Anda di halaman 1dari 23

BAB II

ASMA BRONKIAL

1. Definisi

Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia
dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran
napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada
rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari
(GINA, 2009).

Asma merupakan mengi berulang dan/atau persisten dengan karakteristik: timbul secara
episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta
terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya (IDAI, 2013)

2. Epidemiologi

Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat 300 juta
penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun
dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (GINA, 2009).

Prevalensi total asma didunia diperkirakan 7,2%(6% pada dewasa dan 10 % pada anak).
Prevalensi tersebut sangat bervariasi dan terdapat perbedaan prevalensi antara Negara dan
bahkan perbedaan juga didapat dari daerah setiap suatu Negara (IDAI, 2013).

Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak
sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on
Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%,
sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di
beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,
Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar
antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan
gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu
mendapat perhatian serius (Baratawidjaja, et al, 2006).
Berdasarkan laporan NCHS pada tahun 2000, terdapat 4487 kematian akibat penyakit
asma atau 1,6 per 100000 populasi. Kematiam pada anak akibat penyakit asma jarang. Pada
tahun yang sama, didapatkan kematian 223 anak usia 0-17 tahun atau 0,3 kematian 100000 anak
(NCHS, 2003; IDAI, 2013).

3. Anatomi dan fisiologi

Fungsi saluran nafas bila diukur dengan spirometer atau peak flow meter menunjukkan
peningkatan selama pertumbuhan bayi dan anak, serta mecapai puncaknya pada usia 20 tahun.
Tahanan paru akan menurun dari 25 cm H2O/L/detik pada bayi yang lahir aterm, menjadi kurang
dari 2 cm H2O/L/detik pada saat dewasa, dan asma menghambat percepatan pertumbuhan paru-
paru ini.

Sejumlah faktor anatomi dan fisiologi yang memepermudah bayi dan anak mengalami
obstruksi saluran nafas bagian bawah, yaitu

a. Diameter saluran nafas

Sampai usia 5 tahun, diameter saluran nafas anak relative lebih kecil dibandingkan
dengan orang dewasa, oleh karena itu lebih mudah terjadi obstruksi. Bila ada suatu
edema atau hipersekresi, maka akan memperberat obstruksi.

b. Dinding dada
Dinding dada pada bayi yang kurang kaku akan mempercepat penutupan saluran
nafas, walaupun dalam keadaan bernafas biasa (tidal breathing). Tulang rawan trakea
dan bronkus pada bayi pun masih kurang kaku, sehingga mempermudah kolpas pada
saat ekspirasi.
c. Otot bronkus dan cabangnya

Jumlah otot bronkus dan cabangnya masih sedikit, sehingga bronkodilatr yang
diberikan tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.
d. Hipersekresi kelenjer utama
Pada dinidng bronkus utama anak ditemukan lebih banyak kelenjer mukosa
dinbandingkan orang dewasa normal, sehingga dapat mengakibatkan hipersekresi dan
mempercepat obstruksi.
e. Insertio diafragma
Pada anak posisinya adalah horizontal, sehingga pada inspirasi diafragma akan
menarik dada ke dalam (retraksi), sedangkan pada orang dewasa posisi tersebut oblik,
sehingga justru memperluas rongga dada.
4. Faktor Resiko Asma
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan.
1. Faktor Genetik
a. Atopi/alergi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui


bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai
keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.

b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin

Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi
asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan
lebih banyak.

d. Ras/etnik

Pada laporan Amerika Serikat didapatkan bahwa prevalensi asma dan kejadian
serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih. Tingginya prevalensi
tersebut tidak dipengaruhi oleh pendapatan maupun pendidikan
e. Obesitas

Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi
paru, morbiditas dan status kesehatan.

2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor lain
a. Alergen makanan Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah,
coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam
lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan
asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di
samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang
mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan
masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya
lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif Asap rokok berhubungan dengan
penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran
berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan
risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan
jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya
terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).
i. Status ekonomi
(Augusto, 2008).

5. Klasifikasi Asma

Klasifikasi asma dibagi menjadi dua menurut santoso (2010) yaitu :

a. Klasifikasi derajat penyakit asma

Konsensus International Penanggulangan Asma Anak (KNAA) membagi asma


berdasarkan keadaan klinis menjadi 3 golongan, yaitu asma episodic jarang, persisten
sering, dan persisten berat.

b. Klasifikasi derajat serangan asma

Asma dibagi menjadi 3, yaitu serangan ringan, serangan sedang dan serangan berat.
Seorang penderita asma persisten sedang atau berat dapat mengalami serangan ringan
saja, sebaliknya orang yang menderita episodik jarang dapat mengalami serangan berat,
bahkan ancaman henti nafas. Tetapi pada umunya anak dengan asma persisten sering
mengalami serangan berat atau sebaliknya.

KNAA membagi asma menurut perjalanan penyakitnya dan berdasarkan parameter


klinis, kebutuhan obat, dan faal paru menjadi 3 derajat penyakit, yaitu:

a. Asma episodic jarang (asma ringan)


b. Asma episodic sering (asma sedang)
c. Asma persisten (asma berat)
Pembagian derajat penyakit asma pada anak (Santoso, 2010)

Parameter klinis, Asma episodik jarang Asma episodik sering Asma persisten (asma
kebutuhan obat, dan (asma jarang) (asma sedang ) berat)
faal paru
Frekuensi serangan < 1x/bulan >1 x/bulan Sering
Lama serangan < 1 minggu ≥1 minggu Hampir sepanjang
tahun (tidak ada
remisi)
Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
Di antara serangan Tanpa ada gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terga nggu
Pemeriksaan fisis Normal (tidak Mungkin terganggu Sangat terganggu,
diluar serangan ditemukan kelainan) (ditemukan kelainan) tidak pernah normal
Obat pengendali (anti Tidak perlu Perlu, non steroid Perlu, steroid
inflamasi)
Uji faal paru (di luar PEF/FEV1>80% PEF/FEV160%-80% PEF/FEV1<60%
serangan)
Variabilitas faal paru ( Variabilitas <20% Variabilitas 20%-30% Variabilitas >30%
bila ada serangan)

6. Patofisiologi Asma

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus,
dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur,
yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE,
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE
abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE
terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan
bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi
IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat
pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi
mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga
menyebabkan inflamasi saluran napas.

Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit
setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel
mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi
terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang
sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen
Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.

Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke
dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan
tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-
Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yangmenyebabkan terjadinya bronkokonstriksi,
edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.

Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus


tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya
hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus
tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen,
maupun inhalasi zat nonspesifik.
7. Manifestasi Klinis

Asma pada anak dapat dilakukan anamnesis yang cermat agar didapatkan riwayat
penyakit yang akurat mengenai gejala sulit bernapas, mengi, atau dada terasa berat yang bersifat
episodik dan berkaitan pula dengan musim, serta riwayat asma atau penyakit atopi pada anggota
keluarga (IDAI, 2013).

Kemudian tentukan pola gejala yang timbul pada infeksi virus atau timbul sendiri
diantara batuk pilek. Meskipun tidak semua mengi dikatakan asma, tetapi asma merupakan salah
satu penyebab mengi. Maka, mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa semua mengi adalah
asma sampai dibuktikan bukan asma (IDAI, 2013).

8. Diagnosis

Asma pada anak umumnya hanya menunjukkan batuk. Mendiagnosis asma diperlukan
pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis asma berdasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Rengganis, 2008 ).

a. Anamnesis

Ada beberapa yang harus diketahui pada pasien asma, antara lain riwayat hidung ingusan
atau mampet (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi), batuk yang
sering kambuh (kronis) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau
pergantian cuaca, ada hambatan beraktifitas karena disebabkan masalah pernafasan, sering
terbangun pada malam hari, riwayat keluarga asma, rhinitis atau alergi lainnya, memelihara
binatang didalam rumah, banyak kecoa, dan terdapat bagian lembab didalam rumah. Untuk
mengetahui tungau debu dalam rumah dapat ditanyakan apakah menggunakan karpet berbulu,
sofa kain bludru, kasur kapuk, atau banyak barang di kamar tidur. apakah sering sesak dengan
bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah ada yang merokok atau apakah ada
obat yang sering digunakan.
b. Pemeriksaan fisik

Pada pasien asma sering ditemukan perubahan pada cara bernafas, dan terjadi perubahan
bentuk anatomis thoraks. Pada inspeksi dapat ditemukan nafas cepat, kesulitan bernafas,
menggunakan otot nafas tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan
mengi serta ekspirasi memanjang.

c. Pemeriksaan penunjang
1. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk
menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2. Peak flow meter / PEF
Alat pengukur faal paru sederhana untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari
paru. Oleh karena pemeriksaan jumlah jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan objektif (spirometer/ FEV1 atau PFM)
3. X-ray thoraks
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
4. Pemeriksaan IgE
Uji skin prick test untuk menunjukkan adanya antibody IgE spesifik pada kulit. Ini
untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif
tidak selalu merupakan penyebab asma.
5. Uji hiperaktifitas bronkus (HRP)
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90% dapat dibuktikan dengan tes
provokasi. Provokasi bronchial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen
spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran nafas pada penderita yang sensitive.
Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis jika dibandingkan
dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik dapat dilakukan dengan latihan jasmani,
inhalasi udara dingin atau kering, histamine, dan metakolin.
Beratnya derajat serangan asma menentukan terapi yang akan diterapkan, national
asthma education and prevention program (NAEP) melakukan pembagian derajat asma
berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium seperti
berikut:

Parameter Klinis, Fungsi Ringan Sedang Berat Ancaman Henti


Paru, Laboratorium Nafas
Aktivitas Berjalan Berbicara Istirahat
bayi: bayi: tangis bayi:
menangis pendek dan berhenti
keras lemah makan
Bicara kalimat Penggal Kata-kata
kalimat
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya kebingungan
teragitasi teragitasi teragitasi
Sianosis Tidak ada Tidak ada ada nyata
Mengi Sedang, Nyaring, Sangat Sulit/tidak
hanya pada sepanjang nyaring, terdengar
akhir ekspirasi + erdengar
respirasi inspirasi tanpa
stetoskop
Otot Bantu Nafas Biasanya Biasanya ya ya Gerakan
tidak paradoks
torakoabdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/hilang
retraksi ditambah ditambah
intercostal retraksi nafas cuping
suprasternal hidung
Laju Nafas meningkat meningkat meningkat menurun
Laju Nadi normal takikardi takikardi bradikardi
Pulsus Paradoksus Tidak ada 10-20 mmHg >20 mmHg Tidak
ada(kelelahan
otot nafas)
PEFR atau FEV1 % nilai dugaan/ % nilai terbaik
- Prabronkodilator >60% 40-60% <40%
- pascabronkodilator >80% 60-80% <60%
SaO2% >95% 91-95% <90%
PaO2 Normal >60 mmHg <60mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

Untuk anak-anak yang sudah besar (>6 tahun) sebaiknya dilakukan pemeriksaan faal
paru. Uji fungsi paru yang paling sederhana atau dengan peak flow meter , atau lebih canggih
dengan spirometer. Penunjang diagnosis dapat dilakukan juga ujia provokasi bronkus dengan
histamine, metakolin, latihan dengan lari bebas (exercise), udara dingin dan kering, atau dengan
salin hipertonis. Ada 3 macam pemeriksaan yang berguna untuk mendukung diagnosis asma
anak, yaitu:

a. variabilitas PEFR atau FEV1≥20%


b. kenaikan ≥20% PEFR/FEV1 setelah pemberian bronkodilator inhalasi
c. penurunan ≥20% PEFR/FEV1 setelah provokasi bronkus

variabilitas harian adalah perbedaan peningkatan/penurunan PEFR dalam 1 hari,


sebaiknya penilaian dilakukan selama 2 minggu.
9. Penatalaksanaan Serangan Asma

Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi klinis dari
penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar
penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

GINA (2009) dan PDPI (2006) menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan


berdasarakan kontrol. Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol
terdapat dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu:

1. Medikasi
2. Pengobatan berdasarkan derajat

Pada prinsipnya menurut Rengganis (2008) penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2


golongan, yaitu :

a. Penatalaksanaan asma akut


Serangan asma akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis
segera. Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di Rumah Sakit/Dawat darurat.
Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting agar
pasien dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum datang ke dokter.
Dilakukan penilaian fisis, dan bila memungkinkan pemeriksaan faal paru agar dapat
diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal
paru yang menyebabkan keterlambatan dalam pengobatan.
b. Penatalaksanaan asma kronis
Pasien asma kronik diupayakan dapat memahami system penanganan asma secara
mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan asma. Anti
inflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol penyakit serta
mencegah serangan yang dikenal sebagai pengontrol. Bronkodilator merupakan
pengobatan saat serangan untuk mengatasi serangan eksaserbasi sebagai pelega.
Pengobatan Berdasarkan Derajat
Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi:
1. Asma Intermiten
a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol

b. Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif
dengan agonis β-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis β-2
kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi

c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka
sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan

2. Asma Persisten Ringan


a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas
asma, dengan pilihan:

 Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi


dua kali sehari) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi

 Budenoside : 200–400 μg/hari

 Fluticasone propionate : 100–250 μg/hari


 Teofilin lepas lambat
 Kromolin
 Leukotriene modifiers
b. Pelega bronkodilator (Agonis β-2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu
3. Asma Persisten Sedang
a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas
asma, dengan pilihan:
 Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis β-2 kerja lama
inhalasi
 Budenoside: 400–800 μg/hari
 Fluticasone propionate : 250–500 μg/hari
 Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah teofilin lepas lambat
 Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah agonis β-2 kerja lama
oral
 Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 μg/hari)
 Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah leukotriene modifiers
b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu • Agonis β-2 kerja singkat inhalasi: tidak
lebih dari 3–4 kali sehari, atau
• Agonis β-2 kerja singkat oral, atau
• Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat
• Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah
menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol
c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum
terkontrol; maka harus ditambahkan agonis β-2 kerja lama inhalasi
d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi
dalam satu kemasan agar lebih mudah

4. Asma Persisten Berat


• Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan
mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai
nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat
seminimal mungkin
• Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma,
dengan pilihan: • Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua
dosis) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi

• Beclomethasone dipropionate: >800 μg/hari

• Selain itu teofilin lepas lambat, agonis β-2 kerja lama oral, dan leukotriene
modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis β-2 kerja lama inhalai
ataupun sebagai tambahan terapi

• Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar


efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi
saluran napas atas.
Penatalaksanaan Berdasarkan Derajat Asma. Sumber: GINA, 2009.
Obat-Obatan

a. Agonis β2-adrenergik

Merupakan bronkodilator, β2- agonis adalah obat yang paling poten, bekerja cepat, dan
paling banyak dipakai untuk mengatasi serangan asma. Ada 2 golongan β2-agonis yang tersedia
di Indonesia, yaitu yang bekerja cepat dan yang bekerja lambat. Tersedia dalam bentuk inhalasi
(metered dose inhaler), dengan nebulizer, atau serbuk yang dihirup (dry powder inhaler). Selain
bekerja sebagai bronkodilatasi, β2-agonis meningkatkan fungsi clearance silia, mengurangi
edema dengan menghambat kebocoran kapiler, dan menghambat kerja sel mast. Efek
sampingnya adalah tremor, takikardi, cemas, dan semua ini akan berkurang jika diberikan lewat
inhalasi.

Untuk serangan asma dipakai β2-agonis dengan kerja cepat seperti salbutamol,
terbutalin atau pirbeterol, sedangkan salmeterol dan formeterol digunakan sebagai pengendali
asma dengan mengkombinasikan kedua obat ini bersama steroid inhalasi.

b. Metilxatin

Yang termasuk dalam golongan ini adalah teofilin dan aminofilin. Cara kerjanya
dengan menghambat kerja enzim fosfodierterase dan menghambat pemecahan cAMP menjadi
5’AMP yang tidak aktif. Obat ini dapat digunakan sebagai pengganti β2-agonis untuk mengatasi
serangan asma atau dikombinasi dengan β2-agonis, baik oral maupun inhalasi. Aminofilin juga
dapat diberikan secara paranteral pada asma berat.

Untuk memcapai fungsi paru yang baik, diperlukan konsentrasi aminofilin dalam darah
antara 5-15 µg/ml dan efek samping terjadi bila kadar aminofilin dalam darah berada diatas 20
µg. bila dengan obat-obat standar diatas belum ada perbaikan, berikan loading dose 4-5
mg/kgBB diencerkan dengan NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan dalam waktu 10 menit,
dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,7-0,9 mg/KgBB/jam atau 5-6 ml/KgBB/8 jam. Efek samping
yang sering dijumpai adalah iritasi lambung, insomnia, gugup, nausea, vomiting, anoreksia, nyeri
kepala, palpitasi dan pada dosis yang berlebihan dapat terjadi konvulsi
c. Kortokosteroid

Merupakan obat anti inflamasi yang paling poten untuk pengobatan penyakit asma. Kerja
obat ini melalui berbagai cara, antara lain menghambat kerja sel inflamasi, menghambat
kebocoran pembuluh darah kapiler, menurunkan produksi mucus, dan meningkatkan kerja
reseptor β-reseptor.

d. Steroid inhalasi

Pemberian steroid secara inhalasi walaupun memiliki efek samping yang minimal, pada
pemberian yang lama dan dosis tinggi akan menghambat pertumbuhan sekitar 1-1,5 cm pertahun
untuk bulan-bulan pertama pemakaian. Pada pemberian jangka panjang ternyata tidak
berpengaruh banyak pada pertumbuhan. Walaupun demikian, dapat dipertimbangkan untuk
dikombinasi dengan β-agonis kerja lambat, teofilin kerja lambat atau leokotrian reseptor
antagonis. Bila untuk penggunaan jangka panjang pasien resisten terhadap steroid inhalasi dosis
perlu ditingkatkan.
Tatalaksana Asma Jangka Panjang

Obat asma dibagi 2 kelompok, yaitu :

a. Obat pereda (reliever) yang digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma yang
timbul
b. Obat pengendali (controller) yang digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu
inflamasi kronis saluran nafas. Pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu
yang lama, bergantung pada derajat penyakit asma dan responnya terhadap pengobatan.

Derajat asma Pengendali (controller) Pereda (reliever)


Persisten berat Terapi harian: Bronkodilator kerja cepat:
Anti inflamasi: kortikosteroid β2-agonis inhalasi
inhalasi (dosis tinggi) Intensitas terapi bergantung
Bronkodilator kerja panjang: pada seringnya eksaserbasi
β-agonis inhalasi/tablet kerja
panjang, theophylline
sustained-release atau
kortikosteroid/prednisone 2
mg/kg/hari
Anti inflamasi: kortikosteroid
inhalasi (dosis rendah atau
dosis tinggi)
Persisten sedang Anti inflamasi: salah satu dari Bronkodilator kerja cepat:
kortikosteroid inhalasi (dosis β2-agonis inhalasi untuk
rendah) atau cromolyn atau mengatasi gejala.
nedokromil (anak-anak Meski demikian, penggunaan
biasanya dimulai dari β2-agonis lebih dari 3-4 kali
cromolyn atau nedokromil) perhari atau penggunaan
Jika diperlukan : teratur setiap hari
Bronkodilator jangka mengindikasikan perlunya
panjang: salah satu dari β2- pengobatan tambahan.
agonis inhalasi atau tablet
kerja jangka panjang,
theophylline sustained-release
atau leukotriene receptor
antagonist (LRA)
Episode ringan Tidak diperlukan terapi harian Bronkodilator kerja cepat:
β2-agonis inhalasi untuk
mengatasi gejala.
Intensitas terapi bergantung
pada seringnya eksaserbasi
β2-agonis inhalasi, cromolyn
sebelum olahraga.
PEMBAHASAN

Dari identitas pasien terdapat faktor resiko terjadinya keluhan tersebut. Faktor resiko
dilihat dari usia pasien yaitu 6 tahun, pada umunya kebanyakan kasus asma presisten terjadi pada
usia muda, yaitu beberapa tahun pertama kehidupan. Dari beberapa penelitian yang telah
dilakukan di Australia dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma presisten mendapat serangan
mengi pada usia <6 bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama pada usia 3 tahun. Hanya
sekitar 5 % anak yang terbebas dari asma presisten pada usia 28-35 tahun.
Faktor resiko selanjutnya adalah jenis kelamin, diketahui bahwa pasien ini berjenis
kelamin perempuan. Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalensi
asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5-2 kali lipat dibandingkan perempuan.
Namun pada orang dewasa rasio ini berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan perempuan
pada usia 30 tahun. Peningkatan risiko pada laki-laki mungkin disebabkan semakin sempitnya
saluran pernapasan, peningkatan pita suara, dan mungkin terjadi peningkatan IgE pada laki-laki
yang cenderung membatasi respon bernafas. Selanjutnya didukung oleh adanya perbedaan ratio
diameter saluran udara laki-laki dan perempuan setelah berumur 10 tahun, mungkin disebabkana
perubahan rongga dada yang terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak pada perempuan
(Wayne, 2004)
Sesak nafas pada pasien ini disebabkan oleh adanya peningkatan kerja pernafasan akibat
penyempitan saluran pernafasan. Hal ini terjadi karena pasien asma yang disebabkan oleh reaksi
alergi yang dimana saat terpapar alergen, terjadi fase sensitasi dan antibodi IgE akan meningkat
dan melekat pada permukaan sel mast pada intertisial paru, yang berhubungan erat dengan
bronkiolus dan bronkus kecil. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat
pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang digunakan adalah histamine, leukotrin, faktor kemotaktik,faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin sehingga menimbulkan efek local pada dinding bronkiolus
kecil, sekresi mucus yang kental kedalam lumen bronkiolus dan spasme otot polos brounkiolus
sehingga menyebabkan inflamasi saluran nafas. Inflamasi saluran nafas inilah yang
menyebabkan terjadinya penyempitan saluran nafas (Rengganis, 2008).
Bunyi ngik-ngik pada pasien ini disebabkan oleh banyaknya udara yang masuk tidak
seimbang dengan udara yang keluar. Hal ini terjadi karena saat inspirasi tekanan intratorakal
menurun sehingga melebarkan jalan pernafasan dan perbedaan waktu inspirasi dan ekspirasi
akan meningkat. Ekspirasi yang terhambat akan melebarkan duktus alveolus dan menurunkan
elastisitas paru (peningkatan komplians), dan bagian tengah pernafasan akan terdorong kearah
inspirasi (barrel chest). Hal ini meningkatkan kapasitas residu fungsional dan dibutuhkan
tekanan intratorakal untuk ekpirasi karena komplians dan resistensi meningkat. Sehingga
penyempitan saluran nafas ini menyebabkan udara mengalami turbulensi dan terjadi wheezing
(IDAI, 2013).
Pada pasien terdapat keluhan memburuk saat malam hari ketika batuk hingga pasien
tidak dapat tidur, pada penelitian yang dilakukan biopsi bronchial pada pasien asma jam 04.00
dengan hasil biopsi transbronkial telah terbukti dengan ditemukannya akumulasi eosinofil dan
makrofag di alveolus dan jaringan peribronkial pada malam hari. Hubungan yang saling
berpengaruh antara saluran nafas dan parenkim paru yang sangat penting, yang menunjukkan
adanya gangguan pada pasien asma saat tidur dengan posisi supine dibandingkan saat bangun
(IDAI, 2013).
Dari riwayat penyakit dahulu diketahui pasien pernah mengalami keluhan serupa sejak
usia 7 bulan, kemudian pernah dirawat di Rumah Sakit pada usia 7 bulan dan sering
mengkonsumsi obat untuk meredakan sesak nafasnya jika kambuh. Dari riwayat keluarga tidak
ada yang memiliki keluhan yang sama, hanya saja kakek dari pasien tersebut memiliki riwayat
TB dan telah meninggal dunia jadi tidak ada kaitan dengan keluhan pasien tersebut.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan takikardi dan takipneu. Selain itu ditemukan nafas
cuping hidung dan penambahan otot bantu pernafasan. Hal tersebut terjadi karena penyempitan
saluran pernafasan pada pasien asma yang menyebabkan kesulitan bernafas, sehingga usaha
bernafas akan lebih banyak dilakukan. Sedangkan penambahan otot bantu pernafasan terjadi
karena ekspirasi yang terhambat akan melebarkan duktus alveolus dan menurunkan elastisitas
paru (peningkatan komplians), dan dan bagian tengah akan terdorong kearah inspirasi (barrel
chest). Hal ini meningkatkan kapasitas residu fungsional dan dibutuhkan tekanan intratorakal
untuk ekspirasi karena komplians dan resistensi meningkat. Tekanan intratorakal inilah yang
menyebabkan adanya tambahan dari otot bantu pernafasan.
Serta pada hidung ditemukan sekret, sekret mukus pada saluran nafas pasien tidak hanya
berupa peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Perbedaan kualitas
dan kuantitas dapat timbul baik akibat infiltrasi sel inflamasi maupun terjadi perubahan patologis
sel sekretori, pembuluh darah epitel saluran nafas dan lapisan submukosa (IDAI, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Augusto, A. Asthma and obesity: Common early-life influences in the inception of disease
JACI.2008 Mei; 121.(5):1075.

Baratawidjaja, K.G., Soebaryo, R.W., Kartasasmita, C.B., Suprihati,


Global Initiative for Asthma (GINA), 2009. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. Available from: http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=411
[Accessed at 22 February 2010]

PDPI, 2003. Asma: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Pedoman dokter
paru Indonesia.

Rengganis, I., 2008. Diangnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Jakarta: IDI

Santoso, H., 2010. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak. Jakarta: IDAI.

Sundaru, H., Siregar, S.P., et al. Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. In: Shaikh
WA.editor. Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vicas
Medical Publishers; 2006.707-36.
Wayne JM. Result Of a Home – Base Environmental Intervention Among Urban children with
Asthma. The New England Journal of Medicine, 2004 ; 351 : 1068 – 80.)

Anda mungkin juga menyukai