Anda di halaman 1dari 3

Masa Depan Bahasa Arab di Indonesia

Oleh Muhbib Abdul Wahab


Dosen Bahasa Arab pada FITK UIN Jakarta, Panitia Konferensi

Di bulan Agustus ini, dua konferensi internasional tentang bahasa Arab dihelat oleh
dua UIN terkemuka. Konferensi pertama bertajuk ―Membangkitkan Bahasa Arab melalui
Publikasi Budaya Islam dan Arab‖ akan dihelat oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23-25 Agustus 2015. Sedangkan
muktamar kedua bertema ―Bahasa Arab Asas Kebudayaan Manusia― akan diadakan oleh
UIN Maliki Malang pada 27-29 Agustus 2015. Keduanya bekerjasama dengan IMLA
(Ittihad Mudarrisi al-Lughah al-‘Arabiyyah atau Asosiasi Pengajar Bahasa Arab).
Kedua konferensi itu setidaknya akan diikuti tidak kurang dari 130 peserta dari luar
negeri, khususnya Negara-negara Timur Tengah, dan lebih dari 300 peserta dalam negeri.
Konferensi ini mempunyai arti yang sangat penting dan strategis, tidak hanya bagi para
pengajar dan praktisi bahasa Arab, tetapi juga bagi masa depan diplomasi dan politik
kebudayaan Indonesia berikut jejaring keilmuan bagi sivitas akademika PTAIN
(Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri). Dengan konferensi ini, kedua UIN yang telah
―bermimpi‖ menjadi world class university dapat belajar banyak, bagaimana membangun
universitas berkelas dunia dengan berkontribusi dalam ―komunitas akademik
internasional‖ dan hasil-hasil riset yang mendapat rekognisi dunia.
Dalam konteks kebangsaan dan keummatan, sesungguhnya Indonesia merasa
―berhutang budi‖ kepada bahasa Arab, karena menurut hasil riset Alm. Prof. Soedarno,
tidak kurang dari 13% kosakata bahasa Indonesia itu diserap (dipinjam dan diadaptasi)
dari bahasa Arab, tidak hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga dalam bidang
sosial, politik, hukum, budaya, dan ekonomi syariah. Masjid, mushala, shalat, shaf, takbir,
rukuk, sujud, imam, makmum, doa, zikir, istighfar, wirid, zakat, haji, wakaf, makam, mati,
maut, mayit, kubur, masyakarat (dari musyarakah), serikat (dari syarikah atau syirkah),
rakyat (dari ra’iyyah), majelis, dewan, musyawarah, mufakat, siasat, maslahat, tarekat,
riba, sukuk, murabahah, dan sebagainya merupakan beberapa contoh kosakata dari bahasa
Arab yang sudah menjadi bagian dari kekayaan bahasa Indonesia dan telah dibakukan
dalam KBBI.

Tantangan Bahasa Arab


Bahasa Arab di Indonesia mempunyai posisi sangat strategis dalam kajian Islam,
karena sumber utama ajaran Islam (al-Qur‘an dan as-Sunnah) dan mayoritas referensi
ilmu-ilmu keislaman itu berbahasa Arab. Akses dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman
itu mutlak memerlukan penguasaan bahasa Arab sebagai ilmu alat. Bahkan Umar bin al-
Khattab pernah menyatakan bahwa pelajarilah bahasa Arab karena ia merupakan bagian
integral dari ajaran agamamu.
Bahasa Arab dewasa ini dihadapkan pada beberapa tantangan serius. Pertama,
pelemahan minat, motivasi, dan spirit mempelajari bahasa Arab melalui stigmatisasi
bahasa Arab sebagai bahasa yang sukar dipelajari dan dimengerti. Citra negatif bahasa
Arab sebagai bahasa yang sulit dipelajari dan tidak menarik, menurut riset Fathi Ali
Yunus di Mesir pada dekade 1980-an, antara lain, disebabkan oleh kolonialisasi Barat
terhadap dunia Islam dengan agenda menjauhkan umat Islam dari bahasa al-Qur‘an.
Badiuzzaman Said Nursi dalam Kulliyat Rasa’il an-Nur menyatakan bahwa penjajah
Barat tidak akan pernah bisa mengalahkan umat Islam, selama al-Qur‘an itu masih dibaca
dan dipedomani. Satu-satunya cara untuk mengalahkan umat Islam adalah menjauhkan
mereka dari al-Qur‘an. Dan salah satu cara untuk menjauhkan mereka dari al-Qur‘an
adalah stigmatisasi bahasa Arab sebagai bahasa yang sulit dipelajari, bahkan menjadi
momok yang menakutkan, agar generasi muda Islam malas dan tidak mau mempelajari
bahasa Arab.
Sebuah penelitian di Malaysia mengenai kesulitan belajar bahasa Arab di Perguruan
Tinggi (2005) menunjukkan bahwa penyebab kesulitan belajar bahasa Arab ternyata tidak
disebabkan oleh substansi atau materi bahasa Arab, melainkan pada ketiadaan minat
(100%), tidak memiliki latar belakang bahasa Arab (87%), materi/kurikulum perguruan
tinggi (83%), kesulitan memahami materi bahasa Arab (57%), dan lingkungan kelas yang
tidak kondusif (50%). Lebih dari itu, ditemukan bahwa 80% penyebab kesulitan belajar
bahasa Arab adalah faktor psikologis. Dan 77% di antara mereka memiliki kesan negatif
terhadap bahasa Arab.
Kedua, karena alasan pragmatisme dan deformalisme, penggunaan bahasa Arab
fushha (standar, formal) di kalangan masyarakat Arab sendiri juga mulai berkurang
frekuensi dan proporsinya. Dalam interaksi sosial kemasyarakatan, bahasa Arab cenderung
digantikan dengan bahasa ‗âmmiyah (bahasa pasaran) atau dialek lokal (Saudi, Mesir,
Suriah, Sudan, dan sebagainya).
Ketiga, politik bahasa di Indonesia belum sepenuhnya memberi angin segar bagi
eksistensi bahasa Arab. Keberadaannya masih diposisikan sebagai bahasa asing (foreign
language), sehingga bahasa Arab pada umumnya hanya menjadi bidang studi wajib di
lembaga-lembaga pendidikan Islam. Melihat besarnya potensi peserta didik Muslim,
idealnya, bahasa Arab dapat dijadikan sebagai bahasa kedua (second language) di
lembaga-lembaga pendidikan Islam, mulai dari MI hingga PTAIN. Keempat, pendidikan
dan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia belum sepenuhnya memiliki landasan dan
kerangka teoretik yang mapan, terutama dari aspek kurikulum dan metodologi
pembelajarannya. Selama ini formulasi kurikulum dan metodologi pembelajaran bahasa
Arab di Indonesia masih merupakan hasil ―adaptasi‖ dari teori-teori linguistik,
psikolinguistik, sosiolinguistik, pragmatik, dan sebagainya yang berasal dan berkembang
di Barat. Padahal dalam khazanah keilmuan Arab, teori-teori sejenis luar biasa melimpah,
misalnya dalam al-Khashaish karya Ibn Jinni, Dalail al-I’jaz karya Abdul Qahir al-Jurjani,
al-Muzhir fi ‘Ulum al-Lughah karya as-Suyuthi, maupun al-Ushul dan al-Lughah al-
‘Arabiyyah Ma’naha wa Mabnaha karya Tammam Hassan.
Hal tersebut berimplikasi pada fakta bahwa bahasa Arab yang dipelajari di
Indonesia belum sepenuhnya menyentuh aspek budaya Islam dan Arab. Sebagian peserta
didik sudah mahir berbicara dan menulis dalam bahasa Arab, namun pola pikir, gaya
bahasa (uslub), dan logika berbahasanya masih kental dengan nuansa Indonesia. Dalam
konteks inilah, cita rasa budaya Arab dalam berbahasa Arab menjadi penting dan menarik
didiskusikan. Bahasa dan budaya Arab –dalam mentalitas dan aktivitas berbahasa— ibarat
dua sisi dari sebuah koin mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Prospek Bahasa Arab


Menurut penulis, bahasa Arab di Indonesia tetap memiliki prospek yang dapat
mencerahkan umat Islam. Potensi dan prospek bahasa Arab itu dapat diaktualisasikan, jika
para pegiat dan peminat studi bahasa Arab mampu menekuninya dan mengubah tantangan
menjadi peluang. Pertama, peluang studi bahasa Arab semakin terbuka, karena seseorang
yang menguasai bahasa Arab dapat dipastikan memiliki modal dasar untuk mendalami
dan mengembangkan kajian Islam. Dengan kata lain, bahasa Arab dapat dijadikan sebagai
modal intelektual dan instrumental dalam pengembangan ilmu-ilmu keislaman dan
keterampilan komunikatif.
Kedua, pengembangan profesi keguruan, yaitu: menjadi tenaga pengajar bahasa
Arab yang profesional. Sebab mereka yang mempunyai kompetensi dan kewenangan
akademik dan profesional di MI/SD, MTs/SMP, dan MA/SMU atau lembaga pendidikan
yang sederajat adalah lulusan Prodi Pendidikan Bahasa Arab. Kebutuhan guru/pengajar
bahasa Arab di Indonesia tergolong sangat tinggi karena jumlah pondok pesantren di
Indonesia lebih dari 20 ribu lembaga, belum lagi madrasah dan Perguruan Tinggi Islam.
Ketiga, dinamisasi dan pembudayaan tradisi penelitian dan pengembangan
metodologi pembelajaran bahasa Arab. Hal ini perlu dilakukan agar ilmu-ilmu bahasa
Arab dan metodologi pembelajarannya semakin berkembang progresif. Melalui dinamisasi
penelitian, karya akademik dapat dihasilkan, dan pada gilirannya komunitas kajian bahasa
Arab menjadi lebih prospektif.
Keempat, intensifikasi penerjemahan karya-karya berbahasa Arab, baik mengenai
keilmuan dan keislaman, ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya. Menarik dicatat
bahwa salah satu faktor yang mempercepat kemajuan peradaban Islam di masa klasik
adalah adanya gerakan penerjemahan besar-besaran, terutama masa Harun al-Rasyid dan
al-Ma‘mun. Gerakan penerjemahan itu dibarengi dengan pendirian pusat riset dan
penerjemahan seperti Bait al-Hikmah dengan dukungan pendanaan yang memadai,
sehingga para penerjemah saat itu diapresiasi dengan imbalan emas seberat hasil karya
terjemahannya. Jika penerjemah mampu menghasilkan karya terjemahan dari Yunani atau
Persia ke dalam bahasa Arab seberat 1kg, maka imbalannya juga 1kg emas.
Kelima, pengembangan media dan teknologi pembelajaran bahasa Arab. Selama
ini media pembelajaran bahasa Arab di Indonesia masih tergolong minim dan belum
berkembang pesat, sehingga proses pembelajaran bahasa Arab di lembaga Islam masih
belum sepenuhnya mendapat sentuhan ICT yang modern.
Keenam, Indonesia patut bangga bahwa perintisan dan pengembangan tes standar
bahasa Arab, yaitu TOAFL (Test of Arabic as Foreign Language) diprakarsai oleh dosen
UIN Jakarta sejak awal tahun 2000, sebelum penutur bahasa Arab sendiri membuat dan
mengembangkannya. Tes standar ini telah menginspirasi lahirnya model tes standar
sejenis di beberapa PTAIN. TOAFL UIN Jakarta pun telah memperoleh HaKI (Hak katas
Karya Intelektual) dari Kementerian Hukum dan HAM RI, dan berlaku selama 50 tahun,
terhitung mulai 1 Januari 2013.
Akhirul kalam, tantangan internal maupun eksternal bahasa Arab di Indonesia
harus dijadikan sebagai peluang yang dapat dirubah menjadi prospek yang menjanjikan
masa depan peminat dan pegiat studi bahasa Arab. Epistemologi keilmuan dan kurikulum
perlu direkonstruksi dan diorientasikan kepada pemantapan kamahiran berbahasa secara
produktif dan kompetitif di era global ini. Semua itu menghendaki banyak pihak bersinergi
untuk menyatukan visi, misi, arah kebijakan dan pengembangan pembelajaran bahasa
Arab yang relevan dengan kebutuhan umat dan perkembangan sains dan teknologi.
Kita berharap pemerintah dapat mengambil pelajaran dan pengalaman dari negara
yang sudah lebih maju dalam menerbitkan kebijakan yang berkaitan dengan bahasa Arab.
Jika setiap tahun lebih dari 200 ribu jamaah haji berangkat ke Arab Saudi dan sekian
banyak TKI ke negara-negara Timur Tengah, mengapa belum banyak wisatawan dan
investor dari kawasan Timur Tengah itu melirik Indonesia? Salah satu sebabnya boleh jadi
karena kita belum terampil berkomunikasi, berdiplomasi, dan bernegoisasi dengan mereka
melalui layanan komunikasi dalam bahasa Arab berwawasan kultural yang dapat
meyakinkan mereka.

Catatan: Artikel ini pernah dimuat dalam Opini Republika, 25 Agustus 2015

Anda mungkin juga menyukai