Anda di halaman 1dari 42

Adanya konflik sosial-keagamaan di Indonesia semakin kompleks dan semakin

mengkhawatirkan. Kasus intoleransi dalam beragama itu mulai terlihat seperti

kasus gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Ciketing, Bekasi, Jawa Barat,

pada 2010 lalu, merupakan bukti adanya sikap intoleransi tersebut, kemudian kasus

pembakaran masjid di Tolikara, Papua, saat salat id. Kejadian itu dipicu karena

anggapan jemaat Nasrani yang merasa terganggu dengan speaker masjid yang akan

melakukan salat id, Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai

toleransi beragama di Indonesia yang terkenal dengan sangat ramah semakin

memudar sehingga menyebabkan gesekan sosial keagamaan sangat mudah sekali

terjadi di Indonesia. Menurunnya toleransi beragama sangat paradoksal sekali

dengan adanya nilai-nilai Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia.

Dalam hal ini nilai-nilai toleransi dan kerukunan antarsesama dan antarumat

beragama tidak lagi dijadikan pedoman bertingkah laku dalam kehidupan

bermasyarakat dan berbangsa. Tatkala nilai toleransi dan kerukunan antar sesama

tidak dikedepankan dalam suatu tindakan, maka yang terjadi adalah konflik sosial-

keagamaan serta disintegrasi bangsa Indonesia.

Di indonesia ada kebebasan dalam beragama dan menjalakan ibadah sesuai yang

diyakininya. Dalam setiap beragama umat di Indonesia tentunya tidak dapat

dilepaskan dari gesekan-gesekan sosial-keagamaan. Hampir setiap tahun benturan

agama (clash of religion) dipastikan terjadi di Indonesia, baik itu faktor pemicunya
dari doktrin agama, kekuasaan agama, kesenjangan ekonomi, maupun disebabkan

kepentingan politik. Agama sejatinya memainkan peranan penting sebagai basis

iman dan moral dalam diri manusia untuk pemersatu keumatan di antara

sesamanya, tetapi terkadang tetap saja gejolak sosial-keagamaan itu tumbuh subur

di Indonesia. Disintegrasi bangsa Indonesia mulai tampak hingga saat ini terjadi

Toleransi dan intoleransi merupakan dua hal yang berbanding terbalik, bagaimana

dilain sisi Toleransi secara bahasa bermakna sifat atau sikap menenggang

(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,

kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan

pendirian sendiri (Kamus Besar B.Indonesia Edisi. 2 Cetakan 4 Th.1995).

Sedangkan pengertian toleransi sebagai istilah budaya, sosial dan politik, ia adalah

simbol kompromi beberapa kekuatan yang saling tarik-menarik atau saling

berkonfrontasi untuk kemudian bahu-membahu membela kepentingan bersama,

menjaganya dan memperjuangkannya. upaya untuk merajut rasa toleransi

beragama dan rasa persaudaraan serta perdamaiaan antarpemeluk agama yang lain

tidak cukup hanya dengan faktor nilai-nilai agama saja, tetapi juga dibutuhkan

nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 45 sebagai empat

pilar kebangsaan sebagai upaya menghindari aksi kekerasan atas nama agama.

Pancasila sebagai petunjuk kehidupan (way of life) berbangsa dan beragama

tentunya harus dijadikan pijakan oleh umat beragama di Indonesia dalam setiap
bertindak dan berbuat di antara sesama manusia. Di dalam Pancasila terdapat sila

pertama, yakni mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna ketuhanan ini

sejatinya harus dipahami sebagai perwujudan nilai-nilai toleransi, persaudaraan,

dan sebagai wujud dialog internal umat beragama sebagai upaya membangun

kesadaran demi terciptanya kerukunan antarumat beragama.

Karena itu, dalam sila pertama, setiap warga negara wajib berketuhanan Yang

Maha Esa, sikap saling menghormati dan bekerja sama antarumat beragama perlu

diimplementasikan dalam kehidupan beragama, sebagai upaya menjalankan sila

pertama dengan tujuan menghindari praktik kekerasan atas nama agama dan

menciptakan kerukunan beragama, sehingga setiap pemeluk agama mengalami

kebebasan dalam menjalankan ibadah dan keyakinannya.

Sepanjang pengetahuan yang didapat, toleransi yang diperbolehkan dalam hal ini

yakni yang tidak dalam hubungan manusia dengan Tuhan, tidak berhubungan

dengan peribadatan. Tapi yang diperbolehkan toleransi dalam hubungan sesama

manusia yang terlepas dari unsur-unsur peribadatan tersebut. Contoh toleransi yang

tidak dibenarkan, karena merasa simpati atau sungkan, ikut berpartisipasi atau ikut

beribadat sesuai tata cara peribadatan yang mereka anut. Contoh toleransi yang

diperbolehkan yakni saling bertegur sapa, tetap berbuat baik, tetap mnghormati.

Dalam penjelasan lebih dalam penggunaan istilah "toleransi beragama" sangatlah


kurang tepat dan benar, namun yang seharusnya digunakan adalah "toleransi antar

umat beragama". Yakni merujuk pada hubungan antar umat satu dengan lainya.

https://www.kompasiana.com/shofal_dihanza/intoleransi-dan-toleransi-beragama-

di-indonesia_568251ba737a61c413d16d0d

Dewasa ini, kasus-kasus yang berhubungan dengan agama semakin mencuat di

masyarakat. Kasus-kasus tersebut bisa merupakan kasus penodaan agama,

pelecehan agama, eksklusi[1], atau intoleransi beragama. Salah satu kasus yang

harus dicermati saat ini adalah kasus intoleransi beragama karena isu ini sedang

hangat dibicarakan di media massa. Entah itu merupakan intoleransi antar agama

atau intoleransi antar sesama pemeluk agama tertentu. Terjadinya intoleransi

beragama di Indonesia memang menjadi sebuah pertanyaan besar di tengah bangsa

yang majemuk ini. Indonesia yang memiliki beragam budaya serta kepercayaan

seharusnya mampu mengembangkan toleransi beragama yang tinggi demi

menciptakan integrasi bangsa. Suka atau tidak, Indonesia memang sebuah Negara

dan bangsa yang majemuk, dan disitulah letak keistimewaan Indonesia.

Beberapa orang sempat berkata bahwa Indonesia merupakan Negara yang penuh

toleransi. Buktinya, agama resmi yang diakui agama ada 5 dan setiap hari besar

keagamaan menjadi hari libur nasional. Tetapi apakah hanya itu tolok ukur

toleransi di Indonesia? Adanya toleransi atau intoleransi tidak bisa diukur hanya
dengan hal-hal itu saja, Toleransi beragama di Indonesia memang hal yang sangat

dibutuhkan di Indonesia. Tanpa toleransi, akan timbul perpecahan dan berujung

pada disintegrasi bangsa. Terjadinya intoleransi tentunya merupakan hal yang tidak

kita inginkan bersama. Bisa dikatakan hubungan antar agama atau sesama pemeluk

agama di Indonesia adalah hubungan yang konfliktual karena mudah sekali

terpecah karena isu-isu diskriminasi dan intoleransi beragama.

Pertanyaan saat ini, bagaimana bisa kasus intoleransi bisa terjadi di Indonesia?

Mengapa sudah begitu lama kasus ini sering terjadi tetapi belum ada perubahan

yang berarti? Ada beberapa penyebab yang menjadi sumber konflik menurut ilmu

sosiologi. Pertama, adanya penerbitan tulisan-tulisan yang dianggap mencemarkan

agama. Kedua, jika adanya usaha penyebaran agama yang progresif. Ketiga, jika

pemeluk agama beribadah di tempat yang bukan tempat ibadah. Keempat, bila ada

penetapan dan penerapan peraturan pemerintah yang dipandang diskriminatif dan

membatasi penyebaran agama. Terakhir, adanya kecurigaan timbal balik berkaitan

dengan posisi dan peranan agama dalam Negara (Azra, 2001).

Jika melihat sumber-sumber konflik diatas dapat dikatakan bahwa semua potensi

konflik diatas pernah atau bahkan sedang terjadi di Indonesia. Isu hubungan antar

agama menjadi isu yang sangat sensitif untuk dibahas. Bahkan saat ini, bukan

hanya hubungan antar agama yang dapat memicu konflik, ternyata hubungan antar

sesama pemeluk agama tertentu pun mengalami kondisi krisis. Masyarakat


akhirnya menyalahkan pemerintah yang tidak mampu menjaga keharmonisan

beragama di Indonesia karena ketidaktegasan pemerintah dalam menindak kasus-

kasus intoleransi beragama.

Jika dilihat dari sudut pandang sosiologi, tugas Negara sebenarnya sangat penting

dalam menangani kasus intoleransi beragama. Pertama, Negara harus memberikan

edukasi terhadap warganya melalui pendidikan multikultural. Kedua, Negara harus

menjaga atmosfir toleransi dan memastikan bahwa warganegaranya mendapatkan

perlakuan yang adil sesuai dengan hak-haknya, tanpa adanya dominasi,

diskriminasi dan eksklusi dari kelompok tertentu terhadap individu dan kelompok.

Namun pada kenyataannya, pemerintah belum mampu menerapkan konsep ini.

Oleh karena itu, untuk menghadapi masalah intoleransi beragama, kita tidak bisa

hanya berpangku tangan pada keputusan dan tindakan pemerintah. Tetapi

membutuhkan kerjasama dari semua pihak, khususnya masyarakat. Salah satu

upaya yang penting dilakukan menurut ilmu sosiologi yaitu pendidikan

multikultural bagi masyarakat (yang juga diusahakan oleh Negara).

Multikulturalisme sendiri adalah pemahaman dan cara pandang yang menekankan

interaksi dengan memperhatikan keberadaan setiap kebudayaan sebagai entitas

yang memiliki hak-hak yang setara. Sementara pendidikan multikultural sendiri

merupakan konsep yang luas, mencakup pendidikan formal, pendidikan non-

formal, bahkan pendidikan informal (Azra dan Saifuddin, 2002). Sebenarnya


pendidikan multikultural mendapatkan banyak kritik karena dianggap tidak sejalan

dengan nasionalisme. Namun dibalik semua itu, pendidikan multikultural memiliki

tujuan yang baik untuk menciptakan toleransi dalam masyarakat. Jadi jika dilihat

secara sosiologi, untuk memecahkan masalah intoleransi beragama ini perlu

adanya pendidikan multikultural bagi masyarakat dan ketegasan pemerintah dalam

menindak kasus-kasus intoleransi beragama.

Namun yang menjadi masalah selain daripada terjadinya kasus intoleransi itu

sendiri adalah perbedaan sudut pandang mengenai makna toleransi dalam

masyarakat. Kenapa hal ini begitu penting? Karena perbedaan pendapat mengenai

toleransi akan menentukan sikap seseorang terhadap suatu kasus dan

mengelompokkan dirinya dalam kelompok tertentu. Saat ini, toleransi yang

dipercaya oleh sebagian besar masyarakat adalah toleransi yang berarti menerima

segala macam perbedaan dalam masyarakat tanpa terkecuali serta menghargai dan

memberikan hak-haknya.

Jika dilihat dari sudut pandang agama, dalam hal ini agama Islam, kita akan

menemukan sudut pandang yang sedikit berbeda. Dalam agama Islam, toleransi

sendiri sudah jelas tercantum dalam surat Al-Kafirun ayat 6 yang artinya

“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Ayat ini menyiratkan bahwa

toleransi adalah hal yang harus dilakukan selama tidak menganggu akidah masing-

masing. Artinya, kita menghargai perbedaan, mengakui keberadaannya, dan


memberikan hak-haknya. Namun dalam beberapa kasus yang terjadi di Indonesia,

banyak terjadi kasus yang dianggap sebagai intoleransi beragama, tetapi justru

sebenarnya telah melecehkan agama sendiri. Sebagai contoh kita mengambil kasus

Ahmadiyah, kasus yang masih terdengar saat ini. Beberapa kelompok membela

kepercayaan Ahmadiyah dengan alasan toleransi beragama. Namun, kelompok

Islam fundamental tidak bisa menerima Ahmadiyah karena Ahmadiyah dianggap

telah menyimpang dari agama Islam. Bagi umat Islam, toleransi dapat diterima

selama tidak merusak akidah Islam itu sendiri. Oleh karena itu, ketika ada

kelompok Ahmadiyah, hal ini tidak dapat diterima karena kelompok tersebut

dianggap telah merusak akidah dan keluar dari Islam sehingga tidak bisa diakui

keberadaannya. Sehingga akhirnya terjadi perbedaan pendapat yang cukup sengit,

yang satu membela perbedaan kepercayaan dan yang satu menentang perbedaan

kepercayaan ini karena tidak bisa diterima menurut akidah. Dalam hal ini, terdapat

perbedaan pendapat mengenai toleransi bagi dua kelompok, nasionalis dan Islam.

Perbedaan pendapat ini akan sulit disatukan karena masing-masing memiliki

argumen sendiri.

Sebenarnya yang membuat kasus intoleransi ini tidak pernah padam karena adanya

perbedaan sudut pandang dari kelompok-kelompok yang berbeda yang memaknai

toleransi secara berbeda pula. Meskipun seandainya pemerintah telah berusaha

bertindak tegas terhadap suatu kasus intoleransi, pasti akan tetap ada pertentangan
dalam masyarakat karena ada kelompok yang menganggap kasus tersebut sebagai

intoleransi, tetapi ada juga yang menganggap kasus tersebut sebagai penegakan

hukum agama (bukan masalah toleransi lagi). Menurut penulis (yang memegang

sudut pandang Islam), toleransi memang harus ditegakkan selama tidak

menganggu atau merusak suatu kepercayaan yang telah ada sebelumnya. Kita tetap

menerima multikulturalisme karena memang perbedaan adalah sebuah

keniscayaan. Tetapi juga tidak menghilangkan nilai-nilai yang lebih hakiki yaitu

nilai-nilai agama dan akidah. Terutama jika toleransi menyangkut agama pasti

akan sangat sensitif untuk dibahas. Semoga isu-isu “intoleransi” beragama di

Indonesia tidak memecahkan bangsa Indonesia dan kita tetap berupaya menjaga

kerukunan umat beragama dalam masyarakat dengan mengedepankan komunikasi

antar pihak yang berbeda pendapat.

http://www.syadzaalifa.com/2017/01/16/intoleransi-beragama-indonesia-dan-

ketegasan-pemerintah-perbandingan-makna-toleransi-dilihat-dari-sudut-pandang-

islam-dan-sosiologi/
Pada masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, kebebasan beragama

tergolong tinggi karena, menurut IDG Ngurah Utama, Hindu memiliki ajaran yang

sangat toleran, yaitu "om basudewa kumtu ba kamyang" (semua manusia

bersaudara).[213] Bimas Islam Bali menyebutkan bahwa kehidupan umat

beragama di Bali tergolong tinggi dan patut ditiru oleh provinsi lain di Indonesia.

Di Bali tidak pernah terjadi bentrok antar umat beragama, tempat ibadah antar

agama banyak yang berdampingan, dan terdapat tradisi Ngejot atau mengirim

makanan kepada tetangga saat hari raya kepada umat berbeda agama sebagai tanda

kehidupan yang rukun dalam bertetangga.[214] Akulturasi budaya juga tampak

dalam bidang keagamaan, seperti umat Katolik di Dusun Tuka, Dalung yang

beribadah menggunakan pakaian khas Bali serta masih melestarikan nama

Balinya.[215] Ketua MatakinBali, Ahi Matain (2015), juga menegaskan bahwa

kerukunan beragama di Bali sudah terjalin sejak lama.[216] Pada tahun

2016, FKUB Bali memutuskan memberi toleransi umat Islam untuk salat sunah

gerhana pada saat Nyepi.[note 17][217] Meskipun demikian, Perda Nyepi di Bali

dianggap sebagai salah satu perda diskriminatif di Indonesia karena memaksakan

umat beragama lain untuk tidak beraktivitas sebagaimana mayoritas Hindu.

Kegiatan keagamaan Hindu yang kerap menggunakan badan jalan juga dianggap

mengganggu oleh sebagian umat non-Hindu, sementara yang lain memaklumi

karena kegiatan tersebut merupakan budaya turun-temurun di Bali.[218]


Pasca Bom Bali I dan II, ketegangan kerap terjadi antara umat Hindu dan Islam di

Bali,[215] misalnya pelarangan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah negeri di

Bali. Meskipun akhirnya diterbitkan Permendikbud 45/2014 yang melegalisasi

penggunaan jilbab oleh pelajar sehingga sekolah-sekolah bersedia menerima siswi

berjilbab. Pada tahun 2014, ratusan pemuda Bali berdemonstrasi di depan

kantor Bank Indonesia (BI) Denpasar untuk menolak perbankan syariah. Aliansi

Hindu Muda Bali menyatakan bahwa tujuh kabupaten di Bali menolak pendirian

bank syariah. Melalui Dr Shri I.G.N. A. Wedakarna M.W.S., ia tidak

mempermasalahkan sistem ekonomi syariah, tetapi curiga ada keinginan dari

pihak-pihak tertentu di balik branding syariah yang dibawa ke Bali, misalnya

karena ada karyawan beragama Hindu yang tidak boleh memasang sarana

persembahyangan umat Hindu di bank syariah. Selain itu, ia juga menyatakan

bahwa umat Islam kurang dapat menyesuaikan dengan unsur budaya lokal. Ali

Rama, perwakilan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), menyayangkan pandangan

bahwa perbankan syariah berkaitan dengan agama tertentu.[219]

Instruksi penggunaan peci dan kerudung pada beberapa perusahaan seperti PT

Jasamarga Bali Tol (JBT), Hypermart, Smartfren, Hoka Hoka Bento, dan Taman

Nusa untuk menyambut Lembaran (2014) juga menuai protes dari Aliansi Hindu

Bali yang terdiri atas Cakrawahyu, Yayasan Satu Hati Ngrestiti Bali, Yayasan

Hindu Nusantara, dan Pusat Koordinasi Hindu Nusantara karena dianggap atribut
khas agama tertentu.[219] Sikap tersebut dinilai Ketua PHDI Jakarta Pusat, IDG

Ngurah Utama, sebagai tindakan intoleran yang dilakukan oknum fanatik yang ada

di tiap agama. Ketua PHDI Provinsi Bali, I Gusti Ngurah Sudiana, menganjurkan

seluruh umat Hindu untuk tidak mengusik kenyamanan kelompok berbeda

keyakinan dengan menuntut pelarangan jilbab, peci, atau pendirian bank syariah.

Wasekjen MUI Bidang Budaya, Natsir Zubaedi, menegaskan bahwa penggunaan

lambang keagamaan adalah hak; pelarangan terhadap hal tersebut merupakan

pelanggaran hak asasi manusia.[213]

Dalam pasal 2 ayat (1) UU Penodaan Agama dinyatakan, dalam hal ada yang

melanggar larangan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, diberi perintah dan

peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan

bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Contohnya
adalah SKB “Perintah terhadap Penganut dan Pengurus Jemaat Ahmadiyah

Indonesia” yang diterbitkan tanggal 9 Juni 2008, seperti kami cantumkan di atas.

Shanti Rachmadsyah, S.H. (2010). "HAM dan Kebebasan Beragama di Indonesia".

Hukum Online.

D. Hendropuspito (2006). Sosiologi Agama. Kanisius. ISBN 9794133787

Ahwan Fanani. 2016, "konflik islam kristen ". Walisongo Mediation Center.

Ryan Dagur , 2012,. "MUI larang umat Islam mengucapkan selamat Natal". UCANEWS.

Suriyanto (2014). "FPI: Larangan Ucapan Natal Bukan Cermin Kebencian". CNN Indonesia.

KONFLIK BERAGAMA DI ERA REFORMASI


Agama Islam dan Kristen, termasuk, sebenarnya merupakan agama satu rumpun.

Ketiga agama tersebut disebut dengan three abrahamic faith karena mereferensikan

bentuk keimanannya kepada iman Ibrahim. Berbagai narasi yang menjadi teladan

ketiga agama diambil dari tokoh-tokoh sejarah yang sama, seperti Kisah Adam dan

Hawa, kisah Nuh, Kisah Luth dan kaumnya, dan sebagainya. Dalam Islam, akar

kesejarahan agama Islam tersebut dibakukan dalam salah satu rukun iman, yaitu

iman kepada rasul-rasul Allah.

Akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa ketegangan antarumat beragama yang

paling berdarah terjadi di antara ketiga umat tersebut. Perang salib dan gerakan

anti-Yahudi di Eropa adalah perwujudan antagonisme antarumat pemeluk tiga

agama tersebut. Kemesraan hubungan antara ketiga pemeluk agama seringkali

hanya seperti anomie, sebuah kondisi tidak mapan, dibandingkan dengan


ketegangan-ketegangan yang menyelimuti hubungan antara ketiga pemeluk agama

tersebut.

Indonesia yang sejak lama membanggakan bhinneka tunggal ika dan toleransi

antarumat beragama pun tidak mampu menyembunyikan ketegangan tersebut dari

penglihatan dunia internasional. Semenjak awal Era Orde Baru, ketegangan antara

umat Islam dan Kristen menunjukkan grafik yang terus naik.

Runtuhnya Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1966 menandai awal dari seri

pertikaian panjang antara umat Islam dan umat Kristen di Indonesia. Konversi para

mantan anggota PKI ke salah satu agama menjadi amunisi panjang perdebatan dan

pertikaian umat Islam dan Kristen di Indonesia. Isu kristenisasi di daerah-daerah

berbasis massa muslim dan isu islamisasi di daerah-daerah berbasis massa Kristen

menandai sebuah Awal dari fase terburuk hubungan kedua belah pihak semenjak

Era Kolonial.

Orde Baru yang mempromosikan kerukunan intern umat beragama, antarumat

beragama, dan antara pemeluk umat beragama dengan pemerintah tidak mampu

berbuat banyak untuk memecahkan ketegangan antara kedua pemeluk agama.

Forum Wadah Musyawarah antar Agama yang digagas 30 November 1968 yang

ditindalklanjuti dengan pembentukan Wadah Musyawarah Umat Beragama pada


pertengahan tahun 1980 tidak berhasil meredam laju ketegangan yang akhirnya

membawa kepada konflik.

Orde Baru yang mempromosikan kerukunan intern umat beragama, antarumat

beragama, dan antara pemeluk umat beragama dengan pemerintah tidak mampu

berbuat banyak untuk memecahkan ketegangan antara kedua pemeluk agama.

Forum Wadah Musyawarah antar Agama yang digagas 30 November 1968 yang

ditindalklanjuti dengan pembentukan Wadah Musyawarah Umat Beragama pada

pertengahan tahun 1980 tidak berhasil meredam laju ketegangan yang akhirnya

membawa kepada konflik.

Pada awal tahun 1990-an terjadi beberapa ketegangan terbuka antara pemeluk

Islam dan pemeluk Nasrani. Kasus Tabloid Monitor, perayaan Natal bersama,

unjuk rasa dan perusakan terhadap gereja-gereja maupun masjid, kerusuhan

Rengasdengklok-Karawang, amuk massa di Purwakarta dan juga di Situbondo

tahun 1992 menandai konflik terbuka di Era kekuasaan Orde Baru.

Jikalau masa Orde Baru dipandang sebagai titik kulminasi ketegangan umat Islam

dengan umat Kristen, era Reformasi merupakan era di mana ketegangan tersebut

memperoleh momentum untuk menjadi konflik terbuka. Era reformasi adalah

sebuah titik balik dari kehidupan sosial-politik yang tersentralisir dengan

pendekatan keamanan yang dominan di masa Orde Baru. Era reformasi dimulai
dengan jatuhnya Presiden Suharto setelah didemo secara besar-besaran oleh para

mahasiswa di seluruh Indonesia, yang sebagian di antaranya menduduki gedung

MPR.

Era Reformasi membuka kran politik yang tersumbat sehingga aspirasi masyarakat

mengalir deras sebagai perwujudan eforia kebebasan. Aturan pers yang semakin

terbuka membuat wacana publik menjadi ajang pertukaran gagasan sampai alat

untuk mengemukakan gosip politik ke tengah-tengah masyarakat.

Hubungan Islam-Kristen pada Era Reformasi pun mulai kepada sebuah babak baru.

Ketegangan yang terjadi pada masa Orde Baru biasanya dilokalisir oleh

pemerintah dan dicarikan solusi bersama, meskipun sering tidak cukup efektif

sekarang memperoleh momentum untuk meledak menjadi konflik sosial.

Kasus perusakan rumah ibadah masih tetap terjadi, bahkan dengan pendekatan

baru. Pada era reformasi terjadi peledakan Masjid Istiqlal dan disusul dengan

peledakan berbagai gereja di Tanah Air. Perilaku dan isu terorisme berbagai

ketegangan sosial yang terjadi di Indonesia. Isu-isu klasik masih tetap mewarnai

ketegangan dua kelompok agama tersebut, ditambah dengan beberapa isu baru.

Pertikaian antara umat Islam dan Kristen di Ambon dan Poso, Sulawesi Tengah,

merupakan babakan baru hubungan Islam Kristen di Indonesia. Di Nusa Tenggara

Timur, beberapa bangunan milik umat Islam mengalami perusakan. Hal itu
menunjukkan sebuah respon aktif dari pihak Kristen dalam menanggapi tekanan

umat Islam.

Di bidang pendidikan, keberadaan sekolah-sekolah Kristen dengan siswa muslim

menjadi persoalan tersendiri dalam hubungan Islam dan Kristen. Sebagai sekolah

dengan missi Kristen, sekolah-sekolah Kristen merasa perlu memberikan

pengajaran agama kepada para siswanya tanpa memandang agama mereka.

Apabila para siswa muslim bersekolah di sekolah Kristen, mereka wajib mengikuti

tta tertib sekolah, termasuk mengikuti pelajaran agama Kristen.

Kondisi tersebut tentu tidak menyenangkan umat Islam. Kenyataannya, bagi orang-

orang Islam yang belum memiliki pemahaman Islam yang baik, pelajaran agama

Kristen tersebut dapat berpengaruh besar terhadap mereka. Hal itulah yang

mendorong pemerintah, dengan Menteri Pendidikan Malik Fajar, untuk

mengajukan aturan baru agar persoalan tersebut dapat diselesaikan bersama dengan

persoalan pendidikan lainnya.

Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi perbaikan sistem

pendidikan nasional. Undang-undang tersebut memberikan pijakan tentang arah

pembangunan di bidang pendidikan di Indonesia. Secara prinsipil tidak ada hal

yang bermasalah dari undang-undang tersebut, kecuali persoalan tentang guru


agama bagi sekolah swasta yang berada di bawah organisasi keagamaan. Undang-

undang menyatakan bahwa sekolah harus menyediakan guru agama yang seagama

bagi murid-muridnya yang memeluk agama lain.

Beberapa Kasus Konflik Pada Era Reformasi

1. Kasus Perusakan Tempat Ibadah dan Fasilitas Publik

Kasus perusakan tempat ibadah merupakan kasus klasik yang terjadi antara umat

Islam di Kristen. Persengketaan mengenai pendirian tempat ibadanh tidak berhenti

meskipun ada Surat Keputusan B ersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri

Dalam Negeri no 1 tahun 1969 tentang pendirian Pelaksanaan Tugas Aparatur

Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan

Pengembangan dan Ibadat. Kelompok Kristen yang tidak merasa senang dengan

SKB tersebut secara de facto tidak secara serius mengakui keberadaan SKB

tersebut. Sementara itu, umat Islam selalau menggunakan SKB tersebut sebagai

alasan untuk menyikapi pendirian tempat ibadah Nasrani yang dipandang tidak

sesuai dengan kebutuhan nyata dan situasi psikologis masyarakat.

Di Era Refornasi, persoalan tempat ibadah masih menjadi titik genting hubungan

Islam-Kristen. Kegentingan tersebut di era reformasi telah terjadi semenjak masa

transisi dari Orde Baru ke Era Reformasi. Perubahan Era Orde Baru ke Era

Reformasi diikuti dengan berbagai kerusuhan sosial. Kees van Dijk1 mencatat
bahwa pergeseran tahun 1996-1997 (akhir kekuasaan Orde Baru) terjadi berbagai

bentuk kekerasan sosial di berbagai wilayah. Ia mencatat berbagai kerusuhan yang

terjadi di berbagai wilayah Indonesia khususnya di Jawa.

Dijk berpendapat bahwa kerusahan tersebut disebabkan oleh perselisihan politik

nasional. Perwujudannya mengambil dua bentuk: a) kerusahan terhadap kantor-

kantor pemerintah, dan b) kerusuhan rasial dan keagamaan.2 Hal senada

diungkapkan oleh Riza Shihbudi dan Moch Nurhasim. Keduanya memetakan

kerusahan di Indonesia pada era akhir Orde Baru dan Awal Reformasi menjadi

dua: a) model kekerasan intramasyarakat, b) konflik vertikal, yaitu antara negara

dan masyarakat.3

Keduanya menilai bahwa era awal Reformasi (1998-2000) merupakan era

terjadinya “pembelahan― sosial maupun politik atas dasar suku, agama, ras,

maupun golongan.

Sebenarnya ledakan kerusuhan menjadi kerusuhan rasial dan keagamaan

merupakan fenomena yang menarik. Pertama pemicu konflik (trigger) utamanya

biasanya bukan persoalan agama atau ras. Kedua pelampiasan emosi massa di

antaranya ditujukan kepada fasilitas-fasilitas rumah ibadah dan sekolah yang

dikelola non-muslim. Ketika berbagai kerusuhan di awal reformasi terjadi, seperti


di Solo, banyak toko dan industri rumah tangga memampangkan tulisan yang

menunjukkan toko atau industri tersebut milik muslim-pribumi.

Dua kata tersebut seolah menunjukkan siapa yang menjadi sasaran dan siapa

yang menjadi pelaku. Akan tetapi, akar persoalan itu sendiri dapat dilacak kepada

ketimpangan sosial di masyarakat. Pertama, Etnis China/Tionghoa, meskipun

minoritas dan secara politik kurang terepresentasi, memiliki jaringan bisnis yang

kuat (menguasai 70% ekonomi Indonesia). Etnis China menguasai sektor bisnis di

Indonesia, dan mendapatkan berbagai fasilitas akibat kerjasama dengan pihak

penguasa. Kedua, etnis China selain menganut Konfusianisme, umumnya

menganut Kristen, baik Protestan maupun Katholik.

Kerusuhan sosial di Indonesia yang menyangkut persoalan ekonomi dan agama

tidak jarang bersentuhan dengan kelompok etnis China atau Kristen. Hal itu

disebabkan karena kesenjangan ekonomi di Indonesia terjadi secara mencolok.

Pribumi, dengan mayoritas penganut Islam dan golongan etnis China, yang

dipersepsi sebagai penganut Kristen, karena Konfusianisme saat itu (sebelum era

Presiden Abdurrahman Wahid) tidak diakui sebagai agama resmi.

Tidak mengherankan apabila sasaran amuk massa di era transisi tersebut sering

diarahkan kepada dua kelompok tersebut, yaitu Kristen dan China. Kasus-kasus

berikut contoh amuk massa tersebut.


2. Amuk Massa di Kupang

Amuk Massa di Kupang terjadi pada tanggal 30 November 1998. Amuk massa

tersebut bermula dari aksi perkabungan dan aksi solidaritas warga Kristen NTT

atas peristiwa Ketapang, yaiti bentrok antara warga Muslim dan Kristen dengan

disertai perusakan berbagai tempat ibadah. Aksi perkabungan dan solidaritas itu

sendiri diprakarsai oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan

Kristen, seperti GMKI, PMKRI, Pemuda Katholik NTT, dan mahasiswa di

Kupang.

Karena isu pembakaran gereja, massa tersebut kemudian bergerak menuju masjid

di perkampungan muslim kelurahan Bonipoi dan Solor, setelah sebelumnya

melakukan perusakan masjid di Kupang. Amuk massa tanggal 30 November

tersebut mengakibatkan setidaknya 11 masjid, 1 mushola, dan beberapa rumah

serta pertokoan milik warga muslim rusak.

Amuk massa tersebut tidak hanya berhetnti pada tanggal 30 November itu saja.

Dua hari setelahnya, yaitu tanggal 1 dan 2 Desember 1998 kerusuhan masih terjadi

dan mengakibatkan beberapa kerusakan. Sasaran amuk massa tersebut mencakup

rumah milik ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP), masjid dan toko-toko

milik orang Bugis.


Kerusuhan Kupang tersebut berakar dari persaingan kelompok masyarakat, yaitu

antara penganut Kristen yang umumnya warga asli dan warga muslim, yang

sebagia adalah pendatang. Kecepatan pertumbuhan masjid dan perkembangan

ekonomi umat Islam yang baik, karena mereka sulit menjadi Pegawai Negeri Sipil

(PNS), menimbulkan kecemburuan sosial. Amuk massa tanggal 30 November

1998 adalah momentum di mana kecemburuan tersebut mendapatkan ekspresinya

lewat idiom agama.4

3. Amuk Massa di Ketapang

Amuk massa di Ketapang patut dicatat di sini karena memiliki rangkaian dengan

amuk massa di Kupang. Amuk massa di Ketapang terjadi tanggal 21 November

1998. amuk massa tersebut bermula dari pemukulan penjaga bulu tangkis, yang

berasal dari Ambon, terhadap seorang warga Ketapang. Peristiwa tersebut menjadi

amuk massa ketika ada isu tentang masjid yang dibakar oleh warga Ambon.

Isu pembaaran masjid tersebut membuat peristiwa kecil tersebut membesar dan

mengara kepada perusakan gereja tempat warga Ambon. Terjadilah bentrokan

antara warga dan berbagai tindak perusakan. Tercatat ada 16 orang meninggal, 81

luka-luka, 427 orang rawta jalan, 16 gereja dibakar, 1 masjid rusak, 3 sekolah

rusak, selain, kantor koramil, bank, dan rumah serta kendaraan.5

4. Amuk Massa di Mataram Nusa Tenggara Barat


Pada tanggal 17 Januari 2000 dilaksanakan tablig Akbar untuk solidaritas kasus

Ambon di Mataram, yang dikenal dengan “Peristiwa 171―. Tabligh Akbar

tersebut didukung oleh berbagai organisasi Islam, seperti Persaudaraan Pekerja

Muslim Indonesia (PPMI), Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, HMI, KAMMI,

GP Anshor, Banser, Forum Komunikasi Pondok Pesantren NTB dan Pondok

Pesantren Nurul Hikmat.

Tabligh Akber tersebut didahului dengan surat terbuka kepada umat Nasrani di

NTB agar turut mengutuk serangan terhadap umat Islam di Ambon. Hal itu

mendapatkan respon dari berbagai pihak, baik Departemen Agama maupun

kepolisian setempat. Pemerintah menjamin bahwa umat Nasrani tidak perlu

mengkhawatirkan keselamatan mereka. Berbagai persiapan pun dilakukan oleh

aparat untuk menjaga Tabligh Akbar tersebut.

Akan tetapi, selesai acara tersebut, secara tidak terduga terjadi pembakaran

terhadap gereja-gereja dan sekolah Kristen. Kerusuhan terjadi selama tiga hari

(sampai tanggal 19) dengan sasaran yang semakin beragam, yaitu rumah-rumah

warga Nasrani dan pusat-pusat perdagangan.6

Di antara faktor-faktor yang ditengarai sebagai penyebab amuk massa tersebut

antara lain pembangunan gereja-gereja mewah yang tidak mendapatkan izin dari
pemerintah setempat, tetapi tetap dibangun. Ada pula gereja yang para jemaatnya

datang dari luar wilayah dimana gereja tersebut dibangun.

5. Kasus Poso

Kasus Poso merupakan potret buram hubungan Islam dan Kristen di Indonesia.

Persaingan antara pemeluk Islam dan Kristen sebenarnya telah ada semenjak era

kolonial, tetapi baru pada Era Reformasi persaingan tersebut berubah menjadi

konflik berdarah. Kebijakan untuk menghindari isu SARA di Era Orde Baru

ternyata berbuah ledakan konflik setelah tumbangnya kekuasaan Orde Baru.

Konflik Poso umumnya dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama berlangsung pada

tanggal 25-30 Desember 1998 dipicu oleh penyerangan terhadap Ridwan (21

tahun) yang sedang tidur-tiduran di masjid oleh tiga pemuda Kristen yang sedang

mabuk. Peristiw atersebut kemudian disusul dengan penyerangan oleh massa

Herman Parimo ke sejumlah rumah milik warga muslim. Peristiwa tersebut

diakhiri dengan ditangkapnya Herman Primo yang diadili pada awal Januari 1999.

Konflik Poso fase kedua terjadi pada 15-21 April 2002. Konflik jilid kedua

dipicu oleh perkelahian antara pemuda Kristen dan pemuda Islam. Peristiwa

tersebut disusul dengan perusakan dan pembakaran rumah, kios, serta bangunan

sekolah milik warga Kristen dan mengakibatkan pengungsian kalangan Kristen.


Konflik Poso Fase ketiga terjadi pada 23 Mei-10 Juni 2001. kerusuhan tersebut

dimulai dengan kehadiran pasukan ninja pimpinan Fabianus Tibo. Pada

pertengahan Mei mulai terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok Tibo.

Puncaknya adalh pembunuhan sekitar 200 santri di Pesantren Walisongo.

Konflik Poso mengakibatkan 504 orang meninggal, 313 orang terluka, dan

sebanyak 7022 rumah terbakar, 1378 rumah rusak berat dan 690 rumah rusak

ringan, 31 tempat ibadah rusak, sebuah Pesantren rusak, dan berbagai fasilitas

lainnya.7 Konflik fase ketiga adalah yang paling berdarah dalam rangkaian kasus

Poso. Konflik Poso diakhiri dengan penangkapan dan penahanan para tersangka, di

antaranya adalah hukuman mati terhadap Fabianus Tibo dan penangkapan

beberapa warga dari pihak Islam.

Dalam konflik Poso, institusi agama, seperti gereja dan ormas Islam turut

campur. Kasus Poso fase kedua dan ketiga menyebabkan mobilisasi massa dengan

menggunakan jaringan agama masing-masing. Gereja menjadi tempat untuk

mobilisasi massa Kristen, sementara itu Ormas-ormas Islam menjadi sarana untuk

mengumpulkan dukungan untuk membantu sesama muslim.

Secara acak, konflik Poso masih belum sepenuhnya reda sampai beberapa waktu

kemudian dengan adanya mutilasi tiga orang siswi Kristen dan pembunuhan

seorang pendeta. Kasus Poso kemudian juga menarik perhatian internasional,


terutama setelah terjadinya kasus World Trade Centre 11 September 1999.

pemerintah Indonesia mendapatkan tekanan dari pihak asing untuk menyelesaikan

kasus Poso dan menekan kelompok-kelompok Islam yang dituduh sebagai Jemaat

Islamiyah (JI).8

6. Kasus Ambon-Maluku

Selain kasus Poso, kasus Ambon merupakan kasus terburuk dalam sejarah

hubungan Islam dan Kristen di Indonesia. Konflik Maluku merupakan konflik

yang memakan waktu panjang, yaitu tahun 1999 sampai tahun 2002, dan memakan

korban yang banyak, serta mengundang perhatian dari elemen-elemen masyarakat

di tingkat nasional maupun internasional. Konflik tersebut bermula di kota Ambon,

namun pada perkembangannya merembet ke daerah-daerah lain, seperti Ternate,

Tidore, dan Halmahera.

Menurut Jan S. Aritonang, konflik di Maluku sebenarnya sudah lama terjadi,

bahkan semenjak abad ke-16.9 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Lembaga Pengkajian Kerukunan Umat Beragama (LPKUB), 5 tahun sebelum

konflik berbagai ketegangan terjadi antara dua kelompok pemeluk agama yang

berbeda tersebut telah terjadi berbagai ketegangan antara kedua belah kelompok,

yang meliputi masalah-masalah berikut:10

Pernikahan beda agama (71 kasus)


Pendirian tempat ibadah (51 kasus)

Penyiaran agama (48 kasus)

Penodaan terhadap agama (37 kasus)

Kegiatan aliran sempalan (35 kasus)

Perayaan hari-hari besar agama (32 kasus)

Bantuan luar negeri (21 kasus)

Lainnya (5 kasus)

Dengan demikian, konflik Maluku sebenarnya telah berakar lama, dan dia

antaranya didukung oleh kebijakan pemerintah kolonial yang berat sebelah

terhadap masyarakat Kristen. Pemeluk Kristen mendapatkan kemudahan dalam

mendapatkan pekerjaan di pemerintahan (ketentaraan) dan mendapatkan gaji lebih

besar dibandingkan penduduk muslim. Sementara itu, ketika Era Orde Baru

presentase umat Kristen justru menunjukkan penurunan, terutama dengan

banyaknya pendatang muslim ke Ambon.meningkatnya jumlah muslim non-

Ambon, terutama dari Bugis, Buton, dan Makassar (BBM), berpengaruh terhadap

penurunan peran orang Kristen yang secara tradisional berkuasa di

pemerintahan.11
Konflik sosial di Maluku dimulai dengan kerusuhan di Ambon yang terjadi pada

tanggal 19 Januari 1999 yang dipicu oleh pertikaian antara sopir angkot Yopie dan

Salim di terminal batu Merah.12 Kerusuhan tersebut kemudian membesar dan

menjadi konflik terbuka antara penduduk muslim dan penduduk Kristen.

Kedatangan preman Ambon dari Jakarta pasca kasus Ketapang, ditengarai menjadi

salah satu sebab mengapa konflik tersebut berkembang menjadi konflik terbuka.

Konflik tersebut menjadi keprihatinan luas karena terjadi ketika umat Islam

merayakan Hari Raya Idul Fitri. Konflik tersebut segera menarik perhatian umat

Islam di Jawa, khususnya Laskar Jihad pimpinan Ja’far Umar Thalib.

Konflik Maluku sampai tahun 2000 mencatatkan korban yang besar. Menurut

data Republika, di Ambon dan sekitarnya sampai tahun 200, tercatat 8000-9000

korban jiwa, dan 700.000 orang mengungsi. Sementara itu, menurut Harian

Kompas tercatat 38 gedung pemerintahan, 4 bank, 719 toko, 45 masjid, 47 gereja,

198 kendaraan roda empat, 128 kendaraan roda dua, dan 7046 rumah rusak.13

Pada tanggal 11-12 Februari 2002, diselenggarakan pertemuan kedua belah pihak

yang diprakarsai oleh Menko Kesra Yusuf Kalla. Pertemuan tersebut diadakan di

Malino, tempat kesepatakan konflik Poso sebelumnya, dan menghasilkan

kesepakatan Malino, yaitu: 1) mengakhiri semua bentuk konflik dan perselisihan,

2) menegakkan supremasi hukum, 3) perlunya dibentuk Tim Investigasi


independen nasional untuk mengusut peristiwa 19-1-1999, kedaulatan Maluku,

Kristen RMS, laskar Jihad, Laskar Kristus, dan pengalihan agama secara paksa.14

7. Kontroversi Otonomi daerah dan Perda Syariat

Era Reformasi mengubah pola hubungan pusat dan daerah di Indonesia. Apabila

pada Era Orde Baru, pemerintahan dijalankan secara sentralistik, maka pada Era

Reformasi wewenang pemerintahan dilimpahkan ke daerah melalui Otonomi

Daerah (Otda). Undang-undag Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menjadi payung penyelenggaraan

Otda.

Otda menggeser hubungan pusat daerah yang sentralistik menjadi desentralistik.

Dengan semakin besarnya wewenang, Daerah lebih leluasa untuk mengelola

dirinya sendiri. Kerja pemerintah departemen didesentralisir, kecuali beberapa

bidang, seperti pertahanan keamanan, agama, dan moneter. Daerah berwenang

untuk menentukan kebijakan di daerah berdasarkan kekhasan daerah masing-

masing.

Proses pelaksanaan Otda pada prakteknya menimbulkan berbagai permasalahan.

Persoalan kesiapan daerah, kerjasama antara daerah dalam mengelola sumber daya
alam, dan pengalaman daerah dalam mengelola diri sendiri mewarnai pelaksanaan

Otda.

Salah satu persoalan yang menjadi wacana publik di era Reformasi adalah

keluarnya Peraturan-peraturan Daerah (Perda) terkait dengan pelaksanaan agama

yang khas di sebuah daerah. Di tingkat nasional, persoalan tersebut dikenal dengan

sebutan Perda Syariat. Persoalan Perda syariat menimbulkan kontroversi di

kalangan masyarakat, baik antara sesama muslim maupun muslim dengan

nonmuslim.

Musahadi mengaitkan munculnya Perda Syariat dengan euforia reformasi. Ia

mencatat ada 37 kabupaten/kota yang mengeluarkan Perda yang dikategorikan

sebagai Perda Syariat. Obyek yang diatur dalam Perda Syariat tersebut beragam,

mulai dari pengguanaan jilbab bagi perempuan, baju koko bagi kaum pria,

kewajiban memiliki kemampuan membaca Alquran bagi calon mempelai

pernikahan atau dalam rangka naik jabatan, sampai pengaturan mengenai minuman

keras dan pelacuran.15

Keberadaan Perda yang dikategorikan sebagai “Perda Syariat― tentu saja

membuat pihak Kristen mengalami keprihatinan. Mereka khawatir apabila Perda

Syariat merupakan bagian dari penerapan Piagam Jakarta melalui peraturan dan

kebijakan Otda. Beberapa peraturan dianggap oleh pihak Kristen membuat posisi
umat Kristen Protestan dan Katholik serta umat Hindu dan Budha termarjinalkan,

terutama Keputusan Presiden No. 49 Tahun 2002 tentang Kedudukan, Tugas,

Fungsi, Susunan, Organisasi, dan tata Kerja Instansi Vertikal Departemen Agama

RI yang ditindaklanjuti oleh Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor 373 tahun

2002.16

Sejumlah Ormas Kristen merespon peraturan tersebut dengan mengirimkan surat

kepada Presiden Megawati tanggal 8 Oktober 2002. Berbagai organisasi

keagamaan turut serta menandatangi surat tersebut, antara lain PHDI, PGPI,17

PII18, Gereja Bala Keselamatan, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, Gereja

Ortodoks Indonesia, PGI,19 PBI,20 Forum Bakti Kasih Kristiani, Forum

Masyarakat Katholik Indonesia, FGBMFI, GMKI,21 PIKI,22 PWKI, Perkantas,

dan WKRI. Peraturan tersebut dipandang ole organisasi-organisasi tersebut

“hendak secara sistematis memusnahkan agama Budha, Hindu, Katholik, dan

Kristen Protestan, atau sekurang-kurangnya memarjinalisasi dan

memperlakukannya secara diskriminatif.23

Sebagai tandingan atas munculnya daerah-daerah yang memiliki ciri khas Islam,

seperti Serambi Mekkah di Aceh atau Gerbang Mekah di Gorontalo, ada daerah

yang ingin menunjukkan ciri khas Kristen. Manokwari adalah salah satu daerah

yang berpenduduk mayoritas Kristen dan sempat melontarkan istilah “Kota


Injil― untuk menyebut ciri khas daerahnya. Tentu saja, istilah tersebut

mendapatkan tanggapan keberatan dari umat Islam.

8. Kontroversi Undang-undang Sisdiknas

Sudah sejak lama umat Islam mencurigai bahwa lembaga-lembaga pendidikan

Kristen memiliki missi untuk memurtadkan umat Islam. Pendidikan Kristen, yang

sebagian sudah ada semenjak masa penjajahan Belanda, banyak yang memiliki

kualitas yang baik sehingga banyak siswa muslim di sekolah-sekolah Kristen. Para

siswa muslim tidak jarang turut serta atau diperintahkan untuk mengikuti mata

pelajaran agama (Kristen).

Naiknya Malik Fajar, tokoh pendidikan Muhammadiyah, sebagai Menteri

Pendidikan merupakan sebuah peristiwa penting dalam dunia pendidikan. Pada

masa jabatannya UU Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No 2 Tahun 1989

digantikan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

(Sisdiknas). Keberadaan UU Sisdiknas dilatarbelakangi ketidakmemadaian

UUSPN yang masih bersifat sentralistik.

Salah satu item dalam UU tersebut adalah keharusan seorang siswa mendapatkan

pelajaran agama sesuai dengan agama yang ia anut dan oleh guru yang seagama.

Pasal 12 ayat (1) RUU Sisdiknas menyebutkan bahwa “setiap peserta didik pada

satuan pendidikan merupakan subyek dalam proses pendidikan yang berhak


mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan

diajarkan oleh pendidik yang seagama.―24

Item dalam UU Sisdiknas tersebut tentu saja mendapatkan resistensi dari umat

Kristen. Mereka keberatan dengan item tersebut yang dipandang merusak ciri khas

sekolah dan berbagai persoalan adminitrasi sebagai konsekuensinya. Kalangan

Kristen, terutama dari sekolah-sekolah Kristen, melakukan demonstrasi untuk

menolak Sisdiknas. Alasan yang dikemukakan oleh kalangan Kristen, seperti B.S.

Mardiatmaja, adalah bahwa negara tidak berhak untuk memberikan pendidikan

agama dan pendidikan suara hati model tertenetu. Ia juga menilai bahwa Sisdiknas

tidak mengatur pendidikan secara utuh, melainkan terbatas mengenai pendidikan

formal (sekolah).25

Sementara itu, kalangan Islam pun juga mengerahkan massa untuk mendukung

pengesahan Sisdiknas. Mereka berpendapat bahwa mendapatkan pendidikan

agama sesuai agama yang dianut siswa adalah bagian dari Hak Asasi Manusia

(HAM). Menolak Sisdiknas berarti mengingkari HAM dan merestui pemurtadan.

Setelah melewati pergulatan untuk menolak atau menerima, UU No 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disahkan oleh DPR pada tanggal 12 Juni

2003. Beberapa Minggu kemudian Presiden Megawati menandatangi Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut.


Kenyataan tersebut tentu saja menimbulkan kekecewaan pihak Kristen. Karena

itu, meskipun Undang-undang Sisdiknas sudah diberlakukan, item mengenai

pengajaran agama bagi peserta didik dengan agama dan guru yang seagama tidak

secara otomatis dilaksanakan. Sekolah-sekolah Kristen secara de facto tetap

melakukan kegiatan pembelajaran agama sebagaimana sebelum lahirnya UU

Sisdiknas. Pemerintah pun mengulur-ngulur waktu dengan tidak segera

mengeluarkan Peratiran Pemerintah untuk melaksanakan UU tersebut. Undang-

undang tersebut tetap digunakan, tetapi item tentang pendidikan agama masih

belum diterapkan demi mengobati kekecewaan pihak Kristen.

9. Tsunami Aceh

Tanggal 26 Desember 2004, rakyat Aceh mendapatkan musibah berupa

gelombang besar Tsunami yang meluluhlantakkan wilayah Aceh hingga ke Banda

Aceh. Gelombang pasang Tsunami tersebut merusak rumah-rumah dan

mengakibatkan puluhan ribu orang meninggal dunia. Bencana tersebut

menyebabkan banyak anak Aceh yang kehilangan orang tua.

Dalam kondisi tersebut, muncullah isu Kristenisasi. Masuknya para relawan

asing, yang sebagian berasal dari organisasi-organisasi missonaris. Berita bahwa

ada 300 anak Aceh yang dibawa oleh missionaris untuk didik membuat kalangan
Islam marah, di antaranya Din Syamsuddin dari Majelis Ulama Indonesia. Berita

tersebut kemudian disanggah oleh kalangan Kristen.

Ketua Partai damai Sejahtera (PDS) yang juga mantan pimpinan yayasan Doulos,

Pdt. Ruyandi Hutasoit, misalnya, menyatakan bahwa isu mengenai adopsi anak

Aceh untuk dimurtadkan adalah upaya penyesatan dan cenderung mendiskreditkan

pihak-pihak tertentu. Partai Damai Sejahtera dalam situs resminya mengeluarkan

pernyataan resmi untuk mengklarifikasi berbagaio tuduhan yang dikaitkan dengan

Kristenisasi dalam penanganan korban Tsunami.26

Isu Kristenisasi tersebut tentu saja menimbulkan perasaan kahwatir di kalanan

umat Islam, apalagi berbagai media internasional juga membenarkan beberapa aksi

pihak missionaris yang memboncengi musibah tsunami. Buku Rizki Ridyasmara

Gerilya Salib di Serambi Mekkah dari Zaman Portugis hingga Paska Tsunami

mengungkapkan berbagai kasus di lapangan yang terkait dengan upaya

Kristenisasi. Sudah barang tentu, fenomena demikian akan mempengaruhi

hubungan antara muslim dan Kristen di berbagai tempat di Indonesia.


Penutup

Berbagai konflik di atas dikemukakan dalam tulisan ini untuk menjadi sebuah renungan

betapa rapuhnya ikatan kebangsaan dan persaudaraan antara penganut kedua agama Ibrahim

tersebut. Konflik-konflik tersebut juga menyiratkan sebuah panggilan moral kepada elit Islam

dan Kristen untuk merekatkan hubungan kedua belah pihak.

Mediasi adalah sebuah janji untuk merekatkan kembali ikatan tersebut. Semua agama

memiliki missi untuk menjadi mediasi bagi berbagai elemen mayarakat yang terpisah

berdasarkan kotak-kotak etnisitas, kelas, status, dan gender. Missi itulah yang tampaknya

memanggil, khususnya, akademisi dan agamwan untuk bahu membahu menciptakan perdamaian

dunia.
Menjelang perayaan Natal tahun ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta agar umat
Islam tidak mengikuti ritual Natal dan mengucapakn selamat Natal.
“Ya kalau soal Natal, MUI mengimbau agar umat Islam tidak mengikuti ritual Natal.
Tetapi harus menjaga kerukunan dan toleransi,” kata Ketua MUI Pusat Bidang Fatwa
Ma’ruf Amin, Rabu lalu.
Larangan ini, menurutnya, telah tercantum dalam fatwa MUI yang dikeluarkan pada
1981.
“Haram untuk mengikuti ritualnya. Ucapan selamat Natal tetap salah, ya pas Tahun
Baru sajalah,” ujar Ma’ruf.
Karena itu, katanya pada Natal, umat Islam cukup menunjukkan sikap toleran, yakni
dengan membiarkan umat Kristen merayakannya dan tidak mengganggunya.
Namun, pernyataan ini mendapat kritikan dari tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU)
Zuhairi Misrawi.
Menurutnya, apa yang disampaikan oleh MUI tidak akan serta merta diterima oleh
semua umat Islam.
Ia mengatakan, MUI merupakan satu dari sekian banyak arus yang ada dalam Islam.
“MUI bukan satu-satunya arus. Islam itu layaknya samudera yang luas dan dalam.
Fatwa MUI hanya salah satu arus dalam Islam. Masih banyak arus yang lain,” jelasnya.
Senada dengan itu, Sekjen Indonesian Committee of Religions for Peace (ICRP)
Theophilus Bela mengatakan, memang bukan kali ini saja MUI mengeluarkan
pernyataan semacam itu.
“Dari dulu, MUI mengeluarkan fatwa-fatwa antipluralisme serta anti-toleransi” tegasnya.
Kendati mengecam sikap MUI, Bela menyatakan tetap menghargai sikap MUI tersebut.
“Pendapat mereka mewakili kelompok kecil dikalangan Muslim di Indonesia”
Ia yakin, mayoritas Muslim dan tokoh-tokoh Islam dari kedua organisasi Islam terbesar,
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sangat mendukung paham pluralisme dan
toleransi antara umat beragama.
“Jadi, kita berharap mayoritas Muslim tidak terpengaruh dengan pernyataan MUI
tersebut”, tegasnya.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan sengaja mengabaikan imbauan MUI
tersebut dengan mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani di Kupang, NTT.
“Saya ucapkan selamat Natal bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur,” kata Jusuf Kalla
kemarin.
Jusuf Kalla juga mengimbau agar masyarakat Sulawesi Selatan yang tergabung dalam
Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) di Kupang tetap menjaga kerukunan.
Cendekiawan Muslim Shalahuddin Wahid pun mengatakan, umat Islam sah-sah saja
mengucapkan Natal kepada umat Kristiani.
Pasalnya, kata dia, tidak ada dasar yang melarang Muslim mengucapkan selamat
Natal.
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Muchsin Alatas menegaskan

pendapatnya bahwa haram hukumnya bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat Natal. Menurut

Muchsin, mengucapan selamat Natal bagi umat Islam bisa menggangu keyakinan ketuhanan

(akidah).

"Dalam kamus disebutkan, pengertian Natal itu adalah memperingati hari kelahiran Yesus sebagai

anak Tuhan," kata Muchsin kepada CNN Indonesia.

Oleh karena itu dalam perspektif Islam, menurut Muchsin, mengucapkan selamat Natal sama saja
dengan mengakui keberadaan anak Tuhan atau mengakui ada Tuhan lain.

Sebagaimana umat Nasrani merayakan Natal sebagai bagian dari ajaran agamanya, umat Islam,

ujar Muchsin, juga dilarang mengucapkan selamat Natal sebagai bagian dari ajaran agama yang

dianut.

Masing-masing agama punya ajaran masing-masing, dan dipersilakan untuk menjalankan tanpa

mencampuradukkannya. "Sudah jadi kewajiban untuk saling menghormati ajaran agama masing-

masing," kata Muchsin.

Larangan mengucapkan selamat Natal, tegas Muchsin, bukan cerminan kebencian umat Islam

kepada umat Nasrani. Ini hanya masalah keyakinan masing-masing yang dilindungi oleh undang-

undang. Umas Islam pun sangat menghormati keyakinan agama lain.

Muchsin mencontohkan keyakinan umat Katolik yang melarang pastor untuk menikah. "Padahal

dalam Islam menikah itu setengah wajib, tapi kami menghormati keyakinan agama lain," kata

Muchsin. Tak pernah umat Islam menyinggung-nyingung larangan menikah.


Terkait adanya beberapa golongan umat Islam yang membolehkan mengucapkan selamat Natal,

Muchsin mempersilakan. "Risikonya ditanggung sendiri," kata dia. Sebagai tokoh agama, Muchsin

menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan bahwa mengucapkan selamat Natal adalah

haram hukumnya.

Secara terpisah, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menyatakan umat

Islam boleh mengucapkan selamat Natal. "Selama itu tidak mempengaruhi akidah, maka (ucapan

selamat Natal) dapat dilakukan kata dia, Selasa (23/12).

Din mengatakan ucapan selamat Natal dari seorang muslim di Indonesia biasanya dilakukan karena

faktor persahabatan. Oleh sebab itu ia menilai hal itu tak jadi masalah.
SOLUSI

sikap saling menghormati dan bekerja sama antarumat beragama perlu diimplementasikan dalam
kehidupan beragama, sebagai upaya menjalankan sila pertama dengan tujuan menghindari
praktik kekerasan atas nama agama dan menciptakan kerukunan beragama, sehingga setiap
pemeluk agama mengalami kebebasan dalam menjalankan ibadah dan keyakinannya.

Alangkah baikannya jika kedamaian dan kemakmuran di paraktikan dan di lakukan di dalam kehidupan
sehari-hari,dengan kesadarn kita sebagai manusia bahwa semua umatNya semua sama dimataNya dan
berhak untuk memelih dan menetukan agamanya sendiri sesui dengan keyakinan mereka masing-
masing,salain itu agama juga merupaka warisan yg diperoleh turun temurun dari dulu hingga sekarang.

Beberapa orang sempat berkata bahwa Indonesia merupakan Negara yang penuh

toleransi. Buktinya, agama resmi yang diakui agama ada 5 dan setiap hari besar

keagamaan menjadi hari libur nasional. Tetapi apakah hanya itu tolok ukur

toleransi di Indonesia? Adanya toleransi atau intoleransi tidak bisa diukur hanya

dengan hal-hal itu saja, Toleransi beragama di Indonesia memang hal yang sangat

dibutuhkan di Indonesia. Tanpa toleransi, akan timbul perpecahan dan berujung

pada disintegrasi bangsa. Terjadinya intoleransi tentunya merupakan hal yang tidak

kita inginkan bersama. Bisa dikatakan hubungan antar agama atau sesama pemeluk

agama di Indonesia adalah hubungan yang konfliktual karena mudah sekali

terpecah karena isu-isu diskriminasi dan intoleransi beragama.

Anda mungkin juga menyukai