PENDAHULUAN
1
Peran tersebut dinyatakan dalam PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian
yaitu pengadaan sediaan farmasi, produksi sediaan farmasi, distribusi atau
penyaluran sediaan farmasi. Salah satu tempat dilaksanakannya pekerjaan
kefarmasian adalah puskesmas.
Agar seorang apoteker dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
dalam pembangunan terlaksana sesuai dengan fungsinya, maka seorang calon
apoteker akan sangat memerlukan pendidikan yang memadai, tidak sekedar
memahami teori tetapi juga harus terjun langsung untuk mengenali lebih jauh
profesinya. Maka Program Pendidikan Profesi Apoteker Sekolah Tinggi Farmasi
Bandung bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Bandung untuk dapat
melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di UPT Puskesmas Ibrahim
Adjie.
Pengalaman yang diperoleh melalui praktek kerja lapangan ini akan sangat
membantu calon apoteker untuk menambah wawasan, pengetahuan, pemahaman,
pengalaman praktis dan rasa percaya diri bila suatu hari nanti akan menjadi
seorang abdi negara dalam melayani masyarakat.
2
BAB II
TINJAUAN UMUM
DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG DAN PUSKESMAS
Dinas Kesehatan Kota Bandung adalah salah satu instansi pemerintah yang
sudah ada sejak jaman kependudukan Belanda. Pada tahun 1946 sampai 1949
Dinas Kesehatan disebut juga “Plaatselijke Gezond Heidsdienst Bandung” yang
berkantor di Gemeente Bandung. Pimpinannya adalah Dr. Molte V. Kuhlewein
sebagai Hoofd Gouvernementsart Hoofd V.D Plaatselijke Gezondheids Bandung.
Tahun 1950 Plaatselijke Gezond Heidsdienst berubah menjadi Jawatan
Kesehatan Kota Besar Bandung. Adapun pejabat yang ditunjuk adalah dr. R.
Admiral Suratedja, Kepala Kesehatan Kota Besar Bandung. Wakilnya berturut-
turut dr. R. Poerwo Soewarjo kemudian dr. R. Sadikun.
Kantor pusat Dinas Kesehatan berkedudukan di Gemeente Bandung atau
kantor Kotapraja Bandung yang sekarang dikenal sebagai kantor Pemerintah
3
Daerah Kotamadya Bandung sampai pertengahan tahun 1960 dan bagian preventif
yang sekarang dikenal dengan seksi pemberantasan penyakit menular berkantor di
Jalan Bawean Nomor 1 Bandung.
Pada tahun 1960 kantor pusat Dinas Kesehatan pindah ke jalan Badak Singa
Nomor 10 Bandung, menempati sebagian dari kantor penjernihan air yang
sekarang merupakan kantor perusahaan daerah air minum (PDAM) sampai
tanggal 9 Oktober 1965. Pada tanggal 9 Oktober 1965 pindah lagi ke Jalan
Supratman Nomor 73 Bandung sampai sekarang.
Pada tahun 1950 Jawatan Kesehatan Kota Besar Bandung terdiri dari 10
Balai Pengobatan kemudian pada tahun 1972 berkembang menjadi 4 pusat
kesehatan yang terdiri dari 1 Pusat Kesehatan Masyarakat, 18 Balai Kesehatan
Khusus kemudian 18 Balai Kesehatan Ibu dan Anak serta 6 Klinik Bersalin.
4
Dengan memperhatikan perkembangan pembangunan kesehatan keinginan,
harapan serta tujuan pembangunan kesehatan di Kota Bandung telah ditetapkan
visi yaitu “Bandung Kota Sehat yang Mandiri“, yang mempunyai makna,
pertama suatu kota yang secara terus menerus berupaya meningkatkan kualitas
lingkungan fisik dan sosial melalui pemberdayaan potensi masyarakat dengan
memaksimalkan seluruh potensi kehidupan baik secara bersama-sama maupun
mandiri sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang berprilaku sehat, hidup
di lingkungan yang aman, nyaman dan sehat yang diawali dari terwujudnya
kelurahan sehat dan kecamatan sehat.
Kedua, mandiri adalah masyarakat berupaya berperan serta secara aktif
dalam mencegah, melindungi dan memelihara dirinya. Keluarga, masyarakat
dan lingkungannya agar terhindar dari resiko gangguan kesehatan.
2. Misi Dinas Kesehatan Kota Bandung
Untuk merealisasikan visi “Bandung Kota Sehat yang Mandiri“, maka
Dinas Kesehatan Kota Bandung telah menetapkan misi pembangunan
kesehatan sebagai berikut:
a. Meningkatkan serta mendorong kesadaran individu, keluarga serta
masyarakat untuk hidup sehat secara mandiri.
b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.
c. Mengutamakan profesionalisme dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
d. Menggali potensi masyarakat dalam pembangunan kesehatan.
5
pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan, kesehatan
keluarga, pelayanan kefarmasian dan pengawasan makanan dan minuman
serta pembinaan program berdasarkan kebijakan Walikota Bandung.
b. Pelaksanaan tugas teknis fungsional di bidang kesehatan berdasarkan
kebijakan Gubernur Provinsi Jawa Barat.
c. Pelaksanaan pelayanan teknis administrasi ketatausahaan yang meliputi
kepegawaian, keuangan, umum dan perlengkapan.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran yang terdapat dalam setiap misi.
Pemerintah kota Bandung mengeluarkan kebijakan dalam bidang kesehatan
sebagai berikut.
1. Mengupayakan pembangunan kelurahan dan kecamatan berwawasan
kesehatan.
2. Menggerakan semua potensi masyarakat dalam meningkatkan derajat
kesehatan dan mewujudkan lingkungan sehat perkotaan.
3. Mengupayakan peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan baik,
promotif, kuratif dan rehabilitatif kepada masyarakat.
4. Mengupayakan peningkatan SDM kesehatan.
5. Mengupayakan peningkatan sumber dan proporsi pembiayaan kesehatan
melalui advokasi dan pemberdayaan masyarakat.
6
d. Program peningkatan sarana dan prasarana dan manajemen kesehatan
e. Program pencegahan dan penanggulangan penyakit dan lingkungan sehat
2. Program pembangunan kesehatan :
a. Program obat dan perbekalan kesehatan
b. Program upaya kesehatan masyarakat
c. Program pengawasan obat dan bahan makanan
d. Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
e. Program pembangunan lingkungan sehat
f. Program pencegahan dan penanggulangan penyakit menular
g. Program standarisasi pelayanan kesehatan
h. Program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana
puskesmas/puskesmas pembantu dan jaringannya
i. Program kemitraan peningkatan pelayanan kesehatan
j. Program peningkatan pelayanan kesehatan lansia
k. Program pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan
l. Program pelayanan administrasi perkantoran
m. Program peningkatan sarana dan prasarana aparatur
n. Program peningkatan kapasitas sumber daya aparatur
o. Program peningkatan pengembangan sistem pelaporan capai kinerja dan
keuangan.
Gudang Farmasi Kota Bandung merupakan bagian dari Seksi Farmasi dan
Perbekalan Kesehatan, sehingga dalam melaksanakan tugasnya harus berdasarkan
pada wewenang dan tanggung jawab yang diberikan oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kota Bandung melalui Kepala Bidang SDK dan Seksi Farmasi dan Perbekalan
Kesehatan. Gudang Farmasi Kota Bandung mempunyai tugas melaksanakan
sebagian tugas dinas kesehatan di bidang perencanaan, pangadaan, penerimaan,
penyimpanan, pemeliharaan, pengelolaan dan pendistribusian obat dan perbekalan
kesehatan yang diperlukan dalam pelayanan kesehatan, pencegahan,
pemberantasan penyakit serta melaksanakan monitoring dan evaluasi.
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Gudang Farmasi mempunyai
fungsi sebagai berikut:
1. Melaksanakan penerimaan, penyimpanan, pemeliharaan, pengelolaan,
pencatatan dan pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan.
2. Menyiapkan penyusunan rencana kebutuhan, pengadaan, pencatatan dan
pelaporan mengenai persediaan dan mutasi obat dan perbekalan kesehatan.
3. Mengamati kualitas/mutu obat dan perbekalan kesehatan secara umum baik
yang ada dalam persediaan maupun yang akan didistribusikan.
7
4. Melaksanakan monitoring dan evaluasi penggunaan obat dan perbekalan
kesehatan serta melakukan pembinaan pada unit pelayanan kesehatan.
8
Pemilihan obat berdasarkan pada Obat Generik terutama yang tercantum
dalam Daftar Obat Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) dan Daftar Obat
Essensial Nasional (DOEN) yang masih berlaku dengan patokan harga
sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Daftar Harga Obat
untuk Obat Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) dan Obat Program
Kesehatan. Fungsi pemilihan obat adalah untuk menentukan apakah obat
benar-benar diperlukan sesuai dengan pola penyakit yang ada.
9
iii.Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat untuk tingkat Kabupaten/
Kota.
iv. Pola penyakit yang ada.
i. Metode Konsumsi
Didasarkan atas analisa data konsumsi obat tahun sebelumnya. Untuk
menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan metoda
konsumsi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pengumpulan dan pengolahan data
Analisa data untuk informasi dan evaluasi
Perhitungan perkiraan kebutuhan obat
Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana
10
Metoda morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan
pola penyakit. Adapun faktor yang perlu diperhatikan adalah
perkembangan pola penyakit dan lead time. Langkah-langkah dalam
metoda ini adalah:
Memanfaatkan pedoman pengobatan.
Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani.
Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi
penyakit.
Menghitung jumlah kebutuhan obat.
Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan metode
morbiditas:
Perkiraan jumlah populasi.
Komposisi demografi dari populasi yang akan diklasifikasikan
berdasarkan jenis kelamin untuk umur antara:
0 – 4 tahun,
5 – 14 tahun,
15 – 44 tahun,
45 tahun (disesuaikan dengan LB-1),
atau ditetapkan berdasarkan kelompok dewasa (> 12 tahun)
dan anak (1 – 12 tahun).
Menetapkan pola morbiditas penyakit.
Masing-masing penyakit pertahun untuk seluruh populasi pada
kelompok umur yang ada.
Menghitung perkiraan jenis dan jumlah obat sesuai dengan
pedoman pengobatan dasar di puskesmas.
Frekuensi kejadian masing-masing penyakit pertahun untuk
seluruh populasi pada kelompok umur yang ada.
Menghitung kebutuhan jumlah obat, dengan cara jumlah kasus
dikali jumlah obat sesuai pedoman pengobatan dasar di puskesmas.
Untuk menghitung jenis, jumlah, dosis, frekuensi dan lama
pemberian obat dapat menggunakan pedoman pengobatan yang
ada.
Menghitung jumlah kebutuhan obat yang akan datang dengan
mempertimbangkan faktor antara lain:
Pola penyakit
Lead time
Buffer stock
11
Menghitung kebutuhan obat tahun anggaran yang akan
datang.
12
Menyusun prioritas kebutuhan dan penyesuaian kebutuhan dengan
anggaran yang tersedia.
Menyusun prioritas kebutuhan dan penyesuaian kebutuhan
berdasarkan data 10 penyakit terbesar.
iv. Pengalokasian kebutuhan obat per sumber anggaran, dengan
melakukan kegiatan:
Menetapkan kebutuhan anggaran untuk masing-masing obat
persumber anggaran.
Menghitung persentase belanja untuk masing-masing obat terhadap
sumber anggaran.
Menghitung persentase anggaran masing-masing obat terhadap
total anggaran dari semua sumber.
13
Kelompok C: kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana
pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah
dana obat keseluruhan.
Langkah-langkah menentukan Kelompok A, B dan C:
b. Analisa VEN
Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana obat
yang terbatas dengan mengelompokkan obat berdasarkan manfaat tiap
jenis obat terhadap kesehatan. Semua jenis obat yang tercantum dalam
daftar obat dikelompokkan kedalam tiga kelompok berikut:
14
i. Penyesuaian rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana yang
tersedia. Obat yang perlu ditambah atau dikurangi dapat didasarkan
atas pengelompokan obat menurut VEN.
ii. Penyusunan rencana kebutuhan obat yang masuk kelompok V agar
diusahakan tidak terjadi kekosongan obat.
15
g. Sumber-sumber lain
2.8.2 Pengadaan
a. Pelelangan Umum
b. Pelelangan Sederhana
c. Pelelangan Terbatas
d. Pemilihan Langsung
e. Seleksi Umum
f. Seleksi Sederhana
g. Sayembara
h. Kontes
i. Penunjukan langsung untuk
j. Swakelola
k. Pengadaan Langsung
16
e. Pemantauan status pesanan
17
b. Pedagang Besar Farmasi (PBF) harus ada dukungan dari Industri
Farmasi yang memiliki Sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang
Baik) bagi tiap bentuk sediaan obat yang dibutuhkan untuk
pengadaan.
c. Industri Farmasi harus memiliki Sertifikat CPOB bagi tiap bentuk
sediaan obat yang dibutuhkan untuk pengadaan.
d. Pedagang Besar Farmasi atau Industri Farmasi harus memiliki reputas
yang baik dalam bidang pengadaan obat.
e. Pemilik dan atau Apoteker penanggung jawab Pedagang Besar
Farmasi, Apoteker penanggung jawab produksi dan quality control
f. Industri Farmasi tidak sedang dalam proses pengadilan atau tindakan
yang berkaitan dengan profesi kefarmasian.
g. Mampu menjamin kesinambungan ketersediaan obat sesuai dengan
masa kontrak.
18
d. Pemantauan dan evaluasi pesanan harus dilakukan dengan
memperhatikan:
i. Nama obat
ii. Satuan kemasan
iii. Jumlah obat diadakan
iv. Obat yang sudah diterima
v. Obat yang belum diterima
2.8.3 Penyimpanan
19
Generator
vi. Sarana Administrasi Umum:
Brankas : 1 Unit
Mesin Tik : 1 – 2 unit
Lemari arsip : 1 – 2 unit
vii. Sarana Administrasi Obat dan Perbekalan Kesehatan:
Kartu Stok
Kartu Persediaan Obat
Kartu Induk Persediaan Obat
Buku Harian Pengeluaran Barang
SBBK (Surat Bukti Barang Keluar)
LPLPO (Laporan Pemakaian dan Laporan Permintaan Obat)
Kartu Rencana Distribusi
Lembar bantu penentuan proporsi stok optimum
a. Kemudahan bergerak
Untuk kemudahan bergerak, maka gudang perlu ditata sebagai
berikut:
Gudang jangan menggunakan sekat-sekat karena akan
membatasi pengaturan ruangan. Jika digunakan sekat,
perhatikan posisi dinding dan pintu untuk mempermudah
gerakan.
Berdasarkan arah arus penerimaan dan pengeluaran obat, ruang
gudang dapat ditata berdasarkan sistem :
a) Arus garis lurus
b) Arus U
c) Arus L
Sirkulasi udara yang baik
Salah satu faktor penting dalam merancang gudang adalah
adanya sirkulasi udara yang cukup di dalam ruangan gudang.
20
Sirkulasi yang baik akan memaksimalkan stabilitas obat
sekaligus bermanfaat dalam memperbaiki kondisi kerja petugas.
Idealnya dalam gudang terdapat AC, namun biayanya akan
menjadi mahal untuk ruang gudang yang luas. Alternatif lain
adalah menggunakan kipas angin/ventilator/rotator. Perlu
adanya pengukur suhu di ruangan penyimpanan obat dan
dilakukan pencatatan suhu.
21
Obat disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis. Untuk memudahkan
pengendalian stok maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Gunakan prinsip First Expired date First Out (FEFO) dan First In
First Out (FIFO) dalam penyusunan obat yaitu obat yang masa
kadaluwarsanya lebih awal atau yang diterima lebih awal harus
digunakan lebih awal sebab umumnya obat yang datang lebih awal
biasanya juga diproduksi lebih awal dan umurnya relatif lebih tua dan
masa kadaluwarsanya mungkin lebih awal.
b. Susun obat dalam kemasan besar di atas pallet secara rapi dan teratur.
Untuk obat kemasan kecil dan jumlahnya sedikit disimpan dalam rak
dan pisahkan antara obat dalam dan obat untuk pemakaian luar dengan
memperhatikan keseragaman nomor batch.
c. Gunakan lemari khusus untuk menyimpan narkotika dan psikotropika.
Simpan obat yang stabilitasnya dapat dipengaruhi oleh temperatur,
udara, cahaya dan kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai.
d. Perhatikan untuk obat yang perlu penyimpanan khusus.
e. Cantumkan nama masing-masing obat pada rak dengan rapi.
f. Apabila persediaan obat cukup banyak, maka biarkan obat tetap dalam
box masing-masing.
4. Pengamatan mutu obat
Mutu obat yang disimpan di ruang penyimpanan dapat mengalami
perubahan baik karena faktor fisik maupun kimiawi yang dapat diamati
secara visual. Jika dari pengamatan visual diduga ada kerusakan yang tidak
dapat ditetapkan dengan cara organoleptik, harus dilakukan sampling untuk
pengujian laboratorium.
2.8.4 Distribusi
22
a. Terlaksananya pengiriman obat secara merata dan teratur sehingga
dapat diperoleh pada saat dibutuhkan.
b. Terjaminnya mutu obat dan perbekalan kesehatan pada saat
pendistribusian
c. Terjaminnya kecukupan dan terpeliharanya penggunaan obat di unit
pelayanan kesehatan.
d. Terlaksananya pemerataan kecukupan obat sesuai kebutuhan
pelayanan dan program kesehatan.
Kegiatan distribusi obat di Kabupaten/ Kota terdiri dari :
23
i. Anggaran yang tersedia
ii. Jarak dan kondisi geografis dari IFK ke UPK
iii. Fasilitas gudang UPK
iv. Sarana yang ada di IFK
c. Penyusunan peta lokasi, jalur dan jumlah pengiriman
Agar alokasi biaya pengiriman dapat dipergunakan secara efektif dan
efisien maka IFK perlu membuat peta lokasi dari unit-unit pelayanan
kesehatan di wilayah kerjanya. Hal ini sangat diperlukan terutama
untuk pelaksanaan distribusi aktif dari IFK. Jarak (km) antara IFK
dengan setiap unit pelayanan kesehatan dicantumkan pada peta lokasi.
Atas dasar ini dapat ditetapkan jadwal pengiriman untuk setiap rayon
distribusi misalnya ada rayon distribusi yang dapat dilayani sebulan
sekali, ada rayon distribusi yang dapat dilayani triwulan dan ada yang
hanya dapat dilayani tiap enam bulan disesuaikan dengan anggaran
yang tersedia.
24
Puskesmas, maka petugas yang bersangkutan harus membuat
permintaan dan laporan pemakaian obat yang diketahui oleh Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
c. Obat program yang diberikan langsung oleh petugas program kepada
penderita di lokasi sasaran, diperoleh/diminta dari Puskesmas yang
membawahi lokasi sasaran. Setelah selesai pelaksanaan pemberian
obat, bilamana ada sisa obat harus dikembalikan ke Puskesmas yang
bersangkutan. Khusus untuk Program Diare diusahakan ada sejumlah
persediaan obat di Posyandu yang penyediaannya diatur oleh
Puskesmas.
d. Untuk KLB dan bencana alam, distribusi dapat dilakukan melalui
permintaan maupun tanpa permintaan oleh Puskesmas. Apabila
diperlukan, Puskesmas yang wilayah kerjanya terkena KLB/Bencana
dapat meminta bantuan obat kepada Puskesmas terdekat.
Obat yang telah dikeluarkan harus segera dicatat dan dibukukan pada Buku
Harian Pengeluaran Obat sesuai data obat dan dilakukan dokumentasi.
25
Fungsinya sebagai dokumen yang memuat semua catatan pengeluaran, baik
mengenai data obat maupun dokumen yang menyertai pengeluaran obat
tersebut. Manfaatnya sebagai sumber data untuk perencanaan dan pelaporan.
Jika tingkat kecukupan obat semakin menurun maka petugas IFK dapat
mempergunakan catatan pada kartu Realisasi Pengadaan Obat untuk memberikan
umpan balik kepada pemegang kebijakan agar mempercepat pengadaan obat yang
alokasinya telah disetujui.
Jika semua pengadaan telah dilakukan, maka petugas IFK harus segera
menyesuaikan stok optimum obat bersangkutan untuk seluruh UPK. Tingkat
kecukupan dan sisa stok obat di IFK dalam mendukung rencana distribusi harus
selalu dilaporkan kepada kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
26
memiliki kewajiban untuk melaporkan kegiatan pengelolaan obat yang
dilaksanakan. Laporan yang perlu disusun IFK terdiri dari :
27
b. Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi 1
(satu) jenis obat yang berasal dari semua sumber anggaran
c. Tiap baris data hanya diperuntukan mencatat 1 (satu) kejadian mutasi
obat
d. Data pada kartu stok induk digunakan sebagai :
i. Alat kendali bagi Kepala Unit Pengelola Obat Publik dan
Perbekalan Kesehatan terhadap keadaan fisik obat dalam tempat
penyimpanan.
ii. Alat bantu untuk penyusunan laporan, perencanaan pengadaan
dan distribusi serta pengendalian persediaan.
Supervisi berasal dari kata super (lebih tinggi) dan vision (melihat) sehingga
secara umum dapat diartikan sebagai mengawasi dari atas atau oleh atasan.
Supervisi dalam pengertian manajemen memiliki pengertian yang lebih luas,
karena istilah yang digunakan adalah mengawasi dan bukan melihat, ini bukan
dilakukan secara kebetulan. Mengawasi dalam arti bahasa Indonesia adalah
mengamati dan menjaga jadi bukan hanya mengamati saja, akan tetapi memiliki
pengertian menjaga.
28
Supervisi yang dilakukan oleh petugas IFK adalah proses pengamatan
secara terencana dari unit yang lebih tinggi (Instalasi Farmasi
Propinsi/Kabupaten/Kota) terhadap pelaksanaan pengelolaan obat oleh petugas
pada unit yang lebih rendah (Puskesmas/Puskesmas Pembantu/UPT lainnya).
Pengamatan diarahkan untuk menjaga agar pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan sesuai dengan pedoman yang disepakati bersama. Tujuan supervisi
ditujukan untuk menjaga agar pekerjaan pengelolaan obat yang dilakukan sesuai
dengan pedoman yang berlaku. Ruang Lingkup Supervisi :
29
Analisa dan evaluasi terhadap hasil-hasil monitoring ini perlu dilakukan
untuk memastikan bahwa mutu hasil kerja dari petugas mencapai apa yang
diinginkan. Analisa dilakukan dengan membandingkan antara:
Ada empat jenis evaluasi yang dibedakan atas interaksi dinamis diantara
lingkungan program dan waktu evaluasi yaitu :
30
anggaran sesuai dengan perkiraan, maka program dilaksanakan sesuai
dengan yang diharapkan.
31
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar:
a. Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. Pelayanan farmasi klinik.
32
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas dilaksanakan pada
unit pelayanan berupa ruang farmasi. Ruang farmasi dipimpin oleh seorang
Apoteker sebagai penanggung jawab. Puskesmas yang belum memiliki Apoteker
sebagai penanggung jawab, penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian secara
terbatas dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian atau tenaga kesehatan lain.
Pelayanan Kefarmasian secara terbatas tersebut meliputi:
a. Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. Pelayanan resep berupa peracikan Obat, penyerahan Obat, dan
pemberian informasi Obat.
Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan salah satu
kegiatan pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari perencanaan, permintaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan
pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Tujuannya adalah untuk menjamin
kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan Obat dan Bahan Medis Habis
Pakai yang efisien, efektif dan rasional, meningkatkan kompetensi
/kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem informasi manajemen,
dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan.
33
b. Meningkatkan penggunaan Obat secara rasional; dan
c. Meningkatkan efisiensi penggunaan Obat.
34
Tujuannya adalah agar Obat yang diterima sesuai dengan kebutuhan
berdasarkan permintaan yang diajukan oleh Puskesmas. Semua petugas
yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan bertanggung jawab atas
ketertiban penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan penggunaan Obat
dan Bahan Medis Habis Pakai berikut kelengkapan catatan yang
menyertainya.
Petugas penerimaan wajib melakukan pengecekan terhadap Obat dan
Bahan Medis Habis Pakai yang diserahkan, mencakup jumlah
kemasan/peti, jenis dan jumlah Obat, bentuk Obat sesuai dengan isi
dokumen (LPLPO), ditandatangani oleh petugas penerima, dan diketahui
oleh Kepala Puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat, maka petugas
penerima dapat mengajukan keberatan.
Masa kedaluwarsa minimal dari Obat yang diterima disesuaikan dengan
periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu bulan.
35
jumlah dan waktu yang tepat. Sub-sub unit di Puskesmas dan jaringannya
antara lain:
a. Sub unit pelayanan kesehatan di dalam lingkungan Puskesmas;
b. Puskesmas Pembantu;
c. Puskesmas Keliling;
d. Posyandu; dan
e. Polindes.
36
c. Sumber data untuk pembuatan laporan.
37
d. Ruangan/unit asal resep.
Kegiatan:
a. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro
aktif dan pasif.
38
b. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui
telepon, surat atau tatap muka.
c. Membuat buletin, leaflet, label Obat, poster, majalah dinding dan lain-
lain.
d. Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap,
serta masyarakat.
e. Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan
tenaga kesehatan lainnya terkait dengan Obat dan Bahan Medis Habis
Pakai.
f. Mengoordinasikan penelitian terkait Obat dan kegiatan Pelayanan
Kefarmasian.
3. Konseling
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah
pasien yang berkaitan dengan penggunaan Obat pasien rawat jalan dan
rawat inap, serta keluarga pasien.
Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang
benar mengenai Obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan
pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan Obat, efek
samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan Obat.
Kegiatan:
a. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
b. Menanyakan hal-hal yang menyangkut Obat yang dikatakan oleh
dokter kepada pasien dengan metode pertanyaan terbuka (open-ended
question), misalnya apa yang dikatakan dokter mengenai Obat,
bagaimana cara pemakaian, apa efek yang diharapkan dari Obat
tersebut, dan lain-lain.
c. Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan Obat.
d. Verifikasi akhir, yaitu mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi
dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara
penggunaan Obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
39
Faktor yang perlu diperhatikan:
a. Kriteria pasien:
i. Pasien rujukan dokter.
ii. Pasien dengan penyakit kronis.
iii. Pasien dengan Obat yang berindeks terapetik sempit dan poli
farmasi.
iv. Pasien geriatrik.
v. Pasien pediatrik.
vi. Pasien pulang sesuai dengan kriteria di atas.
1. Ronde/Visite Pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari
dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain.
Tujuan:
a. Memeriksa Obat pasien.
b. Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan Obat dengan
mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien.
c. Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan
Obat.
d. Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan
dalam terapi pasien.
Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan, pelaksanaan, pembuatan
dokumentasi dan rekomendasi. Kegiatan visite mandiri:
a. Untuk Pasien Baru
40
i. Apoteker memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari
kunjungan.
ii. Memberikan informasi mengenai sistem pelayanan farmasi dan
jadwal pemberian Obat.
iii. Menanyakan Obat yang sedang digunakan atau dibawa dari rumah,
mencatat jenisnya dan melihat instruksi dokter pada catatan
pengobatan pasien.
iv. Mengkaji terapi Obat lama dan baru untuk memperkirakan masalah
terkait Obat yang mungkin terjadi.
41
1. Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat (ESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau
memodifikasi fungsi fisiologis.
Tujuan:
a. Menemukan efek samping Obat sedini mungkin terutama yang berat,
tidak dikenal dan frekuensinya jarang.
b. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping Obat yang sudah
sangat dikenal atau yang baru saja ditemukan.
Kegiatan:
a. Menganalisis laporan efek samping Obat.
b. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami efek samping Obat.
c. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
d. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
Faktor yang perlu diperhatikan:
a. Kerja sama dengan tim kesehatan lain.
b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
1. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan
terapi Obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan
meminimalkan efek samping.
Tujuan:
a. Mendeteksi masalah yang terkait dengan Obat.
b. Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait dengan
Obat.
Kriteria pasien:
a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
b. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
c. Adanya multidiagnosis.
d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
e. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
f. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang
merugikan.
Kegiatan:
a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
42
b. Membuat catatan awal.
c. Memperkenalkan diri pada pasien.
d. Memberikan penjelasan pada pasien.
e. Mengambil data yang dibutuhkan.
f. Melakukan evaluasi.
g. Memberikan rekomendasi.
1. Evaluasi Penggunaan Obat
Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan Obat secara
terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin Obat yang digunakan
sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional).
Tujuan:
a. Mendapatkan gambaran pola penggunaan Obat pada kasus tertentu.
b. Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan Obat tertentu.
a. Kompetensi Apoteker
i. Sebagai Penanggung Jawab
- Mempunyai kemampuan untuk memimpin;
- Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mengelola dan
mengembangkan pelayanan kefarmasian;
- Mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri;
43
- Mempunyai kemampuan untuk bekerja sama dengan pihak lain;
dan
- Mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi, mencegah,
menganalisis dan memecahkan masalah.
Tujuan Umum:
i. Tersedianya tenaga kefarmasian di Puskesmas yang mampu
melaksanakan rencana strategi Puskesmas.
ii. Terfasilitasinya program pendidikan dan pelatihan bagi calon tenaga
kefarmasian dan tenaga kefarmasian unit lain.
iii. Terfasilitasinya program penelitian dan pengembangan bagi calon
tenaga kefarmasian dan tenaga kefarmasian unit lain.
Tujuan Khusus:
i. Tersedianya tenaga kefarmasian yang mampu melakukan pengelolaan
Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
ii. Tersedianya tenaga kefarmasian yang mampu melakukan Pelayanan
Kefarmasian.
iii. Terfasilitasinya studi banding, praktik dan magang bagi calon tenaga
kefarmasian internal maupun eksternal.
44
iv. Tersedianya data Pelayanan Informasi Obat (PIO) dan konseling
tentang Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
v. Tersedianya data penggunaan antibiotika dan injeksi.
vi. Terwujudnya Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas yang optimal.
vii. Tersedianya Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
viii. Terkembangnya kualitas dan jenis pelayanan ruang farmasi
Puskesmas.
45
Ruang penerimaan resep meliputi tempat penerimaan resep, 1 (satu) set
meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer, jika memungkinkan. Ruang
penerimaan resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah
terlihat oleh pasien.
b. Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas)
Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara
terbatas meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di
ruang peracikan disediakan peralatan peracikan, timbangan Obat, air
minum (air mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan pengemas
Obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan resep,
etiket dan label Obat, buku catatan pelayanan resep, buku-buku
referensi/standar sesuai kebutuhan, serta alat tulis secukupnya. Ruang
ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup.
Jika memungkinkan disediakan pendingin ruangan (air conditioner)
sesuai kebutuhan.
c. Ruang penyerahan Obat
Ruang Penyerahan obat meliputi konter penyerahan Obat, buku
pencatatan penyerahan dan pengeluaran Obat. Ruang penyerahan Obat
dapat digabungkan dengan ruang penerimaan resep.
d. Ruang konseling
Ruang konseling meliputi satu set meja dan kursi konseling, lemari
buku, buku-buku referensi sesuai kebutuhan, leaflet, poster, alat bantu
konseling, buku catatan konseling, formulir jadwal konsumsi Obat
(lampiran), formulir catatan pengobatan pasien (lampiran), dan lemari
arsip (filling cabinet), serta 1 (satu) set komputer, jika memungkinkan.
e. Ruang penyimpanan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,
kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan
keamanan petugas. Selain itu juga memungkinkan masuknya cahaya
yang cukup. Ruang penyimpanan yang baik perlu dilengkapi dengan
rak/lemari Obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin,
lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari
penyimpanan Obat khusus, pengukur suhu, dan kartu suhu.
f. Ruang arsip
46
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan
dengan pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dan Pelayanan
Kefarmasian dalam jangka waktu tertentu. Ruang arsip memerlukan
ruangan khusus yang memadai dan aman untuk memelihara dan
menyimpan dokumen dalam rangka untuk menjamin penyimpanan
sesuai hukum, aturan, persyaratan, dan teknik manajemen yang baik.
Istilah ‘ruang’ di sini tidak harus diartikan sebagai wujud ‘ruangan’
secara fisik, namun lebih kepada fungsi yang dilakukan. Bila
memungkinkan, setiap fungsi tersebut disediakan ruangan secara
tersendiri. Jika tidak, maka dapat digabungkan lebih dari 1 (satu)
fungsi, namun harus terdapat pemisahan yang jelas antar fungsi.
47
ii. meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
Monitoring merupakan kegiatan pemantauan selama proses berlangsung
untuk memastikan bahwa aktivitas berlangsung sesuai dengan yang
direncanakan. Monitoring dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang
melakukan proses. Aktivitas monitoring perlu direncanakan untuk
mengoptimalkan hasil pemantauan. Contoh: monitoring pelayanan resep,
monitoring penggunaan Obat, monitoring kinerja tenaga kefarmasian.
Untuk menilai hasil atau capaian pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian,
dilakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan terhadap data yang dikumpulkan yang
diperoleh melalui metode berdasarkan waktu, cara, dan teknik pengambilan
data.
Berdasarkan waktu pengambilan data, terdiri atas:
a. Retrospektif:
Pengambilan data dilakukan setelah pelayanan dilaksanakan.
Contoh: survei kepuasan pelanggan, laporan mutasi barang.
b. Prospektif:
Pengambilan data dijalankan bersamaan dengan pelaksanaan pelayanan.
Contoh: Waktu pelayanan kefarmasian disesuaikan dengan waktu
pelayanan kesehatan di Puskesmas, sesuai dengan kebutuhan.
48
Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas pelayanan
dengan pengukuran kinerja bagi yang memberikan pelayanan dengan
menentukan kinerja yang berkaitan dengan standar yang dikehendaki dan
dengan menyempurnakan kinerja tersebut. Oleh karena itu, audit
merupakan alat untuk menilai, mengevaluasi, menyempurnakan
pelayanan kefarmasian secara sistematis.
Terdapat 2 macam audit, yaitu:
i. Audit Klinis
Audit Klinis yaitu analisis kritis sistematis terhadap pelayanan
kefarmasian, meliputi prosedur yang digunakan untuk pelayanan,
penggunaan sumber daya, hasil yang didapat dan kualitas hidup
pasien. Audit klinis dikaitkan dengan pengobatan berbasis bukti.
ii. Audit Professional
Audit Profesional yaitu analisis kritis pelayanan kefarmasian oleh
seluruh tenaga kefarmasian terkait dengan pencapaian sasaran yang
disepakati, penggunaan sumber daya dan hasil yang diperoleh.
Contoh: audit pelaksanaan sistem manajemen mutu.
a. Review (pengkajian)
Review (pengkajian) yaitu tinjauan atau kajian terhadap pelaksanaan
pelayanan kefarmasian tanpa dibandingkan dengan standar. Contoh: kajian
penggunaan antibiotik.
49
BAB III
TINJAUAN KHUSUS SEKSI FARBEKES DINAS KESEHATAN KOTA
BANDUNG DAN PUSKESMAS IBRAHIM ADJIE
Sesuai dengan peraturan walikota Bandung No. 1307 tahun 2014 tentang
rincian tugas pokok dan fungsi satuan organisasi pada dinas daerah kota Bandung,
Tugas pokok kepala seksi farmasi dan perbekalan kesehatan melaksanakan
sebagian tugas di bidang sumber daya kesehatan mengenai lingkup farmasi dan
perbekalan kesehatan..
50
Dalam melaksanakan tugas pokoknya, seksi farmasi dan perbekalan
kesehatan mempunyai fungsi:
1. Pelaksanaan penyusunan rencana dan program kerja lingkup farmasi dan
perbekalan kesehatan.
2. Pelaksanaan penyusunan bahan petunjuk teknis lingkup farmasi dan
perbekalan kesehatan.
3. Pelaksanaan lingkup farmasi dan perbekalan kesehatan.
4. Pelaksanaan pengkoordinasian, monitoring, pengawasan dan pengendalian,
evaluasi dan pelaporan lingkup farmasi dan perbekalan kesehatan.
Adapun uraian tugas kepala seksi farmasi dan perbekalan kesehatan adalah
sebagai berikut :
51
11. Membuat telaahan staf bahan pertimbangan perumusan kebijakan lingkup
farmasi dan perbekalan kesehatan.
12. Melaksanakan koordinasi dan konsultasi dengan instansi terkait lingkup
farmasi dan perbekalan kesehatan.
13. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian lingkup farmasi dan
perbekalan farmasi.
14. Melaksanakan monitoring, evaluasi dan pelaporan lingkup farmasi dan
perbekalan kesehatan.
15. Melaksanakan tugas lain dari pimpinan sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya
2. Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh Apoteker.
52
a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
b. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam)
hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis
kepada Kepala Balai Pengawas Obat dan Makanan (Balai POM) untuk
melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan apotek untuk melakukan
kegiatan.
c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM
selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan
teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil
pemeriksaan setempat.
d. Dalam hal pemeriksaaan tidak dilaksanakan, Apoteker Pemohon dapat
membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada
Kepala Dinas Propinsi.
e. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan
pemeriksaan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat
mengeluarkan SIA.
f. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
atau Kepala Balai POM masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari
kerja mengeluarkan Surat Penundaan.
g. Dalam Surat Penundaan, Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi
persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka
waktu satu bulan sejak tanggal Surat Penundaan.
h. Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi
persyaratan Apoteker Pengelola Apotek dan atau persyaratan apotek,
atau lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-
lambatnya dua belas hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan
disertai dengan alasan-alasannya.
Hal hal yang diperiksa ketika dilakukan pemeriksaan di sarana pelayanan
kesehatan:
53
a. Bangunan : alamat apotek, denah ruangan, ruang tunggu, ruang
peracikan obat, ruang administrasi, tempat pencucian alat,
kebersihan,sumber air, penerangan, pemadam kebakaran, ventilasi,
sanitasi, dan papan nama.
b. Administrasi : SP, kartu stok, blangko salinan resep, blanko faktur, buku
pembelian, buku penerimaan, buku penjualan, buku pengiriman, buku
pesanan narkotika/psikotropika, faktur narkotika/psikotropika,
pencatatan harian narkotika/psikotropika, pengarsipan resep
narkotika/psikotropika, pelaporan narkotika/psikotropika, pencatatan
jumlah resep generik per bulan, pencatatan jumlah keseluruhan resep
per bulan.
c. Perlengkapan : lemari dan rak penyimpanan, lemari pendingin, lemari
penyimpanan narkotika dan psikotropika, etiket, wadah pengemas dan
pembungkus untuk penyerahan obat, alat pembuatan dan pengolahan
serta peracikan, buku standar yang diwajibkan, kumpulan peraturan
perundang-undnagan yang berhubungan dengan apotek.
d. SDM : kehadiran apoteker penanggung jawab. Apoteker pendamping,
dan asisten apoteker serta jaminan kesehatan disertai MOU.
3. Klinik
Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar
dan/atau spesialistik. Berdasarkan jenis pelayanan, klinik dibagi menjadi
dua yaitu :
a. Klinik pratama adalah klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik
dasar baik umum maupun khusus.
b. Klinik utama adalah klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik
spesialistik atau pelayanan medik dasar dan spesialistik.
54
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Berdasarkan
pelayanan, sumber daya manusia, peralatan dan bangunan serta prasarana
rumah sakit dibedakan menjadi beberapa kelas :
a. Rumah sakit tipe B yaitu rumah sakit yang terdiri dari 4 spesialis dasar, 4
spesialis penunjang medis, 8 spesialis lain dan 2 subspesialis dasar.
b. Rumah sakit tipe C yaitu rumah sakit yang terdiri dari 4 spesialis dasar
dan 4 spesialis penunjang medis.
c. Rumah sakit tipe D yaitu rumah sakit yang terdiri dari 2 spesialis dasar.
Izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit kelas B diberikan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat
yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit kelas C dan kelas D
diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat
rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
5. P-IRT
P-IRT (Pangan Industri Rumah Tangga) adalah izin jaminan usaha makanan
atau minuman rumahan yang dijual memenuhi standar keamanan makanan
atau izin edar produk pangan olahan yang diproduksi oleh UKM untuk
dipasarkan secara lokal. Perizinan PIRT diberikan kepada perusahaan
pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan perlatan
pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Izin P-IRT tersebut hanya
diberikan kepada produk pangan olahan dengan tingkat resiko yang rendah.
55
Sedangkan pada kasus hanya mengambil hasil produk olahan orang lain
kemudian dikemas kemudian diperjualbelikan, diperbolehkan dengan
catatan, produk yang di pasarkan itu sudah memiliki izin SPP-IRT produsen
yang jelas dari dinas, S-PIRT dikeluarkan oleh dinas dimana produksi itu
dijalankan.
56
vii. Farbekes memberi no PIRT ke gunasarkes mengirim, mengetik, dan
memeriksa data, memparaf PIRT.
viii. Bidang SDK dan sub bagian umum memeriksa dan memaraf
sertifikat.
ix. Kepala dinas menandatangan sertifikat.
x. Sub bagian umum mengarsip sertifikat dan menyerahkan sertifikat ke
PIRT.
Jenis jenis pangan yang diizinkan mendapat sertifikat P-IRT adalah : hasil
olahan daging kering (abon, dendeng, kerupuk kulit, paru goreng kering),
hasil olahan ikan kering (abon ikan, cumi kering, kerupuk, petis, pempek
pempek, preto ikan), hasil olahan unggas kering (usus goreng, ceker goreng,
telur asin), sayur asin dan sayur kering (acar, asinan/manisan sayur, keripik),
hasil olahan kelapa (kelapa parut kering, nata de coco, geplak), tepung dan
hasil olahannya, minyak dan lemak, selai, jeli dan sejenisnya, gula,
kembang gula, dan madu, kopi, teh, coklat kering atau campurannya,
bumbu, rempah-rempah, minuman rigan dan minuman serbuk, hasil olahan
buah, hasil olahan biji bijian dan umbi, lain lain es (es mambo, es lilin, es
puter).
Jenis produk pangan yang tidak boleh izin sertifikat PIRT atau harus berizin
ke POM MD adalah produk susu, produk daging (kornet), ikan (sarden),
bahan tambahan pangan/BTP (pengawet, pewarna, pemanis, flavour,
pengempal, dll) dan produk pangan yang memerlukan penyimpanan khusus
pada suhu rendah seperti nugget, es krim, dll.
57
UMOT adalah usaha yng hanya membuat sediaan obat tradisional dalam
bentuk param, tapel, pilis, cairan obat luar dan rajangan. Permohonan izin
UMOT diajukan pemohon kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
3.4.1 Perencanaan
58
agar tidak terjadi kekosongan obat dan kelebihan obat. Perencanaan obat di
Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung mengunakan metode konsumsi.
Metode konsumsi adalah metode yang didasarkan atas analisa data
konsumsi obat tahun sebelumnya. Untuk menghitung jumlah obat yang
dibutuhkan berdasarkan metode ini, perlu diperhatikan hal-hal yaitu pengumpulan
data dan pengolahan data, analisa data untuk informasi dan evaluasi, perhitungan
perkiraan kebutuhan obat, dan penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi
dana.
Dalam proses perencanaan Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung
menggunakan metode konsumsi dengan memperhitungkan rata-rata pemakaian
pada periode tertentu, buffer stock dan lead time dikurangi sisa stock akhir. Buffer
stock dihitung 10 -20% persen dari total pemakaian obat dalam satu tahun,
sedangkan lead time merupakan waktu tunggu antara pemesanan obat sampai
diterima obat tersebut. Lead time dihitung dari pemakaian rata-rata dikalikan
dengan waktu tunggu berkisar antara 3-6 bulan, di Gudang Farmasi Dinas
Kesehatan Kota Bandung waktu tunggunya berkisar 3-6 bulan.
3.4.2 Pengadaan
59
Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi anggaran pengadaan obat
dilakukan metoda Analisa ABC-VEN dengan tujuan sebagai berikut:
3.4.4 Penyimpanan
60
Kesehatan Kota Bandung. Sedangkan untuk penyimpanan narkotik dan
psikotropik disimpan di tempat khusus.
Sarana penyimpanan di Gudang Farmasi Kota Bandung meliputi:
3.4.5 Distribusi
61
1. Gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung melaksanakan distribusi
obat dan perbekalan kesehatan ke puskesmas unit pelayanan teknis (UPT)
sesuai kebutuhan masing-masing unit pelayanan kesehatan.
2. Puskesmas unit pelaksana teknis (UPT) mendistribusikan kebutuhan obat
untuk puskesmas jejaring, puskesmas keliling dan unit-unit pelayanan
kesehatan lainnya yang ada di wilayah binaannya.
62
3.4.7 Supervisi dan Evaluasi
63
12. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 34 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah sakit.
13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 34 tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di PBF.
14. Undang-Undang Republik Indonesia No 18 tahun 2012 tentang pangan.
15. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Peubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor. 922/Menkes/Per/X/1993 Tentang Ketentuan dan Cara
Pemberian Izin Apotek.
16. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1331/Menkes/SK/X/2002. Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor.167/KAB/B.VIII/1972. Tentang Pedagang Eceran
Obat.
17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor.889/Menkes/Per/V/2011. Tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin
Kerja, Tentang Kefarmasian.
18. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 Tahun 2012,
tentang Industri Obat Tradisional dan Obat Tradisional
19. Peraturan Menteri Kesehahatan Republik Indonesia Nomor 007 tahun 2012,
tentang Registrasi Obat Tradisional.
20. Peratuaran Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan republik Indonesia
No HK. 03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian
sertifikat produksi pangan industry rumah tangga.
21. Undang-undang Republik Indonesia No. 419 tahun 1949 tentang Obat
Keras.
22. Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropik.
23. Undang-undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
24. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998,
tentang Pengamanan Sediaan Farmasi.
25. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 168 Tahun 2005,
tentang Prekursor Farmasi.
64
3.6 Puskesmas Ibrahim Adjie
3.6.1 Profil Puskesmas Ibrahim Adjie
UPT Puskesmas Ibrahim Adjie berlokasi di Jl. Ibrahim Adjie No. 88,
Kecamatan Batununggal wilayah Karees., Telepon (022) 7208355. Wilayah kerja
UPT Puskesmas Ibrahim Adjie terdiri dari 4 kelurahan dengan batas wilayah :
65
4. Kelompok jabatan fungsional: Dokter, Bidan, Perawat, Fungsional Umum,
Farmasi, Kesling, Gizi, Laboratorium.
5. Penatalaksanaan di bagi dalam: Promkes, Kesling, KIA/KB, Gizi, P2M,
Pengobatan, Bersalin, Gigi, Perkesmas, UKS, Lansia, Somea, Farmasi,
Jiwa/Mata, Laboratorium, TB/HIV-HR.
UPT Puskesmas Ibrahim Adjie mempunyai jejaring yaitu Puskesmas Ahmad Yani
dan Puskesmas Gumuruh sebagai Puskesmas Jejaring yang fungsinya sebagai
berikut :
66
3.6.5 Fasilitas di Puskesmas Ibrahim Adjie
Secara umum, fasilitas yang dimiliki UPT Puskesmas Ibrahim Adjie adalah
sebagai berikut:
67
a. Analisa pemakaian obat tahun lalu berdasarkan data penerimaan dan
pengeluaran bulanan, LPLPO, jumlah kunjungan pasien, data penyakit
terbanyak dan stok akhir tahun.
b. Menghitung rata-rata pemakaian setiap jenis obat.
c. Menyususn perkiraan kebutuhan obat disetiap awal pelayanan kesehatan
menggunakan metode konsumsi (12 x pemakaian rata-rata perbulan) +
stok tunggu + stok pengaman.
d. Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana.
e. Formulir perencanaan yang telah disusun kemudian disahkan oleh kepala
puskesmas dilanjutkan dengan pengajuan ke Dinas Kesehatan Kota
melalu seksi farmasi dan perbekalan kesehatan.
2. Penerimaan dan Penyimpanan Obat dan Alat kesehatan
Setiap pertengahan bulan obat didatangkan dari Dinas Kesehatan Kota
Bandung ke puskesmas sesuai dengan permintaan LPLPO. Setelah
perbekalan farmasi diterima dari dinas kesehatan kota, perbekalan farmasi
diperiksa oleh petugas puskesmas. Pemeriksaan yang dilakukan adalah
kesesuaian LPLPO dengan fisik barang yang diterima, jumlah dan jenis
barang, tanggal dan kadaluwarsa barang serta fisik kemasan.
68
Pencatatan dan pelaporan data obat merupakan rangkaian kegiatan dalam
rangka penatalaksanaan obat-obatan secara tertib, baik obat-obatan yang
diterima atau disimpan, maupun yang didistribusikan ke pasien.
Adapun kegiatan yang dicatat dan dilaporkan oleh UPT Puskesmas Ibrahim
Adjie diantaranya, Laporan pemakaian obat keluar setiap hari dan Laporan
tahunan rencana kebutuhan obat.
Jika dalam skrining resep dinyatakan telah memenuhi syarat, maka petugas
farmasi di puskesmas membuat etiket yang berisi tanggal, nama pasien, dosis
obat, cara penggunaan, dan bentuk sediaan, jika diperlukan ditulis indikasi obat
tersebut sesuai dengan permintaan pasien.
69
Saat penyerahan obat ke pasien diberikan pelayanan informasi obat berupa
penjelaskan khasiat obat serta aturan pakai dan juga berupa konseling khusus
untuk pasien yang menderita beberapa penyakit.
3.6.9 Konseling
70
melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami obat
yang digunakan.
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan ginjal,
ibu hamil dan menyusui)
2. Pasien dengan terapi jangka panjang atau penyakit kronis.
3. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus.
4. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit.
5. Pasien dengan polifarmasi.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Kegiatan :
71
3. Melaporkan ke pusat monitoring efek samping obat nasional.
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) adalah suatu proses jaminan mutu yang
terstruktur, dilaksanakan terus- menerus, ditujukan untuk memastikan bahwa obat-
obatan digunakan dengan tepat, aman, dan efektif.
1. Kriteria / standar penggunaan obat, dalam penggunaan obat harus yang dapat
diukur (standar) yang menguraikan penggunan obat yang tepat.
2. Mengidentifikasi masalah penting dan yang mungkin, memantau dan
menganalisis penggunaan obat secara terus menerus, direncanakan secara
sistematik untuk mengidentifikasi masalah nyata atau masalah yang
mungkin. Secara ideal, kegiatan ini sebaiknya diadakan secara prospektif
3. Menetapkan prioritas untuk menginvestigasi dan solusi masalah.
4. Mengkaji secara objektif, penyebab, dan lingkup masalah dengan
menggunakan kriteria yang absah secara klinik
5. Solusi masalah.
72
6. Menyanangkan dan menerapkan tindakan untuk memperbaiki atau
meniadakan masalah.
7. Memantau solusi masalah dan keefektifan.
8. Mendokumentasi serta melaporkan secara terjadwal temuan, rekomendasi,
tindakan yang diambil, dan hasilnya. Tindakan yang diambil dapat berupa
pengaturan atau edukasi yang cocok dengan keadaan dan kebijakan
Puskesmas.
73
BAB V
PEMBAHASAN
74
Pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota Bandung dilakukan oleh bagian
gudang farmasi seksi Farbekes meliputi perencanan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pencatatan, pelaporan, dan evaluasi.
75
untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang efektif, efisien serta
hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Untuk obat-obat yang dibutuhkan tetapi
tidak tercantum dalam daftar e-catalogue, maka dilakukan sistem tender atau
lelang.
Alur pengadaan di Dinas Kesehatan Kota Bandung, untuk barang yang ada di
e-catalog: RKO yang telah dibuat diserahkan ke PPK kemudian PPK
mengelompokan obat berdasarkan pemenang tender dan diserahkan ke pejabat
pengadaan untuk menanyakan kesanggupan menyediakan barang dengan
pemenang tender, bila menyanggupi kemudian diserahkan kembali ke PPK untuk
dibuat SP dengan pemenang tender/ PBF, kemudian barang datang.
Untuk barang yang tidak ada di e-catalog dilakukan sistem lelang atau tender,
untuk dana diatas 200 juta PPK harus membuat HPS (Harga Perkiraan Sendiri),
kemudian diserahkan ke panitia pengadaan dan panitia pengadaan melakukan
sistem lelang dengan menggunakan e-purchasing sampai diperoleh pemenang
tender. Panitia pengadaan mengkonfirmasi kesanggupan menyediakan barang
kepada pemenang. Bila menyanggupi Kemudian PPK membuat kontrak/SP
dengan pemenang tender. Sedangkan untuk tender dibawah 200 juta dilakukan
penunjukan langsung.
Penerimaan dan pemeriksaan bertujuan agar obat yang diterima sesuai dengan
jumlah dan jenis serta sesuai dengan dokumen yang menyertainya. Penerimaan
dan pemeriksaan perbekalan kesehatan dilakukan oleh panitia penerima hasil
pekerjaan (PPHP) yang dibentuk oleh Dinas Kesehatan dengan anggota yang
terdiri dari Apoteker dan Tenaga Teknik Kefarmasian (TTK) dan umum.
Alur penerimaan obat yang dilakukan ialah obat yang dipesan dari pemenang
tender sesuai dengan e-catalog diberitahukan ke PPK, kemudian PPK
memberitahukan PPHP. Disini PPHP mengecek dan melihat dokumen yang
diterima kemudian dilakukan pemeriksaan secara organoleptik, dan khusus untuk
pemeriksaan label dan kemasan perlu dilakukan pencatatan terhadap tanggal
kadaluwarsa, nomor registrasi, dan nomor batch terhadap obat yang diterima.
Kemudian setelah obat diterima 100%, PPHP menyerahkan ke PPK. PPK
76
menyerahkan ke KPA (Kuasa Pengguna Anggaran), KPA menyerahkan ke petugas
pengelola obat untuk disimpan di gudang farmasi.
77
dianalisa berupa pemakaian, stok optimum dan sisa stok untuk menentukan
jumlah pemberian obat dengan mempertimbangkan sisa stok gudang farmasi,
setelah itu dilakukan packing dan didistribusikan ke UPT dengan membawa
LPLPO, berita acara serah terima, kemudian dibuat rekapan pemberian ke
puskesmas dan dimasukan ke kartu stok harian, sedangkan untuk perbulan ditulis
di kartu persediaan. Kegiatan distribusi khusus mencakup distribusi obat untuk
program kesehatan, kejadian luar biasa (KLB), dan bencana (alam dan sosial).
Supervisi dan evaluasi perlu dilakukan baik didalam gudang farmasi Dinas
Kesehatan Kota Bandung, maupun ke unit pelayanan kesehatan. Supervisi dan
evaluasi contohnya pengunaan obat yang rasional, indeks pemakaian obat dan
pelayanan kefarmasian. Supervisi perlu dilakukan untuk menjaga agar pekerjaan
pengelolaan obat yang dilakukan sesuai dengan pedoman yang berlaku. Supervisi
dan evaluasi juga merupakan cara untuk mengetahui dan memperbaiki
kekurangan yang ada.
78
kota bandung. Setelah terkumpul pemusnahaan dilakukan oleh pihak ketiga
dengan cara penunjukan langsung.
Adapun proses pengelolaan obat yang ada di UPT Puskesmas Ibrahim Adjie
meliputi : a) Perencanaan dan Permintaan Obat, b) Penerimaan, Penyimpanan dan
Distribusi Obat, c) Pencatatan dan Pelaporan Obat yang dilakukan oleh Apoteker.
79
Puskesmas adalah obat esensial yang jenis dan itemnya telah ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan dengan merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional. Selain
itu, sesuai dengan kesepakatan global maupun Keputusan Menteri Kesehatan No.
085 tahun 1989 tentang Kewajiban Menuliskan Resep dan atau Menggunakan
Obat Generik di Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah dan Permenkes RI
No.HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajban Menggunakan Obat
Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, maka hanya obat generik
saja yang diperkenankan tersedia di Puskesmas.
80
Petugas penerima obat wajib melakukan pengecekan terhadap obat yang
diserahterimakan, meliputi kemasan, jenis dan jumlah obat, bentuk sediaan obat
sesuai dengan isi dokumen (LPLPO), dan ditanda tangani oleh petugas penerima
serta diketahui oleh Kepala Puskesmas.
81
penanggung jawab sub unit pelayanan puskesmas dan kepala puskesmas sebagai
penanggung jawab pemberi obat dan lembar pertama disimpan sebagai tanda
bukti penerimaan obat.
82
menyerahkan obat yang diminta untuk pasien sesuai peraturan perundangan yang
berlaku. Pelayanan resep meliputi skrining resep, penyiapan dan penyerahan obat.
83
serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan
resep).
2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.
4. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat.
5. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal lain yang terkait
dengan obat tersebut, antara lain manfaat obat, makanan dan minuman
yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat,
dll.
6. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang
baik dan sopan, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin
emosinya kurang stabil.
7. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya.
8. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh apoteker
(apabila diperlukan).
9. Menyimpan resep pada tempatnya dan mendokumentasikan yang
memudahkan untuk pelaporan.
84
Adapun Tahapan Konseling Obat, yaitu:
1. Melakukan konseling sesuai dengan kondisi penyakit pasien.
2. Membuka komunikasi antara tenaga kefarmasian dengan pasien/keluarga
pasien.
3. Menanyakan tiga pertanyaan kunci menyangkut obat yang diberikan oleh
pasien, yaitu :
a. Apa yang telah dijelaskan dokter mengenai obat Anda ?
b. Bagaimana cara pemakaian obat yang telah dijelaskan oleh dokter?
c. Apa yang diharapkan dalam pengobatan ini ?
4. Memperagakan dan menjelaskan mengenai pemakaian obat-obatan
tertentu (inhaler, supositoria, dan lain-lain).
5. Melakukan verifikasi akhir meliputi :
a. Mengecek pemahaman pasien.
b. Mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan
dengan cara penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
6. Melakukan pencatatan konseling yang dilakukan pada kartu pengobatan.
85
riwayat/menderita penyakit Hipertensi dan Diabetes Meilitus tipe 2. Peserta
Prolanis yang ada di UPT Puskesmas Ibrahim Adjie ini merupakan pasien rujuk
balik dan ingin melakukan pengecekan kesehatannya secara berkala. Prolanis di
UPT Puskesmas Ibrahim Adjie telah bekerja sama dengan Apotek 7 Menit, jadi
suplay obat peserta Prolanis dilakukan oleh Apotek 7 Menit, kemudian
penyerahannya kepada pasien dilakukan di Puskesmas Ibrahim Adjie. Hal ini
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan obat perbulan peserta Prolanis. Obat
diberikan disertai dengan pemberian informasi mengenai obat yang akan
digunakan pasien. Kegiatan Prolanis di UPT Puskesmas Ibrahim Adjie meliputi
pemeriksaan gula darah, pemeriksaan tensi darah, pengambilan obat, serta senam
sehat. Selain Program PROLANIS di Puskesmas Ibrahim Adjie terdapat juga
program penanggulangan HIV dan IMS yang dilakukan setiap hari rabu.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil praktek kerja profesi apoteker (PKPA) di dinas kesehatan kota
Bandung, dapat disimpulkan bahwa:
1. Peran, fungsi dan tanggung jawab apoteker dalam praktek pelayanan
kefarmasian di Dinas Kesehatan, meliputi: aspek pelayanan yaitu aspek
manajerial, teknik kefarmasian serta pembinaan dan pengawasan.
2. Apoteker harus memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap perilaku
(professionalisme) serta wawasan dan pengalaman nyata (reality) untuk
melakukan pekerjaan kefarmasian di Dinas Kesehatan.
3. Setelah melakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Dinas Kesehatan Kota
Bandung dan Puskesmas Ibrahim Adjie, calon apoteker mendapatkan
pengalaman dalam pelayanan farmasi (pelayanan produk, farmasi
klinik/komunitas, pendidikan dan penelitian) di puskesmas sesuai dengan
etika dan peraturan yang berlaku di dalam sistem pelayanan kesehatan.
86
6.2 Saran
87
Sehubungan banyaknya jumlah pasien di Puskesmas Ibrahim Adjie maka
diperlukan SDM tenaga teknis kefarmasian yang lebih banyak di Puskesmas
Ibrahim Adjie dalam menunjang peningkatan pelayanan kesehatan
masyarakat.
88