PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membandingkan antara teori dan kasus yang
dikaji serta menganalisa sejauh mana faktor pendukung, faktor penghambat dan
alternatif pemecahan masalah dalam memberikan asuhan keperawatan pada Tn. N
dengan gangguan persepsi sensori: Halusinasi pendengaran di ruang Garuda
Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang pada tanggal 22
November hingga 02 Desember 2017.
Dalam pembahasan ini mencakup semua tahap proses keperawatan yang
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan
evaluasi.
3.1 Pengkajian Keperawatan
Menurut Stuart dan Laraia, dalam Keliat (2005) pengkajian merupakan
tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri
atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan, atau masalah klien. Data yang
dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Data pada
pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi faktor predisposisi,
faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan kemampuan
koping yang dimiliki klien.
Berdasarkan teori, menurut Yosep (2009) menyebutkan bahwa etiologi yang
menyebabkan halusinasi disebabkan oleh faktor prediposisi dan faktor presipitasi,
yang termasuk faktor prediposisi adalah faktor perkembangan, sosiokultural,
biokimia, psikologis, genetik dan pola asuh. Faktor presipitasi pada halusinasi
adalah biologis, stress lingkungan, dan sumber koping.
Pada kasus Tn. H faktor prediposisinya yaitu pasien pernah sebelumnya di
rawat di RSJ 5 bulan yang lalu selama 10 hari dengan gejala marah-marah,
mendengar bisikan, setelah dirawat 6 bulan klien pulang dan dinyatakan sembuh
secara klinis oleh rumah sakit. Setelah pulang dari rumah sakit tidak pernah
kontrol. Pasien menyatakan dirinya merasa sembuh, pasien berhenti kontrol serta
putus minum obat, akhirnya 3 bulan terakhir gejala gangguan jiwanya muncul
kembali. Menurut penelitian Castro (2010) menyatakan bahwa untuk mampu
mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih menggunakan obat secara teratur
sesuai dengan program. Pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit
seringkali mengalami putus obat sehingga akibatnya pasien mengalami
kekambuhan. Bila kekambuhan terjadi maka untuk mencapai kondisi seperti
semula akan lebih sulit, sehingga pasien perlu dilatih menggunakan obat sesuai
program dan berkelanjutan. Gangguan jiwa terjadi akibat gangguan sinyal
penghantar saraf (neurotransmitter) pada sel-sel darah otak, yaitu antara pelepasan
zat dopamine, serotonin dan noradrenalin pada reseptor tersebut terjadi di susunan
saraf pusat (otak) yaitu di daerah sistem limbik khususnya di nucleus accumbens
dan hypothalamus. Obat psikofarmaka yang diberikan ditujukan pada gangguan
fungsi neurotransmitter sehingga gejala-gejala klinis dapat dihilangkan atau
dengan kata lain penderita gangguan jiwa dapat diobati. Jadi, pada Tn. H perlu
peran keluarga untuk melatih menggunakan obat secara teratur agar klien di
rumah sembuh dan tidak mengalami kekambuhan.
Tn. H mengalami gangguan jiwa 8 tahun lalu tanpa sebab yang jelas.
Keadaan tersebut menyebabkan Tn. H tidak mampu mengambil keputusan yang
tepat demi masa depannya dan pasien lebih memilih kesenangan sesaat dengan
lari dari alam nyata menuju alam hayalnya. Menurut penelitian Castro (2010)
menyebutkan bahwa keluarga, pengasuh dan lingkungan pasien sangat
mempengaruhi respon dan kondisi psikologis pasien. Salah satu sikap atau
keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan
atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
Faktor presipitasi adalah biologis, stress lingkungan, dan sumber koping.
Pada kasus Tn. H ditemukan sumber koping yang tidak efektif dimana klien
memiliki riwayat di masa lalu yang tidak mau pasien ceritakan. Mekanisme
koping yang ada pada Tn. H yaitu menghindar, lebih senang menyendiri, jarang
berbicara dengan orang lain, serta tertawa sendiri. Menurut Yosep (2009)
menyatakan bahwa sumber koping mempengaruhi respon individu dalam
menanggapi stressor. Koping individu yang efektif akan berpengaruh terhadap
stressor yang diterima oleh individu.
Pohon masalah yang ada sesuai dengan teori dimana masalah yang menjadi
penyebab munculnya halusinasi : pendengaran adalah inefektif koping individu
dan ansietas ringan. Masalah yang menjadi akibat dari halusinasi: pendengaran
adalah resiko tinggi perilaku kekerasan. Dari masalah keperawatan dan pohon
masalah terdapat kesenjangan antara teori dan kasus yaitu munculnya masalah-
masalah sekunder seperti isolasi sosial, harga diri rendah, defisit perawatan diri
(mandi hygiene), kerusakan interaksi social. Sedangkan pada teori terdapat isolasi
sosial: menarik diri, halusinasi, dan resiko perilaku kekerasan.
Faktor penghambat yang penulis rasakan sekali saat pengkajian adalah
jawaban yang diberikan klien sering berubah-ubah dan logat bahasa yang
DO:
a. Tercium bau tidak sedap saat berbicara dengan pasien
b. Kuku kaki dan kuku tangan terlihat kotor
5. Kerusakan interaksi social
DS: -
DO:
a. Klien kurang kooperatif, dibuktikan dengan klien lebih memilih orang
tertentu untuk mau diajak bicara.
b. Selama interaksi, klien terkadang tiba-tiba senyum sendiri walaupun
topik pembicaraan terkadang tidak lucu.