PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan Negara, krisis ekonomi,
pendidikan , dan juga krisis kemanusiaan. (Djoerban Z dkk, 2006).
2
BAB II
HIV - AIDS
2.1 DEFINISI
2.2 EPIDEMIOLOGI
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di
Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual.
3
Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak
pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama
disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. (Djoerban Z dkk, 2006)
Dari jumlah kumulatif 24.110 kasus HIV AIDS yang dilaporkan pada
September 2014, sekitar 54% adalah laki-laki dan 17% adalah perempuan.
Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 61,5% pada heteroseksual; 15,2% pada
pengguna narkotika suntik; 2,4% pada homoseksual dan 2,7% pada transmisi
perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok
homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Kumulatif kasus AIDS
tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 20–29 tahun (32,9%), disusul kelompok
usia 30–39 tahun (28,3) . (Depkes RI, 2014)
4
Barat dan Bali dengan masing-masing jumlah kasus secara berurutan sebesar
16.051 kasus, 13.507 kasus, dan 9.637 kasus HIV. (Depkes RI,2014)
Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir
Desember 2014 adalah sebesar 19,1 per 100.000 penduduk (dengan jumlah
penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2014).
Proporsi kasus yang dilaporkan meninggal sebesar 0,46%. Lima infeksi
oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus, diare
kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata
1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus. (Depkes
RI,2014)
2.3 ETIOLOGI
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA
berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1).
Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop)
berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung
glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-
helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam
terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini
terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase
enzyme). ( Merati TP dkk,2006)
5
Sumber : Fauci AS at al, 2005
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV
global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan
beberapa negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat. (Merati TP
dkk,2006)
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi
melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah
melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang
terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan
adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.
6
Darah, serum Cairan amnion Mukosa seriks
Semen Cairan Muntah
Sputum serebrospinal Feses
Sekresi vagina Cairan pleura Saliva
Cairan peritoneal Keringat
Cairan perikardial Air mata
Cairan synovial Urin
Sumber : Djauzi S, 2006
2.5 PATOGENESIS
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi
HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.
Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang
penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan
gangguan imun yang progresif. (Djoerban Z dkk, 2006)
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara
in vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral
dendritik, folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks,
mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.
(Merati TP dkk, 2006)
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama
HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui
kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal
sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing
nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui bahwa selain molekul CD4 dan
7
ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 47 sebagai reseptor penting lainnya
untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan
dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi
antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4,
sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA
dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan
berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus
yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini
akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi
mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur
sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus.
Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang
nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada
permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan
matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
8
Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.
9
virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah
infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan
bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk
antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut
tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek.
Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T
sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas
sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV.
(Djoerban Z dkk, 2006)
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang
menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua
orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.
Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai
dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (Djoerban Z dkk,
2006)
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan
menunjukkan gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan
berlangsung selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk dan
10
gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z dkk,
2006)
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV
akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada
akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti
telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului
11
oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala
klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata yang disebabkan
hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam
kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah
kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas
ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu.
Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah
tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi,
muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran
limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan
memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban Z dkk,
2006)
12
Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan
hubungan antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+
ditampilkan dalam gambar 3.
sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi
hingga mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya
infeksi oportunistik.
2.7 DIAGNOSIS
13
2.7.1. Anamnesis
Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini
mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA
(table 3 dan table 4).
14
Sumber :Depkes RI 2014
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat
dilihat pada tabel 6
15
Tabel 6 : Daftar tilik pemeriksaan fisik
16
pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 6. Di RS Dr. Cipto
Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering ditemukan pada odha
umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan berat badan, sariawan,
dan diare, seperti pada tabel 5 .
Gejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %
Ensefalopati 4,5 %
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005
17
Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha
18
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah
dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin
dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan
kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB
sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali
positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak
sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-
reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka
keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki
riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa
riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan
dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).
19
Sumber : Permenkes,2014
20
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I
(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium
IV (sakit berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan
jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk
memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi
ARV.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi,
memang tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu
kemudian orang tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-
hari seperti flu dan diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-
4 penderita tidak memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai
timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan
di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan
tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal.
21
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan.
Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia,
malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada,
nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal
(nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi
viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis
yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.
22
• Limfadenopati Generalisata yang menetap
• Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB
involunter > 10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.
• Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis
aseptik, mielopati, neuropati perifer, miopati.
• Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M.
Tuberculosis, Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus
Herpes simpleks
• Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma
limfoid
• Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita
TB atau komplikasi
a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan
satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
2. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
b. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan
dua gejala minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.
23
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang
Batuk parsisten
Dermatitis
Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam
menilai status imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan
dalam memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai
pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4
dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau
menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon
terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC)
dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia
namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar
menentukan kegagalan terapi ARV. (Depkes RI, 2014)
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
24
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
2.8 PENATALAKSANAAN
25
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
26
atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat
keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2014)
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4
harus memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau
secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis
lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi
HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2014)
27
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai
terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama.
Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat
CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah
tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai
sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai
terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan
pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis
maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau
infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis
manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada
ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis.
Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu
keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load)
tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2014)
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi
oportunistik yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain
perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya
diberikan sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi
M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB
dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga
untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes
RI, 2014)
28
dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti
oleh resistensi. (Yunihastuti E, 2005)
29
laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila
NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil
karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2014). Pemilihan ARV golongan
NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-
masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada
tabel 12.
30
Tabel 13 : Kombinasi ARV
31
(hidup atau mati) dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami
pemulihan respon imun terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan
sepertiga dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang
mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 /
mm3. Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada tabel 14.
32
2.8.3 Penatalaksanaan Infeksi Opurtunistik
Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan
kekebalan tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus)
yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia
namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. (Yunihastuti E,
2005)
Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh
yang ditandai dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200
sel/L ataupun > 200 sel/L. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati
namun apabila kekebalan tubuh tetap rendah maka infeksi oportunistik mudah
kambuh kembali atau juga dapat timbul oportunistik yang lain. Pada umumnya
kematian pada odha disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga infeksi ini
perlu dikenal dan diobati. Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh
( CD4 ) dapat dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi.
Terdapat banyak penyakit yang digolongkan infeksi oportunistik seperti terlihat
pada table 15.
Tabel 15. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis
AIDS
Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV a
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau
esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu
33
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c
a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab
lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan
pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal
2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,
intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain
(missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.
Sumber :Yunihastuti E dkk, 2005
2.8.3.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada odha
di Indonesia.TB mempercepat progesivitas infeksi HIV dengan meningkatkan
replikasi HIV dan juga menjadi penyebab kematian tersering pada odha. TB paru
merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada infeksi HIV awal
dengan jumlah median CD4 > 300 sel/L sedangkan TB ekstraparu atau
diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih rendah.
(Yunihastuti E dkk, 2005)
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3
minggu, demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih,
berkeringat pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB
ekstra paru yang tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi
pleura dan osteomielitis. Sayangnya, gambaran klinis TB pada odha seringkali
tidak khas dan sangat bervariasi sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih
sulit. (Yunihastuti E dkk, 2005)
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan
odha. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50%
dan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran
TB paru pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda dengan non – HIV
34
berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan
CD < 200 sel/µL, gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati
mediastinum dan infiltrat di lobus bawah. Diagnosis definitif TB pada odha
adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen
sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA pada specimen
dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi OAT.
Yunihastuti E dkk, 2005)
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB
pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada
tabel 16. Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB
dengan CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm 3. Bila
tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk
semua odha dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama
dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, dan
ketidakpatuhan minum obat. (Yunihastuti E dkk, 2005)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV dan
OAT adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara
terapi berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17. Untuk itu, perlu
dilakukan tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB. (Yunihastuti E dkk,
2005)
Tabel 17. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV
35
CD4 <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 – 8
mm3 segera setelah terapi TB dapat minggu setelah OAT
ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2
bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800 mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat
dilakukan dengan melakukan
pemantauan fungsi hati
(SGOT/SGPT) secara ketat
CD4 200-350/ Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi
mm3 TB
CD4 >350/ Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai
mm3 kembali pada saat minggu
ke 8 terapi TB dan setelah
terapi TB lengkap
CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV
mungkin mulai 2 – 8 minggu setelah
diperiksa terapi TB dimulai
Sumber : Depkes RI, 2007
Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena
infeksi oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik
36
dapat dihentikan. Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi
oportunistik harus diberikan lagi. Tabel berikut menampilkan secara ringkas
pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik. Beberapa upaya
profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi pneumokok,
hepatitis B dan hepatitis A. (Djauzi S dkk, 2006)
WASTING SYNDROME
37
HIV wasting sindrom diberi nama oleh pusat pengendalian penyakit pada tahun
1987 sebagai penyakit terdefinisi AIDS. Adalah penurunan berat badan tanpa sadar>
10% berat badan awal ditambah diare kronis (setidaknya dua kali per hari selama> 30
hari) atau kelemahan kronis dan demam (> 30 hari yang intermiten atau konstan) dengan
tidak adanya kondisi lain selain infeksi HIV. Sindrom wasting hanya ada pada
sekelompok kecil pasien dengan HIV terkait penurunan berat badan.
Epidemiologi
Data awal menunjukkan bahwa sindrom wasting dapat terjadi lebih sering pada
wanita yang pria, tetapi penelitian lain gagal menemukan peningkatan tingkat wasting di
antara pasien wanita dengan AIDS. Fleming dkk. Dianalisis > 60.000 kasus AIDS
dilaporkan ke CDC sampai 9/90. Pada pasien ini, sindrom wasting dilaporkan pada
19,6% wanita dibandingkan 16,0% pria. Untuk risiko relatif 1,2%. peningkatan
38
prevalensi pada wanita mungkin hanya mencerminkan persentase penggunaan obat
intravena (IVDU) yang lebih tinggi di antara perempuan HIV-positif dibandingkan laki-
laki. Bukti menunjukkan bahwa setiap peningkatan insidensi wasting pada perempuan
yang terinfeksi HIV mencerminkan perbedaan dalam diagnosis, penularan penyakit yang
berbeda, atau akses yang tertunda untuk perawatan kesehatan dibandingkan dengan laki-
laki, lebih daripada efek biologis dari gender.
Penurunan berat badan pada pasien terinfeksi HIV, terutama mereka dengan
AIDS, telah dilaporkan sangat umum, dengan> 50% pasien AIDS dalam beberapa
penelitian mengalami penurunan berat badan tidak disengaja> 10% dari berat awal
mereka. Graham dkk. melaporkan bahwa analisis multivariat menunjukkan bahwa AIDS,
CD4 <100 sel / mm, demam dan sariawan adalah faktor penyebab penurunan berat badan.
Penurunan berat badan pada pasien yang terinfeksi HIV di negara berkembang
Khususnya Afrika, Kegagalan untuk berkembang atau penurunan berat badan merupakan
komplikasi penting di antara anak-anak yang terinfeksi HIV. Karena patofisiologi dan
pengobatan penurunan berat badan pada kedua populasi ini sangat kompleks dan
mungkin berbeda.
Hubungan antara penurunan fungsi kekebalan tubuh dan penurunan berat badan
dan malnutrisi belum juga dipelajari atau didokumentasikan secara definitif dalam AIDS.
Studi sebelumnya dan prognosis yang lebih buruk dari pasien AIDS dengan penurunan
berat badan menunjukkan bahwa wasting dapat menyebabkan peningkatan risiko infeksi
pada pasien terinfeksi HIV. Tidak ada bukti sejauh ini bahwa penurunan significan
memiliki efek langsung pada HIV itu sendiri. lebih dari itu, intervensi nutrisi belum
ditemukan untuk memiliki dan berpengaruh pada jalannya HIV itu sendiri atau pada
kelangsungan hidup. Data yang disajikan menghubungkan jumlah CD4 pada pasien
terinfeksi HIV dengan status gizi secara keseluruhan, sebagaimana tingkat serum
albumin. Defisiensi mikronutrien sering terjadi pada pasien terinfeksi HIV, mungkin lebih
umum dengan wasting, dan menurun dalam fungsi kekebalan tubuh
Malnutrisi pada pasien yang terinfeksi HIV dapat menyebabkan disfungsi organ
tertentu. Gangguan fungsi paru, hati jantung, pankreas, dan usus kecil telah dilaporkan,
sementara penurunan massa otot atau diare mengakibatkan kelemahan, gangguan
fungsional melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, dan penurunan kualitas hidup.
Penurunan kualitas hidup, sementara yang paling sulit diukur, mungkin merupakan salah
39
satu konsekuensi paling serius dari pemborosan pada pasien terinfeksi HIV. Malnutrisi
juga dapat mempengaruhi penyerapan obat, farmakokinetik, dan volume distribusi obat.
itu dapat menyebabkan penurunan keefektifan obat atau peningkatan toksisitas, meskipun
ada sedikit dokumentasi pengaruh ini, satu atau lain cara, pada pasien terinfeksi HIV.
Patofisiologi
Ada sejumlah kemungkinan etiologi penurunan berat badan pada infeksi HIV.
Kemungkinan sindrom hiv wasting juga multifaktorial dalam etiologi. Beberapa etiologi
mungkin ada pada satu pasien. Etiologi yang paling mungkin dapat dibagi menjadi
kategori broa hypermetabolisme, perubahan dalam metabolisme, penurunan asupan oral,
malabsorpsi, efek sitokin, disfungsi endokrin, dan penyakit otot primer.
Gambar 1.
40
2. Hipermetabolisme
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan infeksi HIV mungkin
mengalami peningkatan metabolisme, bahkan tanpa adanya infeksi akut atau
neoplasma. Hommes dkk. dan Melchior et al. melaporkan bahwa pengeluaran energi
istirahat (REE) terkait kompleks, termasuk mereka dengan dan tanpa penurunan berat
badan, dibandingkan dengan sukarelawan yang sehat. Sebaliknya, beberapa
penelitian lain melaporkan bahwa pasien yang terinfeksi HIV tidak
hipermetabolisme.
Selain itu, tidak jelas bahwa penurunan berat badan jelas berkorelasi dengan
tingkat metabolisme, dengan beberapa penelitian benar-benar menunjukkan
penurunan pengeluaran energi selama periode weghtloss. Grunfeld dan rekan
melaporkan bahwa sementara REE meningkat pada pasien HIV positif dan AIDS,
perubahan berat badan tidak berkorelasi dengan REE tetapi dengan asupan kalori.
Helerstein et al. menunjukkan bahwa penyebab fisiologis yang paling umum dari
hipermetabolisme, yaitu kehamilan, remaja, dan olahraga, biasanya tidak
menyebabkan pemborosan, mungkin karena adaptasi asupan kalori yang lebih tinggi.
etiologi kemungkinan hipermetabolisme masih belum jelas, karena peningkatan
hormon atau faktor nekrosis tumor (TNF) tidak ditemukan pada pasien dengan REE
tinggi. Apakah hipermetabolisme kronis terjadi atau tidak, demam yang sering, sering
dikaitkan dengan infeksi sekunder, pada pasien terinfeksi HIV dapat menyebabkan
peningkatan REE jangka pendek. Keganasan juga dapat meningkatkan REE.
Sementara hipermetabolisme dapat terjadi pada beberapa pasien terinfeksi HIV, tidak
jelas bahwa hipermetabolisme cukup untuk menyebabkan pemborosan tanpa adanya
proses lain.
3. Malabsorpsi
Malabsorpsi, ditandai dengan gejala diare kronis atau berulang, telah terlibat
sebagai etiologi utama terkait penurunan berat badan dan sindrom HIV wasting.
Sangat mungkin bahwa itu meningkat dengan memajukan penyakit HIV. Ada
sejumlah besar penyebab potensial malabsorpsi pada pasien terinfeksi HIV (Lihat
gambar 2). Pasien yang terinfeksi HIV sering mengalami kehilangan D-xy yang
abnormal dan tes absorpsi C-gliserol-tripalmitin tes skunder abnormal pada kelainan
usus kecil pada biopsi, termasuk atropi villus dan crypthyperplasia. Defisiensi laktase
dan steatorrhea. malabsorpsi nutrisi dapat menyertai area permukaan usus kecil yang
41
parah, defek sel fungsional dari kerusakan patogen langsung, dan ketidakmatangan
fungsional dari sel-sel epitel villus terkait dengan pergantian sel yang cepat.
Gambar 2
merupakan efek dari HIV itu sendiri atau apa yang disebut HIV enteropati. HIV dapat
langsung melukai usus kecil. Beberapa penelitian telah melokalisasi HIV asam nukleat
atau antigen protein ke mukosa usus, serta mencatat kelainan usus kecil yang spesifik 74
95. Penelitian lain, bagaimanapun, telah mempertanyakan peran HIV dalam
42
menyebabkan malabsorpsi dan diare, mencatat bahwa patogen enterik spesifik, seperti
sebagai mikrosporidiosis, sering dapat ditemukan dengan evaluasi yang lebih luas 93,98.
Singkatnya, diare dan malabsorpsi terjadi umumnya pada pasien yang terinfeksi HIV dan
kemungkinan penyebab utama penurunan berat badan kronis pada pasien ini.
4. Aktifitas Endocrine
Disfungsi endokrin adalah kemungkinan etiologi lain dari sindrom wasting.
Kelainan endokrin pada pasien terinfeksi HIV, termasuk perubahan fungsi gonad,
adrenal, dan tiroid. Telah sering dicatat dan berpotensi dapat menyebabkan penurunan
berat badan yang signifikan. Lopresti dkk. melaporkan bahwa infeksi HIV ditandai
dengan rendahnya tingkat triidotthyronine (Rt3) dan ketekunan triidothyronine (T3),
dalam kisaran normal. Temuan ini berbeda dengan situasi sebagian besar infeksi
berat, di mana Rt3 meningkat dan T3 sangat menurun. dimana kadar serum T3 yang
normal ini merupakan respons yang tepat terhadap penghilangan kalori. Hasil dari
efek sitokin, dan mungkin menghasilkan pengeluaran energi tinggi yang
berkelanjutan yang menyebabkan penurunan berat badan. Lopresti dan liga mencatat
bahwa TNF dan IL-I menyebabkan T3 normalt, Rt3 rendah dilakukan percobaan pada
tikus dan muncul untuk merangsang enzim iodothyronine-5-deiodinase, yang
menghasilkan peningkatan sintesis T3 dari T4 dan peningkatan degradasi Rt3.
Sementara temuan ini telah direproduksi oleh beberapa peneliti, penelitian lain
menunjukkan bahwa serum T3 tidak mengalami infeksi apportunisti.
Insufisiensi adrenal telah dilaporkan sesekali di AIDS, sering berasal dari infeksi
oportunistik atau efek obat. Beberapa pasien memiliki tanggapan kortisol suboptimal
terhadap pemberian kortikotropin sintetis (ACTH) dan mungkin dapat
mengembangkan insufisiensi adrenal klinis selama infeksi akut. Penelitian lain telah
melaporkan bahwa tingkat kortisol basal meningkat pada pasien dengan HIV
dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan kortisol dapat menjadi respon fisiologis
terhadap penurunan berat badan yang berat pada tubuh yang berusaha
mempertahankan hemostasis glukosa di otak.
43
pada pasien AIDS dikaitkan dengan peningkatan kadar LH dan FSH serum,
menyiratkan disfungsi testis primer daripada hypogonadotropic hypogonadism. IL-1
telah dilaporkan untuk menghambat respone sel leydig in vivo, dan peningkatan
kadar sitokin dapat menyebabkan testis unresponsiveness. Menurunkan kadar
testosteron telah berkorelasi dengan penurunan berat badan serta mungkin dengan
kelangsungan hidup yang menurun. Dalam penelitian kami tentang pasien dengan
sindrom HIV wasting, bebas dan Jumlah testosteron secara signifikan lebih rendah
pada pasien dengan jumlah CD4 yang sama tetapi tanpa membuang (p <0,001).
Karena testosteron adalah hormon anabolik, defisiensi dapat mengakibatkan
penurunan massa tubuh tanpa lemak dan berkontribusi pada sindrom wasting HIV.
Grunfeld dan Feingold dan Grunfeld dan Kotler telah menyarankan bahwa
peningkatan lipolisis diikuti oleh resintesis trigliserida, (dengan menggunakan
adenosin trifosfat dengan setiap resintesis) yang dapat terjadi pada AIDS
Hipertrigliseridemia, meskipun tidak ada hiperkolesterolemia, tampaknya pada pasien
dengan AIDS dan mungkin mencerminkan penurunan atau peningkatan sintesis
44
trigliserida. Hipertrigliseridemia, umumnya pada pasien dengan AIDS dan mungkin
mencerminkan penurunan atau peningkatan sintesis trigliserida hati, Penurunan relatif
dalam pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dapat menyebabkan
peningkatan pemanfaatan karbohidrat dan protein, yang mengakibatkan hilangnya
lemak tubuh.
6. Sitokin
Ada kemungkinan bahwa peningkatan kadar sitokin tertentu, khususnya TNF,
mungkin bertanggung jawab atas enurunan signifikan terhadap penurunan berat
badan yang terlihat pada. Namun, sementara beberapa penulis telah melaporkan
peningkatan TNF, terutama pada pasien yang bergejala, dan penelitian lain telah
melaporkan bahwa TNF tidak meningkat secara konsisten pada pasien terinfeksi HIV.
Dworkin dkk. Tercatat bahwa pada 33 pasien rawat jalan HIV-positif, peningkatan
kadar TNF tidak berkorelasi dengan penurunan berat badan atau peningkatan laju
metabolik. Beberapa peneliti berpendapat bahwa tes serum TNF sering tidak sensitif
atau cukup akurat untuk mendeteksi peningkatan, terutama karena TNF disekresikan
dengan cara pulsatil. Data mengenai sitokin lain lebih terbatas, dengan beberapa
penelitian kecil yang secara bervariasi mencatat peningkatan interleukin 6,
interleukin 1 (IL-1), interleukin 2, reseptor interleukin 2 yang dapat larut, dan
interferon alfa pada pasien HIV-positif.
TNF atau mungkin sitokin lain dapat menyebabkan penurunan berat badan atau
HIV wasting sindrom oleh sejumlah mekanisme. TNF, dan mungkin IL-1, dapat
bertindak untuk menginduksi anoreksia atau, alternatifnya, TNF dapat mempengaruhi
metabolisme lipid, yang mengarah ke penurunan oksidasi lemak relatif dibandingkan
dengan karbohidrat atau oksidasi protein dan kehilangan masa tubuh yang relatif
45
lebih besar. Tracey et al, menyarankan bahwa efek TNF pada pasien dengan AIDS
mungkin tergantung pada tempat produksinya,
Pengobatan
Strategi pengobatan yang diusulkan untuk sindrom HIV wasting dan penurunan berat
badan terkait HIV dapat dibagi menjadi empat kategori umum. Mereka menemukan dan
mengobati gumpalan yang dapat diobati yang mengobati gejala, dukungan nutrisi melalui
nutrisi enteral atau parenteral, dan, terakhir menggunakan berbagai agen eksperimental
dalam upaya untuk membalikkan potensi yang mendasari etiologi wasting (tabel 3).
Pasien dengan sindrom wasting HIV harus dievaluasi untuk patogen yang dapat diobati
(3,135). Pendekatan ini mungkin sangat berguna bagi mereka yang mengalami diare
adalah gejala yang menonjol, menunjukkan bahwa penurunan berat badan pasien dapat
diakibatkan dari patogen gastrointestinal yang dapat diobati. Beberapa penelitian telah,
pada kenyataannya, menunjukkan bahwa pengobatan yang berhasil patogen yang dipilih,
termasuk cytomegalovirus (CMV) dan mycobacterium avium intracellulare (MAI),
menghasilkan kenaikan berat badan. Berbagai kondisi lain yang dilaporkan menyebabkan
penurunan berat badan juga dapat diobati. Mereka termasuk oral pharyngeal, dan patogen
esofagus, obat ulkus diinduksi anoreksia atau diare dan penurunan asupan oral yang
berasal dari depresi. AZT (retrovir) telah menunjukkan beberapa keberhasilan dalam
pengobatan ensefalopati HIV.
46
meskipun kurang dipelajari, juga dapat menyebabkan penurunan berat badan yang
signifikan. Dengan tidak adanya patogen yang dapat diobati atau kondisi yang dapat
dibalik.
pendekatan kedua adalah untuk mengobati gejala, seperti mual atau diare, yang dapat
menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan. agen farmakologi yang
direkomendasikan termasuk acetaminophen, aspirin atau obat antiinflamasi non steroid
lainnya (untuk demam), diphenoxylate hydrochloride, loperamid, kodein, dan opiat
lainnya (untuk diare), dan berbagai antiemetik, termasuk metoclopramide,
prochlorperazine, dan ondansetron (untuk mual dan muntah).
Berbagai suplemen dan diet oral telah dianjurkan untuk pasien terinfeksi HIV
dengan wasting, tetapi pilihan terbaik tetap tidak jelas karena hampir tidak ada penelitian
47
terkontrol yang diterbitkan yang membandingkan diet atau suplemen yang berbeda pada
pasien terinfeksi HIV. Diet Elemental (tercerna) atau suplemen (dicerna) diet telah
dilaporkan untuk mengurangi diare dan menstabilkan berat badan dengan menjadi lebih
mudah untuk menyerap. Satu studi tentang formula enteral berbasis peptida dibandingkan
dengan formula protein keseluruhan menunjukkan bahwa kelompok pada diet
sebelumnya memiliki penurunan yang lebih sedikit dalam fungsi kekebalan tubuh,
sementara berat badan stabil dengan kedua formula. Beberapa penulis telah menyarankan
kalori tinggi, protein tinggi, rendah lemak, laktosa. diet untuk pasien, bersama dengan
suplemen oral. Saran lain termasuk diet individual, diet serat rendah atau tinggi,
suplemen vitamin, beberapa makanan kecil. Penambahan lactobacillus adiphilus melalui
yogurt atau susu acidophilus, makanan lunak dan cair, dan suplemen albumin dan
konseling nutrisi.
48
Pentoxifylline (trental) telah disarankan sebagai pengobatan untuk HIV wasting
sindrom karena kemampuannya untuk menurunkan kadar TNF dan mungkin
mengganggu replikasi HIV. Namun, data terbatas yang tersedia dari percobaan
pentoxicifylline yang tidak terkontrol, 400 mg t.i.d. pada beberapa penelitian
menunjukkan pada 25 pasien ketika ada penurunan TNF, pasien masih mengalami
penurunan berat badan yang berarti. Hormon pertumbuhan adalah hormon anabolik alami
yang menginduksi keseimbangan nitrogen positif dan peningkatan massa tubuh tanpa
lemak. Tingkat hormon pertumbuhan yang lebih rendah belum ditemukan pada pasien
yang terinfeksi HIV, tetapi dua penelitian telah melaporkan bahwa pemberian hormon
pertumbuhan, suplemen jangka pendek pada pasien AIDS dengan wasting menyebabkan
kenaikan berat badan.
BAB III
KESIMPULAN
49
Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang,
dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta
penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. perkembangan
epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Nahlen et al. melaporkan bahwa dari 147.225 pasien AIDS yang
dilaporkan ke CDC dari 9/87 ke 8/91, 7,1% memiliki sindrom wasting
sebagai satu-satunya penyakit terdefinisi AIDS, sementara 10,7% memiliki
wasting sindrom. Data awal menunjukkan bahwa wasting sindrom dapat
terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan pria. Fleming dkk.
mengatakan > 60.000 kasus AIDS dilaporkan ke CDC sampai 9/90.
Dengan wasting sindrom 19,6% wanita dan 16,0% pria
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi
melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke
peredaran darah melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui
komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke
janin.
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
50
Malnutrisi merupakan komplikasi morbiditas dan mortalitas terkait HIV.
Berat badan merupakan prediktor independen dari kematian
Meskipun ART, pasien tetap berisiko untuk AIDS wasting syndrome
Kontributor AIDS wasting syndrome termasuk peningkatan pengeluaran
energi, penurunan asupan energi, metabolisme yang berubah, dan faktor
hormonal
Suplemen multivitamin dapat mengurangi risiko atau menunda penyakit
dan kematian terkait HIV.
Data menunjukkan suplementasi glutamin dapat membantu membatasi
pengecilan otot skelet dan meningkatkan BCM pada pasien dengan
penurunan berat badan
DAFTAR PUSTAKA
3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill
51
4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S,
Djoerban Z, editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI 2005.
5. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
2006
10. Situasi dan Analysis HIV AIDS. Ditjen PP&PL, Kemenkes RI,2014.
12. Pedoman penerapan terapi anti HIV pada Anak. KEMENKES RI 2014.
52