Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindroma koroner akut (SKA) adalah istilah yang digunakan untuk
kumpulan simptom yang muncul akibat iskemia miokard akut. SKA yang
terjadi akibat infark otot jantung disebut infark miokard. Termasuk di
dalam SKA adalah unstable angina pektoris, infark miokard non elevasi
segmen ST (Non STEMI), dan infark miokard elevasi segmen ST
(STEMI).
Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat
oleh karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-
otot jantung (Fenton, 2009). Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak
yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi
dan luasnya miokard infark bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah
kolateral.
Menurut laporan WHO, pada tahun 2004, penyakit infark miokard
akut merupakan penyebab kematian utama di dunia (WHO, 2008).
Terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%) kematian terjadi akibat penyakit
ini di seluruh dunia. Penyakit ini adalah penyebab utama kematian pada
orang dewasa di m ana-mana. Infark miokard akut adalah penyebab
kematian nomor dua pada negara berpenghasilan rendah, dengan angka
mortalitas 2.470.000 (9,4%) (WHO, 2008). Di Indonesia pada tahun 2002,
penyakit infark miokard akut merupakan penyebab kematian pertama,
dengan angka mortalitas 220.000 (14%) (WHO, 2008). Direktorat Jendral
Yanmedik Indonesia meneliti, bahwa pada tahun 2007, jumlah pasien

1
penyakit jantung yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit
di Indonesia adalah 239.548 jiwa. Kasus terbanyak adalah panyakit
jantung iskemik, yaitu sekitar 110,183 kasus. Case Fatality Rate (CFR)
tertinggi terjadi pada infark miokard akut (13,49%) dan kemudian diikuti
oleh gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung lainnya (13,37%)
(Depkes, 2009).
Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau
lebih dari 3 kriteria, yaitu adanya nyeri dada, perubahan gambaran
elektrokardiografi (EKG) dan peningkatan pertanda biokimia. Sakit dada
terjadi lebih dari 20 menit dan tak ada hubungan dengan aktifitas atau
latihan. Gambaran EKG yang khas yaitu timbulnya gelombang Q yang
besar, elevasi segmen ST dan inversi gelombang T. Pada nekrosis otot
jantung, protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan
masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran
limfatik. Protein-protein intraseluler ini meliputi aspartate
aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme
MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III), myosin light
chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT). Peningkatan
kadar serum protein-protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis merumuskan


masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penegakan diagnosis SKA STEMI pada pasien ?


2. Bagaimana tatalaksana pada pasien tersebut ?

1.3 Tujuan masalah


Berdasarkan rumusan masalah diatas maka didapatkan tujuan penelitian
sebagai berikut :
 Untuk mengetahui penegakan diagnosis SKA STEMI pada pasien
 Untuk mengetahui tatalaksana pada pasien STEMI

2
BAB II
IDENTITAS PASIEN

2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. J
Umur : 48 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Banjarsari
No MR : 54057
Tanggal Masuk RS : 17 Agustus 2016
Pukul Masuk RS : 19.29 WIB
Tanggal Masuk ICU : 17 Agustus 2016
Pukul Masuk ICU : 21.00 WIB

PASIEN DATANG KE RS

Sendiri / bisa jalan / tak bisa jalan, dituntun oleh keluarga / dengan bed

Diantar oleh keluarga : ya/tidak

2.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara auto dan alloanamnesis, tanggal 19 Agustus


2016 jam 17.00 WIB di ruang ICU RSUD Jend. Ahmad Yani.

Keluhan Utama : nyeri dada sejak 3 jam SMRS

Keluhan Tambahan : sesak nafas, keringat dingin, mual, cemas

Riwayat Penyakit Sekarang

Lokasi : dada kiri menjalar hingga ke punggung dan lengan kiri


Onset : muncul saat melakukan aktivitas ringan dan beristirahat

3
Progresi : semakin memberat
Kualitas : nyeri seperti terbakar dan tertindih benda berat
Kuantitas : nyeri terus menerus lebih dari 20 menit
Faktor yang memberat : Aktivitas
Faktor yang memperingan : tidak hilang dengan beristirahat

Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Jend. Ahmad Yani pada
tanggal 17 Agustus 2016 dengan keluhan nyeri dada sejak 3 jam SMRS.
Nyeri dada dirasakan seperti terbakar dan tertindih benda berat, menjalar ke
punggung dan lengan kiri disertai keringat dingin dan rasa mual. Nyeri dada
dirasakan berlangsung terus-menerus, lebih dari 20 menit. Nyeri dada
muncul saat pasien sedang duduk dan riwayat sakit dada sebelumnya
disangkal. Pasien sebelumnya dibawa ke Puskesmas Banjarsari dengan
diagnosis chest pain ec angina pectoris dengan dispepsia sebelum akhirnya
dirujuk ke RSUD Ahmad Yani. Selama di perjalanan menuju IGD, pasien
tetap sadar, muntah disangkal.

Diakui sebelum nyeri dada, pasien menyangkal adanya nyeri kepala, pusing,
pingsan, sesak, mual atau kejang. Keluhan lainnya seperti batuk, muntah,
riwayat terbangun tengah malam karena sesak disangkal. Adanya emosi
atau gangguan pikiran disangkal oleh keluarga pasien. Keluhan gangguan
buang air kecil, gangguan air besar dan trauma disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi (+) sejak 4 tahun yang lalu tetapi tidak pernah rutin
minum obat dan jarang kontrol secara teratur. Riwayat penyakit lainnya
seperti diabetes melitus, dislipidemia, stroke, penyakit vaskular perifer,
riwayat PCI/CABG disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat hipertensi (+) diakui diderita oleh ayah pasien.

4
Riwayat Pengobatan

Pasien hanya mengkonsumsi obat untuk mengatasi darah tinggi tetapi tidak
rutin.

Riwayat Kebiasaan

Pasien memiliki riwayat merokok sejak ± 20 tahun yang lalu, dengan rata-
rata 1 bungkus lebih tiap hari. Kebiasaan mengkonsumsi teh, kebiasaan
makan makanan berlemak, tinggi garam, tinggi kolesterol disangkal oleh
pasien.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang. Pasien tampak berbaring di bed


pasien.

Status Nutrisi : Overweight

Berat Badan : 80 kg

Tinggi Badan : 176 cm

BMI : 25,8 kg/m2

Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6 = 15

Tanda Vital

Tekanan darah : 180/110 mmHg

Nadi : 89 kali/menit

Pernafasan : 36 kali/menit

Suhu : 35.6 C

SpO2 : 91 %

Status Generalis

5
1) Kulit : warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor
kulit cukup, capillary refill kurang dari 2 detik dan teraba hangat.
2) Kepala : normosefali, rambut berwarna hitam dan putih, distribusi merata
 Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RCL
+/+, RCTL +/+, pupil isokor 2,5 mm/2,5 mm
 Hidung : deformitas (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), deviasi
septum (-), sekret (-/-)
 Telinga : Normotia (+/+), nyeri tekan (-/-), nyeri tarik (-/-),
sekret (-/-)
 Mulut : sudut bibir simetris, kering (-), sianosis (-), tidak
terdapat deviasi lidah
 Tenggorokan : Trismus (-), arkus faring simetris, hiperemis (-),
uvula di tengah (-)
3) Leher
 Inspeksi : tidak terdapat trauma maupun massa
 Palpasi : tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar
tiroid, tidak terdapat deviasi trakea, tidak terdapat peningkatan JVP
4) Thoraks
 Jantung
- Inspeksi : tidak tampak iktus kordis
- Palpasi : iktus kordis tidak teraba
- Perkusi :
Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinistra dengan bunyi
redup
Batas atas kanan : ICS II garis parasternal dekstra dengan bunyi
redup
Batas bawah kiri : ICS V ± 1 cm medial garis midklavikula
sinistra dengan bunyi redup
Batas bawah kanan : ICS IV garis parasternal dekstra dengan
bunyi redup
- Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop
(-)

6
 Pulmo
- Inspeksi : dinding thoraks simetris pada
- saat statis maupun dinamis, retraksi otot-otot pernapasan (-)
- Palpasi : simetris, vokal fremitus sama kuat kanan dan kiri
- Perkusi : sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing
(-/-)
5) Abdomen
 Inspeksi : perut datar, massa (-), pulsasi abnormal (-)
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen, asites (-)
 Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-),
massa (-)
6) Ekstremitas
 tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis (-/-)
 akral hangat (+/+), edema (-/-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap (17 Agustus 2016)

Leukosit : 17,3 x 103 /uL ()


Eritrosit : 5,56 x 106 /uL ()
Hemoglobin : 17,6 g/dL ()
Hematokrit : 51,3 % ()
MCV : 92,3 fL
MCH : 31,7 pg
MCHC : 34,3 g/dL
Trombosit : 249 x 103 /uL

7
Limfosit :8%
Monosit : 3,4 %
Neutrofil : 88,6 %

Interpretasi : leukositosis, eritrositosis, peningkatan kadar Hb

Kimia Klinik (17 Agustus 2016)


GDS : 168 mg/dL ()

EKG SERIAL

17 Agustus 2016

Irama : sinus rhythm


Laju QRS : 70x/menit
Aksis : normal
Interval P-R : 2 KK
Gelombang P : < 3 KK
Komplek QRS : < 3 KK
ST segmen : elevasi di lead V1-V5
Gelombang T : normal
Kesan EKG : STEMI Anteroseptolateral

8
18 Agustus 2016

Irama : sinus rhythm


Laju QRS : 83x/menit
Aksis : normal
Interval P-R : 2 KK
Gelombang P : < 3 KK
Komplek QRS : < 3 KK
ST segmen : elevasi di lead V1-V3
Gelombang T : normal

Kesan EKG : STEMI Anteroseptal

19 Agustus 2016

Irama : sinus rhythm


Laju QRS : 87x/menit
Aksis : normal
Interval P-R : 2 KK

9
Gelombang P : < 3 KK
Komplek QRS : < 3 KK
ST segmen : elevasi di lead V1-V3
Gelombang T : normal

Kesan EKG : STEMI Anteroseptal

20 Agustus 2016

Irama : sinus rhythm


Laju QRS : 82x/menit
Aksis : normal
Interval P-R : 2 KK
Gelombang P : < 3 KK
Komplek QRS : < 3 KK
ST segmen : elevasi di lead V1-V3
Gelombang T : normal

Kesan EKG : STEMI Anteroseptal

Kimia Klinik (19 Agustus 2016)


Ureum : 39 mg/dL
Kreatinin : 1,43 mg/dL
Kolesterol total : 161 mg/dL
Trigliserida : 127 mg/dL
HDL : 48 mg/dL
LDL : 87,5 mg/dL

10
Interpretasi : dalam batas normal

Penanda Jantung (19 Agustus 2016)


Troponin I : > 32 ng/mL ()
CK-MB : 55,32 ng/mL ()

Interpretasi terjadi peningkatan kadar Troponin I dan CK-MB

2.5 Resume

Seorang laki-laki Tn. M berusia 48 tahun datang ke Instalasi Gawat


Darurat RSUD Jend. Ahmad Yani dengan keluhan nyeri dada kiri sejak 3 jam
SMRS saat beristirahat. Nyeri menjalar ke punggung dan lengan kiri yang
dirasakan seperti terbakar dan tertindih benda berat. Nyeri dirasakan semakin
memberat, terus menerus dan tidak hilang dengan beristirahat. Keluhan disertai
sesak nafas, mual dan keringat dingin. Riwayat hipertensi (+) sejak 4 tahun yang
lalu tetapi tidak teratur kontrol dan minum obat. Riwayat merokok (+) sejak 20
tahun yang lalu dengan rata-rata 1 bungkus lebih tiap hari.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan GCS 15, tekanan darah awal pada saat
diperiksa adalah 180/110 mmHg, pemeriksaan thoraks, pemeriksaan abdomen dan
ekstremitas dalam batas normal.

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis, eritrositosis dan


peningkatan kadar Hb. Glukosa gula darah dan penanda jantung meningkat.
Pemeriksaan profil lipid dalam batas normal. Pada pemeriksaan EKG didapatkan
elevasi ST pada lead V1-V3 (anteroseptal).

2.6 Diagnosa dan Diagnosa Banding

I. ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) Anteroseptal Wall Onset


3 Jam KILLIP I

II. Hipertensi Grade II

11
2.7 Terapi

I. ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) Anteroseptal Wall


Onset 3 Jam KILLIP I

Dx : EKG, Penanda jantung

Tx :

 Bed Rest
 Hospitalisasi di ICU
 Oksigen 4 L/menit
 IVFD Ringer Laktat 12 tetes/menit
 Aspirin 160 – 320 mg (kunyah) dilanjutkan dengan 1 x 80 mg per
oral
 Clopidogrel dengan dosis awal 300 mg tab dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 75 mg/hari
 ISDN 5 mg sublingual
 Bila diperlukan atau nyeri dada masih berlangsung dapat diberikan
nitrogliserin tab sublingual/intravena
 Bila 3 dosis nitrogliserin tidak merespon, maka diberikan morfin
sulfat 1- 5 mg intravena, dapat diulang setiap 10 – 30 menit
 Laxadin syrup 2 x C1
 Inj. OMZ 40 mg x 1
 Inj. Ondansentron 8 mg x 2
 Alprazolam 0,5 mg tab 0-0-1
 Inj. Arixtra 2,5mg/0,5 ml 1 x 1 SC (hingga 5 hari)
 Cek elektrolit
 Periksa rontgen thoraks PA
 Kateter urin (cek tiap jam)

Mx : Tanda vital, EKG serial, nyeri dada

Ex :

12
-Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya dan komplikasi
yang mungkin terjadi

-Edukasi pasien untuk menghindari factor resiko terjadinya


komplikasi

II. Hipertensi Grade II

Dx : pengukuran tekanan darah, EKG

Tx : Amlodipin 1 x 10 mg, Diet rendah garam <3 gr/hari

Mx : monitoring tekanan darah target hingga TD dibawah 140/90 mmHg

2.8 Follow Up

Tgl S O A P

17 nyeri dada TD : 180/110 I. ST •Bed Rest


Agustus menjalar ke mmHg Elevation
•Oksigen 4 L/menit
2016 punggung dan Myocardial
Nadi : 89 x/m
lengan kiri, Infarction •Aspirin 160 – 320

sesak nafas, RR : 36 x/m (STEMI) mg

mual, keringat Temp: 35,6 C Anteroseptal •Clopidogrel


dingin Wall Onset 3 dengan dosis awal
GCS 15
Jam KILLIP I 300 mg dilanjutkan
Pupil bulat
II. Hipertensi dengan dosis
isokor pemeliharaan 75
Grade II
2,5 mm/2,5 mg/hari

mm •ISDN 5 mg
sublingual

•Bila diperlukan
atau nyeri dada
masih berlangsung
dapat diberikan
nitrogliserin tab

13
sublingual/intravena

•Bila 3 dosis
nitrogliserin tidak
merespon, maka
diberikan morfin
sulfat 1- 5 mg
intravena, dapat
diulang setiap 10 –
30 menit

•Laxadin syrup 3 x
C1

•Inj. OMZ 40 mg x
1

•Inj. Ondansentron
8 mg x 2

•Alprazolam 0,5 mg
tab 0-0-1

•Inj. Arixtra
2,5mg/0,5 ml 1 x 1
SC

•Cek elektrolit

•Periksa rontgen
thoraks PA

18 nyeri dada TD:150/100 I. ST •Bed Rest


Agustus yang mmHg Elevation
•Oksigen 4 L/menit
2016 dirasakan Myocardial
Nadi : 94 x/m
mulai Infarction •Aspirin 160 – 320

berkurang, RR : 22 x/m (STEMI) mg

14
sesak nafas (- Temp: 36,4 C Anteroseptal •Clopidogrel dosis
), dada terasa Wall Onset 3 pemeliharaan 75
GCS 15
panas Jam KILLIP I mg/hari

II. Hipertensi •ISDN 5 mg


Grade I sublingual

•Bila diperlukan
atau nyeri dada
masih berlangsung
dapat diberikan
nitrogliserin tab
sublingual/intravena

•Bila 3 dosis
nitrogliserin tidak
merespon, maka
diberikan morfin
sulfat 1- 5 mg
intravena, dapat
diulang setiap 10 –
30 menit

•Laxadin syrup 3 x
C1

•Alprazolam 0,5 mg
tab 0-0-1

•Inj. Arixtra
2,5mg/0,5 ml 1 x 1
SC

•Periksa troponin I
dan CK-MB

15
27 Juli nyeri dada TD : 119/88 ST Elevation
2016 yang mmHg Myocardial
•Bed Rest
dirasakan Infarction
Nadi : 80 x/m
mulai (STEMI) •Oksigen 4 L/menit

berkurang, RR : 18 x/m Anteroseptal •Aspirin 160 – 320


sesak nafas (- Temp: 36,3 C Wall Onset 3 mg
), dada terasa Jam KILLIP I
GCS 15 •Clopidogrel dosis
panas
pemeliharaan 75
SpO2 98 %
mg/hari

•ISDN 5 mg
sublingual

•Bila diperlukan
atau nyeri dada
masih berlangsung
dapat diberikan
nitrogliserin tab
sublingual/intravena

•Bila 3 dosis
nitrogliserin tidak
merespon, maka
diberikan morfin
sulfat 1- 5 mg
intravena, dapat
diulang setiap 10 –
30 menit

•Laxadin syrup 3 x
C1

•Alprazolam 0,5 mg
tab 0-0-1

16
•Inj. Arixtra
2,5mg/0,5 ml 1 x 1
SC

2.9 Prognosis

Quo ad vitam : ad bonam


Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

BAB III
PEMBAHASAN KASUS

3.1 Anamnesis

17
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada
yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan
angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke
lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium.
Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten
(>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta
seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan
sinkop. Keluhan tipikal tersebut didapat pada pasien Tn . J yaitu adanya
nyeri dada berupa rasa tertekan yang menjalar ke lengan kiri dan
punggung dan berlangsung menetap > 20 menit disertai mual, dan sesak
nafas yang muncul saat istirahat.
Selain itu, terdapat faktor resiko yang didapat pada pasien tersebut,
yaitu faktor resiko yang dapat dimodifikasi berupa adanya riwayat
hipertensi, merokok dan overweight. Faktor resiko yang tidak dapat
dimodifikasi berupa jenis kelamin laki-laki dan riwayat keluarga
hipertensi.

3.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor


pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan
menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara
jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu
diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya
tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi
basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
Tetapi pada pemeriksaan fisik khususnya leher dan thoraks tidak
ditemukan kelainan yang berarti.

3.3 Pemeriksaan Penunjang

18
Pada pemeriksaan darah rutin terdapat peningkatan leukosit
menjadi 17,3 x 103 /uL. Leukosit telah menjadi satu dari beberapa
biomarker dari inflamasi yang terjadi pada penyakit jantung koroner.1
Jumlah leukosit menggambarkan status inflamasi pada pasien dengan PJK.
2
Peningkatan leukosit merupakan faktor risiko independen PJK dan
berhubungan dengan gambaran angiografi koroner yang lebih buruk.
Penelitian oleh Mukhtar (1994) menunjukkan bahwa jumlah leukosit pada
pasien IMA saat tiba di rumah sakit dapat digunakan sebagai indikator
prognosis dini terhadap mortalitas dan morbiditas. Pada penelitian tersebut
juga dijumpai penderita IMA dengan leukosit awal di atas 15.000/μL
memiliki risiko kematian empat kali lebih besar dibandingkan dengan
leukosit di bawah 10.000/μL.
Pada keadaan infark miokard, jumlah leukosit dan netrofil akan
meningkat akibat respon dari stress akut. Nilai leukosit akan mulai
meningkat sejak 2 jam setelah terjadinya nyeri dada, mencapai puncak
dalam 2-4 hari dan kembali normal dalam 1 minggu.3
Selain itu terjadi juga peningkatan kadar Hb (17,6 g/dL), eritrosit
(5,56 x 106 g/dL) dan hematokrit 51,3 %. Pada gangguan kardiovaskular
hipertensi, hematokrit meningkat akibat menurunnya volume plasma
dengan massa eritrosit yang normal serta peningkatan fibrinogen dan
agregasi eritrosit. Hematokrit dan eritrosit juga meningkat pada perokok
sehingga memicu peningkatan viskositas darah.4
Pemeriksaan glukosa darah pada pasien mengalami peningkatan
yaitu 168 mg/dL, keadaan ini disebut hiperglikemia reaktif akibat adanya
respon stress akut dari tubuh. Adanya sinyal inflamasi akan mengganggu
uptake dan transpor glukosa GUT-2 pada hepar dan GUT-4 pada otot
skeletal sehingga dapat menyebabkan resistensi insulin dan meningkatkan
proses glikogenolisis dan glikolisis.
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Pada pemeriksaan
EKG didapatkan adanya elevasi segmen ST di lead V1-V3, hal ini

19
menunjukkan lokasi adanya infark yaitu di bagian anteroseptal. Nilai
ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan
perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV.
Pada pemeriksaan kimia klinik lainya seperti ureum dan kreatinin
dalam batas normal. pemeriksaan U/K biasanya diperlukan untuk mencari
tahu komplikasi atau penyakit penyerta lainnya. Sedangkan profil lipid
pada pasien normal, sehingga faktor dislipidemia tidak ditemukan pada
pasien ini.
Pada pemeriksaan penanda jantung ditemukan peningkatan
Troponin I sebesar 32 ng/mL dari nilai normal < 0,1 ng/mL dan CK-MB
sebesar 55,32 ng/mL dari nilai normal < 3,74 ng/mL. Kreatinin kinase-MB
(CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit jantung dan
menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai
marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih
tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan
adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan
penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner).
Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak
nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi
ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas,
penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi,
dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I
memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit,
kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I
mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau
troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah
awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan
angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka
pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama.
Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan

20
kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan
waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat,
CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark
berulang) maupun infark periprosedural.

3.4 Tatalaksana

Berdasarkan pedoman tatalaksana sindrom koroner akut menurut


PERKI yang dimaksud terapi awal adalah terapi yang diberikan pada
pasien dengan diagnosis kerja kemungkinan SKA atau definitif SKA atas
dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada pemeriksaan
EKG dan/atau marka jantung (cardiac marker). Adapun terapi awal yang
diberikan pada pasien ini adalah sebagai berikut.
 Tirah baring. Tirah baring dilakukan disertai monitor EKG secara
kontinyu untuk mendeteksi kejadian iskemia dan aritmia pada pasien-
pasien dengan gejala nyeri dada yang masih berlangsung.
 Oksigen 4 L/menit via nasal kanul. Suplementasi oksigen harus diberikan
segera bagi mereka dengan saturasi oksigen arteri < 95% atau yang
mengalami distres respirasi. Pada pasien ini terdapat keluhan sesak nafas,
dan diketahui kadar saturasi oksigen adalah 91 %, oksigen diberikan atas
dasar bahwa suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA
dalam 6 jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi oksigen arteri.
 Aspirin 320 mg, dikunyah
Pemberian aspirin segera sudah diketahui menurunkan mortality rate
melalui beberapa clinical trial. Oleh karena itu, kecuali pasien diketahui
memiliki alergi terhadap aspirin atau perdarahan gastrointestinal aktif,
aspirin nonenterik harus diberikan sesegera mungkin kepada semua pasien
yang dicurigai mengalami SKA. Dosis yang diberikan adalah 160 sampai
325 mg dan dikunyah untuk mempercepat penyerapan. Aspirin merupakan
antiplatelet dan termasuk dalam terapi antitrombotik, dimana tujuan
pemberiannya adalah untuk mencegah perkembangan sumbatan
intrakoroner. Aspirin secara ireversibel menghambat enzim

21
siklooksigenase (COX-2 inhibitor). Enzim ini diperlukan untuk proses
konversi asam arakhidonat dari trombosit menjadi tromboksan A2.
Tromboksan A2 merupakan agen yang berperan dalam proses agregrasi
dan vasokonstriksi.
Normalnya, endotel pembuluh darah akan memproduksi prostasiklin
sebagai respon terhadap agregrasi trombosit, dimana merupakan inhibitor
yang kuat dan vasodilator yang poten. Namun pada disfungsi endotel,
produksi prostasiklin menurun. Obat-obatan anti inflamasi non-steroid
(OAINS) lainnya merupakan kontraindikasi pada pasien-pasien dengan
SKA, karena dapat meningkatkan risiko mortalitas, kejadian re-infark,
hipertensi, gagal jantung, dan ruptur miokardium.
 Isosorbid dinitrate (ISDN) 5 mg sublingual. Keuntungan terapi nitrat
terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya preload
dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen
miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh
darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
Nitrat menyebabkan relaksasi pada otot polos pembuluh darah melalui
konversi menjadi nitric oxide pada membran plasma otot polos pembuluh
darah. Senyawa ini kemudian akan mengaktivasi guanilat siklase untuk
memproduksi cyclic guanosine monophosphate (cGMP), dan akumulasi
cGMP di intrasel akan menyebabkan relaksasi otot polos. Pasien-pasien
dengan keluhan nyeri dada iskemik harus mendapat nitrat sublingual
sampi maksimal 3 kali pemberian, dengan interval 3-5 menit, sampai
gejala nyeri berkurang atau tekanan darah mencapai batas rendah nya.
Adapun kontraindikasi penggunaan nitrat adalah pada pasien-pasien
dengan hipotensi (tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg, bradikardia ≤ 50
mmHg, takikardia tanpa disertai gagal jantung, dan infark ventrikel kanan.
 Pada pasien yang tidak responsif dengan pemberian nitrat, dapat diberikan
analgesia berupa morfin intravena. Morfin adalah analgesia pilihan untuk
pasien-pasien dengan STEMI. Morfin sulfat 1-5 mg intravena dapat
diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi
tiga dosis nitrat sublingual.

22
 Clopidogrel 300 mg (telan) dilanjutkan dengan 1x75 mg per oral
Clopidogrel adalah derivat thienopyridine, dimana menghambat aktivasi
reseptor P2Y12ADP pada trombosit. Clopidogrel direkomendasikan
sebagai antiplatelet pengganti pada pasien-pasien yang alergi aspirin.
Kombinasi aspirin dan clopidogrel lebih superior dibandingkan aspirin
sendiri dalam mengurangi mortalitas kardiovaskular, kejadian penyakit
jantung rekuren, dan stroke pada pasien UAP atau NSTEMI. Oleh karena
itu, clopidogrel direkomendasikan terlebih untuk pasien-pasien dengan
UAP atau NSTEMI, keculai yang berencana untuk dilakukan tindakan
pembendahan karena efek peningkatan risiko perdarahannya.
 IVFD Ringer Laktat 12 tetes/menit. Digunakan untuk memenuhi
kebutuhan cairan pasien tanpa harus membebani kelebihan cairan yang
nantinya akan memicu edema paru sekunder.
 Pemberian antihipertensi seperti amlodipin memiliki beberapa sasaran
untuk menurunkan tekanan darah yaitu pada otot polos vaskular. Hal ini
berdasarkan mekanisme kerja dari amlodipin, yaitu sebagai inhibitor
influks kalsium (slow chanel blocker atau antagonis ion kalsium), dan
menghambat masuknya ion-ion kalsium transmembran ke dalam jantung
dan otot polos vaskular. Ion kalsium berperan dalam kontraksi otot polos.
Jadi dengan terhambatnya pemasukan ion kalsium mengakibatkan otot
polos vaskuler mengalami relaksasi. Dengan demikian menurunkan
tahanan perifer dan menurunkan tekanan darah.
 Laxadin sirup 2 x C 1 per oral. Pemberian pencahar dimaksudkan untuk
mengurangi demand pasien selama hari perawatan dalam proses ekskresi.
 Penggunaan obat proton pump inhibitor seperti omeprazole inj. 40 mg x 1
digunakan untuk mengurangi stress ulcer selama pasien dirawat.
 Penggunaan ondansentron inj. 8 mg x 1 digunakan untuk mengurangi rasa
mual yang terjadi pada pasien. Digunakan apabila diperlukan.
 Alprazolam 0,5 mg tab digunakan sebagai antiansietas sesuai evaluasi
selama perawatan. Alprazolam merupakan golongan benzodiazepin.
Alprazolam memiliki sifat yang sama dengan golongan benzodiazepine
lainnya, yaitu berikatan pada reseptor GABA. Beberapa efek dari

23
Alprazolam adalah anti cemas, hipnotik (membuat ngantuk), pelemas otot
rangka dan anti kejang.
 Inj. Arixtra (Fondaparinux) 2,5mg/0,5 ml 1 x 1 SC (hingga 5 hari)
Fondapariniux merupakan sintetik factor Xa inhibitor yang terikat pada
antitrombin III dan meningkatkan antitrombin III-mediated factor Xa
inhibition. Secara keseluruhan, fondaparinux signifikan dalam
menurunkan kejadian primary efficacy outcome (kematian atau Miokard
Infark berulang). Manfaat signifikan didapatkan pada pasien yang
menerima terapi trombolisis atau tidak ada terapi reperfusi tetapi tidak
pada pasien yang sedang menjalani primary PCI. Dengan demikian.
Fondaparinux dianjurkan sebagai alternatif antikoagulan pada pasien
STEMI yang dirawat secara konservatif.
 Planning untuk rontgen thoraks PA. Tujuan pemeriksaan radiografi adalah
identifikasi komplikasi seperti edema paru akut, dan penyakit penyerta
 Planning untuk periksa elektrolit. Untuk memantau bila terjadi asidosis
maka diperlukan koreksi elektrolit dengan cepat.

24
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Definisi

Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung


yang menyebabkan sel otot jantung mati.Aliran darah di pembuluh darah
terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran
kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang
sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga
tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami
infark.1
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial
Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang
terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan
elevasi ST.2
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.2

25
4.2 Faktor Resiko

Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia,
jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih
dapat diubah,sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik,
antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi
glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori.3

Setiap bentuk penyakit arteri koroner dapat menyebabkan IMA.Penelitian


angiografi menunjukkan bahwa sebagian besar IMA disebabkan oleh
trombosis arteri koroner. Gangguan pada plak aterosklerotik yang sudah ada
(pembentukan fisura) merupakan suatu nidus untuk pembentukan trombus.4
Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi,
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi
arteri koroner.2
Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami
ruptur jika fibrous cap tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Gambaran
patologis klasik pada STEMI terdiri atas fibrin rich red trombus, yang
dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik.2
Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi
trombosit pada lokasi ruptur plak, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu,
aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein
IIb/IIIa. Reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino
pada protein adhesi yang terlarut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang
dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan
platelet dan agregasi setelah mengalami konversi fungsinya.1,2
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator pada sel
endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi

26
protombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi
fibrin. Arteri koroner yang terlibat akan mengalami oklusi oleh trombus yang
terdiri atas agregat trombosit dan fibrin.1,2
Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli
arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria
terisolasi, arteritis trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit
inflamasi sistemik.5

4.3 Patologi

Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang


kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah.Penyakit aterosklerosis
ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri.Lama-
kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen
menyempit.Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat
penyumbatan terjadi.1,2,11
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II,
hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan
aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan
injury bagi sel endotel.Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi
memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja
sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-proliferasi.Sebaliknya, disfungsi
endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan
angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel.1,2
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi.
Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag.
Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja mengeliminasi
kolesterol LDL.Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL teroksidasi
disebut sel busa (foam cell).Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan
migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi
matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan
fibrosa menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh
darah.Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan

27
terbentuknya trombosis.Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau
perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri.11
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi
plak.Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi,
menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark
miokard.Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard
dan keparahan manifestasi klinis penyakit.Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada
arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya.2,3
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan
miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis,
biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung
menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia
yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan
kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi.2,6
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme,
fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan
glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang
berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam
laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran
sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan
ambilan Na+ oleh monosit.Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard
yang terjadi reversibel (<20 menit) atau ireversibel (>20 menit).Iskemia yang
ireversibel berakhir pada infark miokard.1,2
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri
koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST
(STEMI).Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan
STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah
kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat
cepat.2
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang
disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak.Erosi dan

28
ruptur plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen.Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak
menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner.3
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial
(nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam.
Semua otot jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang
bersamaan.Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard
dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda.2

4.4 Gejala Klinik

Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum


yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke
leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak
di dada.IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50%
pasien.Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai
hari, jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak
berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah,
pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20%
sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada.Silent AMI ini terutama
terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien
berusia lanjut.1,2

4.5 Diagnosis

Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan


anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2
mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau >1 mm
pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung terutama troponin T
yang meningkat akan memperkuat diagnosis.2

4.5.1 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa
beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin.

29
Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan
kecurigaan kuat adanya STEMI.2

4. 5. 2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam
tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi
reperfusi. Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah
creatinin kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I,
yang dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk
pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini
juga akan diikuti peningkatan CKMB.2
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi
ST dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan
adanya nekrosis jantung.2
1) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-23 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari.
Operasi jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan
CKMB.
2) cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat
setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-23 jam
dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-
10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase
(CK), Lactic dehydrogenase (LDH)
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri
dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.2

30
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit
sejak kedatangan di IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan
terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI
tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG
serian dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara
kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi
segmen ST. EKG sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI
inferior, untuk mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan.2

Lokasi Infark Gelombang Q/ Elevasi ST Arteri koroner

Anteroseptal V1 dan V2 LAD

Anterior V3 dan V4 LAD

Lateral V5 dan V6 LCX

Ekstensif Anterior I, AVL, V1-V6 LAD, LCX

High Lateral I, AVL, V5 dan V6 LCX

Posterior V7-V9 LCX PL

Inferior II, III, AVF PDA

Right ventrikel V2R-V4R RCA

4.6 Penatalaksanaan

Tatalaksana IMA dengan elevasi ST mengacu pada data-data dari evidence


based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang
ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).2
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi
reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet,

31
memberi obat penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam
tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC
tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-
masing tempat dan kemampuan ahli yang ada.2,6

4.6.1. Tatalaksana awal


4.6.1.1 Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar diakibatkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 23 jam pertama onset
gejala dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga elemen
utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara
lain2,6,7:
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2) Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
3) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4) Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh
lamanya waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk
meminta pertolongan. Hal ini dapat diatasi dengan cara edukasi kepada
masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini.2,6
Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa dikerjakan jika ada
paramedik di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG
dan managemen STEMI serta ada kendali komando medis online yang
bertanggung jawab pada pemberian terapi.2,6,7

4. 6.1.2 Tatalaksana di ruang emergensi


Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri
dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi

32
segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.2,6,7

4. 6.1.3 Tatalaksana umum


1) Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2) Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval
5 menit.
- Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg.
- Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan
dosis 75-162 mg.
- Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis,
dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah
sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih
dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam
selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.2,7

33
4. 6.1.4 Tatalaksana di rumah sakit
ICCU
1) Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
2) Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-
12 jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard.
3) Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5mg,
oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali/hari
4) Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek
menggunakan narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering
mengakibatkan konstipasi, sehingga dianjurkan penggunaan kursi
komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan
pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200
mg/hari).2,7

4.1.2 Terapi pada pasien STEMI


4.1.2.1 Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.2
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit.2,7
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan
dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan
infark miokard dan menurunkan angka kematian.2
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada
pasien.Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik),
semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin

34
kuat keputusan untuk memilih PCI.Jika PCI tidak tersedia, maka terapi
reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya
fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat
dikerjakan.2

4. 6.2.1.1 Percutaneous Coronary Interventions (PCI)


Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam
mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama
infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka
arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka
pendek dan jangka panjang yang lebih baik.11,16 PCI primer lebih dipilih jika
terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko
p
e
r
d
a
r
a
h
a
n

m
e
n
ingkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan
darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun,
PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas
berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit.2,6

35
64.2.1.2 Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk
(door to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi.Tujuan
utamanya adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat
beberapa macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator
(tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja
dengan memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan
trombus fibrin.2,6

Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan
elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik
tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska CABG
datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik :2
A. Kontraindikasi absolut
1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial
4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam
5) Dicurigai diseksi aorta

36
6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan
B. Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau
TDS>110 mmHg)
3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui
patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi
besar (<3 minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya
atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif
10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko
perdarahan.
C. Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang
pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya
karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.
Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan
intrakranial yang rendah.8
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies
to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan
mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA
dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih mahal disbanding SK dan
risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.9
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis
bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.10

37
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator
inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan
tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan
yang sama dibandingkan dengan tPA.11
Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang
manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa risiko seperti
perdarahan.

4. 6.2.2. Terapi lainnya


ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua
pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet
(aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated
Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat
beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.7,8,12

1) Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI
berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner
yang terkait infark.Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI.
Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler
sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%.13
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi
trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL
membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan
hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari
dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stenting.14
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai
tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif,
membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi arteri
yang terkait infark.Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg
(maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum

38
1000 U/jam).Activated partial thromboplastin time selama terapi
pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.2
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal
jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2
dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru
sistemik dan harus mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh
(UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3
bulan.2
2) Thienopiridin
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk
pasien dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan
STEMI yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.7,12
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry investigators
mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada pasien STEMI
yang mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi reperfusi, menunjukkan
penurunan kejadian kasus jantung dan pembuluh darah serebral (kematian,
reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat dalam penurunan kematian
terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang
memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%).15
3) Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu
manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan
dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah
infark. Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan
oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan
menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.2
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien
termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan
kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri
sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).2
4) Inhibitor ACE

39
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan manfaat
terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat beta.
Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada
pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark
sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Kejadian infark berulang
juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 23 jam pertama pada pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan
bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging
menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau terdapat
abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif.2

4.7 Komplikasi

1) Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya
gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan
ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks
ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih
sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.2
2) Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian
di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark)
dan sesudahnya.2
3) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90%
terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.2
4) Infark ventrikel kanan

40
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang
berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau
tanpa hipotensi.2
5) Aritmia paska STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem
saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona
iskemi miokard.2

6) Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua
pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam
mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.2
7) Takikardia dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia
sebelumnya dalam 23 jam pertama. 2
8) Fibrilasi atrium
9) Aritmia supraventrikular
10) Asistol ventrikel
11) Bradiaritmia dan Blok
12) Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding
ventrikel.2

4.8 Prognosis

Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA11 yaitu


diantaranya Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana,
S3 gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik

Tabel 1. Klasifikasi KILLIP pada Infark Miokard Akut

Kelas Definisi Mortalitas (%)

Tak ada tanda gagal


I 6
jantung

41
II +S3 dan atau ronki basah 17

III Edema Paru 30-40

IV Syok kardiogenik 60-80

42

Anda mungkin juga menyukai