Anda di halaman 1dari 34

BabV.

Hak dan Kewajiban Warga Negara

BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

Standar Kompetensi (SK)


Pada bab ini diharapkan mahasiswa dapat memahami pengertian warga negara serta
mendeskripsikan hak dan kewajiban warga negara, sehingga dengan pemahaman
tersebut diharapkan dapat terbentuk lulusan yang dapat mengimplementasikan haka
dan kewajiban sebagai warga negara serta berprilaku sebagai warga nergara yang
baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kompetensi Dasar (KD)


Melalui pembelajaran ini Mahasiswa diharapkan dapat :
1. Mengetahui dan menjelaskan pengertian warga negara;
2. Menjelaskan serta mendeskripsikan hak dan kewajiaban waga negara;
3. Mendeskripsi karakteristik warga negara yang baik.

3.1. Pengertian dan Kewajiban Warga Negara

Kewarganegaraan adalah segala hal yang berhubungan dengan warga negara. Berikut
ini adalah beberapa contoh hak dan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia. Setiap
warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama satu sama lain tanpa terkecuali.
Persamaaan antara manusia selalu dijunjung tinggi untuk menghindari berbagai
kecemburuan sosial yang dapat memicu berbagai permasalahan di kemudian hari.
Namun biasanya bagi yang memiliki banyak uang atau tajir bisa memiliki tambahan
hak dan pengurangan kewajiban sebagai warga negara kesatuan republik Indonesia.

Contoh hak warga negara Indonesia:


1. Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum
2. Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
3. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di
dalam pemerintahan
4. Setiap warga negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama
dan kepercayaan masing-masing yang dipercayai
5. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
6. Setiap warga negara berhak mempertahankan wilayah negara kesatuan Indonesia
atau NKRI dari serangan musuh
BabV. Hak dan Kewajiban Warga Negara

7. Setiap warga negara memiliki hak sama dalam kemerdekaan berserikat,


berkumpul mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sesuai undang-
undang yang berlaku

Contoh kewajiban warga negara Indonesia


1. Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam membela,
mempertahankan kedaulatan negara indonesia dari serangan musuh
2. Setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan
oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda)
3. Setiap warga negara wajib mentaati serta menjunjung tinggi dasar negara,
hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali, serta dijalankan dengan sebaik-
baiknya
4. Setiap warga negara berkewajiban taat, tunduk dan patuh terhadap segala hukum
yang berlaku di wilayah negara Indonesia
5. Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun
bangsa agar bangsa kita bisa berkembang dan maju ke arah yang lebih baik

3.2. Asas Kewarganegaraan

Adapun asas-asas kewarganegaraan universal meliputi ius sanguinis, ius soli, dan
campuran. Pengertian asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :
a) Ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan
negara tempat kelahiran.
b) Ius soli (law of the soil) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran.
c) Kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang.
d) Kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
undang-undang.
BabV. Hak dan Kewajiban Warga Negara

Ketentuan tentang status kewarganegaraan penting diatur dalam peraturan


perundangan dari negara. Asas kewarganegaraan dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006, dikenal dua pedoman yaitu:
1. Asas Kewarganegaraan
a. Asas Kelahiran (Ius Soli)
Ius berarti hukum atau pedoman, sedangkan Soli dari kata Solum yang berarti
negeri. Jadi Ius Soli adalah penentuan status kewarganegaraan berdasarkan
tempat atau daerah kelahiran seseorang. Daerah tempat seseorang dilahirkan
yang menentukan kewarganegaraannya. Artinya, kalau dilahirkan di dalam
daerah hukum Indonesia, dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia,
kecuali anggota korps diplomatik dan anggota tentara asing yang masih
dalam ikatan dinas, prinsip ini berlaku di Amerika, Inggris, Perancis, dan
Indonesia, terkecuali di Jepang.
b. Asas Keturunan (Ius Sanguinis)
Ius berarti hukum atau pedoman, sedangkan Sanguinis dari kata Sanguis yang
berarti darah atau keturunan. Jadi, Ius Sanguinis adalah asas kewarganegaraan
yang berdasarkan kewarganegaraan suatu negara. Kewarganegaraan dari
orang tua yang menurunkannya menentukan kewarganegaraan seseorang,
Artinya kalau orang dilahirkan dari orang tua yang berwarga negara
Indonesia, maka dengan sendirinya anak tadi berwarga negara Indonesia,
prinsip ini berlaku diantaranya di Inggris, Amerika, Perancis, Jepang, dan
Indonesia.
c. Asas Kewarganegaraan Tunggal
Asas ini adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap
orang. Setiap orang tidak dapat menjadi warga negara ganda atau lebih dari
satu.
d. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas
Asas ini adalah asas yang menenukan kewarganegaraan ganda (lebih dari 1
warga negara) bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang. Pada saat anak-anak telah mencapai 18 tahun, maka harus
menentukan salah satu kewarganegaraannya. Seseorang tidak boleh
BabV. Hak dan Kewajiban Warga Negara

memegang status dua kewarganegaraan. Oleh sebab itu, apabila seseorang


berhak mendapatkan status kewarganegaraan karena kelahiran dan keturunan
sekaligus, maka pada saat dewasa, harus memilih salah satu.

2. Asas Kewarganegaraan Khusus


a. Asas Kepentingan Nasional
Adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan
mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad
mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-
cita dan tujuannya sendiri.
b. Asas Perlindungan Maksimum
Adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan
perlindungan penuh kepada setiap warga negara Indonesia dalam keadaan
apapun, baik di dalam maupun di luar negeri.
c. Asas persamaan didalam hukum dan pemerintahan
Adalah asas yang menentukan bahwa setiap warga negara Indonesia
mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
d. Asas kebenaran substantif
Adalah asas dimana prosedur kewarganegaraan seseorang tidak hanya
bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat
permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
e. Asas non-diskriminatif
Adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang
berhubungan dengan warga negara atas dasar suku ras, agama, golongan,
jenis kelamin, serta haris menjamin, melindungi, dan memuliakan HAM pada
umumnya dan hak warga negara pada khususnya.
f. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap HAM
Adalah asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga
negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan HAM pada umumnya
dan hak warga negara pada khususnya
g. Asas keterbukaan
BabV. Hak dan Kewajiban Warga Negara

Adalah asas yang menentukan bahwa segala hal ikhwal yang berhubungan
dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka.
h. Asas publisitas
Adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh dan atau
kehilangan kewarganegaraan RI akan diumumkan dalam berita negara RI
agar masyarakat mengetahuinya.

Selain dari sisi kelahiran, penentuan kewarganegaraan dapat didasarkan pada aspek
perkawinan yang mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat :
a. Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu
ikatan yang tidak terpecahkan sebagai inti dari masyarakat. Dalam
menyelenggarakan kehidupan bersama, suami istri perlu mencerminkan suatu
kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganegaraan. Berdasarkan
asas ini diusahakan status kewarganegaraan suami dan istri adalah sama dan
satu.
b. Asas persamaan derajat berasumsi bahwa suatu perkawinan tidak
menyebabkan perubahan status kewarganegaaraan suami atau istri. Keduanya
memiliki hak yang sama untuk menentukan sendiri kewarganegaraan. Jadi
mereka dapat berbeda kewarganegaraan seperti halnya ketika belum
berkeluarga.

Negara memiliki wewenang untuk menentukan warga negara sesuai dengan asas
yang dianut negara tersebut. Dengan adanya kedaulatan ini, pada dasarnya suatu
negara tidak terikat oleh negara lain dalam menentukan kewarganegaraan. Negara
lain juga tidak boleh menentukan siapa saja yang menjadi warga negara dari suatu
negara.

Penentuan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap negara dapat


menciptakan problem kewarganegaraan bagi seorang warga. Secara ringkas problem
kewarganegaraan adalah munculnya apatride dan bipatride. Apatride adalah istilah
untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Bipatride adalah istilah
untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan ganda (rangkap dua). Bahkan
BabV. Hak dan Kewajiban Warga Negara

dapat muncul multipatride yaitu istilah untuk orang-orang yang memiliki


kewarganegaraan yang banyak (lebih dari 2).

Unsur Pewarganegaraan (Naturalisasi) adalah tatacara bagi orang asing untuk


memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. Dalam
undang-undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan dapat juga diperoleh melalui
pewarganegaraan. Permohonan pewarganegaraan dapat diperoleh dengan memenuhi
persyaratan tertentu. Syarat-syarat atau prosedur pewarganegaraan disesuaikan
menurut kebutuhan yang dibawakan oleh kondisi dan situasi negara masing-masing.

Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif ada pula yang pasif. Dalam
pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau
mengajukan kehendak menjadi warga negara dari suatu negara. Sedangkan dalam
pewarganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau dijadikan warga negara suatu
negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan hak repuidasi yaitu hak untuk
menolak pemberian kewarganegaraan tersebut.

Pembicaraan status kewarganegaraan seseorang dalam sebuah negara ada yang


dikenal dengan apatride untuk orang-orang yang tidak mempunyai status
kewarganegaraan, bipatride untuk orang- orang yang memiliki status
kewarganegaraan rangkap/dwikewarganegaraan, dan multipatride untuk
menyebutkan status kewarganegaraan seseorang yang memiliki dua atau lebih status
kewarganegaraan.

3.3. Hak dan Kewajiban Warga Negara

Hak adalah sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya tergantung
kepada kita sendiri. Contohnya yaitu hak mendapatkan pengajaran, hak mendapatkan
nilai dari dosen dan sebagainya.

Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Contoh kewajiban tersebut antara lain kewajiban melaksanakan tata tertib di kampus,
melaksanakan tugas yang diberikan dosen dengan sebaik baiknya dan sebagainya.
BabV. Hak dan Kewajiban Warga Negara

Hak dan kewajiban warga negara Indonesia tercantum dalam Pasal 27 sampai pasal
34 UUD 1945. Bebarapa hak warga negara Indonesia antara lain sebagai berikut :
a) Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
b) Hak membela negara
c) Hak berpendapat
d) Hak kemerdekaan memeluk agama
e) Hak mendapatkan pengajaran
f) Hak utuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia
g) Hak ekonomi untuk mendapat kan kesejahteraan sosial
h) Hak mendapatkan jaminan keadilan sosial

Sedangkan kewajiban warga negara Indonesia terhadap negara Indonesia adalah :


a. Kewajiban mentaati hukum dan pemerintahan
b. Kewajiban membela negara
c. Kewajiban dalam upaya pertahanan negara

Selain itu ditentuakan pula hak dan kewajiban negara terhadap warganegara. Hak dan
kewajiban negara terhadap warga negara pada dasarnya merupakan hak dan
kewajiban warga negara terhadap negara. Beberapa ketentuan tersebut, anatara lain
sebagai :
a) Hak negara untuk ditaati hukum dan pemerintah
b) Hak negara untuk dibela
c) Hak negara untuk menguasai bumi, air , dan kekayaan untuk kepentingan
rakyat
d) Kewajiban negara untuk menajamin sistem hukum yang adil
e) Kewajiban negara untuk menjamin hak asasi warga negara
f) Kewajiban negara mengembangkan sistem pendidikan nasional untuk rakyat
g) Kewajiban negara meberi jaminan sosial
h) Kewajiban negara memberi kebebasan beribadah

Secara garis besar, hak dan kewajiban warga negara yang telah tertuang dalam UUD
1945 mencakup berbagai bidang. Bidang–bidang ini antara lain, bidang politik dan
pemerintahan, sosial, keagamaan, pendidikan, ekonomi, dan pertahanan.
3.4. Karakteristik Warga Negara Yang Baik

Setiap negara dipastikan menghendaki warga negaranya menjadi warga negara yang
baik (good citizen). Sebab dengan warga negara yang baik maka berimplikasi positif
pada pencapaian tujuan negara yang diharapkan. Artinya, tujuan negara akan dapat
dicapai manakala didukung oleh kualifikasi warga negara yang baik. Pertanyaan
yang mengemuka adalah bagaimana karakteristik warga negara yang baik itu ?

Banyak para ahli (experts) yang mencoba mengidentifikasikan ciri-ciri warga negara
yang baik itu, dan tentu saja dengan sudut pandang atau perspektif yang berbeda.
Dynneson,Gross & Nickel (1989) mengemukakan bahwa : a good citizens is one
who cares about the welfare of other, is ethical in his dealing with others, is able to
challenge and critically question ideas, proposal and suggestions, and in light of
existing circumstances, is able to make good choice based upon good judgments.

Merujuk pada pendapat diatas, warga negara yang baik adalah yang memiliki
kepedulian terhadap keadaan yang lain, memegang teguh prinsip etika dalam
berhubungan dengan sesama, berkemampuan untuk mengajukan gagasan atau ide-ide
kritis, dan berkemampuan membuat menentukan pilihan atas dasar pertimbangan-
pertimbangan yang baik.

Dengan merujuk pada CCE (Center for Civic Education), Winataputra&


Budimansyah (2007) berpendapat bahwa warga negara yang baik harus memiliki
pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan
(civic skill), dan watak kewarganegaraan (civic dispotition). Perpaduan ketiganya
diyakini akan membentuk “the ideal democratic citizen”. Secara jelas aspek
kompetensi dan sub aspek dari karakteristik warga negara yang baik tertera pada
Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Aspek Kompetensi dan sub aspek dari karakteristik warga negara yang baik

No Aspek Kompetensi Sub aspek


1 knowledge  Why do we need a government ?
 The porpose of government
 Constitusional principles
 Structure of government
 Concepts,principles, and values underlying the
political system, (i.e
authority,justice,diversity,rule of law)
 Individual rights (personal, political,economic)
 Responsibilities of citizen
 Role of citizen in a democracy
 How the citizen can participate in community
decision.

2 Skills  Critical thinking skills: gather and asses


information, clarify and prioritize, identify and
asses concequences, evaluate, reflect.
 Participations skills: communicate, negotiate,
cooperate, manage conflict pacefully and fairly,
reach concensud.
3 Attitude/beliefs  Personal character: moral responsibility, self
discipline, respect for individual dignity and
diversity of opinion (emphaty).
 Public character: respect for the law, willingness
to participate in public affairs, commitment to
the rule of the majotrity with respect for the
rights of the minority, commiyment to the
balance between self-interest and the common
welfare, willingness to seek change in unjust
laws in peaceful and legal manner.

4 Civic dispotition  Civility, respect for the roghts of other


individuals, respects for law, honestly, open
mindedness, critical mindedness, negotiation
and compromise, persistence, compassion,
patriotism, courage, tolerance of ambiguity.
3.5. Karakteristik warga negara yang cerdas

Warga negara yang cerdas erat kaitannya dengan kompetensi warga negara, sebab
warga negara yang cerdas mesti memenuhi sejumlah kompetensi serta mampu
mengaplikasikannya dalam praktek kehidupan sehari-hari. Kompetensi merupakan
sejumlah kemampuan yang direfleksikan dalam suatu perbuatan atau perilaku sehari-
hari. Warga negara sebagai bagian penting dari eksistensi negara sudah barang tentu
dituntut ntuk memiliki kompetensi atau kemampuan-kemampuan yang direfleksikan
dalam sikap, perilaku atau perbuatan sebagai warga negara.

Terkait dengan kompetensi warga negara, seorang ahli yang bernama Ricey
mengungkapkan ada enam kompetensi dasar (basic competencies) warga negara
yaitu (1) kemampuan memperoleh informasi dan menggunakan informasi, (2)
membina ketertiban, (3) membuat keputusan, (4) berkomunikasi (5) menjalin kerja
sama dan (6) melakukan berbagai kepentingan secara benar.

Agar anda benar-benar memahami unsur-unsur kompetensi dasar warga negara itu,
berikut diuraikan satu demi satu masing-masing kompetensi tersebut :

1. Kemampuan memperoleh dan menggunakan informasi

Warga negara yang cerdas dalam konteks kehidupan era informasi dewasa ini,
tidak saja dituntut untuk mengetahui berbagai informasi yang berkenaan dengan
berbagai hal baik dalam lingkup lokal, nasional, regional, maupaun internasional.,
melainkan dituntut pula untuk selalu berupaya mencari untuk memperoleh
informasi bahkan mampu menggunakan informasi tersebut secara efektif.

Seorang peramal masa depan (futurolog) yakni Alfin Toffler mengatakan bahwa
era kehidupan manusia dewasa ini adalah masyarakat informasi sebagai
perkembangan dari era kehidupan dari masyarakat sebelumnya yakni masyarakat
industri. Masyarakat informasi ditandai dengan kemajuan yang cukup pesat
dalam bidang teknologi informasi atau dikenal pula information technology (IT),
yang memberikan peluang dan kemudahan bagi setiap orang untuk memperoleh
informasi dalam waktu yang relatif singkat. Berbagai media teknologi informasi
seperti internet saat ini telah menjadi media yang sangat membantu dalam setiap
mengakses informasi dari berbagai penjuru dunia.

Namun perlu diingat, bahwa dalam mencari, memperoleh, dan menggunakan


informasi tersebut, setiap warga negara harus tetap berpedoman kepada nilai-nilai
ideologi Pancasila kita yakni Pancasila dan nilai-nilai agama yang kita yakini.
Mengapa hal ini penting ? sebab, pada dasarnya informasi yang kita terima
tersebut bermuatan dengan nilai-nilai (value laden) sesuai dengan asal muasal
atau sumber informasi tersebut. Disinilah diperlukannya ada proses filterisasi atau
penyaringan terhadap informasi yang masuk dan kita terima tersebut, dengan
merujuk pada nilai-nilai agama serta nilai-nilai ideologi yang kita pegang. Hal ini
diperlukan agar informasi tersebut pada tataran implementasinya atau praksisnya
tidak menimbulkan beragai pertentangan terutama pertentangan dengan nilai dan
moral yang dijunjung oleh bangsa Indonesia.

Apabila setiap warga negara mampu mencari informasi serta menggunakan


informasi tersebut, maka akan banyak memperoleh kemanfaatan, diantaranya
yaitu :
a) Memperluas wawasan pemikirannya, sebab dengan informasi akan terbuka
pola pikirannya yang sangat memungkinkan baginya untuk berkembang dan
meningkat daya pikirnya.
b) Mengetahui perkembangan informasi yang terjadi, sehingga ia tidak
digolongkan sebagai orang yang tidak ketinggalan informasi.
c) Meningkatkan keterampilan mengambil keputusan (decision making) atas
masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupannya sehari-hari.
d) Mendorong keterampilan berpikir kritis dan kreatif, yang sangat menunjang
terwujudnya karakter warga negara yang cerdas, bertanggungjawab, dan
berpartisipasi.

2. Menjaga dan membina ketertiban


Warga negara yang cerdas adalah warga negara yang mampu menjaga dan
membina ketertiban. Sedangkan ketertiban dalam kehidupan masyarakat akan
terwujud apabila setiap warga negaranya memiliki kesadaran yang kuat atas
segala peraturan atau norma-norma yang berlaku serta mampu mengamalkannya
dalam praktek kehidupan sehari-hari. Suatu hal yang mustahil akan terciptanya
ketertiban masyarakat, tanpa adanya keadaran serta kepatuhan terhadap norma-
norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, warga nnegara yang
cerdas itu senantiasa memiliki komitmen serta kesadaran untuk mengetahui,
memahami, serta melaksanakan segala aturan atau norma yang berlaku, dalam
rangka membina ketertiban masyarakat.

Menurut Soerjono Soekanto (1990) terdapat empat indikator penting dalam


mengembangkan kesadaran hukum warga negara, yaitu (1) pengetahuan hukum,
(2) pemahaman hukum, (3) sikap hukum, dan (4) perbuatan hukum. Keempat
indikator tersebut harus dimiliki oleh setiap warga negara jika ingin mewujudkan
suasana kehidupan yang tertib, aman, dan damai. Dengan memiliki kesadaran
hukum yang baik pada setiap diri warga negara, maka akan dapat dihindari warga
negara yang permisif, yakni warga negara yang menghalalkan berbagai macam
cara untuk mencapai apa yang diinginkannya, sekalipun harus melibas hak dan
kepentingan orang lain. Sikap seperti itu, sanagat tidak sesuai sebagai warga
negara yang cerdas dan demokratis.
Berikut ini dikemukakan beberapa contoh sikap dan perbuatan yang mesti
dilakukan oleh setiap warga negara yang cerdas, yaitu:
a) Menggunakan hak yang dimiliki sesuai dengan kaidah-kaidah normatif
yang berlaku, seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan
dan norma hukum.
b) Menghargai hak dan kewajiban serta kepentingan orang lain.
c) Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, seperti pendapat, ide,
pemikiran, dan sebagainya.
d) Menjunjung tinggi toleransi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
e) Menerima keanekaragaman sosial, politik, ekonomi, dan budaya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
f) Memecahkan konflik dengan mengedepankan cara yang menghindari
kekerasan, melainkan, dengan cara-cara yang mengandung perdamaian.

3. Membuat keputusan

Coba anda bayangkan, pernahkah dalam kehidupan keseharian baik yang telah
lalu,saat ini ataupun yang akan datang tidak berhadapan dengan pengambilan
keputusan ?. Jawabnya, tentu tidak pernah bukan ?. Mengapa demikian ? Hal ini
dikarenakan setiap saat kita dihadapkan kepada pengambilan keputusan (decision
making) berkait dengan masalah-masalah yang kita hadapi dalam kehidupan di
masyarakat, keluarga, lebih-lebih kehidupan bangsa dan negara. Dalam konteks
ini, warga negara yang cerdas (civic intelligence) adalah warga negara yang
mampu mengambil keputusan secara cerdas. Pengambilan keputusan itu tidak
didasari sikap yang emosional, melainkian oleh sikap dan tindakan yang rasional,
logis, dan sistematis. Keputusan yang didasari pikiran dan spirit yang rasional,
sistematis, dan logis, akan menjadikan keputusan tersebut memiliki kebermaknaan
(meaningfulness) bagi diri sendiri maupun bagi warga masyarakat lainnya.

Berkaitan dengan pentingnya membuat atau mengambil keputusan dengan cara


yang cerdas dan baik itu, Nu’man Soemantri (2001) sangat merekomendasikan
pentingnya dialog kreatif (creative dialogue) sebagai wahana untuk memcahkan
masalah yang dihadapi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Esensi
dari dialog kreatif pada dasarnya merupakan pendekaan pendidikan dalam
memecahkan masala-maslah bangsa, dengan menghindari sifat-sifat egois,
liberalistik, dan praktek otoriter yang sangat merugikan kehidupan masyarakat
dan bernegara. Ditegaskan bahwa dialog kreatif sebagai metode pendidikan akan
membantu terwujudnya cita-cita luhur bangsa, manakala dapat menggeser
akumulasi close areas, intra-personal conflicts, menjafi inter-personal conflicts,
yang diarahkan untuk proses pengambilan keputusan/pemecahan masalah secara
adil bertanggungjawab dalam wadah dan semangat demokrasi pancasila.
4. Kemampuan berkomunikasi

Dalam berkomunikasi, wujud komunikasi baik secara lisan maupun tulisan yang
diekspresikan warga negara yang cerdas bukan sekedar informasi yang hampa
makna (meaningless) melainkan berisiskan pesan-pesan informasi yang memiliki
atau berbobot makna (meaningful). Dalam teori komunikasi kita mengenal adanya
unsur-unsur komunikasi yaitu pembicara, pesan, media, dan penerima pesan.
Dengan mengacu kepada teori tersebut, komunikasi yang hendaknya
dibangun leh warga negara yang cerdas adalah komunikasi memenuhi unsur-unsur
tersebut, sehingga komunikasi yang terjalin benar-benar berjalan secara efektif
(effective communication).

Dalam kaitan ini, patut dicermati pandangan seorang ahli bernama Gerarld S.
Nirenberg dalam bukunya yang berjudul “getting through to people” sebagaimana
dikutip Dale Carnegie (1993) yang mengatakan “kerjasama dalam percakapan
dapat tercapai apabila anda menunjukan bahwa anda menganggap ide dan
perasaan orang lain sama pentingnya seperti milik anda”. Makna pendapat
tersebut bahwasanya dapat menjalin komunikasi, maka penghargaan tentang
pentingnya ide perasaan orang yang diajak berkomunikasi itu sanagt penting dan
tidak dapat diabaikan untuk dapat memperoleh kemanfaatan dari komunikasi
tersebut.

Dengan kemampuan berkomunikasi ini, warga negara dapat menyampaikan


aspirasinya serta ekspektasi atau harapan kepada pemerintah untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya dengan “kemacetan komunikasi” antara
warga negara dan negara atau pemerintah, maka akan mendorong timbulnya
berbagai persoalan kehidupan bangsa, seperti ketidakpercayaan rakyat kepada
pemerintah, sehingga pemerintah tidak memperoleh legitimasi dari rakyat sebagai
pemilik kedaulatan tertinggi dalam kehidupan negara dan bangsa.

Perwujudan komunikasi efektif yang harus dikembangkan warga negara yang


cerdas antara lain dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
a) Menyampaikan ide-ide kritis kepada pemerintah baik dalam mengusulkan
program tertentu maupun dalam memecahkan masalah yang dihadapi;
b) Ikut serta mengkomunikasikan berbagai program pemerintah sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing sebagai bagian dari
partisipasi bagi kehidupan bangsa dan negara.
c) Menggunakan atau memanfaatkan saluran-saluran komunikasi yang
benar dalam menyampaikan berbagai tuntutan, harapan, keinginan,
maupun apresiasi terhadap pemerintahannya.
d) Mengembangkan etika komunikasi baik sesama warga negara maupun
dengan negara dan pemerintahannya.

5. Kerjasama

Warga negara yang cerdas mesti menyadari bahwa keberadaan atau eksistensinya
tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan anggota masyarakat yang lain.
Karenanya, sikap yang dikembangkan dari kesadaran tersebut adalah menjalin
kerjasama yang baik sesama warga masyarakat. Dengan cara menghindari sikap-
sikap yang egoistik, materialistik, liberalistik, dan otoriter. Sebaliknya sikap yang
harus dikembangkan adalah sikap-sikap yang dikonsepsikan oleh Bar Tal sebagai
Prosocial, yakni bentuk-bentuk positif dari perilaku masyarakat dengan
masyarakat lain atau kepada dirinnya.

Sementara itu, Wispe (1972) mengartikan perilaku prososial yakni merupakan


perilaku yang antitesis dan perilaku menyerang, perilaku sikap prososial itu
seperti sikap simpati, mendahulukan kepentingan orang lain, sikap dermawan,
bekerja sama, dan lain-lain.

Sikap prososial yang harus dimiliki dan dilaksanakan oleh warga negara yang
cerdas direfleksikan dalam sikap-sikap diantaranya adalah (Sumantri,1999)
a) Mendahuulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau
golongan
b) Saling menolong dan membantu
c) Menjunjung tinggi hak asasi manusia yang berakar pada moral
d) Bersikap demokratis yang sehat dan berakar agama
e) Berperilaku saling memberi
f) Berperilaku saling meminjam dengan jujur

6. Melakukan berbagai kepentingan dengan benar

Merupakan fakta yang tak terbantahkan apabila setiap individu warga negara
memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Akibatnya, tidak jarang timbul
pertentangan atau konflik dalam kehidupan warga negara. Secara teoritis, kita
mengenal adanya bentuk-bentuk pertentanagan atau atau konflik yakni
intrapersonal conflict, yaitu pertentangan atau konflik yang timbul dalam diri
setiap warga negara sebagai individu. Sedangkan interpersonal conflict,
merupakan konflik atau pertentangan yang melibatkan individu yang satu dengan
yang lainnya sebagai anggota masyarakat.

Terjadinya pertentangan atau konflik tersebut manakala setiap kepentingan


tersebut dalam pelaksanaannya tidak mempertimbangkan kepentingan pihak lain.
Sehingga timbullah pertentangan kepentingan, yang apabila tidak diantisipasi atau
dicarikan jalan pemecahannya akan menganggu suasana kehidupan masyarakat.

Dalam kaitan ini, agar kepentingan tersebut tidak saling bertentangan dalam
pelaksanaannya, setiap individu harus memperhatikan kaidah-kaidah atau sistem
norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Benar, setiap orang berhak
melaksanakan kepentingannya, namun, patut diingat bahwa pada saat bersamaan
pula orang lain akan menggunakan kepentingan yang dimilikinya. Disinilah
sikap toleran, disiplin, tanggung jawab, respek terhadap kepentingan orang lain,
sangat penting diterapkan agar kepentingan yang dilaksanakan tidak menimbulkan
pertentangan yang bukan tidak mungkin, akan dapat merusak harmonisasi
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Warga negara yang cerdas senantiasa menempatkan kepentingannya dalam


konteks kepentingan orang lain, artinya dalam menggunakan kepentingan tersebut
selalu memperhatikan atau mempertimbangkan keberadaan kepentingan orang
lain. Pada sisi lain, ia amat peka terhadap keadaan orang lain. Dengan cara seperti
ini, akan dapaat dihindari adnya pertentangan kepentingan atau konflik, yang
potensial dapat mengganggu keharmonisan kehidupan masyarakat. Sekalipun
akan muncul konflik atau pertentangan kepentingan tersebut masih dalam batas-
batas yang bisa ditoleransi oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

3.6. mmmm

3.7. Mmmmmmmmm

3.8.

A. Warga negara yang cerdas

1. Karakteristik warga negara yang cerdas

B. Dimensi-dimensi Kecerdasan Warga Negara


Warga negara yang cerdas (civic intelligence) sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup
bagsa dan negara, tidak terkecuali bangsa Indonesia. Lebih-lebih, bangsa Indonesia saat ini tengah
berusaha untuk bangkit kembali dari keterpurukan yang melanda kita. Dalam konteks inilah, warga
negara yang cerdas mamiliki peranan yang penting untuk berkiprah secara optimal dalam rangka
mengangkat kembali bangsa Indonesia menuju peradaban baru yang lebih modern dan demokratis.
Dengan warga negara yang cerdas itu disamping akan mengangkat martabat bangsa, juga akan
menjadikan bangsa Indonesia sebagai negara dan bangsa yang kompetitif dalam percaturan global saat
ini. Meski diakui bahwa mewujudkan warganegara yang cerdas tidaklah mudah atau bersifat instan,
melainkan memerlukan waktu dan proses yang relatif lama, karena hal ini berkaitan dengan aspek-
aspek atau dimensi-dimensi yang utuh secara pengetahuan, pemahaman, sikap, dan perilaku.
Warga negara yang cerdas sebagaimana hendak diwujudkan melalui pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) tidak semata-mata memenuhi kualifikasi cerdas secara
intelektual (Intellectual Quotion) melainkan cerdas secara emosional (Emotional Intelligence), cerdas
spirirtual (Spiritual Intelligence), cerdas secara moral (Moral Intelligence). Oleh karena penting untuk
diusahakan bagaimana memadukan dimensi-dimensi tersebut.
Kecerdasan intelektual harus di-back up dengan kecerdasan emosional, spiritual, dan moral,
agar dalam implementasinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan serta norma-
norma yang berlaku. Seringkali kecerdasan intelektual yang dipresentasikan dengan berpikir rasional
namun mengabaikan nilai-nilai moral, nilai-nilai agama, dan nilai-nilai kemanusiaan, akan menggiring
kepada sifat sombong, angkuh, ataupun congkak karena menganggap sumber kebenaran adalah rasio
atau akal manusia semata-mata. Pandangan inilah yang harus dinegasikan atau dihilangkan dan
diluruskan agar tidak menyeret lebih jauh warga negara kepada sifat-sifat yang mendewakan akal dan
pikirannya itu.
Kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman diwujudkan dalam bentuk sikap dan
perbuatan yang menghargai orang lain, menghormati kepentingan orang lain dalam kehidupan sehari-
hari. Sikap dan perilaku seperti itulah yang harus dilaksanakan warga negara dalam kehidupannya
sehari-hari. Kecerdasan emosional membimbing dan mengarahkan warga negara untuk peka dan
respek terhadap keadaan sesamanya, serta toleran terhadap perbedaan yang ada. Benih-benih
permusuhan atau pertentangan yang potensial timbul, lambat laut akan “mencair” seiring dengan sifat-
sifat dan sikap-sikap yang mencerminkan kecerdasan emosional tersebut. Goleman berkesimpulan
bahwa kemampuan mengelola emosi merupakan syarat yang dibutuhkan untuk menggunakan nalar,
logika, dan bakat (IQ). Kontribusi IQ paling banyak sekitar 20% terhadap keberhasilan hidup, 80%
sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain: sehimpunan faktor yang disebut kecerdasan emosional
(EQ). Pilar utama IQ adalah nalar, sedangkan EQ memiliki pilar utama yaitu perasaan atau ( mood and
affect).
Menurut pendapat Steve Hein (Ubaedy, 2005) pilar utama EQ adalah BARE (Balance,
Awareness, Responsibility, Emphaty). Temuan ilmiah terhadap orang-orang yang kurang melatih
keseimbangan antara empat pilar EQ akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :
a) Mudah dibuat kalut oleh perubahan buruk (bad handling change);
b) Kurang mampu bekerja sama, bekerja dalam tim, mudah patah dalam menjalin
hubungan dengan orang lain;
c) Sering terputus hubungan dengan diri sendiri sehingga gampang kalap;
d) Mudah terserang virus yang bernama “burn-out” (kehilangan motivasi, kehilangan
inspirasi, kehilangan jurus beraksi/missing action);
e) Mudah terkena gigitan virus “over” antara lain mudah kebablasan atau terlalu hati-
hati (over caution).
Sebagaimana pernah dikatakan Jack Mayor (dikutip Ubaedy & Ratrioso, 2005) bahwa
kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) merupakan sehimpunan kemampuan mental yang
dapat membantu seseorang untuk menyadari perasaan (feeling) tertentu di dalam dirinya dan di dalam
diri orang lain.
Kecerdasan moral berkenaan dengan kemampuan untuk senantiasa melandasi sikap dan
perilaku dengan nilai moral yang baik. Moral yang baik tersebut akan dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti lingkungan sosial, keluarga, masyarakat, dan media. Warga negara yang cerdas
senantiasa membentengi dirinya dengan sikap dan perilaku moral yang baik, dan menghindari
perilaku moral yang buruk yang bertentanagan dengan nilai-nilai moralitas masyarakat, bangsa, dan
negara. Sumber moralitas yang mesti dijadikan acuan atau rujukan oleh setiap warganegara adalah
agama sesuai keyakinan serta ideologi bangsa kita yakni Pancasila.
Dalam bukunya yang berjudul Building Moral Intelligence, Michele Borba mengemukakan
tujuh sifat kebajikan esensial yang meliputi emphaty, conscience, self-control, respect, kindness,
tolerance, and fairness. Menurut Borba untuk membangun kecerdasan moral tersebut dilakukuan
secara bertahap (step by step) yang disesuaikan dengan tingkatan usia anak dan perkembangan anak.
Selanjutnya, Borba mengemukakan definisi atau pengertian tujuh kebajikan itu sebagai berikut:
No Virtues Definition
1 Emphaty Identifying with and feeling feeling other’s people’s concern
2 Conscience Knowing the rights and decent way to act and acting that way
3 Self-control Regulating your thoughts and actions so that you stop any pressure from
within or without and act the way you know and feel is right
4 Respect Showing you value others by treating them ina courteous and considerate
war
5 kindness Demonstrating concern about the welfare and feelings of others
6 Tolerance Respecting the dignity and rights of all person, even those whose beliefs
anfd behaviors differ from our own
7 Fairness Choosing to be open minded and to act in ajust and fair way

Sementara itu, kecerdasan spiritual berkenaan penanaman, pemahaman, serta pengamalan


nilai-nilai agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, sikap
dan perilaku yang diwujudkan oleh warga negara yang cerdas adalah senantiasa dipancari oleh nilai-
nilai dan ajaran agama yang mutlak kebenarannya.
Berkenaan dengan kecerdasan spiritual, Donsh Zohar & Marshall (Ubaedy, 2005)
mengatakan bahwa di dalam pikiran manusia ada titik yang disebut dengan titik Tuhan (God Spot)
yang selalu menyuarakan hal-hal yang benar kepada manusia. Titik inilah yang menjadi pilar dari
kecerdasan spiritual atau mnurut Peter Steperd disebut juga dengan kecerdasan hati (Heart
Intelligence). Ditegaskan lebih lanjut, bahwa spiritual kita akan menjadi cerdas kalau kita cerdaskan,
yakni dengan menggunakan hati kita untuk menangkap kebenaran, mengimani kebenaran, serta
memahami kebenaran itu.
Dikatakan lebih lanjut menurut Zohar & Marshall bahwa orang yang selalu mencerdaskan
spiritualitasnya akan memiliki bebrapa kualitas diri antara lain sebarai berikut:
a) Memiliki kelenturan (flexibility), seperti watak air: kuat tapi tidak keras
b) Memiliki kesadaran diri yang tinggi (self awareness); tahu diri, tahu kemampuan
diri, tahu apa yang harus dilakukan, dan tahu apa yang harus dihindarinya.
c) Memiliki kapasitas untuk memperdayakan penderitaan hidup.
d) Memiliki kualitas hidup yang bersumber pada visi masa depan dan memedomani
nilai-nilai kebenaran yang kokoh (dunia dan akhirat).
e) Memiliki kemampuan untuk menghindari hal-hal yang tidak penting.
f) Memiliki kemampuan untuk menemukan alasan, jawaban, dan makna hidup.
g) Memiliki kemampuan untuk menolong atau berbuat baik kepada orang lain.
Sedangkan orang yang membiarkan kemampuan spiritualitasnya dan tidak mau
mendengarkan suara hati maka akan cenderung memiliki kekurangan-kekurangan sebagai berikut:
a) Fanatisme buta terhadap kebenaran dan keyakinan yang tidak dicerahkan oleh akal.
b) Kebrutalan sosial, sadisme, dan berbagai kecenderungan negatif lainnya.
c) Mudah kehilangan kontrol diri, penyalahgunaan kekuasaan, dan lain-lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan kiranya bahwa warganegara yang cerdas yang
hendak diwujudkan adalah warganegara yang cerdas secara utuh meliputi dimensi kecerdasan
emosional, dan kecerdasan moral. Dengan bahasa yang sederhana warga negara Indonesia yang cerdas
adalah yang cerdas otak atau akalnya, cerdas hatinya, cerdas perasaannya, serta cerdas moralnya.
Warga negara yang cerdas merupakan warga negara yang mampu memberdayakan segala
potensi yang dimilikinya serta diaktualisasikan dalam kehidupan ril. Menurut Stewart (1994)
pemberdayaan (empowernment) adalah suatu kualitas daya internal kepribadian individu atau
organisasi dalam mewujudkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Merujuk kepada pengertian
tersebut maka dapat ditegaskan bahwa pemberdayaan warga negara untuk mewujudkan warga negara
yang cerdas ini berkenaan dengan kualitas daya internal kepribadian warga negara dalam mewujudkan
dirinya dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Adapun potensi-potensi warga negara yang
harus diberdayakan tersebut khususnya generasi muda meliputi potensi yang dapat didemonstrasikan
(demonstrated talents) dan potensi yang masih tersembunyi atau terselubung (latent talents).

C. Mengembangkan potensi dasar warganegara


Setiap warganegara memiliki potensi dasar mental yang dapat dikembangkan, yang menurut
Nursid Sumaatmadja (1989) meliputi (1) minat (sense of interest); (2) dorongan ingin tahu (sense of
curiosity); (3) dorongan ingin membuktikan kenyataan (sense of reality); (4) dorongan ingin
menyelidiki (sense of inquiry); (5) dorongan ingin menemukan sendiri (sense of discovery).
Untuk memperoleh pemahaman tentang potensi-potensi tersebut, akan dijelaskan satu demi
satu sebagai berikut :

1. Minat (sense of interest)


Minat secara singkat diartikan sebagai keinginan atau kehendak terhadap sesuatu.
Setiap manusia pasti mempunyai berbagai keinginan untuk diwujudkan dalam kehidupannya.
Betapa pentingnya minat atau keinginan ini sebagai salah satu potensi dasar manusia, ada suatu
pepatah inggris yang berbunyi “a man without ambition is like a bird without a wing”, yang
artinya orang yang tidak mempunyai keinginan (cita-cita, harapan, kehendak, atau ambisi)
diibaratkan sebagai seekor burung tanpa sayap. Makna pepatah tersebut menunjukkan
betapa minat atau keinginan tersebut merupakan hal yang tak terpisahkan dalam individu
manusia.

2. Dorongan ingin tahu (sense of curiosity)


Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendapati sesuatu yang mengundang rasa
keingintahuan kita. Apakah sesuatu itu yang telah kita ketahui, dan kita ingin mengetahui
lebih banyak lagi tentangnya. Lebih-lebih sesuatu yang sebelumnya tidak pernah kita
ketahui, akan mengundang perhatian kita untuk mengetahui seluk beluk suatu objek itu.
Dengan begitu, kita akan memperoleh kesenangan tersendiri. Jadi, rasa ingin tahu terhadap
sesuatu atau objek yang ada dalam kehidupan kita merupakan bagian tak terpisahkan dari
keberadaan kita sebagai makhluk yang dikaruniai akal pikiran untuk merenungkan atau
memikirkan berbagai “teka-teki” dalam arena kehidupan ini.

3. Dorongan ingin membuktikan kenyataan (sense of reality)


Dorongan ini berkaitan dengan sense of curiosity yang melekat pada diri manusia,
karena rasa ingin tahu terhadap suatu atau objek, diantaranya didorong oleh keinginannya
untuk membuktikan kenyataan yang terjadi. Bukankah dalam kehidupan kita sehari-hari
banyak hal-hal yang mengundang pertanyaan yang untuk memperoleh jawaban yang
sebenarnya harus melalui pembuktian yang berupa kenyataan yang sebenarnya.

4. Dorongan ingin menyelidiki (sense of inquiry)


Berbagai permasalahan sering kali terjadi dalam kehidupan di sekitar kita. Tidak
jarang permasalahan tersebut membutuhkan penyelidikan secara mendalam untuk
memperoleh jawaban yang memuaskan. Dorongan untuk menyelidiki pada dasarnya timbul
manakala kita ingin mengethui sesuatu objek itu secara lebih utuh, sehingga dapat memuaskan
kita.

5. Dorongan ingin menemukan sendiri (sense of discovery)


Tak dapat kita pungkiri, bahwa kita berkeinginan untuk menemukan sesuatu sebagai
sebuah kebanggan yang dapat kita raih. Karenanya, manusia berlomba- lomba sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya untuk menemukan sesuatu yang bersifat lebih “baru” dan
“bermanfaat” bagi kehidupan manusia. Di sinilah sangat diperlukan sifat kreatif pada diri
manusia untuk meraih keinginan untuk menemukan sesuatu yang berharga bagi kehidupan.
Dari kelima potensi dasar sebagaimana diuaraikan di atas, maka potensi minat
(sense of interest) merupakan kunci untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi yang
lainnya. Tegasnya, jka minat atau keinginan pada diri manusia tidak ada atau kurang
memadai, maka akan mempengaruhi terhadap rendahnya potensi yang lainnya.
Sebaliknya, jika minat atu keinginan yang dimiliki dalam keadaan sangat baik, maka akan
memicu/mendorong aktualisasi atau pelaksanaan potensi dasar mental yang lainnya.

D. Warga negara yang parsitipatif


1. Apa dan Mengapa partisipasi ?
Setiap warga negara dituntut untuk berpartisipasi atau terlibat dalam berbagai kegiatan yang
dilakukan bangsa dan negaranya. Apakah partisipasi itu ? partisipasi lazimnya dimaknai sebagai
keterlibatan atau keikutsertaan warga negara dalam berbagai kegiatan kehidupan bangsa dan negara.
Partisipasi yang dapat diberikan bervariasi bentuknya seperti partisipasi secara fisik maupun
secara non fisik. Tentu saja, partisipasi yang terbaik adalah partisipasi yang bersifat otonom yakni
partisipasi atau keterlibatan warga negara atau masyarakat yang dilandasi oleh kesadaran dan
kemauan diri. Ada tiga bentuk partisipasi menurut Koentjaraningrat (1994) yaitu (a) berbentuk tenaga,
(b) berbentuk pikiran, dan (c) berbentuk materi (benda). Dalam partisipasi yang berbentuk negara
dimana warga negara terlibat atau ikut serta dalam berbagai kegiatan melalui tenaga yang dimilikinya,
karenanya bentuk partisipai seperti ini disebut bentuk partisipasi fisik. Contohnya yaitu: ikut serta
dalam kegiatan kerja bakti atau gotong royong. Sementara itu, partisipasi dalam bentuk pkiran
dilakukan melalui sumbangan ide, gagasan, atau pemikiran untuk memecahkan masala-masalah yang
dihadapi bersama dan untuk kebaikan bersama pula. Contohnya yaitu: menyampaikan saran atau
masukan kepada pemerintah baik secara lidan maupun tertulis melalui media tertentu (koran, majalah,
televisi, maupun radio, dll) yang disampaikan dengan cara yang baik dan konstruktif. Sedangkan
berpartisipasi dalam bentuk materi berhubungan dengan benda atau materi tertentu sebagai
perwujudan dalam keikutsertaan warga negara tersebut. Contohnya yaitu: memberikan sumbangan
atau bantuan kemanusiaan bagi korban bencana alam, dan sebagainya.
Partisipasi merupakan salah atu ciri warga negara yang baik. Tidak ada alsan bagi seorang
warga negara untuk tidak berpartisipasi, karna partisipasi merupakan suatu keharusan bagi warga
negara, sebagai pemilik kedaulatan. Tanpa adanya partisipasi warga masyarakat maka kehidupan
demokrasi akan terhambat dalam perkembangannya.
Secara umum partisipasi dapat dirumuskan sebagai keikutsertaan atau keterlibatan warga
negara dalam proses bernegara, berpemerintahan, dan bermasyarakat. Ada tiga unsur yang harus
dipenuhi untuk dapat dikatakan warga negara berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa, benegara, dan
berpemerintahan (Wasistiono, 2003), yaitu: (a) ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan); (b) ada
keterlibatan secara emosional; (c) memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari
keterlibatannya.
Warga negara yang partisipatif adalah warga negara yang senantiasa melibatakan diri atau
ikut serta dalam berbagai kegiatan dalam konteks kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, baik
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya maupun keamanan. Jadi lingkup partisipasi itu
meliputi partisipasi politik, partisipasi sosial, partisipasi dalam bidang ekonomi, budaya, dan
partisipasi dalam bidang keamanan. Mesti diakui bahwa mewujudkan warga negara yang partisipatif
tidaklah semudah yang dibayangkan, mengingat luasnya aspek-aspek yang berkaitan dengan
pengetahuan, pemahaman, sikap yang bersifat subjektf. Untuk mewujudkan warga negara yang
partisipatif itu diperlukan kesadaran (consciousness) dan komitmen (commitment) yang tinggi dari
setiap warga negara.

2. Partisipasi Politik
Apakah partisipasi politik itu ? dan bagaimana pentingnya partisipasi politik itu ? pertanyaan
inilah yang akan dibahas dalam bagian ini. Untuk memahami pengertian partisipasi politik akan
dikemukakan pandangan para ahli diantaranya adalah Rush dan Althoff (1993) yang mendefinisikan
partisipasi politik sebagai keterlibatan atau keikutsertaan individu warga negara dalam sistem politik.
Huntington dan Nelson (1990) mengartikan partisipasi dalam konteks politik yagn
selanjutnya dikonsepsikan partisipasi politik yaitu kegiatan warga negara preman (private citizen)
yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Lebih lanjut Hunington dan
Nelson menekankan 3 (tiga) hal yang terkandung dalam pengerian partisipasi politik tersebut yaitu :
pertama, partisipasi mencangkup kegiatan-kegiatan politik yang objektif, akan tetapi tidak sikap-sikap
politik yang subjektif. Kedua, yang dimaksud warga negara preman adalah warganegara sebagai
perorangan-perorangan dalam berhadapan dengan masalah politik. Ketiga, kegiatan dalam partisipasi
politik itu difokuskan untuk mempengaruhi penambilan keputusan pemerintah.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa partisipasi politik adalah
keterlibatan warga negara dalam kehidupan sistem politik, yang mana disesuaikan dengan
kemampuan yang dimiliki masing-masing warga negara.
Rush dab Althoff (1993) menguraikan bahwa luasnya partisipasi polititk dalam bentuk
hirarki atau berjenjang, yang dimulai dari yang rendah sampai ke yang tinggi yakni voting, aktif dan
diskusi politik, terlibat dalam rapat umum, demonstrasi, menjadi anggota pasif suatu organisasi semua
politik, keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik, keanggotaan pasif suatu organisasi politik,
keanggotaaan aktif suatu organisasi politik, mencari jabatan politik, dan terakhir mendududuki jabatan
politik atau administratif.
Partisipasi politik secara teoritis dapat dibedakan ke dalam dua bagian yaitu partisipasi
politik yang konvensional dan partisipasi politik yang non konvensional. (Mas’oed dan MacAndrew,
2000). Dijelaskan lebih lanjut bahwa bentuk konvensional dianggap sebagai kegiatan partisipasi
politik yang normal dalam negara demokrasi modern. Sedangkan bentuk non-konvensional adalah
bentuk partisipasi politik yang pada umumnya dianggap illegal karena di dalamnya penuh dengan
kekerasan dan bersifat revolusioner.
Berikut ini merupakan bentuk partisipasi politik sebagaimana dikemukakan Mas’oed dan
MacAndrew (2000):
Partisipasi politik konvevsional Partisipasi politik non-
konvensial

 Pemberian suara (voting)  Pengajuan petisi


 Diskusi politik  Berdemonstrasi
 Kampanye  Konfrontasi
 Membentuk dan aktif dalam  Mogok
kelompok kepentingan (interest  Tindakan kekrasan politik
group) terhadap harta benda
 Komunikasi individual dengan  Tindakan kekerasan politik
pejabat politik dan administratif terhadap manusia
 Perang gerilya dan revolusi

Banyak contoh lain partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh warga negara sesuai dengan
kemampuan masing-masing. Berikut dikemukakan beberapa contoh perwujudan atau manifestasi
partisipasi politik:

a. Mengkritisi secara arif terhadap kebijakan pemerintah


Setiap warga negara dituntut untuk senantiasa merespon dan mengkritisi berbagai kebijakan
yang digulirkan pemerintah. Di era keterbukaan seperti ini, bukan jamannya lagi warga negara hanya
menerima begitu saja setiap kebijakan yang diambil pemerintah, tanpa memberikan respon dan kririk
terhadap kebijakan tersebut. Budaya politik parochial kaula dimana warga negara bersifat pasif dan
cenderung menerima atas output politik dalam bentuk kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Respon dan kritik tersebut diwujudkan masyarakat melalui berbagai kegiatan diantaranya
melakukan demonstrasi atau unjuk rasa yang dilakukan dengan damai
(peace) dan secara konstitusional dalam menyikapi setiap kebijakan pemerintah. Terutama jika
kebijakan tersebut secara nyata dan jelas tidadk berpihak atau tidak membela kepentingan masyarakat
luas populis). Terlebih jaminan konstitusional yang memberikan jaminan tentang hak mengajukan
pendapat di muka umum telah diundangkan, yakni Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, memberikan peluang yang sangat terbuka bagi
anggota masyarakat untuk secara aktif dan positif mengajukan berbagai gagasan atau pandangannya
tentang kebijakan-kebijakan pemerintah.

b. Aktif dalam partai politik


Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh
kekuasaan politik dan memperoleh kedudukan politik-biasanya dengan cara yang konstitusional.
Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka. (Budiarjo, 1989)
Sementara itu seorang ahli politik yakni Roger H. Sultau, mendefinisikan partai politik
sebagai sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu
kesatuan politik dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, yang bertujuan untuk
menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.
Momen gerakan reformasi dewasa ini telah melahirkan sejumlah peluang yang cukup luas
bagi anggota masyarakat untuk terlibat dalam partai politik, sebagai salah satu bentuk penyaluran cara
berpolitik. Indikasinya adalah jumlah partai politik peserta pemilu 1999 yang berujumlah 48 partai
politik, dan pada pemilu 2004 silam yang diikuti oleh 24 partai politik.
Namun untuk menjadi anggota partai politik lebih-lebih menjadi pengurus aktif di dalamnya,
harus disertai dengan kesiapan mental psikologis, agar dapat menyesuaikan diri dengan nilai yang
berkembang dalam kehidupan partai politik tersebut.

c. Aktif dalam kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)


Lembaga Swadaya Masyarakat atau sering juga disebut dengan Ornop (orgsnisasi non
pemerintahan) atau dalam bahasa Inggris NGO (Non Governtmental Organization) merupakan wadah
yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk dapat mewujudkan cara berpolitik. Konsentrasi
kegiatan LSM adalah memberikan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, guns menuju
pemerrinthan yang baik, trnsparan, dan bertanggungjawab.

d. Diskusi politik
Dewasa ini berbagai acara diskusi politik berjalan dengan sangat pesatnya. Tidak hanya
bersifat diskusi dalam forum langsung, melainkan juga difasilitasi dengan media massa terutama TV
dan koran yang menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan partisipasi aktif anggota masyarakat
untuk melalui diskusi interaktif yang sengaja dikemas semenarik mungkin sehingga menarik minat
keterlibatan masyarakat. Wacana-wacana politik diangkat ke permukaan untuk memperoleh respon
dari masyarakat. Proses diskusi inilah yang merupakan bentuk pendidikan politik yang efektif guna
meningkatkan kemelekan politik dan kedewasaan politik warga masyarakat.
Agar partisipasi politik warga negara sebagaimana dikemukakan di atas dapat dilaksanakan
dengan baik, maka ada beberapa sikap yang harus dihindari yaitu (1) apatis, (2) sinis, (3) alienasi, (4)
anomie.

Apatisme
Secara sederhana apatis dapat didefiniskan sebagai tidak punya minat atau tidak punya
perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala pada umumnya dan pada khususnya. Ciri-ciri
apatisme dapat didefinisikan yaitu: (a) ketidakmampuan untuk mengakui tanggungjawab pribadi; (b)
rasa susah; (c) perasaan samar-samar; (d) tidak aman dan merasa terancam; (e) menerima secara
mutlak tanpa tantangan otoritas sah dan nilai-nilai konvensional; (f) pasif.

Sinisme
Sinisme merupakan perasaan yang menghayati tindakan dan motif orang lain dengan rasa
kecurigaan. Agger dalam Althoff (1993) mendefinisikan sinisme sebagai kecurigaan buruk dari sifat
manusia. Perwujudan sikap sinis diantaranya perasaan bahwa politik itu urusan kotor, para politisi
tidak dapat dipercaya, kekuasaan dilaksanakan oleh orang-orang “tanpa muka”, dan sebagainya.

Alienasi
Alienasi politik menurut Lane dalam Althoff (1993) sebagai perasaan keterasingan seseorang
dari politik dan pemerintah masyarakat, dan kecenderungan berfikir mengenai pemerintahan dan
politik bangsa dilakukan oleh orang lain dan untuk orang lain, mengikuti sekumpulan aturan-aturan
yang tidak adil.

Anomie
Lane dalam Althoff (1993) menjelaskan anomie sebagai perasaan kehilangan nilai dan
ketiadaan arah, dimana individu mengalami perasaan tidak efektif dan perasaan tidak dipedulikan oleh
penguasa negara, yang mengakibatkan hilangnya urgensi untuk bertindak, dan tidak terarahnya
tujuan-tujuannya.

e. Partisipasi sosial
Partisipasi sosial warga negara erat hubungannya dengan kegiatan atau aktivitas warganegara
sebagai anggota masyarakat untuk terlibat dan ikut serta dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Partisipasi sosial warga negara akan dilakukan dengan baik manakala didukung oleh kepekaan sosial
(social sensivity) yakni kondisi seorang atau individu warga negara yang mudah dan cepat bereaksi
terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Kepekaan sosial yang mapan (establish) pada diri
setiap warganegara akan mendorong terwujudnya warganegara partisipatif khususnya partisipasi
dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan.
Sebagai anggota masyarakat yang saling membutuhkan satu sama lainnya, merupakan suatu
kebutuhan yang tidak dapat dihindari untuk memiliki dan melaksanakan partisipasi sosial tersebut
antara lain yang diwujudkan dengan cara sebagai berikut:
a) Membantu anggota masyarakat yang membutuhkan baik bantuan moril maupun
materil sesuai dengan kemampuan yang dimiliki;
b) Turut serta membantu jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi dalam
kehidupan masyarakat;
c) Tidak menjadi beban masyarakat melainkan menjadi motor penggerak masyarakat
ke arah perubahan yang lebih baik;
d) Berpartisipasi dalam kegiatan kerja bakti atau gotong royong yang dilakukan oleh
masyarakat;
e) Turut menjaga keamanan, kenyamanan, dan ketertiban dalam kehidupan
masyarakat, antara lain dengan ikut serta siskamling atau memberikan sumbangan
untuk petugas keamanan;
f) Menjaga persatuan, kesatuan dan keutuhan masyarakat dengan cara mendahulukan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
Di samping contoh-contoh di atas, masih banyak contoh sikap dan perilaku
lainnya yang mencerminkan partisipasi sosial yang dapat dilakukan oleh setiap
warganegara dalam kehidupannya sehari-hari. Hal penting yang tidak boleh
diabaikan dalam melakukan partisipasi sosial tersebut adalah apakah partisipasi
sosial itu benar-benar telah didasari oleh keadaran dan komitmen yang kokoh
sebagai anggota masyarakat.

f. Partisipasi dalam bidang Ekonomi


Jika partisipasi politik berkenaan dengan keikutsertaan atau keterlibatan warga negara dalam
proses dan kegiatan politik, maka partisipasi ekonomi berkaitan dengan keikutsertaan atau keterlibatan
warga negara dalam pembangunan ekonomi masyarakat dan bangsa. Partisipasi dalam bidang
ekonomi yang dilakukan setiap warga negara dapat mendorong atau memacu pertumbuhan serta
perkembangan ekonomi yang mapan. Contoh partisipasi dalam bidang ekonomi yang dapat
dilakukan masyarakat antara lain:
a) Membayar pajak sesuai dengan ketentuan dan peraturan hukum yang berlaku;
b) Hemat dan cermat dalam menggunakan anggaran belanja sesuai dengan
kebutuhan;
c) Mensosialisasikan gerakan menabung untuk jaminan kehidupan masa yang akan
datang yang lebih baik dan cerah;
d) Bagi pejabat publik tidak menggunakan fasilitas negara untuk keperluan atau
kepentingan sendiri dan kepentingan keluarga serta kerabat terdekat;
e) Jika mungkin dapat menghimpun modal untuk kepentingan membangun lapangan
kerja baru yang diharapkan dapat menyerap tenaga untuk mengurangi angka
pengangguran;
f) Mengembangkan jiwa kewirusahaan dan entrepreneurship melalui berbagai usaha
mandiri yang kokoh dan terpercaya.

g. Partisipasi dalam bidang budaya


Keanekaragaman dan kekayaan khasanah budaya Indonesia sudah barang tentu harus dijaga
dan dilestarikan bahkan harus dikembangkan lebih baik lagi. Tujuan ini dapat dicapai manakala
berperan serta atau terlibat secara aktif untuk menjaga dan melestarikan budaya bangsa itu.
Beberapa contoh sikap dan perilaku yang mencerminkan partisipasi dalam budaya antara lain
yaitu:
a) Menghilangkan etnosentrisme dan chauvinisme;
b) Mencintai budaya lokal dan nasional;
c) Melakukan berbagai inovasi kreatif untuk menyokong pengembangan budaya
daerah.
Margaret Branson (1994) berpendapat untuk mencapai partisipasi warga negara yang
bermutu dan bertanggungjawab perlu dipenuhinya beberapa unsur yaitu:
1. Penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu. Jadi warga negara
atau masyarakat yang akan berpartisipasi harus memahami bidang atau aspek
dimana warga akan berprestasi.
2. Pengembangan intelektual dan partisipatoris. Jadi warga negara atau masyarakat
dengan partisipasi tersebut dapat mengembangkan intelektualnya dan teknik serta
strategi partisipatorisnya.
3. Pengembangan karakter atau sikap mental tertentu, yaitu dapat mengembangkan
karakter dan sikap mental yang harus terus dibina dan tidak keluar dari sikap dan
karakter bangsanya.
4. Komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi
konstitusional. Partisipasi tersebut harus tetap berdasarkan nilai dan prinsip-prinsip
fundamental dari demokrasi yang dalam hal ini demokrasi Indonesia sesuai
Pancasila dan UUD 1945.

E. Warga negara yang bertanggungJawab


1. Apa dan mengapa tanggungjawab ?
Sebelum membahas tantang apa sjakah karakteristik warga negara yang bertanggungjawab,
terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian konsep tanggungjawab. Apakah tangung jawab itu ?
Ridwan Halim (1988) mendefinisikan tanggungjawab sebagai suatu akibat lebih lanjut dari
pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak maupun kewajiban ataupun kekuasaan. Secara
umum tanggungjawab diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan suatu atau berperilaku menurut
cara tertentu.
Purbacaraka (1988) berpendapat bahwa tanggungjawab bersumber atau lahir atas
penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang untuk menggunakan hak atau/dan
melaksanakan kewajibannya. Lebih lanjut ditegaskan, setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap
penggunaan hak, baik yang dilakukan secara tidak meadai maupun yang dilakukan secara memadai
pada dasarnya tetap harus didasari dengan pertanggungjawaban, demikian pula dengan pelaksanaan
kekuasaan.
Berdasarkan pengertian pertanggungjawaban sebagaimana dikemukakan di atas, dapat
disimpulkan bahwa tanggungjawab itu erat kaitannya dengan hak dan tanggungjawab serta kekuasaan,
sebab pelaksanaan kewajiban dan kekuasaan serta penggunaan hak yang dimiliki dan melekat pada
diri setiap warga negara harus disertai dengan tanggungjawab. Dalam menggunakan haknya, setiap
warga negara harus memperhatikan beberapa aspek, sebagai berikut:
a) Aspek kekuatan, yaitu kekuasaan atau wewenang untuk melaksanakan hak
tersebut. Setiap hak walaupun betapa besarnya dan betapapun juga mutlaknya,
namun jika pemegannya tidak mempunyai kekuatan atau kekuasaan/wewenang
unutk menggunakannya, maka tentu saja segala hak tersebut tidak ada gunanya
sama sekali.
b) Aspek perlindungan hukum (proteksi hukum) yang melegalisir atau mensahkan
aspek kekuasaan atau wewenang yang memberi kekuatan bagi pemegang hak
mutlak untuk menggunakan haknya tersebut.
c) Aspek pembatasan hukum (restriksi hukum) yang membatasi dan menjaga agar
jangan sampai terjadi penggunaan hak oleh suatu pihak yang melampaui batas
(kelayakan dan kepantasan) sehingga menimbulkan akibat kerugian bagi pihak lain.
(Ridwan Halim,1988:178).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka hak yang kita miliki, dalam penggunaannya harus
memperhatikan atau mempertimbangkan hak orang lain juga. Dapat juga dikatakan bahwa kebebasan
kita menggunakan hak, sesungguhnya dibatasi oleh hak orang lain, demikian juga sebaliknya.
Dalam melaksanakan kewajiban, maka aspek-aspek yang perku diperhatikan adalah:
a) Aspek kemungkinan dalam arti kelogisan bahwa pihak yang berkewajiban itu
sungguh mungkin dan mampu untuk dapat mengemban kewajibannya dengan
seagaimana mestinya.
b) Aspek perlindungan hukum yang melegalisir atau mensahkan kedudukan pihak yang
telah melaksanakan kewajibannya sebagai orang atau pihak yang harus dilindungi
dari adanya tuntutan atau gugatan terhadapnya, bila ia telah melaksanakan
kewajibannya dengan baik.
c) Aspek pembatasan hukum, yang membatasi dan menjaga agar pelaksanaan
kewajiban oleh setiap pihak yang bersangkutan jangan sampai kurang dari batas
minimalnya sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
d) Aspek pengecualian hukum, yang merupakan suatu aspek yang memuat
pertimbangan “ jiwa hukum” dalam menghadapi pelaksanaan kewajiban oleh
seseorang atau suatu pihak yang tidak memadai.
Aristoteles mengatakan bahwa warga negara yang bertanggungjawab adalah warga negara
yang baik, sedangakan warga negara yang baik ialah warga negara yang memiliki keutamaan
(excellence) atau kebajikan (virtue) sebagai warga negara. Berkaitan dengan keutamaan atau
kebajikan itu, Plato mengungkapkan ada empat keutamaan atau kebajikan yang dihubungkan dengan
tiga bagian jiwa manusia. Keempat kebajikan itu ialah pengendalian diri (temperance) yang
dihubungkan dengan nafsu, keperkasaan (fortitude) yang dihubungkan dengan semangat (thumos),
kebijaksanaan atau kearifan yang dihubungkan dengan akal (nous), dan keadilan yang dihubungkan
dengan ketiga bagian jiwa manusia itu. (Rapaar, 1993). Untuk menyederhanakannya dapat
divisualisasikan ke dalam tabel berikut:

Keutamaan atau Kebajikan Jiwa manusia


 Pengendalian diri (temperance)  Nafsu (ephitumia)
 Keperkasaan (fortitude)  Semangat (thumos)
 Kebijaksanaan atau kearifan  Akal (nous)
 Keadilan  Nafsu, semangat, dan akal
Berbeda dengan pandangan Plato sebagaimana dikemukakan di atas, Aristoteles tidak
menghubungkan keutamaan dan kebajikan itu dengan bagian-bagian jiwa manusia. Dalam pandangan
Aristoteles, keutamaan atau kebajikan bagi setiap manusia sesuai dengan fungsi dan peranannya yang
harus dilihat secara utuh. Berkenaan dengan kebajikan atau keutamaan sebagai warga negara,
Aristoteles mengatakan bahwa fungsi warga negara itu berbeda-beda satu dengan yang lainnya,
bahkan dalam suatu negara, sesungguhnya terdiri dari warga negara yang beragam atau berbeda-beda.
“the virtue of all citizens cannot therefore, be one…” demikian ungkapan Aristoteles. Maknanya
adalah kebajikan seluruh warga negara tidak mungkin hanya satu, melainkan sesuai dengan
kepelbagian fungsi dan peraan seseorang dalam negara, demikian juga kepelbagian keutamaan atau
kebajikan itu.
Dalam analisis kami, pandangan Aristoteles tentang kebajikan atau keutamaan sebagai warga
negara lebih realistis dan masih sangat relevan dengan keadaan dalam konteks kehidupan warga
negara saat inipun. Dalam kehidupan suatu negara, adanya keragaman individu warga negara serta
status dan peran merupakan suatu hal yang tak terbantahkan. Karenanya, dalam mengaktualisasikan
fungsi dan perannya itu dilakukan dengan cara dan bentuk yang berbeda pula.
Warga negara yang bertanggungjawab (civic responsibility) berupaya seoptimal mungkin
untuk melaksanakan dan menggunakan hak dan kewajibannya sesuai dengan cara menurut aturan-
aturan yang berlaku. Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai warga negara, dipandang penting
untuk diketahui ruang lingkup tanggung jawab yang harus diemban dan dilaksanakan setiap warga
negara tersebut, yang meliputi : (a) tanggung jawab pribadi; seperti tanggungjawab terhadap Tuhan
YME, (b) tanggung jawab sosial (social responsibility); seperti tanggung jawab terhadap masyarakat,
tanggung jawab terhadap lingkungan, tanggung jawab terhadap bangsa dan negara. Masing-masing
tanggung jawab tersebut akan dijelaskan berikut ini:

2. Tanggungjawab warga negara terhadap Tuhan YME


Sesuai dengan sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, dan UUD 1945 pasal
29 (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Berdasarkan landasan ideal dan konstitusional tersebut, setiap warga negara
Indonesia harus yang senantiasa melandasi sikap dan perilakunya dengan nilai-nilai keimanan dan
ketakwaan terhadap Tuhan YME.
Tanggungjawab warga negara terhadap Tuhannya diwujudkan dengan beribadah sesuai
dengan keyakinan masing-masing yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku yang dipancari
keimanan dan ketaqwaan terhadap-Nya, seperti dalam berhubungan atau berinteraksi sesama warga
negara dalam kehidupan masyarakat. Tuhan YME mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya untuk
menjalin hubungan yang baik dan harmonis dengan sesama manusia tanpa memandang ras, warna
kulit, bahasa, dan keturunan atau etnis tertentu. Di mata Tuhan YME kemuliaan manusia bukan
terletak pada kedudukan yang disandang, bukan pada harta yang dimiliki, bukan pada luasnya
pengetahuan yang dipunyai, melainkan terletak kepada derajat ketaqwaannya kepada Tuhan YME.
Dengan demikian perwujudan tanggungjawab warga negara terhadap Tuhan YME antara lain
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a) Mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakan-Nya kepada kita semua;
b) Beribadah kepada Tuhan YME sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-
masing;
c) Melaksanakan segala perintah-Nya serta berusaha menjauhi atau meniggalkan
segala apa yang dilarang oleh Tuhan YME;
d) Menuntut ilmu dan menggunakannya untuk kebaikan (kemaslahatan) umat
manusia sebagai bekal kehidupan baik di dunia maupun di akhirat kelak;
e) Menjalin tali silaturahmi atau persaudaraan guna mewujudkan kehidupan
masyarakat yang aman, tentram, damai dan sejahtera.
3. Tanggungjawab warga negara terhadap masyarakat
Setiap individu warga negara hidup di tengah-tengah masyarakat dan keberadaannya tidak
dpat dipisahkan dari masyarakat. Frans Magnis Suseno (1993) bahkan pernah mengatakan bahwa
kebermaknaan manusia itu jika ia hidup di masyarakat. Sementara itu Krech, Cruchfield, dan Ballacey
(1975) mengatakan “from birth to death live out his life as a member of a society to be under
constant, allpervasive social influence”. Sepanjang hayat dikandung badan, kita tidak akan lepas dari
masyarakat, mencari nafkah, serta menerima pengaruh dari lingkungan sosial yakni masyarakat. Apa
yang dikatakan Krech, Cruchfield dan Ballacey tersebut memang benar kenyataannya bahwa
kehidupan manusia sejak ia dilahirkan, dibesarkan, dan bahkan ketika ia meninggal sekalipun, ia
memerlukan bantuan anggota masyarakat yang lainnya. Di sinilah dapat dikatakan bahwa individu
sebagai anggota masyarakat senantiasa hidup dalam konteks masyarakat.
Sebagai anggota masyarakat setiap individu mempunyai tanggungjawab antara lain
diwujudkan dengan sikap dan perilaku sebagai berikut:
a) Memelihara keamanan dan ketertiban hidup bermasyarakat;
b) Memelihara dan menjaga rasa persatuan dan kesatuan masyarakat;
c) Meningkatkan rasa solidaritas sosial sebagai sesama anggota masyarakat;
d) Menghapuskan bentuk-bentuk tindakan diskriminatif dalam kehidupan di
masyarakat untuk menghindari disintegrasi masyarakat, bangsa, dan negara.

4. Tanggungjawab warga negara terhadap lingkungan


Hubungan manusia dengan alam sangat erat dan tidak dapat dipisahkan keduanya. Manusia
membutuhkan lingkungan untuk kelangsungan hidupnya, sementara itu lingkungan memerlukan
manusia untuk pemeliharaannya. Dalam kaitan ini, Sumaatmadja (1998) mengatakan manusia dengan
alam, ada dalam konteks keruangan yang saling mempengaruhi. Kadar saling pengaruh tersebut
sangat dipengaruhi oleh tingkat penguasaan manusia terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Atas dasar penguasaan iptek tersebut, ada masyarakat manusia yang masih sangat bergantung pada
alam, ada yang mampu menyesuaikan diri, dan ada pula yang sudah mampu mengelola serta
memanfaatkannya bagi kesejahteraan mereka.
Setiap warga negara, memikul tanggung jawab yang tidak ringan dalam hubungannya
dengan pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan dan alam tersebut, antara lain dapat diwujudkan
dengan contoh sikap dan perilaku sebagai berikut:
a) Memelihara kebersihan lingkungan, seperti tidak membuang sampah sembarangan;
b) Tidak mengeksploitasi alam secara berlebihan, mengingat keterbatasan sumber
daya alam yang ada.
c) Menggunakan teknologi yang ramah lingkungan (environment friendly) agar
kebersihan dan keasrian lingkungan tetap terjaga dengan baik.
Dengan melaksanakan tanggungjawab tersebut dengan penuh tenggungjawab dan konsisten
maka diyakini kehidupan masyarakat akan berjalan secara tertib, aman, damai, serta penuh dinamika.
Pemanfaatan teknologi harus mempertimbangkan lingkungan hidup di mana kita tinggal agar
teknologi tersebut justru tidak merusak lingkungan alam kita. “technology is the application of
knowledge by man in order to perform someone task he wants done”, demikian ujar Brown & Brown
(1975) perihal pentingnya manusia mengendalikan dan menguasai teknologi agar teknologi tersebut
memberikan kemudahan bagi manusia untuk kelangsungan hidup manusia. Jadi bukan teknologi yang
menguasai atau mengendalikan manusia, kalau ini terjadi maka akan terjadilah kerusakan alam dan
lingkungan yang tentu saja akan berakibat buruk bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri.

5. Tanggungjawab Warga negara terhadap Bangsa dan Negara


Ada ungkapan sederhana namun sarat dengan makna, yaitu “ maju mundurnya suatu bangsa
sangat tergantung pada warga negaranya”. Memang demikian adanya, bahwa keadaan bangsa apakah
maju, berkembang atau bahkan mengalami kemunduran sangat ditentukan oleh warga negaranya
sendiri. Sebagai warga negara Indonesia tentunya kita tidak ingin negara kita mengalami kemunduran
apalagi kehancuran. Oleh karena itu, agar keadaan itu tidak terjadi maka hal penting yang harus
diperhatikan adalah setiap warga negara harus melakukan tanggung jawabnya secara konsisten dan
konsekuen dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa tanggung jawab yang konsisten dan konsekuen
tersebut sulit rasanya mewujudkan keadaan masyarakat, bangsa dan negara sebagaimana yang
diharapkan bersama.
Tanggung jawab warga negara terhadap bangsa dan negaranya dilaksanakan dengan cara
mengaktualisasikan hak dan kewajibannya sebagai warga negara sebagaimana dituangkan dalam
landasan konstitusional negara kita yakni Undang-Undang Dasar 1945. Tanpa tanggung jawab yang
konsisten dari setiap warga negara dalam melaksanakan hak dan kewajiban warga negara
sebagaimana dituangkan dalam UUD 1945 tersebut, barangkali tiada artinya UUD 1945 karena hak
dan kewajiban warga negara tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Jika ini terjadi maka UUD 1945
sebagai konstitusi hanya bernilai semantik, yakni indah dan menarik bunyi-bunyi pasalnya namun
kering atau tidak ada maknanya bagi kehidupan warga negaranya.
Oleh karena dapat ditegaskan bentuk-bentuk dan sikap dan perilaku warga negara yang
mencerminkan perwujudan tanggung jawab terhadap negara dan bangsa antara lain yaitu:
a) Memahami dan mengamalkan ideologi nasional kita yakni Pancasila dakam
kehidupan sehari-hari dalam berbagai bidang kehidupan seperti politik, ekonomi,
sosial, budaya, dan keamanan;
b) Menjaga dan memelihara nama baik bangsa dan negara di mata dunia internasional
sebagai bangsa dan negara yang merdeka, bedaulat, berperadaban, dan
bermartabat;
c) Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan menghindari sikap dan perilaku
yang diskriminatif;
d) Membina solidaritas sosial sebagai sesama warga negara Indonesia;
e) Meningkatkan wawasan kebangsaan agar senantiasa terbina rasa kebangsaan,
paham kebangsaan, dan semangat kebangsaan pada diri setiap warga negara.

Anda mungkin juga menyukai