Anda di halaman 1dari 88

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Undang-undang Nomor 36 tahun 2009, upaya kesehatan adalah


setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu,
terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau
masyarakat.
Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang
menyelenggarakan upaya kesehatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan
pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh,
terpadu, dan berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya kesehatan ini menjadi
pedoman dan pegangan bagi semua fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia
termasuk puskesmas.
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan
untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah Obat dan masalah
yang berhubungan dengan kesehatan. Tuntutan pasien dan masyarakat akan
peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari
paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi
paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi
Pelayanan Kefarmasian (pharmaceutical care).
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang berperan penting dalam
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Peran apoteker di
dalam melaksanakan fungsi baik di dinas kesehatan maupun di puskesmas sudah
sangat dibutuhkan, baik dalam pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang
kesehatan terutama dalam manajemen atau pengelolaan perbekalan kesehatan,
mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi dan pengendalian sampai pada
penyerahannya kepada pasien atau konsumen disertai dengan informasi obat.

1
Peran tersebut dinyatakan dalam PP 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian
yaitu pengadaan sediaan farmasi, produksi sediaan farmasi, distribusi atau
penyaluran sediaan farmasi. Salah satu tempat dilaksanakannya pekerjaan
kefarmasian adalah puskesmas.
Agar seorang apoteker dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
dalam pembangunan terlaksana sesuai dengan fungsinya, maka seorang calon
apoteker akan sangat memerlukan pendidikan yang memadai, tidak sekedar
memahami teori tetapi juga harus terjun langsung untuk mengenali lebih jauh
profesinya. Maka Program Pendidikan Profesi Apoteker Sekolah Tinggi Farmasi
Bandung bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Bandung untuk dapat
melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di UPT Puskesmas Ibrahim
Adjie.
Pengalaman yang diperoleh melalui praktek kerja lapangan ini akan sangat
membantu calon apoteker untuk menambah wawasan, pengetahuan, pemahaman,
pengalaman praktis dan rasa percaya diri bila suatu hari nanti akan menjadi
seorang abdi negara dalam melayani masyarakat.

1.2 Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA)

Tujuan dari Praktek Kerja Profesi Apoteker di Dinas Kesehatan Kota


Bandung antara lain, yaitu:
1. Mengetahui peran, fungsi dan tanggung jawab Apoteker dalam praktek
kefarmasian di Bidang Pemerintahan.
2. Melihat dan mempelajari strategi dan pengembangan praktek profesi
Apoteker di Bidang Pemerintahan.
3. Mempelajari pelayanan kefarmasian (manajemen pengelolaan obat,
pelayanan farmasi klinik) dipusat kesehatan masyarakat (puskesmas) sesuai
dengan etika dan peraturan yang berlaku di dalam sistem pelayanan
kesehatan.
1.3 Waktu dan Tempat Praktek Kerja Apoteker (PKPA)

Praktek Kerja Profesi Apoteker ini dilaksanakan di Dinas Kesehatan Kota


Bandung Jl. Supratman No. 73 Bandung dan UPT Puskesmas Ibrahim Adjie dari
tanggal 1 Agustus sampai dengan 31 Agustus 2016.

2
BAB II
TINJAUAN UMUM
DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG DAN PUSKESMAS

2.1 Sejarah Dinas Kesehatan Kota Bandung

Dinas Kesehatan Kota Bandung adalah salah satu instansi pemerintah yang
sudah ada sejak jaman kependudukan Belanda. Pada tahun 1946 sampai 1949
Dinas Kesehatan disebut juga “Plaatselijke Gezond Heidsdienst Bandung” yang
berkantor di Gemeente Bandung. Pimpinannya adalah Dr. Molte V. Kuhlewein
sebagai Hoofd Gouvernementsart Hoofd V.D Plaatselijke Gezondheids Bandung.
Tahun 1950 Plaatselijke Gezond Heidsdienst berubah menjadi Jawatan
Kesehatan Kota Besar Bandung. Adapun pejabat yang ditunjuk adalah dr. R.
Admiral Suratedja, Kepala Kesehatan Kota Besar Bandung. Wakilnya berturut-
turut dr. R. Poerwo Soewarjo kemudian dr. R. Sadikun.
Kantor pusat Dinas Kesehatan berkedudukan di Gemeente Bandung atau
kantor Kotapraja Bandung yang sekarang dikenal sebagai kantor Pemerintah

3
Daerah Kotamadya Bandung sampai pertengahan tahun 1960 dan bagian preventif
yang sekarang dikenal dengan seksi pemberantasan penyakit menular berkantor di
Jalan Bawean Nomor 1 Bandung.
Pada tahun 1960 kantor pusat Dinas Kesehatan pindah ke jalan Badak Singa
Nomor 10 Bandung, menempati sebagian dari kantor penjernihan air yang
sekarang merupakan kantor perusahaan daerah air minum (PDAM) sampai
tanggal 9 Oktober 1965. Pada tanggal 9 Oktober 1965 pindah lagi ke Jalan
Supratman Nomor 73 Bandung sampai sekarang.
Pada tahun 1950 Jawatan Kesehatan Kota Besar Bandung terdiri dari 10
Balai Pengobatan kemudian pada tahun 1972 berkembang menjadi 4 pusat
kesehatan yang terdiri dari 1 Pusat Kesehatan Masyarakat, 18 Balai Kesehatan
Khusus kemudian 18 Balai Kesehatan Ibu dan Anak serta 6 Klinik Bersalin.

2.2 Profil Dinas Kesehatan Kota Bandung

Dinas Kesehatan Kota Bandung terletak di jalan Supratman Nomor 73


Bandung dan dipimpin oleh dr. Hj. Ahyani Raksanagara, M.Kes. Dinas Kesehatan
Kota Bandung adalah instansi kesehatan tertinggi dalam satu wilayah administrasi
Pemerintahan Kota Bandung yang bertanggung jawab kepada Walikota Bandung.
Departemen Kesehatan berhubungan secara teknis fungsional dengan Dinas
Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan sebaliknya. Dinas
Kesehatan Kota Bandung mempunyai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD)
terdiri dari 74 Puskesmas (30 puskesmas induk dan 44 puskesmas pembantu), satu
Pelayanan Kesehatan Mobilitas dan satu Laboratorium Kesehatan.

2.3 Organisasi dan Personalia Dinas Kesehatan Kota Bandung

Struktur organisasi Dinas Kesehatan Kota Bandung bedasarkan Peraturan


Daerah Kota Bandung Nomor 13 Tahun 2007, Tanggal 4 Desember 2007 dapat
dilihat pada Lampiran 2.

2.4 Visi dan Misi Dinas Kesehatan Kota Bandung

1. Visi Dinas Kesehatan Kota Bandung

4
Dengan memperhatikan perkembangan pembangunan kesehatan keinginan,
harapan serta tujuan pembangunan kesehatan di Kota Bandung telah ditetapkan
visi yaitu “Bandung Kota Sehat yang Mandiri“, yang mempunyai makna,
pertama suatu kota yang secara terus menerus berupaya meningkatkan kualitas
lingkungan fisik dan sosial melalui pemberdayaan potensi masyarakat dengan
memaksimalkan seluruh potensi kehidupan baik secara bersama-sama maupun
mandiri sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang berprilaku sehat, hidup
di lingkungan yang aman, nyaman dan sehat yang diawali dari terwujudnya
kelurahan sehat dan kecamatan sehat.
Kedua, mandiri adalah masyarakat berupaya berperan serta secara aktif
dalam mencegah, melindungi dan memelihara dirinya. Keluarga, masyarakat
dan lingkungannya agar terhindar dari resiko gangguan kesehatan.
2. Misi Dinas Kesehatan Kota Bandung
Untuk merealisasikan visi “Bandung Kota Sehat yang Mandiri“, maka
Dinas Kesehatan Kota Bandung telah menetapkan misi pembangunan
kesehatan sebagai berikut:
a. Meningkatkan serta mendorong kesadaran individu, keluarga serta
masyarakat untuk hidup sehat secara mandiri.
b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.
c. Mengutamakan profesionalisme dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
d. Menggali potensi masyarakat dalam pembangunan kesehatan.

2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kesehatan Kota Bandung

Dinas Kesehatan merupakan salah satu sistem kesehatan pemerintah daerah


di lingkungan pemerintah Kota Bandung yang bertanggung jawab dalam bidang
pembangunan kesehatan, rincian tugas pokok fungsi dinas kesehatan sebagai
lembaga dinas teknis.
1. Tugas Pokok
Terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya
guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya.
2. Fungsi:
a. Melaksanakan tugas teknis operasional di bidang kesehatan yang meliputi
pengembangan dan pembinaan pelayanan kesehatan, pencegahan

5
pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan, kesehatan
keluarga, pelayanan kefarmasian dan pengawasan makanan dan minuman
serta pembinaan program berdasarkan kebijakan Walikota Bandung.
b. Pelaksanaan tugas teknis fungsional di bidang kesehatan berdasarkan
kebijakan Gubernur Provinsi Jawa Barat.
c. Pelaksanaan pelayanan teknis administrasi ketatausahaan yang meliputi
kepegawaian, keuangan, umum dan perlengkapan.

2.6 Kebijakan dan Program Dinas Kesehatan Kota Bandung

Untuk mencapai tujuan dan sasaran yang terdapat dalam setiap misi.
Pemerintah kota Bandung mengeluarkan kebijakan dalam bidang kesehatan
sebagai berikut.
1. Mengupayakan pembangunan kelurahan dan kecamatan berwawasan
kesehatan.
2. Menggerakan semua potensi masyarakat dalam meningkatkan derajat
kesehatan dan mewujudkan lingkungan sehat perkotaan.
3. Mengupayakan peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan baik,
promotif, kuratif dan rehabilitatif kepada masyarakat.
4. Mengupayakan peningkatan SDM kesehatan.
5. Mengupayakan peningkatan sumber dan proporsi pembiayaan kesehatan
melalui advokasi dan pemberdayaan masyarakat.

Dalam menjabarkan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Bandung


pada pelaksanaan pembangunan Kesehatan Kota Bandung, dirumuskan dalam tiga
program pokok.
1. Program lingkungan sehat, perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat.
2. Program peningkatan pelayanan kesehatan.
3. Program pengawasan obat, makanan, minuman dan bahan berbahaya.

Program- program lainnya :


1. Program-program rencana pembangunan jangka menengah daerah bidang
kesehatan Kota Bandung :
a. Program obat dan perbekalan kesehatan
b. Program upaya kesehatan masyarakat
c. Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat

6
d. Program peningkatan sarana dan prasarana dan manajemen kesehatan
e. Program pencegahan dan penanggulangan penyakit dan lingkungan sehat
2. Program pembangunan kesehatan :
a. Program obat dan perbekalan kesehatan
b. Program upaya kesehatan masyarakat
c. Program pengawasan obat dan bahan makanan
d. Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
e. Program pembangunan lingkungan sehat
f. Program pencegahan dan penanggulangan penyakit menular
g. Program standarisasi pelayanan kesehatan
h. Program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana
puskesmas/puskesmas pembantu dan jaringannya
i. Program kemitraan peningkatan pelayanan kesehatan
j. Program peningkatan pelayanan kesehatan lansia
k. Program pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan
l. Program pelayanan administrasi perkantoran
m. Program peningkatan sarana dan prasarana aparatur
n. Program peningkatan kapasitas sumber daya aparatur
o. Program peningkatan pengembangan sistem pelaporan capai kinerja dan
keuangan.

2.7 Gambaran Umum Gudang Farmasi

Gudang Farmasi Kota Bandung merupakan bagian dari Seksi Farmasi dan
Perbekalan Kesehatan, sehingga dalam melaksanakan tugasnya harus berdasarkan
pada wewenang dan tanggung jawab yang diberikan oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kota Bandung melalui Kepala Bidang SDK dan Seksi Farmasi dan Perbekalan
Kesehatan. Gudang Farmasi Kota Bandung mempunyai tugas melaksanakan
sebagian tugas dinas kesehatan di bidang perencanaan, pangadaan, penerimaan,
penyimpanan, pemeliharaan, pengelolaan dan pendistribusian obat dan perbekalan
kesehatan yang diperlukan dalam pelayanan kesehatan, pencegahan,
pemberantasan penyakit serta melaksanakan monitoring dan evaluasi.
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Gudang Farmasi mempunyai
fungsi sebagai berikut:
1. Melaksanakan penerimaan, penyimpanan, pemeliharaan, pengelolaan,
pencatatan dan pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan.
2. Menyiapkan penyusunan rencana kebutuhan, pengadaan, pencatatan dan
pelaporan mengenai persediaan dan mutasi obat dan perbekalan kesehatan.
3. Mengamati kualitas/mutu obat dan perbekalan kesehatan secara umum baik
yang ada dalam persediaan maupun yang akan didistribusikan.

7
4. Melaksanakan monitoring dan evaluasi penggunaan obat dan perbekalan
kesehatan serta melakukan pembinaan pada unit pelayanan kesehatan.

Gudang Farmasi dalam pelayanan kefarmasian meliputi pelayanan non


klinik yaitu, pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan untuk memenuhi
kebutuhan dari unit pelayanan kesehatan dan UPK lainnya dibawah Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Sedangkan pelayanan kliniknya adalah informasi
obat, konseling dan evaluasi penggunaan obat.

2.8 Persediaan Obat dan Perbekalan Farmasi di Dinas Kesehatan


2.8.1 Perencanaan

Perencanaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan awal yang amat


menentukan dalam pengadaan obat. Tujuan perencanaan obat dan perbekalan
kesehatan yaitu untuk menetapkan jenis serta jumlah obat dan perbekalan
kesehatan yang tepat, sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar
termasuk obat program kesehatan yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan hal
tersebut, diperlukan koordinasi dan keterpaduan dalam hal perencanaan kebutuhan
obat dan perbekalan kesehatan sehingga pembentukan tim perencanaan obat
terpadu merupakan suatu kebutuhan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penggunaan dana melalui koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar
instansi yang terkait dengan perencanaan obat di setiap kabupaten/kota.
Manfaat perencanaan obat terpadu :
1. Menghindari tumpang tindih penggunaan anggaran
2. Keterpaduan dalam evaluasi, penggunaan dan perencanaan
3. Kesamaan persepsi antara pemakai obat dan penyedia anggaran
4. Estimasi kebutuhan obat lebih tepat
5. Koordinasi antara penyedia anggaran dan pemakai obat
6. Pemanfaatan dana pengadaan obat dapat lebih optimal

Proses perencanaan obat dan perbekalan kesehatan melalui beberapa tahap


sebagai berikut :
1. Tahap Perencanaan Kebutuhan Obat
Pengadaan obat diawali dengan perencanaan kebutuhan dimana kegiatan
yang dilakukan adalah:
a. Tahap Pemilihan Obat

8
Pemilihan obat berdasarkan pada Obat Generik terutama yang tercantum
dalam Daftar Obat Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) dan Daftar Obat
Essensial Nasional (DOEN) yang masih berlaku dengan patokan harga
sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Daftar Harga Obat
untuk Obat Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) dan Obat Program
Kesehatan. Fungsi pemilihan obat adalah untuk menentukan apakah obat
benar-benar diperlukan sesuai dengan pola penyakit yang ada.

Pada perencanaan kebutuhan obat, apabila dana tidak mencukupi, perlu


dilakukan analisa kebutuhan sesuai anggaran yang ada(dengan
menggunakan metode perhitungan ABC) dan untuk seleksi obat perlu
dilakukan analisa VEN.

Untuk mendapatkan perencanaan obat yang tepat, seleksi kebutuhan obat


harus mempertimbangkan beberapa hal berikut :

i. Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik yang


memberikan efek terapi jauh lebih baik dibandingkan resiko efek
samping yang akan ditimbulkan,
ii. Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin, hal ini untuk
menghindari duplikasi dan kesamaan jenis,
iii. Hindari penggunaan obat kombinasi kecuali jika obat tersebut
mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan obat tunggal,
iv. Memiliki rasio manfaat/biaya yang paling menguntungkan.

b. Tahap Kompilasi Pemakaian Obat


Kompilasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui pemakaian setiap
bulan dari masing-masing jenis obat di Unit Pelayanan Kesehatan/
Puskesmas selama setahun, serta untuk menentukan stok optimum (stok
kerja ditambah stok pengaman = stok optimum).

Informasi yang didapat dari kompilasi pemakaian obat adalah:

i. Jumlah pemakaian tiap jenis obat pada masing-masing Unit


Pelayanan Kesehatan/ Puskesmas.
ii. Persentase pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian
setahun seluruh Unit Pelayanan Kesehatan/ Puskesmas.

9
iii.Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat untuk tingkat Kabupaten/
Kota.
iv. Pola penyakit yang ada.

c. Tahap Perhitungan Kebutuhan Obat


Menentukan kebutuhan obat merupakan salah satu pekerjaan kefarmasian
yang harus dilakukan oleh Apoteker di Instalasi Farmasi
Kabupaten/Kota. Dengan koordinasi dan proses perencanaan untuk
pengadaan obat secara terpadu (termasuk obat program), maka
diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat jenis, jumlah dan waktu
serta mutu yang terjamin. Untuk menentukan kebutuhan obat dilakukan
pendekatan perhitungan melalui metode konsumsi dan atau morbiditas.

i. Metode Konsumsi
Didasarkan atas analisa data konsumsi obat tahun sebelumnya. Untuk
menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan metoda
konsumsi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
 Pengumpulan dan pengolahan data
 Analisa data untuk informasi dan evaluasi
 Perhitungan perkiraan kebutuhan obat
 Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana

Untuk memperoleh data kebutuhan obat yang mendekati ketepatan,


perlu dilakukan analisa trend (regresi linier) pemakaian obat 3 (tiga)
tahun sebelumnya atau lebih. Data yang perlu dipersiapkan untuk
perhitungan dengan metode konsumsi:
 Daftar obat
 Stok awal
 Penerimaan
 Pengeluaran
 Sisa stok
 Obat hilang/rusak, kadaluarsa
 Kekosongan obat
 Pemakaian rata-rata/pergerakan obat pertahun
 Waktu tunggu
 Stok pengaman
 pola kunjungan

ii. Metode morbiditas

10
Metoda morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan
pola penyakit. Adapun faktor yang perlu diperhatikan adalah
perkembangan pola penyakit dan lead time. Langkah-langkah dalam
metoda ini adalah:
Memanfaatkan pedoman pengobatan.
Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani.
Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi
penyakit.
Menghitung jumlah kebutuhan obat.
Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan metode
morbiditas:
Perkiraan jumlah populasi.
Komposisi demografi dari populasi yang akan diklasifikasikan
berdasarkan jenis kelamin untuk umur antara:
 0 – 4 tahun,
 5 – 14 tahun,
 15 – 44 tahun,
 45 tahun (disesuaikan dengan LB-1),
 atau ditetapkan berdasarkan kelompok dewasa (> 12 tahun)
dan anak (1 – 12 tahun).
 Menetapkan pola morbiditas penyakit.
 Masing-masing penyakit pertahun untuk seluruh populasi pada
kelompok umur yang ada.
 Menghitung perkiraan jenis dan jumlah obat sesuai dengan
pedoman pengobatan dasar di puskesmas.
 Frekuensi kejadian masing-masing penyakit pertahun untuk
seluruh populasi pada kelompok umur yang ada.
 Menghitung kebutuhan jumlah obat, dengan cara jumlah kasus
dikali jumlah obat sesuai pedoman pengobatan dasar di puskesmas.
 Untuk menghitung jenis, jumlah, dosis, frekuensi dan lama
pemberian obat dapat menggunakan pedoman pengobatan yang
ada.
 Menghitung jumlah kebutuhan obat yang akan datang dengan
mempertimbangkan faktor antara lain:
 Pola penyakit
 Lead time
 Buffer stock

11
 Menghitung kebutuhan obat tahun anggaran yang akan
datang.

Manfaat informasi yang didapat adalah sebagai sumber data dalam


menghitung kebutuhan obat untuk pemakaian tahun mendatang
dengan menggunakan metoda morbiditas.

Jumlah Kasus x Jumlah Obat per kasus sesuai Pedoman


Pengobatan
d. Tahap Proyeksi Kebutuhan Obat
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah:

i. Menetapkan rancangan stok akhir periode yang akan datang.


Rancangan stok akhir diperkirakan sama dengan hasil perkalian antara
waktu tunggu (lead time) dengan estimasi pemakaian rata - rata
/bulan ditambah Stok pengaman (buffer stock).
d = (Lt x R ) + sp
Keterangan :
d = rancangan stok akhir
Lt = Waktu tunggu (Lead Time)
R = Estimasi pemakaian rata-rata perbulan
sp = Stok pengaman (Buffer stock)

ii. Menghitung rancangan pengadaan obat periode tahun yang akan


datang. Perencanaan pengadaan obat tahun yang akan datang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a=b+c+d-e-f
Keterangan:
a = Rancangan kebutuhan obat tahun yang akan datang
b = Kebutuhan obat untuk sisa periode berjalan (sesuai tahun anggaran
yang bersangkutan)
c = Kebutuhan obat untuk tahun yang akan datang
d = Rancangan stok akhir (jumlah obat yang dibutuhkan pada periode
lead time dan buffer stok tahun yang akan datang)
e = Perkiraan sisa stok akhir periode berjalan/ Stok awal periode yang
akan datang di IFK
f = rencana penerimaan obat pada periode berjalan (januari- desember)

iii. Menghitung rancangan anggaran untuk total kebutuhan obat, dengan


cara:
Melakukan analisis ABC – VEN.

12
Menyusun prioritas kebutuhan dan penyesuaian kebutuhan dengan
anggaran yang tersedia.
Menyusun prioritas kebutuhan dan penyesuaian kebutuhan
berdasarkan data 10 penyakit terbesar.
iv. Pengalokasian kebutuhan obat per sumber anggaran, dengan
melakukan kegiatan:
Menetapkan kebutuhan anggaran untuk masing-masing obat
persumber anggaran.
Menghitung persentase belanja untuk masing-masing obat terhadap
sumber anggaran.
Menghitung persentase anggaran masing-masing obat terhadap
total anggaran dari semua sumber.

2. Tahap Penyesuaian Rencana Pengadaan Obat


Dengan melaksanakan penyesuaian perencanaan obat dengan jumlah dana
yang tersedia, maka informasi yang didapat adalah jumlah rencana
pengadaan, skala prioritas masing-masing jenis obat dan jumlah kemasan
untuk rencana pengadaan obat tahun yang akan datang.
Beberapa metoda untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi anggaran
pengadaan obat:
a. Analisa ABC
Berdasarkan berbagai observasi dalam inventori manajemen, yang
paling banyak ditemukan adalah tingkat konsumsi pertahun hanya
diwakili oleh relatif sejumlah kecil item. Sebagai contoh, dari
pengamatan terhadap pengadaan obat dijumpai bahwa sebagian besar
dana obat (70%) digunakan untuk pengadaan 10% dari jenis/ item obat
yang paling banyak digunakan, sedangkan sisanya sekitar 90% jenis/
item obat menggunakan dana sebesar 30%. Oleh karena itu analisa
ABC mengelompokkan item obat berdasarkan kebutuhan dananya,
yaitu:
Kelompok A: kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana
pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 70% dari jumlah
dana obat keseluruhan.
Kelompok B: kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana
pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 20%.

13
Kelompok C: kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana
pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah
dana obat keseluruhan.
Langkah-langkah menentukan Kelompok A, B dan C:

i. Hitung jumlah dana yang dibutuhkan untuk masing-masing obat


dengan cara mengalikan kuantum obat dengan harga obat.
ii. Tentukan peringkat mulai dari yang terbesar dananya sampai yang
terkecil.
iii. Hitung persentasenya terhadap total dana yang dibutuhkan.
iv. Hitung akumulasi persennya.
v. Obat kelompok A termasuk dalam akumulasi 70%
vi. Obat kelompok B termasuk dalam akumulasi >70% s/d 90%
(menyerap dana ± 20%)
vii. Obat kelompok C termasuk dalam akumulasi > 90% s/d 100%
(menyerap dana ± 10%)

b. Analisa VEN
Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana obat
yang terbatas dengan mengelompokkan obat berdasarkan manfaat tiap
jenis obat terhadap kesehatan. Semua jenis obat yang tercantum dalam
daftar obat dikelompokkan kedalam tiga kelompok berikut:

Kelompok V: kelompok obat-obatan yang sangat esensial (vital), yang


termasuk dalam kelompok ini antara lain:
i. Obat penyelamat (life saving drugs)
ii. Obat untuk pelayanan kesehatan pokok (obat anti diabetes, vaksin
dan lain-lain)
iii. Obat untuk mengatasi penyakit penyebab kematian terbesar.
Kelompok E: kelompok obat yang bekerja kausal yaitu obat yang
bekerja pada sumber penyebab penyakit.
Kelompok N: obat penunjang yaitu obat yang kerjanya ringan dan
biasa dipergunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau untuk
mengatasi keluhan ringan.
Penggolongan obat sistem VEN dapat digunakan untuk:

14
i. Penyesuaian rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana yang
tersedia. Obat yang perlu ditambah atau dikurangi dapat didasarkan
atas pengelompokan obat menurut VEN.
ii. Penyusunan rencana kebutuhan obat yang masuk kelompok V agar
diusahakan tidak terjadi kekosongan obat.

Untuk menyusun daftar VEN perlu ditentukan lebih dahulu kriteria


penentuan VEN yang sebaiknya disusun oleh suatu Tim. Dalam
menentukan kriteria perlu dipertimbangkan kondisi dan kebutuhan
masing-masing wilayah. Kriteria yang disusun dapat mencakup
berbagai aspek antara lain:
i. Klinis
ii. Konsumsi
iii. Target kondisi
iv. Biaya

Langkah-langkah menentukan VEN :


i. Menyusun analisa VEN
ii. Menyediakan data pola penyakit
iii. Merujuk pada pedoman pengobatan

3. Tahap Koordinasi Lintas Program


Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Dasar
(PKD) dibiayai melalui berbagai sumber anggaran. Oleh karena itu
koordinasi dan keterpaduan perencanaan pengadaan obat dan perbekalan
kesehatan mutlak diperlukan, sehingga pembentukan Tim Perencanaan Obat
Terpadu adalah merupakan suatu kebutuhan dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan efektivitas penggunaan dana obat melalui koordinasi, integrasi
dan sinkronisasi antar instansi yang terkait dengan perencanaan obat di
setiap Kabupaten/ Kota.
Berbagai sumber anggaran yang membiayai pengadaan obat dan perbekalan
kesehatan antara lain:
a. APBN atau Dana Alokasi Khusus (DAK)
b. APBD 1/Provinsi sebagai buffer
c. APBD II / Dana Alokasi Umum (DAU)
d. Askes/BPJS
e. Program Kesehatan
f. Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS)

15
g. Sumber-sumber lain

2.8.2 Pengadaan

Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan proses untuk


penyediaan obat yang dibutuhkan di Unit Pelayanan Kesehatan. Pengadaan obat
dan perbekalan kesehatan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi dan
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pelaksanaan
Pengadaan Barang/ Jasa Instansi Pemerintah dan Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Pengadaan obat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dan Keputusan Presiden No. 70 tahun 2012 tentang
Pengadaan barang/jasa Pemerintah melalui :

a. Pelelangan Umum
b. Pelelangan Sederhana
c. Pelelangan Terbatas
d. Pemilihan Langsung
e. Seleksi Umum
f. Seleksi Sederhana
g. Sayembara
h. Kontes
i. Penunjukan langsung untuk
j. Swakelola
k. Pengadaan Langsung

Tujuan pengadaan obat adalah :


a. Tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai
kebutuhan pelayanan kesehatan.
b. Mutu obat terjamin.
c. Obat dapat diperoleh pada saat diperlukan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan obat adalah :


a. Kriteria obat dan perbekalan kesehatan / memilih metoda
pengadaan
b. Persyaratan pemasok
c. Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan obat
d. Penerimaan dan pemeriksaan obat

16
e. Pemantauan status pesanan

1. Kriteria Obat dan Perbekalan Kesehatan


a. Kriteria umum
i. Obat yang tercantum dalam daftar obat Generik, Daftar Obat.
ii. Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD), daftar Obat Program
Kesehatan, berdasarkan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
yang masih berlaku.
iii. Obat telah memiliki Izin Edar atau Nomor Registrasi dari
Kementerian Kesehatan R.I cq. Badan POM.
iv. Batas kadaluarsa obat pada saat pengadaan minimal 2 tahun.
Khusus untuk vaksin dan preparat biologis ketentuan kadaluwarsa
diatur tersendiri.
v. Obat memiliki Sertifikat Analisa dan uji mutu yang sesuai dengan
nomor batch masing-masing produk.
vi. Obat diproduksi oleh Industri Farmasi yang memiliki Sertifikat
CPOB.
b. Kriteria mutu obat
Mutu dari obat dan perbekalan kesehatan harus dapat
dipertanggungjawabkan. Kriteria mutu obat dan perbekalan kesehatan
adalah sebagai berikut:
i. Persyaratan mutu obat harus sesuai dengan persyaratan mutu yang
tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi terakhir.
ii. Industri Farmasi yang memproduksi obat bertanggung jawab
terhadap mutu obat melalui pemeriksaan mutu (Quality Control)
yang dilakukan oleh Industri Farmasi.
iii. Pemeriksaan mutu secara organoleptik dilakukan oleh Apoteker
penanggung jawab Instalasi Farmasi Propinsi, Kabupaten/ Kota.
Bila terjadi keraguan terhadap mutu obat dapat dilakukan
pemeriksaan mutu di Laboratorium yang ditunjuk pada saat
pengadaan dan merupakan tanggung jawab distributor yang
menyediakan.
2. Persyaratan Pemasok
Pemilihan pemasok adalah penting karena dapat mempengaruhi kualitas
dan kuantitas obat. Persyaratan pemasok sebagai berikut :
a. Memiliki izin Pedagang Besar Farmasi / Industri Farmasi yang masih
berlaku.

17
b. Pedagang Besar Farmasi (PBF) harus ada dukungan dari Industri
Farmasi yang memiliki Sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang
Baik) bagi tiap bentuk sediaan obat yang dibutuhkan untuk
pengadaan.
c. Industri Farmasi harus memiliki Sertifikat CPOB bagi tiap bentuk
sediaan obat yang dibutuhkan untuk pengadaan.
d. Pedagang Besar Farmasi atau Industri Farmasi harus memiliki reputas
yang baik dalam bidang pengadaan obat.
e. Pemilik dan atau Apoteker penanggung jawab Pedagang Besar
Farmasi, Apoteker penanggung jawab produksi dan quality control
f. Industri Farmasi tidak sedang dalam proses pengadilan atau tindakan
yang berkaitan dengan profesi kefarmasian.
g. Mampu menjamin kesinambungan ketersediaan obat sesuai dengan
masa kontrak.

3. Penentuan Waktu Pengadaan dan Kedatangan Obat


Waktu pengadaan dan waktu kedatangan obat dari berbagai sumber
anggaran perlu ditetapkan berdasarkan hasil analisis data:
a. Sisa stok dengan memperhatikan waktu
b. Jumlah obat yang akan diterima sampai dengan akhir tahun anggaran
c. Rata-rata pemakaian
d. Waktu tunggu/ lead time

Berdasarkan data tersebut dapat dibuat:


a. Profil pemakaian obat.
b. Penetapan waktu pesan.
c. Waktu kedatangan obat.

4. Penerimaan dan Pemeriksaan Obat


Penerimaan dan pemeriksaan merupakan salah satu kegiatan pengadaan
agar obat yang diterima sesuai dengan jenis dan jumlah serta sesuai
dengan dokumen yang menyertainya.

5. Pemantauan Status Pesanan


Pemantauan status pesanan bertujuan untuk :
a. Mempercepat pengiriman sehingga efisiensi dapat ditingkatkan
b. Pemantauan dapat didasarkan kepada sistem VEN.
c. Petugas Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota memantau status pesanan
secara berkala.

18
d. Pemantauan dan evaluasi pesanan harus dilakukan dengan
memperhatikan:
i. Nama obat
ii. Satuan kemasan
iii. Jumlah obat diadakan
iv. Obat yang sudah diterima
v. Obat yang belum diterima

2.8.3 Penyimpanan

Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan


cara menempatkan obat dan perbekalan kesehatan yang diterima pada tempat
yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu
obat dan perbekalan kesehatan.
Tujuan penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan adalah untuk :
a. Memelihara mutu obat
b. Menghindari penyalahgunaan dan penggunaan yang salah
c. Menjaga kelangsungan persediaan
d. Memudahkan pencarian dan pengawasan

Kegiatan penyimpanan obat meliputi:


a. Penyiapan sarana penyimpanan
b. Pengaturan tata ruang
c. Penyusunan obat
d. Pengamatan mutu obat

1. Penyiapan Sarana Penyimpanan


Ketersediaan sarana yang ada di unit pengelola obat dan perbekalan
kesehatan bertujuan untuk mendukung jalannya organisasi. Adapun sarana
yang minimal sebaiknya tersedia adalah sebagai berikut :
i. Gedung dengan luas 300 m2 – 600 m2
ii. Kendaraan roda dua dan roda empat, dengan jumlah 1 – 3 unit
iii. Komputer + Printer dengan jumlah 1 – 3 unit
iv. Telepon & Faximile de ngan jumlah 1 unit
v. Sarana penyimpanan:
Rak : 10 - 15 unit
Pallet : 40 - 60 unit
Lemari : 5 - 7 unit
Lemari Khusus : 1 unit
Cold chain (medical refrigerator)
Cold Box
Cold Pack

19
Generator
vi. Sarana Administrasi Umum:
Brankas : 1 Unit
Mesin Tik : 1 – 2 unit
Lemari arsip : 1 – 2 unit
vii. Sarana Administrasi Obat dan Perbekalan Kesehatan:
Kartu Stok
Kartu Persediaan Obat
Kartu Induk Persediaan Obat
Buku Harian Pengeluaran Barang
SBBK (Surat Bukti Barang Keluar)
LPLPO (Laporan Pemakaian dan Laporan Permintaan Obat)
Kartu Rencana Distribusi
Lembar bantu penentuan proporsi stok optimum

2. Pengaturan Tata Ruang


Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan,
pencarian dan pengawasan obat, maka diperlukan pengaturan tata ruang
gudang dengan baik. Pengaturan tata ruang selain harus memperhatikan
kebersihan dan menjaga gudang dari kebocoran dan hewan pengerat juga
harus diperhatikan ergonominya.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merancang gudang
adalah sebagai berikut :

a. Kemudahan bergerak
Untuk kemudahan bergerak, maka gudang perlu ditata sebagai
berikut:
 Gudang jangan menggunakan sekat-sekat karena akan
membatasi pengaturan ruangan. Jika digunakan sekat,
perhatikan posisi dinding dan pintu untuk mempermudah
gerakan.
 Berdasarkan arah arus penerimaan dan pengeluaran obat, ruang
gudang dapat ditata berdasarkan sistem :
a) Arus garis lurus
b) Arus U
c) Arus L
 Sirkulasi udara yang baik
Salah satu faktor penting dalam merancang gudang adalah
adanya sirkulasi udara yang cukup di dalam ruangan gudang.

20
Sirkulasi yang baik akan memaksimalkan stabilitas obat
sekaligus bermanfaat dalam memperbaiki kondisi kerja petugas.
Idealnya dalam gudang terdapat AC, namun biayanya akan
menjadi mahal untuk ruang gudang yang luas. Alternatif lain
adalah menggunakan kipas angin/ventilator/rotator. Perlu
adanya pengukur suhu di ruangan penyimpanan obat dan
dilakukan pencatatan suhu.

b. Rak dan Pallet


Penempatan rak yang tepat dan penggunaan pallet akan dapat
meningkatkan sirkulasi udara dan pemindahan obat. Penggunaan
pallet memberikan keuntungan:
i. Sirkulasi udara dari bawah dan perlindungan terhadap banjir,
serangan serangga (rayap)
ii. Melindungi sediaan dari kelembaban
iii. Memudahkan penanganan stok
iv. Dapat menampung obat lebih banyak
v. Pallet lebih murah dari pada rak
c. Kondisi penyimpanan khusus
i. Vaksin dan serum memerlukan Cold Chain khusus dan harus
dilindungi dari kemungkinan putusnya aliran listrik (harus
tersedianya generator).
ii. Narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari
khusus dan selalu terkunci sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
iii. Bahan-bahan mudah terbakar seperti alkohol, eter dan pestisida
harus disimpan dalam ruangan khusus, sebaiknya disimpan di
bangunan khusus terpisah dari gudang induk
d. Pencegahan kebakaran
Perlu dihindari adanya penumpukan bahan-bahan yang mudah
terbakar seperti dus, karton dan lain-lain. Alat pemadam kebakaran
harus diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau dan dalam
jumlah yang cukup. Contohnya tersedia bak pasir, tabung pemadam
kebakaran, karung goni, galah berpengait besi.

3. Penyusunan Stok Obat

21
Obat disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis. Untuk memudahkan
pengendalian stok maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Gunakan prinsip First Expired date First Out (FEFO) dan First In
First Out (FIFO) dalam penyusunan obat yaitu obat yang masa
kadaluwarsanya lebih awal atau yang diterima lebih awal harus
digunakan lebih awal sebab umumnya obat yang datang lebih awal
biasanya juga diproduksi lebih awal dan umurnya relatif lebih tua dan
masa kadaluwarsanya mungkin lebih awal.
b. Susun obat dalam kemasan besar di atas pallet secara rapi dan teratur.
Untuk obat kemasan kecil dan jumlahnya sedikit disimpan dalam rak
dan pisahkan antara obat dalam dan obat untuk pemakaian luar dengan
memperhatikan keseragaman nomor batch.
c. Gunakan lemari khusus untuk menyimpan narkotika dan psikotropika.
Simpan obat yang stabilitasnya dapat dipengaruhi oleh temperatur,
udara, cahaya dan kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai.
d. Perhatikan untuk obat yang perlu penyimpanan khusus.
e. Cantumkan nama masing-masing obat pada rak dengan rapi.
f. Apabila persediaan obat cukup banyak, maka biarkan obat tetap dalam
box masing-masing.
4. Pengamatan mutu obat
Mutu obat yang disimpan di ruang penyimpanan dapat mengalami
perubahan baik karena faktor fisik maupun kimiawi yang dapat diamati
secara visual. Jika dari pengamatan visual diduga ada kerusakan yang tidak
dapat ditetapkan dengan cara organoleptik, harus dilakukan sampling untuk
pengujian laboratorium.

2.8.4 Distribusi

Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan


pengiriman obat, terjamin keabsahan, tepat jenis dan jumlah secara merata dan
teratur untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan kesehatan. Distribusi obat
dilakukan agar persediaan jenis dan jumlah yang cukup sekaligus menghindari
kekosongan dan menumpuknya persediaan serta mempertahankan tingkat
persediaan obat.
Tujuan distribusi adalah :

22
a. Terlaksananya pengiriman obat secara merata dan teratur sehingga
dapat diperoleh pada saat dibutuhkan.
b. Terjaminnya mutu obat dan perbekalan kesehatan pada saat
pendistribusian
c. Terjaminnya kecukupan dan terpeliharanya penggunaan obat di unit
pelayanan kesehatan.
d. Terlaksananya pemerataan kecukupan obat sesuai kebutuhan
pelayanan dan program kesehatan.
Kegiatan distribusi obat di Kabupaten/ Kota terdiri dari :

a. Kegiatan distribusi rutin yang mencakup distribusi untuk kebutuhan


pelayanan umum di unit pelayanan kesehatan
b. Kegiatan distribusi khusus yang mencakup distribusi obat untuk :
i. Program kesehatan
ii. Kejadian Luar Biasa (KLB)
iii. Bencana (alam dan sosial)

1. Kegiatan Distribusi Rutin


Perencanaan Distribusi
Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota merencanakan dan melaksanakan
pendistribusian obat ke unit pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya serta
sesuai kebutuhan. Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

a. Perumusan stok optimum


Perumusan stok optimum persediaan dilakukan dengan
memperhitungkan siklus distribusi rata-rata pemakaian, waktu tunggu
serta ketentuan mengenai stok pengaman.
Rencana distribusi obat ke setiap unit pelayanan kesehatan termasuk
rencana tingkat persediaan, didasarkan kepada besarnya stok optimum
setiap jenis obat di setiap unit pelayanan kesehatan. Perhitungan stok
optimum dilakukan oleh Instalasi Farmasi Kab/Kota.

Stok optimum = pemakaian obat dalam satu periode tertentu + stok


pengaman + waktu tunggu

b. Penetapan frekuensi pengiriman obat ke unit pelayanan


Frekuensi pengiriman obat ke unit pelayanan ditetapkan dengan
memperhatikan :

23
i. Anggaran yang tersedia
ii. Jarak dan kondisi geografis dari IFK ke UPK
iii. Fasilitas gudang UPK
iv. Sarana yang ada di IFK
c. Penyusunan peta lokasi, jalur dan jumlah pengiriman
Agar alokasi biaya pengiriman dapat dipergunakan secara efektif dan
efisien maka IFK perlu membuat peta lokasi dari unit-unit pelayanan
kesehatan di wilayah kerjanya. Hal ini sangat diperlukan terutama
untuk pelaksanaan distribusi aktif dari IFK. Jarak (km) antara IFK
dengan setiap unit pelayanan kesehatan dicantumkan pada peta lokasi.

Dengan mempertimbangkan jarak, biaya transportasi atau kemudahan


fasilitas yang tersedia, dapat ditetapkan rayonisasi dari wilayah
pelayanan distribusi. Disamping itu dilakukan pula upaya untuk
memanfaatkan kegiatan-kegiatan tertentu yang dapat membantu
pengangkutan obat ke UPK misalnya kunjungan rutin petugas
Kabupaten ke UPK, pertemuan dokter Puskesmas yang
diselenggarakan di Kabupaten/Kota dan sebagainya.

Atas dasar ini dapat ditetapkan jadwal pengiriman untuk setiap rayon
distribusi misalnya ada rayon distribusi yang dapat dilayani sebulan
sekali, ada rayon distribusi yang dapat dilayani triwulan dan ada yang
hanya dapat dilayani tiap enam bulan disesuaikan dengan anggaran
yang tersedia.

2. Kegiatan Distribusi Khusus


Kegiatan distribusi khusus di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota dilakukan
sebagai berikut:

a. Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota dan pengelola program Kabupaten/


Kota, bekerjasama untuk mendistribusikan masing-masing obat
program yang diterima dari propinsi, kabupaten/ kota.
b. Distribusi obat program ke Puskesmas dilakukan oleh IFK atas
permintaan penanggung jawab program, misalnya pelaksanaan
program penanggulangan penyakit tertentu seperti Malaria, Frambusia
dan penyakit kelamin, bilamana obatnya diminta langsung oleh
petugas program kepada IFK Kabupaten/ Kota tanpa melalui

24
Puskesmas, maka petugas yang bersangkutan harus membuat
permintaan dan laporan pemakaian obat yang diketahui oleh Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
c. Obat program yang diberikan langsung oleh petugas program kepada
penderita di lokasi sasaran, diperoleh/diminta dari Puskesmas yang
membawahi lokasi sasaran. Setelah selesai pelaksanaan pemberian
obat, bilamana ada sisa obat harus dikembalikan ke Puskesmas yang
bersangkutan. Khusus untuk Program Diare diusahakan ada sejumlah
persediaan obat di Posyandu yang penyediaannya diatur oleh
Puskesmas.
d. Untuk KLB dan bencana alam, distribusi dapat dilakukan melalui
permintaan maupun tanpa permintaan oleh Puskesmas. Apabila
diperlukan, Puskesmas yang wilayah kerjanya terkena KLB/Bencana
dapat meminta bantuan obat kepada Puskesmas terdekat.

Tata Cara Pendistribusian Obat

a. IFK Kabupaten/ Kota melaksanakan distribusi obat ke Puskesmas dan


di wilayah kerjanya sesuai kebutuhan masing-masing Unit Pelayanan
Kesehatan.
b. Puskesmas Induk mendistribusikan kebutuhan obat untuk Puskesmas
Pembantu, Puskesmas Keliling dan Unit-unit Pelayanan Kesehatan
lainnya yang ada di wilayah binaannya.
c. Distribusi obat-obatan dapat pula dilaksanakan langsung dari IFK ke
Puskesmas Pembantu sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah atas
persetujuan Kepala Puskesmas yang membawahinya. Tata cara
distribusi obat ke Unit Pelayanan Kesehatan dapat dilakukan dengan
cara penyerahan oleh IFK ke Unit Pelayanan Kesehatan, pengambilan
sendiri oleh UPK di IFK, atau cara lain yang ditetapkan oleh Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota.

Pencatatan Harian Pengeluaran Obat

Obat yang telah dikeluarkan harus segera dicatat dan dibukukan pada Buku
Harian Pengeluaran Obat sesuai data obat dan dilakukan dokumentasi.

25
Fungsinya sebagai dokumen yang memuat semua catatan pengeluaran, baik
mengenai data obat maupun dokumen yang menyertai pengeluaran obat
tersebut. Manfaatnya sebagai sumber data untuk perencanaan dan pelaporan.

2.8.5 Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dan pelaporan data obat di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota
merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka penatausahaan obat-obatan secara
tertib baik obat-obatan yang diterima, disimpan, didistribusikan maupun yang
digunakan di Puskesmas dan unit pelayanan kesehatan lainnya. Tujuan pencatatan
dan pelaporan adalah tersedianya data mengenai jenis dan jumlah penerimaan,
persediaan, pengeluaran/ penggunaan dan data mengenai waktu dari seluruh
rangkaian kegiatan mutasi obat.

Kegiatan pencatatan dan pelaporan meliputi :

1. Pencatatan dan Pengelolaan Data untuk mendukung Perencanaan


2. Pengadaan Obat melalui kegiatan perhitungan tingkat kecukupan obat
per UPK
3. Kegiatan ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa rencana
distribusi akan dapat didukung sepenuhnya oleh sisa stok obat di IFK.
4. Perhitungan dilakukan langsung pada Kartu Rencana Distribusi Obat.
5. Tingkat kecukupan dihitung dari sisa stok obat di IFK dibagi dengan
pemakaian rata-rata obat di Unit Pelayanan Kesehatan.

Jika tingkat kecukupan obat semakin menurun maka petugas IFK dapat
mempergunakan catatan pada kartu Realisasi Pengadaan Obat untuk memberikan
umpan balik kepada pemegang kebijakan agar mempercepat pengadaan obat yang
alokasinya telah disetujui.
Jika semua pengadaan telah dilakukan, maka petugas IFK harus segera
menyesuaikan stok optimum obat bersangkutan untuk seluruh UPK. Tingkat
kecukupan dan sisa stok obat di IFK dalam mendukung rencana distribusi harus
selalu dilaporkan kepada kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.

Laporan Pengelolaan Obat


Sebagai unit kerja yang secara fungsional berada di bawah dan langsung
bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, maka IFK

26
memiliki kewajiban untuk melaporkan kegiatan pengelolaan obat yang
dilaksanakan. Laporan yang perlu disusun IFK terdiri dari :

1. Laporan dinamika logistik dilakukan oleh Dinas Kesehatan


Kabupaten/Kota ke Walikota/Bupati dengan tembusan kepada
Kadinkes Provinsi tiga bulan sekali dan dari Provinsi ke Kementrian
Kesehatan Cq. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes tiga bulan sekali
2. Laporan tahunan/ profil pengelolaan obat Kab/ Kota dikirim kepada
Dinkes Provinsi dan setelah dikompilasi oleh Dinkes Provinsi
dikirimkan kepada Kemenkes Cq. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes

Pencatatan dan pelaporan terdiri dari :

a. Kartu stok dan kartu stok induk


b. LPLPO dan SBBK
c. Buku penerimaan
d. Buku pengeluaran

Pencatatan dan Kartu Stok


Fungsi :

a. Kartu stok digunakan untuk mencatat mutasi obat (penerimaan,


pengeluaran, hilang, rusak atau kedaluwarsa)
b. Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi 1
(satu) jenis obat yang berasal dari 1 (satu) sumber anggaran.
c. Tiap baris data hanya diperuntukkan mencatat 1 (satu) kejadian mutasi
obat.
d. Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan, perencanaan
pengadaan distribusi dan sebagai pembanding terhadap keadaan fisik
obat dalam tempat penyimpanannya.

Pencatatan Kartu Stok Induk


Fungsi :

a. Kartu Stok Induk digunakan untuk mencatat mutasi obat (penerimaan,


pengeluaran, hilang, rusak atau kedaluwarsa).

27
b. Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi 1
(satu) jenis obat yang berasal dari semua sumber anggaran
c. Tiap baris data hanya diperuntukan mencatat 1 (satu) kejadian mutasi
obat
d. Data pada kartu stok induk digunakan sebagai :
i. Alat kendali bagi Kepala Unit Pengelola Obat Publik dan
Perbekalan Kesehatan terhadap keadaan fisik obat dalam tempat
penyimpanan.
ii. Alat bantu untuk penyusunan laporan, perencanaan pengadaan
dan distribusi serta pengendalian persediaan.

Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO)


Kegunaan LPLPO :

a. Sebagai bukti pengeluaran obat di Unit Pengelola Obat Publik dan


Perbekalan Kesehatan.
b. Sebagai bukti penerimaan obat di Rumah Sakit/Puskesmas
c. Sebagai surat permintaan/pesanan obat dari Rumah Sakit/Puskesmas
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota cq. IFK
d. Sebagai bukti penggunaan obat di Rumah Sakit / Puskesmas

Laporan Pengelolaan Obat Tahunan


Fungsi:

Untuk mengetahui gambaran umum pengelolaan obat di daerah


Kabupaten/Kota selama satu tahun anggaran. Manfaat Informasi adalah
sebagai dasar tindak lanjut peningkatan dan penyempurnaan pengelolaan
obat di Kabupaten/Kota dan bahan masukan dalam penyusunan profil
kesehatan Kabupaten/Kota.
2.8.6 Supervisi dan Evaluasi

Supervisi berasal dari kata super (lebih tinggi) dan vision (melihat) sehingga
secara umum dapat diartikan sebagai mengawasi dari atas atau oleh atasan.
Supervisi dalam pengertian manajemen memiliki pengertian yang lebih luas,
karena istilah yang digunakan adalah mengawasi dan bukan melihat, ini bukan
dilakukan secara kebetulan. Mengawasi dalam arti bahasa Indonesia adalah
mengamati dan menjaga jadi bukan hanya mengamati saja, akan tetapi memiliki
pengertian menjaga.

28
Supervisi yang dilakukan oleh petugas IFK adalah proses pengamatan
secara terencana dari unit yang lebih tinggi (Instalasi Farmasi
Propinsi/Kabupaten/Kota) terhadap pelaksanaan pengelolaan obat oleh petugas
pada unit yang lebih rendah (Puskesmas/Puskesmas Pembantu/UPT lainnya).
Pengamatan diarahkan untuk menjaga agar pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan sesuai dengan pedoman yang disepakati bersama. Tujuan supervisi
ditujukan untuk menjaga agar pekerjaan pengelolaan obat yang dilakukan sesuai
dengan pedoman yang berlaku. Ruang Lingkup Supervisi :

1. Pengelolaan obat meliputi :


a. Seleksi,
b. Pengadaan,
c. Penyimpanan,
d. Distribusi, pencatatan & pelaporan,
e. Monitoring & evaluasi
2. Sarana Prasarana :
a. Sarana Infrastruktur
b. Sistem pengelolaan
c. Sarana penunjang (software, hardware)
3. Sumber daya manusia (jumlah dan kualifikasi)

Supervisi Pengelolaan dan Penggunaan Obat

a. Kegiatan supervisi meliputi :


i. Proses penyusunan rencana
ii. Persiapan pelaksanaan (tenaga, dana, waktu, check list)
iii. Pelaksanaan (kunjungan, diskusi, umpan balik, penyelesaian)
iv. Pemanfaatan hasil supervisi (kompilasi hasil, analisa, rekomendasi
tindak lanjut)

b. Kriteria petugas supervisi:


i. Memiliki pengetahuan mutakhir, bukan hanya dalam aspek
penugasan, kebijaksanaan tetapi juga informasi mutakhir yang
berkaitan dengan rencana kerja, sasaran kerja serta indikator
kinerja unit organisasi.
ii. Memiliki kemampuan dalam mengetahui semua ketentuan dan
instruksi, standar dan indikator evaluasinya.
iii. Memiliki kemampuan dalam memastikan bahwa sistem informasi
berjalan dengan teratur, ada pencatatan dari semua parameter yang
dimonitor, mekanisme analisa, dan evaluasinya.

29
Analisa dan evaluasi terhadap hasil-hasil monitoring ini perlu dilakukan
untuk memastikan bahwa mutu hasil kerja dari petugas mencapai apa yang
diinginkan. Analisa dilakukan dengan membandingkan antara:

1. Rencana dengan realisasi


2. Hasil dengan sasaran,
3. Proses kerja dengan sistem prosedur yang berlaku
4. Sasaran kerja dengan ketentuan dan prosedur,
5. Biaya yang dipergunakan dengan anggaran yang tersedia
6. dan lain-lain

Evaluasi dilakukan dengan membandingkan suatu kondisi yang


diharapkan dengan kondisi yang diamati. Hasil evaluasi dari hasil supervisi dapat
langsung dibahas dengan yang bersangkutan sehingga yang bersangkutan dapat
mengetahui kondisinya. Evaluasi bermanfaat untuk :

1. Menetapkan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam program yang


sedang berjalan
2. Meramalkan kegunaan dari pengembangan usaha-usaha dan
memperbaikinya
3. Mengukur kegunaan program-program yang inovatif
4. Meningkatkan efektifitas program, manajemen dan administrasi
5. Kesesuaian tuntutan tanggung jawab

Ada empat jenis evaluasi yang dibedakan atas interaksi dinamis diantara
lingkungan program dan waktu evaluasi yaitu :

1. Evaluasi formatif yang dilakukan selama berlangsungnya kegiatan


program. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat dimensi kegiatan
program yang melengkapi informasi untuk perbaikan program.
2. Evaluasi sumatif yang dilakukan pada akhir program. Evaluasi ini
perlu untuk menetapkan ikhtisar program, termasuk informasi
outcome, keberhasilan dan kegagalan program.
3. Evaluasi penelitian adalah suatu proses penelitian kegiatan yang
sebenarnya dari suatu program, agar diketemukan hal-hal yang tidak
tampak dalam pelaksanaan program.
4. Evaluasi presumtif yang didasarkan pada tendensi yang menganggap
bahwa jika kegiatan tertentu dilakukan oleh orang tertentu yang
diputuskan dengan pertimbangan yang tepat, dan jika bertambahnya

30
anggaran sesuai dengan perkiraan, maka program dilaksanakan sesuai
dengan yang diharapkan.

Indikator adalah alat ukur untuk dapat membandingkan kinerja yang


sesungguhnya. Indikator digunakan untuk mengukur sampai seberapa jauh tujuan
atau sasaran telah berhasil dicapai. Penggunaan lain dari indikator adalah untuk
penetapan prioritas, pengambilan tindakan dan untuk pengujian strategi dari
sasaran yang ditetapkan. Hasil pengujian tersebut dapat digunakan oleh penentu
kebijakan untuk meninjau kembali strategi atau sasaran yang lebih tepat. Indikator
umumnya digunakan untuk memonitor kinerja yang esensial.

2.1 Gambaran Umum Puskesmas


2.9.1 Definisi Puskesmas
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 36 tahun 2016 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas yang dimaksud dengan Pusat
Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat Puskesmas adalah unit
pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.

2.9.1 Prinsip Penyelenggaraan, Tugas dan Fungsi Puskesmas

Permenkes No 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas prinsip penyelenggaraan


Puskesmas meliputi:
a. Paradigma Sehat;
b. Pertanggungjawaban Wilayah;
c. Kemandirian Masyarakat;
d. Pemerataan;
e. Teknologi Tepat Guna; dan
f. Keterpaduan Dan Kesinambungan.

Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk


mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka
mendukung terwujudnya kecamatan sehat.

2.9.1 Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas

31
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar:
a. Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. Pelayanan farmasi klinik.

Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud


meliputi:
a. perencanaan kebutuhan;
b. permintaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pendistribusian;
f. pengendalian;
g. pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan; dan
h. pemantauan dan evaluasi pengelolaan.

Pelayanan farmasi klinik di Puskesmas meliputi:


a. pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat;
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
c. konseling;
d. ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap);
e. pemantauan dan pelaporan efek samping Obat;
f. pemantauan terapi Obat; dan
g. evaluasi penggunaan Obat.

Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus


didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sumber daya kefarmasian meliputi:
a. sumber daya manusia; dan
b. sarana dan prasarana.

Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, harus


dilakukan pengendalian mutu Pelayananan Kefarmasian meliputi:
a. monitoring; dan
b. evaluasi.

32
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas dilaksanakan pada
unit pelayanan berupa ruang farmasi. Ruang farmasi dipimpin oleh seorang
Apoteker sebagai penanggung jawab. Puskesmas yang belum memiliki Apoteker
sebagai penanggung jawab, penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian secara
terbatas dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian atau tenaga kesehatan lain.
Pelayanan Kefarmasian secara terbatas tersebut meliputi:
a. Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. Pelayanan resep berupa peracikan Obat, penyerahan Obat, dan
pemberian informasi Obat.

Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian secara terbatas tersebut di bawah


pembinaan dan pengawasan Apoteker yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
A. Pengelolaan obat dan Bahan Medis Habis Pakai di Puskesmas

Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan salah satu
kegiatan pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari perencanaan, permintaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan
pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Tujuannya adalah untuk menjamin
kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan Obat dan Bahan Medis Habis
Pakai yang efisien, efektif dan rasional, meningkatkan kompetensi
/kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem informasi manajemen,
dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan.

Kepala Ruang Farmasi di Puskesmas mempunyai tugas dan tanggung jawab


untuk menjamin terlaksananya pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis
Pakai yang baik.
Kegiatan pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi:
1. Perencanaan kebutuhan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi Obat dan Bahan Medis
Habis Pakai untuk menentukan jenis dan jumlah Obat dalam rangka
pemenuhan kebutuhan Puskesmas.
Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan:
a. Perkiraan jenis dan jumlah Obat dan Bahan Medis Habis Pakai yang
mendekati kebutuhan;

33
b. Meningkatkan penggunaan Obat secara rasional; dan
c. Meningkatkan efisiensi penggunaan Obat.

Perencanaan kebutuhan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai di Puskesmas


setiap periode dilaksanakan oleh Ruang Farmasi di Puskesmas. Proses
seleksi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan dengan
mempertimbangkan pola penyakit, pola konsumsi Obat periode sebelumnya,
data mutasi Obat, dan rencana pengembangan. Proses seleksi Obat dan
Bahan Medis Habis Pakai juga harus mengacu pada Daftar Obat Esensial
Nasional (DOEN) dan Formularium Nasional. Proses seleksi ini harus
melibatkan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas seperti dokter, dokter
gigi, bidan, dan perawat, serta pengelola program yang berkaitan dengan
pengobatan.

Proses perencanaan kebutuhan Obat per tahun dilakukan secara berjenjang


(bottom-up). Puskesmas diminta menyediakan data pemakaian Obat dengan
menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO).
Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota akan melakukan kompilasi
dan analisa terhadap kebutuhan Obat Puskesmas di wilayah kerjanya,
menyesuaikan pada anggaran yang tersedia dan memperhitungkan waktu
kekosongan Obat, buffer stock, serta menghindari stok berlebih.

2. Permintaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai


Tujuan permintaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai adalah memenuhi
kebutuhan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai di Puskesmas, sesuai
dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat.

3. Penerimaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai


Penerimaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu kegiatan
dalam menerima Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dari Instalasi Farmasi
Kabupaten/Kota sesuai dengan permintaan yang telah diajukan.

34
Tujuannya adalah agar Obat yang diterima sesuai dengan kebutuhan
berdasarkan permintaan yang diajukan oleh Puskesmas. Semua petugas
yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan bertanggung jawab atas
ketertiban penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan penggunaan Obat
dan Bahan Medis Habis Pakai berikut kelengkapan catatan yang
menyertainya.
Petugas penerimaan wajib melakukan pengecekan terhadap Obat dan
Bahan Medis Habis Pakai yang diserahkan, mencakup jumlah
kemasan/peti, jenis dan jumlah Obat, bentuk Obat sesuai dengan isi
dokumen (LPLPO), ditandatangani oleh petugas penerima, dan diketahui
oleh Kepala Puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat, maka petugas
penerima dapat mengajukan keberatan.
Masa kedaluwarsa minimal dari Obat yang diterima disesuaikan dengan
periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu bulan.

4. Penyimpanan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai


Penyimpanan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan suatu
kegiatan pengaturan terhadap Obat yang diterima agar aman (tidak hilang),
terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin,
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Tujuannya adalah agar mutu obat yang tersedia di puskesmas dapat
dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Penyimpanan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. bentuk dan jenis sediaan;
b. stabilitas (suhu, cahaya, kelembaban);
c. mudah atau tidaknya meledak/terbakar; dan
d. narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari khusus.

5. Pendistribusian Obat dan Bahan Medis Habis Pakai


Pendistribusian Obat dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan kegiatan
pengeluaran dan penyerahan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai secara
merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi
Puskesmas dan jaringannya.
Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan Obat sub unit pelayanan
kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, mutu,

35
jumlah dan waktu yang tepat. Sub-sub unit di Puskesmas dan jaringannya
antara lain:
a. Sub unit pelayanan kesehatan di dalam lingkungan Puskesmas;
b. Puskesmas Pembantu;
c. Puskesmas Keliling;
d. Posyandu; dan
e. Polindes.

Pendistribusian ke sub unit (ruang rawat inap, UGD, dan lain-lain)


dilakukan dengan cara pemberian Obat sesuai resep yang diterima (floor
stock), pemberian Obat per sekali minum (dispensing dosis unit) atau
kombinasi, sedangkan pendistribusian ke jaringan Puskesmas dilakukan
dengan cara penyerahan Obat sesuai dengan kebutuhan (floor stock).

6. Pengendalian Obat dan Bahan Medis Habis Pakai


Pengendalian Obat dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu kegiatan
untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan
strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan
dan kekurangan/kekosongan Obat di unit pelayanan kesehatan dasar.
Tujuannya adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan Obat di unit
pelayanan kesehatan dasar.
Pengendalian Obat terdiri dari:
a. Pengendalian persediaan;
b. Pengendalian penggunaan; dan
c. Penanganan Obat hilang, rusak, dan kadaluwarsa.

7. Pencatatan, pelaporan dan pengarsipan


Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan merupakan rangkaian kegiatan
dalam rangka penatalaksanaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai secara
tertib, baik Obat dan Bahan Medis Habis Pakai yang diterima, disimpan,
didistribusikan dan digunakan di Puskesmas atau unit pelayanan lainnya.
Tujuan pencatatan, pelaporan dan pengarsipan adalah:
a. Bukti bahwa pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
telah dilakukan;
b. Sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian; dan

36
c. Sumber data untuk pembuatan laporan.

8. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis


Pakai
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk:
a. Mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam
pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai sehingga dapat
menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan;
b. Memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan Obat dan Bahan
Medis Habis Pakai; dan
c. Memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan.

B. Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan
Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk:


1. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas.
2. Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas,
keamanan dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
3. Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan
pasien yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.
4. Melaksanakan kebijakan Obat di Puskesmas dalam rangka meningkatkan
penggunaan Obat secara rasional.

Pelayanan farmasi klinik meliputi:


1. Pengkajian Resep, Penyerahan Obat, dan Pemberian Informasi Obat
Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap
maupun rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi:
a. Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
b. Nama, dan paraf dokter.
c. Tanggal resep.

37
d. Ruangan/unit asal resep.

Persyaratan farmasetik meliputi:


a. Bentuk dan kekuatan sediaan.
b. Dosis dan jumlah Obat.
c. Stabilitas dan ketersediaan.
d. Aturan dan cara penggunaan.
e. Inkompatibilitas (ketidakcampuran Obat).

Persyaratan klinis meliputi:


a. Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat.
b. Duplikasi pengobatan.
c. Alergi, interaksi dan efek samping Obat.
d. Kontra indikasi.
e. Efek adiktif.

Kegiatan Penyerahan (Dispensing) dan Pemberian Informasi Obat


merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap
menyiapkan/meracik Obat, memberikan label/etiket, menyerahan sediaan
farmasi dengan informasi yang memadai disertai pendokumentasian.
Tujuan :
a. Pasien memperoleh Obat sesuai dengan kebutuhan klinis/pengobatan.
b.Pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi intruksi pengobatan.

2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk
memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada dokter,
apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
Tujuan:
a. Menyediakan informasi mengenai Obat kepada tenaga kesehatan lain di
lingkungan Puskesmas, pasien dan masyarakat.
b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan
dengan Obat (contoh: kebijakan permintaan Obat oleh jaringan dengan
mempertimbangkan stabilitas, harus memiliki alat penyimpanan yang
memadai).
c. Menunjang penggunaan Obat yang rasional.

Kegiatan:
a. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro
aktif dan pasif.

38
b. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui
telepon, surat atau tatap muka.
c. Membuat buletin, leaflet, label Obat, poster, majalah dinding dan lain-
lain.
d. Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap,
serta masyarakat.
e. Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan
tenaga kesehatan lainnya terkait dengan Obat dan Bahan Medis Habis
Pakai.
f. Mengoordinasikan penelitian terkait Obat dan kegiatan Pelayanan
Kefarmasian.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:


a. Sumber informasi Obat.
b. Tempat.
c. Tenaga.
d. Perlengkapan.

3. Konseling
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah
pasien yang berkaitan dengan penggunaan Obat pasien rawat jalan dan
rawat inap, serta keluarga pasien.
Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang
benar mengenai Obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan
pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan Obat, efek
samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan Obat.
Kegiatan:
a. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
b. Menanyakan hal-hal yang menyangkut Obat yang dikatakan oleh
dokter kepada pasien dengan metode pertanyaan terbuka (open-ended
question), misalnya apa yang dikatakan dokter mengenai Obat,
bagaimana cara pemakaian, apa efek yang diharapkan dari Obat
tersebut, dan lain-lain.
c. Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan Obat.
d. Verifikasi akhir, yaitu mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi
dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara
penggunaan Obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi.

39
Faktor yang perlu diperhatikan:
a. Kriteria pasien:
i. Pasien rujukan dokter.
ii. Pasien dengan penyakit kronis.
iii. Pasien dengan Obat yang berindeks terapetik sempit dan poli
farmasi.
iv. Pasien geriatrik.
v. Pasien pediatrik.
vi. Pasien pulang sesuai dengan kriteria di atas.

b. Sarana dan prasarana:


i. Ruangan khusus.
ii. Kartu pasien/catatan konseling.

Setelah dilakukan konseling, pasien yang memiliki kemungkinan


mendapat risiko masalah terkait Obat misalnya lanjut usia, lingkungan
sosial, karateristik Obat, kompleksitas pengobatan, kompleksitas
penggunaan Obat, kebingungan atau kurangnya pengetahuan dan
keterampilan tentang bagaimana menggunakan Obat dan/atau alat
kesehatan perlu dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home
Pharmacy Care) yang bertujuan tercapainya keberhasilan terapi Obat.

1. Ronde/Visite Pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari
dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain.
Tujuan:
a. Memeriksa Obat pasien.
b. Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan Obat dengan
mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien.
c. Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan
Obat.
d. Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan
dalam terapi pasien.
Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan, pelaksanaan, pembuatan
dokumentasi dan rekomendasi. Kegiatan visite mandiri:
a. Untuk Pasien Baru

40
i. Apoteker memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari
kunjungan.
ii. Memberikan informasi mengenai sistem pelayanan farmasi dan
jadwal pemberian Obat.
iii. Menanyakan Obat yang sedang digunakan atau dibawa dari rumah,
mencatat jenisnya dan melihat instruksi dokter pada catatan
pengobatan pasien.
iv. Mengkaji terapi Obat lama dan baru untuk memperkirakan masalah
terkait Obat yang mungkin terjadi.

a. Untuk pasien lama dengan instruksi baru


i. Menjelaskan indikasi dan cara penggunaan Obat baru.
ii. Mengajukan pertanyaan apakah ada keluhan setelah pemberian Obat.

c. Untuk semua pasien


i. Memberikan keterangan pada catatan pengobatan pasien.
ii. Membuat catatan mengenai permasalahan dan penyelesaian masalah
dalam satu buku yang akan digunakan dalam setiap kunjungan.

Kegiatan visite bersama tim:


a. Melakukan persiapan yang dibutuhkan seperti memeriksa catatan
pegobatan pasien dan menyiapkan pustaka penunjang.
b. Mengamati dan mencatat komunikasi dokter dengan pasien dan/atau
keluarga pasien terutama tentang Obat.
c. Menjawab pertanyaan dokter tentang Obat.
d. Mencatat semua instruksi atau perubahan instruksi pengobatan, seperti
Obat yang dihentikan, Obat baru, perubahan dosis dan lain-lain.

Hal-hal yang perlu diperhatikan:


a. Memahami cara berkomunikasi yang efektif.
b. Memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan pasien dan tim.
c. Memahami teknik edukasi.
d. Mencatat perkembangan pasien.

Pasien rawat inap yang telah pulang ke rumah ada kemungkinan


terputusnya kelanjutan terapi dan kurangnya kepatuhan penggunaan Obat.
Untuk itu, perlu juga dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home
Pharmacy Care) agar terwujud komitmen, keterlibatan, dan kemandirian
pasien dalam penggunaan Obat sehingga tercapai keberhasilan terapi Obat.

41
1. Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat (ESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau
memodifikasi fungsi fisiologis.
Tujuan:
a. Menemukan efek samping Obat sedini mungkin terutama yang berat,
tidak dikenal dan frekuensinya jarang.
b. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping Obat yang sudah
sangat dikenal atau yang baru saja ditemukan.

Kegiatan:
a. Menganalisis laporan efek samping Obat.
b. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami efek samping Obat.
c. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
d. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
Faktor yang perlu diperhatikan:
a. Kerja sama dengan tim kesehatan lain.
b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
1. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan
terapi Obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan
meminimalkan efek samping.
Tujuan:
a. Mendeteksi masalah yang terkait dengan Obat.
b. Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait dengan
Obat.

Kriteria pasien:
a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
b. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
c. Adanya multidiagnosis.
d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
e. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
f. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang
merugikan.

Kegiatan:
a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.

42
b. Membuat catatan awal.
c. Memperkenalkan diri pada pasien.
d. Memberikan penjelasan pada pasien.
e. Mengambil data yang dibutuhkan.
f. Melakukan evaluasi.
g. Memberikan rekomendasi.
1. Evaluasi Penggunaan Obat
Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan Obat secara
terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin Obat yang digunakan
sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional).
Tujuan:
a. Mendapatkan gambaran pola penggunaan Obat pada kasus tertentu.
b. Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan Obat tertentu.

C. Sumber Daya Kefarmasian


1. Sumber Daya Manusia
Penyelengaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas minimal harus
dilaksanakan oleh 1 (satu) orang tenaga Apoteker sebagai penanggung
jawab, yang dapat dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian sesuai
kebutuhan.
Jumlah kebutuhan Apoteker di Puskesmas dihitung berdasarkan rasio
kunjungan pasien, baik rawat inap maupun rawat jalan serta memperhatikan
pengembangan Puskesmas. Rasio untuk menentukan jumlah Apoteker di
Puskesmas adalah 1 (satu) Apoteker untuk 50 (lima puluh) pasien perhari.
Semua tenaga kefarmasian harus memiliki surat tanda registrasi dan surat
izin praktik untuk melaksanakan Pelayanan Kefarmasian di fasilitas
pelayanan kesehatan termasuk Puskesmas, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Setiap tahun dapat dilakukan penilaian kinerja tenaga kefarmasian yang
disampaikan kepada yang bersangkutan dan didokumentasikan secara
rahasia. Hasil penilaian kinerja ini akan digunakan sebagai pertimbangan
untuk memberikan penghargaan dan sanksi (reward and punishment).

a. Kompetensi Apoteker
i. Sebagai Penanggung Jawab
- Mempunyai kemampuan untuk memimpin;
- Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mengelola dan
mengembangkan pelayanan kefarmasian;
- Mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri;

43
- Mempunyai kemampuan untuk bekerja sama dengan pihak lain;
dan
- Mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi, mencegah,
menganalisis dan memecahkan masalah.

ii. Sebagai Tenaga Fungsional


- Mampu memberikan pelayanan kefarmasian;
- Mampu melakukan akuntabilitas praktek kefarmasian;
- Mampu mengelola manajemen praktis farmasi;
- Mampu berkomunikasi tentang kefarmasian;
- Mampu melaksanakan pendidikan dan pelatihan; dan
- Mampu melaksanakan penelitian dan pengembangan.

b. Pendidikan dan Pelatihan


Pendidikan dan pelatihan adalah salah suatu proses atau upaya
peningkatan pengetahuan dan keterampilan di bidang kefarmasian atau
bidang yang berkaitan dengan kefarmasian secara berkesinambungan
untuk mengembangkan potensi dan produktivitas tenaga kefarmasian
secara optimal. Puskesmas dapat menjadi tempat pelaksanaan program
pendidikan, pelatihan serta penelitian dan pengembangan bagi calon
tenaga kefarmasian dan tenaga kefarmasian unit lain.

Tujuan Umum:
i. Tersedianya tenaga kefarmasian di Puskesmas yang mampu
melaksanakan rencana strategi Puskesmas.
ii. Terfasilitasinya program pendidikan dan pelatihan bagi calon tenaga
kefarmasian dan tenaga kefarmasian unit lain.
iii. Terfasilitasinya program penelitian dan pengembangan bagi calon
tenaga kefarmasian dan tenaga kefarmasian unit lain.

Tujuan Khusus:
i. Tersedianya tenaga kefarmasian yang mampu melakukan pengelolaan
Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
ii. Tersedianya tenaga kefarmasian yang mampu melakukan Pelayanan
Kefarmasian.
iii. Terfasilitasinya studi banding, praktik dan magang bagi calon tenaga
kefarmasian internal maupun eksternal.

44
iv. Tersedianya data Pelayanan Informasi Obat (PIO) dan konseling
tentang Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
v. Tersedianya data penggunaan antibiotika dan injeksi.
vi. Terwujudnya Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas yang optimal.
vii. Tersedianya Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
viii. Terkembangnya kualitas dan jenis pelayanan ruang farmasi
Puskesmas.

b. Pengembangan Tenaga Kefarmasian dan Program Pendidikan


Dalam rangka penyiapan dan pengembangan pengetahuan dan
keterampilan tenaga kefarmasian maka Puskesmas menyelenggarakan
aktivitas sebagai berikut:
i. Setiap tenaga kefarmasian di Puskesmas mempunyai kesempatan yang
sama untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.
ii. Apoteker dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian harus memberikan
masukan kepada pimpinan dalam menyusun program pengembangan
staf.
iii. Staf baru mengikuti orientasi untuk mengetahui tugas, fungsi,
wewenang dan tanggung jawabnya.
iv. Melakukan analisis kebutuhan peningkatan pengetahuan dan
keterampilan bagi tenaga kefarmasian.
v. Tenaga kefarmasian difasilitasi untuk mengikuti program yang
diadakan oleh organisasi profesi dan institusi pengembangan
pendidikan berkelanjutan terkait.
vi. Memberikan kesempatan bagi institusi lain untuk melakukan praktik,
magang, dan penelitian tentang pelayanan kefarmasian di Puskesmas.

Pimpinan dan tenaga kefarmasian di ruang farmasi Puskesmas berupaya


berkomunikasi efektif dengan semua pihak dalam rangka optimalisasi dan
pengembangan fungsi ruang farmasi Puskesmas.

1. Sarana dan Prasarana


Sarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di
Puskesmas meliputi sarana yang memiliki fungsi:
a. Ruang penerimaan resep

45
Ruang penerimaan resep meliputi tempat penerimaan resep, 1 (satu) set
meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer, jika memungkinkan. Ruang
penerimaan resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah
terlihat oleh pasien.
b. Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas)
Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara
terbatas meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di
ruang peracikan disediakan peralatan peracikan, timbangan Obat, air
minum (air mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan pengemas
Obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan resep,
etiket dan label Obat, buku catatan pelayanan resep, buku-buku
referensi/standar sesuai kebutuhan, serta alat tulis secukupnya. Ruang
ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup.
Jika memungkinkan disediakan pendingin ruangan (air conditioner)
sesuai kebutuhan.
c. Ruang penyerahan Obat
Ruang Penyerahan obat meliputi konter penyerahan Obat, buku
pencatatan penyerahan dan pengeluaran Obat. Ruang penyerahan Obat
dapat digabungkan dengan ruang penerimaan resep.
d. Ruang konseling
Ruang konseling meliputi satu set meja dan kursi konseling, lemari
buku, buku-buku referensi sesuai kebutuhan, leaflet, poster, alat bantu
konseling, buku catatan konseling, formulir jadwal konsumsi Obat
(lampiran), formulir catatan pengobatan pasien (lampiran), dan lemari
arsip (filling cabinet), serta 1 (satu) set komputer, jika memungkinkan.
e. Ruang penyimpanan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,
kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan
keamanan petugas. Selain itu juga memungkinkan masuknya cahaya
yang cukup. Ruang penyimpanan yang baik perlu dilengkapi dengan
rak/lemari Obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin,
lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari
penyimpanan Obat khusus, pengukur suhu, dan kartu suhu.
f. Ruang arsip

46
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan
dengan pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dan Pelayanan
Kefarmasian dalam jangka waktu tertentu. Ruang arsip memerlukan
ruangan khusus yang memadai dan aman untuk memelihara dan
menyimpan dokumen dalam rangka untuk menjamin penyimpanan
sesuai hukum, aturan, persyaratan, dan teknik manajemen yang baik.
Istilah ‘ruang’ di sini tidak harus diartikan sebagai wujud ‘ruangan’
secara fisik, namun lebih kepada fungsi yang dilakukan. Bila
memungkinkan, setiap fungsi tersebut disediakan ruangan secara
tersendiri. Jika tidak, maka dapat digabungkan lebih dari 1 (satu)
fungsi, namun harus terdapat pemisahan yang jelas antar fungsi.

D. Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian


Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan untuk
mencegah terjadinya masalah terkait Obat atau mencegah terjadinya
kesalahan pengobatan atau kesalahan pengobatan/medikasi (medication
error), yang bertujuan untuk keselamatan pasien (patient safety).
Unsur-unsur yang mempengaruhi mutu pelayanan:
1. Unsur masukan (input), yaitu sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, ketersediaan dana, dan Standar Prosedur Operasional.
2. Unsur proses, yaitu tindakan yang dilakukan, komunikasi, dan kerja
sama.
3. Unsur lingkungan, yaitu kebijakan, organisasi, manajemen, budaya,
respon dan tingkat pendidikan masyarakat.

Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian terintegrasi dengan program


pengendalian mutu pelayanan kesehatan Puskesmas yang dilaksanakan secara
berkesinambungan.
Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian meliputi:
a. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan
evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai standar.
b. Pelaksanaan, yaitu:
i. monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja
(membandingkan antara capaian dengan rencana kerja); dan
ii. memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
c. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu:
i. melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai standar; dan

47
ii. meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
Monitoring merupakan kegiatan pemantauan selama proses berlangsung
untuk memastikan bahwa aktivitas berlangsung sesuai dengan yang
direncanakan. Monitoring dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang
melakukan proses. Aktivitas monitoring perlu direncanakan untuk
mengoptimalkan hasil pemantauan. Contoh: monitoring pelayanan resep,
monitoring penggunaan Obat, monitoring kinerja tenaga kefarmasian.
Untuk menilai hasil atau capaian pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian,
dilakukan evaluasi. Evaluasi dilakukan terhadap data yang dikumpulkan yang
diperoleh melalui metode berdasarkan waktu, cara, dan teknik pengambilan
data.
Berdasarkan waktu pengambilan data, terdiri atas:
a. Retrospektif:
Pengambilan data dilakukan setelah pelayanan dilaksanakan.
Contoh: survei kepuasan pelanggan, laporan mutasi barang.
b. Prospektif:
Pengambilan data dijalankan bersamaan dengan pelaksanaan pelayanan.
Contoh: Waktu pelayanan kefarmasian disesuaikan dengan waktu
pelayanan kesehatan di Puskesmas, sesuai dengan kebutuhan.

Berdasarkan cara pengambilan data, terdiri atas:


a. Langsung (data primer):
Data diperoleh secara langsung dari sumber informasi oleh pengambil
data.
Contoh: survei kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan
kefarmasian.
b. Tidak Langsung (data sekunder):
Data diperoleh dari sumber informasi yang tidak langsung.
Contoh: catatan penggunaan Obat, rekapitulasi data pengeluaran Obat.
Berdasarkan teknik pengumpulan data, evaluasi dapat dibagi menjadi:
i. Survey
Survey yaitu pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner.
Contoh: survey kepuasan pelanggan.
ii. Observasi
Observasi yaitu pengamatan langsung aktivitas atau proses dengan
menggunakan cek list atau perekaman. Contoh: pengamatan konseling
pasien.

Pelaksanaan evaluasi terdiri atas:


a. Audit

48
Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas pelayanan
dengan pengukuran kinerja bagi yang memberikan pelayanan dengan
menentukan kinerja yang berkaitan dengan standar yang dikehendaki dan
dengan menyempurnakan kinerja tersebut. Oleh karena itu, audit
merupakan alat untuk menilai, mengevaluasi, menyempurnakan
pelayanan kefarmasian secara sistematis.
Terdapat 2 macam audit, yaitu:
i. Audit Klinis
Audit Klinis yaitu analisis kritis sistematis terhadap pelayanan
kefarmasian, meliputi prosedur yang digunakan untuk pelayanan,
penggunaan sumber daya, hasil yang didapat dan kualitas hidup
pasien. Audit klinis dikaitkan dengan pengobatan berbasis bukti.
ii. Audit Professional
Audit Profesional yaitu analisis kritis pelayanan kefarmasian oleh
seluruh tenaga kefarmasian terkait dengan pencapaian sasaran yang
disepakati, penggunaan sumber daya dan hasil yang diperoleh.
Contoh: audit pelaksanaan sistem manajemen mutu.

a. Review (pengkajian)
Review (pengkajian) yaitu tinjauan atau kajian terhadap pelaksanaan
pelayanan kefarmasian tanpa dibandingkan dengan standar. Contoh: kajian
penggunaan antibiotik.

49
BAB III
TINJAUAN KHUSUS SEKSI FARBEKES DINAS KESEHATAN KOTA
BANDUNG DAN PUSKESMAS IBRAHIM ADJIE

3.1 Seksi Farmasi dan Perbekalan Kesehatan

Seksi Farmasi dan Perbekalan Kesehatan (Farbekes) Dinas Kesehatan Kota


Bandung merupakan salah satu Seksi di Bidang Sumber Daya Kesehatan (SDK)
selain Seksi Promosi Kesehatan (Promkes) dan Seksi Pendayagunaan Tenaga dan
Sarana Kesehatan (Gunasarkes). Seksi Farmasi dan Perbekalan Kesehatan atau
disingkat Seksi Farbekes merupakan penggabungan dari tiga seksi yaitu Seksi
Farmasi, Seksi Napza, Makanan dan Minuman serta Seksi Obat Tradisional dan
Kosmetik di bawah SubDin Farmasi, Makanan dan Minuman. Mulai tahun 2008
SubDin Farmasi, Makanan dan Minuman berubah menjadi seksi farmasi dan
perbekalan kesehatan yang merupakan salah satu seksi pada bidang sumber daya
kesehatan. Seksi farmasi dan perbekalan kesehatan membawahi 2 bagian tugas
penting mengenai pengelolaan obat dan alat kesehatan, serta pengawasan dan
pembinaan obat, makanan, dan kosmetik. Untuk pengelolaan obat dan alat
kesehatan di Dinas Kesehatan Kota Bandung mempunyai 2 (dua) gudang farmasi
yaitu gudang distribusi di Jalan Supratman No. 73 Bandung dan di Jalan Bapak
Husein Cihampelas Bandung.

3.2 Uraian Tugas Pokok dan Fungsi

Sesuai dengan peraturan walikota Bandung No. 1307 tahun 2014 tentang
rincian tugas pokok dan fungsi satuan organisasi pada dinas daerah kota Bandung,
Tugas pokok kepala seksi farmasi dan perbekalan kesehatan melaksanakan
sebagian tugas di bidang sumber daya kesehatan mengenai lingkup farmasi dan
perbekalan kesehatan..

50
Dalam melaksanakan tugas pokoknya, seksi farmasi dan perbekalan
kesehatan mempunyai fungsi:
1. Pelaksanaan penyusunan rencana dan program kerja lingkup farmasi dan
perbekalan kesehatan.
2. Pelaksanaan penyusunan bahan petunjuk teknis lingkup farmasi dan
perbekalan kesehatan.
3. Pelaksanaan lingkup farmasi dan perbekalan kesehatan.
4. Pelaksanaan pengkoordinasian, monitoring, pengawasan dan pengendalian,
evaluasi dan pelaporan lingkup farmasi dan perbekalan kesehatan.

Adapun uraian tugas kepala seksi farmasi dan perbekalan kesehatan adalah
sebagai berikut :

1. Menyusun rencana dan program kerja lingkup farmasi dan perbekalan


kesehatan.
2. Melaksanakan penganalisaan data bahan penyusunan kebijakan lingkup
farmasi dan perbekalan kesehatan.
3. Melaksanakan fasilitasi pembinaan dan pengembangan lingkup farmasi dan
perbekalan kesehatan.
4. Melaksanakan program dan kegiatan lingkup farmasi dan perbekalan
kesehatan.
5. Melaksanakan penyiapan bahan dan fasilitasi kerjasama lingkup farmasi dan
perbekalan kesehatan.
6. Melaksanakan identifikasi dan penyediaan dan pengelolaan obat pelayanan
kesehatan dasar, alat kesehatan, reagensia dan vaksin.
7. Melaksanakan dan memfasilitasi pembinaan dan pengembangan manajemen
pengelolaan kefarmasian, kosmetik, obat, obat tradisional, makanan dan
minuman, produk komplemen/ suplemen, dan Perbekalan Kesehatan Rumah
Tangga (PKRT) yang diselenggarakan oleh swasta, pemerintah dan
masyarakat.
8. Melaksanakan dan memfasilitasi pembinaan peredaran obat yang
mengandung bahan pelaporan lingkup farmasi arkotika atau bahan yang
berbahaya.
9. Melaksanakan dan mengkoordinasikan penyediaan dan pengelolaan obat
pelayanan kesehatan dasar, alat kesehatan, reagensia dan vaksin.
10. Menyiapkan, mengonsep, memeriksa, dan memaraf konsep naskah dinas
lingkup farmasi dan perbekalan kesehatan.

51
11. Membuat telaahan staf bahan pertimbangan perumusan kebijakan lingkup
farmasi dan perbekalan kesehatan.
12. Melaksanakan koordinasi dan konsultasi dengan instansi terkait lingkup
farmasi dan perbekalan kesehatan.
13. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian lingkup farmasi dan
perbekalan farmasi.
14. Melaksanakan monitoring, evaluasi dan pelaporan lingkup farmasi dan
perbekalan kesehatan.
15. Melaksanakan tugas lain dari pimpinan sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya

3.3 Pengawasan dan Pembinaan

Prioritas sarana yang akan diperiksa :


1. Sarana kesehatan yang sudah ada temuan atau ada pelanggaran.
2. Sarana – sarana masukan dari puskesmas dan masyarakat.
3. Sarana yang belum di bina (dilihat dari rekapan sarana yang sudah dibina
tahun sebelumnya).
Berikut dibawah ini sarana–sarana yang perizinan/rekomendasinya
dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kota Bandung :

1. Pedagang Eceran Obat


Toko obat adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat-obat
bebas dan obat-obat bebas terbatas untuk dijual secara eceran. Untuk
mendirikan Toko obat harus ada izin Kepala Dinas Kesehatan
Kota/Kabupaten. Penanggung jawab Pedagang Eceran Obat ialah seorang
Asisten Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian.

2. Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh Apoteker.

Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yaitu :

52
a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
b. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam)
hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis
kepada Kepala Balai Pengawas Obat dan Makanan (Balai POM) untuk
melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan apotek untuk melakukan
kegiatan.
c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM
selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan
teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil
pemeriksaan setempat.
d. Dalam hal pemeriksaaan tidak dilaksanakan, Apoteker Pemohon dapat
membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada
Kepala Dinas Propinsi.
e. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan
pemeriksaan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat
mengeluarkan SIA.
f. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
atau Kepala Balai POM masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari
kerja mengeluarkan Surat Penundaan.
g. Dalam Surat Penundaan, Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi
persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka
waktu satu bulan sejak tanggal Surat Penundaan.
h. Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi
persyaratan Apoteker Pengelola Apotek dan atau persyaratan apotek,
atau lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-
lambatnya dua belas hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan
disertai dengan alasan-alasannya.
Hal hal yang diperiksa ketika dilakukan pemeriksaan di sarana pelayanan
kesehatan:

53
a. Bangunan : alamat apotek, denah ruangan, ruang tunggu, ruang
peracikan obat, ruang administrasi, tempat pencucian alat,
kebersihan,sumber air, penerangan, pemadam kebakaran, ventilasi,
sanitasi, dan papan nama.
b. Administrasi : SP, kartu stok, blangko salinan resep, blanko faktur, buku
pembelian, buku penerimaan, buku penjualan, buku pengiriman, buku
pesanan narkotika/psikotropika, faktur narkotika/psikotropika,
pencatatan harian narkotika/psikotropika, pengarsipan resep
narkotika/psikotropika, pelaporan narkotika/psikotropika, pencatatan
jumlah resep generik per bulan, pencatatan jumlah keseluruhan resep
per bulan.
c. Perlengkapan : lemari dan rak penyimpanan, lemari pendingin, lemari
penyimpanan narkotika dan psikotropika, etiket, wadah pengemas dan
pembungkus untuk penyerahan obat, alat pembuatan dan pengolahan
serta peracikan, buku standar yang diwajibkan, kumpulan peraturan
perundang-undnagan yang berhubungan dengan apotek.
d. SDM : kehadiran apoteker penanggung jawab. Apoteker pendamping,
dan asisten apoteker serta jaminan kesehatan disertai MOU.
3. Klinik
Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar
dan/atau spesialistik. Berdasarkan jenis pelayanan, klinik dibagi menjadi
dua yaitu :
a. Klinik pratama adalah klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik
dasar baik umum maupun khusus.
b. Klinik utama adalah klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik
spesialistik atau pelayanan medik dasar dan spesialistik.

Setiap penyelenggaraan klinik wajib memiliki izin mendirikan yang


diberikan oleh pemerintah daerah kota/kabupaten dan izin operasional yang
diberikan oleh pemerintah daerah kota/kabupaten atau kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota.

4. Rumah sakit tipe B, C, dan D.

54
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Berdasarkan
pelayanan, sumber daya manusia, peralatan dan bangunan serta prasarana
rumah sakit dibedakan menjadi beberapa kelas :

a. Rumah sakit tipe B yaitu rumah sakit yang terdiri dari 4 spesialis dasar, 4
spesialis penunjang medis, 8 spesialis lain dan 2 subspesialis dasar.
b. Rumah sakit tipe C yaitu rumah sakit yang terdiri dari 4 spesialis dasar
dan 4 spesialis penunjang medis.
c. Rumah sakit tipe D yaitu rumah sakit yang terdiri dari 2 spesialis dasar.

Izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit kelas B diberikan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat
yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.

Izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit kelas C dan kelas D
diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat
rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

5. P-IRT
P-IRT (Pangan Industri Rumah Tangga) adalah izin jaminan usaha makanan
atau minuman rumahan yang dijual memenuhi standar keamanan makanan
atau izin edar produk pangan olahan yang diproduksi oleh UKM untuk
dipasarkan secara lokal. Perizinan PIRT diberikan kepada perusahaan
pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan perlatan
pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Izin P-IRT tersebut hanya
diberikan kepada produk pangan olahan dengan tingkat resiko yang rendah.

Mengacu pada peraturan pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 tentang


keamanan, mutu dan gizi pangan dan keputusan kepala BPOM RI No HK
00.05.5.1640. didalam SPP-IRT produsen akan mendapat 2 sertifikat yaitu
sertifikat penyuluhan keamanan pangan dan sertifikat pangan industri rumah
tangga.

55
Sedangkan pada kasus hanya mengambil hasil produk olahan orang lain
kemudian dikemas kemudian diperjualbelikan, diperbolehkan dengan
catatan, produk yang di pasarkan itu sudah memiliki izin SPP-IRT produsen
yang jelas dari dinas, S-PIRT dikeluarkan oleh dinas dimana produksi itu
dijalankan.

Alur atau tata cara memperoleh sertifikat PIRT:

a. Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan


i. Pemohon mengambil formulir persayaratan ke Gunasarkes.
ii. Gunasarkes menjelaskan persyaratan ke pemohon.
iii. Pemohon melengkapi dan mengaembalikan berkas persyaratan ke
seksi Gunasarkes.
iv. Gunasarkes memeriksa kelengkapan persyaratan, mencatat ke dalam
buku register, mengirim daftar nama pemohon ke farbekes untuk
mengikuti penyuluhan.
v. Farbekes mengirim surat undangan kegiatan prnyuluhan ke pemohon.
Pemohon mengikuti kegiatan penyuluhan minimal 50 peserta.
vi. Farbekes memberi no sertifikat SPKP untuk penerbitan sertifikat ,
mengetik
vii. sertifikat PKP, memeriksa dan memaraf sertifikat PKP.
viii. Bidang SDK dan sub bagian umum memeriksa dan memaraf
sertifikat.
ix. Kepala dinas menandatangani sertifikat.
x. Sub bagian umum mengarsip sertifikat dan menyerahkan sertifikat ke
PIRT.
b. Sertifikat PIRT
i. Pemohon mengambil formulir persayaratan ke Gunasarkes.
ii. Gunasarkes menjelaskan persyaratan ke pemohon.
iii. Pemohon melengkapi dan mengembalikan berkas persyaratan ke seksi
gunasarkes.
iv. Gunasarkes memeriksa kelengkapan persyaratan, mencatat ke dalam
buku register, mengirim daftar nama pemohon ke farbekes untuk
mengikuti penyuluhan.
v. Farbekes mengumumkan nama peserta dan jadwal pemeriksaan ke
sarana PIRT, melaksanakan kunjungan ke pemohon, dan menyusun
berita acara.
vi. Pemohon melengkapi syarat sesuai berita acara.

56
vii. Farbekes memberi no PIRT ke gunasarkes mengirim, mengetik, dan
memeriksa data, memparaf PIRT.
viii. Bidang SDK dan sub bagian umum memeriksa dan memaraf
sertifikat.
ix. Kepala dinas menandatangan sertifikat.
x. Sub bagian umum mengarsip sertifikat dan menyerahkan sertifikat ke
PIRT.

Jenis jenis pangan yang diizinkan mendapat sertifikat P-IRT adalah : hasil
olahan daging kering (abon, dendeng, kerupuk kulit, paru goreng kering),
hasil olahan ikan kering (abon ikan, cumi kering, kerupuk, petis, pempek
pempek, preto ikan), hasil olahan unggas kering (usus goreng, ceker goreng,
telur asin), sayur asin dan sayur kering (acar, asinan/manisan sayur, keripik),
hasil olahan kelapa (kelapa parut kering, nata de coco, geplak), tepung dan
hasil olahannya, minyak dan lemak, selai, jeli dan sejenisnya, gula,
kembang gula, dan madu, kopi, teh, coklat kering atau campurannya,
bumbu, rempah-rempah, minuman rigan dan minuman serbuk, hasil olahan
buah, hasil olahan biji bijian dan umbi, lain lain es (es mambo, es lilin, es
puter).

Jenis produk pangan yang tidak boleh izin sertifikat PIRT atau harus berizin
ke POM MD adalah produk susu, produk daging (kornet), ikan (sarden),
bahan tambahan pangan/BTP (pengawet, pewarna, pemanis, flavour,
pengempal, dll) dan produk pangan yang memerlukan penyimpanan khusus
pada suhu rendah seperti nugget, es krim, dll.

6. UKOT (Usaha Kecil Obat Tradisional)


UKOT (Usaha Kecil Obat Tradisional) adalah usaha yang dapat membuat
semua bentuk obat tradisional kecuali tablet dan effervesent. UKOT harus
mendapat rekomendasi dari kepala balai setempat dan rekomendasi dari
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Permohonan izin UKOT diajukan
oleh pemohon kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi

7. UMOT (Usaha Mikro Obat Tradisional)

57
UMOT adalah usaha yng hanya membuat sediaan obat tradisional dalam
bentuk param, tapel, pilis, cairan obat luar dan rajangan. Permohonan izin
UMOT diajukan pemohon kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.

3.4 Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan

Pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan bagian dari kegiatan


seksi Farbekes dikelola oleh Kepala Seksi dibantu oleh Apoteker dan Tenaga
Teknik Kefarmasian (TTK) serta tenaga lain, yang mempunyai tugas dan
tanggung jawab sebagai berikut:
1. Menyusun format perencanaan obat dan alat kesehatan.
2. Merekap kebutuhan obat puskesmas.
3. Merekap kebutuhan alat kesehatan dan obat gigi puskesmas.
4. Menyusun rencana kebutuhan obat dan alat kesehatan Dinas Kesehatan Kota
Bandung.
5. Memeriksa pengeluaran dan penerimaan obat bulanan.
6. Melaksanakan pengawasan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat
kesehatan, regensia dan vaksin.
7. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian obat dan alat kesehatan, obat
yang mengandung bahan narkotika dan sejenisnya.
8. Memeriksa penerimaan dan pengeluaran gudang distribusi.
9. Memeriksa penerimaan dan pengeluaran gudang penyimpanan.
10. Membuat laporan rekapitulasi stock opname.
11. Membuat laporan penerimaan obat.
12. Membuat laporan penerimaan alat kesehatan.
13. Membuat laporan penerimaan obat program.
14. Membuat laporan penerimaan obat APBN.

3.4.1 Perencanaan

Pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota Bandung dilakukan oleh bagian


gudang farmasi seksi Farbekes Dinas Kesehatan Kota Bandung meliputi
perencanan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pencatatan
dan pelaporan, evaluasi.
Perencanaan adalah untuk menentukan jenis dan jumlah obat yang
dibutuhkan puskesmas agar tepat dan sesuai kebutuhan. Perencanaan dilakukan

58
agar tidak terjadi kekosongan obat dan kelebihan obat. Perencanaan obat di
Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung mengunakan metode konsumsi.
Metode konsumsi adalah metode yang didasarkan atas analisa data
konsumsi obat tahun sebelumnya. Untuk menghitung jumlah obat yang
dibutuhkan berdasarkan metode ini, perlu diperhatikan hal-hal yaitu pengumpulan
data dan pengolahan data, analisa data untuk informasi dan evaluasi, perhitungan
perkiraan kebutuhan obat, dan penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi
dana.
Dalam proses perencanaan Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung
menggunakan metode konsumsi dengan memperhitungkan rata-rata pemakaian
pada periode tertentu, buffer stock dan lead time dikurangi sisa stock akhir. Buffer
stock dihitung 10 -20% persen dari total pemakaian obat dalam satu tahun,
sedangkan lead time merupakan waktu tunggu antara pemesanan obat sampai
diterima obat tersebut. Lead time dihitung dari pemakaian rata-rata dikalikan
dengan waktu tunggu berkisar antara 3-6 bulan, di Gudang Farmasi Dinas
Kesehatan Kota Bandung waktu tunggunya berkisar 3-6 bulan.

3.4.2 Pengadaan

Pengadaan adalah proses untuk penyediaan obat yang dibutuhkan di


Puskesmas pada khususnya dan masyarakat Kota Bandung pada umumnya.
Pengadaan obat dan alkes di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung
dilakukan satu tahun sekali melalui sistem lelang atau tender dan e-catalog.
Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan
dasar (PKD) dibiayai melalui berbagai sumber anggaran. Berbagai sumber
anggaran yang membiayai pengadaan obat dan perbekalan kesehatan tersebut
antara lain:

1. APBN: Dana Alokasi Khusus (DAK), Program kesehatan, Program


pelayanan keluarga miskin.
2. APBD I
3. Dana Alokasi Umum (DAU)/APBD II: Obat Pendamping DAK, Obat
Yandas, Alkes, Aldok.
4. Sumber-sumber lain, seperti BPJS

59
Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi anggaran pengadaan obat
dilakukan metoda Analisa ABC-VEN dengan tujuan sebagai berikut:

1. Penyesuaian rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana tersedia. Obat


yang perlu ditambah atau dikurangi dapat didasarkan atas pengelompokkan
obat menurut VEN.
2. Dalam penyusunan rencana kebutuhan obat yang masuk kelompok V agar
diusahakan tidak terjadi kekosongan obat. Untuk menyusun daftar VEN
perlu ditentukan lebih dahulu kriteria VEN. Kriteria sebaiknya disusun oleh
suatu tim. Dalam menentukan kriteria perlu dipertimbangkan kondisi dan
kebutuhan masing-masing wilayah.
3.4.3 Penerimaan Dan Pemeriksaan

Penerimaan dan pemeriksaan bertujuan agar obat yang diterima sesuai


dengan jumlah dan jenis serta sesuai dengan dokumen yang menyertainya.
Penerimaan dan pemeriksaan perbekalan kesehatan dilakukan oleh Panitia
Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) yang dibentuk oleh Dinas Kesehatan dengan
anggota yang terdiri dari Apoteker, Tenaga Teknik Kefarmasian (TTK), dan
Umum. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan kesesuaian antara surat pesanan
dengan faktur, faktur dengan barang yang diterima. Selain itu dilakukan juga
pemeriksaan secara organoleptik, dan khusus untuk pemeriksaan label dan
kemasan perlu dilakukan pencatatan terhadap tanggal kadaluwarsa, nomor
registrasi, dan nomor batch terhadap obat yang diterima. Setelah obat diterima dan
diperiksa 100% oleh PPHP, maka dari PPHP diserahkan ke Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) lalu ke Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan yang terakhir
diserahkan ke pengelola obat. Setelah perbekalan diterima, kemudian disimpan di
gudang farmasi.

3.4.4 Penyimpanan

Penyimpanan obat di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung


disusun bedasarkan prinsip First Expired First Out (FEFO) dan First In First Out
(FIFO), kelas terapi dan bentuk sediaan. Untuk obat khusus seprti vaksin
disimpan di Seksi P2M (Pencegahan dan Peberantasan Penyakit Menular) Dinas

60
Kesehatan Kota Bandung. Sedangkan untuk penyimpanan narkotik dan
psikotropik disimpan di tempat khusus.
Sarana penyimpanan di Gudang Farmasi Kota Bandung meliputi:

1. Gudang, terdapat di jalan Supratman No. 73 Bandung dan di jalan Bapak


Husein Cihampelas Bandung.
2. Pallet, terdiri dari pallet kayu dan pallet plastik.
3. Rak.
4. Kulkas.
5. Lemari.
6. Alat penunjang keamanan.
7. Alat pemadam kebakaran.
8. Troli.

3.4.5 Distribusi

Kegiatan distribusi obat di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung


terdiri dari :
1. Kegiatan distribusi rutin yang mencakup distribusi untuk kebutuhan
pelayanan umum di unit pelayanan kesehatan.
2. Kegiatan distribusi khusus yang mencakup distribusi obat untuk:
a. Program kesehatan
b. Kejadian luar biasa (KLB)
c. Bencana (alam dan sosial)

Sistem distribusi rutin di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung


dibagi menjadi dua yaitu distribusi aktif dan distribusi pasif, distribusi aktif yaitu
Puskesmas UPT memberikan Laporan Pemakaian Obat dan Lembar Permintaan
Obat (LPLPO) kepada gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung,
Selanjutnya petugas dari gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung akan
mendistribusikan obat dan perbekalan kesehatan kepada puskesmas UPT.
Distribusi pasif yaitu Puskesmas UPT memberikan Laporan Pemakaian Obat dan
Lembar Permintaan Obat (LPLPO) kepada gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota
Bandung, Selanjutnya obat dan perbekalan kesehatan diambil sendiri oleh
puskesmas UPT di gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung.
Distribusi di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung dilakukan dengan
cara sebagai berikut:

61
1. Gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung melaksanakan distribusi
obat dan perbekalan kesehatan ke puskesmas unit pelayanan teknis (UPT)
sesuai kebutuhan masing-masing unit pelayanan kesehatan.
2. Puskesmas unit pelaksana teknis (UPT) mendistribusikan kebutuhan obat
untuk puskesmas jejaring, puskesmas keliling dan unit-unit pelayanan
kesehatan lainnya yang ada di wilayah binaannya.

3.4.6 Pencatatan dan Pelaporan

Kegiatan pencatatan dan pelaporan di Gudang Farmasi Dinas Kota Bandung


meliputi:
1. Pencatatan dan pengelolaan data untuk mendukung perencanaan pengadaan
obat melalui kegiatan perhitungan tingkat kecukupan obat per UPK.
2. Kegiatan ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa rencana disrtibusi
akan dapat didukung sepenuhnya oleh sisa stok obat di Gudang Farmasi
3. Perhitungan dilakukan langsung pada Kartu Rencana Distribusi Obat.
4. Tingkat kecukupan dihitung dari sisa stok obat di Gudang Farmasi di bagi
dengan Pemakain rata-rata obat di Unit Pelayanan Kesehatan.

Pelaporan yang disusun oleh Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota


Bandung meliputi:

1. Laporan dinamika logistik dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota


ke walikota/bupati dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi setiap 3 bulan sekali dan dari provinsi kementrian Kesehatan
melalui Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes 3 bulan sekali.
2. Laporan tahunan/profil pengelolaan obat kab/kota dikirim kepada Dinkes
Provinsi dan setelah dikompilasi oleh Dinkes Provinsi dikirimkan kepada
kemenkes melalui Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes.
3. Laporan semester I dan II meliputi penerimaan, pengeluaran dan sisa stok
4. Laporan ketersediaan obat puskesmas dan gudang farmasi Dinas Kesehatan
Kota Bandung
5. Laporan sisa stok per 31 Desember puskesmas dan gudang farmasi Dinas
Kesehatan Kota Bandung
6. Laporan penggunaan obat generik
7. Laporan Penggunaan Obat Rasional (POR)
8. Laporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
9. Laporan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lain (NAPZA)

62
3.4.7 Supervisi dan Evaluasi

Supervisi dan evaluasi pengelolaan dan penggunaan obat di Gudang


Farmasi Dinas Kota Bandung telah dilakukan terutama sarana penyimpanan
gudang farmasi, mulai dari kapasitas gudang dan fasilitas penyimpanan (Intern).
Sedangkan supervisi yang dilakukan ke unit lebih rendah (puskesmas) meliputi
penggunaan obat generik, penggunaan obat yang rasional dan bimbingan teknis di
seluruh Puskesmas Kota Bandung.

3.5 Regulasi Kefarmasian


1. Undang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Undang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan.
3. Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 36 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
5. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 4 tahun 2015 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 75 tahun 2014 tentang
Pusat Kesehatan Masyarakat.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
163/Menkes/SK/III/2006 tentang Pedoman Umum Pengadaan Obat Program
Kesehatan.
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 3 tahun 2015 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
HK.02.02/Menkes/137/2016 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri
Kesehatan No. HK.02.02/Menkes/523/2015 tentang Formularium Nasional.
10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 9 tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik.
11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

63
12. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 34 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah sakit.
13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 34 tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di PBF.
14. Undang-Undang Republik Indonesia No 18 tahun 2012 tentang pangan.
15. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Peubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor. 922/Menkes/Per/X/1993 Tentang Ketentuan dan Cara
Pemberian Izin Apotek.
16. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1331/Menkes/SK/X/2002. Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan RI Nomor.167/KAB/B.VIII/1972. Tentang Pedagang Eceran
Obat.
17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor.889/Menkes/Per/V/2011. Tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin
Kerja, Tentang Kefarmasian.
18. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 Tahun 2012,
tentang Industri Obat Tradisional dan Obat Tradisional
19. Peraturan Menteri Kesehahatan Republik Indonesia Nomor 007 tahun 2012,
tentang Registrasi Obat Tradisional.
20. Peratuaran Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan republik Indonesia
No HK. 03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian
sertifikat produksi pangan industry rumah tangga.
21. Undang-undang Republik Indonesia No. 419 tahun 1949 tentang Obat
Keras.
22. Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropik.
23. Undang-undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
24. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998,
tentang Pengamanan Sediaan Farmasi.
25. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 168 Tahun 2005,
tentang Prekursor Farmasi.

64
3.6 Puskesmas Ibrahim Adjie
3.6.1 Profil Puskesmas Ibrahim Adjie

UPT Puskesmas Ibrahim Adjie berlokasi di Jl. Ibrahim Adjie No. 88,
Kecamatan Batununggal wilayah Karees., Telepon (022) 7208355. Wilayah kerja
UPT Puskesmas Ibrahim Adjie terdiri dari 4 kelurahan dengan batas wilayah :

1. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Cibeunying Kidul


2. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Bandung Kidul
3. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Kiaracondong
4. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Lengkong.

3.6.2 Visi dan Misi UPT Puskesmas Ibrahim Adjie

Visi dari UPT Puskesmas Ibrahim Adjie adalah “Terciptanya UPT


Puskesmas Ibrahim Adjie Kecamatan Batununggal sebagai garda terdepan
masyarakat dalam pembangunan kesehatan masyarakat perkotaan yang bermutu
dan terjangkau”.

Misi dari UPT Puskesmas Ibrahim Adjie antara lain:

1. Menggalang persamaan persepsi dan komitmen internal anggota organisasi


secara berkesinambungan.
2. Meningkatkan mutu dan aksetabilitas pelayanan kesehatan dasar dan
persalinan.
3. Menjalin kerja sama denan lintas sektor terkait dan kemitraan dengan swasta
dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
4. Pemberdayaan potensi yang ada baik secara internal maupun masyarakat di
sekitarnya.
3.6.3 Struktur Organisasi UPT Puskesmas Ibrahim Adjie

Struktur organisasi di UPT Puskesmas Ibrahim Adjie Kota Bandung terdiri


atas:

1. Unsur Pimpinan : Kepala UPT


2. Unsur Pembantu Pimpinan: Kepala Sub Bagian TU
3. Pelaksana Tata Usaha: Kepagawaian, Umum, Bendahara

65
4. Kelompok jabatan fungsional: Dokter, Bidan, Perawat, Fungsional Umum,
Farmasi, Kesling, Gizi, Laboratorium.
5. Penatalaksanaan di bagi dalam: Promkes, Kesling, KIA/KB, Gizi, P2M,
Pengobatan, Bersalin, Gigi, Perkesmas, UKS, Lansia, Somea, Farmasi,
Jiwa/Mata, Laboratorium, TB/HIV-HR.

3.6.4 Tugas dan Fungsi UPT Puskesmas Ibrahim Adjie

Dalam menjalankan fungsinya, Puskesmas tidak terlepas dari manajemen


puskesmas, salah satunya adalah mempunyai kewajiban untuk mempertanggung
jawabkan dan melaporkan kegiatan yang dilaksanakan dalam kurun waktu satu
tahun. Berdasarkan hal tersebut, UPT Puskesmas Ibrahim Adjie menyusun
Laporan Tahun 2014 sebagai wujud pertanggungjawaban (akuntabilitas) kinerja
UPT Puskesmas selama 1 tahun.

Petugas Puskesmas dalam memberikan pelayanan senantiasa berpegang


teguh pada Tugas Pokok, Fungsi dan Kewenangannya sebagaimana diatur dalam
Perundang-undangan maupun Peraturan Pemerintah.

UPT Puskesmas Ibrahim Adjie mempunyai jejaring yaitu Puskesmas Ahmad Yani
dan Puskesmas Gumuruh sebagai Puskesmas Jejaring yang fungsinya sebagai
berikut :

1. Membantu penyuluhan tentang program kesehatan Puskesmas kepada


masyarakat.
2. Memberikan pelayanan pengobatan yang dibutuhkan terutama daerah-
daerah yang jauh dari jangkauan Puskesmas.
3. Membuat laporan kebutuhan obat dan pemakaian obat.
UPT Puskesmas Ibrahim Adjie memiliki kebijakan mutu yaitu “UPT
Puskesmas Ibrahim Adjie mengutamakan pelayanan, pemberdayaan kesehatan
masyarakat dan kepuasan pelanggan serta selalu meningkatkan kualitas pelayanan
dan profesionalisme sumber daya manusia untuk mewujudkan masyarakat sehat
yang mandiri.

66
3.6.5 Fasilitas di Puskesmas Ibrahim Adjie

Secara umum, fasilitas yang dimiliki UPT Puskesmas Ibrahim Adjie adalah
sebagai berikut:

1. Area pendaftaran pasien


2. Ruang pengobatan umum
3. Ruang pengobatan gigi
4. Ruang pemeriksaaan bayi (MTBS)
5. Ruang pengobatan TB
6. Ruang pengobatan KIA/KB
7. Ruang pemeriksaan laboratorium
8. Ruang konseling IMS
9. Konsultasi gizi
10. Ruang pelayanan obat (depo obat dan gudang obat)
11. Ruang tunggu pasien

Struktur Organisasi Staf di UPT Puskesmas Ibrahim Adjie

1. Kepala UPT : 1 orang


2. Kepala Sub Bagian Tata Usaha : 1 orang
3. dr. Umum : 3 orang (Fungsional)
4. dr. Gigi : 2 orang (Fungsional dan PPT)
5. Bidan : 14 orang (5 Bidan PPT)
6. Perawat : 5 orang (1 Perawat Gigi)
7. Apoteker : 1 orang
8. Apoteker pendamping : 1 orang
9. Nutrition : 1 orang
10. Analis : 1 orang
11. Pelaksana TU : 6 orang

3.6.6 Pengelolaan Obat di Puskesmas Ibrahim Adjie

UPT Puskesmas Ibrahim Adjie mempunyai tugas pokok melaksanakan


pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang meliputi.
1. Perencanaan dan pengadaan
Perencanaan dan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan di Puskesmas
Ibrahim Adjie disusun oleh bagian Farmasi, dengan menghitung
berdasarkan metode konsumsi, yaitu didasarkan atas analisa data konsumsi
obat tahun sebelumnya. Untuk menghitung jumlah obat yang dibutuhkan
bagian Farmasi, dilakukan hal-hal sebagai berikut:

67
a. Analisa pemakaian obat tahun lalu berdasarkan data penerimaan dan
pengeluaran bulanan, LPLPO, jumlah kunjungan pasien, data penyakit
terbanyak dan stok akhir tahun.
b. Menghitung rata-rata pemakaian setiap jenis obat.
c. Menyususn perkiraan kebutuhan obat disetiap awal pelayanan kesehatan
menggunakan metode konsumsi (12 x pemakaian rata-rata perbulan) +
stok tunggu + stok pengaman.
d. Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana.
e. Formulir perencanaan yang telah disusun kemudian disahkan oleh kepala
puskesmas dilanjutkan dengan pengajuan ke Dinas Kesehatan Kota
melalu seksi farmasi dan perbekalan kesehatan.
2. Penerimaan dan Penyimpanan Obat dan Alat kesehatan
Setiap pertengahan bulan obat didatangkan dari Dinas Kesehatan Kota
Bandung ke puskesmas sesuai dengan permintaan LPLPO. Setelah
perbekalan farmasi diterima dari dinas kesehatan kota, perbekalan farmasi
diperiksa oleh petugas puskesmas. Pemeriksaan yang dilakukan adalah
kesesuaian LPLPO dengan fisik barang yang diterima, jumlah dan jenis
barang, tanggal dan kadaluwarsa barang serta fisik kemasan.

Cara penyimpanan obat di puskesmas disimpan berdasarkan bentuk sediaan


obat yang disusun secara alfabetis dengan metode First Expired First Out.

3. Distribusi Obat dan Alat Kesehatan


Pendistribusian obat di Puskesmas Ibrahim Adjie dilakukan dengan cara :

a. Obat di distribusikan dari gudang menuju ruang obat.


b. Obat dan Alkes didistribusikan ke jejaring
c. Obat dan Alkes didistribusikan dari gudang menuju Ruang Bersalin
d. Obat dan Alkes didistribusikan dari gudang ke Balai Pengobatan Umum
e. Obat dan Alkes di distribusikan dari gudang ke KIA
f. Obat dan Alkes di distribusikan dari gudang ke Balai Pengobatan Gigi

Pendistribusian obat yang berasal dari Dinas Kesehatan Kota Bandung,


pihak Puskesmas Ibrahim Adjie akan langsung mengantarkan obat dan alat
kesehatan pada tiap masing-masing jejaring sesuai dengan LPLPO, yaitu
Puskesmas Ahmad Yani dan Puskesmas Gumuruh.

4. Pencatatan dan Pelaporan

68
Pencatatan dan pelaporan data obat merupakan rangkaian kegiatan dalam
rangka penatalaksanaan obat-obatan secara tertib, baik obat-obatan yang
diterima atau disimpan, maupun yang didistribusikan ke pasien.

Adapun kegiatan yang dicatat dan dilaporkan oleh UPT Puskesmas Ibrahim
Adjie diantaranya, Laporan pemakaian obat keluar setiap hari dan Laporan
tahunan rencana kebutuhan obat.

3.6.7 Pelayanan Resep di Puskesmas Ibrahim Adjie

Alur pelayanan obat di UPT Ibrahim Adjie yaitu pasien melakukan


pendaftaran di loket pendaftaran selanjutnya pemeriksaan (BP Umum, BP Gigi,
Poli KIA), kemudian resep diproses dengan sistem komputerisasi untuk kemudian
dikerjakan oleh bagian farmasi.

Dilakukan skrining resep untuk melihat kelengkapan resep yang meliputi :


nama pasien, umur pasien, alamat pasien, diagnosa dokter, tanggal penulisan
resep, nama dokter penulis resep, nama obat, dosis obat, cara pakai dan jumlah
obat.

Jika dalam skrining resep dinyatakan telah memenuhi syarat, maka petugas
farmasi di puskesmas membuat etiket yang berisi tanggal, nama pasien, dosis
obat, cara penggunaan, dan bentuk sediaan, jika diperlukan ditulis indikasi obat
tersebut sesuai dengan permintaan pasien.

Langkah selanjutnya petugas lain mengambil obat sesuai dengan yang


terdapat dalam resep untuk dikemas. Pada saat pengemasan, obat dimasukkan
dalam wadah secara terpisah untuk masing-masing obat, untuk menjaga mutu obat
dan penggunaan yang salah.

Pengawasan terakhir dilakukan sebelum obat diserahkan kepada pasien.


Proses penyerahan resep dilakukan dengan cara memanggil nama pasien disertai
dengan melihat kertas resep, hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan
pemberian resep kepada pasien yang tidak tepat (salah orang).

69
Saat penyerahan obat ke pasien diberikan pelayanan informasi obat berupa
penjelaskan khasiat obat serta aturan pakai dan juga berupa konseling khusus
untuk pasien yang menderita beberapa penyakit.

3.6.8 Pelayanan Informasi Obat

Pelayanan informasi obat (PIO) adalah kegiatan penyediaan dan pemberian


informasi, rekomendasi obat yang independent, akurat, komprehensif, terkini oleh
apoteker kepada pasien, tenaga kesehatan, masyarakat maupun pihak yang
memerlukan. Pelayanan informasi obat harus benar, jelas, mudah dimengerti,
akurat, etis, dan sangat diperlukan dalam penggunaan obat yang rasional oleh
pasien. Tujuan dari pelayanan informasi obat adalah menyediakan dan
memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan dan pihak lain untuk
meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian. Sasaran informasi obat:

1. Pasien dan atau keluarga pasien.


2. Tenaga kesehatan: dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan, asisten
apoteker dan lain-lain.
3. Pihak lain: manajemen, tim/kepanitiaan klinik, dan lain-lain.

Sarana dan prasarana pelayanan informasi disesuaikan dengan kondisi


sarana pelayanan kesehatan. Jenis dan jumlah perlengkapan bervariasi, tergantung
ketersediaan dan perkiraan kebutuhan dalam pelaksanaan pelayanan informasi
obat.

3.6.9 Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan


pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan, sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling,
apoteker menggunakan sistem three prime questions. Dan apoteker harus

70
melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami obat
yang digunakan.

Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberikan konseling adalah :

1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan ginjal,
ibu hamil dan menyusui)
2. Pasien dengan terapi jangka panjang atau penyakit kronis.
3. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus.
4. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit.
5. Pasien dengan polifarmasi.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.

Tahap kegiatan konseling :

1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien


2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui thrree prime
questions.
3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien
untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat.
5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien.

3.6.10 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang


merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan
pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi
fungsi fisiologis.

Kegiatan :

1. Mengidentifikasi obat dengan pasien yang mempunyai resiko tinggi


mengalami efek samping obat.
2. Mengisi formulir monitoring efek samping obat (MESO).

71
3. Melaporkan ke pusat monitoring efek samping obat nasional.

3.6.11 Evaluasi Penggunaan Obat

Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) adalah suatu proses jaminan mutu yang
terstruktur, dilaksanakan terus- menerus, ditujukan untuk memastikan bahwa obat-
obatan digunakan dengan tepat, aman, dan efektif.

Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, penggunaan obat yang ekonomis


harus juga diberikan prioritas tinggi dan karena itu, menjadi suatu komponen dari
definisi ini, definisi EPO diatas difokuskan pada penggunaan obat secara
kualitatif.

Sasaran EPO secara umum adalah sebagai berikut :

1. Mengadakan Pengkajian penggunaan obat yang efisien dan terus menerus


2. Meningkatkan pengembangan standar penggunaan terapi obat
3. Mengidentifikasi bidang yang perlu untuk materi edukasi berkelanjutan
4. Meningkatkan kemitraan antarpribadi professional pelayanan kesehatan
5. Menyempurnakan pelayanan pasien yang diberikan
6. Mengurangi resiko tuntutan hukum pada rumah sakit
7. Mengurangi biaya perawatan pasien sebagai akibat dosis akurat, efek samping
yang lebih sedikit, dan waktu hospitalisasi yang lebih singkat.

Jaminan mutu mendorong suatu perspektif solusi masalah untuk


meningkatkan pelayanan pasien. Untuk solusi permasalahan yang dihadapi
sangatlah penting, unsur-unsur dasar berikut yang harus diperhatikan

1. Kriteria / standar penggunaan obat, dalam penggunaan obat harus yang dapat
diukur (standar) yang menguraikan penggunan obat yang tepat.
2. Mengidentifikasi masalah penting dan yang mungkin, memantau dan
menganalisis penggunaan obat secara terus menerus, direncanakan secara
sistematik untuk mengidentifikasi masalah nyata atau masalah yang
mungkin. Secara ideal, kegiatan ini sebaiknya diadakan secara prospektif
3. Menetapkan prioritas untuk menginvestigasi dan solusi masalah.
4. Mengkaji secara objektif, penyebab, dan lingkup masalah dengan
menggunakan kriteria yang absah secara klinik
5. Solusi masalah.

72
6. Menyanangkan dan menerapkan tindakan untuk memperbaiki atau
meniadakan masalah.
7. Memantau solusi masalah dan keefektifan.
8. Mendokumentasi serta melaporkan secara terjadwal temuan, rekomendasi,
tindakan yang diambil, dan hasilnya. Tindakan yang diambil dapat berupa
pengaturan atau edukasi yang cocok dengan keadaan dan kebijakan
Puskesmas.

Antara Apoteker dan Dokter diperlukan kerjasama untuk memastikan


penggunaan obat yang optimal. Tanggung jawab melaksanakan proses EPO secara
khas didelegasikan pada suatu komite dari staf medik.

UPT Puskesmas Ibrahim Adjie melaksanakan program Evaluasi


Penggunaan Obat (EPO), penyakit yang dimonitoring evaluasi penggunaan
obatnya terdiri dari tiga diagnosa, yaitu: Diare non spesifik AOG, Myalgia, ISPA
non Pneumonia.

3.6.12 Home Care

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan


Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.

Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker,


meliputi :

1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan


pengobatan.
2. Identifikasi kepatuhan pasien.
3. Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya
cara pemakaian Obat asma, penyimpanan insulin.
4. Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum.
5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan Obat
berdasarkan catatan pengobatan pasien.
Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah.

73
BAB V
PEMBAHASAN

Dinas Kesehatan Kota Bandung merupakan dinas kesehatan yang memiliki


tanggung jawab pada aspek kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah kepada
masyarakat. Dinas Kesehatan Kota Bandung dipimpin oleh seorang Kepala Dinas
yang membawahi 4 bidang yaitu Bidang Bina Pelayanan Kesehatan, Bidang
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Bidang Sumber Daya
Kesehatan, dan Bidang Program Kesehatan. Bidang Sumber Daya Kesehatan
membawahi 3 seksi yaitu Seksi Pendayagunaan Tenaga dan sarana Kesehatan,
Seksi Promosi Kesehatan, dan Seksi Farmasi dan Perbekalan Kesehatan. Seksi
Farmasi dan Perbekalan Kesehatan terbagi atas 2 bagian yaitu pengawasan dan
pengelolaan obat. Bagian pengawasan dan pembinaan Seksi Farmasi dan
Perbekalan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bandung memiliki fungsi yaitu
mengawasi dan membina sarana-sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas,
apotek, klinik, pedagang eceran obat, Instalasi Farmasi Rumah Sakit kelas A,B, C
dan D, Instalasi Farmasi Rumah Sakit Ibu dan Anak, optik serta Pangan Industri
Rumah Tangga. Kegiatan yang dilakukan pada bagian pengawasan diantaranya
melakukan supervisi dalam rangka perizinan/rekomendasi yang dikeluarkan oleh
Dinas Kesehatan Kota Bandung terhadap sarana kesehatan seperti apotek, klinik,
PEO, PIRT, UKOT, UMOT, melakukan sampling jajanan anak sekolah,
penyuluhan PIRT, dan sosialisasi jajanan anak sekolah kepada para guru. Selain
itu, bagian pengawasan dan pembinaan juga bertugas dalam pengelolaan laporan
narkotika dan psikotropika. Tujuan dari pengelolaan laporan narkotika dan
psikotropika dari seluruh apotek, rumah sakit, klinik dan puskesmas adalah untuk
memantau penggunaan obat-obatan golongan narkotika dan psikotropika sehingga
dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan obat-obatan.

74
Pengelolaan obat di Dinas Kesehatan Kota Bandung dilakukan oleh bagian
gudang farmasi seksi Farbekes meliputi perencanan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pencatatan, pelaporan, dan evaluasi.

Perencanaan di Dinas Kesehatan Kota Bandung yaitu dengan melakukaan


penentuan pendekatan perhitungan metode konsumsi yang didasarkan atas analisa
data konsumsi obat tahun sebelumnya.

Acuan dalam pemilihan obat harus mengacu kedalam Fornas/Doen.


Sedangkan kriteria pemilihan obat harus memilih obat yang khasiatnya tepat
dengan efek samping rendah, biaya murah dan obatnya tunggal.

Alur perencanaan obat :


Untuk perencanaan obat satu tahun dibuat RKO (Rencana Kebutuhan Obat),
kemudian RKO disebarkan ke 30 UPT kemudian dari UPT disebarkan ke
puskesmas jejaringnya. Dinas Kesehatan Kota Bandung mempunyai 74 puskemas
yaitu 30 UPT dan 44 puskesmas jejaring. Setelah itu dibuat Tim perencanaan obat
terpadu Dinkes yang anggotanya terdiri dari kepala bidang SDK sebagai ketua,
kepala seksi farbekes sebagai sekertaris, anggotanya terdiri dari pengelola obat di
gudang farmasi, pengelola obat di UPT Puskesmas, bagian program di Dinas
Kesehatan dan kepala UPT puskesmas. Dari hasil kesepakatan Tim Perencanaan
obat terpadu Dinas Kesehatan Kota Bandung diperoleh jenis item obat yang akan
dipesan, selanjutnya diolah lagi oleh petugas gudang berdasarkan sumber
anggaran kemudian diserahkan ke PPK (Pejabat Pembuat Komitmen).

Sumber anggaran berasal dari APBN bentuknya Dana Alokasi Khusus


(DAK), APBD I, APBD II, serta dana-dana lain. Untuk dana dari APBN berupa
obat DAK yang dibeli harus ada di katalog elektronik (e-catalog), APBD I untuk
obat penyakit menular seperti TB dan PMS, APBD II bentuknya obat pelayanan
dasar bisa digunakan untuk obat yang tidak termasuk e-catalog, dan dana dana
lain yaitu misalnya dari BPJS berupa dana kapitasi yang diberikan ke puskesmas.

Pengadaan kebutuhan obat di Dinas Kesehatan Kota Bandung dilakukan


dengan menggunakan sistem pengadaan e-catalogue dengan maksud untuk
menjamin ketersediaan dan pemerataan obat yang aman, bermutu, dan berkhasiat

75
untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang efektif, efisien serta
hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Untuk obat-obat yang dibutuhkan tetapi
tidak tercantum dalam daftar e-catalogue, maka dilakukan sistem tender atau
lelang.

Alur pengadaan di Dinas Kesehatan Kota Bandung, untuk barang yang ada di
e-catalog: RKO yang telah dibuat diserahkan ke PPK kemudian PPK
mengelompokan obat berdasarkan pemenang tender dan diserahkan ke pejabat
pengadaan untuk menanyakan kesanggupan menyediakan barang dengan
pemenang tender, bila menyanggupi kemudian diserahkan kembali ke PPK untuk
dibuat SP dengan pemenang tender/ PBF, kemudian barang datang.

Untuk barang yang tidak ada di e-catalog dilakukan sistem lelang atau tender,
untuk dana diatas 200 juta PPK harus membuat HPS (Harga Perkiraan Sendiri),
kemudian diserahkan ke panitia pengadaan dan panitia pengadaan melakukan
sistem lelang dengan menggunakan e-purchasing sampai diperoleh pemenang
tender. Panitia pengadaan mengkonfirmasi kesanggupan menyediakan barang
kepada pemenang. Bila menyanggupi Kemudian PPK membuat kontrak/SP
dengan pemenang tender. Sedangkan untuk tender dibawah 200 juta dilakukan
penunjukan langsung.

Penerimaan dan pemeriksaan bertujuan agar obat yang diterima sesuai dengan
jumlah dan jenis serta sesuai dengan dokumen yang menyertainya. Penerimaan
dan pemeriksaan perbekalan kesehatan dilakukan oleh panitia penerima hasil
pekerjaan (PPHP) yang dibentuk oleh Dinas Kesehatan dengan anggota yang
terdiri dari Apoteker dan Tenaga Teknik Kefarmasian (TTK) dan umum.

Alur penerimaan obat yang dilakukan ialah obat yang dipesan dari pemenang
tender sesuai dengan e-catalog diberitahukan ke PPK, kemudian PPK
memberitahukan PPHP. Disini PPHP mengecek dan melihat dokumen yang
diterima kemudian dilakukan pemeriksaan secara organoleptik, dan khusus untuk
pemeriksaan label dan kemasan perlu dilakukan pencatatan terhadap tanggal
kadaluwarsa, nomor registrasi, dan nomor batch terhadap obat yang diterima.
Kemudian setelah obat diterima 100%, PPHP menyerahkan ke PPK. PPK

76
menyerahkan ke KPA (Kuasa Pengguna Anggaran), KPA menyerahkan ke petugas
pengelola obat untuk disimpan di gudang farmasi.

Penyimpanan obat di Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung


disusun bedasarkan prinsip First Expired First Out (FEFO), First In First Out
(FIFO), kelas terapi dan bentuk sediaan. Untuk obat khusus seperti vaksin
disimpan di Seksi P2M (Pencegahan dan Peberantasan Penyakit Menular) Dinas
Kesehatan Kota Bandung. Sedangkan untuk penyimpanan narkotik dan
psikotropik disimpan di tempat khusus. Gudang Farmasi Dinas Kesehatan Kota
Bandung terdapat di dua lokasi berbeda yaitu di Jalan Supratman no. 73 Bandung
dan di Jalan Bapak Husen. Namun sarana penyimpanan di Gudang Farmasi Dinas
Kesehatan Kota Bandung di Jalan Supratman no. 73 Bandung, sedang dilakukan
renovasi. Sedangkan gudang farmasi di Jalan Bapak Husen terdapat beberapa hal
yang belum maksimal seperti gudang, gudang mempunyai sistem dua pintu untuk
alur penerimaan obat dan pengeluaran obat, namun hanya satu pintu yang
dioperasikan. Selanjutnya untuk penyimpanan obat yang tidak stabil terhadap
suhu harus disimpan sesuai ketentuan yang tertera pada kemasan obat dan sesuai
dengan CDOB.

Penyimpanan yang belum maksimal tersebut disebabkan karena saat ini


gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung di Jalan Supratman sedang dalam
tahap renovasi.

Kegiatan distribusi obat di gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung


terdiri dari kegiatan distribusi rutin yang mencakup distribusi untuk kebutuhan
pelayanan umum di unit pelayanan kesehatan. Sistem distribusi rutin terdiri dari
distribusi aktif yaitu kebutuhan tiap puskesmas dikirim oleh Dinas Kesehatan
Kota, dan distribusi pasif, yaitu kebutuhan tiap puskesmas diambil oleh
puskesmas yang bersangkutan. Distribusi aktif dilakukan diatas jarak 5 km
dengan anggaran perjalanan yang telah ditetapkan, sedangkan distribusi pasif
dilakukan dibawah jarak 5 km dan tidak mendapatkan anggaran perjalanan.
Sistem alur distribusi di dinas kesehatan terbagi menjadi 2 alur, yaitu alur
distribusi rutin dan alur distribusi khusus. Untuk alur distribusi rutin, puskesmas
UPT menyerahkan LPLPO ke Dinas Kesehatan Kota kemudian diterima dan

77
dianalisa berupa pemakaian, stok optimum dan sisa stok untuk menentukan
jumlah pemberian obat dengan mempertimbangkan sisa stok gudang farmasi,
setelah itu dilakukan packing dan didistribusikan ke UPT dengan membawa
LPLPO, berita acara serah terima, kemudian dibuat rekapan pemberian ke
puskesmas dan dimasukan ke kartu stok harian, sedangkan untuk perbulan ditulis
di kartu persediaan. Kegiatan distribusi khusus mencakup distribusi obat untuk
program kesehatan, kejadian luar biasa (KLB), dan bencana (alam dan sosial).

Alur Distribusi Bantuan yaitu pemohon yang melakukan permintaan bantuan


harus mengirimkan surat ke kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung kemudian
surat didisposisikan ke kepala bidang dan kepala seksi. Kemudian Kepala seksi
menghubungi petugas pengelola obat, petugas pengelola obat akan melihat sisa
stok, jika ketersediaan obat cukup maka permohonan obat akan dipenuhi.

Pencatatan dan pelaporan dilakukan untuk menghindari terjadi penyimpangan


atau kontrol dalam pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan, terutama dalam
penerimaan dan pengeluaran obat dan perbekalan kesehatan. Pelaporan yang
dibuat merupakan rangkaian kegiatan yang telah dilakukan di gudang farmasi
Dinas Kesehatan Kota Bandung.

Supervisi dan evaluasi perlu dilakukan baik didalam gudang farmasi Dinas
Kesehatan Kota Bandung, maupun ke unit pelayanan kesehatan. Supervisi dan
evaluasi contohnya pengunaan obat yang rasional, indeks pemakaian obat dan
pelayanan kefarmasian. Supervisi perlu dilakukan untuk menjaga agar pekerjaan
pengelolaan obat yang dilakukan sesuai dengan pedoman yang berlaku. Supervisi
dan evaluasi juga merupakan cara untuk mengetahui dan memperbaiki
kekurangan yang ada.

Pemusnahan obat yang dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Bandung adalah


obat yang kadaluarsa atau rusak yang berasal dari gudang farmasi Dinas
Kesehatan Kota Bandung dan dari puskesmas-puskesmas yang berada wilayah di

78
kota bandung. Setelah terkumpul pemusnahaan dilakukan oleh pihak ketiga
dengan cara penunjukan langsung.

Obat merupakan komponen yang esensial dari suatu pelayanan kesehatan.


Oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang baik dan benar serta efektif dan
efisien secara berkesinambungan. Pengelolaan obat publik dan perbekalan
kesehatan meliputi kegiatan perencanaan dan permintaan, penerimaan,
penyimpanan dan distribusi, pencatatan dan pelaporan, serta supervisi dan
evaluasi pengelolaan obat.

Obat dan perbekalan kesehatan hendaknya dikelola secara optimal untuk


menjamin tercapainya tepat jumlah, tepat jenis, tepat penyimpanan, tepat waktu
pendistribusian, tepat penggunaan dan tepat mutunya di tiap unit pelayanan
kesehatan.

Adapun proses pengelolaan obat yang ada di UPT Puskesmas Ibrahim Adjie
meliputi : a) Perencanaan dan Permintaan Obat, b) Penerimaan, Penyimpanan dan
Distribusi Obat, c) Pencatatan dan Pelaporan Obat yang dilakukan oleh Apoteker.

Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan seleksi obat dan perbekalan


kesehatan untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan
kebutuhan obat di Puskesmas. Perencanaan kebutuhan obat untuk Puskesmas
Ibrahim Adjie setiap periode dilaksanakan oleh Apoteker Pengelola Obat dan
Perbekalan Kesehatan di Puskesmas. Dalam proses perencanaan kebutuhan obat
per tahun, Puskesmas diminta menyediakan data pemakaian obat dengan
mengunakan LPLPO. Selanjutnya LPLPO akan diserahkan ke Dinas Kesehatan
Kota, kemudian Dinas Kesehatan Kota yang akan melakukan kompilasi dan
analisa terhadap kebutuhan obat Puskesmas diwilayah kerjanya. Ketepatan dan
kebenaran data di Puskesmas akan berpengaruh terhadap ketersediaan obat dan
perbekalan kesehatan secara keseluruhan di Kab/Kota.

Sumber penyediaan obat di Puskemas Ibrahim Adjie berasal dari Dinas


Kesehatan Kota Bandung. Obat yang diperkenankan untuk disediakan di

79
Puskesmas adalah obat esensial yang jenis dan itemnya telah ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan dengan merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional. Selain
itu, sesuai dengan kesepakatan global maupun Keputusan Menteri Kesehatan No.
085 tahun 1989 tentang Kewajiban Menuliskan Resep dan atau Menggunakan
Obat Generik di Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah dan Permenkes RI
No.HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajban Menggunakan Obat
Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, maka hanya obat generik
saja yang diperkenankan tersedia di Puskesmas.

Permintaan obat untuk mendukung pelayanan obat di masing-masing


Puskesmas diajukan oleh Kepala Puskesmas Ibrahim Adjie kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kota Bandung dengan menggunakan format LPLPO, sedangkan
permintaan dari sub unit ke kepala Puskesmas dilakukan secara periodik
menggunakan LPLPO sub unit.

Penerimaan obat harus dilaksanakan oleh petugas pengelola obat atau


petugas lain yang diberi kuasa oleh Kepala Puskesmas, bertujuan agar obat yang
diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh
Puskesmas.

Setiap penyerahan obat oleh Dinas Kesehatan Kota Bandung kepada


Puskesmas Ibrahim Adjie dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Kepala
Dinas Kesehatan Kota atau pejabat yang diberi wewenang untuk itu.

Petugas penerima obat bertanggung jawab atas pemeriksaan fisik,


penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan penggunaan obat berikut
kelengkapan catatan yang menyertainya.
Pelaksanaan fungsi pengendalian distribusi obat kepada Puskesmas
Pembantu dan sub unit pelayanan kesehatan lainnya merupakan tanggung jawab
Kepala Puskesmas.

80
Petugas penerima obat wajib melakukan pengecekan terhadap obat yang
diserahterimakan, meliputi kemasan, jenis dan jumlah obat, bentuk sediaan obat
sesuai dengan isi dokumen (LPLPO), dan ditanda tangani oleh petugas penerima
serta diketahui oleh Kepala Puskesmas.

Petugas penerima dapat menolak apabila terdapat kekurangan dan kerusakan


obat. Setiap penambahan obat, dicatat dan dibukukan pada buku penerimaan obat
dan kartu stok.

Gudang penyimpanan obat di Puskesmas Ibrahim Adjie terdiri dari 2


ruangan, salah satunya terdapat diruangan tersendiri terpisah dari ruang
pelayanan. Obat disusun pada rak berdasarkan sistem alfabetis untuk setiap bentuk
sediaan, untuk sediaan cair dipisah dari obat sediaan padat dan juga untuk lisol
dan desinfektan diletakan terpisah dari obat lain. Penyusunan dilakukan dengan
sistem First Expired First Out (FEFO) untuk masing-masing obat, artinya obat
yang lebih awal kadaluwarsa harus dikeluarkan lebih dahulu dari obat yang
kadaluwarsa kemudian, dan First In First Out (FIFO) untuk masing-masing obat,
artinya obat yang datang pertama kali harus dikeluarkan lebih dahulu dari obat
yang datang kemudian. Hal ini sangat penting karena obat yang sudah terlalu lama
biasanya kekuatannya atau potensinya berkurang. Beberapa obat seperti antibiotik
mempunyai batas waktu pemakaian artinya batas waktu dimana obat mulai
berkurang efektivitasnya

Distribusi/penyaluran adalah kegiatan pengeluaran dan penyerahan obat


secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub-sub unit pelayanan
kesehatan antara lain :
a. Sub unit pelayanan kesehatan di lingkungan Puskesmas.
b. Puskesmas Pembantu.
c. Puskesmas Keliling.
d. Posyandu.
e. Polindes.

Obat diambil sendiri oleh sub-sub unit pelayanan. Obat diserahkan


bersama-sama dengan formulir LPLPO sub unit yang ditandatangani oleh

81
penanggung jawab sub unit pelayanan puskesmas dan kepala puskesmas sebagai
penanggung jawab pemberi obat dan lembar pertama disimpan sebagai tanda
bukti penerimaan obat.

Pencatatan dan pelaporan data obat di Puskesmas merupakan rangkaian


kegiatan dalam rangka penatalaksanaan obat-obatan secara tertib, baik obat-
obatan yang diterima, disimpan, didistribusikan dan digunakan di Puskesmas dan
atau unit pelayanan lainnya. Puskesmas bertanggung jawab atas terlaksananya
pencatatan dan pelaporan obat yang tertib dan lengkap serta tepat waktu untuk
mendukung pelaksanaan seluruh pengelolaan obat.
Tujuan pencatatan dan pelaporan adalah :
a. Bukti bahwa suatu kegiatan telah dilakukan.
b. Sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian.
c. Sumber data untuk perencanaan kebutuhan.
d. Sumber data untuk pembuatan laporan.

Sarana yang digunakan untuk pencatatan dan pelaporan obat di Puskesmas


adalah Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) dan kartu stok.
LPLPO yang dibuat oleh petugas Puskesmas harus tepat data, tepat isi dan dikirim
tepat waktu serta disimpan dan diarsipkan dengan baik. LPLPO juga
dimanfaatkan untuk analisis penggunaan, perencanaan kebutuhan obat,
pengendalian persediaan dan pembuatan laporan pengelolaan obat.
Data LPLPO merupakan kompilasi dari data LPLPO sub unit. LPLPO
dibuat 3 (tiga) rangkap, diberikan ke Dinkes Kota Bandung melalui Instalasi
Farmasi Kota Bandung, untuk diisi jumlah yang diserahkan. Setelah ditanda
tangani oleh kepala Dinas Kesehatan Kota, satu rangkap untuk Kepala Dinas
Kesehatan, satu rangkap untuk Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota dan satu
rangkap dikembalikan ke puskesmas. LPLPO sudah harus diterima oleh
Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota paling lambat tanggal 10 setiap bulannya.

Pelayanan resep merupakan suatu proses pelayanan terhadap


permintaan tertulis dokter kepada tenaga kefarmasian untuk menyediakan dan

82
menyerahkan obat yang diminta untuk pasien sesuai peraturan perundangan yang
berlaku. Pelayanan resep meliputi skrining resep, penyiapan dan penyerahan obat.

Setelah menerima resep, dilakukan skrining dengan tahapan sebagai


berikut :
1. Pemeriksaan kelengkapan administratif resep, yaitu nama dokter, nomor
surat, izin praktik (SIP), paraf/tandatangan dokter, tanggal penulisan resep,
nama obat, jumlah obat, aturan pakai, nama, umur, berat badan, jenis
kelamin dan alamat atau nomor telepon pasien.
2. Pemeriksaan kesesuaian farmasetik, yaitu bentuk sediaan, dosis, potensi,
inkompatibilitas, cara dan lama penggunaan obat.
3. Pertimbangan klinik seperti kesesuaian indikasi, alergi, efek samping,
interaksi dan kesesuaian dosis.
4. Konsultasikan dengan dokter apabila ditemukan keraguan pada resep atau
obatnya tidak tersedia.

Setelah memeriksa resep, dilakukan hal-hal sebagai berikut :


1. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan pada resep :
a. Menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep.
b. Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik
obat.
2. Melakukan peracikan obat bila diperlukan.
3. Memberikan etiket :
a. Warna putih untuk obat dalam/oral.
b. Warna biru untuk obat luar dan suntik, dan
c. Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspense atau
emulsi.
d. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat
yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan
yang salah.

Setelah penyiapan obat, dilakukan hal-hal sebagai berikut :


1. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan

83
serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan
resep).
2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.
4. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat.
5. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal lain yang terkait
dengan obat tersebut, antara lain manfaat obat, makanan dan minuman
yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat,
dll.
6. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang
baik dan sopan, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin
emosinya kurang stabil.
7. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya.
8. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh apoteker
(apabila diperlukan).
9. Menyimpan resep pada tempatnya dan mendokumentasikan yang
memudahkan untuk pelaporan.

Pelayanan informasi obat didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan dan


pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, lengkap, terkini
oleh tenaga kefarmasian yang kompeten kepada pasien, tenaga kesehatan,
masyarakat maupun pihak yang memerlukan. Informasi umum tentang nama obat,
cara pemakaian dan lama penggunaan dapat disampaikan oleh tenaga kefarmasian
atau tenaga kesehatan lain yang terlatih.
Pelayanan informasi obat (PIO) yang disampaikan seara langsung maupun
tidak langsung, serta konseling. Pelayanan secara langsung yang dilakukan dapat
berupa pemeritahuan cara pemakaian obat, frekuensi penggunaan obat, efek
samping obat dan lama penggunaan obat. Pelayanan informasi obat secara tidak
langsung dapat dilakukan dengan memberikan informasi obat melalui media
contohnya seperti pembuatan brosur, leaflet, poster,dan pamphlet.

Konseling obat adalah suatu proses diskusi antara tenaga kefarmasian


dengan pasien/keluarga pasien yang dilakukan secara sistematis untuk
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah pasien yang berkaitan dengan
penggunaan obat.

84
Adapun Tahapan Konseling Obat, yaitu:
1. Melakukan konseling sesuai dengan kondisi penyakit pasien.
2. Membuka komunikasi antara tenaga kefarmasian dengan pasien/keluarga
pasien.
3. Menanyakan tiga pertanyaan kunci menyangkut obat yang diberikan oleh
pasien, yaitu :
a. Apa yang telah dijelaskan dokter mengenai obat Anda ?
b. Bagaimana cara pemakaian obat yang telah dijelaskan oleh dokter?
c. Apa yang diharapkan dalam pengobatan ini ?
4. Memperagakan dan menjelaskan mengenai pemakaian obat-obatan
tertentu (inhaler, supositoria, dan lain-lain).
5. Melakukan verifikasi akhir meliputi :
a. Mengecek pemahaman pasien.
b. Mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan
dengan cara penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
6. Melakukan pencatatan konseling yang dilakukan pada kartu pengobatan.

Di Puskesmas Ibrahim Adji konseling obat biasanya diberikan pada pasien


dengan penyakit-penyakit tertentu, seperti Hipertensi, Diabetes, TB dan IMS.
Tahapan pelayanan obat di UPT Puskesmas Ibrahim Adjie dimulai dengan
pasien melakukan pendaftaran di loket pendaftaran yang selanjutnya dilanjutkan
dengan pemeriksaan. Pemerikasaan bisa dilakukan pasien di beberpapa Poli,
seperti Poli Umum, Poli Lansia, Poli Gigi, Poli KIA/KB, Pel. IMS, Pel. TB Paru.
Setelah melakukan pemeriksaan pasien akan mendapatkan resep baik secara
komputerisasi atau tertulis untuk memberikannya kebagian Istalasi Farmasi.
Nantinya resep yang diterima akan disiapkan oleh bagian farmasi. Dalam
melakukan penerimaan resep ada beberapa hal yang perlu di perhatikan meliputi
skrining resep, hal ini ditujukan untuk melihat kelengkapan resep yang meliputi
nama pasien, umur pasien, alamat pasien, diagnose dokter, tanggal penulisan
resep, nama dokter penulis resep, nama obat, dosis obat, cara pakai dan jumlah
obat.

UPT Puskesmas Ibrahim Adjie mengadakan Program Pengelolaan


Penyakit Kronis (PROLANIS) yang telah bekerjasama dengan BPJS. Kriteria
peserta yang dapat mengikuti Prolanis adalah mereka yang telah memiliki

85
riwayat/menderita penyakit Hipertensi dan Diabetes Meilitus tipe 2. Peserta
Prolanis yang ada di UPT Puskesmas Ibrahim Adjie ini merupakan pasien rujuk
balik dan ingin melakukan pengecekan kesehatannya secara berkala. Prolanis di
UPT Puskesmas Ibrahim Adjie telah bekerja sama dengan Apotek 7 Menit, jadi
suplay obat peserta Prolanis dilakukan oleh Apotek 7 Menit, kemudian
penyerahannya kepada pasien dilakukan di Puskesmas Ibrahim Adjie. Hal ini
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan obat perbulan peserta Prolanis. Obat
diberikan disertai dengan pemberian informasi mengenai obat yang akan
digunakan pasien. Kegiatan Prolanis di UPT Puskesmas Ibrahim Adjie meliputi
pemeriksaan gula darah, pemeriksaan tensi darah, pengambilan obat, serta senam
sehat. Selain Program PROLANIS di Puskesmas Ibrahim Adjie terdapat juga
program penanggulangan HIV dan IMS yang dilakukan setiap hari rabu.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil praktek kerja profesi apoteker (PKPA) di dinas kesehatan kota
Bandung, dapat disimpulkan bahwa:
1. Peran, fungsi dan tanggung jawab apoteker dalam praktek pelayanan
kefarmasian di Dinas Kesehatan, meliputi: aspek pelayanan yaitu aspek
manajerial, teknik kefarmasian serta pembinaan dan pengawasan.
2. Apoteker harus memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap perilaku
(professionalisme) serta wawasan dan pengalaman nyata (reality) untuk
melakukan pekerjaan kefarmasian di Dinas Kesehatan.
3. Setelah melakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Dinas Kesehatan Kota
Bandung dan Puskesmas Ibrahim Adjie, calon apoteker mendapatkan
pengalaman dalam pelayanan farmasi (pelayanan produk, farmasi
klinik/komunitas, pendidikan dan penelitian) di puskesmas sesuai dengan
etika dan peraturan yang berlaku di dalam sistem pelayanan kesehatan.

86
6.2 Saran

A. Untuk Gudang Farmasi di Dinas Kesehatan Kota Bandung

1. Sehubungan dengan banyaknya obat-obatan di gudang perbekalan farmasi


di dinas kesehatan kota bandung maka dibutuhkan SDM yang lebih
optimal dimana dapat menjamin keamanan, mutu dan efisiensi obat dan
perbekalan farmasi.
2. Untuk ruangan gudang harus mongoperasikan sistem 2 pintu agar
memudahkan sistem penerimaan dan pengeluaran barang.
3. Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan,
pencarian, dan pengawasan obat-obat, maka diperlukan pengaturan tata
ruang gudang dengan baik dengan mempertimbangkan:
a. Kemudahan bergerak, maka gudang perlu menggunakan sistem satu
lantai jangan menggunakan sekat-sekat karena akan membatasi
pengaturan ruangan. Jika meggunakan sekat, perhatikan posisi dinding
dan pintu untuk mempermudah gerakan. Berdasarkan arah arus
penerimaan dan pengeluaran obat, ruang gudang dapat di tata
berdasarkan sistem arus garis lurus, arus U, arus L.
b. Sirkulasi udara yang baik merupakan salah satu faktor penting karena
akan memaksimalkan kualitas dari obat, idealnya dalam gudang
terdapat AC, namun biaya akan menjadi mahal untuk ruang gudang
yang luas. Alternatif lain adalah menggunakan kipas angin. Apabila
kipas angin belum cukup maka perlu ventilasi melalui atap.
c. Kondisi penyimanan khusus, untuk bahan bahan mudah terbakar seperti
alkohol dan eter harus disimpan di ruangan khusus, sebaiknya disimpan
di bangunan khusus terpisah dari gudang induk. Untuk pencegahan
kebakaran perlu dihidari adanya penumpukkan bahan bahan yang
mudah terbakar seperti dus, karton, dll. Alat pemadam kebakaran perlu
dipasang pada tempat yang mudah terjangkau.
d. Untuk menghindari binatang pengerat yang akan merusak obat perlu
dipasang alat pengerat dan menghindari penumpukan barang dimana
binatang ini bisa bersembunyi.

B. Untuk Puskesmas Ibrahim Adjie

87
Sehubungan banyaknya jumlah pasien di Puskesmas Ibrahim Adjie maka
diperlukan SDM tenaga teknis kefarmasian yang lebih banyak di Puskesmas
Ibrahim Adjie dalam menunjang peningkatan pelayanan kesehatan
masyarakat.

88

Anda mungkin juga menyukai