Anda di halaman 1dari 109

1.

PERDARAHAN PADA KEHAMILAN TRIMESTER I

Perdarahan pervaginam pada kehamilan muda adalah perdarahan yang terjadi


sebelum kehamilan 22 minggu.1
Kehamilan normal biasanya tidak disertai dengan perdarahan pervaginam, tetapi
terkadang banyak wanita mengalami episode perdarahan pada trimester pertama kehamilan.
Darah yang keluar biasanya segar (merah terang) atau berwarna coklat tua (coklat
kehitaman). Perdarahan yang terjadi biasanya ringan, tetapi menetap selama beberapa hari
atau secara tiba-tiba keluar dalam jumlah besar.1
Terdapat klasifikasi perdarahan pada kehamilan muda, yaitu:1
1. Abortus
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup luar kandungan.
2. Mola hidatidosa
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana hampir seluruh vili korialisnya
mengalami perubahan hidrofik.
3. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
KET adalah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang bersangkutan berhubung
dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat.

I. ABORTUS

A. Definisi
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup luar
kandungan. Batasan abortus adalah umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat
janin kurang dari 500 gram.2
Sedang menurut WHO/FIGO adalah jika kehamilan kurang dari 22 minggu,
bila berat janin tidak diketahui.

B. Etiologi
Abortus dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu:2
1. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi.
Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi biasanya menyebabkan abortus pada
kehamilan sebelum usia 8 minggu. Faktor yang menyebabkan kelainan ini adalah:
- Kelainan kromosom

1
Kelainan yang sering ditemukan pada abortus spontan ialah trisomi, poliploidi,
dan kelainan kromosom seks.
- Lingkungan sekitar tempat implantasi kurang sempurna
Bila lingkungan di endometrium di sekitar tempat implantasi kurang sempurna
sehingga menyebabkan pemberian zat-zat makanan pada hasil konsepsi
terganggu.
- Pengaruh dari luar
Adanya pengaruh dari radiasi, virus, obat-obat, dan sebagainya dapat
mempengaruhi baik hasil konsepsi maupun lingkungan hidupnya dalam uterus.
Pengaruh ini umumnya dinamakan pengaruh teratogen.
2. Kelainan pada plasenta.
Misalnya end-arteritis dapat terjadi dalam vili korialis dan menyebabkan
oksigenasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
kematian janin. Keadaan ini bisa terjadi sejak kehamilan muda misalnya karena
hipertensi menahun.
3. Faktor maternal.
Penyakit mendadak seperti pneumonia, tifus abdominalis, pielonefritis, malaria,
dan lain-lain dapat menyebabkan abortus. Toksin, bakteri, virus atau plasmodium
dapat melalui plasenta masuk ke janin, sehingga menyebabkan kematian janin dan
kemudian terjadilah abortus. Anemia berat, keracunan, laparotomi, peritonitis
umum, dan penyakit menahun juga dapat menyebabkan terjadinya abortus.
4. Kelainan traktus genitalia.
Retroversi uteri, mioma uteri, atau kelainan bawaan uterus dapat menyebabkan
abortus.

C. Patologi
Pada awal abortus terjadilah perdarahan dalam desidua basalis kemudian
diikuti oleh nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi
terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing dalam uterus.
Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya.2,3
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan
seluruhnya karena villi koriales belum menembus desidua secara mendalam. Pada
kehamilan antara 8 sampai 14 minggu villi koriales menembus desidua lebih dalam,
sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan

2
banyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu keatas umumnya dikeluarkan setelah
ketuban pecah ialah janin, disusul beberapa waktu kemudian plasenta. Hasil konsepsi
keluar dalam berbagai bentuk, seperti kantong kosong amnion atau benda kecil yang
tidak jelas bentuknya (blighted ovum), janin lahir mati, janin masih hidup, mola
kruenta, fetus kompresus, maserasi, atau fetus papiraseus.2,3

D. Klasifikasi
Abortus dapat digolongkan atas dasar : 2
1. Abortus Spontan
- Abortus imminens
- Abortus insipiens
- Missed abortion
- Abortus habitualis
- Abortus infeksiosa & Septik
- Abortus inkompletus
- Abortus kompletus
2. Abortus Provakatus (induced abortion)
- Abortus Medisinalis (abortus therapeutica)
- Abortus Kriminalis

Abortus Spontan
Abortus spontan adalah abortus yang terjadi dengan tidak didahului faktor-
faktor mekanis ataupun medisinalis, semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor
alamiah.2
a. Abortus Imminens
Merupakan peristiwa terjadinya perdarahan pervaginam pada kehamilan 20
minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus dan tanpa adanya dilatasi
serviks.2 Adanya abortus imminens terlihat pada gambar 1.
Diagnosis abortus imminens ditentukan dari :2,3
- Terjadinya perdarahan melalui ostium eksternum dalam jumlah sedikit.
- Disertai sedikit nyeri perut bawah atau tidak sama sekali.
- Uterus membesar, sebesar tuanya kehamilan.
- Serviks belum membuka, ostium uteri masih tertutup.
- Tes kehamilan (+)

3
Gambar 1. Abortus Imminens
b. Abortus Insipiens
Merupakan peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan kurang dari 20 minggu
dengan adanya dilatasi serviks yang meningkat dan ostium uteri telah membuka,
tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih
sering dan kuat, perdarahan bertambah. 2 Adanya abortus insipiens terlihat pada
gambar 2.
Ciri dari jenis abortus ini yaitu perdarahan pervaginam dengan kontraksi makin
lama makin kuat dan sering, serviks terbuka, besar uterus masih sesuai dengan
umur kehamilan dan tes urin kehamilan masih positif.3

Gambar 2. Abortus Insipien


c. Abortus Inkomplet
Merupakan pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Perdarahan abortus ini
dapat banyak sekali dan tidak berhenti sebelum hasil konsepsi dikeluarkan. 2
Adanya abortus inkomplit terlihat pada gambar 3.

4
Ciri dari jenis abortus ini yaitu perdarahan yang banyak disertai kontraksi, kanalis
servikalis masih terbuka, dan sebagian jaringan keluar.3

Gambar 3. Abortus Inkompletus


d. Abortus Komplet
Abortus kompletus terjadi dimana semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Pada
penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri sebagian besar telah menutup,
dan uterus sudah banyak mengecil.2 Adanya abortus komplet terlihat pada gambar
4.
Ciri dari abortus ini yaitu perdarahan pervaginam, kontraksi uterus, ostium serviks
menutup, dan tidak ada sisa konsepsi dalam uterus.3

Gambar 4. Abortus Kompletus

e. Missed Abortion.
Tertahannya hasil konsepsi yang telah mati didalam rahim selama ≥8 minggu.
Ditandai dengan tinggi fundus uteri yang menetap bahkan mengecil, biasanya tidak
diikuti tanda–tanda abortus seperti perdarahan, pembukaan serviks, dan kontraksi.2
Adanya missed abortion terlihat pada gambar 5.

5
Gambar 5. Missed Abortion
f. Abortus Habitualis
Merupakan abortus spontan yang terjadi 3x atau lebih secara berturut-turut. Pada
umumnya penderita tidak sulit untuk menjadi hamil, tetapi kehamilan berakhir
sebelum mencapai usia 28 minggu.2
Etiologi abortus habitualis yaitu :2,3
- Kelainan dari ovum atau spermatozoa, dimana kalau terjadi pembuahan
hasilnya adalah pembuahan patologis.
- Kesalahan-kesalahan pada ibu yaitu disfungsi tiroid, kesalahan korpus luteum,
kesalahan plasenta, yaitu tidak sanggupnya plasenta menghasilkan progesteron
sesudah korpus luteum atrofi. Ini dapat dibuktikan dengan mengukur kadar
pregnadiol dalam urin. Selain itu juga bergantung pada gizi ibu (malnutrisi),
kelainan anatomis dalam rahim, hipertensi oleh karena kelainan pembuluh
darah sirkulasi pada plasenta/vili terganggu dan fetus menjadi mati. Dapat juga
gangguan psikis, serviks inkompeten, atau rhesus antagonisme.
g. Abortus Infeksius & abortus septik.
Abortus infeksius adalah abortus yang disertai infeksi pada genitalia. Abortus
septik adalah abortus infeksius berat disertai penyebaran kuman atau toksin ke
dalam peredaran darah atau peritonium.2
Infeksi dalam uterus/sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya
ditemukan pada abortus inkomplet dan lebih sering pada abortus buatan yang
dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis.2
Diagnosis abortus infeksius ditentukan dengan adanya abortus yang disertai gejala
dan tanda infeksi alat genital seperti panas, takikardi, perdarahan pervaginam yang
berbau, uterus yang membesar lembek, serta nyeri tekan dan leukositosis. Apabila

6
terdapat sepsis, penderita tampak sakit berat atau kadang menggigil, demam tinggi,
dan penurunan tekanan darah.2

Abortus Provokatus
Abortus provokatus adalah abortus yang disengaja, baik dengan memakai
obat-obatan maupun alat-alat. Abortus ini terbagi lagi menjadi:1,2,3
a. Abortus Medisinalis (abortus therapeutica)
Abortus medisinalis adalah abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila
kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi
medis).
b. Abortus Kriminalis
Abortus kriminalis adalah abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang
tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.

E. Gejala Klinis 2,5,6


- Tanda-tanda kehamilan, seperti amenorea kurang dari 20 minggu, mual-muntah,
mengidam, hiperpigmentasi mammae, dan tes kehamilan positif.
- Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak lemah atau kesadaran menurun,
tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, serta
suhu badan normal atau meningkat.
- Perdarahan pervaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi.
- Rasa mulas atau keram perut di daerah atas simfisis disertai nyeri pinggang akibat
kontraksi uterus.
- Pemeriksaan ginekologi
1. Inspeksi vulva: perdarahan pervaginam ada/tidak jaringan hasil konsepsi,
tercium/tidak bau busuk dari vulva.
2. Inspekulo: perdarahan dari kavum uteri ostium uteri terbuka atau sudah tertutup,
ada/tidak jaringan keluar dari ostium, serta ada/tidak cairan atau jaringan berbau
busuk dari ostium.
3. Colok vagina: porsio masih tebuka atau sudah tertutup serta teraba atau tidak
jaringan dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia
kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada perabaan adneksa,
dan kavum douglas tidak menonjol dan tidak nyeri.

7
F. Pemeriksaan Penunjang 2,6
1. Laboratorium
-
Darah Lengkap
 Kadar hemoglobin rendah akibat anemia hemoragik.
 LED dan jumlah leukosit meningkat tanpa adanya infeksi.
-
Tes Kehamilan
Terjadi penurunan atau level plasma yang rendah dari β-hCG secara prediktif.
Hasil positif menunjukkan terjadinya kehamilan abnormal (blighted ovum,
abortus spontan atau kehamilan ektopik).
2. Ultrasonografi
-
USG transvaginal dapat digunakan untuk deteksi kehamilan 4 - 5 minggu.
-
Detik jantung janin terlihat pada kehamilan dengan CRL > 5 mm (usia
kehamilan 5 - 6 minggu).
-
Dengan melakukan dan menginterpretasi secara cermat, pemeriksaan USG
dapat digunakan untuk menentukan apakah kehamilan viabel atau non-viabel.

G. Penatalaksanaan
1. Abortus imminens2,3
-
Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah dan rangsang mekanik
berkurang.
-
Progesteron 10 mg sehari untuk terapi substitusi dan untuk mengurangi kerentanan
otot-otot rahim.
-
Tes kehamilan dapat dilakukan. Bila hasil negatif, mungkin janin sudah mati.
-
Pemeriksaan USG untuk menentukan apakah janin masih hidup.
-
Berikan obat penenang, biasanya fenobarbital 3 x 30 mg.
-
Pasien tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2 minggu.
2. Abortus insipiens2
-
Bila ada tanda-tanda syok maka atasi dulu dengan pemberian cairan dan
transfusi darah.
-
Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, yang biasanya disertai perdarahan,
tangani dengan pengosongan uterus memakai kuret vakum atau cunam abortus,
disusul dengan kerokan memakai kuret tajam. Suntikkan ergometrin 0,5 mg
intramuskular.
-
Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan infus oksitosin 10 IU dalam
dekstrose 5% 500 ml dimulai 8 tetes per menit dan naikkan sesuai kontraksi
uterus sampai terjadi abortus komplet.

8
-
Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan pengeluaran
plasenta secara digital yang dapat disusul dengan kerokan.
-
Memberi antibiotik sebagai profilaksis.
3. Abortus inkomplet2,3
-
Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infus cairan NaCl fisiologis atau
ringer laktat yang disusul dengan ditransfusi darah.
-
Setelah syok diatasi, lakukan kerokan dengan kuret lalu suntikkan ergometrin
0,2 mg intramuskular untuk mempertahankan kontraksi otot uterus.
-
Berikan antibiotik untuk rnencegah infeksi.
4. Abortus komplet2,3
-
Bila pasien anemia, berikan hematinik seperti sulfas ferosus atau transfusi
darah.
-
Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
-
Anjurkan pasien diet tinggi protein, vitamin. dan mineral.
5. Missed abortion2
-
Bila terdapat hipofibrinogenemia siapkan darah segar atau fibrinogen.
-
Pada kehamilan kurang dari 12 minggu.
Lakukan pembukaan serviks dengan gagang laminaria selama 12 jam lalu
dilakukan dilatasi serviks dengan dilatator Hegar. Kemudian hasil konsepsi
diambil dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam.
-
Pada kehamilan lebih dari 12 minggu.
Infus intravena oksitosin 10 IU dalam dekstrose 5% sebanyak 500 ml mulai
dengan 20 tetes per menit dan naikkan dosis sampai ada kontraksi uterus.
Oksitosin dapat diberikan sampai 10 IU dalam 8 jam. Bila tidak berhasil, ulang
infus oksitosin setelah pasien istirahat satu hari.
-
Bila tinggi fundus uteri sampai 2 jari bawah pusat, keluarkan hasil konsepsi
dengan menyuntik larutan garam 20% dalam kavum uteri melalui dinding perut.
6. Abortus infeksius dan septik2
-
Tingkatkan asupan cairan.
-
Bila perdarahan banyak, lakukan transfusi darah.
-
Penanggulangan infeksi:
a) Gentamycin 3 x 80 mg dan Penicillin 4 x 1,2 juta.
b) Chloromycetin 4 x 500 mg.
c) Cephalosporin 3 x 1.
d) Sulbenicilin 3 x 1-2 gram.
-
Kuretase dilakukan dalam waktu 6 jam karena pengeluaran sisa-sisa abortus
mencegah perdarahan dan menghilangkan jaringan nekrosis yang bertindak
sebagai medium perkembangbiakan bagi jasad renik.

9
-
Pada abortus septik diberikan antibiotik dalam dosis yang lebih tinggi misalnya
Sulbenicillin 3 x 2 gram.
-
Pada kasus tetanus perlu diberikan ATS, irigasi dengan H2O2, dan histerektomi
total secepatnya.
7. Abortus Habitualis2
-
Memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang sehat, istirahat yang
cukup, larangan koitus, dan olah raga.
-
Merokok dan minum alkohol sebaiknya dikurangi atau dihentikan.
-
Pada serviks inkompeten terapinya adalah operatif: Shirodkar atau Mac Donald
(cervical cerclage).

H. Komplikasi 2
Komplikasi yang berbahaya pada abortus ialah perdarahan, perforasi, infeksi,
dan syok.
1. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi
dan jika perlu pemberian tranfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat terjadi
apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.

2. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiporetrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu diamat-amati dengan
teliti. Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi, dan tergantung dari
luar dan bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi atau histerektomi. Perforasi
uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang awam menimbulkan persoalan
gawat karena perlukaan uterus biasanya luas, mungkin juga terjadi perlukaan pada
kandung kemih atau usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya
perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya cedera,
untuk selanjutnya mengambil tindakan-tindakan seperlunya guna mengatasi
komplikasi.
3. Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya
ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering pada abortus buatan yang
dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis. Apabila infeksi menyebar

10
lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti
oleh syok.
4. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena
infeksi berat (syok endoseptik).

II. MOLA HIDATIDOSA

A. Definisi
Mola berasal dari bahasa latin yang berarti massa dan hidatidosa berasal dari
kata Hydats yang berarti tetesan air. Mola hidatidosa adalah kehamilan yang
berkembang tidak wajar (konsepsi yang patologis) dimana tidak ditemukan janin dan
hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan hidropik menyerupai buah anggur
atau mata ikan.5 Dalam hal demikian disebut Mola Hidatidosa atau Complete mole,
sedangkan bila disertai janin atau bagian janin disebut sebagai Mola Parsialis atau
Partial mole.
B. Epidemiologi
Mola hidatidosa merupakan penyakit trofoblas gestasional yang paling sering
terjadi. Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin
dibanding negara-negara Barat.5 Angka kejadian tertinggi pada wanita usia kurang
dari 20 tahun dan lebih dari 45 tahun, sosio-ekonomi rendah, dan kekurangan asupan
protein, asam folat dan karoten. 5

C. Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab dari mola tidak diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya mola 5,6,7
1. Faktor ovum yang memang sudah patologik, tetapi terlambat untuk dikeluarkan.
2. Imunoselektif dari trofoblas.
3. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah.
4. Malnutrisi, defisiensi protein, asam folat, karoten, vitamin, dan lemak hewani.
5. Paritas tinggi.
6. Umur, risiko tinggi kehamilan dibawah 20 atau diatas 40 tahun.
7. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas.
8. Suku bangsa (ras) dan faktor geografi yang belum jelas.

D. Patogenesis

11
Patogenesis penyakit ini dapat diterangkan oleh beberapa teori, yaitu: 6
1. Teori missed abortion
Kematian mudigah pada usia kehamilan 3-5 minggu saat dimana seharusnya
sirkulasi fetomaternal terbentuk menyebabkan gangguan peredaran darah. Sekresi
dari sel-sel yang mengalami hiperplasia dan menghasilkan substansi-substansi
yang berasal dari sirkulasi ibu diakumulasikan ke dalam stroma villi sehingga
terjadi kista villi yang kecil-kecil. Cairan yang terdapat dalam kista tersebut
menyerupai cairan asites atau edema tetapi kaya akan HCG.
2. Teori neoplasma dari Park
Teori ini mengemukakan bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas yang
mempunyai fungsi yang abnormal pula dimana terjadi resorpsi cairan yang
berlebihan ke dalam vili sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan
gangguan peredaran darah dan kematian mudigah. Sebagian dari vili berubah
menjadi gelembung-gelembung yang berisi cairan jernih. Biasanya tidak ada janin,
hanya pada mola parsial kadang-kadang ditemukan janin. Gelembung-gelembung
ini sebesar butir kacang hijau sampai sebesar buah anggur. Gelembung ini dapat
mengisi seluruh kavum uterus.

Diagnosis
Diagnosis dari mola hidatidosa dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang ada.
1. Anamnesis
a. Terlambat haid (amenorea).
b. Adanya perdarahan pervaginam
Perdarahan pervaginam merupakan gejala yang mencolok dan dapat bervariasi
mulai spotting sampai perdarahan yang banyak. Perdarahan tidak teratur dan
berwarna tengguli tua atau kecoklatan seperti bumbu rujak. 5 Biasanya terjadi
pada trisemester pertama dan merupakan gejala yang paling banyak muncul
pada lebih dari 90% pasien mola.8 Hanya sepertiga pasien yang mengalami
perdarahan hebat.6 Akibatnya dapat timbul gejala anemia. Kadang-kadang
terdapat perdarahan tersembunyi yang cukup banyak di dalam uterus.
c. Perut terasa lebih besar
Pembesaran uterus yang tumbuh sering lebih besar dan lebih cepat daripada
kehamilan normal dan hal ini ditemukan pada setengah kasus pasien mola.8 Hal

12
ini disebabkan oleh pertumbuhan trofoblastik yang berlebihan sehingga volume
vesikuler vilii menjadi besar dan mengakibatkan rasa tidak enak pada uterus
karena regangan miometrium yang berlebihan.
d. Mual muntah yang hebat (Hiperemesis Gravidarum)
Gejala ini merupakan akibat dari proliferasi trofoblas yang berlebihan sehingga
terjadi produksi yang terus-menerus dari ß-HCG. Hiperemesis gravidarum
tampak pada 15 -25 % pasien mola hidatidosa.8
e. Tidak terasa adanya pergerakan anak
f. Hipertensi dalam kehamilan
Tanda tanda pre-eklampsia atau eklampsia sebelum minggu ke-24 menunjuk ke
arah mola hidatidosa. Hal ini muncul pada 10-12%.6
g. Tanda-tanda tirotoksikosis
Sekitar 7% MHK datang dengan keluhan seperti hipertensi, takikardi, tremor,
hiperhidrosis, gelisah, emosi labil, dan kulit terasa hangat. Gejala ini jarang
muncul meskipun kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola
sering meningkat (10%). Terjadinya tirotoksikosis pada mola hidatidosa
berhubungan erat dengan besarnya uterus. Makin besar uterus makin besar
kemungkinan terjadi tirotoksikosis. Apabila terdapat tanda-tanda tirotoksikosis
secara aktif diperlukan evakuasi segera sehingga gejala-gejala ini akan
menghilang dengan menghilangnya mola.
h. Tanda-tanda emboli paru
Sejumlah trofoblas dengan atau tanpa stroma vili keluar dari uterus ke vena
pada saat evakuasi. Sebetulnya pada setiap kehamilan selalu ada migrasi sel
trofoblas ke peredaran darah kemudian ke paru tanpa memberi gejala apapun.
Tetapi pada kasus mola kadang-kadang sel trofoblas ini sedemikian banyak
sehingga dapat menimbulkan emboli paru akut yang dapat menyebabkan
kematian. Jumlah dan volume akan menentukan gejala dan tanda dari emboli
paru akut bahkan dapat berakibat fatal, walaupun hal ini jarang terjadi.
i. Tampak keluar jaringan seperti buah anggur atau mata ikan (tidak selalu ada).
Hal ini merupakan diagnosis pasti. 5
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
-
Muka dan kadang–kadang badan kelihatan pucat kekuning-kuningan yang
disebut sebagai mola face5

13
-
Gelembung mola yang keluar
b. Palpasi
-
Uterus lembek dan membesar tidak sesuai kehamilan
-
Adanya fenomena harmonika: jika darah dan gelembung mola keluar maka
tinggi fundus uteri akan turun lalu naik lagi karena terkumpulnya darah
baru.5
-
Tidak teraba bagian-bagian janin dan balotemen gerak janin.
c. Auskultasi
-
Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin (pada mola hidatidosa parsial
mungkin dapat didengar BJJ).2
-
Terdengar bising dan bunyi khas.5
d. Pemeriksaan dalam
-
Pastikan besarnya rahim, rahim terasa lembek, tidak ada bagian-bagian janin,
terdapat perdarahan dan jaringan dalam kanalis servikalis dan vagina, serta
evaluasi keadaan serviks.5
3. Pemeriksaan Penunjang
a. USG
Pada kehamilan mola, bentuk karakteristik yang ada berupa gambaran seperti
“badai salju“ tanpa disertai kantong gestasi atau janin.
USG dapat menjadi pemeriksaan yang spesifik untuk membedakan antara
kehamilan normal dengan mola hidatidosa.

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap, yaitu :
1. Perbaiki keadaan umum
Sebelum dilakukan tindakan evakuasi jaringan mola, keadaan umum penderita
harus distabilkan dahulu. Tindakan yang dilakukan sebelum penderita dalam
keadaan stabil, dapat merangsang terjadinya syok ireversibel, eklampsi atau krisis
tiroid yang dapat menyebabkan kematian. Tergantung pada bentuk penyulitnya,
kepada penderita harus diberikan :
-
Koreksi dehidrasi

14
-
Tranfusi darah, pada anemia (Hb <8 gr%) atau untuk mengatasi syok
hipovolemik
-
Antihipertensi/ antikonvulsi, seperti pada terapi preeklamsi/ eklamsia
-
Obat anti tiroid, bekerja sama dengan penyakit dalam
-
Untuk emboli paru hanya diberikan terapi suportif, terutama oksigenasi dan
antikoagulan sampai gejala akutnya hilang. Jika perlu dirawat di ICU.

2. Pengeluaran jaringan mola


Oleh karena mola hidatidosa merupakan suatu bentuk kehamilan yang patologis
dan dapat disertai dengan penyulit, pada prinsipnya harus dievakuasi secepat
mungkin. Terdapat dua cara, yaitu:
a. Kuretase
Kuret vakum merupakan metode terpilih karena lebih aman, cepat, dan efektif
untuk mengevakuasi jaringan mola. Kuretase dilakukan langsung apabila ada
pembukaan kira-kira sebesar 1 jari:
G. Prognosis
Data mortalitas berkurang secara drastis mencapai 0 dengan diagnosa dini dan terapi
yang adekuat.Dengan kehamilan mola yang lanjut, pasien cenderung untuk menderita
anemia dan perdarahan kronis.Infeksi dan sepsis pada kasus-kasus ini dapat
menyebabkan tingkat morbiditas yang tinggi.
Kematian pada kasus mola disebabkan karena perdarahan, perforasi dinding rahim,
infeksi, sepsis, pre-eklamsia, payah jantung, emboli paru, atau tirotoksikosis. Di
negara maju, kematian karena mola hampir tidak ada lagi, tetapi di negara
berkembang masih cukup tinggi, yaitu berkisar 2,2-5,7%.
Setelah dilakukan evakuasi jaringan mola secara lengkap, sebagian besar penderita
MHK akan sehat kembali, kecuali 15 – 20% yang mungkin akan mengalami
keganasan.Umumnya yang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk golongan
risiko tinggi, yaitu :
1. Umur diatas 35 tahun
2. Besar uterus ≥ 20 minggu
3. Kadar β-hCG ≥ 100.000 mIU/ml
4. Hasil PA menunjukkan gambaran proliferasi trofoblas berlebihan

III. KEHAMILAN EKTOPIK

15
A. Definisi
Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai suatu kehamilan yang pertumbuhan
sel telur yang telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. 2
Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan kehamilan ektopik karena kehamilan
pada pars interstitialis tuba dan kanalis servikalis masih termasuk dalam uterus tetapi
jelas bersifat ektopik

B. Epidemiologi
Frekuensi dari kehamilan ektopik dan kehamilan intrauteri dalam satu
konsepsi yang spontan terjadi dalam 1 dalam 30.000 atau kurang. Angka kehamilan
ektopik per 1000 diagnosis konsepsi, kehamilan atau kelahiran hidup telah dilaporkan
berkisar antara 2,7 hingga 12,9. Angka kejadian kehamilan ektopik dari tahun ke
tahun cenderung meningkat. Diantara faktor-faktor yang terlibat adalah meningkatnya
pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim, penyakit radang panggul, usia ibu yang
lanjut, pembedahan pada tuba, dan pengobatan infertilitas dengan terapi induksi
superovulasi.
Di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta angka kejadian kehamilan ektopik pada
tahun 1987 ialah 153 di antara 4.007 persalinan atau 1 di antara 26 persalinan.2,10
C. Faktor Risiko
Ada berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik.
Namun kehamilan ektopik juga dapat terjadi pada wanita tanpa faktor risiko.2
Faktor risiko kehamilan ektopik adalah sebagai berikur:
1. Penggunaan kontrasepsi spiral dan pil progesteron
Kehamilan ektopik meningkat apabila ketika hamil masih menggunakan
kontrasepsi spiral (3-4%). Pil yang hanya mengandung hormon progesteron juga
meningkatkan kehamilan ektopik karena dapat mengganggu pergerakan sel
rambut silia di saluran tuba yang membawa sel telur yang sudah dibuahi untuk
berimplantasi ke dalam rahim.2,10
2. Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot akan
tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh
di saluran tuba.
3. Faktor tuba 2
Faktor dalam lumen tuba:
- Endosalpingitis dapat menyebabkan lumen tuba menyempit atau membentuk
kantong buntu akibat perlekatan endosalping.
- Pada hipoplasia uteri, lumen tuba sempit dan berkelok-kelok panjang dapat
menyebabkan fungsi silia tuba tidak berfungsi secara baik.
- Pascaoperasi rekanalisasi tuba dan sterilisasi yang tak sempurna

16
Faktor pada dinding tuba:
- Endometriosis tuba dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam
tuba.
- Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan telur
yang dibuahi di tempat itu.
Faktor di luar dinding tuba
- Perlengketan peritubal dengan ditorsi atau lekukan tuba dapat menghambat
perjalanan telur.
- Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba
4. Faktor ovum 2
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang kontralateral,
dapat membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga
kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.
5. Faktor lain
Pemakaian IUD dimana proses peradangan yang dapat timbul pada endometrium
dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.

D. Klasifikasi
Kehamilan ektopik dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Kehamilan Pars Interstisialis Tuba 2
Kehamilan ektopik ini terjadi bila ovum bernidasi pada pars interstisialis tuba.
Keadaan ini jarang terjadi dan hanya satu persen dari semua kehamilan tuba.
Ruptur pada keadaan ini terjadi pada kehamilan lebih tua, dapat mencapai akhir
bulan keempat. Perdarahan yang terjadi sangat banyak dan bila tidak segera
dioperasi akan menyebabkan kematian.
Tindakan operasi yang dilakukan adalah laparatomi untuk membersihkan isi
kavum abdomen dari darah dan sisa jaringan konsepsi serta menutup sumber
perdarahan dengan melakukan irisan baji (wegde resection) pada kornu uteri
dimana tuba pars interstisialis berada.
2. Kehamilan ektopik ganda 2
Sangat jarang kehamilan ektopik berlangsung bersamaan dengan kehamilan
intrauterin. Keadaan ini disebut kehamilan ektopik ganda (combined ectopic
pregnancy). Frekuensinya berkisar 1 di antara 15.000 – 40.000 persalinan.Di
Indonesia sudah dilaporkan beberapa kasus.
Pada umumnya diagnosis kehamilan dibuat pada waktu operasi kehamilan ektopik
yang terganggu. Pada laparotomi ditemukan uterus yang membesar sesuai dengan
tuanya kehamilan dan 2 korpora lutea.

3. Kehamilan Ovarial 2

17
Kehamilan ovarial primer sangat jarang terjadi. Diagnosis kehamilan tersebut
ditegakkan atas dasar 4 kriteria dari Spiegelberg, yakni:
1. Tuba pada sisi kehamilan harus normal
2. Kantong janin harus berlokasi pada ovarium
3. Kantong janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovary proprium
4. Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong janin
Diagnosis yang pasti diperoleh bila kantong janin kecil dikelilingi oleh jaringan
ovarium dengan trofoblas memasuki alat tersebut. Pada kehamilan ovarial biasanya
terjadi ruptur pada kehamilan muda dengan akibat perdarahan dalam perut. Hasil
konsepsi dapat pula mengalami kematian sebelumnya sehingga tidak terjadi ruptur,
ditemukan benjolan dengan berbagai ukuran yang terdiri atas ovarium yang
mengandung darah, vili korialis dan mungkin juga selaput mudigah.
4. Kehamilan servikal 2
Kehamilan servikal juga sangat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi dalam
kavum servikalis, maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada kehamilan muda.
Jika kehamilan berlangsung terus, serviks membesar dengan ostium uteri
eksternum terbuka sebagian.Kehamilan servikal jarang melampaui 12 minggu dan
biasanya diakhiri secara operatif oleh karena perdarahan. Pengeluaran hasil
konsepsi pervaginam dapat menyebabkan banyak perdarahan, sehingga untuk
menghentikan perdarahan diperlukan histerektomi totalis.
Paalman dan Mc ellin (1959) membuat kriteria klinik sebagai berikut:
1. Ostium uteri internum tertutup
2. Ostium uteri eksternum terbuka sebagian
3. Seluruh hasil konsepsi terletak dalam endoservik
4. Perdarahan uterus setelah fase amenore tanpa disertai rasa nyeri
5. Serviks lunak, membesar, dapat lebih besar dari fundus uteri, sehingga
terbentuk hour-glass uterus
Kriteria Rubin (1911) membuat kriteria klinik sebagai berikut:
1. Kelenjar serviks harus ditemukan di seberang tempat implantasi plasenta
2. Tempat implantasi plasenta harus berada di bawah arteri uterina atau
peritoneum visceral uterus.
3. Janin tidak boleh terdapat di daerah korpus uterus.
4. Implantasi plasenta di serviks harus kuat.
Kriteria Rubin sulit diterapkan secara klinis karena memerlukan histerektomi
total untukmemastikannya.
5. Kehamilan ektopik lanjut
Merupakan kehamilan ektopik dimana janin dapat tumbuh terus karena mendapat
cukup zat-zat makanan dan oksigen dari plasenta yang meluaskan implantasinya ke
jaringan sekitar misalnya ligamentum latum, uterus, dasar panggul, usus dan
sebagainya. Dalam keadaan demikian, anatomi sudah kabur. Kehamilan ektopik
lanjut biasanya terjadi sekunder dari kehamilan tuba yang mengalami abortus atau

18
ruptur dan janin dikeluarkan dari tuba dalam keadaan masih diselubungi oleh
kantung ketuban dengan plasenta yang masih utuh yang akan terus tumbuh terus di
tempat implantasinya yang baru. 2,10
Angka kejadian kehamilan ektopik lanjut di RSCM, Jakarta dari tahun 1967 – 1972
yaitu 1 di antara 1065 persalinan. Berbagai penulis mengemukakan angka antara
1 : 2000 persalinan sampai 1 : 8500 persalinan. 2,10
E. Gambaran Klinik
Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas dan
penderita maupun dokter biasanya tidak mengetahui adanya kelainan dalam
kehamilan, sampai terjadinya abortus tuba atau ruptur tuba.
1. Kehamilan ektopik belum terganggu 2,10
Kehamilan ektopik yang belum terganggu atau belum mengalami ruptur sulit untuk
diketahui, karena penderita tidak menyampaikan keluhan yang khas.Amenorea
atau gangguan haid dilaporkan oleh 75-95% penderita. Lamanya amenore
tergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita
tidak mengalami amenore karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya.
Tanda-tanda kehamilan muda seperti nausea dilaporkan oleh 10-25% kasus.
Di samping gangguan haid, keluhan yang paling sering disampaikan ialah nyeri di
perut bawah yang tidak khas, walaupun kehamilan ektopik belum mengalami
ruptur. Kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang sukar
ditentukan. Keadaan ini juga masih harus dipastikan dengan alat bantu diagnostik
yang lain seperti ultrasonografi (USG) dan laparoskopi.
Mengingat bahwa setiap kehamilan ektopik akan berakhir dengan abortus atau
ruptur yang disertai perdarahan dalam rongga perut, maka pada setiap wanita
dengan gangguan haid dan setelah diperiksa dicurigai adanya kehamilan ektopik
harus ditangani dengan sungguh-sungguh menggunakan alat diagnostik yang ada
sampai diperoleh kepastian diagnostik kehamilan ektopik karena jika terlambat
diatasi dapat membahayakan jiwa penderita.
2. Kehamilan ektopik terganggu 2,10
Gejala dan tanda kehamilan tuba tergangu sangat berbeda-beda dari perdarahan
banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak
jelas. Gejala dan tanda bergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu,
abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan
keadaan umum penderita sebelum hamil.1
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis yang mendadak atau akut
biasanya tidak sulit.Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik
terganggu (KET). Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-

19
tiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan yang menyebabkan penderita
pingsan, tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat serta perdarahan yang
lebih banyak dapat menimbulkan syok, ujung ekstremitas pucat, basah dan dingin.
Rasa nyeri mula-mula terdapat dalam satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke dalam
rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau keseluruh perut bawah dan
bila membentuk hematokel retrouterina menyebabkan defekasi nyeri.2
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada KET. Hal ini
menunjukkan kematian janin dan berasal dari kavum uteri karena pelepasan
desidua. Perdarahan dari uterus biasanya tidak banyak dan berwarna coklat tua.
Frekuensi perdarahan ditemukan dari 51-93%. Perdarahan berarti gangguan
pembentukan hCG. 2
Yang menonjol ialah penderita tampak kesakitan, pucat, dan pada pemeriksaan
ditemukan tanda-tanda syok serta perdarahan rongga perut. Pada pemeriksaan
ginekologik ditemukan serviks yang nyeri bila digerakkan dan kavum Douglas
yang menonjol dan nyeri raba.10 Pada abortus tuba biasanya teraba dengan jelas
suatu tumor di samping uterus dalam berbagai ukuran dengan konsistensi agak
lunak. Hematokel retouterina dapat diraba sebagai tumor di kavum Douglas.2
Kesulitan diagnosis biasanya terjadi pada kehamilan ektopik terganggu jenis atipik
atau menahun. Keterlambatan haid tidak jelas, tanda dan gejala kehamilan muda
tidak jelas, demikian pula nyeri perut tidak nyata dan sering penderita tampak tidak
terlalu pucat. Hal ini dapat terjadi apabila perdarahan pada kehamilan ektopik yang
terganggu berlangsung lambat. Dalam keadaan yang demikian, alat bantu
diagnostik sangat diperlukan untuk memastikan diagnosis.10
F. Diagnosis
Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik belum
terganggu demikian besarnya sehingga sebagian besar penderita mengalami abortus
tuba atau ruptur ruba sebelum keadaan menjadi jelas. Alat bantu diagnostik yang
dapat digunakan ialah ultrasonografi (USG), laparoskopi atau kuldoskopi. 2
Anamnesis: haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu, dan kadang-
kadang terdapat gejala subyektif kehamilan muda.2 Nyeri abdominal terutama bagian
bawah dan perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan merupakan
tanda dan gejala klinis yang mengarah ke diagnosis kehamilan ektopik. Gejala-gejala
nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam tidak terlalu spesifik atau juga sensitif.
Pemeriksaan umum: penderita tampak kesakitan dan pucat. Pada perdarahan
dalam rongga perut tanda-tanda syok dapat ditemukan.Pada jenis tidak mendadak
perut bagian bawah hanya sedikit menggembung dan nyeri tekan. 2 Kehamilan ektopik

20
yang belum terganggu tidak dapat didiagnosis secara tepat semata-mata atas adanya
gejala-gejala klinis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan ginekologi: tanda-tanda kehamilan muda mungkin ditemukan.
Pergerakan serviks menyebabkan rasa nyeri. Bila uterus dapat diraba, maka akan
teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan
batas yang sukar ditentukan. Kavum Douglas yang menonjol dan nyeri-raba
menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Suhu kadang-kadang naik sehingga
menyukarkan perbedaan dengan infeksi pelvik.2
Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah
merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama
bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Pada kasus tidak mendadak
biasanya ditemukan anemia, tetapi harus diingat bahwa penurunan hemoglobin baru
terlihat setelah 24 jam.2 Perhitungan leukosit secara berturut menunjukkan adanya
perdarahan bila leukosit meningkat (leukositosis). Untuk membedakan kehamilan
ektopik dari infeksi pelvik dapat diperhatikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang
lebih dari 20.000 biasanya menunjukkan infeksi pelvik.2
Penting untuk mendiagnosis ada tidaknya kehamilan. Cara yang paling mudah
adalah dengan melakukan pemeriksaan konsentrasi hormon β-hCG dalam urin atau
serum. Hormon ini dapat dideteksi paling awal pada satu minggu sebelum tanggal
menstruasi berikutnya. Konsentrasi serum yang sudah dapat dideteksi ialah 5 IU/L,
sedangkan pada urin ialah 20–50 IU/L. 6 Tes kehamilan negatif tidak menyingkirkan
kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena kematian hasil konsepsi dan
degenerasi trofoblas menyebabkan hCG menurun dan menyebabkan tes negatif.2 Tes
kehamilan positif juga tidak dapat mengidentifikasi lokasi kantung gestasional.
Meskipun demikian, wanita dengan kehamilan ektopik cenderung memiliki level β-
hCG yang rendah dibandingkan kehamilan intrauterin.
Kuldosentesis: adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah
terdapat darah dalam kavum Douglas. Cara ini sangat berguna untuk membuat
diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Adapun teknik ini terlihat dalam gambar 11.
Teknik kuldosentesis yaitu:
- Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.
- Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik
- Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan tenakulum, kemudian
dilakukan traksi ke depan sehingga forniks posterior ditampakkan
- Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam kavum douglas dan dengan semprit 10 ml
dilakukan pengisapan.

21
Hasil positif bila dikeluarkan darah berwarna coklat sampai hitam yang tidak
membeku atau berupa bekuan-bekuan kecil.
Hasil negatif bila cairan yang dihisap berupa:
- Cairan jernih yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal atau kista
ovarium yang pecah.
- Nanah yang mungkin berasal dari penyakit radang pelvis atau radang appendiks
yang pecah (nanah harus dikultur).
- Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku, darah ini
berasal dari arteri atau vena yang tertusuk
Ultrasonografi: Cara yang paling efisien untuk mengeluarkan adanya
kehamilan ektopik adalah mendiagnosis suatu kehamilan intrauteri. Cara yang terbaik
untuk mengkonfirmasi satu kehamilan intrauteri adalah dengan menggunakan
ultrasonografi. Sensitivitas dan spesifisitas dari diagnosis kehamilan intrauteri dengan
menggunakan modalitas ini mencapai 100% pada kehamilan diatas 5,5 minggu.
Sebaliknya identifikasi kehamilan ektopik dengan ultrasonografi lebih sulit (kurang
sensitif) dan kurang spesifik.Adapun gambaran kehamilan ektopik terlihat pada
gambar 12.
Laparoskopi: hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk
kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain meragukan.
Melalui prosedur laparoskopik, alat kandungan bagian dalam dapat dinilai. Secara
sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum Douglas dan ligamentum
latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mempersulit visualisasi alat kandungan
tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan laparotomi.

G. Penatalaksanaan
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Dalam
tindakan demikian beberapa hal perlu diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu:2
a. Kondisi penderita saat itu
b. Keinginan penderita akan fungsi reproduksinya
c. Lokasi kehamilan ektopik
d. Kondisi anatomik organ pelvis
Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada
kehamilan tuba atau dapat dilakukan pembedahan konservatif yaitu hanya dilakukan
salpingostomi atau reanastomosis tuba. Apabila kondisi penderita buruk, misalnya
dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan salpingektomi.
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik terutama
pada KET dimana terjadi abortus atau ruptur pada tuba. Penatalaksanaan

22
pembedahan sendiri dapat dibagi atas dua yaitu pembedahan konservatif dan
radikal. Pembedahan konservatif terutama ditujukan pada kehamilan ektopik yang
mengalami ruptur pada tubanya. Pendekatan dengan pembedahan konservatif ini
mungkin dilakukan apabila diagnosis kehamilan ektopik cepat ditegakkan sehingga
belum terjadi ruptur pada tuba.
a. Salpingektomi
Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba mengalami ruptur,
karena perdarahan intraabdominal akan terjadi dan harus segera diatasi.
Hemoperitonium yang luas akan menempatkan pasien pada keadaan krisis
kardiopulmunonal yang serius. Insisi suprapubik Pfannenstiel dapat digunakan,
dan tuba yang meregang diangkat. Mesosalping diklem berjejer dengan klem
Kelly sedekat mungkin dengan tuba. Tuba kemudian dieksisi dengan memotong
irisan kecil pada miometrium di daerah kornu uteri, hindari insisi yang terlalu
dalam ke miometrium. Jahitan matras angka delapan dengan benang absorable 0
digunakan untuk menutup miometrium pada sisi reseksi baji. Mesosalping
ditutup dengan jahitan terputus dengan menggunakan benang absorbable.
Hemostasis yang komplit sangat penting untuk mencegah terjadinya hematom
pada ligamentum latum.

2. KISTA OVARIUM

Definisi
Kista Ovarium adalah benjolan yang membesar, seperti balon yang beisi cairan,

yang tumbuh di indung telur. Cairan ini bisa berupa air, darah , nanah, atau cairan coklat

kental seperti darah menstruasi. Kista banyak terjadi pada wanita usia subur atau usia

reproduksi (Dewi, 2010). Kista ovarium juga merupakan rongga berbentuk kantong

berisi cairan di dalam jaringan ovarium. Kista ini disebut juga kista fungsional karena

terbentuk setelah sel telur dilepaskan sewaktu ovulasi. Kista fungsional akan mengerut

dan menyusut setelah beberapa waktu (1-3 bulan), demikian pula yang terjadi bila

seseorang perempuan sudah menopause, kista fungsional tidak terbentuk karena

menurunnya aktivitas indung telur (Yatim, 2005).

Epidemiologi
Distribusi Frekuensi Kista Ovarium Berdasarkan Orang

23
Angka kejadian kista sering terjadi pada wanita berusia produktif dan

jarang sekali di bawah umur 20 maupun di atas 50 tahun (Winkjosastro, 2008).

Berdasarkan data catatan medik di RSUD Margono Soekardjo Purwokerto tahun

2008, wanita yang mengalami kista ovarium sekitar 58% terjadi pada wanita yang

berumur di bawah 30 tahun. Kista ovarium di RSUD Banjarnegara tahun 2009-

2010, mayoritas berumur 22-28 tahun sebanyak 34,38%, multiparitas sebanyak

65,6% dan jenis kista ovarium berupa kistoma ovari simpleks sebanyak 96,87%

Determinan Kista Ovarium

Penyebab pasti dari penyakit kista Ovarium belum diketahui secara pasti.

Akan tetapi salah satu pemicunya adalah faktor hormonal. Penyebab terjadinya

kista ovarium ini dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berhubungan.

Beberapa faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya kista ovarium adalah

sebagai berikut:

a. Faktor Umur

Kista sering tejadi pada wanita usia subur atau usia reproduksi,

keganasan kista ovarium bisa terjadi pada usia sebelum menarche dan usia di

atas 45 tahun (Manuaba, 2009). Menurut penelitian Azhar (2014), kista

ovarium di Peshawar, Pakistan, penderita kista ovarium paling banyak terjadi

pada wanita umur 21- 30 tahun (46,0 %).

2. Faktor Genetik

Riwayat keluarga merupakan faktor penting dalam memasukkan

apakah seseorang wanita memiliki risiko terkena kista ovarium. Resiko

wanita terkena kista ovarium adalah sebesar 1,6%. Apabila wanita tersebut

memiliki seorang anggota keluarga yang mengindap kista, risikonya akan

24
meningkat menjadi 4% sampai 5% (Rasjidi, 2009). Dalam tubuh kista ada

terdapat gen-gen yang berpotensi memicu kanker yaitu protoonkogen. Karena

faktor pemicu seperti pola hidup yang kurang sehat, protoonkogen bisa

berubah menjadi onkogen yaitu gen yang dapat memicu timbulnya sel

kanker.

c. Faktor Reproduksi

Riwayat reproduksi terdahulu serta durasi dan jarak reproduksi

memiliki dampak terbesar pada penyakit kista ovarium, paritas

(ketidaksuburan) yang rendah dan infertilitas, serta menarche dini dan

menopause terlambat meningkatkan resiko untuk berkembang menjadi kista

ovarium (Rasjidi, 2009). Kista ovarium sering terjadi pada wanita dimasa

reproduksi, menstruasi di usia dini (menarche dini) yaitu usia 11 tahun atau

lebih muda (< 12 tahun) merupakan faktor risiko berkembangnya kista

ovarium, karena faktor asupan gizi yang jauh lebih baik , rata-rata anak

perempuan mulai memperoleh haid pada usia 10-11 tahun. Siklus haid yang

tidak teratur juga merupakan faktor risiko terjadinya kista ovarium

(Manuaba, 2010).

Pada wanita usia subur dan sudah menikah serta memiliki anak,

biasanya mereka menggunakan alat kontrasepsi hormonal merupakan faktor

resiko kista ovarium, yaitu pada wanita yang menggunakan alat kontrasepsi

hormonal implant, akan tetapi pada wanita yang menggunakan alat

kontrasepsi hormonal berupa pil cenderung mengurangi resiko untuk

terkena kista ovarium (Henderson, 2005).

25
Berdasarkan penelitian Pratama (2012), Kista Ovarium di RSUD

Arifin Achmad Provinsi Riau tahun 2008 - 2012, penderita kista ovarium

banyak terjadi pada wanita dengan paritas < 2 ada sebanyak 36 orang (50,1

%). Penderita kista ovarium berdasarkan riwayat menarche paling banyak

terjadi pada wanita menarche dini sebesar 42 orang (58,3%).

d. Faktor Hormonal
Kista ovarium dapat terjadi karena ketidakseimbangan hormon

estrogen dan progesteron, misalnya akibat penggunaan obat-obatan yang

merangsang ovulasi dan obat pelangsing tubuh yang bersifat diuretik. Kista

fungsional dapat terbentuk karena stimulasi hormon gonadotropin atau

sensitivitas terhadap hormon gonadotropin yang berlebihan. Hormon

gonadotropin termasuk FSH (Folikel Stimulating) dan HCG (Human

Chorionik Gonadotropin) (Wiknjosastro, 2008 ).

e. Faktor Lingkungan
Perubahan pola struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri

banyak memberikan andil terhadap perubahan pola fertilitas, gaya hidup, dan

sosial ekonomi. Perubahan gaya hidup juga mempengaruhi pola makan yaitu

konsumsi tinggi lemak dan rendah serat, merokok, konsumsi alkohol, zat

tambahan pada makanan, terpapar polusi asap rokok atau zat berbahaya lainya,

stress dan kurang aktivitas atau olahraga bisa memicu terjadinya suatu

penyakit ( Bustam, 2007).

Manifestasi Klinis

Kista ovarium seringkali tanpa gejala, terutama bila ukuran kistanya masih kecil.

Kista yang jinak baru memberikan rasa tidak nyaman apabila kista semakin membesar,

26
sedangkan pada kista yang ganas kadangkala memberikan keluhan sebagai hasil

infiltrasi atau metastasis kejaringan sekitar.(Sarjadi,1995) Pemastian penyakit tidak bisa

dilihat dari gejala-gejala saja karena mungkin gejalanya mirip dengan keadaan lain

seperti endometriosis, radang panggul, kehamilan ektopik (di luar rahim) atau kanker

ovarium. Meski demikian, penting untuk memperhatikan setiap gejala atau perubahan

ditubuh untuk mengetahui gejala mana yang serius. Gejala-gejalanya antara lain: perut

,terasa penuh, berat dan kembung, tekanan pada dubur dan kandung kemih (sulit buang

air kecil), siklus menstruasi tidak teratur dan sering nyeri, nyeri panggul yang menetap

atau kambuhan yang dapat menyebar ke punggung bawah dan paha, nyeri senggama,

mual, ingin muntah, atau pengerasan payudara mirip seperti pada saat hamil, luas

permukaan dinding endometrium menebal,dan pembengkakan tungkai bawah yang tidak

disertai rasa sakit. Kadang-kadang kista dapat memutar pada pangkalnya, mengalami

infark dan robek, sehingga menyebabkan nyeri tekan perut bagian bawah yang akut

sehingga memerlukan penanganan kesehatan segera. (Moore,2001)

Patogenesis

Setiap indung telur berisi ribuan telur yang masih muda atau folikel yang

setiap bulannya akan membesar dan satu diantaranya membesar sangat cepat sehingga

menjadi telur matang. Pada peristiwa ovulasi telur yang matang ini keluar dari indung

telur dan bergerak ke rahim melalui saluran telur. Apabila sel telur yang matang ini

dibuahi, folikel akan mengecil dan menghilang dalam waktu 2-3 minggu dan akan

terus berulang sesuai siklus haid pada seorang wanita. Namun jika terjadi gangguan

pada proses siklus ini bisa membentuk kista.

Kista juga dapat terbentuk jika fungsi ovarium yang abnormal menyebabkan

penimbunan folikel yang terbentuk secara tidak sempurna di dalam ovarium. Folikel

27
tidak mengalami ovulasi karena kadar hormon FSH rendah dan hormon LH tinggi pada

keadaan yang tetap ini menyebabkan pembentukan andorogen dan estrogen oleh folikel

dan kelenjar adrenal yang mengakibatkan folikel anovulasi, folikel tersebut gagal

mengalami pematangan dan gagal melepaskan sel telur, terbentuk secara tidak sempurna

di dalam ovarium karena itu terbentuk kista di dalam ovarium.

Klasifikasi

Menurut Wiknjosastro ( 2008) klasifikasi kista ovarium antara lain:

A. Kista Ovarium Non-Neoplastik


Kista ovarium non neoplastik , antara lain:

1. Kista Folikel
2. Kista Korpus Luteum
3. Kista Inkusi Germinal
4. Kista Endometrium
B. Kista Ovarium Neoplastik

Kista ovarium neoplastik, antara lain:

1. Kistoma Ovarii Simpleks

2. Kistadenoma Ovarii Musinosum

5. Kistadenoma Ovarii Serosum

4. Kista Endometrioid

5. Kista Dermoid

Pencegahan

28
Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu tindakan pencegahan bila penyakit kista

ovarium belum muncul. Upaya pencegahan primer dapat dilakukan dengan

memberikan informasi mengenai kista ovarium. Gaya hidup yang tidak

sehat dapat memicu terjadinya penyakit kista ovarium. Risiko kista ovarium

fungsional meningkat dengan merokok. Risiko dari merokok mungkin

meningkat lebih lanjut dengan indeks massa tubuh menurun. Selain

dikarenakan merokok pola makan yang tidak sehat seperti konsumsi tinggi

lemak, rendah serat, konsumsi zat tambahan pada makanan, konsumsi

alkohol dapat juga meningkatka risiko penderita kista ovarium (Bustam,

2007).

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan untuk mencegah penyebaran

penyakit dan mencegah terjadinya komplikasi penyakit kista melalui upaya

diagnosa dini serta pengobatan yang tepat (Asmadi, 2008). Kista

nonneoplastik akibat peradangan umumnya dalam anamnesis menunjukkan

gejala - gejala ke arah peradangan genital. Kista nonneoplastik umumnya

tidak menjadi besar, dan diantaranya pada suatu waktu biasanya

menghilang sendiri. Jika kista ovarium itu bersifat neoplastik, maka perlu

pemeriksaan yang cermat dan analisis yang tajam dari gejala - gejala yang

ditemukan dapat membantu dalam pembuatan diagnosis diferensial.

Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier dilakukan bertujuan untuk mengurangi

ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi supaya penderita kista

ovarium melakukan aktivitasnya kembali. Upaya rehabilitasi dilakukan

29
dengan dukungan moril dari orang-orang terdekat terhadap penderita kista

ovarium pasca operasi karena penderita akan kehilangan harga diri sebagai

seorang wanita. Berdasarkan penelitian Triyanto (2009), terdapat hubungan

antara dukungan suami dengan tingkat stres istri (Wanita) yang menderita

kista ovarium. Dukungan suami atau keluarga diperlukan sepanjang

kehidupan seorang wanita. Apabila tidak ada tindakan atau dukungan dari

keluarga , maka wanita yang menderita kista ovarium akan mengalami stres

bahkan dapat terjadi depresi

Diagnosis

Penegakan diagnosis dapat dibantu dengan pemeriksaan yang berupa:

1. Anamnesis
Anamnesis lengkap merupakan bagian penting dari diagnosis tumor

adneksa. Pertanyaan tentang rasa nyeri, lokasi, dan derajat nyeri serta kapan

mulai timbulnya rasa nyeri tersebut akan memudahkan penegakan

diagnosis. Anamnesa seperti keluhan klinik kista ovarium ringan karena

besarnya tumor dan keluhan mendadak akibat komplikasi kista ovarium.

2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik, antara lain:

a) Fisik umum sebagai tanda vitalnya.

b) Pemeriksaaan palpasi: teraba tumor di abdomen (bentuk kista padat),

bergerak, terasa nyeri atau tidak nyeri.

c) Pemeriksaan dalam: melihat letak tumor apakah melekat dengan uterus.

d) Pemeriksaan spekulom : melihat servik dilakukan biopsi atau PAP smear.

30
e) Pemeriksaan rektal : memberikan konfirmasi jelas tentang keberadaan

tumor (Manuaba, 2010 ).

Kista ovarium dapat dilakukan pemeriksan lanjut yang dapat dilaksanakan dengan

1. Laparoskopi : pemeriksaan ini Sangat berguna untuk mengetahui apakah

tumor berasal dari ovarium atau tidak, dan untuk menentukan sifat-sifat tumor

itu.

2. Ultrasonografi : dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas

tumor, apakah tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kencing,

apakah tumor kistik atau solid, dan dapat dibedakan pula antara cairan dalam

rongga perut yang bebas dan yang tidak.

3. Foto rontgen : pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya

hidrotoraks.

4. CA-125 : memeriksa kadar protein di dalam darah yang disebut CA-125.

Kadar CA-125 juga meningkat pada perempuan subur, meskipun tidak ada

proses keganasan. Tahap pemeriksaan CA-125 biasanya dilakukan pada

perempuan yang berisiko terjadi proses keganasan, kadar normal CA-125 (0-

35 u/ml).

5. Parasentensis pungsi asites : berguna untuk menentukan sebab asites. Perlu

diperhatikan bahwa tindakan tersebut dapat mencemarkan kavum peritonei

dengan isi kista bila dinding kista tertusuk (Wiknjosastro,2008).

Penatalaksanaan
1. Terapi Hormonal
Pengobatan dengan pemberian pil KB (gabungan estrogen- progresteron) boleh

ditambahkan obat anti androgen progesteron cyproteron asetat yang akan mengurangi

31
ukuran besar kista. Untuk kemandulan dan tidak terjadinya ovulasi, diberikan

klomiphen sitrat. Juga bisa dilakukan pengobatan fisik pada ovarium, misalnya

melakukan diatermi dengan sinar laser.


2. Terapi Pembedahan /Operasi
Pengobatan dengan tindakan operasi kista ovarium perlu mempertimbangkan

beberapa kondisi antara lain, umur penderita, ukuran kista, dan keluhan. Apabila kista

kecil atau besarnya kurang dari 5 cm dan pada pemeriksaan Ultrasonografi tidak

terlihat tanda-tanda proses keganasan, biasanya dilakukan operasi dengan laparoskopi

dengan cara, alat laparoskopi dimasukkan ke dalam rongga panggul dengan

melakukan sayatan kecil pada dinding perut.


Apabila kista ukurannya besar, biasanya dilakukan pengangkatan kista dengan

laparatomi. Teknik ini dilakukan dengan pembiusan total. Dengan cara laparatomi,

kista bisa diperiksa apakah sudah mengalami proses keganasan atau tidak. Bila sudah

dalam proses keganasan, dilakukan operasi sekalian mengangkat ovarium dan saluran

tuba, jaringan lemak sekitar dan kelenjar limpe (Yatim, 2005).

Prognosis

Prognosis dari kista jinak sangat baik. Kista jinak tersebut dapat tumbuh di jaringan

sisa ovarium atau di ovarium kontralateral. Apabila sudah dilakukan operasi, angka

kejadian kista berulang cukup kecil yaitu 13%.


Kematian disebabkan karena karsinoma ovari ganas berhubungan dengan stadium

saat terdiagnosis pertama kali dan pasien dengan keganasan ini sering ditemukan sudah

dalam stadium akhir.


Angka harapan hidup dalam 5 tahun rata-rata 41.6%. Tumor sel granuloma memiliki

angka bertahan hidup 82% sedangkan karsinoma sel skuamosa yang berasal dari kista

dermoid berkaitan dengan prognosis yang buruk

3. MIOMA UTERI

32
DEFINISI

Mioma Uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat
yang menumpangnya. Oleh karena itu, dikenal juga istilah fibromioma, leiomioma, atau
fibroid.

Angka kejadian mioma uteri sebesar 20-40% pada wanita usia reproduksi. Tumor ini
sering terjadi pada wanita yang berusia 35-45 tahun. Di Indonesia, mioma uteri ditemukan
2,39-11,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat. Mioma lebih sering terjadi pada
nullipara atau wanita yang hanya memiliki satu anak. Faktor keturunan memegang peran
dalam angka kejadian mioma uteri. Wanita dari garis keturunan tingkat pertama seorang
penderita mioma uteri mempunyai risiko 2,5 kali lebih besar menderita mioma uteri.

PATOLOGI ANATOMI

Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uteri ( 1-3% ) dan selebihnya
adalah dari korpus uteri. Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah pertumbuhannya,
maka mioma uteri dibagi 4 jenis antara lain :

1. Mioma submukosa

2. Mioma intramural

3. Mioma subserosa

4. Mioma intraligamenter

Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis intramural (54%), subserosa (48,2%),
submukosa (6,1%.) dan jenis intraligamenter (4,4%).

33
GAMBARAN MIKROSKOPIK

Pada pembelahan jaringan mioma tampak lebih putih dari jaringan sekitarnya. Pada
pemeriksaan secara mikroskopik dijumpai se-sel otot polos panjang, yang membentuk
bangunan yang khas sebagai kumparan ( whorle like pattern). Inti sel juga panjang dan
bercampur dengan jaringan ikat. Pada pemotongan tranversal, sel berbentuk polihedral
dengan sitoplasma yang banyak mengelilinginya. Pada pemotongan longitudinal inti sel
memanjang, dan ditemukan adanya “mast cells” diantara serabut miometrium sering
diinterprestasi sebagai sel tumor atau sel raksasa ( giant cells ).

GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS

1. Gejala klinis

Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung pada lokasi, arah
pertumbuhan, jenis, besar dan jumlah mioma. Hanya dijumpai pada 20 – 50 % saja mioma
uteri menimbulkan keluhan, sedangkan sisanya tidak mengeluh apapun.

Hipermenoroe, menometroragia adalah merupakan gejala klasik dari gejala mioma uteri.

Tergantung dari lokasi dan arah pertumbuhan mioma, maka kandung kemih, ureter
dan usus dapat terganggu, dimana peneliti melaporkan keluhan disuri ( 14 % ), keluhan
obstipasi (13 % ). Mioma uteri sebagai penyebab infertilitas hanya dijumpai pada 2 – 10 %
kasus. Infertilitas terjadi sebagai akibat obstruksi mekanis dari tuba fallopi. Abortus spontan
dapat terjadi bila mioma menghalangi pembesaran uterus, dimana menyebabkan kontraksi
uterus yang abnormal, dan mencegah terlepas atau tertahannya uterus didalam panggul.

Mekanisme perdarahan abnormal pada myoma uteri :

1 peningkatan ukuran permukaan endometrium


2 peningkatan vaskularisasi aliran vaskuler ke uterus
3 gangguan kontraktilitas uterus
4 ulserasi endometrium pada myoma submukosa
2. Pemeriksaan fisik

34
Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu
atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini
adalah bagian dari uterus.

3. Laboratorium

Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan perdarahan
uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-kadang mioma menghasilkan
eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan antara
polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma terhadap ureter yang
menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan
eritropoetin ginjal.

4. Pemeriksaan penunjang

a. Ultrasonografi

Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam menetapkan adanya


mioma uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang kecil. Uterus
atau massa yang paling besar paling baik diobservasi melalui ultrasonografi transabdominal.
Mioma uteri secara khas menghasilkan gambaran ultrasonografi yang mendemonstrasikan
irregularitas kontur maupun pembesaran uterus. Adanya kalsifikasi ditandai oleh fokus-fokus
hiperekoik dengan bayangan akustik. Degenerasi kistik ditandai adanya daerah yang
hipoekoik

b. Histeroskopi

Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat adanya mioma uteri submukosa, jika tumornya kecil
serta bertangkai. Tumor tersebut sekaligus dapat diangkat.

PENATALAKSANAAN

Secara umum penatalaksaaan myoma uteri dibagi atas 2 metode :

1. Terapi medisinal (hormonal)

Saat ini pemakaian Gonadotropin releasing hormone (GnRH) agonis memberikan


hasil untuk memperbaiki gejala-gejala klinis yang ditimbulkan oleh myoma uteri. Pemberian
GnRH agonis bertujuan untuk mengurangi ukuran myoma dengan jalan mengurangi produksi

35
estrogen dari ovarium. Dari suatu penelitian didapati data pada pemberian GnRH agonis
selama 6 bulan pada pasien dengan myoma uteri didapati adanya pengurangan volume
myoma sebesar 44%. Efek maksimal pemberian GnRH agonis baru terlihat setelah 3 bulan.

Pemberian GnRH agonis sebelum dilakukan tindakan pembedahan akan mengurangi


vaskularisasi pada tumor sehingga akan memudahkan tindakan pembedahan. Terapi
hormonal lainnya seperti kontrasepsi oral dan preparat progesterone akan mengurangi gejala
perdarahan uterus yang abnormal namun tidak dapat mengurangi ukuran dari myoma

2. Terapi pembedahan

Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi maupun histerektomi

a) Miomektomi

Miomektomi sering dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan fungsi


reproduksinya dan tidak ingin dilakukan histerektomi. Dewasa ini ada beberapa pilihan
tindakan untuk melakukan miomektomi, berdasarkan ukuran dan lokasi dari mioma.
Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi histeroskopi maupun dengan
laparoskopi. Pada laparotomi, dilakukan insisi pada dinding abdomen untuk mengangkat
myoma dari uterus.

Keunggulan melakukan miomektomi adalah lapangan pandang operasi yang lebih


luas sehingga penanganan terhadap perdarahan yang mungkin timbul pada pembedahan
miomektomi dapat ditangani dengan segera. Namun pada miomektomi secara laparotomi
resiko terjadi perlengketan lebih besar, sehingga akan mempengaruhi factor fertilitas pada
pasien. Disamping itu masa penyembuhan paska operasi juga lebih lama, sekitar 4-6 minggu.

Pada miomektomi secara histeroskopi, dilakukan terhadap myoma submukosa yang


terletak pada cavum uteri. Pada prosedur pembedahan ini ahli bedah memasukkan alat
histeroskop melalui serviks dan mengisi cavum uteri dengan cairan untuk memperluas
dinding uterus.

b) Histerektomi
Tindakan pembedahan untuk mengangkat uterus dapat dilakukan dnegan 3 cara yaitu :
dengan pendekatan abdominal (laparotomi), vaginal dan beberapa kasus dengan laparoskopi.
Tindakan histerektomi pada pasien dengan myoma uteri merupakan indikasi bila didapati
keluhan menorrhagia, metrorrhagia, keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran

36
uterus sebesar usia kehamilan 12-14 minggu.

Histerektomi perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu total abdominal


histerektomi (TAH) dan subtotal abdominal histerektomi (STAH). Subtotal abdominal
histerektomi (STAH) dilakukan untuk mneghindari resiko operasi yang lebih besar seperti
perdarahan yang lebih banyak, trauma operasi pada ureter, kandung kemih dan rectum.
Namun dengan melakukan STAH, kita meninggalkan serviks, dimana kemungkinan
timbulnya karsinoma serviks dapat trejadi.

PROGNOSIS

Prognosis baik jika ditemukan mioma berukuran kecil, tidak cenderung membesar
dan tidak memicu keluhan yang berarti, cukup dilakukan pemeriksaan rutin setiap 3-6 bulan
sekali termasuk pemeriksaan USG. 55% dari semua mioma uteri tidak membutuhkan suatu
pengobatan dalam bentuk apapun. Menopause dapat menghentikan pertumbuhan mioma
uteri. Pengecilan tumor sementara menggunakan obat-obatan GnRH analog dapat dilakukan,
akan tetapi pada wanita dengan hormon yang masih cukup (premenopause), mioma ini dapat
membesar kembali setelah obat-obatan ini dihentikan. Jika tumor membesar, timbul gejala
penekanan, nyeri hebat, dan perdarahan dari kemaluan yang terus menerus, tindakan operasi
sebaiknya dilakukan.

4. PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL

37
II.1. Pengertian
Perdarahan uterus abnormal dari uterus baik dalam jumlah, frekuensi maupun
lamanya, yang terjadi didalam atau diluar haid sebagai wujud klinis gangguan
fungsional mekanisme kerja poros hipotalamus – hipofisis – ovarium - endometrium
tanpa kelainan organik alat reproduksi.

II.2. Etiologi
a. Perdarahan Ovulatoar

Perdarahan ini terjadi ± 10 % dari perdarahan disfungsional dengan siklus


pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenorea) dan untuk menegakkan
diagnosis dapatdilakukan kuretase pada masa mendekati siklus haid. Jika karena
perdarahanlama dan siklus haid tidak teratur dan tidak dapat dikenali lagi maka
kurve suhubadan basal dapat menolong.
Etiologi :
1. Korpus Luteum Persisten
Perdarahan kadang-kadang bersamaan dengan pembesaran ovarium.
Korpus lutheum persisten dapat menyebabkan pelepasan endometrium tidak
teratur (irregular shedding). Irregular shedding dibuat dengan kerokan yang
tepat waktunya menurut Mc lennon pada hari ke-4 mulainya perdarahan. Pada
waktu itu dijumpai endometrium dalam tipe skresi disamping tipe non skresi.

2. Insufisiensi Korpus Luteum


Dapat menyebabkan premenstrual spotting, menoragia, polimenorea.
Dasarnya ialah kurangnya produksi progesteron disebabkan oleh gangguan
LH-releasing factor. Diagnosis dibuat apabila hasil biopsi endometrial dalam
fase luteal tidak cocok dengan gambaran endometrium yang seharusnya
didapat pada hari siklus yang bersangkutan.

3. Apopleksia Uteri
Pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya pembuluh darah uterus

4. Kelainan darah
Anemia, purpura trombositopenik dan gangguan dalam mekanisme
pembekuan darah.

38
b. Perdarahan Anovulatoar
Dengan terjadinya penurunan kadar estrogen dapat timbul perdarahan yang
kadang bersifat siklik, kadang tidak teratur sama sekali.Fluktuasi kadar estrogen
ada sangkut pautnya dengan jumlah folikel. Folikel - folikelini mengeluarkan
estrogen sebelum mengalami atresia dan kemudiandiganti oleh folikel-folikel
baru. Endometrium yang mula-mula proliferatif dapatterjadi perubahan menjadi
hiperplasia kistik.
Etiologi
1. Sentral : psikogenik, neurogenik, hipofisis
2. Perifer : ovarial
3. Konstitusional : kelainan gizi, metabolik, penyakit endokrin

Perdarahan uterus disfungsional dapat berlatar belakang kelainan-kelainan


ovulasi, siklus haid, jumlah perdarahan dan anemia yang ditimbulkannya.
Berdasarkan kelainan tersebut maka perdarahan uterus disfungsional dapat dibagi
seperti tabel 1.
Perdarahan uterus disfungsional biasanya berhubungan dengan satu dari
tiga keadaan ketidak seimbangan hormonal, berupa: estrogen breakthrough
bleeding, estrogen withdrawal bleeding dan progesterone breakthrough
bleeding.Pada perdarahan uterus disfungsional ovulatorik perdarahan abnormal

39
terjadi pada siklus ovulatorik dimana dasarnya adalah ketidakseimbangan
hormonal akibat umur korpus luteum yang memendek atau memanjang,
insufisiensi atau persistensi korpus luteum.Perdarahan uterus disfungsional pada
wanita dengan siklus anovulatorik muncul sebagai perdarahan reguler dan
siklik.Sedang pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik perdarahan
abnormal terjadi pada siklus anovulatorik dimana dasarnya adalah defisiensi
progesterone dan kelebihan progesterone akibat tidak terbentuknya korpus luteum
aktif, karena tidak terjadinya ovulasi. Dengan demikian khasiat estrogen terhadap
endometrium tak ber lawan.Hampir 80% siklus mens anovulatorik pada tahun
pertama menars dan akan menjadi ovulatorik mendekati 18-20 bulan setelah
menars.

II.3. Klasifikasi

Perdarahan uterus disfungsional dikatakan akut jika jumlah per darahan pada
satu saat lebih dari 80 ml,terjadi satu kali atau berulang dan memerlukan tindakan
penghentian perdarahan segera. Sedangkan perdarahan uterus disfungsional kronis
jika perdarahan pada satu saat kurang dari 30 ml terjadi terus menerus atau tidak tidak
hilang dalam 2 siklus berurutan atau dalam 3 siklus tak berurutan, hari perdarahan
setiap siklusnya lebih dari 8 hari, tidak memerlukan tindakan penghentian perdarahan
segera, dan dapat terjadi sebagai kelanjutan perdarahan uterus disfungsional akut.

II.4. Diagnosis
Anamnesa yang cermat penting untuk diagnosis. Perlu ditanyakan :
a. Bagaimana mulanya perdarahan
b. Apakah didahului siklus yang pendek-pendek atau oligomenorea / amenorea
c. Sifat perdarahan
d. Lama perdarahan.

Pada pemeriksaan umum perlu diperlihatkan tanda-tanda yang menunjukan ke arah


kemungkinan :
a. Penyakit metabolik
b. Penyakit endokrin

40
Pada pemeriksaan ginekologik dilihat ada tidaknya faktor kelainan organik yang
menyebabkan perdarahan abnormal. Pada wanita dalam masa pubertas tidak perlu
dilakukan kerokan. Pada wanita berumur 20 sampai 40 tahun dilakukan kerokan,
kemungkinan besar penyebabnya adalah kehamilan terganggu, polip, mioma
submukosum dan sebagainya. Pada wanita pramenopause dilakukan kerokan untuk
memastikan ada tidaknya tumor ganas.

Pemeriksaan menyeluruh pada perut dan panggul sangat penting. Sitologi serviks
harus diperoleh jika diindikasikan. Hitung darah lengkap (CBC ± feritin) diperlukan
untuk menentukan derajat anemia.pemeriksaan lain yang harus dipertimbangkan
meliputi: thyrotropin stimulating hormone, ketika gejala lain muncul dari disfungsi
tiroid , prolaktin, pada hari 21 hingga 23 progesteron diperiksa untuk verifikasi status
ovulasi, folikel stimulating hormone dan luteinizing hormon untuk memverifikasi
status menopause atau untuk mendukung diagnosis penyakit ovarium polikistik, dan
profil koagulasi saat menorrhagia hadir pada masa pubertas atau jika ada klinis
kecurigaan untuk koagulopati.

II.5. Pemeriksaan penunjang


a. Penilaian atas endometrium
Penilaian endometrium dilakukan untuk mendiagnosis keganasan atau kondisi
pra-keganasan dan untuk mengevaluasi pengaruh hormonal endometrium. Spencer
dkk memperlajari 142 kasus untuk menentukan nilai dari metode evaluasi
endometrium di wanita dengan AUB. Data ini tidak mendukun untuk
mengevaluasi endometrium. Pemeriksaan endometrium harus dipertimbangkan
pada semua wanita di atas 40 tahun dengan perdarahan abnormal atau wanita yang
beresiko tinggi terkena kanker endometrium,termasuk: nulliparity dengan riwayat
infertilitas, perdarahan yang tidak teratur, obesitas (≥ 90 kg); ovarium polikistik;
riwayat keluarga dengan kanker endometrium dan kolon, dan menggunakan terapi
tamoxifen. Hal ini juga penting untuk mengevaluasi histopatologi endometrium
pada wanita yang tidak memiliki perbaikan dalam pendarahannya. Pada SOGC
pedoman “Diagnosis Kanker Endometrium pada Wanita Dengan Perdarahan
vagina abnormal (2000)” meninjau dengan membuktikan pengambilan sampel
endometrium yang berisi algoritma yang menunjukkan kursus manajemen dalam
penilaian endometrium.

b. Teknik sampling untuk endometrium

41
Kantor biopsi endometrium menghasilkan sampel yang memadai untuk 87- 97
persen dan mendeteksi 67-96 persen kanker endometrium. Meskipun pilihan
sampling dapat dipengaruhi oleh keakurasiannya dan tidak ada metode sampel
untuk memeriksa seluruh endometrium. Sampel histeroskopik digunakan untuk
mendeteksi persentase yang lebih tinggi pada kelainan bila dibandingkan dengan
dilatasi dan kuretase (D & C) sebagai diagnostik procedure. Bahkan jika rongga
rahim tampak normal pada histeroskopi, endometrium tetap harus diperiksa
karena histeroskopi saja tidak cukup untuk mendeteksi neoplasia endometrium
dan carcinoma.(II A)

c. Dilatasi dan kuret


Dalam 10 - 25 persen wanita dengan D & C saja tidak dapat mengungkap
patologi yang terjadi pada endometrium. D & C dihubungkan dengan perforasi
uterus di 0,6-1,3 persen dari kasus dan perdarahan pada 0,4 persen kasus.D & C
adalah prosedur buta dengan kesalahan signifikan pada pengambilan sampel dan
juga memerlukan anestesi yang dapat membawa risiko komplikasi. Ini harus
disediakan untuk situasi-situasi dimana kantor biopsi atau biopsi langsung pada
histereroskopi tidak tersedia.

d. Ultrasonografi
Transvaginal sonografi (TVS) untuk menilai ketebalan endometrium dan
mendeteksi polip dan myomata dengan sensitivitas 80 % dan spesifisitas 69 %.
Meskipun ada bukti bahwa ketebalan endometrium mungkin menjadi indikasi
patologi pada wanita pascamenopause, seperti untuk wanita di tahun-tahun
reproduksinya. Meta-analisis dari 35 penelitian menunjukkan bahwa pada
menopause wanita, ketebalan endometrium 5 mm pada USG dan memiliki
sensitivitas 92 persen untuk mendeteksi penyakit endometrium serta 96 persen
untuk mendeteksi cancer. Hal ini tidak membantu ketika ketebalan antara 5 dan 12
mm.

II.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional secara umum perlu
memperhatikan faktor-faktor berikut:
a. Umur, status pernikahan, fertilitas.
Hal ini dihubungkan dengan perbedaan penanganan pada tingkatan
perimenars, reproduksi dan perimenopause. Penanganan juga seringkali berbeda

42
antara penderita yang telah dan belum menikah atau yang tidak dan yang ingin
anak.

b. Berat, jenis dan lama perdarahan.


Keadaan ini akan mempengaruhi keputusan pengambilan tindakan mendesak
atau tidak.

c. Kelainan dasar dan prognosisnya


Pengobatan kausal dan tindakan yang lebih radikal sejak awal telah dipikirkan
jika dasar kelainan dan prognosis telah diketahui sejak dini.

Pada dasarnya tujuan penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional adalah:


1. Memperbaiki keadaan umum
2. Menghentikan perdarahan
3. Mengembalikan fungsi hormon reproduksi.Yang meliputi: pengembalian
siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan siklus anovulatorik menjadi
ovulatorik atau perbaikan suasana sehingga terpenuhi persyaratan untuk
pemicuan ovulasi.
4. Menghilangkan ancaman keganasan

Pada perdarahan uterus disfungsional langkah pertama yang harus dikerjakan


adalah memperbaiki keadaan umum, termasuk pengatasan anemia. Langkah kedua
adalah menghentikan perdarahan, baik secara hormonal maupun operatif. Setelah
keadaan akut teratasi, sebagai langkah ketiga, dilakukan upaya pengembalian fungsi
normal siklus haid dengan cara mengembalikan keseimbangan fungsi hormon
reproduksi.
Kadang-kadang pengeluaran darah pada perdarahan disfungsional sangat
banyak dalam hal ini penderita diistirahatkan dan diberi transfusi dan dilakukan
pemeriksaan untuk meyakinkan tidak adanya abortus inkompletus dan perdarahan
diyakini berasal dari uterus, maka dapat diberikan terapi hormonal.

1. PUD Ovulatoar :
- Perdarahan tengah siklus
Esterogen 0,625 – 1,25 mg hari ke 10 – 15 siklus

- Perdarahan bercak pra haid


Progesteron 5 – 10 mg hari ke 17 – 26 siklus

- Perdarahan pasca haid Esterogen 0,625 – 1,25 mg hari ke 2 – 7 siklus

43
- PolimenoreProgesteron 10 mg, hari ke 18 – 25 siklus

2. PUD anovulatoar
Hentikan perdarahan segera
- Kuret medisinalis
Esterogen 20 hari diikuti progesteron 5 hari
- Pil KB kombinasi
2 x 1 tablet 2 –3 hari diteruskan 1 x 1 tablet 21 hari
- Progesteron
10 – 20 mg selama 7 – 10 hari

Setelah darah berhenti atur siklus haid


- Dengan esterogen progesteron selama 3 siklus
- Pengobatan sesuai kelainan
¨ Anovulasi ® Stimulasi Klomifen
¨ Hiperrolaktin ® Bromokriptin
¨ Polikistik ovarii ® Kortikosteroid ® lanjutkan stimulasi Klomifen.

Dibagi dalam 2 pengobatan :

1. Manajemen medis

Usia, keinginan untuk mempertahankan kesuburan, hidup bersama kondisi


medis, dan keinginan pasien adalah pertimbangan penting. Untuk masing-masing
metode yang disarankan, pasien harus menyadari risiko dan kontraindikasi untuk
memungkinkan pilihan informasi. Derajat kepuasan pasien dapat dipengaruhi oleh
keberhasilan, harapan, biaya, ketidaknyamanan, dan efek samping.

a. Non-steroid anti-inflammatory

Prostaglandin pada endometrium meningkat pada wanita dengan


perdarahan menstruasi yang hebat. Non-steroid anti-inflammatory drugs
(NSAID) menghambat cyclo-oxygenase dan mengurangi level prostaglandin
pada endometrium. Dalam percobaan, NSAID dapat menurunkan kehilangan
darah pada menstruasi pada 20 - 50 percent. NSAID juga meningkatkan

44
dismenore lebih dari 70 persen dari pasien. Terapi harus mulai pada hari
pertama menstruasi dan dilanjutkan selama lima hari atau sampai berhentinya
menstruasi. (I A)

b. Agen antifibrinolytic

Asam traneksamat (cyclokapron), dapat menurunan sintetis dari Asam


amino lisin, menyebabkan efek antifibrinolytic melalui reversible blokade
pada plasminogen. Obat ini tidak memiliki efek pada pembekuan darah atau
dysmenorrhea. Sepertiga perempuan mengalami efek samping, antara lain
mual dan kram kaki. Traneksamat Asam 1 g setiap enam jam untuk empat hari
pertama dari siklus menstruasi dapat mengurangi kehilangan darah menstruasi
hingga 40 persen.

c. Danazol

Danazol adalah steroid sintetik dengan sifat androgenik ringan,


menghambat steroidogenesis di ovarium dan memiliki efek pada jaringan
endometrium serta mengurangi kehilangan darah menstruasi hingga 80 persen.
Terapi danazol (100-200 mg per hari), 20 persen pasien melaporkan amenore
dan 70 persen melaporkan oligomenore. Sekitar 50 persen dari pasien
melaporkan tidak ada efek samping dengan danazol sedangkan 20 persen lagi
melaporkan efek sampingnya sedikit. keluhan yang paling umum adalah berat
badan naik 2-6 kilogram dalam 60 persen pasien. Yang direkomendasikan
pengobatan adalah 100 hingga 200 mg sehari selama 3 bulan.

d. Progestin

Percobaan terkontrol menunjukkan bahwa progestin siklik menjadi


kurang efektif dalam mengontrol perdarahan berat pada menstruasi yang
teratur bila dibandingkan dengan NSAID dan asam traneksamat. Progestin
berguna untuk wanita dengan siklus yang tidak teratur dan dengan siklus
anovulasi bila diberikan selama 12 sampai 14 hari setiap bulan .
Medroxyprogesterone asetat diberikan untuk kontrasepsi untuk menginduksi
amenore dalam tahun pertama pada 80 persen wanita,dan sebanyak 50 persen
dengan perdarahan yang tidak teratur.

45
e. Kombinasi pil kontrasepsi oral

Penurunan perdarahan menstruasi dengan penggabungan pil komninasi


kontrasepsi oral (OC) adalah hasil dari induksi atrofi endometrium. Sebuah uji
coba terkontrol secara acak pada wanita yang menggunakan OC yang
mengandung 30 mg etinil estradiol menunjukkan terjadi pengurangan 43
persen pada kehilangan darah pada menstruasi. Dua studi kasus kontrol telah
menemukan bahwa pengguna OC jarang mengalami perdarahan menstruasi
yang banyak dan anemia. keuntungan tambahan pada OC adalah sebagai
kontrasepsi oral dan dapat pengurangan dismenore.

2. Manajemen Bedah

a. Dilatasi dan kuret

Tidak ada laporan dari percobaan terkontrol acak yang


membandingkan D & C dan pengobatan potensial lainnya untuk sembuh dari
menorrhagia. Penelitian hanya dilakukan untuk mengukur kehilangan darah
sebelum dan setelah D & C dimana ditemukan pengurangan sementara darah
menstruasi segera setelah prosedur, namun, kerugiannya dapat kembali ke
tingkat sebelumnya atau dapat lebih banyak keluar darah pada menstruasi
berikutnya setelah pengobatan. D&C mungkin memiliki peran diagnostik
ketika biopsi endometrium tidak meyakinkan dan gejalanya menetap.

b. Penghancuran endometrium

Penghancuran endometrium dapat dilakukan dengan beberapa teknik


bedah. Ablasi endometrium histeroskopi dengan photocoagulation, Rollerball,
elektrokoagulasi atau loop resection dengan hasil jangka panjang.
endometrium ablasi telah dievaluasi secara klinis selama 20 tahun terakhir.
Beberapa penelitian selama 6,5 tahun telah menunjukkan tingkat kepuasan
sekitar 85 percent. Pada studi, sekitar 10 persen wanita akan memilih untuk
histerektomi dan 10 persen akan memerlukan pengulangan ablasi
endometrium untuk pengobatan awal yang gagal. Hysteroscopic adalah
pengobatan yang efektif untuk pengelolaan menorrhagia kronis yang tidak
responsif terhadap terapi medis. Ablasi endometrial baik dibandingkan dengan

46
histerektomi dalam uji acak bila dibandingkan dengan efektivitas dan biaya
meskipun analisis jangka panjang harus mencakup biaya banyak.

c. Histerektomi

Risiko utama operasi harus ditimbang. Histerektomi adalah solusi


permanen untuk pengobatan menorrhagia dan perdarahan uterus abnormal dan
berhubungan dengan tingkat kepuasan pasien. Bagi wanita yang telah
melahirkan anak dapat memilih tindakan ini dan telah mencoba konservatif
Terapi tanpa hasil yang dapat diterima, histerektomi seringkali pilihan terbaik.

5. GANGGUAN MIKSI: INKONTINENSIA, DISURIA

Definisi

Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya urin


(Purnomo, 2003). Sedangkan menurut International Incontinence Society (ICS) inkontinensia
urin adalah keluarnya urin secara involunter, dapat ditunjukkan secara objektif dan
menimbulkan masalah sosial atau higienitas (Yap and Tan, 2006).
Epidemiologi
Prevalensi kejadian ini cukup tinggi yaitu mengenai lebih dari 200 juta orang di
seluruh dunia. Di Indonesia prevalensinya sekitar 10-40% pada wanita dan 4-8% diantaranya
sudah dalam keadaan cukup parah pada saat datang berobat. Pada pria, prevalensinya lebih
rendah yaitu kurang lebih separuhnya. Pada manula prevalensinya lebih tinggi daripada usia
reproduksi, yaitu sekitar 38% pada wanita dan 19% pada pria. Angka ini belum
menggambarkan seluruh kejadian inkontinensia urin karena keadaan ini masih dianggap
sebagai bagian normal dari penuaan (Purnomo, 2003; Tanagho, 2008).
Klasifikasi

47
Inkontinensia urin dapat disebabkan oleh kelainan pada buli-buli atau pada uretra
(sfingter) (Purnomo, 2003). Inkontinensia urin dapat diklasifikasikan sebagai berikut
(Tanagho, et al,2008):
 Inkontinensia urge
 Inkontinensia stress
 Inkontinensia overflow (paradoksal)
 Inkontinensia kontinua/true

Inkontinensia Urge
Inkontinensia urge adalah keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan segera setelah
timbul keinginan miksi. Pasien inkontinensia urge mengeluh tidak dapat menahan kencing
segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan oleh otot detrusor sudah
mulai mengadakan kontraksi saat kapasitas buli-buli belum terpenuhi. Frekuensi miksi
menjadi lebih sering dan disertai perasaan urgensi (Purnomo, 2003).
Inkontinensia urge meliputi 22% dari semua inkontinensia pada wanita (Purnomo,
2003).
Penyebab inkontinensia urge adalah kelainan yang berasal dari buli-buli, diantaranya
adalah overeaktivitas detrusor dan menurunnya komplians buli-buli. Overeaktivitas otot
detrusor disebabkan oleh kelainan neurologik (hiper-refleksi detrusor), kelainan non-
neurologis (instabilitas detrusor), atau kelainan lain yang belum diketahui (over-reaktivitas
detrusor). Penyebab hiper-refleksia detrusor diantaranya adalah stroke, penyakit Parkinson,
cedera korda spinalis, sklerosis multipel, spina bifida atau mielitis transversa. Instabilitas
detrusor seringkali disebabkan oleh obstruksi infravesika, paska bedah intravesika, batu buli-
buli, tumor buli-buli, dan sistitis.

Inkontinensia Stress
Inkontinensia stress adalah keluarnya urin dari uretra saat terjadi peningkatan tekanan
intraabdominal. Hal ini terjadi karena sfingter uretra tidak mampu mempertahankan tekanan
intrauretra pada saat tekanan intravesika meningkat. Peningkatan tekanan intraabdomen
dipacu oleh batuk, bersin, tertawa, berjalan, berdiri, atau mengangkat benda berat (Purnomo,
2003). Inkontinensia stress juga disebabkan oleh kelemahan otot panggul (Tanagho, 2008).
Inkontinensia stress banyak dijumpai pada wanita, merupakan jenis inkontinensia urin
yang paling banyak prevalensinya, yakni kurang lebih 8-33%.
Penyebab inkontinensia urin pada pria yaitu kerusakan sfingter uretra eksterna paska
prostatektomi, sedangkan pada wanita yaitu hipermobilitas uretra dan defisiensi kolagen
intrinsik uretra. Hipermobilitas uretra disebabkan karena kelemahan otot-otot dasar panggul
yang berfungsi sebagai penyangga uretra dan buli-buli. Kelemahan otot ini menyebabkan
penurunan (herniasi) dan angulasi leher buli-buli – uretra saat terjadi peningkatan tekanan

48
intraabdomen. Herniasi dan angulasi tersebut terlihat sebagai terbukanya leher buli-buli –
uretra sehingga menyebabkan bocornya urin dari buli-buli meskipun tidak ada peningkatan
tekanan intravesika. Penyebab kelemahan otot ini adalah trauma persalinan, histerektomi,
perubahan hormonal (menopause), atau kelainan neurologi. Akibat defisiensi estrogen, pada
masa menopause, terjadi atrofi jaringan genitourinaria (Purnomo, 2003).
Blaivas dan Olsson mengklasifikasikan inkontinensia stress berdasarkan penurunan
letak leher buli-buli dan uretra setelah pasien diminta melakukan manuver Valsava. Penilaian
dilakukan berdasarkan pengamatan klinis keluarnya urin dan dengan video-urodinamik.
Klasifikasinya yaitu sebagai berikut:
 Tipe 0: pasien mengeluh inkontinensia urin stress, tetapi tidak ditemukan kebocoran
urin pada pemeriksaan dan pada video-urodinamik tampak leher buli-buli dan uretra
terbuka setelah manuver Valsava.
 Tipe I: terdapat penurunan <2 cm dan kadang-kadang disertai sistokel yang masih
kecil.
 Tipe II: penurunan >2 cm dan seringkali disertai sistokel; sistokel mungkin berada di
dalam vagina (tipe IIA) atau di luar vagina (tipe IIB).
 Tipe III: leher buli-buli dan uretra tetap terbuka meskipun tanpa adanya kontraksi otot
detrusor maupun manuver Valsava, sehingga urin selalu keluar karena faktor gravitasi
atau penambahan tekanan intravasika (gerakan) yang minimal. Tipe ini disebabkan
oleh defisiensi sfingter intrinsik.

Inkontinensia Paradoksal
Inkontinensia paradoksal (overflow) adalah keluarnya urin tanpa dapat dikontrol pada
keadaan volume urin di buli-buli melebihi kapasitasnya. Detrusor mengalami kelemahan
sehingga terjadi atonia atau arefleksia. Keadaan ini ditandai dengan overdistensi buli-buli
(retensi urin), tetapi karena buli-buli tidak mampu lagi mengosongkan isinya, tampak urin
selalu menetes dari meatus uretra. Kelemahan otot detrusor ini dapat disebabkan karena
obstruksi uretra, neuropati diabetikum, cedera spinal, defisiensi vitamin B12, atau paska
bedah pada daerah pelvik (Purnomo, 2003).

Inkontinensia Kontinua
Inkontinensia urin kontinua adalah urin yang selalu keluar setiap saat dan dalam
berbagai posisi. Keadaan ini paling sering disebabkan oleh fistula sistem urinaria yang
menyebabkan urin tidak melewati sfingter uretra. Fistula vesikovagina seringkali disebabkan
oleh operasi ginekologi, trauma obstetri, atau paska radiasi di daerah pelvik. Fistula sistem
urinaria yang lain adalah fistula ureterovagina. Keadaan ini disebabkan karena cedera ureter
paska operasi daerah pelvik. Penyebab lain inkontinesia kontinua adalah muara ureter

49
ektopik. Urin yang disalurkan melalui ureter ektopik langsung keluar tanpa melalui hambatan
sfingter uretra eksterna sehingga selalu bocor, tetapi pasien masih bisa melakukan miksi
seperti orang normal (Purnomo, 2003).

Inkontinensia Fungsional
Sebenarnya pasien ini kontinen, tetapi karena adanya hambatan tertentu, pasien tidak
mampu menjangkau toilet pada saat keinginan miksi timbul sehingga kencingnya keluar
tanpa dapat ditahan. Hambatan itu dapat berupa gangguan fisis misalnya artritis, paraplegia
inferior, dan stroke; gangguan kognitif seperti demensia; maupun pasien yang sedang
mengkonsumsi obat-obatan seperti diuretik, antikolinergik, narkotik, dan antagonis adrenegik
alfa (Purnomo, 2003).
Pada pasien tua seringkali mengeluh inkontinensia urin sementara yang dipacu
beberapa keadaan yang disingkat dengan DIAPPERS, yakni Delirium, Infection (infeksi
saluran kemih), Atrophic vaginitis/urethtritis, Pharmaceutical, Psycological, Excess urine
output, Restricted mobility, dan Stool impaction (Purnomo, 2003).

Anamnesis
Beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada pasien inkontinensia urin antara lain:
 Onset keluhan dan progresivitasnya.
 Seberapa jauh inkontinensia ini mengganggu kehidupan pasien.
 Jumlah urin yang dikeluarkan saat inkontinensia.
Keluarnya tetesan-tetesan urin yang tidak mampu dicegah dapat dijumpai pada
inkontinensia paradoksal atau inkompetensi uretra, sedangkan keluarnya urin dalam
jumlah sedang dijumpai pada overaktivitas detrusor. Jumlah urin yang banyak
dijumpai pada inkontinensia kontinua.
 Apakah pasien selalu memakai pempers dan seberapa sering ganti?
 Pada malam hari seberapa sering miksi atau mengganti pempers?
 Ada atau tidak faktor pencetus seperti batuk, bersin, atau aktivitas lain yang
mendahului inkontinensia, merupakan tanda dari inkontinensia stress. Kontraksi
detrusor dini seperti pada inkontinensia urge kadang dapat dicetuskan oleh faktor-
faktor tersebut.
 Adanya keluhan urgensi dan frekuensi, pertanda overreaktivitas detrusor.
 Diare, konstipasi, dan inkontinensia alvi mengarah pada kelainan neurologis.
 Ada riwayat penyakit yang lalu harus dicari. Hal ini berkaitan dengan faktor
predisposisi terjadinya inkontinesia seperti diabetes melitus, kelainan neurologi,
infeksi saluran kemih berulang, dan atrofi genitourinaria pada menopause serta
riwayat operasi maupun radiasi di daerah pelvis. Riwayat melahirkan juga perlu
diperhatikan yaitu apakah multipara, partus kasep, dan bayi besar yang kesemuanya
dapat menyebabkan inkompetensi sfingter dan kelemahan otot panggul. Riwayat obat-

50
obatan yang dikonsumsi juga dapat mempengaruhi seperti diuretik (Tanagho et al,
2998; Purnomo, 2003).
 Pemeriksaan Fisik
Secara umum harus dilakukan pemeriksaan fisik menyeluruh. Pemeriksaan fisik
khusus yang dilakukan meliputi pemeriksaan abdomen, urogenital, dan neurologis (Purnomo,
2003).
Pada pemeriksaan abdomen dicari kemungkinan distensi buli-buli yang merupakan
tanda inkontinensia paradoks; atau adanya massa di pinggang dari hidronefrosis. Jaringan
parut bekas operasi pelvis atau abdomen juga dicari. Pada pemeriksaan urogenital, perhatikan
orifisium uretra dan vagina. Jika terdapat penonjolan orifisium eksternum mungkin
merupakan suatu proses inflamasi atau divertikulum. Minta pasien melakukan manuver
Valsava; jika terdapat penurunan leher buli-buli – uretra dan terdapat urin yang keluar,
kemungkinan pasien menderita inkontinensia stress. Dengan menggunakan spekulum,
perhatikan perubahan dan penebalan mukosa vagina yang merupakan tanda vaginitis
atrofikas akibat defisiensi estrogen, yang dapat terlihat pada inkontinensia urge. Perhatikan
adanya sistokel, enterokel, prolapsus uteri, atau rektokel yang menyertai inkontinensia stress.
Palpasi bimanual untuk mencari adanya massa pada uterus atau adneksa (Purnomo, 2003).
Pemeriksaan status mental diperlukan untuk mencari tanda demensia. Pemeriksaan
neurologis dermatom dilakukan terhadap saraf yang menginervasi vesikouretra, yaitu nervus
pudendus dan nervus pelvikus berasal dari korda spinalis S2-4, dapat diperiksa dengan cara:
angkle jerk refleks (S1 dan S2), fleksi toe dan arch the feet (S2 dan S3), dan tonus sfingter ani
atau refleks bulbokavernosa (S2-4). Sfingter ani yang flaksid menunjukkan adanya
kelemahan otot detrusor (Purnomo, 2003).

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yakni urinalisis dan kultur urin digunakan untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya proses inflamasi/infeksi.
Pemeriksaan urodinamik digunakan untuk membantu menentukan jenis dan derajat
inkontinensia, serta untuk evaluasi sebelum dan sesudah terapi. Termasuk pemeriksaan
urodinamik adalah pemeriksaan uroflometri, pengukuran profil tekanan uretra, sistometri,
valsava leak point pressure, serta video urodinamika (Purnomo, 2003).
Pemeriksaan urodinamik yang paling sederhana adalah mengukur tekanan intravesika
dengan urodinamik eyeball. Dalam posisi dorsolitotomi pasien dipasang kateter. Setelah sisa
urin dikeluarkan, ujung kateter dihubungkan dengan semprit 50 mL tanpa pendorongnya, dan
diletakkan setinggi buli-buli (simfisis pubis). Kateter diisi air steril dengan perlahan-lahan
melalui semprit secara gravitasi. Lalu minta pasien mengatakan jika ada perasaan penuh di

51
buli-buli. Catat dan perhatikan volume air yang dimasukkan dan ketinggian air pada
meniskus (Purnomo, 2003).
 Buli-buli normal: meniskus konstan selama pengisian buli-buli hingga tercapai
volume kapasitas buli-buli. Meniskus akan naik perlahan pada pengisian berikutnya.
 Komplians buli-buli menurun: meniskus naik sebanding dengan volume air yang
dimasukkan.
 Instabilitas buli-buli: meniskus tiba-tiba naik saat pengisian.
 Uninhibited contraction: ada rembesan air di sela-sela kateter.
Pemeriksaan pencitraan yang meliputi pielografi intravena dan sistografi diperlukan
untuk mencari kemungkinan adanya fistula ureterovagina, muara ureter ektopik, dan
penurunan leher buli-buli – uretra (Purnomo, 2003). Sistourethroskopi dapat melihat keadaan
patologi seperti fistula, ureter ektopik maupun divertikulum.
Pemeriksaan residu urin dengan katerisasi atau ultrasonografi post miksi dilakukan
untuk mengetahui adanya obstruksi infravesika atau kelemahan otot detrusor.
Tatalaksana
Inkontinensia urin merupakan gejala, untuk itu terapi ditujukan pada penyakit
penyebab serta mengatasi permsalahan sosial yang timbul. Pada inkontinensia stress atau
urge, pilihan terapi tergantung dari derajat keparahan inkontinensia.
Tabel 1. Pilihan terapai pada inkontinensia urin
Jenis Latihan Medikamentosa Tindakan invasif
inkontinensia
Urge Behavioral Lihat tabel 2. Augmentasi buli-buli
Biofeedback Neuromodulasi
Bladder drill Rhizolisis
Stress Pelvic floor Agonis adrenergik alfa Kolposuspensi
Antidepresan trisiklik TVT
exercise
Hormonal Injeksi kolagen
Paradoksal - Desobstruksi
Total - Sfingter artifisial

Medikamentosa
Inkontinensia urge
Tujuan terapi pada inkontinensia urge adalah meningkatkan kapasitas buli-buli,
meningkatkan volume urin yang pertama kali memberi sensasi miksi, dan menurunkan
frekuensi kencing. Dipilih obat-obatan yang menghambat kontraksi otot detrusor atau yang
menghambat impuls aferen dari buli-buli.

Tabel 2. Obat pilihan pada inkontinensia urge


Sistemik Topikal

52
 Antikolinergik (oksibutinin,  Penghambat jalur eferen:
o Oksibutinin
propantelin bromid, tolterodin tartrat)
o Atrofin
 Pelemas otot polos (disiklomin,
 Penghambat jalur aferen:
flavoxat) o Anestesi lokal
 Antidepresan trisiklik (imipramin) o Kapsaisin
 Antiprostaglandin o Rasiniferatoksin
 Penghambat kanal kalsium

Antikolonergik. Ikatan obat ini pada reseptor muskarinik lebih kuat daripada ikatan
asetilkolin sehingga menghambat transmisi impuls yang mencetuskan kontraksi detrusor.
Obat ini meningkatkan kapasitas buli-buli dan mengobati overreaktivitas buli-buli. Efek
samping yang dapat terjadi yaitu mulut kering, konstipasi, pandangan kabur, takikardia,
drowsiness, dan meningkatkan tekanan intraokuli (Purnomo, 2003). Dikontraindikasikan
pada pasien dengan retensi urin.
Pelemas otot polos. Obat ini berguna pada hiperrefleksia otot spasmodik.
Antidepresan trisiklik. Obat ini dapat digunakan sebagai pelemas otot, memberikan anestesi
lokal pada buli-buli, dan berefek antikolinergik. Efek samping yang dapat terjadi yaitu
kelemahan, mudah lelah, hipotensi postural, pusing, dan sedasi. Pemakaian pada usia lanjut
sebaiknya dibatasi.
Penghambat kanal kalsium. Efek yang diharapkan yaitu menurunnya kontraksi otot detrusor
pada instabilitas buli-buli. Efek sampingnya yaitu flushing, pusing, palpitasi, hipotensi, dan
refleks takikardi.
Prostaglandin berperan pada eksitasi neurotransmisi pada saluran kemih bagian bawah.

Inkontinensia stress
Tujuan terapinya yaitu meningkatkan tonus sfingter uretra dan resistensi bladder
outlet.
Agonis alfa adrenergik. Obat ini menstimulasi reseptor alfa adrenergik yang menyebabkan
kontraksi otot polos pada leher buli-buli dan uretra posterior. Jenis obatnya yaitu efedrin,
pseudoefedrin, dan fenilpropanolamin. Efektif pada inkontinensia stress derajat ringan dan
sedang. Efek samping obat ini yaitu anoreksia, nausea, insomnia, konfusi, peningkatan
tekanan darah, dan ansietas.
Estrogen. Pemakaiannya pada inkontinensia stress masih diperdebatkan. Pemakaian
kombinasi dengan adrenergik alfa mempunyai efek sinergis. Pemberian estrogen pada
menopause dapat meningkatkan jumlah reseptor adrenergik alfa pada uretra.
Injeksi agen bulking. Terapi ini merupakan terapi terbaru untuk inkontinensia stress, yaitu
injeksi lokal, dekat sfingter uretra interna, agen bulking seperti asam hialuronat dan kolagen.
Tujuannya adalah menebalkan dan menutup jaringan uretravesikal.

53
2.4.5.3 Pembedahan
Inkontinensia yang disebabkan oleh fistula atau kelainan bawaan ektopik ureter
tindakan yang paling tepat adalah pembedahan, berupa penutupan fistula atau neoimplantasi
ureter ke buli-buli. Pada inkontinensia urge dan stress pembedahan dilakukan jika terapi
konservatif tidak memberikan hasil maksimal. Pada inkontinensia urge untuk mengurangi
evereaktivitas buli-buli dilakukan dengan rhizolisis, sedangkan penurunan komplians buli-
buli dilakukan dengan augmentasi buli-buli. Hipermobilitas uretra dikoreksi dengan suspensi
leher buli-buli dengan berbagai tekhnik antara lain Marshall-Marchetti-Kranzt, Burch,
Stamey, tension-free vaginal tape (TVT), atau tekhnik yang lain (purnomo, 2003). Tekhnik
Marshall-Marchetti-Kranzt melengketkan jaringan periuretra ke bagian posterior simfisis
pubis. Burch memodifikasi tekhnik tersebut dimana dinding anterior vagina diikat dengan
ligamen Cooper (Tanagho et al, 2008).

6. DISMENORE

Dismenorea adalah nyeri saat haid, biasanya disertai rasa kram dan terpusat di
abdomen bawah (Anwar et al, 2011; Katz et al, 2007; Speroff, 2005). Dikatakan nyeri haid
bila nyeri yang timbul tersebut menyebabkan perempuan datang berobat ke dokter atau
mengobati dirinya sendiri dengan obat anti nyeri (Anwar et al, 2011). Nyeri yang terjadi
sering disertai rasa mual, muntah, pusing, sakit kepala, nyeri punggung, sulit tidur,
berkeringat, diare, tremor, dan takikardi (Katz et al, 2007; Speroff, 2005).

Klasifikasi

Dismenorea dapat dibagi menjadi dua kelompok, dismenorea primer dan dismenorea
sekunder (Anwar et al, 2011; Katz et al, 2007; Lefebvre et al, 2005; Speroff et al, 2005).
Dismenorea primer biasanya hampir selalu terjadi pada wanita usia kurang dari 20 tahun.
Sedangkan dismenorea sekunder sering kali terjadi pada wanita usia lebih dari 20 tahun,

54
meskipun tidak menutup kemungkinan dapat juga terjadi pada wanita usia kurang dari 20
tahun (Katz et al, 2007).

Dismenorea Primer

Dismenorea primer adalah rasa nyeri saat menstruasi tanpa ditemukan adanya
kelainan patologi pada panggul (Anwar et al, 2011; Berek, 2002; Katz et al, 2007; Lefebvre
et al, 2005; Speroff, 2005). Intensitas rasa nyeri pada dismenorea primer dapat dibagi menjadi 3
yaitu ringan, sedang, dan berat (Katz et al, 2007).

Intensitas Keterangan

Tanpa gejala sistemik, jarang memerlukan analgesik,


Ringan
aktivitas sehari-hari jarang terpengaruh

Dengan beberapa gejala sistemik, memerlukan analgesik,


Sedang
aktivitas sehari-hari terganggu

Banyak gejala sistemik yang muncul, nyeri tidak banyak


Berat berkurang dengan analgesik, tidak dapat melakukan
kegiatan sehari-hari

(Sumber: Katz V.L., Lentz G.M., Lobo R.A., Gershenson D.M., 2007, Primary and
Secondary Dysmenorrhea, Premenstrual Syndrome, and Premenstrual Dysphoric
Disorder : Etiology, Diagnosis, Management, In: Katz: Comprehensive Gynecology, 5th
edn, Mosby, USA, pp 1989-2001)

B. Etiologi & Faktor Resiko

Dismenorea primer berhubungan dengan siklus ovulasi dan disebabkan oleh kontraksi
miometrium akibat adanya sintesis prostaglandin oleh endometrium pada saat fase sekresi.
(Anwar et al, 2011; Katz et al, 2007; Lefebvre et al, 2005; Speroff, 2005).

Molekul prostaglandin yang berperan menyebabkan dismenorea adalah prostaglandin


F2α (PGF2α) yang selalu menstimulasi kontraksi uterus. Didapatkan kadar prostaglandin
yang lebih tinggi pada cairan menstruasi wanita dengan dismenorea primer dibandingkan
dengan wanita tanpa dismenorea. Prostaglandin dibentuk dari asam arakidonat melalui jalur
siklooksigenase (COX) (Anwar et al, 2011; Dawood, 2006; Speroff et al, 2005).

Substansi lain yang diduga menyebabkan kontraksi uterus adalah leukotrien. Hal ini
dikemukakan karena ditemukan kadar leukotrien, khususnya leukotriene C4 dan D4, yang

55
meninggi pada sel-sel miometrium wanita dengan dismenorea primer dibandingkan dengan
wanita tanpa dismenorea. Namun mekanisme leukotrien dalam patogenesis dismenorea
primer masih belum bisa dimengerti sepenuhnya. Leukotrien juga merupakan derivat dari
asam arakidonat, namun pembentukan leukotrien melalui jalur 5-lipoksigenase, bukan
melalui jalur siklooksigenase, sehingga menyebabkan kemungkinan beberapa kasus
dismenorea primer yang tidak berespons terhadap terapi nonsteroidal anti inflammatory drug
(NSAID). Leukotrien mempunyai sifat kontraktan otot dan berfungsi sebagai mediator
inflamasi (Dawood, 2006; Mayes, 2003).

Beberapa faktor resiko yang diduga mempengaruhi dismenorea primer adalah riwayat
keluarga (ibu dan saudara perempuan) dengan dismenorea dan merokok (Katz et al, 2007;
Lefebvre et al, 2005). Stress karena beban kerja yang tinggi di tempat kerja juga dapat
menjadi faktor resiko dismenorea primer. Wanita yang stress 2x lipat lebih beresiko untuk
mengalami dismenorea primer (Wang et al, 2004).

C. Patogenesis

Penurunan progesteron pada akhir fase luteal menyebabkan ketidakstabilan lisosom


sel endometrium yang memicu lisosom untuk melepaskan enzim phospolipase. Enzim ini
menyebkan lisisnya membran sel sehingga akhirnya terbentuklah asam arakidonat. Asam
arakidonat akan dikonversi menjadi beberapa endoperoksida salah satunya prostaglandin
F2α, melalui jalur siklooksigenase (Berek, 2002; Dawood, 2006).

(Dawood,
200 6)

Gambar 2.1

56
Mekanisme Terbentuknya Prostaglandin

Pada wanita tanpa dismenorea, kontraksi miometrium uterus bergerak ritmik,


normalnya sekitar 3-4 kali selama 10 menit dengan tekanan di dalam uterus paling tinggi
sekitar 120 mmHg. Namun pada wanita dengan dismenorea primer, akibat induksi
prostaglandin kontraksi miometrium uterus bergerak tidak beraturan, lebih dari 5 kali per 10
menit menyebabkan peningkatan tekanan hingga kisaran 150-180 mmHg sehingga terjadilah
reperfusi aliran darah uterus. Nyeri berasal dari aktivitas uterus yang abnormal, iskemia
uterus, dan sensitisasi ujung-jung saraf oleh prostaglandin dan endoperoksida lainnya (Anwar
et al, 2011; Dawood, 2006; Katz et al, 2007; Lefebvre et al, 2005; Speroff et al, 2005).

D. Gejala Klinis

Dismenorea primer muncul saat remaja, biasanya sekitar 1-2 tahun segera setelah
menarche (Berek, 2002; Katz et al, 2007; Lefebvre et al, 2005). Nyerinya cenderung bersifat
kolik disertai rasa kram yang dirasakan di abdomen bawah daerah suprapubis. Nyeri dapat
juga meliputi daerah lumbosakral dan menjalar ke bagian permukaan paha. Nyeri dapat mulai
beberapa jam mendahului atau setelah keluarnya darah haid. Besarnya intensitas keluhan
nyeri sejalan dengan peningkatan tertinggi kadar prostaglandin saat haid terjadi, yaitu pada
48-72 jam pertama. Keluhan mual, muntah, pusing, nyeri kepala, atau diare yang sering
menyertai dismenore diduga karena masuknya prostaglandin ke sirkulasi sistemik (Anwar et
al, 2011; Berek, 2002; Dawood, 2006; Katz et al, 2007; Lefebvre et al, 2005; Speroff, 2005).
Nyeri yang dirasakan dapat membaik dengan masase abdomen, memberikan tekanan pada
abdomen, dan perubahan posisi tubuh (Berek, 2002).

E. Pemeriksaan

Pada pemeriksaan fisik, akan didapatkan tanda-tanda vital yang normal. Daerah
suprapubis mungkin akan teraba lunak pada palpasi. Bising usus normal, tidak didapatkan
nyeri tekan maupun nyeri lepas pada abdomen bagian atas. Bila dilakukan pemeriksaan
bimanual pada saat sedang terjadi episode dismenorea didapatkan nyeri pada uterus. Akan
tetapi nyeri yang muncul bukan diakibatkan karena gerakan serviks atau palpasi struktur
adneksa. Organ panggul didapatkan normal pada dismenorea primer (Berek, 2002).

Pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak dibutuhkan dalam mendiagnosis


dismenorea primer. Pemeriksaan yang mendetail hanya dilakukan bila dari gejala klinis
mengarah pada dismenorea sekunder (Lefebvre et al, 2005)

57
F. Penanganan

NSAID merupakan terapi yang sering digunakan untuk penanganan dismenorea


primer karena NSAID mempunyai efek analgetik yang secara langsung mencegah sintesis
prostaglandin oleh endometrium dengan cara menghambat siklooksigenase (Anwar et al,
2011; Dawood, 2006; Katz et al, 2007; Lefebvre et al, 2005; Speroff, 2005). Untuk
penggunaan NSAID yang efektif sebaiknya diberikan saat onset nyeri atau keluarnya darah
haid pertama kali. NSAID juga tidak perlu diberikan lebih dari 2-3 hari pertama haid (Berek,
2002; Dawood, 2006; Lefebvre et al, 2005; Speroff, 2005).

Efek samping penggunaan NSAID adalah gangguan pencernaaan, nyeri kepala,


pusing, pandangan kabur, nefrotoksik, hepatotoksik, bronkospasme, dan edema. Namun,
dengan pemberian obat hanya untuk 3 hari dan juga biasanya penderita dismenorea primer
masih muda dan sehat, maka efek samping jarang terjadi. Bila muncul pun biasanya terbatas
pada gangguan pencernaan seperti mual dan muntah, yang dapat dikurangi (dan memang
sebaiknya) pemberian obat segera setelah makan (Dawood, 2006; Lefebvre et al, 2005;
Speroff, 2005).

Tabel 2.2 Sediaan NSAID Untuk Penanganan Dismenorea Primer

(Sumber: Dawood M.Y., 2006, Primary Dysmenorrhea Advances in Pathogenesis and


Management, American College of Obstetricians and Gyenecologists Journal, Vol 108,
USA, pp 428-41)

Terapi lain yang efektif digunakan untuk penanganan dismenorea primer adalah pil
kontrasepsi kombinasi (Anwar et al, 2011; Dawood, 2006; Katz et al, 2007; Lefebvre et al,
2005; Speroff, 2005). Pil kontrasepsi kombinasi bekerja dengan cara mencegah ovulasi dan
pertumbuhan jaringan endometrium sehingga mengurangi jumlah darah haid dan sekresi

58
prostaglandin serta kram uterus. Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi sangat efektif untuk
mengatasi dismenorea primer dan sekaligus akan membuat siklus haid teratur (Anwar et al,
2011; Lefebvre et al, 2005). Monofasik dan trifasik sama efektifnya dalam mengatasi
dismenorea primer (Lefebvre et al, 2005).

Progestin dapat juga dipakai untuk pengobatan dismenorea primer, misalnya medroksi
progesteron asetat (MPA) 5 mg atau didrogesteron 2 x 10 mg mulai haid hari ke-5 sampai 25
(Anwar et al, 2011). Pasien yang kontraindikasi penggunaan NSAID seperti penderita ulkus
gastroduodenum atau alergi NSAID disarankan untuk menggunakan pil kontrasepsi
(Dawood, 2006).

Bila penggunaan obat-obatan tersebut gagal mengatasi nyeri haid, sebaiknya


dipertimbangkan laparoskopi atau ultrasonografi (USG) untuk mencari penyebab dismenorea
sekunder (Lefebvre et al, 2005; Speroff, 2005)

Dismenore Sekunder

Dismenorea sekunder adalah nyeri haid yang berhubungan dengan berbagai kelainan
patologis pada panggul (Anwar et al, 2011; Berek, 2002; Katz et al, 2007; Lefebvre et al,
2005; Speroff, 2005). Dismenorea sekunder dipikirkan bila pada anamnesis dan pemeriksaan
curiga ada patologi panggul atau tidak respon dengan obat-obatan untuk dismenorea primer
(Anwar et al, 2011).

B. Etiologi

Endometriosis menjadi penyebab tersering dismenore sekunder, yang mana penyakit


ini juga dapat terjadi pada pasien usia remaja. Pada sebuah studi yang dilakukan terhadap 100
wanita dengan rasa nyeri yang tidak teratasi dengan obat-obatan NSAID, 80% ditemukan
endometrioisis saat dilakukan laparoskopi (Lefebvre et al, 2005). Penyebab lain yaitu
adenomiosis, stenosis serviks, penyakit radang panggul, perlekatan panggul, anomali duktus
müllerian, polip uteri, dan irritable bowel syndrome (Anwar et al, 2011; Berek, 2002; Katz et
al, 2007; Lefebvre et al, 2005; Speroff, 2005).

C. Patogenesis

Patogenesis yang mendasari terjadinya dismenorea sekunder masih belum bisa


dijelaskan sepenuhnya (Berek, 2002)

59
D. Gejala Klinis

Dismenorea sekunder biasanya muncul beberapa tahun setelah menarche. Nyerinya


seringkali dirasakan 1-2 minggu sebelum haid dan berlanjut sampai beberapa hari setelah
haid berhenti (Berek, 2002). Dismenorea sekunder juga disertai dengan gejala ginekologi
lainnya, tergantung penyakit yang mendasari. Pada kasus endometriosis sering kali disertai
adanya keluhan nyeri senggama (dispareunia) dan sulit punya anak (infertilitas) (Katz et al,
2007). Jika dismenorea disertai keluhan menoragia dan pembesaran uterus yang merata,
diagnosis yang mungkin adalah adenomiosis. Pada pasien yang pernah punya riwayat
dilakukan prosedur bedah pada serviks seperti tindakan cerclage dan conization maka
kemungkinan penyebab dismenoreanya adalah stenosis serviks (Lefebvre et al, 2005).

7. INFEKSI GENITALIA: VULVOVAGINITIS, BARTHOLINITIS

KANDIDIASIS VULVOVAGINITIS

DEFINISI

Kandidiasis vulvovaginitis adalah penyakit infeksi yang terjadi pada daerah vulva dan vagina
yang disebabkan oleh adanya berbagai jenis Candida, secara sekunder bisa juga terjadi akibat
penurunan daya tahan tubuh seseorang, ditandai oleh adanya secret bewarna putih serta
adanya rasa gatal di daerah vagina. Kandidiasis vulvovaginitis merupakan penyebab infeksi
terbanyak kedua pada infeksi vulvovaginal, dimana pada nomor urut satu bacterial vaginosis
merupakan penyebab terbanyak.3

Meskipun kemajuan terapi semakin pesat, kandidiasis vulvovaginitis tetap menjadi


masalah umum di seluruh dunia, dan bisa menyerang semua strata masyarakat. Pemahaman
mekanisme anti candida pertahanan hospes di vagina telah berkembang secara lambat,
meskipun demikian penelitian serta penemuan factor risiko diakui cukup banyak, namun
pemahaman mendasar dari mekanisme patogenik terusluput dari kita.3

Tidak adanya identifikasi cepat, tes diagnostik sederhana, dan murah sehingga
menyebabkan adanya overdiagnosis dan underdiagnosis dari kandidiasis vulvovaginitis.
Adapun faktor resko terjadinya kandidiasis vulvovaginitis, antara lain, kehamilan,

60
penggunaan antibiotik, penggunaan corticosteroid, immunocompromised, dan diabetes,
sebagian besar dari faktor resiko di atas hampir berhubungan dengan pertahanan tubuh.

Kandidiasis vulvovaginitis ialah penyakit jamur candida yang mengenai mukosa


vagina dan vulva. Penyebabnya yang tersering biasanya adalah candida albicans. Nama lain
dari penyakit ini adalah kandidosis vulvovaginitis atau Mycotic Vulvovaginitis. 3 Biasanya
sering terdapat pada penderita diabetes mellitus karena kadar gula darah dan urin yang tinggi
pada perubahan hormonal.4

EPIDEMIOLOGI

Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur, baik laki-laki
maupun perempuan. Jamur penyebabnya terdapat pada orang sehat sebagai saprofit.
Gambaran klinisnya bisa bermacam-macam sehingga tidak diketahui data-data penyebaran
tepat.5 Penyakit Kandidiasis ini dapat menyerang berbagai kelompok usia dan terdapat
diberbagai belahan dunia. Penyebab Kandidiasis merupakan organisme normal yang terdapat
pada orang sehat sehingga sulit diketahui penyebarannya secara tepat. Dari sebuah penelitian
di Amerika Serikat didapatkan 56 % pernah mengalami kandidiasis vulvovaginalis dan 8 %
diantaranya mengalami infeksi berulang.6

Kandidiasis vagina adalah penyebab paling umum dari keputihan. Lebih dari 50%
wanita yang umurnya lebih dari 25 tahun terserang kandidiasis vulvovaginitis, kurang dari
5% dari wanita mengalami kekambuhan. Infeksi biasanya karena C. albicans .Kejadian
infeksi karena ragi selain C. albicans memiliki meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Dari jumlah tersebut spesies non-albicans, C. tropicalis, dan C. glabrata yang paling
penting.Terapi obat saat ini digunakan(misalnya, imidazoles) tidak cukup untuk membasmi
spesies non-albicans. Sebuah penjelasan untuk pemilihan terakhir meningkat dari spesies
mungkin merupakan terapi anti jamur disingkat (1 - untuk 3-hari rejimen) yang menekan C.
albicans tapi menciptakan ketidakseimbangan flora yang memfasilitasi pertumbuhan berlebih
dari spesies non-albicans spesies.5

ETIOLOGI

Antara 85-90% dari yeast strain yang diambil sebagai sampel didapatkan adanya
Candida albicans, sedang kasusanya sebanyak 12-14 % merupakan non Candida albicans,
yang umum ditemukan yaitu Candida glabrata, Candida glabrata ditemukan pada 10-20 %
wanita, dari 15-17% dari keseluruhan vaginitis, dan jarang yang disebabkan oleh Candida

61
parapsilosis, Candida tropicalis, dan Candida krusei, walaupun demikian jenis kandida yang
paling terkait dengan penyakit ini, selain itu juga mempunyai gejala klinis yang sama dengan
Candida albicans, malah spesies ini biasanya lebih resiten terhadap pengobatan.8

Penyebab banyaknya Candida albicans yang menginfeksi vagina dibandingkan non


albicans adalah faktor virulensi dari Candida albicans itu sendiri, dimana Candida albicans
melekat jauh lebih kuat pada epitel-epitel vagina dibandingkan dengan yang lainnya.
Sehingga membantu proses bertunas dan meningkatkan kolonisasi, dan juga memfasilitasi
invasi kejaringan, biasanya pada suhu 370C. Albicans gagal melakukan proses bertunasnya.8

Faktor yang dapat memicu kolonisasi jamur pada vagina dapat berbeda dari masing-
masing faktor yang memediasi kolonisasi asimptomatik ke simptomatik vaginitis. Beberapa
faktor predisposisi terjadinya Kandidiasis vulvovaginitis diantaranya adalah kehamilan
(trimester ketiga), kontrasepsi, diabetes melitus, antibiotik (terutama spektrum luas seperti
tetrasiklin, ampisilin, dan sefalosporin oral), menggunakan pakaian ketat dan terbuat dari
nilon.

Kandidiasis vulvovaginitis banyak menyerang wanita dalam masa subur, kebanyakan


dengan faktor resiko yang menyebabkan perubahan dari pembawa asimtomatik menjadi
simtomatik. Faktor-faktor tersebut adalah :

Faktor endogen, yang meliputi :

a) Perubahan fisiologik :

- Kehamilan: Pada kehamilan terjadi peningkatan kerentanan terhadap infeksi Candida.Selain


itu, terjadi pula peningkatan kolonisasi dan prevalensi vaginitis simtomatis.Vaginitis
simtomatis paling sering terjadi pada trimester ketiga dan vaginitis rekuren simtomatis juga
lebih sering dijumpai selama kehamilan. Hal ini diperkirakan karena meningkatnya kadar
hormon reproduktif, yang menyebabkan konsentrasi glikogen yang tinggi pada epitel vagina
sehingga menjadi substrat yang baik (sumber karbon) untuk pertumbuhan jamur Candida.
Mekanisme yang lebih kompleks adalah bahwa peningkatan estrogen akan meningkatkan
perlekatan sel-sel jamur pada mukosa vagina masih perlu diteliti lebih lanjut. Beberapa
peneliti menunjukkan bahwa secara in vitro kemampuan mengikat hormon seks wanita
terhadap Candida meningkat selama kehamilan.Selain itu juga meningkatkan pembentukan
miselium dan virulensi jamur. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa peningkatan

62
hormon seks selama kehamilan akan meningkatkan virulensi jamur, sehingga angka
kesembuhan kandidiasis vagina menurun selama kehamilan.12

- Kegemukan

- Premenstrual

- Keadaan imunodepresi

- Diabetes Mellitus

b) Medikasi :

- Penggunaan obat antibiotik dan kortikosteroid jangka lama: Penggunaan antibiotik yang
berulang atau dalam jangka waktu lama akan merusak keseimbangan flora normal sehingga
menyebabkan proliferasi Candida albicans.Perkiraan seberapa besar frekuensi kandidiasis
vulvovaginalis setelah pemberian antibiotik adalah berkisar dari 28% sampai 33% dan
peningkatan kolonisasi vaginal bekisar 10% sampai 30%. Pemberian antibiotik pada wanita
dapat mengeliminasi proteksi flora normal bakteri, sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan
Candida di vagina dan traktus gastrointestinal.Berkurangnya bakteri di dalam vagina
menyebabkan Candida dapat tumbuh dengan subur karena tidak ada lagi persaingan dalam
memperoleh makanan yang menunjang pertumbuhan jamur tersebut.

- Alat-alat kontrasepsi (IUD, kondom, diafragma, spons) dan kotrasepsi oral

Faktor eksogen, yang meliputi 12:

- Iklim, panas, kelembaban menyebabkan perspirasi meningkat.

- Keadaan higenitas.

- Pemakaian pakaian yang berbahan panas, tidak menyerap keringat, terlalu ketat seperti
bahan nylon.

GEJALA KLINIS

Pasien mengeluhkan discharge vagina yang kental dan bersamaan dengan rasa panas, gatal
saat buang air kecil dan kadang dysuria. 13 Pada pemeriksaan fisik didapatkan vulva dan
vagina yang eritem, edema, terdapat fisura dan discharge vagina yang kental.

63
DIAGNOSIS

Tanda dan gejala klinis pada kandidiosis vulvaginalis meliputi pruritus vulvovaginitis,
iratasi, nyeri, dispareunia, nyeri berkemih, keputihan, cairan yang bau. Karena gejala dan
tanda-tanda kandidiasis vulvovaginitis tidak spesifik, diagnosis tidak dapat dibuat semata-
mata berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Penegakan diagnosis berdasarkan gejala
klinis yang kemudian dikonfirmasi dengan preparat KOH yang diambil dari permukaan
mukosa. Pada pemeriksaan mikroskopis ini dapat dijumpai germ tubes atau budding dan
pseudohypa sebagai sel-sel memanjang seperti sosis yang tersusun memanjang. Kultur vagina
sebaiknya dilakukan pada wanita yang menunjukkan gejala kandidiasis vulvovaginitis tapi
dengan pemeriksaan mikroskopis negatif dan pH vagina yang normal. Diagnosis kandidiasis
vulvovaginitis membutuhkan korelasi antara gejala klinis, pemeriksaan mikroskopis, dan
kultur vagina.
1. Anamnesis14
Pertanyaan yang diajukan kepada pasien dengan dugaan kandidiasis
vuvovaginitis meliputi:
a. Keluhan dan riwayat penyakit saat ini.
b. Keadaan umum yang dirasakan.
c. Pengobatan yang telah diberikan, baik topikal ataupun sistemik dengan penekanan
pada antibiotik.
d. Riwayat seksual yaitu kontak seksual baik di dalam maupun di luar pernikahan,
berganti-ganti pasangan, kontak seksual dengan pasangan setelah mengalami
gejala penyakit, frekuensi dan jenis kontak seksual, cara melakukan kontak
seksual, dan apakah pasangan juga mengalami keluhan atau gejala yang sama.
e. Riwayat penyakit terdahulu yang berhubungan dengan IMS atau penyakit di
daerah genital lain.
f. Riwayat penyakit berat lainnya.
g. Riwayat keluarga yaitu dugaan IMS yang ditularkan oleh ibu kepada bayinya.
h. Keluhan lain yang mungkin berkaitan dengan komplikasi IMS, misalnya erupsi
kulit, nyeri sendi dan pada wanita tentang nyeri perut bawah, gangguan haid,
kehamilan dan hasilnya.
i. Riwayat alergi obat.
2. Pemeriksaan fisik14

64
Pemeriksaan fisik yang dilakukan kepada pasien harus memperhatikan hal
penting seperti kerahasiaan pribadi pasien. Pertama inspeksi dari daerah OUE untuk
melihat sekret yang keluar, catat warna, kekentalan, dan jumlah. Kemudian lakukan
pemeriksaan daerah genitalia lainnya. Mula-mula inspeksi daerah inguinal dan raba
adakah pembesaran kelenjar dan catat konsistensi, ukuran, mobilitas, rasa nyeri, serta
tanda radang pada kulit di atasnya. Pada waktu bersamaan, perhatikan daerah pubis
dan kulit sekitarnya, adanya pedikulosis, folikulitis atau lesi kulit lainnya. Lakukan
inspeksi labia mayora, labia minora dan daerah vulva apakah eritema, adakah lesi
superfisial dan palpasi dengan hati-hati apakah ada nyeri tekan.

3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Mikroskopis
Cara yang paling sederhana mengambil cairan vagina ialah dengan bantuan
spekulum, cairan vagina diambil dari fornix vagina. Selain dari duh tubuh vagina,
bahan pemeriksaan dapat pula diambil dari pseudomembran. Bahan pemeriksaan
selanjutnya dibuat sediaan langsung dengan KOH 10% atau dengan pewarnaan Gram.
Pada pemeriksaan mikroskopis ini dapat dijumpai kandida dalam bentuk sel ragi (yeast
form) yang berbentuk oval, fase blastospora berupa sel-sel tunas yang berbentuk germ
tubes atau budding dan pseudohifa sebagai sel-sel memanjang seperti sosis yang
tersusun memanjang. Pada sediaan dengan pewarnaan Gram, bentuk ragi bersifat gram
posistif, berbentuk oval, kadang-kadang berbentuk germ tube atau Budding. Candida
albicans adalah satu-satunya ragi patogen penting yang secara invivo menunjukan
adanya pseudohypa yang banyak, yang mudah dideteksi dari duh tubuh vagina dengan
pewarnaan Gram. Sensitifitas pemeriksaan ini pada penderita simptomatik sama dengan
biakan.13

b. Pemeriksaan Biakan
Kultur vaginal sangat bermanfaat, tapi tidak rutin diperlukan dalam diagnosis
kandidiasis vulvovaginitis. Karena tidak rutin, kultur tidak diperlukan jika pemeriksaan
mikroskopis positif, tapi kultur vagina harus dilakukan pada wanita yang menunjukkan
gejala kandidiasis vulvovaginitis dengan pemeriksaan mikroskopis negatif dan pH
vagina yang normal. Kultur vaginal dapat mengidentifikasi spesies kandida namun
didapatnya Candida albicans pada kultur tidak dapat menegakkan diagnosis kandidiasis
karena Candida merupakan penghuni normal dari saluran pencernaan.15

65
Bahan pemeriksaan dibiakan pada media Sabouraud Dextrose Agar. Dapat
dibubuhi antibiotik (kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Pembenihan
ini disimpan pada suhu kamar atau suhu 37oC. Koloni tumbuh setelah 24-48 jam,
berupa “yeast like colony”, warna putih kekuning-kuningan, di tengah dan dasarnya
warnanya lebih tua, permukaannnya halus mengkilat dan sedikit menonjol. Untuk
identifikasi spesies kandida dapat dilakukan cara-cara berikut, bahan dari koloni
dibiakan pada Corn meal agar dengan Tween 80 atau Nickerson polysaccharide trypan
blue ( Nickerson Mankowski agar) pada suhu 250 C, digunakan untuk menumbuhkan
klamidokonida, yang umumnya hanya ada pada Candida albicans. Tumbuh dalam 3
hari. Jamur tumbuh pada biakan diinokulasi ke dalam serum atau koloid (albumin telur)
yang diinkubasi selama 2 jam pada suhu 370C. Dengan pemeriksaan mikroskop tampak
:germ tube” yang khas pada Candida albicans.15

Test Fermentasi. Fermentasi oleh jamur yang diambil dari spesimen dapat
menghasilkan karbon dioksida dan alkohol. Produksi gas yang banyak dibandingkan
perubahan pH yang signifikan merupakan indikasi dilakukannya fermentasi. Candida
albicans dapat memfermentasikan glukosa, maltosa dan galaktosa tetapi tidak terhadap
sakarosa.16

Test Asimilasi. Percobaan ini dapat dilakukan untuk membedakan masing-


masing spesies. Uji ini didasarkan pada kemampuan ragi untuk mengasimilasi senyawa
organik. Candida parakrusei mengadakan asimilasi glukosa, galaktosa dan maltosa,
sedangkan Candida krusei hanya mengasimilasikan glukosa.

TERAPI

Penatalaksanaan kandidiasis vulvovagina bertujuan untuk menyembuhkan seorang


penderita dari penyakitnya dan mencegah infeksi berulang.

a. Pemberian Obat Anti Jamur


Pengobatan kandidiasis vulvovagina dapat dilakukan secara topikal maupun
sistemik. Obat anti jamur tersedia dalam berbagai bentuk yaitu : krim, tablet vagina,
suppositoria dan tablet oral.

Sistemik:

66
Obat anti jamur sistemik terdiri dari golongan azoles merupakan agen
fungistatik sintetik dengan aktiviti spektrum luas. Azoles menghambat enzim fungal
sitokrom P450 3A (CYP3A) dan lanosin 14α-demetilase yang diperlukan dalam
proses konversi lanosterol ke ergosterol yaitu sterol utama dalam membrane sel jamur.
Penurunan dari ergosterol mengubah komponen membran dari sel jamur seterusnya
menghambat replikasi dari sel-sel tersebut. Azoles juga menghambat transformasi sel-
sel ragi jamur kepada hifa. Obat-obat yang dapat diberikan adalah ketokonazol,
itrakonazol dan flukonazol:
Ketokonazol 400 mg selama 5 hari

Itrakonazol 200 mg selama 3 hari atau 400 mg dosis tunggal

Flukonazol 150 mg dosis tunggal

Topikal17:

Butoconazole, clotrimazole, miconazole, tioconazole dan terconazole adalah


obat topical dari golongan azoles. Obat-obat ini bekerja di sel membrane dari jamur
dengan mengganggu tranportasi asam amino ke jamur. Nistatin dari golongan
antibiotik polin makrolid pula bekerja dengan mengganggu permeabilitas dan fungsi
transportasi di membran sel jamur. Obat-obat topical tersedia dalam bentuk krim,
ointment, tablet vagina dan suppositoria diberikan secara intravaginal. Dosis dan cara
pemberiannya adalah seperti berikut:

Mikonazol 2% 7 hari

Klotrimazol 1% 7-14 hari

Butoonazole 2% 3 hari

PROGNOSIS

Prognosis pada umumnya baik, terutama bila faktor predisposisi dapat


diminimalkan.KVV tanpa komplikasi memunyai prognosis baik karena pada umumnya
infeksi ringan hingga sedang dan mengenai penderita yang imunokompeten.Pada KVV
dengan komplikasi sering terjadi infeksi berulang.Karena itu diperlukan pengobatan yang
tepat dan pengobatan profilaksis serta mengoreksi faktor predisposisi penyebab terjadinya

67
infeksi. Ketidakseimbangan laktobasillus dan adanya faktor predisposisi diduga
merupakan penyebab mengapa penyakit ini sulit diobati .

BARTHOLINITIS

DEFINISI

Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk di bawah
kulit atau di suatu tempat didalam tubuh. Kista kelenjar bartholini terjadi ketika kelenjar ini
menjadi tersumbat. Kelenjar bartholini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi,
peradangan atau iritasi maka saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan
menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian
terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu abses
terjadi bila kista menjadi terinfeksi.2

EPIDEMIOLOGI

Dua persen wanita mengalami kista bartholini atau abses kelenjar pada suatu saat
dalam kehidupannya.3 Abses umumnya hampir terjadi tiga kali lebih banyak daripada kista.
Salah satu penelitian kasus kontrol menemukan bahwa wanita berkulit putih dan hitam yang
lebih cenderung untuk mengalami kista bartholini atau abses bartholini daripada wanita
hispanik, dan bahwa perempuan dengan paritas yang tinggi memiliki resiko terendah. 6,7 Kista
bartholini, yang paling sering terjadi pada labia majora. Involusi bertahap dari kelenjar
bartolini, dapat terjadi pada saat seorang wanita mencapai usia 30 tahun. Kebanyakan kasus
terjadi pada wanita usia antara 20-30 tahun. 3 Namun, tidak menutup kemungkinan dapat
terjadi pada wanita yang lebih tua atau lebih muda.

ANATOMI.

Kelenjar bartolini merupakan salah satu organ genitalia eksterna, kelenjar bartolini
atau glandula vestibularis major, berjumlah dua buah berbentuk bundar, dan berada disebelah
dorsal dari bulbus vestibuli. Saluran keluar dari kelenjar ini bermuara pada celah yang
terdapat diantara labium minus pudendi dan tepi hymen. Glandula ini homolag
denganglandula bulbouretralis pada pria. Kelenjar ini tertekan pada waktu coitus dan
mengeluarkan sekresinya untuk mebasahi atau melicinkan permukaan vagina dibagian
kaudal. Kelenjar bartolini diperdarahi oleh arteri bulbi vestibuli, dan dipersarafi oleh nervus
pudendus dan nervus hemoroidal inferior. Kelenjar bartolini tersususun dari jaringan erektil

68
dari bulbus, jaringan erektil dari bulbus menjadi sensistif selama ransangan seksual dan
kelenjar ini akan mensekresi sekret yang mukoid yang bertindak sebagai lubrikans. Drainase
pada kelenjar ini oleh saluran dengan panjang kira-kira 2cm yang terbuka ke arah orificium
vagina sebelah lateral hymen, normalnya kelenjar bartolini tidak teraba pada pemeriksaan
palpasi, seperi pada gambar dibawah ini:9

Histologi

Kelenjar bartolini dibentuk oleh kelenjar racemose dibatasi oleh epitel kolumner atau
kuboid. Duktus dari kelenjar bartolini merupakan epitel transisisonal yang secara embriologi
merupakan daerah transisi anatara tractus urinarius dengan tractus genital. 9

Fisiologi

Kelenjar Bartholini berfungsi mensekresikan cairan ke permukaan vagina. Mukosa


kelenjar dilapisi oleh sel-sel epitel kubus. Cairan ini mengalir ke dalam duktus sepanjang 2,5
cm dan dilapisi oleh sel-sel epitel transisional. Duktus ini bermuara diantara labia minor dan
hymen dan dilapisi pada bagian ini terdiri atas epitel skuamosa. Oleh karena itu, kelenjar ini
dapat berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa atau adenokarsinoma. Kelenjar ini
mengeluarkan lendir untuk memberikan pelumasan vagina. Kelenjar bartholini mengeluarkan
jumlah lendir yang cukup sedikit sekitar satu atau dua tetes cairan tepat sebelum seorang
wanita orgasme. Tetesan cairan pernah dipercaya menjadi begitu penting untuk pelumas
vagina , tetapi penelitian dari Masters dan Johnson menunjukkan bahwa pelumas vagina

69
berasal dari bagian vagina lebih dalam. Cairan mungkin sedikit membasahi permukaan labia
vagina, sehingga kontak dengan daerah sensitif menjadi lebih nyaman bagi wanita.9

ETIOLOGI

Kista bartholini berkembang ketika saluran keluar dari kelenjar bartholini tersumbat.
Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar
membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi.
Abses bartholini dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri. Ini termasuk organisme yang
menyebabkan penyakit menular seksual seperti Klamidia dan Gonore serta bakteri yang
biasanya ditemukan disaluran pencernaan , seperti Escherichia coli. Umumnya abses ini
melibatkan lebih dari satu jenis organisme. Obstruksi distal saluran bartholini bisa
mengakibatkan retensi cairan, dengan dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan
kista. Kista dapat terinfeksi, dan abses dapat berkembang dalam kelenjar. Kista bartholini
tidak selalu harus terjadi sebelum abses kelenjar. Kelenjar bartholini adalah abses
polimikrobial. Meskipun Neisseria gonorrhoeae adalah mikroorganisme aerobik yang
dominan mengisolasi, bakteri anaerob adalah patogen yang paling umum. Chlamydia
trachomatis juga mungkin menjadi organisme kausatif. Namun, kista saluran bartholini dan
abses kelenjar tidak lagi dianggap sebagai bagian eksklusif dari infeksi menular seksual.
Selain itu operasi vulvovaginal adalah penyebab umum kista dan abses tersebut. Infeksi pada
kelenjar ini disebabkan oleh kuman gram negative, yaitu a.l :10

1. Golongan staphylococcus
2. Golongan Gonoccus

Kista bartholini merupakan tumor kistik jinak. Ditimbulkan akibat saluran kista bartholini
yang mengalami sumbatan. Sumbatan biasanya disebabkan oleh infeksi. Kuman yang sering
menginfeksi kelenjar bartholini adalah Neisseria gonorrhoae.

Pada laki-laki kuman ini menyebabkan penyakit kelamin yang disebut kencing nanah
atau gonore, tidak sama dengan sifilis..

Perjalanannya. Karena kelenjar terus-menerus menghasilakn cairan, maka lama kelamaan


sejalan dengan membesarnya kista, tekanan didalam kista semakin besar. Dinding kelenjar/
kista mengalami peregangan dan meradang. Demikian juga akibat peregangan pada dinding
kista, pembuluh darah pada dinding kista terjepit mengakibatkan bagian yang lebih dalam
tidak mendapatkan pasokan darah sehingga jaringan menjadi mati (nekrotik). Dibumbui

70
dengan kuman, maka terjadilah proses pembusukan, bernanah dan menimbulkan rasa
sakit.karena letaknya di vagina bagian luar, kista akan terjepit terutama saat duduk dan berdiri
menimbulkan rasa nyeri yang terkadang disertai dengan demam. Pasien berjalan mengegang
ibarat menjepit bisul diselangkangan.

MANIFESTASI KLINIK

Jika kista duktus bartholini masih kecil dan belum terjadi inflamasi, penyakit ini bisa
menjadi asimptomatik. Kista biasanya nampak sebagai massa yang menonjol secara medial
dalam introitus posterior pada regio yang duktusnya berakhir di dalam vestibula. Jika kista
menjadi terinfeksi maka bisa terjadi abses pada kelenjar. Indurasi biasa terjadi pada sekitar
kelenjar, dan aktivitas seperti berjalan, duduk atau melakukan hubungan seksual bisa
menyebabkan rasa nyeri pada vulva.11
Kista duktus bartholini dan abses glandular harus dibedakan dari massa vulva lainny.
Karena kelenjar bartholini biasanya mengecil saat menopause, pertumbuhan vulva pada
wanita postmenopause harus dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya keganasan,
khususmya jika massa irreguler, nodular dan indurasi persisten.11
Gejala Klinis
Kista bartholini tidak selalu menyebabkan keluhan akan tetapi kadang dirasakan
sebagai benda padat dan menimbulkan kesulitan pada waktu koitus. Jika kista bartholini
masih kecil dan terinfeksi, umumnya asimtomatik. Tetapi bila berukuran besar dapat
menyebabkan rasa kurang nyaman saat berjalan atau duduk. Tanda kista bartholini yang tidak
terinfeksi berupa penonjolan yang tidak nyeri pada salah satu sisi vulva disertai kemerahan
atau pembengkakan pada daerah vulva.

Keluhan pasien pada umumnya adalah benjolan, nyeri,


dan dispareunia. Penyakit ini cukup sering recurens. Bartholinitis sering kali timbul pada
gonorrea, akan tetapi dapat pula mempunyai sebab lain, misalnya streptokokus. Pada
bartholinitis akuta kelenjarmembesar, merah, nyeri, dam lebih panas dari daerah sekitarny.
Isinya cepat menjadi nanah yang dapat keluar melalui duktusnya, atau jika duktusnya
tersumbat, mengumpulkan di dalamnya dan menjadi abses yang kadang-kadang dapat

71
menjadi sebesar telur bebek. Jika belum menjadi abses, keadaan bisa diatasi dengan
antibiotik, jika sudah bernanah harus dikeluarkan dengan sayatan.11
Adapun jika kista terinfeksi maka dapat berkembang menjadi abses bartholini dengan
gejala klinik berupa:
- Nyeri saat berjalan, duduk, beraktivitas fisik, atau berhubungan seksual
- Umumnya tidak disertai demam, kecuali jika terinfeksi dengan mikroorganisme
yang ditularkan melalui hubungan seksual atau ditandai dengan adanya perabaan
kelenjar limfe pada inguinal.
- Pembengkakan area vulva selama 2-4 hari
- Biasanya ada sekret di vagina, kira-kira 4 sampai 5 hari pasca
pembengkakan,terutama jika infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang ditularkan
melalui hubungan seksual
- Dapat terjadi ruptur spontan
- Teraba massa unilateral pada labia mayor sebesar telur ayam, lembut dan
berfluktuasi, atau terkadang tegang dan keras

Radang pada glandula bartholini dapat terjadi berulang-ulang dan akhirnyan dapat
menjadi menahun dalam bentuk kista bartholini. Kista tidak selalu menyebabkan keluhan,
tapi dapat terasa berat dan mengganggu koitus. Jika kistanya tidak besar dan tidak
menimbulkan gangguan, tidak perlu dilakukan tindakan apa-apa; dalam hal lain perlu
dilakukan pembedahan.

DIAGNOSIS

Anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik sangat mendukung suatu diagnosis, pada
anamnesia ditanyakan tentang gejala seperti:11
- Panas
- Gatal
- Sudah berapa lama gejala berlangsung
- Kapan mulai muncul
- Faktor yang memperberat gejala
- Apakah penah berganti pasangan seks
- Keluhan saat berhubungan
- Riwayat penyakit menular seks sebelumnya
- Riwayat penyakit kulit dalam keluarga
- Riwayat keluarga mengidap penyakit kanker kelamin
- Riwayat penyakit yang lainnya misalnya diabetes dan hipertensi
- Riwayat pengobatan sebelumnya

Kista atau abses bartholini didiagnosis melalui pemeriksaan fisik, khususnya dengan
pemeriksaan ginekologis pelvis. Pada pemeriksaan fisis dengan posisi litotomi, kista terdapat
di bagian unilateral, nyeri, fluktuasi dan terjadi pembengkakan yang eritem pada posisi jam 4

72
atau 8 pada labium minus posterior, jika kista terinfeksi, pemeriksaan kultur jaringan
dibutuhkan untuk mengidentifikasi jenis bakteri penyebab abses dan untuk mengetahui ada
tidaknya infeksi akibat penyakit menular seksual seperti Gonorrhea dan chlamydia. Untuk
kultur diambil swab dari abses atau dari daerah lain seperti serviks. Hasil tes ini baru diliat
setelah 48 jam kemudian, tetapi hal ini tidak dapat menunda pengobatan. Dari hasil ini dapat
diketahui antibiotik yang tepat yang perlu diberikan. Biopsi dapat dilakukan pada kasus yang
dicurigai keganasan.

PENATALAKSANAAN

Tujuan penanganan kista bartholini adalah memelihara dan mengembalikan fungsi


dari kelenjar bartholini. Metode penanganan kista bartholini yaitu insersi word catheter untuk
kista dan abses kelenjar bartholini dan marsupialization untuk kista kelenjar bartholini. Terapi
antibiotik spektrum luas diberikan apabila kista atau abses kelenjar bartholini diseratai
dengan adanya selulitis. Biopsi eksisional dilakukan untuk pengangkatan adenokarsinoma
pada wanita menopause atau perimenopause yang irreguler dan massa kelenjar bartholini
yang nodular.
Penatalaksanaan dari kista duktus bartholini tergantung dari gejala pada pasien. Kista
yang asimtomatik mungkin tidak memerlukan pengobatan, tetapi symptomatik kista duktus
bartholin dan abses bartholin memerlukan drainage, kecuali kalau terjadi rupture spontan,
abses jarang sembuh dengan sendirinya.
Insisi dan drainase abses:12
- Tindakan ini dilakukan bila terjadi symptomatik Bartholin’s gland abscesses.
- Sering terjadi rekurens

Cara:

- Disinfeksi abses dengan betadine


- Dilakukan anastesi lokal ( khlor etil)
- Insisi abses dengan skapel pada titik maksimum fluktuasi
- Dilakukan penjahitan

Definitive drainage menggunakan Word catheter.

Word catheter biasanya digunakan ada penyembuhan kista duktus bartholin dan abses
bartholin. Panjang tangkai catheter 1 inch dan mempunyai diameter seperti foley catheter
no.10 .Balon catheter hanya bais menampung 3 ml normal saline.

73
Cara:13

- Disinfeksi dinding abses sampai labia dengan menggunakan betadin


- Dilakukan lokal anastesi dengan menggunakan lidokain 1%
- Fiksasi abses dengan menggunakan forcep kecil sebelum dilakukan tindakan insisi
- Insisi diatas abses dengan menggunakan mass no.11
- Insisi dilakukan vertikal didalam introitus eksternal terletak bagian luar ring
himen. Jika insisi terlalu lebar, word catheter akan kembali keluar
- Selipkan word kateter kedalam lubang insisi
- Pompa balon word kateter dengan injeksi normal salin sebanyak 2-3cc
- Ujung word kateter diletakkan pada vagina

Proses epithelisasi pada tindakan bedah terjadi setelah 4-6 mgg, word catheter akan dilepas
setelah 4-6 mgg, meskipun epithelisasa bias terbentuk pada 3-4 mg. Bedrest selama 2-3 hari
mempercepat penyembuhan. Meskipun dapat menimbulkan terjadinya selulitis, antibiotik
tidak diperlukan. Antibiotik diberikan bila terjadi selulitis ( jarang).13

Marsupialisasi

Banyak literatur menyebutkan tindakan marsupialisasi hanya digunakan pada kista


bartholin. Namun, sekarang digunakan juga untuk abses kelenjar bartholin karena memberi
hasil yang sama efektifnya. Marsupialisasi adalah suatu teknik membuat saluran kelenjar
bartholin yang baru sebagai alternatif lain dari pemasangan word kateter. Komplikasi berupa
dispareuni, hematoma, infeksi.13

Cara :

- Disinfeksi dinding kista sampai labia dengan menggunakan betadine


- Dilakukan lokal anastesi dengan menggunakan lidokain 1%
- Dibuat insisi vertikal pada kulit labium sedalam 0,5cm ( insisi sampai diantara
jaringan kulit dan kista/ abses) pada sebelah lateral dan sejajar dengan dasar
selaput himen.
- Dilakukan insisi pada kista dan dinding kista dijepit dengan klem pada 4 sisi,
sehingga rongga kista terbuka dan kemudian dinding kista diirigasi dengan cairan
salin.
- Dinding kista dijahit dengan kulit labium dengan atraumatik catgut. Jika
memungkinkan muara baru dibuat sebesar mungkin (masuk 2 jari tangan), dan
dalam waktu 1 minggu muara baru akan mengecil sepenuhnya, dan dalam waktu 4
minggu muara baru akan mempunyai ukuran sama dengan muara saluran kelenjar
bartholin sesungguhnya.

74
-

Penggunaan antibiotik
- Antibiotik sesuai dengan bakteri enyebab yang diketahui secara pasti dari hasil
pengecatan gram maupun kultur pus dari abses kelenjar bartholin
- Infeksi Neisseria gonorrhoe:
Ciprofloxacin 500mg single dose
Ofloxacin 400mg single dose
Cefixime 400mg oral (aman untuk anak dan bumil)
Ceftriaxon 200 mg i.m (aman untuk anak dan bumil)

- Infeksi Chlamidia trachomatis:


Tetrasiklin 4x500mg/hari selama 7hari, po
Doxycyclin 2x100mg/hari selama 7hari, po

- Infeksi Staphylococcus dan streptococcus:


Penisilin G Prokain injeksi 1,6-1,2 juta IU im, 1-2x hari
Ampisilin 250-500 mg/dosis 4x/hari, po
Amoksisilin 250-500mg?dosis, 3x/hari po.

8. KEPUTIHAN

Leukorea (white discharge, fluor albus, keputihan) adalah nama gejala yang diberikan
kepada cairan yang dikeluarkan dari alat-alat genital yang tidak berupa darah. Dalam kondisi
normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan jernih yang keluar, bercampur
dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi dari kelenjar Bartolin. Selain itu
sekret vagina juga disebabkan karena aktivitas bakteri yang hidup pada vagina yang normal.

75
Pada perempuan, sekret vagina ini merupakan suatu hal yang alami dari tubuh untuk
membersihkan diri, sebagai pelicin dan pertahanan dari berbagai infeksi. Dalam kondisi
normal, sekret vagina tersebut tampak jernih, putih keruh atau berwarna kekuningan ketika
mengering pada pakaian. Sekret ini non-irritan, tidak mengganggu, tidak terdapat darah, dan
memiliki pH 3,5-4,5. Flora normal vagina meliputi Corinebacterium, Bacteroides,
Peptostreptococcus, Gardnerella, Mobiluncuc, Mycoplasma dan Candida spp. Lingkungan
dengan pH asam memberikan fungsi perlindungan yang dihasilkan oleh lactobacilli.(1,2)

Leukorea merupakan gejala yang paling sering dijumpai pada penderita ginekologik,
adanya gejala ini diketahui penderita karena mengotori celananya. Dapat dibedakan antara
leukorea yang fisiologik dan yang patologik. Leukorea fisiologik terdiri atas cairan yang
kadang-kadang berupa mukus yang mengandung banyak epitel dengan leukosit yang jarang
sedang pada leukorea patologik terdapat banyak leukosit.(2)

Penyebab paling penting dari leukorea patologik ialah infeksi. Disini cairan
mengandung banyak leukosit dan warnanya agak kekuning-kuningan sampai hijau, seringkali
lebih kental dan berbau. Radang vulva, vagina, serviks dan kavum uteri dapat menyebabkan
leukorea patologik; pada adneksitis gejala tersebut dapat pula timbul. Selanjutnya leukorea
ditemukan pada neoplasma jinak atau ganas, apabila tumor itu dengan permukaannya untuk
sebagian atau seluruhnya memasuki lumen saluran alat-alat genital.(2)

EPIDEMIOLOGI

Sekret vagina sering tampak sebagai suatu gejala genital. Proporsi perempuan yang
mengalami flour albus bervariasi antara 1 -15% dan hampir seluruhnya memiliki aktifitas
seksual yang aktif, tetapi jika merupakan suatu gejala penyakit dapat terjadi pada semua
umur. Seringkali fluor albus merupakan indikasi suatu vaginitis, lebih jarang merupakan
indikasi dari servisitis tetapi kadang kedua-duanya muncul bersamaan. Infeksi yang sering
menyebabkan vaginitis adalah Trikomoniasis, Vaginosis bacterial, dan Kandidiasis. Sering
penyebab noninfeksi dari vaginitis meliputi atrofi vagina, alergi atau iritasi bahan kimia.
Servisitis sendiri disebabkan oleh Gonore dan Klamidia. Prevalensi dan penyebab vaginitis
masih belum pasti karena sering didiagnosis dan diobati sendiri. Selain itu vaginitis seringkali
asimptomatis dan dapat disebabkan lebih dari satu penyebab.(2)

ETIOLOGI

76
Fluor albus fisiologik pada perempuan normalnya hanya ditemukan pada daerah
porsio vagina. Sekret patologik biasanya terdapat pada dinding lateral dan anterior vagina.(2)

Fluor albus fisiologik ditemukan pada :

a. Bayi baru lahir sampai umur kira-kira 10 hari: disini sebabnya ialah pengaruh estrogen dari
plasenta terhadap uterus dan vagina janin.

b. Waktu disekitar menarche karena mulai terdapat pengaruh estrogen. Leukore disini hilang
sendiri akan tetapi dapat menimbulkan keresahan pada orang tuanya.

c. Wanita dewasa apabila ia dirangsang sebelum dan pada waktu koitus, disebabkan oleh
pengeluaran transudasi dari dinding vagina.

d. Waktu disekitar ovulasi, dengan sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri menjadi lebih
encer.

e. Pengeluaran sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri juga bertambah pada wanita dengan
penyakit menahun, dengan neurosis, dan pada wanita dengan ektropion porsionis uteri. (1)

Sedang fluor albus abnormal (patologik) disebabkan oleh (1)

1. Infeksi :

- Bakteri : Gardanerrella vaginalis, Chlamidia trachomatis, Neisseria gonorhoae, dan


Gonococcus(2,3)

- Jamur : Candida albicans

- Protozoa : Trichomonas vaginalis

- Virus : Virus Herpes dan human papilloma virus

2. Iritasi :

- Sperma, pelicin, kondom

- Sabun cuci dan pelembut pakaian

- Deodorant dan sabun

- Cairan antiseptic untuk mandi.

77
- Pembersih vagina.

- Celana yang ketat dan tidak menyerap keringat

- Kertas tisu toilet yang berwarna.

3. Tumor atau jaringan abnormal lain

4. Fistula(3)

5. Benda asing(3)

6. Radiasi

7. Penyebab lain(3) :

- Psikologi : Volvovaginitis psikosomatik

- Tidak dikatehui : “ Desquamative inflammatory vaginitis”

PATOGENESIS

Meskipun banyak variasi warna, konsistensi, dan jumlah dari sekret vagina bisa
dikatakan suatu yang normal, tetapi perubahan itu selalu diinterpretasikan penderita sebagai
suatu infeksi, khususnya disebabkan oleh jamur. Beberapa perempuan pun mempunyai sekret
vagina yang banyak sekali. Dalam kondisi normal, cairan yang keluar dari vagina
mengandung sekret vagina, sel-sel vagina yang terlepas dan mucus serviks, yang akan
bervariasi karena umur, siklus menstruasi, kehamilan, penggunaan pil KB.(2)

Lingkungan vagina yang normal ditandai adanya suatu hubungan yang dinamis antara
Lactobacillus acidophilus dengan flora endogen lain, estrogen, glikogen, pH vagina dan hasil
metabolit lain. Lactobacillus acidophilus menghasilkan endogen peroksida yang toksik
terhadap bakteri pathogen. Karena aksi dari estrogen pada epitel vagina, produksi glikogen,
lactobacillus (Doderlein) dan produksi asam laktat yang menghasilkan pH vagina yang
rendah sampai 3,8-4,5 dan pada level ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain.(2)

Kandidiasis vaginalis merupakan infeksi vagina yang disebabkan oleh Candida sp.
terutama C. albicans. Infeksi Candida terjadi karena perubahan kondisi vagina. Sel ragi akan
berkompetisi dengan flora normal sehingga terjadi kandidiasis. Hal-hal yang mempermudah
pertumbuhan ragi adalah penggunaan antibiotik yang berspektrum luas, penggunaan

78
kontrasepsi, kadar estrogen yang tinggi, kehamilan, diabetes yang tidak terkontrol, pemakaian
pakaian ketat, pasangan seksual baru dan frekuensi seksual yang tinggi. Perubahan
lingkungan vagina seperti peningkatan produksi glikogen saat kehamilan atau peningkatan
hormon esterogen dan progesterone karena kontrasepsi oral menyebabkan perlekatan
Candida albicans pada sel epitel vagina dan merupakan media bagi prtumbuhan jamur.
Candida albicans berkembang dengan baik pada lingkungan pH 5-6,5. Perubahan ini bisa
asimtomatis atau sampai sampai menimbulkan gejala infeksi. Penggunaan obat
immunosupresan juga menajdi faktor predisposisi kandidiasis vaginalis. (4,5)

Pada penderita dengan Trikomoniasis, perubahan kadar estrogen dan progesterone


menyebabkan peningkatan pH vagina dan kadar glikogen sehingga berpotensi bagi
pertumbuhan dan virulensi dari Trichomonas vaginalis.(2)

Vaginitis sering disebabkan karena flora normal vagina berubah karena pengaruh
bakteri patogen atau adanya perubahan dari lingkungan vagina sehingga bakteri patogen itu
mengalami proliferasi. Antibiotik kontrasepsi, hubungan seksual, stres dan hormon dapat
merubah lingkungan vagina tersebut dan memacu pertumbuhan bakteri patogen. Pada
vaginosis bacterial, diyakini bahwa faktor-faktor itu dapat menurunkan jumlah hidrogen
peroksida yang dihasilkan oleh Lactobacillus acidophilus sehingga terjadi perubahan pH dan
memacu pertumbuhan Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis dan Mobiluncus yang
normalnya dapat dihambat. Organisme ini menghasilkan produk metabolit misalnya amin,
yang menaikkan pH vagina dan menyebabkan pelepasan sel-sel vagina. Amin juga
merupakan penyebab timbulnya bau pada flour albus pada vaginosis bacterial.(2)

Flour albus mungkin juga didapati pada perempuan yang menderita tuberculosis,
anemia, menstruasi, infestasi cacing yang berulang, juga pada perempuan dengan keadaan
umum yang jelek , higiene yang buruk dan pada perempuan yang sering menggunakan
pembersih vagina, disinfektan yang kuat.

GEJALA KLINIS

Segala perubahan yang menyangkut warna dan jumlah dari sekret vagina meerupakan
suatu tanda infeksi vagina. Infeksi vagina adalah sesuatu yang sering kali muncul dan
sebagian besar perempuan pernah mengalaminya dan akan memberikan beberapa gejala fluor
albus:1

- Keputihan yang disertai rasa gatal, ruam kulit dan nyeri.

79
- Sekret vagina yang bertambah banyak

- Rasa panas saat kencing

- Sekret vagina berwarna putih dan menggumpal

- Berwarna putih kerabu-abuan atau kuning dengan bau yang menusuk

Vaginosis bacterial Sekret vagina yang keruh, encer, putih abu-abu hingga kekuning-
kuningan dengan bau busuk atau amis. Bau semakin bertambah setelah hubungan seksual

Trikomoniasis Sekret vagina biasanya sangat banyak kuning kehijauan, berbusa dan
berbau amis.

Kandidiasis Sekret vagina menggumpal putih kental. Gatal dari sedang hingga berat
dan rasa terbakar kemerahan dan bengkak didaerah genital Tidak ada komplikasi yang serius

Infeksi klamidia Biasanya tidak bergejala. Sekret vagina yang berwarna kuning
seperti pus. Sering kencing dan terdapat perdarahan vagina yang abnormal

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan :

- Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan biokimia dan urinalisis.

- Kultur urin untuk menyingkirkan infeksi bakteri pada traktus urinarius

- Sitologi vagina

- Kultur sekret vagina

- Radiologi untuk memeriksa uterus dan pelvis

- Ultrasonografi (USG) abdomen

- Vaginoskopi

- Sitologi dan biopsy jaringan abnormal

- Tes serologis untuk Brucellosis dan herpes

80
- Pemeriksaan PH vagina.

- Penilaian swab untuk pemeriksaan dengan larutan garam fisiologis dan KOH 10 % .

- Pulasan dengan pewarnaan gram .

- Pap smear.

- Biopsi.

- Test biru metilen

DIAGNOSIS

Diagnosis fluor albus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan


penunjang.

- Anamnesis(3)

Ditanyakan mengenai usia, metode kontrasepsi yang dipakai oleh akseptor KB kontak
seksual, perilaku, jumlah, bau dan warna leukore, masa inkubasi, penyakit yang diderita,
penggunaan obat antibiotik atau kortikosteroid dan keluhan-keluhan lain

- Pemeriksaan Fisis dan Genital (7)

Inspeksi Kulit perut bawah, rambut pubis, terutama perineum, dan anus. Inspeksi dan palpasi
genitalia eksterna. Pemeriksaan spekulum untuk vagina dan serviks, pemeriksaan bimanual
pelvis, palpasi kelenjar getah bening dan femoral.

- Laboratorium (7)

Hasil pengukuran pH cairan vagina dapat ditentukan dengan kertas pengukur pH dan pH
diatas 4,5 sering disebabkan oleh trichomoniasis tetapi tidak cukup spesifik. Cairan juga
dapat diperiksa dengan melarutkan sampel dengan 2 tetes larutan normal saline 0,9% diatas
objek glass dan sampel kedua di larutkan dalam KOH 10%. Penutup objek glass ditutup dan
diperiksa dibawah mikroskop. Sel ragi atau pseudohyphae dari candida lebih mudah
didapatkan pada preparat KOH. Namun kultur T. vaginalis lebih sensitive disbanding
pemeriksaan mikroskopik.

Secara klinik, untuk menegakkan diagnosis vaginosis bakterial harus ada tiga dari
empat kriteria sebagai berikut, yaitu: (1) adanya sel clue pada pemeriksaan mikroskopik

81
sediaan basah, (2) adanya bau amis setelah penetesan KOH 10% pada cairan vagina, (3) duh
yang homogen, kental, tipis, dan berwarna seperti susu, (4) pH vagina lebih dari 4.5 dengan
menggunakan nitrazine paper.

PENATALAKSANAAN

Untuk menghindari komplikasi yang serius dari keputihan (fluor albus), sebaiknya
penatalaksanaan dilakukan sedini mungkin sekaligus untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya penyebab lain seperti kanker leher rahim yang juga memberikan gejala keputihan
berupa sekret encer, berwarna merah muda, coklat mengandung darah atau hitam serta berbau
busuk.(8)

Penatalaksanan keputihan tergantung dari penyebab infeksi seperti jamur, bakteri atau
parasit. Umumnya diberikan obat-obatan untuk mengatasi keluhan dan menghentikan proses
infeksi sesuai dengan penyebabnya. Obat-obatan yang digunakan dalam mengatasi keputihan
biasanya berasal dari golongan flukonazol untuk mengatasi infeksi candida dan golongan
metronidazol untuk mengatasi infeksi bakteri dan parasit. Sediaan obat dapat berupa sediaan
oral (tablet, kapsul), topikal seperti krem yang dioleskan dan uvula yang dimasukkan
langsung ke dalam liang vagina. Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan seksual,
terapi juga diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan untuk tidak berhubungan
seksual selama masih dalam pengobatan. Selain itu, dianjurkan untuk selalu menjaga
kebersihan daerah intim sebagai tindakan pencegahan sekaligus mencegah berulangnya
keputihan yaitu dengan :

1. Pola hidup sehat yaitu diet yang seimbang, olah raga rutin, istirahat cukup, hindari rokok
dan alkohol serta hindari stres berkepanjangan.

2. Setia kepada pasangan. Hindari promiskuitas atau gunakan kondom untuk mencegah
penularan penyakit menular seksual.

3. Selalu menjaga kebersihan daerah pribadi dengan menjaganya agar tetap kering dan tidak
lembab misalnya dengan menggunakan celana dengan bahan yang menyerap keringat,
hindari pemakaian celana terlalu ketat. Biasakan untuk mengganti pembalut, pantyliner pada
waktunya untuk mencegah bakteri berkembang biak.

4. Biasakan membasuh dengan cara yang benar tiap kali buang air yaitu dari arah depan ke
belakang.

82
5. Penggunaan cairan pembersih vagina sebaiknya tidak berlebihan karena dapat mematikan
flora normal vagina. Jika perlu, lakukan konsultasi medis dahulu sebelum menggunakan
cairan pembersih vagina.

6. Hindari penggunaan bedak talkum, tissue atau sabun dengan pewangi pada daerah vagina
karena dapat menyebabkan iritasi.

7. Hindari pemakaian barang-barang yang memudahkan penularan seperti meminjam


perlengkapan mandi dsb. Sedapat mungkin tidak duduk di atas kloset di WC umum atau
biasakan mengelap dudukan kloset sebelum menggunakannya.(8)

Tujuan pengobatan

- Menghilangkan gejala

- Memberantas penyebabrnya

- Mencegah terjadinya infeksi ulang

- Pasangan diikutkan dalam pengobatan

Fisiologis : tidak ada pengobatan khusus, penderita diberi penerangan untuk menghilangkan
kecemasannya.

Patologi : Tergantung penyebabnya

Berikut ini adalah pengobatan dari penyebab paling sering :

1. Candida albicans (3)

Topikal

- Nistatin tablet vagina 2 x sehari selama 2 minggu

- Klotrimazol 1% vaginal krim 1 x sehari selama 7 hari

- Mikonazol nitrat 2% 1 x ssehari selama 7 – 14 hari

Sistemik

- Nistatin tablet 4 x 1 tablet selama 14 hari

- Ketokonazol oral 2 x 200 mg selama 7 hari

83
- Nimorazol 2 gram dosis tunggal

- Ornidazol 1,5 gram dosis tunggal

Pasangan seksual dibawa dalam pengobatan

2. Chlamidia trachomatis

- Metronidazole 600 mg/hari 4-7 hari (Illustrated of textbook gynecology)

- Tetrasiklin 4 x 500mg selama 10-14 hari oral

- Eritromisin 4 x 500 mg oral selama 10-14 hari bila

- Minosiklin dosis 1200mg di lanjutkan 2 x 100 mg/hari selama 14hari

- Doksisiklin 2 x 200 mg/hari selama 14 hari

- Kotrimoksazole sama dengan dosis minosiklin 2 x 2 tablet/hari selama 10 hari

3. Gardnerella vaginalis

- Metronidazole 2 x 500 mg

- Metronidazole 2 gram dosis tunggal

- Ampisillin 4 x 500 mg oral sehari selama 7 hari

- Pasangan seksual diikutkan dalam pengobatan

4. Neisseria gonorhoeae

- Penicillin prokain 4,8 juta unit im atau

- Amoksisiklin 3 gr im

- Ampisiillin 3,5 gram im atau

Ditambah :

- Doksisiklin 2 x 100mg oral selama 7 hari atau

- Tetrasiklin 4 x 500 mg oral selama 7 hari

- Eritromisin 4 x 500 mg oral selama 7 hari

84
- Tiamfenikol 3,5 gram oral

- Kanamisin 2 gram im

- Ofloksasin 400 mg/oral

Untuk Neisseria gonorhoeae penghasil Penisilinase

- Seftriaxon 250 mg im atau

- Spektinomisin 2 mg im atau

- Ciprofloksasin 500 mg oral

Ditambah

- Doksisiklin 2 x 100 mg selama 7 hari atau

- Tetrasiklin 4 x 500 mg oral selama 7 hari

- Eritromisin 4 x 500 mg oral selama 7 hari

5. Virus herpeks simpleks

Belum ada obat yang dapat memberikan kesembuhan secara tuntas

- Asiklovir krim dioleskan 4 x sehari

- Asiklovir 5 x 200 mg oral selama 5 hari

- Povidone iododine bisa digunakan untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder(8)

6. Penyebab lain :

Vulvovaginitis psikosomatik dengan pendekatan psikologi. Desquamative inflammatory


vaginitis diberikan antibiotik, kortikosteroid dan estrogen.(3)

PROGNOSIS

Biasanya kondisi-kondisi yang menyebabkan fluor albus memberikan respon terhadap


pengobatan dalam beberapa hari. Kadang-kadang infeksi akan berulang. Dengan perawatan
kesehatan akan menentukan pengobatan yang lebih efektif(2)

85
9. KONTRASEPSI

Definisi
Kontrasepsi adalah usaha-usaha untuk mencegah kehamilan (Sarwono, 2005).
Kontrasepsi merupakan metode yang dapat digunakan untuk menyelamatkan ibu dan anak
akibat melahirkan pada usia muda (fase menunda atau mencegah kehamilan), jarak kelahiran
yang terlalu dekat (fase menjarangkan kehamilan) dan melahirkan pada usia tua (fase
menghentikan atau mengakhiri kehamilan).
2.2 Tujuan

86
Kontrasepsi bertujuan untuk pasangan yang ingin menunda kehamilan, menjarangkan
kehamilan setelah persalinan atau setelah keguguran, selain itu pemberian kontrasepsi berupa
pil berguna dalam penekanan Luteinizing Hormon (LH) yang dapat mempengaruhi kadar
HCG dalam kasus molahidatidosa.
Perencanaan pemilihan kontrasepsi apa yang akan dipakai nantinya harus rasional.

Fase menunda Fase menjarangkan kehamilan Fase tidak hamil lagi


kehamilan 20 35
 Pil  IUD  IUD  Steril
 IUD  Suntikan  Suntikan  IUD
 Sederhana  Pil  Minipil  Implan
 Implan  Implan  Pil  Suntikan
 Suntikan  Sederhana  Implan  Sederhana
 Sederhana  Pil
 Steril
Tabel 1. Urutan Pemilihan Kontrasepsi yang Rasional
2.3 Syarat
- Persetujuan tindakan medis oleh pasangan suami istri atau diri sendiri
- Tidak hamil
Klien tidak hamil apabila :
1. Tidak senggama sejak haid terakhir
2. Sedang memakai metode efektif secara baik dan benar
3. Sekarang dalam 7 hari pertama haid terakhir
4. Sekarang dalam 6 minggu pasca persalinan
5. Sekarang dalam 7 hari pasca keguguran
6. Sedang menyusui dan tidak haid
Langkah-langkah yang bisa ditempuh dalam memilih metode kontrasepsi kehamilan adalah :
1. Percaya pada diri sendiri.
2. Bekerjasama dengan suami
3. Mentaati aturan metode secara tertib
2.4 Metode Sederhana
a. Tanpa menggunakan alat
KB Alamiah
1. Metode kalender ( ogino-knaus )
Prinsip
Menghindari senggama pada saat subur / sekitar ovulasi. Perkiraan masa subur : 14 hari
sebelum haid + 2 hari. Sperma mampu bertahan palinglama 72 jam dalam saluran
reproduksi wanita.
Karakteristik masa subur

87
Viskositas cairan vagina meningkat akibat pengaruh estrogen tinggi, uji rentang lendir
vagina (Spinbarkeitt) panjang. Ovulasi dapat diketahui dengan pemeriksaan lendir
cervix, suhu basal dan sitologivaginal. Menentukan masa subur isteri dipakai 3 patokan :
- Ovulasi terjadi 14+2 hari sebelum haid yang akan datang
- Sperma dalam saluran reproduksi wanita dapat hidup dan membuahi dalam 72
jam setelah ovuasi
- Ovum dapat bertahan hidup sampai 24 jam setelah ovulasi. Jika siklus haid tidak
teratur : hati-hati dalam perhitungan.
2. Metode suhu badan basal ( termal )
Menjelang ovulasi suhu basal badan akan turun. Kurang lebih 24 jam sesudah ovulasi
suhu basal badan akan naik lagi sampai lebih tinggi daripada suhu sebelum ovulasi.
Fenomena ini dapat digunakan untuk menentukan saat ovulasi. Suhu basal badan dicatat
dengan teliti setiap hari. Suhu basal maksudnya adalah suhu yang diukur di waktu pagi
segera sesudah bangun tidur dan sebelum melakukan aktivitas apapun.
3. Coitus Interuptus
Cara ini merupakan cara kontrasepsi yang tertua yang dikenal oleh manusia, dan
mungkin masih merupakan cara yang banyak dilakukan sampai sekarang. Senggama
terputus ialah penarikan penis dari vagina sebelum terjadi ejakulasi. Hal ini berdasarkan
kenyataan, bahwa akan terjadinya ejakulasi disadari sebelumnya oleh sebagian besar
pria, dan setelah itu masih ada wakru kira-kira 1 detik sebelum ejakulasi terjadi. Waktu
yang singkat ini dapat digunakan untuk menarik penis keluar dari vagina.
Keuntungannya cara ini tidak membutuhkan biaya, alat-alat, maupun persiapan, akan
tetapi kekurangannya bahwa untuk mensukseskan cara ini dibutuhkan pengendalian diri
yang besar dari pihak pria. Beberapa pria karenafaktor jasmani dan emosional tidak dapt
mempergunakan cara ini.
4. Metode Amenore Laktasi
Dengan menyusui, akan keluar hormon prolaktin yang menyebabkan amenore dan
anovulasi infertilitas makin tinggi kadar prolaktin, makin besar kejadian anovulasi.
Menyusui harus dilakukan secara penuh / full dan sering. Dengan menyusui penuh,
efektifitas kontrasepsi alami akan bertahan 3-6 bulan.
b. Dengan menggunakan alat
Mekanis ( barrier )
1. Kondom
Prinsip kerja kondom adalah sebagai perisai dari penis sewaktu melakukan koitus,
dan mencegah pengumpulan sperma dalam vagina. Bentuk kondom adalah silindris dengan

88
pinggir yang tebal pada ujung yang terbuka, sedang ujung yang buntu berfungsi sebagai
penampung sperma. Diameternya biasanya kira-kira 31-36,5 mm dan panjang lebih kurang
19mm. Kondom dilapisi dengan pelicin yang bersifat spermatisid.
Keuntungan kondom selain untuk memberi perlindungan terhadap penyakit
kelamin, dapat juga sebagai kontrasepsi. Kekurangannya ialah ada kalanya pasangan yang
mempergunakannya merasakan selaput karet tersebut sebagai peghalang dalam kenikmatan
sewaktu melakukan koitus. Adapula pasangan yang tidak menyukai kondom adanya asosiasi
dengan soal pelacuran. Sebab-sebab kegagalan memakai kondom ialah bocor atau koyaknya
alat tersebut atau tumpahnya seperma akibat tidak dikeluarkannya penis setelah terjadi
ejakulasi. Efek samping penggunaan kondom tidak ada, kecuali ada alergi terhadap bahan
untuk membuat karet.
Mengenai pemakaian kondom perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
 Jangan melakukan koitus sebelum kondom terpasang dengan baik.
 Pasanglah kondom sepanjang penis yang sedang ereksi. Pada pria yang tidak
sirkumsisi, preputium harus ditarik terlebih dahulu.
 Tinggalkan sebagian kecil dari ujung kondom untuk menampung sperma. Pada
kondom yang mempunyai kantong kecil ujungnya, keluarkanlah udara terlebih dahulu
sebelum kondom dipasang.
 Pergunakanlah bahan pelicin secukupnya pada permukaan kondom untuk mencegah
terjadinya robekan.
 Keluarkanlah penis dari vagina sewaktu masih dalam keadaan ereksi dan tahanlah
kondom pada tempatnya ketika penis dikeluarkan dari vagina supaya sperma tidak
tumpah.

Gambar 1. Kondom
2. Diafrgama
Dewasa ini diafragma vaginal terdiri atas kantong karet yang berbentuk mangkuk
dengan per elastis pada pinggirnya. Per ini ada yang terbuat dari logam tipis yang tidak dapat
berkarat, ada pula yang dari kawat halus yang tergulung sebagai spiral dan mempunyai sifat
seperti per.

89
Ukuran diafragma vaginal yang beredar di pasaran mempunyai diameter antara 55
sampai 100mm. Tiap-tiap ukuran mempunyai perbedaan diameter masing-masing 5 mm.
Besarnya ukuran diafragma yang akan dipakai oleh akseptor ditentukan secara individual.
Diafragma dimasukkan kedalam vagina sebelum koitus untuk menjaga sperma
tidak masuk ke uterus. Untuk memperkuat efek diafragma, obat spermatisida dimasukkan ke
dalam mangkuk dan dioleskan pada pinggirnya. Diafragma vaginal sering dianjurkan dalam
hal:
 Keadaan dimana tidak tersedia cara lebih baik.
 Jika frekuensi koitus tidak seberapa tinggi, sehingga tidak dibutuhkan
perlindungan terus menerus;
 Jika pemakaian pil, AKDR, atau cara lain harus dihentikan untuk sementara
waktu oleh karene sesuatu sebab.
Pada keadaan-keadaan tertentu pemakaian diafragma tidak dapat dibenarkan,
misalnya pada:
 Sistokel yang berat
 Prolapsus uteri
 Fistula vagina
 Hiperantefleksio atau hiperretrofleksio uteri
Diafragma paling cocok untuk dipakai pada wanita dengan dasar panggul yang
tidak longgar dan dengan tonus dinding vagina yang baik.
Umumnya diafragma vaginal tidak menimbulkan banyak efek sampingan. Efek
sampingan mungkin disebabkan oleh reaksi alergik terhadap obat-obat spermatisida yang
dipergunakan, atau oleh karena terjadi perkembangbiakan bakteri yang berlebihan di dalam
vagina jika diafragma dibiarkan terlalu lama disitu.
Kekurangan dari penggunaan diafragma vagina adalah: 1) diperlukan motivsi yang
cukup kuat; 2) Umumnya hanya cocok untuk wanita terpelajar dan tidak untuk digunakan
secara massal; 3) Pemakaian yang tidak teratur dapat menimbulkan kegagalan; 4) tingkat
kegagalan lebih tinggi daripada pil atau AKDR.
Manfaat dari penggunaan diafragma adalah: 1) hampir tidak ada efek sampingan;
2) dengan motivasi yang baik dan pemakaian yang betul, hasilnya cukup memuaskan; 3)
dapat dipakai untuk pengganti pil atau AKDR pada wanita-wanita yang tidak boleh
mempergunakan pil atau AKDR karena sebab-sebab tertentu.
Cara pemakaian diafragma vaginal

90
Jika akseptor telah setuju mempergunakan cara ini, terlabih dahulu ditentukan
ukuran diafragma yang akan dipakai, dengan mengukur jarak antara simfisis bagian bawah
dan forniks vaginae posterior dengan menggunakan jari telunjuk dari jari tengah tangan
dokter, yang dimasukkan kedalam vagina akseptor. Kemudian, kepadanya diterangkan
anatomi alat-alat genitalia bagian dalam dari wanita, dan dijelaskan serta di demonstrasikan
cara memasang diafragma vaginal. Pinggir mangkuk dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk,
dan diafragma dimasukkan kedalam vagina sesuai dengan sumbunya.

Gambar 2. Diafragma vaginal

Cara Penyimpanan diafragma vaginal


Setelah dipakai, diafragma vaginal dicuci dengan sabun dan air dingin sampai
bersih, lalu dikeringkan dengan kain halus, dan kemudian diberi bedak. Diafragma vaginal
harus disimpan ditempat yang tidak terkena panas. Sekali-sekali diafragma vaginal harus
diperiksa, apakah tidak bocor atau apakah cincin mangkuk tidak rusak. Jika dijaga dengan
baik, diafragma dapat digunakan untuk selama kira-kira 1-1,5 tahun.
Kimiawi
1. Spermisid
Sediaan berbentuk vaginal suppositoria, cream/jelly, atau film/tissue, dimasukkan
ke dalam vagina 15-30 menit sebelum sanggama. Keuntungan : murah, dapat dipakai
berulang-ulang, membunuh kuman.
Macam-macam : Vaginal cream, Vaginal foam, Vaginal Jelly, Vaginal Suppositoria,
Vaginal Tablet ( busa ), Vaginal soluble film.

91
Gambar 3. Spermisida
2.5 Metode Modern
Kontrasepsi hormonal
Dibawah pengaruh hipothalamus, hipofisis mengeluarkan menurut urutan tertentu
Follicle Stimulating Hormon (FSH) Luteinizing Hormone (LH). Hormon-hormon ini dapat
merangsang ovarium untuk membuat estrogen dan progesteron. Dua hormon terakhir ini
menumbuhkan endometrium pada waktu daur haid, dalam keseimbangan yang tertentu,
menyebabkan ovulasi, dan akhirnya penurunan kadarnya mengakibatkan disintegrasi
endometrium dan haid. Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan bahwa baik estrogen maupun
progesteron dapat mencegah ovulasi. Pengetahuan ini menjadi dasar untuk menggunakan
kombinasi estrogen dan progesteron sebagai cara kontrasepsi dan jalan mencegah terjadinya
ovulasi.
Pil-pil hormonal terdiri atas komponen estrogen dan komponen progestagen, atau
oleh salah satu dari komponen itu. Hormon steroid sintetik dalam metabolismenya sangat
berbeda dari hormone steroid yang dikeluarkan oleh ovarium. Umumnya dapat dikatakan
bahwa komponen estrogen dalam pil dengan jalan menekan sekresi FSH menghalangi
maturasi folikel dan ovarium. Karena pengaruh estrogen dari ovarium tidak ada, tidak
terdapat pengeluaran LH. Ditengah-tengah daur haid kurang terdapat FSH dan tidak ada
peningkatan kadar LH menyebabkan ovulasi terganggu. Pengaruh komponen progestagen
dalam pil kombinasi memperkuat khasiat estrogen untuk mencegah ovulasi, sehingga dalam
95-98% tidak terjadi ovulasi. Selanjutnya, estrogen dalam dosis tinggi dapat pula
mempercepat perjalanan ovum dan menyulitkan terjadinya implantasi dalam endometrium
dari ovum yang sudah dibuahi.
Komponen progestagen dalam pil kombinasi seperti tersebut diatas memperkuat
daya estrogen untuk mencegah ovulasi. Progestagen sendiri dalam dosis tinggi dapat
menghambat ovulasi, akan tetapi tidak pada dosis rendah. Selanjutnya progestagen
mempunyai khasiat sebagai berikut:
1) Lendir serviks uteri menjadi lebih ketal, sehingga menghalangi penetrasi
spermatosoon untuk masuk kedalam uterus.

92
2) Kapasitasi spermatosoon yang perlu untuk memasuki ovum terganggu.
3) Beberapa progestagen tertentu, seperti noretinodrel mempunyai efek antiestrogenik
terhadap endometrium, sehingga menyulitkan mplantasi ovum yang sudah dibuahi.
Per-oral (pil)
1. Pil oral kombinasi ( POK )
Pil kombinasi merupakan pil kontrasepsi yang saat ini dianggap paling efektif. Selain
mencegah terjadinya ovulasi, pil juga mempunya efek lain terhadap traktus genitalis, seperti
menimbulkan perubahan-perubahan pada lendir cerviks, sehingga menjadi kurang banyak
dan kental, yang mengakibatkan sperma tidak dapat memasuki cavum uteri. Juga terjadi
perubahan-perubahan motilitas tuba fallopi dan uterus. Dewasa ini terdapat banyak macam
pil kombinasi, tergantung dari jenis dan dosis estrogen serta jenis progesteron yang dipakai.
Efek Samping
Hormon-hormon dalam pil harus cukup kuat untuk dapat mengubah proses biologik,
sehingga ovulasi tidak terjadi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kadang-kadang
timbul efek samping. Efek tersebut pada umumnya ditemukan pada pil kombinasi dengan
kelebihan estrogen atau peda pil dengan kelebihan progesteron. Perlu juga diketahui behwa
antara jenis-jenis progestagen terdapat perbedaan mengenai efek tambahan, yakni efek
estrogenik, atau efek androgenik, atau efek metabolik.

Efek Karena Kelebihan Estrogen


Efek-efek yang sering terdapat ialah, rasa mual, retensi cairan, sakit kepala, nyeri pada
mamae, flour albus. Rasa mual kadang-kadang disertai muntah, diare, dan perut kembung.
Retensi cairan disebabkan oleh kurangnya pengeluaran air dan natrium, dan dapat
meningkatkan berat badan. Sakit kepala sebagian juga disebabkan oleh retensi cairan. Kepada
penderita pemberian garam perlu dikurangi, dan dapat diberikan obat diuretik.
Kadang-kadang efek samping demikian mengganggu akseptor, sehingga ia hendak
menghentikan minum pil. Dalam keadaan demikian, ia diharuskan minum pil dengan pil
kombinasi yang mengandung dosis estrogen rendah, oleh karena tidak jarang efek itu
berkurang dalam beberapa bulan. Akan tetapi, kadang-kadang pemakaian pil terpaksa
dihentikan, dan harus dianjurkan kontrasepsi lain. Ada indikasi bahwa pemakaian pil dapat
menimbulkan hipertensi pada wanita yang sebelumnya tidak menderita penyakit tersebut.
Akan tetapi biasanya hipertensi tidak tinggi, mempengaruhi terutama tekanan sistolik, dan
kembali kepada keadaan normal setelah pil dihentikan. Akan tetapi, pengaruh kepada mereka
yang sudah menderita hipertensi lebih nyata,. Ada bukti-bukti bahwa minum pil yang cukup

93
lama dengan dosis estrogen yang tinggi dapat menyebabkan pembesaran mioma uteri, akan
tetapi biasanya pembesaran itu berhenti jika pemakaian pil dihentikan. Pemakaian pil kadang-
kadang dapat menyembuhkan pertumbuhan endometrium yang berlebihan dibawah pengaruh
estrogen.
Rendahnya dosis estrogen dalam pil dapat mengakibatkan spotting dan breaktrough
bleeding dalam masa intermenstruum.
Efek Karena kelebihan Progestagen
Progestagen dalam dosis yang berlebihan dapat menyebabkan perdarahan tidak
teratur, bertambahnya nafsu makan disertai bertambahnya berat badan, akne, alopesia,
kadang-kadang mamae mengecil, flour albus hipomenorea. Bertambahnya berat badan karena
progestagen kiranya disebabkan oleh bertambahnya nafsu makan dan efek metabolik hormon.
Akne dan alopesia bisa timbul karena efek androgenik dari jenis progestagen yang dipakai
dalam pil. Progestagen dapat menyebabkan mengecilnya mamae, jika hal ini tidak disenangi
oleh akseptor, dapat diberikan kepadanya pil dengan estrogen lebih banyak.
Flour albus yang kadang-kadang ditemukan pada pil dengan progestagen dalam dosis
tinggi, mungkin disebabkan oleh meningkatnya infeksi dengan kandida albikans. Kadang-
kadang wanita yang minum pi dengan kelebihan progestagen menderita depresi. Ada alasan
kuat bahwa depresi itu timbul pada wanita yang sehat, akan tetapi pada wanita yang
sebelumnya sudah secara emosional tidak stabil.
Efek samping yang berat
Bahaya yang dikhawatirkan dengan pil adalah trombo-emboli, termasuk
tromboflebitis, emboli paru-paru, dan trombosis otak. Mengenai hal ini laporan-laporan
dalam kepustakaan sering kali bertentangan. Yang dapat dipakai sebagai pegangan ialah,
bahwa kemungkinan untuk terjadinya trombo emboli pada wanita yang minum pil, lebih
besar apabila ada faktor-faktor yang memberikan predisposisi, seperti merokok, hipertensi,
diabetes melitus, obesitas.
Kontraindikasi
Tidak semua wanita dapat menggunakan pil kombinasi untuk kontrasepsi.
Kontraindikasi terhadap penggunaannya dapat dibagi dalam kontraindikasi mutlak dan relatif.
 Kontraindikasi mutlak
1. Adanya tumor yang dipengaruhi estrogen
2. Penyakit-penyakit hati yang aktif, baik akut maupun menahun
3. Pernah mengalami tromboflebitis, tromboemboli, kelainan serebro-vaskuler

94
4. Diabetes mellitus
5. Kehamilan
 Kontraindikasi relatif
1. Depresi
2. migrain
3. Mioma uteri
4. Hipertensi
5. Oligomenorea
Pemberian pil kombinasi kepada wanita yang mempunyai kelainan tersebut harus
diawasi secara teratur dan terus-menerus, sekurang-kurangnya sekali dalam tiga bulan.
Kelebihan pil kombinasi
1. Efektifitasnya dapat dipercaya ( Daya guna teoritis hampir 100 %, daya guna pemakaian
95-98 %
2. Frekuensi koitus tidak perlu diatur
3. siklus haid teratur
4. Keluhan-keluhan disminore yang primer menjadi berkurang
Kekurangan pil kombinasi
1. Harus diminum tiap hari sehingga kadang-kadang merepotkan
2. Motivasi harus kuat
3. Adanya efek samping walaupun sementara, seperti mual, sakit kepala, muntah, buah dada
menjadi nyeri
4. Kadang-kadang setelah minum pil dapat minum amenore yang persisten
Cara Pemakaian Pil Kombinasi
Ada pil kombinasi yang dalam satu bungkus berisi 21 (atau 22) pil dan ada yang berisi
28 pil. Pil yang berjumlah 21-22 diminum mulai hari ke 5 haid tiap hari satu pil terus
menerus, dan kemudian berhenti jika isi bungkus habis, sebaiknya pil diminum pada waktu
tertentu, misalnya malam sebelum tidur. Beberapa hari setelah minum pil dihentikan,
biasanya terjadi withdrawal bleeding dan pil pada bungkus kedua dimulai hari ke-5 dari
permulaan perdarahan. Apabila tidak terjadi withdrawal bleeding, maka pil pada bungkus
kedua mulai diminum 7 hari setelah pil pada bungkus pertama habis. Pil dalam bungkus 28
pil diminum tiap malam terus menerus. Pada hari pertama haid pil yang inaktif mulai
diminum, dan dipilih pil menurut hari yang ditentukan dalam bungkus. Keuntungan minum
pil berjumlah 28 biji adalah bahwa karena pil ini diminum tiap hari terus menerus, tidak

95
mudah dilupakan. Jika lupa meminumnya, pil tersebut hendaknya diminum keesokkan
paginya, sedang pil untuk hari tersebut diminum pada waktu yang biasa. Jika lupa minum pil
dua hari berturut-turut, dapat diminum 2 pil keesokan harinya dan 2 pil lusanya. Selanjutnya
dalam hal demikian, dipergunakan cara kontrasepsi yang lain selama sisa hari dari siklus
yang bersangkutan. Demikian pula hendaknya jika mulai minum pil, digunakan cara
kontrasepsi lain selama sedikitnya 2 minggu. Petunjuk umum untu hal ini ialah: Anggaplah
bungkus pertama belum aman
Sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan sediaan apus (Papanicolaou smear)
dan pemeriksaan mamae setahun sekali pada pemakai pil.
2. Mini pil
Pada Tahun 1965 Rudell dkk. Menemukan bahwa pemberian progestagen
(khlormadinon asetat) dalam dosis kecil (0,5 mg per hari) menyebabkan wanita tersebut
menjadi infertile. Mini pill bukan merupakan penghambat ovulasi oleh karena selama
memakan pil mini ini ovulasi kadang-kadang masih dapat terjadi. Efek utamanya ialah
terhadap lendir serviks, dan juga terhadap endometrium, sehingga nidasi blastokista tidak
dapat terjadi. Mini pill ini umumnya tidak dipakai sebagai kontrasepsi.
3. Morning After pil
Pada tahun 1966 Morris dan Van Wagenen ( Amerika serikat ) menemukan bahwa
estrogen dalam dosis tinggi dapat mencegah kehamilan jika diberikan segera setelah coitus
yang tidak dilindungi. Penyelidikan mereka lakukan pada wanita sukarelawan dan wanita
yang diperkosa. Kepada sebagian wanita-wanita tersebut diberikan 50 mg dietilstilbestrol
( DES) dan kepada sebagian lagi diberikan 0,5 sampai 2 mg sehari selama 4-5 hari setelah
terjadinya koitus. Kegagalan cara ini dilaporkan dalam 2,4 % dari jumlah kasus. Kiranya
dengan cara ini dapat dihalangi implantasi blastokista dalam endometrium.
Cara Pemberian :
- Bentuk pil : diminum pertama kali dalam batas waktu sampai 3 hari setelah sanggama
- Dosis berikutnya diminum 12 jam kemudian setelah dosis pertama
- Batas waktu sampai 7 hari pasca senggama, kegagalan : 0.1% - 2.0% jika dimulai
dalam 72 jam pasca senggama sebelum ovulasi. Jika sudah terjadi kehamilan, tidak
bermanfaat lagi. Jika sudah terjadi kehamilan, tidak bermanfaatlagi.
Masalahnya, umumnya pasien baru datang sesudah terlambat haid (sekitar 2-3 minggu
setelah kemungkinan ovulasi / fertilisasi), dan bukannya pada hari sesudah senggama
tanpa proteksi tersebut.

96
Amenore sesudah minum pill (post pill amenorrhea)
Sembilan puluh delapan persen (98%) wanita yang minum pil dapat haid lagi disertai
dengan ovulasi dalam 3 bulan setelah pil dihentikan. Pada 2% yang lain haid mulai lagi
kadang-kadang memerlukan waktu sampai 2 tahun.
Makin lama amenore berlangsung, makin kecil kemungkinan bahwa keadaan menjadi
normal kembali. Walaupun lamanya mnum pil dan umur yang bersangkutan memegang
peranan dalam timbulnya amenorea, namun ada juga yang menderita kelainan tersebut
sesudah minum pil tidak lebih dari 3 bulan. Mengenai sebab timbulnya amenore sesudah
minum pil ada 2 kemungkinan: pemakaian pil menghambat pengeluaran releasing factor dari
hipotalamus, sedang kemungkinan lain ialah bahya sebabnya terletak pada ovarium. Perlu
dipikirkan pula behwa amenore sekunder itu mempunyai sebab-sebab lain diluar pemakaian
pil.
b. Injeksi / suntikan
1. Depo Provera
Depo-provera ialah 6-alfa-medroksiprogesteron yang digunakan untuk tujuan
kontrasepsi parenteral, mempunyai efek progestagen yang kuat dan sangat efektif. Obat ini
termasuk obat depot. Noristerat juga termasuk dalam golongan ini.
Mekanisme Kerja
1. Obat ini menghalangi terjadinya ovulasi dengan jalan menekan pembentukan
Releasing Factor dari hipotalamus.
2. lendir serviks bertambah kental, sehingga menghambat penetrasi sperma melalui
serviks uteri.
3. Implantasi ovum dalam endometrium dihalangi
4. Kecepatan transpor ovum melalui tuba berubah
Keuntungan metoda depot ialah: 1) efektifitas tinggi; 2) sederhana pemakaiannya; 3)
cukup menyenangkan bagi akseptor (injeksi hanya 4 x setahun); 4) reversibel; 5) cocok
untuk ibu-ibu yang menyusui anak.
Kekurangan metoda depot ialah: 1) sering menimbulkan perdarahan yang tidak tertatur
(spotting, breakthrough bleeding), dan lain-lain; 2) dapat menimbulkan amenore. Obat
suntikan cocok digunakan bagi ibu-ibu yang beru saja ersalin dan sedang menyusui
anaknya.
Waktu Pemberian dan dosis
Depo Provera sangat cocok untuk program postpartum oleh karena tidak mengganggu
laktasi, dan terjadinya amenore setelah suntikan Depo Provera tidak akan mengganggu ibu-

97
ibu yang menyusui anaknya dalam masa post partum, Depo Provera disuntikkan sebelum ibu
meninggalkan Rumah Sakit, sebaiknya sesudah air susu ibu terbentuk, yaitu kira-kira hari ke-
3 s/d hari ke-5. Depo Provera disuntukkan dalam dosis 150mg/cc sekali 3 bulan. Suntikan
harus intramuskulus dalam.
c. Sub-kutis/bawah kulit : Implant
Norplant adalah suatu alat kontrasepsi yang mengandung levonorgestrel yang diungkus
dalam kapsul silastic-silicone dan disusukkan dibawah kulit adalh sebanyak 6 kapsul dan
masing-masing kapsul panjangnya 34 mm dan berisi 36 mg levonorgestrel. Setiap hari
sebanyak 30 mcg levonorgestrel dilepaskan ke dalam darah secara difusi melalui dinding
kapsul. Levonorgestrel adalah suatu progestin yang dipakai juga dalam pil KB seperti mini-
pill atau kombinasi atau pun pada AKDR yang bioaktif.
Mekanisme kerja :
- Mengentalkan lendir serviks uteri sehingga menyulitkan penetrasi sperma.
- Menimbulkan perubahan-perubahan pada endometrium sehingga tidak cocok untuk
implantasi zygote.
- Pada sebagian kasus dapat pula menghalangi terjadinya ovulasi.
- Efek kontrasepsi norplabt merupakan gabungan dari ketiga mekanisme kerja tersebut
di atas. Daya guna norplant cukup tingi. Kepustakaan melaporkan kegagalan norplant
antara 0,3 – 0,5 perseratus tahun wanita.

Kelebihan norplant antara lain adalah


1. Cara ini cocok untuk wanita yang tidak boleh menggunakan obat yang
mengandung estrogen
2. Perdarahan yang terjadi lebih ringan
3. Tidak menaikkan tekanan darah,
4. Resiko terjadinya kehamilan ektopik lebih kecil jika dibandingkan dengan
pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR).
5. Selain itu cara Norplant ini dapat digunakan untuk jangka panjang ( 5 tahun
dan bersifat reversibel. Menurut data-data klinis yang ada dalam waktu satu
tahun setelah pengangkatan Norplant, 80 % sampai 90 % wanita daat menjadi
hamil kembali.
Efek samping Norplant
1. Gangguan pola haid, seperti terjadinya spotting, perdarahan memanjang atau
lebih sering berdarah ( metrorrhagia ),

98
2. Amenore,
3. Mual-mual, anoreksia, pening, sakit kepala,
4. Kadang-kadang terjadi perubahan pada libido dan berat badan,
5. Timbulnya akne.
6. Oleh karena jumlah progestin yang dikeluarkan ke dalam darah sangat kecil,
maka efek samping yang terjadi tidak sesering pada penggunaaan KB.
Indikasi Norplant adalah
1. Wanita-wanita yang ingin memakai kontrasepsi untuk jangka waktu yang lama
tetapi tidak bersedia menjalani kontap atau menggunakan AKDR
2. Wanita-wanita yang tidak boleh menggunakan pil KB yang mengandung estrogen
Kontraindikasi Norplant adalah
1. Kehamilan atau disangka hamil
2. Penderita penyakit hati
3. Kanker payudara
4. Kelainan jiwa ( psikosis, neurosis ),
5. varikosis
6.. Riwayat kehamilan ektopik
7. Diabetes mellitus
8. Kelainan kardiovaskuler.

Waktu pemasangan Norplant


Sewaktu haid berlangsung atau masa pra-ovulasi dari siklus haid, sehingga
adanya kehamilan dapat disingkirkan.
Macam-macam
- Norplant 6 batang
- Norplant 2 batang
- Impanon /Norplant 1 batang
2. Intra Uterine Device ( IUD )/ Alat kontrasepsi dalam rahim ( AKDR )
PRINSIP
Menimbulkan reaksi inflamasi lokal dalam endometrium kavum uteri sehingga
menghambat terjadinya implantasi. Bentuk spiral / melingkar bertujuan untuk memperluas
permukaan kontak dengan dinding kavum uteri. Setelah diteliti ternyata BUKAN abortif.
IUD diduga juga menghambat motilitas tuba sehingga memaksa sperma "berenang" melawan
arus.

99
Gambar 4. Model IUD

Gambar 5. Gambaran IUD yang terpasang pada cavum uteri


Keuntungan AKDR
 Efektivitasnya tinggi. Sangat efektif → 0,6-0,8 kehamilan/100 perempuan dalam 1
tahun pertama (1 kegagalan dalam 125-170 kehamilan)
 AKDR dapat efektif segera setelah pemasangan
 Metode jangka panjang (10 tahun proteksi dari CuT-380A dan tidak perlu diganti)
 Tidak mempengaruhi hubungan seksual
 Tidak ada efek samping hormonal dengan Cu AKDR (CuT-380A)
 Tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI
 Dapat dipasang segera estela melahirkan atau abortus (apabila tidak terjadi infeksi)
 Dapat pigunakan sampai menopause (1 tahun atau lebih setelah haid terakhir)
 Tidak ada interaksi dengan obat-obatan
 Membantu mencegah kehamilan ektopik
Efek samping AKDR
 Perdarahan
 Rasa nyeri dan kejang di perut
 Gangguan pada suami→ benang AKDR keluar dari portio uteri terlalu pendek atau
terlalu panjang.
Komplikasi AKDR

100
 Infeksi → adanya infeksi sub akut atau menahun pada traktus genitalis sebelum
pemasangan AKDR
 Perforasi : umumnya perforasi terjadi sewaktu pemasangan AKDR walaupun bisa
terjadi pula kemudian. Permulaan hanya ujung AKDR saja yang menembus dinding
uterus, tetapi lama-kelamaan dengan adanya kontraksi uterus AKDR terdorong lebih
jauh sehingga menembus dinding uterus sehingga akhirnya sampai ke rongga perut.
Kontraindikasi pemasangan AKDR
Kontraindikasi relatif:
 Mioma uteri dengan adanya perubahan bentuk rongga uterus
 Insufisiensi serviks uteri
 Uterus dengan parut pada dindingnya, seperti pada bekas sectio sesaria, enukleasi
mioma
 Kelainan jinak serviks uteri, seperti erotio portio uteri.
Kontraindikasi absolut:
 Kehamilan
 Adanya infeksi yang aktif pada traktus genitalis
 Adanya tumor ganas pada traktus genitalis
 Adanya metroragia yang belum disembuhkan
 Pasangan yang tidak lestari.

Pemasangan AKDR
AKDR dapat dipasang dalam keadaan berikut:
 Sewaktu haid sedang berlangsung
 Post partum
 Post abortus
 Beberapa hari setelah haid berakhir

3. Sterilisasi
- Vasektomi pada pria
Pengikatan / pemotongan vas deferens kiri dan kanan pad pria untuk mencegah transport
spermatozoa dari testis melalui vasa ke arah uretra. Dilakukan dengan cara operasi, dapat
dengan operasi kecil atau (minor Surgery)

101
Seorang yang telah mengalami vasectomy baru dapat dikatakan betul-betul steril jika
dia telah mengalami 8-12 kali ejakulasi setelah vasectomy. Oleh karena itu sebelum hal
tersebut diatas tercapai, yang bersangkutan dianjurkan pada saat koitus memakai kontrasepsi
lain.
Komplikasi vasectomy antara lain adalah infeksi pada sayatan, reasa nyari,
terjadinya hematoma karena perdarahan kapiler, epididimitis dan granuloma.
Kegagalan vasectomy dapat terjadi oleh karena terjadi rekanalisasi spontan, gagal
mengenal dan memotong vas deferens, tidak diketahui adanya anomali vas deferns misalnya
ada 2 vas deferens pada kanan atau kiri, koitus dilakukan sebelum kantong seminalnya batul-
betul kosong.
Tubektomi
Pengikatan / pemotongan tuba falopii kiri dan kanan pada wanita untuk mencegah
transport ovum dari ovarium melalui tuba ke arah uterus.
Dilakukan dengan cara operasi (laparotomi / laparoskopi), dengan berbagai metode.
Efektifitas tinggi, reversibilitas rendah, sehingga disebut kontrasepsi mantap.
Manfaat:
Kontrasepsi
 Sangat efektif (0,2-4 kehamilan per 100 perempan selama tahun pertama penggunaan)
 Permanen
 Tidak mempengaruhi proses menyusui (breast feeding)
 Tidak bergantung pada faktor senggama
 Pembedahan sederhana dapat dilakukan dengan anastesi lokal
 Tidak ada efek samping dalam jangka panjang
 Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi hormon
ovarium.
Nonkontrasepsi
Berkurangnya resiko kanker ovarium.
Sebaiknya tubektomi sukarela dilakukan pada wanita yang memenuhi syarat berikut:
1. Umur termuda 25 tahun dengan 4 anak hidup
2. Umur sekitar 30 tahun dengan 3 anak hidup
3. Umur sekitar 35 tahun dengan 2 anak hidup
Pada konfrensi khusus perkumpulan untuk Sterilisasi Sukarela Indonesia di Medan (3-5 Juni
1976) dianjurkan umur diantara 25-40 tahun dengan jumlah anak sebagai berikut:

102
1. umur antara 25-30 tahun dengan 3 anak atau lebih
2. umur antara 30-35 tahun dengan 2 anak atau lebih
3. umur antara 35-40 tahun dengan 1 anak atau lebih
Yang sebaiknya tidak menjalani tubektomi:
 Hamil (sudah terdeteksi atau dicurigai)
 Perdarahan vaginal yang belum terjelaskan (hingga harus dievaluasi)
 Infeksi sistemik atau pelvik yang akut (hingga masalah itu disembuhkan atau
dikontrol)
 Tidak boleh menjalani pembedahan
 Belum memberikan persetujuan tertulis
Kapan Dilakukan:
 Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini secara rasional pasien tersebut
tidak hamil.
 Hari ke-6 hingga ke-13 dari siklus menstrasi (fase proliferasi)
 Pasca persalinan:
- minilap: didalam waktu 2 hari atau setelah 6 minggu atau 12 minggu
- laparoskopi: tidak tepat untuk klien-klien pasca persalinan
 Pasca keguguran:
- Triwulan pertama: dalam waktu 7 hari sepanjang tidak ada bukti infeksi pelvik
(minilap atau laparoskopi)
- Triwulan kedua: dalam waktu 7 hari sepanjang tidak ada bukti infeksi pelvik
(minilap saja)

103
10. PERDARAHAN PASCA SENGGAMA

Post coital bleeding (PCB) adalah perdarahan yang terjadi setelah coitus, perdarahan
pasca senggama.
Pada keadaan tertentu ada beberapa wanita yang mengalami perdarahan setelah
melakukan hubungan intim. Perdarahan paska senggama (post coital bleeding/PCB) pada
umum nya di sebabkan oleh dua hal, masalah pada serviks (leher rahim) dan perdarahan pada
lapisan dalam rahim (endometrium). Juga bisa terjadi karena adanya erosi di vagina
dikarenakan baru pertama kali berhubungan atau berhubungan seksual belum terlalu sering
sehingga vagina masih sempit, akibat penetrasi (penis masuk ke vagina), terutama bila wanita
masih belum penuh terangsang dapat menyebabkan gesekan yang menghakibatkan luka atau
lecet.
Yang lebih jarang lagi adalah tumor jinak yang berasal dari campuran sel epitelal
vagina seperti yang tersusun dari struktur kelenjar dan duktusnya serta epitel skuamosa
dengan diferensiasi lengkap di dalam stoma dengan tingakat diferensiasi moderat. (Brown
pada tahun 2000).

Macam-macam penyakit pada organ genitalia


· Tumor jinak vulva
· Tumor jinak vagina
· Tumor jinak serviks
· Tumor jinak endometrium
· Tumor jinak miometrium
· Tumor jinak jaringan ovarium
· Tumor epitel ovarium

104
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller AS, Leffell D. Fitzpatrick’s


Dermatology in General Medicine, 8th Edition. 2011 [cited 2017 Jul 11]; Available
from: https://www.scholars.northwestern.edu/en/publications/fitzpatricks-
dermatology-in-general-medicine-8th-edition-2
2. Anderson JR, ed. A Guide to the Clinical Care of Women with HIV/AIDS, Rockville,
MD: Health Resources and Services Administration, HIV/AIDS Bureau; 2005.
Accessed June 30, 2010.
3. Yan ZE. Vulvovaginal candidiasis. Clinical Prevention Services. 2012
4. Djuanda, Adhi et al, 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi keenam cetakan
kedua. FK UI : Jakarta.

5. Budimulja U, dkk. 2005. Dermatomikosis superfisial. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,


hal 58-72
6. Center for Disease Control and Prevention, 2013. Incidence, Prevalence, and Cost of
Sexually Transmitted Infections in the United States. Available from
http://www.cdc.gov/std/stats/sti-estimates-fact-sheet-feb-2013

7. Nabhan A. Vulvovaginal Candidiasis. ASJOG. 2006;3:73-9.


8. Faraji R, Rahimi MA, Rezvanmadani F, Hashemi M. Prevalence Of Vaginal
Candidiasis Infection In Diabetic Women. African Journal Of Microbiology Research.
2012;6(11):2773-8.
9. Sobel, DJ. Vulvovaginal candidiasis. Lancet, 2007;369:1961-71.
10. Darmani H.E. Hubungan Antara Pemakaian AKDR Dengan Kandidiasis Vagina Di
RSUP Dr. Prngadi Medan. Updated : 2003. Available from: URL:
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6376/1/D0300597.pdf.
11. Simatupang M.M. Candida albicans. Updated : 2009.
12. Usha Kataria, Sunita Siwach, Dinesh Chhillar. Study of the causes of vaginal
discharge among sexually active females in age group of 20-45 years: A hospital

105
based study in B.P.S. Government Medical College for Women, Khanpur Kalan,
District Sonipat, Haryana, India. IAIM, 2015; 2(4): 1-4.

13. Daill SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular Seksual. Edisi keempat. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011.

14. Neerja J, Aruna A, Paraamjet G. Significance of candida culture in women with


vulvovaginal symptoms. J Obstet Gynecol India. 2006;56(2):139-41.
15. Wolf K, Johnson R.A. Genital Candidiasis. In Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of
Clinical Dermatology 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2009. p.727-30.
16. Prabha. Vaginal yeast Infection. Updated: 2012. Available from: URL:
http://ehealthadvice.info.
17. Arif A, Mirdhatillah S, dkk. 2014. Farmakologi. FK UI : Jakarta.

18. Prawirohardjo, S. Ilmu Kandungan, Edisi 3, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta, 2011 :
161-173.

19. Ginekologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi FK-UNPAD Bandung, Elstar Offset
Bandung.

20. Cunningham F.G. et al, “Abnormal Uterine Bleeding” at Williams Obstetric, 21st
edition. McGrawHill: London, 2001.

106
107
DAFTAR PUSTAKA

1. Perdarahan Pervaginam Pada Kehamilan Muda.Diunduh dari:


http://midwiferygirl.blogspot.com/2010/06/perdarahan-pervagina-pada-kehamilan.html.
Diakses tanggal 14 Januari 2012.
2. Hadijanto B. Perdarahan pada kehamilan muda. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB,
Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi Keempat. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka; 2009; hlm459-91.
3. Bagian obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Bandung.Obstetri Patologi.Bandung: Elstar Offset; 1984; hlm 7-17, 38-42.
4. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius; 2007.
5. Mochtar, Prof. Dr. Rustam. Komplikasi akibat langsung kehamilan. Sinopsis Obstetri;
Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi. Edisi 2. Jakarta: EGC; 1998; hlm 209-45.
6. Pongcharoen S. Hydatidiform Mole Pregnancy : Genetics and Immunology. Siriraj
Hosp Gaz 2004;56(7):382-387
7. Hacker N.F, M.J George. Terjemahan Esensial Obstetri dan Ginekologi, edisi 2,
Hipokrates, 2001, 679-687

108
8. H Alan, De Cherney, Nathan L. Gestational Trophoblastic Disease in Current Obstetric
an Gynecologic Diagnose and Treatment. 9th ed. Lange. Baltimore NY. Mc Graw Hill.
2003. 947 – 958.
9. Wiknjosastro H. Mola Hidatidosa; Ilmu Kandungan. Edisi ke-2. Jakarta. Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1997; 262 – 266.
10. Prawirohardjo S.Kehamilan Ektopik dalam Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta Pusat:
Yayasan Bina Pustaka; 2007.
11. Wiknjosastro H. Buku Ilmu Kandungan Edisi 2., editor: Saifuddin A.B,dkk. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.1999: 13-14
12. Sjamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, l 1027; Jakarta, 1998
13. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius. 2000.
14. Medscape Reference, Ovarium Anatomy, Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1949171-overview#aw2aab6b3, Last Update
October 3, 2013. Accessed on April 23, 2014.\
15. Schorge et al. William’s Gynecology [Digital E-Book] Gynecologic Oncology Section.
Ovarian Tumors and Cancer. McGraw-Hills..2008
16. Jim Baum. Ovarian Pathology. Illustrated Review of obgyn sonography. Tersedia dalam
http://prosono.ieasysite.com/2.2_gyn_pathology_ovary.pdf
17. Giede. Ovarian cyst in Post-menopausal Women: when to worry. Tersedia dalam
http://www.stacommunications.com/journals/cme/2007/12-December%202007/021-
Case%20In-Ovarian%20Cysts.pdf
18. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta :2014
19. Derek Llewellyn-Jones. Fundamentals of Obstetry and Gynaecology. Edisi 6. Syney ;
1994

109

Anda mungkin juga menyukai