Anda di halaman 1dari 7

BAB 4

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membandingkan antara teori dan kasus yang
dikaji serta menganalisa sejauh mana faktor pendukung, faktor penghambat dan
alternatif pemecahan masalah dalam memberikan asuhan keperawatan pada Tn. N
dengan gangguan persepsi sensori: Halusinasi pendengaran di ruang Garuda
Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang pada tanggal 22
November hingga 02 Desember 2017.
Dalam pembahasan ini mencakup semua tahap proses keperawatan yang
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan
evaluasi.
3.1 Pengkajian Keperawatan
Menurut Stuart dan Laraia, dalam Keliat (2005) pengkajian merupakan
tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri
atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan, atau masalah klien. Data yang
dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Data pada
pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi faktor predisposisi,
faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan kemampuan
koping yang dimiliki klien.
Berdasarkan teori, menurut Yosep (2009) menyebutkan bahwa etiologi yang
menyebabkan halusinasi disebabkan oleh faktor prediposisi dan faktor presipitasi,
yang termasuk faktor prediposisi adalah faktor perkembangan, sosiokultural,
biokimia, psikologis, genetik dan pola asuh. Faktor presipitasi pada halusinasi
adalah biologis, stress lingkungan, dan sumber koping.
Pada kasus Tn. H faktor prediposisinya yaitu pasien pernah sebelumnya di
rawat di RSJ 5 bulan yang lalu selama 10 hari dengan gejala marah-marah,
mendengar bisikan, setelah dirawat 6 bulan klien pulang dan dinyatakan sembuh
secara klinis oleh rumah sakit. Setelah pulang dari rumah sakit tidak pernah
kontrol. Pasien menyatakan dirinya merasa sembuh, pasien berhenti kontrol serta
putus minum obat, akhirnya 3 bulan terakhir gejala gangguan jiwanya muncul
kembali. Menurut penelitian Castro (2010) menyatakan bahwa untuk mampu
mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih menggunakan obat secara teratur
sesuai dengan program. Pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit
seringkali mengalami putus obat sehingga akibatnya pasien mengalami
kekambuhan. Bila kekambuhan terjadi maka untuk mencapai kondisi seperti

STIKes Eka Harap Palangka Raya, Program Profesi Ners 2017


Gijainuri
48
49

semula akan lebih sulit, sehingga pasien perlu dilatih menggunakan obat sesuai
program dan berkelanjutan. Gangguan jiwa terjadi akibat gangguan sinyal
penghantar saraf (neurotransmitter) pada sel-sel darah otak, yaitu antara pelepasan
zat dopamine, serotonin dan noradrenalin pada reseptor tersebut terjadi di susunan
saraf pusat (otak) yaitu di daerah sistem limbik khususnya di nucleus accumbens
dan hypothalamus. Obat psikofarmaka yang diberikan ditujukan pada gangguan
fungsi neurotransmitter sehingga gejala-gejala klinis dapat dihilangkan atau
dengan kata lain penderita gangguan jiwa dapat diobati. Jadi, pada Tn. H perlu
peran keluarga untuk melatih menggunakan obat secara teratur agar klien di
rumah sembuh dan tidak mengalami kekambuhan.
Tn. H mengalami gangguan jiwa 8 tahun lalu tanpa sebab yang jelas.
Keadaan tersebut menyebabkan Tn. H tidak mampu mengambil keputusan yang
tepat demi masa depannya dan pasien lebih memilih kesenangan sesaat dengan
lari dari alam nyata menuju alam hayalnya. Menurut penelitian Castro (2010)
menyebutkan bahwa keluarga, pengasuh dan lingkungan pasien sangat
mempengaruhi respon dan kondisi psikologis pasien. Salah satu sikap atau
keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan
atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
Faktor presipitasi adalah biologis, stress lingkungan, dan sumber koping.
Pada kasus Tn. H ditemukan sumber koping yang tidak efektif dimana klien
memiliki riwayat di masa lalu yang tidak mau pasien ceritakan. Mekanisme
koping yang ada pada Tn. H yaitu menghindar, lebih senang menyendiri, jarang
berbicara dengan orang lain, serta tertawa sendiri. Menurut Yosep (2009)
menyatakan bahwa sumber koping mempengaruhi respon individu dalam
menanggapi stressor. Koping individu yang efektif akan berpengaruh terhadap
stressor yang diterima oleh individu.
Pohon masalah yang ada sesuai dengan teori dimana masalah yang menjadi
penyebab munculnya halusinasi : pendengaran adalah inefektif koping individu
dan ansietas ringan. Masalah yang menjadi akibat dari halusinasi: pendengaran
adalah resiko tinggi perilaku kekerasan. Dari masalah keperawatan dan pohon
masalah terdapat kesenjangan antara teori dan kasus yaitu munculnya masalah-
masalah sekunder seperti isolasi sosial, harga diri rendah, defisit perawatan diri
(mandi hygiene), kerusakan interaksi social. Sedangkan pada teori terdapat isolasi
sosial: menarik diri, halusinasi, dan resiko perilaku kekerasan.
Faktor penghambat yang penulis rasakan sekali saat pengkajian adalah
jawaban yang diberikan klien sering berubah-ubah dan logat bahasa yang

STIKes Eka Harap Palangka Raya, Program Profesi Ners 2017


Gijainuri
50

digunakan klien berbeda dengan perawat sehingga kesulitan menangkap informasi


yang disampaikan.
Faktor pendukungnya adalah telah tersedianya format pengkajian sehingga
memudahkan penulis dalam mencari data dengan cepat pada klien, lingkungan
yang kondusif dalam proses keperawatan, klien kooperatif dan adanya kerjasama
yang baik dengan perawat yang ada di ruangan dalam memberikan informasi
tentang klien.
3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada kasus dan teori terdapat kesenjangan. Diagnosa
keperawatan pada teori gangguan persepsi sensori: halusinasi antara lain risiko
tinggi perilaku kekerasan, isolasi sosial, dan gangguan persepsi sensori:
halusinasi. Sedangkan pada kasus bertambah diagnosa keperawatan isolasi sosial,
gangguan proses pikir: waham, harga diri rendah, defisit perawatan diri (mandi
hygiene), kerusakan interaksi social.
Pada kasus Tn. H penulis menemukan 5 diagnosa keperawatan yaitu
gangguan persepsi sensori: halusinasi, isolasi sosial, harga diri rendah, defisit
perawatan diri (mandi hygiene), kerusakan interaksi social dan masalah
keperawatan yaitu:
1. Gangguan persepsi sensori: halusinasi
DS:
Klien berkata, “saya sering mendengar suara-suara bisikan perembuan
yang mengatakan bisa membantu dia dalam masalahnya”.
DO:
a. Pasien bercerita sambil tertawa
b. Pasien kadang berbicara sendiri
c. Pasien sering melamun
d. Pasien tampak sering menyendiri
2. Isolasi sosial
DS:
Klien berkata, “ saya jarang kumpul dengan orang-orang disini, saya lebih
senang sendiri.”
DO:
a. Pasien sering diam
b. Pasien sering berbaring ditempat tidur saja jarang berinteraksi dengan
orang disekiranya
3. Harga diri rendah

STIKes Eka Harap Palangka Raya, Program Profesi Ners 2017


Gijainuri
51

DS: Pasien mengatakan “merasa tidak dihargai dilingkungan karena


penyakit dideritanya.
DO: -
4. Defisit perawatan diri (mandi hygiene)
DS: Pasien mengatakan bahwa sering tidak gosok gigi saat mandi dan
jarang pakai sabun.

DO:
a. Tercium bau tidak sedap saat berbicara dengan pasien
b. Kuku kaki dan kuku tangan terlihat kotor
5. Kerusakan interaksi social
DS: -
DO:
a. Klien kurang kooperatif, dibuktikan dengan klien lebih memilih orang
tertentu untuk mau diajak bicara.
b. Selama interaksi, klien terkadang tiba-tiba senyum sendiri walaupun
topik pembicaraan terkadang tidak lucu.

3.3 Intervensi Keperawatan


Perencanaan yang disusun oleh kelompok berdasarkan standar asuhan
keperawatan jiwa yang ada. Perencanaan mencakup tindakan mandiri, kolaborasi
(pengobatan), dan terapi modalitas (terapi aktivitas kelompok) yang diperlukan
klien dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran dan penglihatan.
Perencanaan asuhan keperawatan dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi
pendengaran bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan jiwa untuk
meningkatkan kesehatan pada klien gangguan jiwa dengan masalah utama
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran. Sesuai dengan tujuan
tersebut, perencanaan yang dilakukan untuk Tn. H mengacu pada SP 1 sampai 4
pasien. SP 1 pasien bertujuan untuk membantu pasien mengenal halusinasi,
menjelaskan cara-cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol
halusinasi dengan cara pertama yaitu menghardik halusinasi. SP 2 klien bertujuan
untuk melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua yaitu bercakap-
cakap dengan orang lain. SP 3 klien bertujuan untuk melatih pasien mengontrol
halusinasi dengan cara ketiga yaitu melaksanakan aktivitas terjadwal. SP 4 klien
bertujuan untuk melatih pasien menggunakan obat secara teratur sesuai dengan
prinsip 5 benar.

STIKes Eka Harap Palangka Raya, Program Profesi Ners 2017


Gijainuri
52

Selain perencanaan asuhan keperawatan dengan menggunakan SP 1 sampai


4 klien, kegiatan lain yang direncanakan adalah pengikutsertaan pasien dalam
TAK sosialisasi maupun TAK halusinasi.

3.4 Implementasi Keperawatan


Pada implementasi, tindakan adalah untuk masalah utama gangguan
persepsi sensori : halusinasi pedengaran. Tindakan yang dilakukan menggunakan
pedoman strategi pelaksanaan (SP) yaitu mulai dari SP 1 hingga SP 4 dan TAK.
Pada pelaksanaannya, SP klien dilakukan semuanya, TAK sosialisasi. SP klien
dilakukan berulang-ulang agar klien mampu secara mandiri mengontrol
halusinasinya dan mampu minum obat sendiri. TAK sosialisasi dilakukan untuk
membantu pasien bersosialisasi dengan pasien lain, tujuan lain yang ingin dicapai
adalah klien mampu bercakap-cakap dengan teman sesama klien ketika
mengalami halusinasi. TAK sosialisasi yang telah dilaksanakan sampai sesi 4.
Pasien selalu lulus dalam mengikuti setiap kegiatan TAK. Pasien juga mau secara
lantang untuk menceritakan halusinasi dan kegiatan hariannya.
Perawat menunjukkan bagaimana interupsi yang tidak terduga tadi efektif
dalam menghilangkan pikiran-pikiran negatif. Setelah pasien belajar untuk
mengontrol pikiran negatifnya sebagai respon dari interupsi perawat tadi, maka
klien menerima tanggung jawab untuk mengintrupsinya sendiri. Pertama-tama
klien mengarahkan diri sendiri seperti apa yang telah diarahkan oleh perawat tadi.
Tahap ini berlangsung seperti berikut:
a. Klien dengan sengaja membangkitkan pikiran-pikirannya tentang apa pun
dan menyatakan secara lisan segala macam pikiran ini masuk kedalam
alam pikirannya.
b. Perawat meminta klien untuk mengatakan stop dengan keras kapan pun
klien saat menemukan pikiran yang negative.
c. Apabila muncul pikiran-pikiaran yang negatif tadi, interupsikan sendiri
dengan kata stop yang keras.
Untuk mengurangi kegelisahan yang masih tersisa, perawat dapat
menyarankan agar klien untuk menemukan pikiran-pikiran yang lebih arsetif.
Jika klien telah menginterupsi pikiran-pikiran negatifnya karena diasumsikan
bahwa tingkah laku yang seperti ini dapat mencegah
kecemasan,kegelisahan,walaupun klien telah belajar untuk menekan pikiran yang
tidak dikehendaki.

STIKes Eka Harap Palangka Raya, Program Profesi Ners 2017


Gijainuri
53

3.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang mana pada
tahap ini bertujuan untuk menilai hasil akhir dari tindakan keperawatan yang
dilakukan yaitu dengan menggunakan SOAP (Subjektif, Objektif, Analisa, dan
Planning). Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien (Keliat, 2005). Perawat menggunakan pendekatan ini
agar memudahkan dalam pelaksanaan tindakan keperawatan sehingga tujuan
dapat tercapai. Evaluasi dalam melaksanakan tindakan keperawatan mengacu
pada kriteria hasil yaitu:
1. Terbinanya hubungan saling percaya yang ditunjukkan dengan kontak
mata (+), klien kooperatif, klien tenang dan menjawab semua pertanyaan
yang diajukan perawat.
2. Klien juga telah mampu menceritakan halusinasi yang dialaminya (klien
mengatakan sering mendengar suara-suara hewan seperti; cicak, kecoa,
kucing, semut, kadal, klien mengatakan mendengar suara-suara tersebut
saat menjelang tidur, klien mengatakan saat sendirian suara-suara sering
muncul, klien mengatakan merasa geli dan lucu mendengar suara-suara
tersebut, klien mengatakan saat mendengar suara-suara, klien hanya
membiarkan saja) klien mampu mempraktikkan cara menghardik
halusinasi (klien mengatakan akan mempraktikkan cara menghardik
halusinasi saat mendengar suara-suara), klien mengetahui langkah-langkah
menghardik halusinasi. Pada awalnya klien tidak mengetahui cara-cara
untuk mengontrol halusinasi, klien hanya membiarkan saja ketika suara-
suara itu muncul.
3. Klien mampu berinteraksi dan mempraktekkan cara berkenalan dengan
orang lain. Hal ini dibuktikan dengan klien yang pada awalnya lebih sering
menyendiri, keluyuran, terlihat lebih banyak diam, dan jarang mengobrol
dengan teman-temannya.
4. Klien belum mampu mengorientasikan realita terkait dengan waham yang
dialaminya. Hal ini dibuktikan dengan klien masih menganggap bahwa
klien adalah pemilik dari sebuah mall di Ternate.
Faktor pendukung dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada Tn. H dari
SP 1 hingga SP 4 yaitu klien kooperatif, kondisi lingkungan yang mendukung
dan informasi yang diperoleh dari perawat. Faktor penghambat dalam
melaksanakan asuhan keperawatan selama interaksi adalah klien sering
mengalami kebosanan dan sering lupa dengan yang sudah diajarkan.

STIKes Eka Harap Palangka Raya, Program Profesi Ners 2017


Gijainuri
54

STIKes Eka Harap Palangka Raya, Program Profesi Ners 2017


Gijainuri

Anda mungkin juga menyukai