Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

TB merupakan masalah kesehatan yang sangat tua. Gambaran TB terekam sejak


zaman dahulu, bahkan dapat ditelusuri dari peninggalan Mesir kuno. Di dalam piramid mesir
ditemukan gambar relief dinding yang menggambarkan manusia bongkok dengan gambbaran
gibbus, yang kemungkinan besar karena spondilitis TB. Lalu terbukti ditemukan kuman
Mycobecterium tuberculosis pada sebagian mummi Mesir. Pada penelitian artefak purba
ditemukan jejak kuman TB, dan pada sebagian fossil Dinosaurus ternyata juga ditemukan
kmuman TB .

Dunia medis baru mengenal TB setelah Robert Koch berhasil mengidentifikasinya


pada abad ke-19, yaitu pada tanggal 24 Maret 1882, yang kemudian diperingati sebagai hari
TB Dunia. Hingga saat ini TB masih merupakan masalah kesehatan dan justru semakin
berbahaya, sehingga disebut sebagai the re-emerging desease.

Sepanjang dasawarsa terakhir abad ke-20, jumlah kasus baru TB meningkat di seluruh
dunia, 95% kasus terjadi di negara berkembang. Di Indonesia, TB juga masih merupakan
salah satu masalah yang utama. Bahkan secara global, Indonesia menduduki peringkat ke-3
sebagai penyumbang kasus terbanyak di dunia.

TB anak mempunyai masalah khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Pada TB
anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis, pengobatan, pencegahan, serta
TB pada HIV. Gejala TB anak sering tidak khas. Diagnosis pasti ditegakan dengan
menemukan kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologi.

Pada anak, sulit untuk mendapatkan spesimen diagnostik yang representatif dan
berkualitas baik. Seringkali, sekalipun spesimen dapat diperoleh, M. Tuberculosis jarang
ditemukan dalam sediaan langsungmaupun biakan. Olehkarena itu uji tuberkulin memegang
peranan penting dalam mendiagnosis TB pada anak.

Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti
dengan overtreatment. Di lainpihak sering juga terjadi underdiagnosis dan undertreatment.
Untuk menanggulangi hal tersebut, diperlukan pengkajian menyeluruh untuk mendiagnosis.

1
Banyaknya jumlah anak yang sakit dan terinfeksi Tb menyebabkan tingginya biaya
pengobatan yang diperlukan, sehingga pencegahan penyakit TB merupakan salah satu upaya
yang harus dilakukan.dengan pengendalian berbagai faktor resiko infeksi TB.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi

Sejak akhir tahun 1990an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang
kembali muncul dan menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di negara maju.
Salah satu diantaranya adalah TB. WHO memperkirakan bahwa sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi oleh M. Tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia,
dan Amerika Latin.

Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya


di negara berkembang tatapi juga di negara maju. TB tetap merukan salah satu
penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang
maupun negara maju. Ada tiga hal yang mempengaruhi epidemiologi Tb setelah tahun
1990, yaitu, perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV, dan pertumbuhan populasi
yang cepat.

Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara


semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun
2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan
variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB
anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan
dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus pada
kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus
BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak,
sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.

2.1.1 Faktor risiko

a) Risiko infeksi TB
 Terpajan dengan orang dewasa TB aktif (kontak dengan TB
positif)
 Daerah endemis
 Kemiskinan

3
 Lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik)
 Tempat penampungan umum dimana banyak pasien TB dewasa
aktif.
 Risiko transmisi kuman lebih tinggi jika pasien dewasa
mempunyai BTA positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus
atas,
b) Risiko sakit TB
 Anak usia ≤ 5 tahun
 Virulensi M. Tuberculosis dan dosis infeksinya.
 Keadaan imunokompromais

2.2 Patogenesis

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 µm), akan
terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar
dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan
akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang
dinamakan fokus primer Ghon.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).

4
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi
TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu.
Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103
–104 , yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular.

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.


Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang
dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB
baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular
spesifik (cellular mediated immunity, CMI).

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya


akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau
di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian
tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga
di jaringan paru (kavitas).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve
mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang

5
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi


penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk


penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering
di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang
di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses
patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian
hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan
setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi
kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam
mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di
bawah dua tahun.

6
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah
dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan
beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat
dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread

*Catatan:

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult


hematogenic spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di
berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari.

2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis regional (3).

3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.

7
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB
(endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar
(eksogen), ini disebut TB tipe dewasa (adult type TB)

2.3 Diagnosis

Diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang


seperti uji tuberkulin, foto rontgent thoraks, dan pemeriksaan laboratorium.

2.3.1 Manifestasi klinis

1. Demem lama (≥2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang
dapat disertai dengan keringant malam. Demam umumnya tidak tinggi.
2. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik
dengan adekuat.
3. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan
dengan penanganan gizi yang adekuat.
4. Batuk lama > 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.
5. Malaise
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

2.3.2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak

TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang


cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang
lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium
tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan
pleura ataupun biopsi jaringan. Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan
mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan
pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering digunakan
tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB
dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan
Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan
diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya
mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum atau

8
pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi
(PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan
PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya
dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.

Perkembangan Terkini Diagnosis TB

Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan
ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu
penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid
Amplification Test) (misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di
semua negara karena membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan
rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert MTB/RIF. Update
rekomendasi WHO tahun 2013 menyatakan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dapat
digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada anak, dan dapat digunakan untuk
mendiagnosis TB pada anak ada beberapa kondisi tertentu yaitu tersedianya teknologi
ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan
hasil yang lebih baik dari pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih
rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert MTB/RIF
yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.

Cara Mendapatkan sampel pada Anak

1. Berdahak Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang mampu
mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak
>5 tahun.

2. Bilas lambung Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada
anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama
3 hari berturut-turut pada pagi hari.

3. Induksi Sputum Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak
semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila
menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan,

9
tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode
ini.

Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan sebagai


tempat masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB sebagai akibat terhirupnya
kuman M.tuberculosis melalui saluran nafas (inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku
emas cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan
kuman dalam sputum. Namun upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada anak
melalui pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah kuman dan
sulitnya pengambilan spesimen sputum.

Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat dilakukan


penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular
merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan.
Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan
melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi
hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak
langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau
anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu
menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang
cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien
tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB
laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan
kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun
radiologis. Gejala klinis dan radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena
gambarannya dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan
ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks.

Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada


anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux
test. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten
Serum Institute Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di
semua fasilitas pelayanan kesehatan.

10
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun
gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.
Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis
TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB
adalah sebagai berikut:

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya


selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)

b. Konsolidasi segmental/lobar

c. Efusi pleura

d. Milier

e. Atelektasis

f. Kavitas

g. Kalsifikasi dengan infiltrat

h. Tuberkuloma

2.3.3 Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring

Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan,


namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan
suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut
dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes
dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah
penegakan diagnosis TB anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring
ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun
pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya
underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:

• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai
tertinggi yaitu 3.

11
• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB
pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
• Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat
OAT.

Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat terhadap respon
klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan
sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

12
Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan:

1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas

2. Gibbus, koksitis

3. Tanda bahaya +

4. Kejang, kaku kuduk +


5. Penurunan kesadaran +
6. Kegawatan lain, misalnya sesak napas

Catatan:

Parameter Sistem Skoring:

 Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil
laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau dari hasil
laboratorium.

 Penentuan status gizi:

 Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment opname).

 Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak
usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak usia >5
tahun merujuk pada kurva CDC 2000.

 Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.

13
 Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan
pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas

 Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa: pembesaran


kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi
segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.

Penegakan Diagnosis

 Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas pelayanan
kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang terbatas dapat
diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan
tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional.

 Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)

 Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji
tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH
profilaksis tergantung dari umur anak tersebutFoto toraks bukan merupakan alat
diagnostik utama pada TB anak

 Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka
pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut

 Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada
fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau
sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat
perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.

 Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah
terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak

 Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB

 Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin dan
atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan
dapat didiagnosis TB dengan syarat skor ≥ 6 dari total skor 13.

14
 Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya
diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan
diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan
kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke
RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan
pada anak tersebut pada saat diagnosis.

15
2.4 Klasifikasi dan Definisi Kasus TB anak

Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak:

 Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah ke
TB Anak
 Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis: adalah pasien TB
anak yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan pemeriksaan
mikroskopis langsung atau biakan atau diagnostik cepat yang direkomendasi
oleh Kemenkes RI. Pasien TB paru BTA positif masuk dalam kelompok ini.
 Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak yang TB yang
tidak memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat pengobatan TB
berdasarkan kelainan radiologi dan histopatologi sesuai gambaran TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah Pasien TB Paru BTA negatif,
Pasien TB dengan BTA tidak diperiksa dan Pasien TB Ekstra Paru.

Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal berikut:

1. Lokasi atau organ tubuh yang terkena:

a. Tuberkulosis Paru.

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

b. Tuberkulosis Ekstra Paru.

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak dengan gejala hanya pembesaran
kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra Paru. Pasien TB paru dengan atau tanpa TB
ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB paru

16
2. Riwayat pengobatan sebelumnya:

a. Baru

Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.

b. Pengobatan ulang

Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih dari 1 bulan (
28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa
paru atau ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya, anak dapat diklasifikasikan
sebagai kambuh, gagal atau pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up).

3. Berat dan ringannya penyakit

a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB


primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll
b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen, termasuk TB
hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.

4. Status HIV

Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB pada daerah


endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan pemeriksaan HIV, TB pada
anak diklasifikasikan sebagai:

a. HIV positif

b. HIV negatif

c. HIV tidak diketahui

d. HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV diklasifikasikan
sebagai HIV expose, sampai terbukti HIV negatif. Apabila hasil pemeriksaan HIV
menunjukkan hasil negatif pada anak usia < 18 bulan, maka status HIV perlu diperiksa
ulang setelah usia > 18 bulan.

5. Resistensi Obat

Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. tuberculosis


terhadap OAT terdiri dari:

17
a. Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah satu jenis OAT
lini pertama.

b. Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap lebih dari satu
jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya.
d. Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan resistan terhadap
salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua
jenis suntikan yaitu Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
e. Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap Rifampisin
dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang dideteksi menggunakan metode
pemeriksaan yang sesuai, pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat.
Termasuk dalam kelompok ini adalah setiap resistansi terhadap rifampisin dalam
bentuk Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR dan XDR.

2.5 Tata Laksana

2.5.1 Medika mentosa

 Obat TB yang digunakan


First line saat ini adalah Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), Ethambutol
(E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan
ditambah dengan pirazinamid, ethambutol dan streptomisin. Obat TB lain (second
line) adalah Para-Amino Salicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide,
prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, moxiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin,
kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.

18
19
2.5.2 Pemantauan pengobatan pasien TB Anak

Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan,
toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap
bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi.
Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat,
berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon
pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan
apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan
tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan
untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan.

Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan
evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks. Pemeriksaan
tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena
uji tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran
radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan
klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.

Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA
positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang
sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA positif

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang banyak terjadi dan ditularkan
kepada anak. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosa.
Rentan terjadi pada anak dengan status gizi buruk dan anak yang berkontak dengan
pasien TB dewasa aktif.

Banyaknya jumlah anak yang sakit dan terinfeksi Tb menyebabkan tingginya biaya
pengobatan yang diperlukan, sehingga pencegahan penyakit TB merupakan salah satu
upaya yang harus dilakukan.dengan pengendalian berbagai faktor resiko infeksi TB.

21

Anda mungkin juga menyukai