdefinisi AIDS, sementara 10,7% memiliki
wasting sindrom. Data awal menunjukkan bahwa wasting sindrom dapat
terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan pria. Fleming dkk.
mengatakan > 60.000 kasus AIDS dilaporkan ke CDC sampai 9/90.
Dengan wasting sindrom 19,6% wanita dan 16,0% pria
 Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi
melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke
peredaran darah melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui
komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke
janin.
 Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat


antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu
menjaga kebersihan.
 Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:
nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) , non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitors (NNRTI), dan protease inhibitors (PI).
 Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT
+ 3TC + NVP

50
 Malnutrisi merupakan komplikasi morbiditas dan mortalitas terkait HIV.
Berat badan merupakan prediktor independen dari kematian
 Meskipun ART, pasien tetap berisiko untuk AIDS wasting syndrome
 Kontributor AIDS wasting syndrome termasuk peningkatan pengeluaran
energi, penurunan asupan energi, metabolisme yang berubah, dan faktor
hormonal
 Suplemen multivitamin dapat mengurangi risiko atau menunda penyakit
dan kematian terkait HIV.
 Data menunjukkan suplementasi glutamin dapat membantu membatasi
pengecilan otot skelet dan meningkatkan BCM pada pasien dengan
penurunan berat badan

DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi


B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
2006

2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan


dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2006.

3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill

51
4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S,
Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI 2005.

5. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
2006

6. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib


AA, Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV
infection in infants and children in Indonesia: current challenges in
management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
2009

7. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis


Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja” , Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan 2014

8. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2016:


executive summary. Geneva. 2016.

9. Guidelines For Managing Advanced HIV Disease And Rapid Initiatin Of


Antiretroviral Therapy. WHO-UNAID July 2017.

10. Situasi dan Analysis HIV AIDS. Ditjen PP&PL, Kemenkes RI,2014.

11. Pedoman Pengobatan AntiRetroviral. Peraturan Menteri Kesehatan RI


Nomor 87 Tahun 2014.

12. Pedoman penerapan terapi anti HIV pada Anak. KEMENKES RI 2014.

13. Pedoman Nasional Penangan Infeksi Menular Seksual. KEMENKES RI


2015.

52

Anda mungkin juga menyukai