Anda di halaman 1dari 5

Surabaya Pasar Turi-Wonokromo di Suatu Senja

Sabtu, 12 Mei 2018

14.50 (Di atas Kerata Api Maharani Relasi Semarang Poncol-Pasar Turi)

Mata saya baru terbuka ketika selama hampir dua jam tertidur sejak keberangkatan kereta ini dari
Stasiun Semarang Poncol. Saya menempati kursi dengan kode D. Enam kursi di sebelah saya, yang
awalnya kosong kini terisi oleh sepasang suami istri dengan dua anak balitanya dan seorang
perempuan muda yang saling berbincang akrab. Hati saya berkata, mereka baru mengenal sejak dari
dalam kereta. Dari percakapan yang saya dengar, mereka sama-sama menaiki kereta dari Stasiun
Cepu, Blora.

Sang suami dari pasutri itu adalah pekerja yang sedang mengajak keluarganya berlibur ke Surabaya.
Mereka baru saja pindah ke Cepu dari Jakarta. Sementara, seorang perempuan muda tersebut
adalah seorang buruh di sebuah pabrik di sekitar Surabaya. Perbincangan hangat saya dengarkan
seputar apa saja yang menarik di Kota Surabaya. Istri dari pasutri tersebut terus menanyakan
tentang segala hal di kota pahlawan ini.

Mulai dari tempat wisata untuk anak-anak, tempat berbelanja, penginapan murah, hingga kuliner
dan oleh-oleh khas Surabaya yang mereka bawa. Sang perempuan muda tersebut dengan
pengetahuannya menjawab satu per satu pertanyaan tersebut. Bahkan, beberapa kali ia memberi
rekomendasi untuk pergi ke tempat-tempat tertentu di Surabaya. Bagi keluarga tersebut, berlibur ke
Surabaya adalah sebuah pilihan tepat.

16.27 (Stasiun Surabaya Pasar Turi)

Tak terasa, kereta yang saya bawa melaju pelan. Melewati perkampungan padat penduduk di daerah
Surabaya Barat. Jajaran rumah petak menghiasi pemandangan di luar kereta. Sebuah pengumuman
di dalam kereta menginformasikan kepada para penumpang untuk bersiap turun dan tetap berada di
atas kursi hingga kereta benar-benar berhenti. Namun, perintah ini tidak saya patuhi. Meski cukup
berbahaya, saya segera meninggalkan kursi saya dan bergegas menuju pintu keluar kereta berharap
agar kereta segera sampai dan berhenti di stasiun.

Saya tak punya banyak waktu. Beberapa menit kemudian saya harus tiba di Stasiun Wonokromo
untuk bersambung dengan Kereta Api Penataran tujuan Malang. Begitu kereta berhenti, saya
langsung membuka pintu kereta dan segera berlari meninggalkan stasiun tersebut. Di sepanjang
jalan keluar, puluhan tukang ojek pangkalan bersahut-sahutan menawarkan jasa ojeknya yang tak
saya indahkan. Saya terus berlai kencang menuju jalan raya hingga sampai di sebuah pom bensin tak
jaun dari stasiun itu.

Saya mencoba melakukan order ojek daring yang tertolak hingga beberapa kali. Jam sibuk membuat
server aplikasi ojek daring tersebut tak stabil. Untunglah, saya menemukan seorang driver. Seorang
pria muda yang meminta saya untuk tetap berada di dekat pom bensin tersebut. Cukup lama saya
menunggu sang driver yang terjebak kemacetan di jalan. Hingga akhirnya, sang driver pun datang.
saya segera meloncat ke atas motornya dan berkata bahwa kalau bisa saya sampai di Stasiun
Wonokromo sebelum pukul 17.50.

16.55 (Jalan Protokol Surabaya)

Sang driver pun membawa saya ke arah selatan. Menembus kemacetan parah di Jalan Semarang.
Daerah ini memang daerah padat yang memuat aneka kegiatan ekonomi warga Surabaya. Dertan
toko buku, toko bangunan, hingga bengkel berjajar di sana. Suara klakson bergantian memekakkan
telinga saya kala sebuah lampu merah baru saja menyala hijau. Semua ingin lebih dulu melewati
lampu merah tersebut.

Motor yang saya tumpangi lalu menuju Jalan Arjuno, Surabaya. Kawasan tempat Pengadilan Negeri
Surabaya berada ini juga tak kalah macet. Saya mencoba melihat peta di ponsel pintar milik sang
driver untuk melihat seberapa parah tingkat kemacetan di jalan-jalan yang saya lalui. Hati saya
kecut. Lintasan yang kami lalui hampir semuanya berwarna merah darah. Saya hanya bisa berharap
bisa benar-benar sampai di stasiun tujuan tepat waktu.

Di tengah saya mengamati ponsel pintar sang driver, secara tak sengaja ia mengganti petanya
dnegan percakapan WA. Sebuah pesan dari sang istri yang meminta sang driver entah bagaimana
caranya bisa mendapatkan uang untuk membayar kontrakan yang sudah menunggak beberapa
waktu. Deg. Saya jadi tidak enak dan tak melanjutkan pesat tersebut karena saya yakin masih ada
keluhan lain yang cukup panjang. Entah apa kesulitan yang dihadapi sang driver di tengah ganasnya
kehidupan Kota Surabaya. Namun, ketika ia membalas pesan sang istri, satu kalimat terakhir terketik
dari poselnya. Saya yakin, kalimat itu adalah : “Sabar”.

Jalan Arjuno sore itu sangat parah macetnya. Di tengah kemacetan itu, saya melihat beberapa gereja
yang mulai mempersiapkan diri untuk kebaktian di hari minggu. Salah satunya adalah Gereja Kristen
Kebangunan Kalam Allah (GKKA). Beberapa pemuda gereja menggotong electone yang akan mereka
gunakan untuk bernyanyi dari atas sebuah mobil. Lucunya, saya baru menyadari bahwa hari itu
adalah malam minggu. Sebuah keputusan yang kurang tepat sebenarnya untuk melakukan
perjalanan jarak jauh.

17. 10 (Jalan Pasar Kembang-Jalan Diponegoro Surabaya)

Motor kamipun menembus Jalan Pasar Kembang. Sang driver lalu menaikkan motornya di atas Fly
Over penghubung Pasar Kembang dan Jalan Diponegoro. Siluet oranye yang berpadu dengan gedung
pencakar langit sedikit mengurangi ketegangan saya kala itu. Tak apalah, hal itu lebih baik
dibandingkan saya stres memikirkan kapan saya bisa tiba di tempat tujuan.

Sayang, jantung saya kembali berdebar ketika memasuki Jalan Raya Diponegoro. Orang Surabaya
bilang jalan ini adalah denyut nadi kota ini. Penghubung daerah-daerah penting di Surabaya.
Penglaju dari utara ke selatan dan sebaliknya, atau dari barat ke timur mau tak mau harus melalui
jalan ini.

Ketika saya mencoba melihat peta sang driver, lagi-lagi warna merah yang muncul. Di sebuah
perempatan, sang driver mencoba menerobos lampu merah namun ia akhirnya mengerem
mendadak, persis di belakang sebuah mobil.
“Ada polisi mas, di depan!”serunya.

“Sudah mas, gak usah ngebut. Pasrah saja, nanti kalau kereja tak terkejar saya naik bus saja ke
Bungurasih”, jawab saya. Lebih baik hati-hati daripada celaka.

“Tapi, mas kok aneh ya?” lanjut masnya kemudian.

“Aneh kenapa mas?”saya balik bertanya.

“Jarang sekali ada polisi di perempatan sini. Di pertigaan yang kecil-kecil tadi juga jarang. Sekarang
kok banyak sekali”, serunya.

“Mungkin sekarang lagi malam minggu, Mas. Oh, ya. Di Frontage A Yani, di Polda kalau tak salah ada
kegiatan istighosah ya, Mas. Mungkin itu efeknya. Biar macetnya gak parah” timpal saya.

“Iya, Mas. Jadi gak bisa nerobos lampu merah, nih”, serunya.

Saya tersenyum kecut. Nyawa saya lebih penting daripada berburu kereta, Mas. Namun, memang
sore itu dua hingga tiga polisi berdiri di setiap perempatan dan pertigaan yang saya lalui. Mulai
perempatan dengan Jalan dr. Soetomo, Jalan Ciliwing, Jalan Musi, hingga simpul-simpul jalan lain.
Jantung saya semakin bergetar kala lalu lintas benar-benar tak bergerak menuju persimpangan
dengan Jalan Wonokromo.

17.30 (Stasiun Wonokromo)

Akhirnya saya tiba di tempat tujuan. Proses check –in segera saya lakukan. Sambil menunggu kereta,
saya menyaksikan sebuah pertunjukan maha dahsyat. Seorang perempuan disabilitas menyanyikan
sebuah lagu yang diiringi oleh alunan musik organ tunggal. Suara perempuan itu sangat bening. Saya
sangat menikmati lagu milik Grup Band Armada. Sejenak, lagu ini mendamaikan lagu ini di tengah
kengerian saya menghadapi kemacetan Kota Surabaya. Sayang, kereta saya datang beberapa saat
kemudian.

Minggu, 13 Mei 2018 (Malang)

08. 30 WIB

Saya terhenyak. Masih belum bisa mencerna lebih dalam apa yang saya lihat di televisi dan saya baca
di jejaring sosial. Tiga bom meledak di Surabaya. Dua diantaranya meledak di dua gereja yang
beberapa jam sebelumnya saya lewati. Saya langsung bertanya apa kabar keluarga yang begitu ceria
dalam perjalanannya menuju liburan di Surabaya. Apa kabar driver ojek yang harus mencari
lembaran rupiah. Dia tak bisa jalan yang saya lalui kemarin, padahal itu jalan utama dari berbagai
arah. Apa kabar pula penyanyi wanita di Stasiun Wonokromo. Masihkah ia bernanyi dengan tenang
di pusat keramaian yang sangat rawan sekali terjadi pengeboman?

Tapi yang membuat hati saya pedih dan bertanya adalah, apa kabar saudaraku, Arek-Arek Suroboyo
yang menjadi korban di tiga gereja itu. Ya Tuhan, saya semakin ngilu melihat gambar beberapa
sepeda motor terbakar di tepi jalan yang malam sebelumnya saya terjebak kemacetan di sana.
Entah, apa yang ada di benak orang-orang aneh itu. Surabaya, dan kawasan Arek lainnya sudah
dikenal daerah yang aman. Jauh sekali dari konflik-konflik yang menganga, aplagi konflik picisan
macam konflik agama. Kenapa?

Karena masyarakat di sini sudah terdoktrin untuk hidup “yok opo penake”. Blak-blakan, egaliter, dan
memiliki rasa kesetiakawanan tinggi. Orang akan mudah mendapat pisuhan dengan awalan huruf
“J”. Tapi, pisuhan itu tak akan sampai merembet ke konflik yang lebih parah. Begedhegan,
bengkrengan, gemberah, yang bisa dipadupadankan dengan kata bertengkar dalam bahasa
Indonesia adalah sesuatu yang sangat kami hindari.

Tapi, hari minggu kemarin kedamaian kami diusik. Rupanya, pelaku teror tak belajar sejarah dari
Peristiwa 10 November 1945. Tahu bagaimana arek-arek jika diserang lebih dahulu? Tak usahlah
kami menceritakan kembali. Pekikan “Allahu Akbar” yang sebenarnya akan muncul. Namun, kami tak
akan melawan dengan senjata dan kekerasan.

Biarlah itu tugas aparat. Kami hanya bisa menjaga kekompakan kami, rasa solidaritas sebagai
penghuni kawasan Arek yang asyik dan bangsa Indonesia yang unik. Mencermati kembali setiap
bibit-bibit radikal dan tak akan segan segera melaporkan hal-hal yang mencurigakan. Kami akan
terus waspada hingga tak ada lagi orang-orang yang (maaf) jan***i hidup di sini.

Minggu, 16 Desember 2016 (GKI Jalan Diponegoro, Surabaya)

Insan diciptakan, penghuni buana

Beraneka warnanya, indah sempurna

Ada kulit putih, ada kulit hitam

Ada coklat yang terang, ada yang gelap

Suara alunan lagu ini saya nanyikan samar-samar ketika menunggu teman selesai kebatian di GKI
Diponegoro. Alunan indah dari anak-anak gereja. Liriknya menggelitik saya. Meski saya bukan
penganut Kristen Protestan, saya sungguh memaknai lagu ini. Pesan yang universal. Tuhan memang
menciptakan kita berbeda. Lantas, apa yang kita ributkan?

Beberapa tahun kemudian, bom meledak di gereja ini. Kembali, saya tak bisa membayangkan jika itu
terjadi saat anak-anak gereja menyanyikan lagu dengan pesan penuh kedamaian ini.

Anda mungkin juga menyukai