Anda di halaman 1dari 6

20 Tahun Reformasi: Bertahan di Desa Api

Palembang – Api dan asap mengepul di sisi Jalan Lintas Sumatera Palembang-Indralaya,
Kamis 10 Mei 2018 lalu. Musababnya, ternyata kebakaran lahan gambut terjadi di Simpang
Kota Terpadu Mandiri (KTM) Sungai Rambutan-Parit, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera
Selatan.

Hal itu langsung membuat Bhabinkamtibmas Desa Sungai Rambutan Bripka Hans Brilian
Aditya ketar-ketir, “Kami menghimbau masyarakat jangan sembarangan membuang puntung
rokok di lahan gambut, inilah dampak apabila kelalaian itu dianggap biasa,” ujarnya disela
membantu BPBD Ogan ilir yang sedang memadamkan api di lokasi kebakaran.

Kebakaran itu terjadi di tengah hari pukul 12.30 WIB, awal mula api muncul dari pinggir
Jalan Lintas Sumatera Palembang-Indralaya, tepat di jembatan dekat Simpang KTM Sungai
Rambutan-Parit. Api cepat merambat karena angin kencang. Untungnya, dua jam kemudian
api bisa dipadamkan oleh BPBD Ogan ilir, Tim Anggala Agni KLHK, Personel TNI dari
Kodim 0402/OKI.OI Rem 044/Gapo dan Masyarakat Peduli Api (MPA).

“Dugaan kami, kebakaran ini akibat puntung rokok pekerja yang melebarkan jembatan Jalan
Lintas Sumatera,” kata Bripka Hans Brilian Aditya.

Pada kejadian kebakaran lahan gambut itu, BPBD Ogan Ilir menerjunkan satu mobil
pemadam kebakaran. Kerja gabungan berbagai instansi itu akhirnya berhasil memadamkan
api dengan cepat.

“Terbakar ini hanya satu hektaran, tapi kalau terlambat penanggulangan akan lebih luas lagi.”
kata Bripka Hans.

Bripka Hans juga mengatakan, areal gambut di wilayah KTM Sungai Rambutan-Parit ini
memang rawan kebakaran setiap tahun. “Makanya setiap tahun BPBD Sumsel selalu
membuat posko kebakaran di Simpang KTM ini,” jelasnya.

Wilayah KTM Sungai Rambutan-Parit merupakan pusat kawasan agropolitan sesuai dengan
SK Gubernur Sumatera Selatan Nomor 273/KPT/TPH/2003 dan juga terdapat tiga Unit
Pemukiman Tranmigrasi (UPT) Rambutan dan UPT Parit. Para transmigran itu berasal dari
daerah Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Dampak dari seringnya kebakaran lahan gambut, membuat banyaknya penderita penyakit
Ispa di KTM Sungai Rambutan-Parit.

Dari data Pusat Kesehatan Desa (Puskesdes) UPT 2 Sungai Rambutan, penyakit terbanyak
yang diderita warga Sungai Rambutan adalah penyakit Ispa dan disusul diare. “Selama tahun
2018, setiap bulan ada 5 orang yang berobat karena Ispa. Penderita Ispa rata-rata diidap oleh
balita,” kata Bidan Rosalina.

Bidan Rosalina, 24 tahun, bertugas di Puskesdes UPT 2 Sungai Rambutan sedari tahun 2015
lalu. Ia menjelaskan penyebab utama Ispa itu karena debu dan asap.

“Kalau ditotal, kisaran 60 orang setiap tahun yang mengidap Ispa. Puncaknya tahun 2015
lalu, ketika Sumsel penuh dengan kabut asap karena kebakaran lahan,” ujarnya.

Ketua RT 05 Sungai Rambutan, Padiman, 45 tahun, menjadi saksi dahsyatnya kebakaran


lahan gambut di wilayah KTM Sungai Rambutan-Parit beberapa tahun terakhir ini.

“Wilayah kami ini di lahan gambut. Bila musim kemarau tiba, mudah sekali terbakar.
Penyebabnya bisa dari puntung rokok, atau bunga api,” jelasnya.

Ia menceritakan pengalamannya di tahun 2015, pada suatu hari, api menjalar mendekati
pemukiman UPT 2 Sungai Rambutan tempat ia menetap. Asap tebal membumbung tinggi, ia
bersama warga sekitar bahu membahu memadamkan api.

“Di saat keadaan panik, anak bungsu saya Suhendri yang baru berumur 9 tahun; hilang. Isteri
saya Mariam ikut panik sampai menangis,” kenang Padiman.

Ternyata, lanjut Padiman, Suhendri ikut mengambil air dengan ember. “Badannya yang kecil
mudah sekali hilang dalam kabut asap,” lanjut Mariam, 43 tahun, memotong cerita Padiman.

Masalah masyarakat KTM Sungai Rambutan-Parit tak hanya asap karena kebakaran lahan
gambut, namun juga banjir bila musim hujan.

“Musim hujan, air bisa setinggi lutut. Paling tinggi tahun 2010 lalu, tingginya sampai dada
orang dewasa,” lanjut Padiman.

Padiman menetap di UPT 2 Sungai Rambutan sejak tahun 2009 lalu, ia salah satu dari 150
KK lainnya yang ikut program transmigrasi. Ia berasal dari Jepara, Jawa Tengah.
Dari data Desa Sungai Rambutan, tercatat warganya ada 810 KK, 700 KK berasal dari
transmigran yang berasal dari Jawa Tengah, Yogytakarta dan Jawa Timur. Terdiri dari UPT 1
dengan catatan 300 KK, UPT 2 yang menaungi 300 KK dan UPT 3 tercatat 100 KK.

“Desa Sungai Rambutan awalnya daerah Inpres Daerah Tertinggal (IDT), tahun 2005 barulah
masuk para transmigran. Hingga akhirnya menetap seperti saat ini sebagai petani sawit atau
karet,” kata Willy Ahmad Yani, Kepala Desa Sungai Rambutan.

Secara geografis, jarak simpang KTM Sungai Rambutan-Parit dari Kota Palembang sejauh 22
KM. Dari simpang itu menuju Desa Sungai Rambutan sejauh 10 KM.

Menuju desa ini harus melewati jembatan besi yang membela anak Sungai Musi yang
bernama Sungai Rambutan. Jembatan itu, pada bulan april lalu sempat patah tepat di tengah
badan jembatan. Akibatnya, Desa Sungai Rambutan ini terisolir. Bila ingin menyeberang
hanya bisa menggunakan perahu. Para penyedia jasa perahu mematok harga penyeberangan
10 ribu untuk sekali lewat.

“Bulan april lalu patahnya, ketika air sungai lagi tinggi. Saat ini jembatan itu sudah ditunjang
dengan besi. Kami lagi menunggu jembatan disebelahnya selesai,” ujar Willy.

Para transmigran, lanjut cerita Willy, oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan diberikan
sepetak rumah berukuran 2x4 meter persegi, yang terbuat dari kayu.

Para transmigran juga diberikan lahan seluas seperempat hektar guna perkarangan rumah.
Juga diberikan lahan seluas dua hektar untuk membuka usaha.

Sayangnya, tak semua warga transmigran bisa memanfaatkan lahan, sebabnya lahan yang
diberikan pemerintah itu ternyata tumpang tindih dengan HGU perusahaan sawit PT
Indralaya Agro Lestari (IAL).

“Yang bersengketa itu lahan milik UPT 2. Mereka datang tahun 2008-2009, sampai hari ini
belum ada kejelasan,” kata Willy.

Sebenarnya, menurut Willy, lahan para transmigran berdasarkan SK kepemilikan yang


dikeluarkan gubernur dan SK Dinas Tranmigrasi Ogan Ilir. Namun terjadi perselisihan
dengan PT IAL karena mereka memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU) terhadap kepemilikan
lahan berdasarkan SK Gubernus Sumsel. PT IAL juga pernah menggugat Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Ogan Ilir yang akhirnya dimenangkan oleh PT IAL di tingkat Kasasi tahun
2015 lalu.
“Akibatnya, warga transmigran dari UPT 2 yang bertahan hanya 100 KK dari awalnya 300
KK. Sisanya pulang,” kata Willy.

Rumah-rumah yang ditempati masyarakat trans itupun banyak yang tinggal. Bahkan atap
seng ada yang melayang ditiup angin, dinding papan yang patah dan ditumbuhi rumput
semak rawa-rawa.

Ketua Kelompok Tani Sungai Rambutan, Panijo menceritakan para transmigran dari UPT 2
pulang karena tidak tahan. “Mereka didatangkan tahun 2008-2009 dengan harapan hidup
lebih baik dan sejahtera, tapi ketika sampai di sini dengan kondisi tanah bersangketa, siapa
yang mau?,” ujar Panijo dengan tinggi.

Ia menceritakan pengalaman warga transmigran UPT 2 saat baru tiba, ketika mereka akan
menggarap lahan 2 hektar yang penuh semak belukar rawa-rawa itu, “Tiba-tiba mereka
didatangi preman. Mereka diminta berhenti mengurus lahan dengan alasan milik sebuah PT.
Mereka juga diancam,” cerita Ponijo.

Saat ini, lahan-lahan itu telah menjadi kebun sawit milik PT IAL. “Para masyarakat
transmigran yang bertahan banyak menjadi buruh di PT sawit itu,” lanjutnya.

Namun ia juga tetap berusaha supaya masyarakat transmigrasi mandiri, untuk menambah
semangat para masyarakat transmigrasi itu, Panijo menceritakan masih menerapkan program
yang dulu digunakan Presiden Soeharto, yakni Bimbingan Massal (Bimmas), pembangunan
lahan percontohan, kelompok petani yang disebut Klompencapir (Kelompok Pendengar,
Pembaca dan Pirsawan). “Daerah sungai rambutan ini penuh parit rawa-rawa, bagusnya
memang berkebun sawit,” lanjutnya.

Kepala Bidang Pemukiman Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumsel Endang mengakui,
masalah utama yang dihadapi masyakat transmigrasi di Sumsel adalah perusahaan
perkebunan.

“Kadang HGU perusahaan perkebunan tumpang tindih dengan lahan yang diberikan kepada
masyarakat transmigrasi,” katanya lewat telpon.

Untuk menanggulangi tumpang tindih itu, kerjasama antar daerah harus jelas, terutama dalam
pemetaan lahan.

“Dari ratusan titik desa tranmigrasi di Sumsel, ada 15 titik yang bermasalah dengan
perusahaan perkebunan, termasuk di UPT 2 Sungai Rambutan,” lanjutnya.
Namun, khusus di KTM Sungai Rambutan, Dinas Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Sumsel
sudah mengupayakan solusi dengan wacana memberikan sapi kepada warga, “Masalahnya,
apabila diberi sapi, pakannya bagaimana?. Itu yang lagi kami cari solusinya,” katanya.

Endang juga menceritakan nasib transmigran yang datang ke Sumsel di tahun 80-an,
menurutnya saat ini mereka sudah mulai menikmati hasilnya. Misalnya yang ditempatkan di
KTM Telang Desa Mulia Sari, Kabupaten Banyuasin, yang saat ini terkenal sebagai sentral
padi.

“Namun ada juga yang bermasalah, misalnya di daerah Musi Rawas, Oku Timur, yang
sampai saat ini masih tarik ulur masalah lahan dengan perusahaan perkebunan,” tuturnya.

Endang menilai, pendidikan para transmigran juga mempengaruhi terjadinya gesekan itu.
“Yang datang tahun 80-an kan kadang tidak tamat sekolah, atau hanya tamat SD atau SMP,
ketika diiming-imingi oleh perusahaan perkebunan, kadang mereka enje-enje saja, dan
sekarang akhirnya bermasalah,” lanjutnya.

Endang menjelaskan pola transmigrasi era sebelum reformasi memang rata-rata datang
dengan terpaksa, sedikit yang benar-benar karena mau. Tak hanya itu, tempat lokasi desa
transmigrasipun masih susah, misalnya di daerah hutan lebat, atau daerah rawa-rawa yang
susah dijamah. “Mereka berjuang betul itu, sekarang saja mereka baru bisa enak, hidup
sejahtera sesuai dengan tujuan program,” katanya.

Sedangkan pola transmigrasi setelah reformasi memang banyak peminat, lokasi mereka juga
tak perlu jauh dari pusat keramaian. “Daerah-daerah sekarang sudah ramai. Pemerataan
lokasi penduduk sudah merata,” lanjutnya.

Namun, masyarakat transmigrasi sekarang mendapat tantangan besar dari sangketa dengan
perusahaan perkebunan. “Perusahaan perkebunan kadang lahannya sangat luas. Inilah
ancaman bagi program pemerataan penduduk dan pemerataan kesejahteraan semacam
tranmigrasi ini,” tegasnya.

Di Sumsel ada empat KTM, mulai KTM Telang Desa Mulia Sari, Kabupaten Banyuasin,
KTM Sungai Rambutan-Parit Ogna ilir, KTM Belitang Oku Timur, dan KTM Pagaralam.

“Khusus KTM Sungai Rambutan, selain bersengketa dengan perusahaan perkebunan, mereka
juga rentan dengan api karena kebakaran lahan. Kita akan cari solusinya bersama-sama ya,”
Kata Endang.
Ahmad Supardi

Anda mungkin juga menyukai