Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Suatu kehamilan yang tidak wajar, yang sebagian atau seluruh vili korialisnya

mengalami degenerasi hidrofik berupa gelembung yang menyerupai anggur

(Martaadisoebrata, 2005). Mola Hidatidosa (MH) secara histologis ditandai oleh kelainan

vili korionik yang terdiri dari proliferasi trofoblas dengan derajat bervariasi dan edema

stroma vilus. MH biasanya terletak di rongga uterus, namun kadang-kadang MH terletak di

tuba fallopi dan bahkan ovarium (Cunningham FG, 2010).

2.2 Epidemiologi

Angka kejadian MH secara pasti sangatlah bervariasi di dalam beberapa populasi

yang berbeda. Pada penelitian epidemiologi ditemukan angka kejadian MH di Amerika

Serikat adalah 108 per 100.000 kehamilan; di Itali 62 per 100.000 kehamilan, di Indonesia

993 per 100.000 kehamilan, dan di Cina 667 per 100.000 kehamilan (Benirschke K, 2005).

Angka kejadian MHK tertinggi di Asia Tenggara, dengan insiden 1-2/1000

kehamilan di Jepang dan Cina, dan 12/1000 kehamilan di Indonesia, India, dan Turki. Di

Amerika Utara dan Eropa, rata-rata insiden mencapai 0,5-1/1000 kehamilan (Kruger TF,

2007). Perlu dicatat bahwa hampir semua data epidemiologi merujuk terutama untuk MHK

dan relatif sedikit yang diketahui tentang epidemiologi MHP (Fox H, 2007).

MH cenderung lebih sering terjadi pada wanita dengan usia reproduksi yang ekstrim

oleh karena itu populasi MH pada kehamilan usia dini dan usia tua diharapkan lebih tinggi

dibanding dengan kehamilan pada rentang usia yang lebih terbatas. Hal ini dapat

menjelaskan beberapa perbedaan observasi regional tetapi tentu tidak semuanya (Fox H,

2007).
Upaya untuk mendefinisikan peranan etnik, gizi, dan sosioekonomi dalam

keragaman MH secara regional pada umumnya tidak berhasil, namun pada penemuan baru-

baru ini dalam insiden MH di bagian Asia, faktor sosioekonomi harus diikutsertakan.

Kehamilan kembar mola, yang terdiri dari normal fetus dan MHK, jelas tidak biasa namun

tetap menjadi subyek dari sejumlah besar laporan (Fox H, 2007).

Kehamilan kembar dengan MHK serta janin dan plasenta normal kadang-kadang

salah diagnosis sebagai MHP diploid sebaiknya keduanya diupayakan dibedakan, karena

kehamilan kembar yang terdiri dari satu janin normal dan satu MHK memiliki kemungkinan

50% untuk menyebabkan penyakit trofoblastik persisten dibandingkan dengan angka yang

jauh lebih rendah pada MHP triploid (Cunningham FG, 2005).

2.3 Etiologi

Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak abad keenam, tetapi sampai sekarang

belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Oleh karena itu, pengetahuan pengetahuan

tentang faktor resiko menjadi penting agar dapat menghindari terjadinya MH, seperti tidak

hamil di usia ekstrim dan memperbaiki gizi (Martaadisoebrata, 2005)..

2.4 Anatomi Dan Fisiologi Plasenta

Plasenta normal memiliki trofoblas yang diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan

bentuk sitologinya. Yang dimaksud vilus trofoblas adalah trofoblas yang tumbuh bersama

vili korionik, sedangkan ekstravilus trofoblas adalah trofoblas yang menginfiltrasi ke dalam

desidua, miometrium dan pembuluh darah plasenta. Trofoblas dibagi menjadi tiga tipe :

sitotrofoblas, sinsitiotrofoblas, dan trofoblas intermediet. Sitotrofoblas bertanggung jawab

untuk proliferasi, sinsitiotrofoblas bertanggung jawab memproduksi sebagian besar hormon,

dan bentukan diantara keduanya adalah trofoblas intermediet yang bertanggung jawab atas

invasi endometrium dan implantasi (Kruger TF, 2007).


Sinsitiotrofoblas memproduksi hCG pada hari ke-12 kehamilan. Sekresi meningkat

dengan cepat dan mencapai puncaknya pada minggu ke-8 sampai ke-10 kehamilan. Pada

hari ke-12 kehamilan human Placental Lactogen (hPL) juga terdapat di sinsitiotrofoblas.

Produksi terus meningkat selama kehamilan. Sitotrofoblas merupakan sel trofoblas primitif,

tidak memproduksi hCG dan hPL. Trofoblas intermediet tumbuh ke dalam desidua dan

miometrium, dan mpembuluh darah berada di antara sel-sel normal. Pada awal hari ke-12

setelah konsepsi, trofoblas intermediet memproduksi hPL. Puncak sekresi pada minggu ke-

11 sampai minggu ke-15 kehamilan (Hoskins WJ, 2005)

Gambar 2.1 Anatomi Plasenta

2.5 Patogenesis

Ada beberapa teori yang diajukan menerangkan patogenesis dari penyakit trofoblas.

Diantaranya Hertig et al, mengatakan bahwa pada MH terjadi insufisiensi peredaran darah

akibat matinya embrio pada minggu ke 3-5 (missed abortion), sehingga terjadi penimbunan

cairan dalam jaringan mesenhim vili dan terbentuklah kista-kista kecil yang makin lama

makin besar, sampai pada akhirnya terbentuklah gelembung mola. Sedangkan proliferasi

trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili yang oedemateus tadi (Martaadisoebrata,

2005).
Sebaliknya, Park mengatakan bahwa yang primer adalah adanya jaringan trofoblas

yang abnormal, baik berupa hiperplasia, displasi maupun neoplasi. Bentuk abnormal ini

disertai pula dengan fungsi yang abnormal, dimana terjadi absorbsi cairan yang berlebihan

ke vili. Keadaan ini menekan pembuluh darah, yang akhirnya menyebabkan kematian

embrio (Martaadisoebrata, 2005).

Reynolds mengatakan bahwa, bila wanita hamil, terutama antara hari ke 13 dan 21,

mengalami kekurangan asam folat dan histidine, akan mengalami gangguan pembentukan

thymidine, yang merupakan bagian penting dari DNA. Akibat kekurangan gizi ini akan

menyebabkan kematian embrio dan gangguan angiogenesis, yang pada gilirannya akan

menimbulkan perubahan hidrofik (Martaadisoebrata, 2005).

Teori yang sekarang dianut adalah teori sitogenetik. Seperti diketahui, kehamilan

yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang akan membentuk bagian embrional (anak)

dan unsur ayah yang diperlukan untuk membentuk bagian ekstraembrional (plasenta, air

ketuban dan lain lain), secara seimbang (Martaadisoebrata, 2005).

Imprint gen mempunyai peranan yang penting pada perkembangan MH. Pencetakan

(imprinting) merupakan proses di mana gen spesifik mengalami metilasi sehingga mereka

tidak lagi dapat ditranskripsi. Perkembangan embrio normal membutuhkan satu set gen yang

dicetak secara maternal dan gen lain dicetak secara paternal. Pada MH, dua set gen yang

dicetak secara paternal. Pada keadaan ini trofoblas displasia, namun janin tidak terberntuk

(Heffner LJ, 2005).

Studi yang dilakukan pada mencit memperlihatkan bahwa gen yang berasal dari

paternal mempunyai peranan dalam perkembangan plasenta dan gen yang berasal dari

maternal berperan dalam perkembangan fetus. Sehingga perkembangan materi genetik

paternal dapat menyebakan proliferasi trofoblas yang berlebihan. Pada MHK hanya punya
DNA paternal sehingga terjadi proliferasi trofoblas yang banyak bila dibandingkan MHP

(Lumongga, 2009).

Identifikasi kromosom paternal mempunyai peranan penting dalam diagnosis MH,

maka banyak dikembangkan teknik pemeriksaan yang berasal dari paternal kromosom.

Pemeriksaan tersebut antara lain adalah : Polymerase Chain Reaction (PCR). DNA

fingerprinting, restriction fragmen lenght polymorphism (RFLP) assesment, short tandem

repeat – derived DNA polymorphism, flowcytometri dan analisis DNA dengan

menggunakan images analysis (Lumongga, 2009).

2.6 Faktor resiko

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya MH adalah :

a. Usia ibu

Peningkatan resiko untuk MHK karena kedua usia reproduksi yang ekstrim

(terlalu muda dan terlalu tua) (Daftary, 2006). Menurut Kruger TF, hal ini

berhubungan dengan keadaan patologis ovum premature dan postmature (Kruger

TF, 2007). Ovum patologis terjadi karena gangguan pada proses meiosis, sehingga

ovum tidak memiliki inti sel (Martaadisoebrata, 2005). Jika ovum patologis tersebut

dibuahi oleh satu sel sperma maka karyotipe yang dihasilkan adalah 46,XX

homozigot dan ini adalah karyotipe tersering yang ditemukan pada MHK (90%)

(Berek, 2007).

Menurut Berek, ovum dari wanita yang lebih tua lebih rentan terhadap

pembuahan yang abnormal. Dalam sebuah penelitian, resiko untuk MHK meningkat

2,0 kali lipat untuk wanita yang lebih tua dari 35 tahun dan 7,5 kali lipat untuk wanita

yang lebih tua dari 40 tahun (Berek, 2007).

b. Status gizi
Dalam masa kehamilan keperluan akan zat-zat gizi meningkat. Hal ini

diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan janin,

dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah maka untuk memenuhi zat-zat gizi yang

diperlukan tubuh kurang sehingga mengakibatkan gangguan dalam pertumbuhan

dan perkembangan janinnya (Saleh, 2005).

Studi kasus kontrol dari Italia dan Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa

asupan makanan rendah karoten dapat dikaitkan dengan peningkatan resiko

kehamilan MHK. Daerah dengan tingginya insiden kehamilan mola juga memiliki

frekuensi tinggi kekurangan vitamin A. Faktor diet, karena itu, sebagian dapat

menjelaskan variasi regional dalam insiden MHK (Berek, 2007).

Berkowitz et al menyatakan bahwa kekurangan prekusor vitamin A, karoten,

atau lemak hewan sebagai faktor penyerapan vitamin A, yang mungkin menjadi

faktor penyebab MH. Kekurangan vitamin A menyebabkan penyusutan janin dan

kegagalan pembangunan epitel pada hewan betina dan degenerasi epitel

semineferous dengan penurunan perkembangan gamet yang pada hewan jantan

(Berek, 2009).

c. Riwayat obstetri

Resiko untuk MHK dan MHP meningkat pada wanita dengan riwayat aborsi

spontan sebelumnya (Brinton LA, 2005). Sebuah MH sebelumnya juga merupakan

faktor resiko yang kuat (Berek, 2009). Ibu multipara cenderung beresiko terjadi

kehamilan mola hidatidosa karena trauma kelahiran atau penyimpangan tranmisi

secara genetik (Saleh, 2005).

d. Genetik

Faktor resiko lain yang mendapat perhatian adalah genetik. Hasil penelitian

sitogenetik Kajii et al dan Lawler et al, menunjukkan bahwa pada kasus MH lebih
banyak ditemukan kelainan Balance translocation dibandingkan dengan populasi

normal (4,6% dan 0,6%). Ada kemungkinan, pada wanita dengan kelainan

sitogenetik seperti ini, lebih banyak mengalami gangguan proses meiosis berupa

nondysjunction, sehingga lebih banyak terjadi ovum yang kosong atau intinya tidak

aktif (Martaadisoebrata, 2005).

e. Kontrasepsi oral dan perdarahan irreguler

Resiko untuk mola parsial dihubungkan dengan penggunaan kontrasepsi oral

dan riwayat perdarahan irregular (Berek, 2007). Kontrasepsi oral, peningkatan

resiko MH dengan lamanya penggunaan. Sepuluh tahun atau lebih meningkatkan

resiko lebih dari 2 kali lipat (Berek, 2009). Pada salah satu penelitian efek ini terbatas

pada pengguna estrogen dosis tinggi, meskipun pada penelitian yang lain

menyebutkan pil tidak berefek pada komplikasi pascaMH (Hoskins WJ, 2005).

f. Golongan darah

Ibu dengan golongan darah A dan ayah dengan golongan darah A atau O

memiliki resiko meningkat dibandingkan dengan semua kombinasi golongan darah

lain . Penemuan ini mendukung faktor genetik atau faktor imunologik berkaitan

dengan histokompatibilitas ibu dan jaringan trofoblas. (Hoskins WJ, 2005)

g. Merokok, konsumsi alkohol, infeksi

Merokok dilaporkan meningkatkan resiko GTD. Resiko relatif wanita yang

merokok lebih dari 15 batang per hari adalah 2,6 dibandingkan 2,2 pada wanita yang

merokok kurang dari 15 batang per hari. Lama waktu merokok berhubungan dengan

insiden GTD. Peran alkohol dan infeksi (Human Papilloma virus, Adenovirus, dan

Tuberkulosis) juga telah dipertimbangkan (Berek, 2009). Meskipun peran genetik di

dalam perkembangan MH adalah pasti, sedikit diketahui tentang genotip yang


menjadi faktor predisposisi MH atau faktor lingkungan yang meningkatkan resiko

patologis ovum. (Hoskins WJ, 2005).

2.7 Klasifikasi

MH diklasifikasikan menjadi MHK dan MHP berdasarkan morfologi, histopatologi,

dan karyotip (Daftary dan Desai, 2006). MHP harus dipisahkan dari MHK, karena antara

keduanaya terdapat perbedaan yang mendasar, baik dilihat dari segi patogenesis

(sitogenetik), klinis, prognosis, maupun gambaran PA-nya (Martaadisoebrata, 2005).

2.7.1 Mola hidatidosa komplit

MHK merupakan kehamilan abnormal tanpa embrio yang seluruh vili korialisnya

mengalami degenerasi hidrofik yang menyerupai anggur. Mikroskopik tampak edema

stroma vili tanpa vaskularisasi disertai hiperplasia dari kedua lapisan trofoblas (Sastrawinata

S, 2004).

Pada waktu yang lalu MHK rata-rata terjadi pada usia kehamilan 16 minggu, tetapi

pada saat ini dengan kemajuan teknologi ultrasonografi, MHK dapat didetiksi pada usia

kehamilan yang lebih muda. Secara klinis tampak pembesaran uterus yang lebih besar dari

usia kehamilan dan pasien melihatkan gejala toksik kehamilan. Abortus terjadi dengan

perdarahan abnormal dan disertai dengan keluarnya jaringan mola. Pada pemeriksaan

laboratorium terjadi peningkatan titer serum β human Chorionic Gonadotropin (β hCG)

yang jumlahnya diatas 82,350 mlU/ml (Lumongga, 2009).

2.1.7.2 Mola hidatidosa parsial

Merupakan keadaan dimana perubahan mola bersifat lokal serta belum begitu jauh

dan masih terdapat janin atau sedikitnya kantong amnion. Umumnya janin mati pada bulan

pertama (Sudiono J, 2001).

2.8 Manifestasi Klinis


Gejala yang dapat ditemukan pada MH adalah:

a. Perdarahan

Perdarahn uterus hampir bersifat universal, dan dapat bervariasi dari bercak

sampai perdarahn berat. Perdarahan mungkin terjadi sesaat sebelum abortus atau,

yang lebih sering, terjadi secara intermitten selama beberapa minggu sampai bahkan

bulan. Efek delusi akibat hipervolumia yang cukup berat dibuktikan terjadi pada

sebagian wanitayang molanya lebih besar. Kadang-kadang terjadi perdarahan berat

yang tertutup di dalam uterus. Anemia defisiensi besi sering dijumpai dan kadang-

kadang terdapat eritropoisis megaloblastik, mungkin akibat kurangnya asupan gizi

karena mual dan muntah disertai meningkatnya kebutuhan folat trofoblas yang cepat

berproliferasi (Cunningham FG, 2005).

b. Ukuran Uterus

Uterus sering membesar lebih cepat daripada biasanya. Ini adalah kelainan yang

etrsering dijumpai, dan pada sekitar separuh kasus, ukuran uterus jelas melebihi

yangyang diharapkan berdasarka usia gestasi. Uterus mungkin sulit diidentifikasi

secara pasti dengan palpasi, terutama pada wanita nullipara, karena konsistensiny

yang lunak di bawah dinding abdomen yang kencang. Kadang-kadang ovarium

sangat membesar akibat kista-kista teka lutein sehingga sulit dibedakan dari uterus

yang membesar (Cunningham FG, 2005).

c. Aktivitas janin

Walaupun uterus cukup membesar sehingga mencapai jauh di atas simfisis,

bunyi jantung janin biasanya tidak terdeteksi. Walaupun jarang, mungkin terdapat

plaseta kembar dengan perkembangan kehamilan MHK pada salah satunya,

sementara plasenta lain dan janinya tampak normal (gambar 2.12). demikian juga,
walaupun sangat jarang, plasenta mungkin mengalami perubahan mola yang luas

tetapi disertai janin hidup (Cunningham FG, 2005).

d. Hiperemesis Gravidarum

Hiperemesis gravidarum yang ditandai dengan mual dan muntah yang berat.

Keluhan hiperemesis terdapat pada 14-18% kasus pada kehamilan kurang dari 24

minggu dan keluhan mual muntah terdapat pada MH dengan tinggi fundus uteri lebih

dari 24 minggu. Pada kehamilan MH, jumlah hormon estrogen dan gonadotropin

korionik terlalu tinggi dan menyebabkan hiperemesis gravidarum (Manuaba, 2008).

e. Tanda toksemia/ pre-eklampsia pada kehamilan trimester I

Preeklamsia pada MHK tidak berbeda dengan kehamilan biasa, bisa ringan,

berat, bahkan sampai eklamsia. Hanya saja pada MHK terjadinya lebih dini. Hal

yang paling penting adalah keterkaitan MH dengan preeklamsia yang menetap

hingga ke trimester kedua. Memang, karena preeklamsia jarang dijumpai sebelum

24 minggu, preeklamsia yang terjadi sebelum ini mengisyaratkan MH (Leveno KJ,

2004).

f. Kista lutein unilateral/bilateral

Pada banyak kasus MH, ovarium mengandung banyak kista teka lutein yang

diperkirakan terjadi akibat stimulasi berlebihan elemen-elemen lutein oleh hormon

gonadotropin korion (hCG) dalam jumlah besar, dapat mengalami torsio infark, dan

perdarahan. Karena kista mengecil setelah melahirkan, ooferektomi jangan

dilakukan, kecuali jika ovarium mengalami infark yang luas (Leveno KJ, 2004).

g. Kadar gonadotropin korion tinggi dalam darah dan urin.

h. Embolisai

i. MHP biasanya ditemukan pada saat evaluasi pasien yang didiagnosis sebagai

abortus inkomplit atau missed abortion.


j. Gejala lain

Kadang-kadang disertai gejala lain yang tidak berhubungan dengan keluhan

obstetri, seperti tirotoksikosis, perdarahan gastrointestinal, dekompensasi kordis,

perdarahan intrakranial, perdarahan gastrointestinal, dan hemoptoe. Karena efek

hCG yang mirip tirotropin, kadar tiroksin plasma pada wanita dengan MH sering

meningkat, tetapi biasanya jarang terjadi gejala klinis hipertiroidisme (Leveno KJ,

2004).

2.9 Dasar diagnosis mola hidatidosa

Diagnosis diagnosis MH berdasarkan :

1. Gejala hamil muda yang sangat menonjol

a. Emesis gravidarum – hiperemesis gravidarum

b. Terdapat komplikasi

1) Tirotoksikosis (2-5%)

2) Hipertensi – preeklamsia (10-15%)

3) Anemia akibat perdarahan

4) Perubahan hemodinamik kardiovaskuler berupa gangguan fungsi jantung dan

gangguan fungsi paru akibat edema atau emboli paru

2. Pemeriksaan palpasi

a. Uterus

1) Lebih besar dari usia kehamilan (50-60%)

2) Besarnya sama dengan usia kehamilan (20-25%)

3) Lebih kecil dari usia kehamilan (5-10%)

b. Palpasi lunak seluruhnya

1) Tidak teraba bagisan janin

2) Terdapat bentuk asimetris, bagian menonjol agak padat-mola destruen.


3. Pemeriksaan USG serial tunggal

a. Sudah dapat dipastikan MH tampak seperti TV rusak

b. Tidak terdapat janin

c. Tampak sebagian plasenta normal dan kemungkinan dapat tampak janin

4. Pemeriksaan laboratorium

a. β-hCG urin tinggi lebih dari 100.000 mIU/ml

b. β-hCG serum di atas 40.000 mIU/ml (Manuaba, 2007).

Sejak sel trofoblas (yang memproduksi hCG) mengalami hiperplastik pada MH,

adanya MHK dicirikan oleh peningkatan hCG yang nyata. Tingkat hCG lebih besar

dari 100.000 mIU per mililiter sebelum evakuasi yang diamati pada 30 dari 74 pasien

dengan MHK (41%) dalam satu seri dan 70 dari 153 pasien dengan MHK (46%)

(Berkowitz RS, 2009).

Dibandingkan dengan MHK, MHP dicirikan oleh kurang menonjolnya

hiperplasia trofoblastik. Dengan demikian, pasien dengan mola parsial jarang

disertai dengan peningkatan hCG yang tinggi. Dilaporkan tingkat hCG serum yang

lebih besar dari 100.000 mIU per mililiter pada presentasi hanya 2 dari 30 pasien

dengan mola parsial. Demikian pula, hanya 1 dari 17 pasien dengan mola parsial

(Berkowitz RS, 2009).

2.7 Penatalaksanaan

MH harus dievakuasi sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Bila perlu


lakukan stabilisasi dahulu dengan melakukan perbaikan keadaan umum penderita
dengan mengobati beberapa kelainan yang menyertai seperti tirotoksikosis. Terapi MH
terdiri dari 4 tahap yaitu :

1. Memperbaiki keadaan umum

a. Koreksi dehidrasi
b. Transfusi darah bila anemia berat

c. Bila ada gejala preeklampsia dan hiperemesis gravidarum diobati sesuai dengan

protokol.

d. Penatalaksanaan hipertiroidisme.

Jika gejala tirotoksikosis berat, terapi dengan obat-obatan antitiroid, ß-bloker,

dan perawatan suportif (pemberian cairan, perawatan respirasi) penting untuk

menghindari presipitasi krisis tiroid selama evaluasi (Martadisoebrata, 2005).

Tujuan terapi adalah untuk mencegah pelepasan T4 yang terusmenerus dan

menghambat konversi menjadi T3 untuk memblok aksi perifer hormon tiroid dan

untuk mengobati faktor-faktor presipitasi. Agenagen antitiroid dapat menurunkan

level T3 dan T4 serum dengan cepat seperti sodium ipodoat (orografin, suatu kontras

yang mengandung iodine) yang merupakan terapi pilihan dalam mencegah krisis

tiroid setelah hipertiroidisme yang diinduksi kehamilan mola karena Ca mengurangi

konsentrasi T3 dan T4 dengan cepat. Apabila sodium ipodoat tidak tersedia, PTU

harus digunakan dan dikombinasikan dengan iodida. PTU berbeda dengan

metimazol, menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer dan karenanya lebih

disukai daripada metimazol. Loading dose 300-600 mg PTU diikuti oleh 150-300

mg setiap 6 jam (perrektal atau melalui NGT). Kalium iodida oral (3-5 tetes, 3x

sehari, 35 mg iodida/tetes) atau iodine lugol (30-60 tetes/hari dibagi dala 4 dosis, 8

mg iodida/tetes) atau natrium iodida intravena (0,25-0,5 g tiap 8-12 jam)

menginduksi penurunan level T3 dan T4 yang cepat (Martadisoebrata, 2005).

ß-bloker digunakan untuk mengontrol takikardi dan gejala lain yang diaktivasi

saraf simpatis. Propanolol dimulai pada dosis 1-2 mg tiap 5 menit secara intravena

(dosis maksimum 6 mg) diikuti dengan propanolol oral pada dosis 20-40 mg tiap 4-

6 jam (Martadisoebrata, 2005).


2. Pengeluaran jaringan mola

Bila sudah terjadi evakuasi spontan lakukan kuretase untuk memastikan kavum

uteri sudah kosong. Bila belum lakukan evakuasi dengan kuret hisap. Bila serviks

masih tertutup dapat didilatasi dengan dilator nomor 9 atau 10. Setelah seluruh

jaringan dievakuasi dengan kuret hisap dilanjutkan kuret tajam dengan hati-hati

untuk memastikan kavum uteri kosong. Penggunaan uterotonika tidak dianjurkan

selama proses evakuasi dengan kuret hisap atau kuret tajam. Untuk menghentikan

perdarahan, uterotonika diberikan setelah evakuasi. Induksi dengan medikamentosa

seperti prostaglandin dan oksitosin tidak dianjurkan karena meningkatkan emboli

trofoblas (Martadisoebrata, 2005).

Teknik evakuasi MH ada 2 cara yaitu :

a. Kuretase

1) Dilakukan setelah keadaan umum diperbaiki dan setelah pemeriksaan-


persiapan selesai (pemeriksaan darah rutin, kadar β hCG serta foto
thoraks), kecuali bila jaringan mola sudah keluar spontan.
2) Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan pemasangan
laminaria dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian.
3) Sebelum kuretase terlebih dahulu siapkan darah 500 cc dan pasang infus
dengan tetesan oksitosin 10 IU dalam 500 cc Dextrose 5%.
4) Kuretase dilakukan sebanyak 2x dengan interval minimal 1 minggu
5) Seluruh jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium Patologi
Anatomi.

b. Histerektomi

Tindakan ini dilakukan pada wanita dengan :

1) Usia > 35 tahun


2) Anak hidup > 3 orang
3. Terapi profilaksis dengan sitostatika

Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadi keganasan

misalnya pada usia tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan histerektomi

atau kasus mola dengan hasil histopatologi yang mencurigakan. Caranya :

a. Methotrexate (MTX) 20 mg/hari i.m, asam folat 10 mg 3dd1 dan Cursil 35

mg 2dd1, selama 5 hari berturut-turut. Profilaksis dengan tablet MTX,

dianggap tidak bermanfaat. Asam folat adalah antidote dari MTX, Cursil

berfungsi sebagai hepatoprotektor.

b. Actinomycin D 1 flakon sehari, selama 5 hari berturut-turut. Tidak perlu

antidote maupun hepatoprotektor.

Indikasi pemberian kemoterapi pada penderita pasca Mola Hidatidosa yakni :

a. Kadar hCG yang tinggi > 4 minggu pascaevakuasi (serum >20.000 IU/liter,

urine >30.000 IU/24 jam).

b. Kadar hCG yang meningkat progresif pasca evakuasi

c. Kadar hCG berapapun juga yang terdeteksi pada 4 bulan pasca evakuasi.

d. Kadar hCG berapapun juga yang disertai tanda-tanda metastasis otak, renal,

hepar, traktus gastrointestinal, atau paru-paru. (Saleh, 2005).

4. Penatalaksanaan pasca evakuasi

Tujuan follow up ada dua :

a. Untuk melihat apakah proses involusi berjalan secara normal, baik anatomis,
laboratoris maupun fungsional, seperti involusi uterus, turunnya kadar Β-
hCG dan kembalinya fungsi haid.
b. Untuk menentukan adanya transformasi keganasan, terutama pada tingkat
yang sangat dini. Pada umumnya para pakar sepakat bahwa lama foll0w up
berlangsung selama satu tahun, tetapi ada juga yang sampai dua tahun.
Dalam tiga bulan pertama pascaevakuasi, penderita diminta datang untuk
kontrol setiap dua minggu. Kemudian, tiga bulan berikutnya, setiap satu
bulan. Selanjutnya dalam enam bulan trakhir, tiap dua bulan.

Selama follow up, hal-hal yang perlu dicatat adalah :

a. Keluhan, terutama perdarahan, batuk atau sesak nafas


b. Pemeriksaan ginekologis, terutama adanya tanda-tanda sub-involusi
c. Kadar Β-hCG , terutama bila ditemukan ada tanda-tandadistorsi dari kurva
regresi yang normal.

Bila dalam tiga kali pemeriksaan berturut-turut, ditemukan salah satu dari tanda-
tanda di atas, penderita harus dirawat kembali, untuk pemeriksaan yang lebih intensif,
seperti USG, foto toraks dan lain-lain. Follow up dihentikan bila sebelum satu tahun
wanita sudah hamil normal lagi, atau bila setelah setahun, tidak ada keluhan, uterus dan
kadar Β-hCG dalam batas normal, serta fungsi haid sudah normal kembali.

Selama follow up, kepada wanita dianjurkan untuk tidak hamil dahulu, karena
dapat menimbulkan salah interpretasi. Salah satu ciri adanya keganasan adalah
meningginya kembali kadar Β-hCG , sedangkan pada kehamilan, Β-hCG yang tadinya
normal, akan meninggi lagi. Dalam keadaan seperti ini, kadang-kadang kita ragu apakah
kenaikan kadar ΒhCG ini disebabkan oleh kehamilan baru atau oleh proses keganasan
(Martadisoebrata, 2005).

Jenis kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, atau kalau ΒhCG sudah
normal, atau haid sudah normal kembali, dapat menggunakan pil kombinasi. Bila pil
antihamil diberikan sebelum Β-hCG normal, kemungkinan terjadinya keganasan lebih
besar. Jangan menggunakan IUD atau preparat progesteron jangka panjang, seperti
DepoProvera atau Norplant, karena kedua-duanya dapat menyebabkan gangguan
perdarahan, yang bisa menyerupai salah satu tanda adanya transformasi keganasan
(Martaadisoebrata, 2005).

2.8 Kurva regresi Β-hCG paskaevakuasi

Setelah jaringan mola dievakuasi, kadar Β-hCG akan menurun secara perlahan-
lahan, sampai akhirnya tidak terdeteksi lagi. Waktu ratarata yang diperlukan untuk
mencapai kadar normal (<5 mIU/ml) adalah 12 minggu. Ada beberapa jenis kurva
regresi antara lain yang dibuat oleh Mochizuki. Menurut Mochizuki pada keadaan
normal, β-hCG akan turun sebagai berikut:

Gambar 2.10 Kurva Regresi β-hCG normal dan abnormal pascaevakuasi

Bila terjadi distorsi dari kurva regresi yang normal, berarti terjadi keganasan.
Karena itu, diagnosis dini TTG ditegakkan dengan memperhatikan kurva regresi ini,
dengan syarat penderita harus patuh melakukan follow up.

Mungkin harus dipikirkan cara yang lebih sederhana yang dapat dilakukan di
daerah, misalnya sebagai berikut. Seperti diketahui , menurut Mochizuki, β-hCG akan
menjadi normal (<5mIU/ml) pada minggu ke-12. Sampai minggu ke-12, sebaiknya
follow up dilakukan secara klinis saja. Kalau sampai minggu ke-12 tidak ditemukan
hal-hal yang mencurigakan, baru diperiksa β-hCG secara semi kuantitatif, misalnya
dengan Test Pack (Abbot). Test Pack mempunyai sensitivitas 25 mIU/ml di urine,
berarti 50 mIU/ml di darah (Nishimura). Jadi, bila pada minggu ke-12 Test Pack positif,
berarti sudah ada distorsi dari kurva regresi dan diagnosis TTG dini sudah dapat
ditegakkan. Selanjutnya baru diperiksa β-hCG secara kuantitatif untuk kepentingan
prognosis dan terapi. Secara teoritis pola pikir ini dapat dibenarkan. Untuk
membuktikan kebenarannya perlu dilakukan penelitian. Bila terbukti benar, akan
sangat memudahkan follow up, yang pada gilirannya akan memperbaiki prognosis
(Martaadisoebrata, 2005).

2.9 Prognosis
Setelah dilakukan evakuasi mola secara lengkap, sebagian besar penderita
MHK akan sehat kembali, kecuali 15%-4% yang mungkin akan mengalami keganasan
(TTG). Umumnya yang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk golongan resiko
tinggi, seperti :

a. Usia di atas 35 tahun


b. Besar uterus di atas 30 minggu
c. Kadar Β-hCG di atas 105 mIU/ml
d. Gambaran PA mencurigakan

Saat ini, sudah hampir tidak ada kematian karena MHK. Dibanding MHK,
prognosis MHP jauh lebih baik. Hal itu disebabkan oleh tidak adanya penyulit dan
derajat keganasannya rendah (4%). Walaupun demikian, dalam kepustakaan ditemukan
laporan tentang kasus MHP yang disertai metastasis ke tempat lain . penderita MHP
harus di follow up sama ketatnya seperti MHK (Martaadisoebrata, 2005).

2.2 Hubungan Usia Ibu Hamil dengan MHK

Hamil yang sehat dianjurkan paling muda pada usia 20 tahun, karena pada usia
20 tahun alat kandungan dan penyangganya sudah cukup matang. Semasa remaja, alat
kandungan belum terbentuk sempurna. Demikian pula dengan alat-alat yang
melengkapi rahim. Otot-otot rahim, fungsi hormon rahim, dan fungsi hormon indung
telur belum sempurna. Namun hamil terakhir sebaiknya tidak melebihi usia 34 tahun.
Kehamilan sebaiknya juga tidak terjadi setelah berusia 35 tahun. Kehamilan pada ibu
yang sudah lebih tua tergolong tidak sehat. Kemungkinan dapat membuahkan anak
yang tidak sehat. Bayi yang cacat lahir sering berasal dari kehamilan ibu pada usia di
atas 35 tahun (Nadesul H, 2001).

Usia ibu secara konsisten terbukti meningkatkan resiko MH pada wanita yang
lebih muda dari 20 tahun dan lebih tua dari 35 tahun, terkait dengan kerusakan pada
pembentukan dan fungsi oosit pada usia reproduksi yang ekstrim, dan hanya terkait
dengan MHK saja (Altman AD, 2008). Ovum dari wanita yang lebih tua lebih rentan
terhadap pembuahan yang abnormal. Dalam sebuah penelitian, resiko untuk MHK
meningkat 2,0 kali lipat untuk wanita yang lebih tua dari 35 tahun dan 7,5 kali lipat
untuk wanita yang lebih tua dari 40 tahun (Berek, 2007).
Peningkatan resiko untuk MHK karena kedua usia reproduksi yang ekstrim
(terlalu muda dan terlalu tua) (Daftary, 2006). Menurut Kruger TF, hal ini berhubungan
dengan keadaan patologis ovum premature dan postmature (Kruger TF, 2007). Ovum
patologis terjadi karena gangguang pada proses meiosis, sehingga ovum tidak memiliki
inti sel (Martaadisoebrata, 2005). Jika ovum patologis tersebut dibuahi oleh satu sel
sperma maka karyotipe yang dihasilkan adalah 46,XX homozigot dan ini adalah
karyotipe tersering yang ditemukan pada MHK (90%) (Berek, 2007). Sedangkan jika
ovum yang tanpa inti sel tersebut dibuahi oleh dua sel sperma maka karyotipe yang
dihasilkan adalah 46 XX heterozigot (Berek, 2007). Jadi, kromosom MHK itu seperti
wanita, tetapi kedua Xnya berasal dari ayah sehingga disebut dengan diploid
androgenik. Karena tidak ada unsur ibu, maka pada MHK tidak ada bagian embrional
(janin). Yang ada hanya bagian ekstraembrional yang patologis berupa vili korialis
yang mengalami degenarasi hidrofik seperti anggur (Martaadisoebrata, 2005)..
PEMBAHASAN

Contoh pembahasan

Pasien ini didiagnosis mola hidatidosa komplit dengan ditemukan adanya perdarahan pada
kehamilan muda, disertai dengan adanya gelembung seperti mata ikan (+). Pemeriksaan fisik
didapatkan adanya pembesaran uterus melebihi usia kehamilan yang seharusnya, serta DJJ (-
). Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan USG yang menunjukkan
gambaran snowstorm, vesicular pattern, dan ditemukan kista lutein. Namun, pemeriksaan ini
belum tepat karena masih perlu dilakukan pemeriksaan β hCG untuk diagnosanya.
Pemeriksaan fungsi tiroid perlu dilakukan untuk mengetahui kemungkinan komplikasi yang
mungkin timbul. Terapi yang diberikan adalah kuretase dan terapi farmakologis. Tatalaksana
pasien sudah cukup baik hanya saja mungkin perlu ditambahkan jumlah cairan untuk
kebutuhan maintenancenya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah. M.N. dkk. 1994. Mola Hidatidosa Pedoman Diagnosis Dan Terapi Lab/Upf.
Kebidanan Dan Penyakit Kandungan RSUD Dokter Soetomo Surabaya. Hal 25-28.
2. Benirschke K, 2005, Pathology of the Human Placenta,5th ed, Springer, USA.
3. Berkowitz RS GD. 2009. Molar pregnancy. N Engl J Med. 1:360.
4. Berek JS, Novak E, 2007, Berek and Novak’s Gynecology, 14th ed, Lippincott Williams &
Wilkins, USA.
5. Cuninngham. F.G. dkk. Penyakit Trofoblastik Gestasional Obstetri Williams. Edisi 21. Vol 2.
Penerbit Buku Kedokteran. EGG Jakarta. 2006. Hal 930-938.
6. Daftary SN, Desai SV, 2006, Obstetrics and Gynaecology-2 For Postgraduates and
Practitioners, BI Publications Pvt Ltd, New Delhi
7. Fox H, 2007, Pathology of The Placenta, 3rd ed, Saunders Elsevier, USA,
8. Heffner LJ, Schust DJ, 2005, At a Glance Sistem Reproduksi, ed 2, Erlangga, Jakarta.
9. Hoskins WJ, 2005, Principles and Practice of Gynecologic Oncology, 4th ed, Lippincott
Williams & Wilkins, USA.
10. Lumongga F, 2009, Images Analysis Densitas DNA Pada Mola Hydatidiform, Departemen
Patologi Anatomi USU, Medan.
11. Mansjoer, A. dkk. 2001. Mola Hidatidosa. KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid I. Media Aesculapius. Jakarta. Hal 265-267
12. Martaadisoebrata. D, Sumapraja, S. Penyakit Serta Kelainan Plasenta & Selaput Janin. ILMU
KEBIDANAN. Yayasan Bina pustaka SARWONO PRAWIROHARDJO. Jakarta. 2002 Hal
341-348.
13. Mochtar. R. Penyakit Trofoblas. SINOPSIS OBSTETRI. Jilid I. Edisi2. Penerbit Buku
Kedokteran. ECG. Jakarta. 1998. Hal. 238-243.
14. Prawirohadjo, S. & Wiknjosastro, H. Mola Hidatidosa. ILMU KANDUNGAN. Yayasan Bina
Pustaka SARWONO PRAWIROHADJO. Jakarta. 1999. Hal . 262-264
15. Sastrawinata, S.R. Mola Hidatidosa. OBSETETRI PATOLOGIK. Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. ELSTAR OFFSET. Bandung. 1981.
Hal38-42.
16. Saleh ZA, 2005, Kanker Ginekologi : Klasifikasi dan Petunjuk Pelaksanaan Praktis, ed 3,
Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UNSRI/RSMH, Palembang.

Anda mungkin juga menyukai