Anda di halaman 1dari 55

MAKALAH SISTEM PERKEMIHAN (ASUHAN

KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GANGGUAN


SISTEM PERKEMIHAN PADA KASUS SINDROM
NEFROTIK)

DI SUSUN OLEH :

1. ASRIATUN (011 STYC 13) 2.


KHAERUL UMAM (049 STYC 13) 3. SUHAINI
(095 STYC 13)

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang


Maha Esa, karena atas berkat limpahan rahmat karunia dan hidayah-Nya

1
penulis dapat menyelesaikan Tugas Sistem Perkemihan tentang “Asuhan
keperawatan pada pasien dengan sindrom nefrotik” ini tepat pada
waktunya.
Penulis menyadari tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan penyusunan makalah yang berikutnya.
Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan bagi penyusun pada khususnya.

Mataram, Mei 2016

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan......................................................................... 3
1.5 Metode Penulisan.......................................................................... 4
1.6 Sistematika Penulisan.................................................................... 4

2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 5
2.1 Konsep Dasar Penyakit................................................................. 5
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan............................................. 30
2.2.1 Pengkajian ...................................................................... 30
2.2.2 Diagnosa Keperawatan...................................................... 38
2.2.3 Rencana Keperawatan....................................................... 39
2.2.4 Tindakan Keperawatan...................................................... 45
2.2.5 Evaluasi Keperawatan....................................................... 45
2.2.6 Dokumentasi Keperawatan................................................ 47
BAB 3 PENUTUP........................................................................................ 52
3.1 Simpulan......................................................................................... 52
3.2 Saran............................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan
kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L.Wong,
2004).
Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh
injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria,
hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan
Rita Yuliani, 2001).
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang
dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan
hiperkolesterolemia (Rauf, 2002).
Pada tahun 1905 Friedrich Muller menggunakan istilah nefrosis untuk
membedakan degenerasi lemak tubulus dengan glomerulus. Namun istilah
nefrosis sekarang tidak dipakai lagi. Tahun 1913 Munk melaporkan adanya
butir-butir lipoid (Lipoid droplets) dalam sedimen urin pasien dengan “nefritis
parenkimatosa kronik”. Kelainan ini ditemukan terutama atas dasar adanya lues
dan diberikan istilah nefrosis lipoid. Istilah sindrom nefrotik (SN) kemudian
digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang menunjukkan suatu
keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukkan satu penyakit yang
mendasari.
Sampai abad ke-20 morbiditas SN pada anak masih tinggi, yaitu
melebihi 50%. Pasien-pasien ini dirawat dalam jangka waktu lama karena
edema anasarka disertai dengan ulserasi dan infeksi kulit. Dengan
ditemukannya obat-obat sulfonamide dan penisilin pada tahun 1940 dan
dipakainya hormone adrenokortikotropik (ACTH) dan kortikosteroid pada
tahun 1950, mortalitas penyakit ini diperkirakan mencapai 67% yang sering
disebabkan oleh komplikasi peritonitis dan sepsis dan pada decade berikutnya
mortalitas menurun sampai + 40%. Angka kematian menurun lagi mencapai
35% setelah obat penisilin mulai digunakan pada tahun1946-1950.

1
Dengan pemakaian ACTH atau kortison pada awal 1950-an untuk
mengatasi edema dan mengurangi kerentanan terhadap infeksi, angka kematian
menurun mencapai 20%. Schwartz dan kawan-kawan melaporkan angka
mortalitas 23% 15 tahun setelah awitan penyakit. Di antara pasien SN yang
selamat dari infeksi sebelum era sulfonamide umumnya kematian pada periode
ini disebabkan oleh gagal ginjal kronik (Nefrologi Anak: 350).
Berdasarkan latar belakang dan judul asuhan keperawatan di atas dapat
diidentifikasikan masalah keperawatan Nefrotik Syndrom mulai dari
pengkajian, riwayat kesehatan, pola fungsional, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboraturium yang berguna untuk menunjang dalam pemberian
asuhan keperawatan. Asuhan keperawatan ditentukan berdasarkan data fokus
yang diperoleh dari keluhan-keluhan yang dirasakan oleh pasien dan keluarga.
Dari keluhan yang dapat digunakan untuk menentukan prioritas masalah
keperawatan yang muncul, menentukan intervensi, implementasi keperawatan
dan mengevaluasi asuhan keperawatan yang diberikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka penulis dapat
merumuskan masalah “Bagaimana cara melakukan asuhan keperawatan pada
klien dengan gangguan sistem perkemihan pada kasus sindrom nefrotik”?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk dapat melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan
kasus sindrom nefrotik.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem perkemihan pada kasus sindrom nefrotik dengan
baik dan benar.
2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan gangguan
sistem perkemihan pada kasus sindrom nefrotik dengan baik dan
benar.
3. Menentukan dan menyusun rencana asuhan keperawatan pada klien
dengan gangguan sistem perkemihan pada kasus sindrom nefrotik
dengan baik dan benar.

2
4. Melaksanakan tindakan asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem perkemihan pada kasus sindrom nefrotik dengan
baik dan benar.
5. Melakukan evaluasi tingkat keberhasilan pelaksanaan asuhan
keperawatan pada klien dengan gangguan sistem perkemihan pada
kasus sindrom nefrotik dengan baik dan benar.
6. Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem perkemihan pada kasus sindrom nefrotik dengan
baik dan benar.
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Ilmu Keperawatan
Menambah wawasan ilmu keperawatan khususnya untuk
melengkapi konsep-konsep intervensi keperawatan. Dapat digunakan
sebagai masukan dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan
ilmu keperawatan.
1.4.2 Rumah Sakit
Diharapkan dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan pada
klien sindrom nefrotik dengan memberikan perawatan yang baik.
1.4.3 Masyarakat
Dapat meningkatkan derajat kesehatan penderita sindrom
nefrotik melalui proses keperawatan yang dilaksanakan dan dijadikan
bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam upaya meningkatkan
perilaku hidup sehat.
1.4.4 Penulis
Dapat memberikan manfaat dalam menambah wawasan ilmu
pengetahuan pada penulis untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh
selama pendidikan.

1.5 Metode Penulisan


Dalam kepustakaan ini penulis menggunakan literatur atau sumber buku
yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.

3
1.6 Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini terdiri dari 3 bab, untuk mempermudah
pembahasan isi makalah ini maka penulis memberikan gambaran singkat, yaitu
sebagai berikut:
BAB 1 : Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, metode penulisan dan sistemika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
1. Konsep dasar sindrom nefrotik menguraikan pengertian, anatomi
fisiologi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi,
pathway, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis.
2. Konsep dasar asuhan keperawatan menguraikan tentang
pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana asuhan keperawatan,
tindakan keperawatan, evaluasi keperawatan dan
pendokumentasian keperawatan.
BAB III : Penutup
Terdiri dari simpulan dan saran
Daftar Pustaka

4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Teori


2.1.1 Pengertian

Sindrom Nefrotik Normal


Gambar 1. Pasien dengan sindrom nefrotik
Sindrom Nefrotik adalah Status klinis yang ditandai dengan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang
mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L.
Wong, 2004).
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), sindrom nefrotik
merupakan gangguan klinis yang ditandai dengan peningkatan protein
dalam urine secara bermakna (proteinuria), penurunan albumin dalam
darah (hipoalbuminemia), edema dan serum koesterol yang tinggi dan
lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). Tanda-tanda tersebut
dijumpai sampai disetiap kondisi yang sangat merusak membrane
kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas
glomerulus.
Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan
oleh injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik;
proteinuria, hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan
edema (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001).
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang
terdiri dari proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam),
hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak
disertai dengan edema dan hiperkolesterolemia (Rauf, 2002).
Berdasarkan pengertian diatas maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa Sindrom Nefrotik pada anak merupakan kumpulan
gejala yang terjadi pada anak dengan karakteristik proteinuria massif

5
hipoalbuminemia, hiperlipidemia yang disertai atau tidak disertai edema
dan hiperkolestrolemia.
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi

Gambar. 2 Ginjal

Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang


terletak retroperitoneal dengan panjang lebih kurang 11-12 cm,
disamping kiri kanan vertebra.
Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri
oleh karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh.
Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan
batas bawah ginjal setinggi batas bawah vertebra lumbalis III.
Pada fetus dan infan, ginjal berlobulasi. Makin bertambah
umur, lobulasi makin kurang sehingga waktu dewasa menghilang.
Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas
piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12
buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna bertini. Dasar
piramid ini ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla
marginalis) menonjol ke dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor
bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal.
Kaliks mayor/minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis
renalis inilah keluar ureter.
Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubili, sedangkan
pada medula hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan
membentuk Nefron. Satu unit nefron terdiri dari glomerolus, tubulus

6
proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan
pula duktus koligentes). Tiap ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2
juta nefron berarti pula lebih kurang 1,5-2 juta glomeruli.
Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana pada
glomerulus ini filtrat dimulai, filtrat adalah isoosmotic dengan
plasma pada angka 285 mosmol. Pada akhir tubulus proksimal 80 %
filtrat telah di absorbsi meskipun konsentrasinya masih tetap sebesar
285 mosmol. Saat infiltrat bergerak ke bawah melalui bagian
desenden lengkung henle, konsentrasi filtrat bergerak ke atas melalui
bagian asenden, konsentrasi makin lama makin encer sehingga
akhirnya menjadi hipoosmotik pada ujung atas lengkung. Saat filtrat
bergerak sepanjang tubulus distal, filtrat menjadi semakin pekat
sehingga akhirnya isoosmotik dengan plasma darah pada ujung
duktus pengumpul. Ketika filtrat bergerak turun melalui duktus
pengumpul sekali lagi konsentrasi filtrat meningkat pada akhir
duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorbsi dan hanya
sekitar 1% yang diekskresi sebagai urin atau kemih (Price, 2001).
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:
a. Korteks: bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari
korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman),
tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.
b. Medula: terdiri dari 9-14 pyramid. Di dalamnya terdiri dari
tubulus rektus, lengkung Henle dan tubulus pengumpul (ductus
collectivus).
c. Columna renalis: bagian korteks di antara pyramid ginjal
d. Processus renalis: bagian pyramid/medula yang menonjol ke
arah korteks.
e. Hilus renalis: suatu bagian di mana pembuluh darah, serabut
saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
f. Papilla renalis: bagian yang menghubungkan antara duktus
pengumpul dan calix minor.
g. Calix minor: percabangan dari calix major.

7
h. Calix major: percabangan dari pelvis renalis.
i. Pelvis renalis: disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang
menghubungkan antara calix major dan ureter.
j. Ureter: saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.
2. Fisiologi ginjal
Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu
alat ekskresi yang sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk
dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi
oleh sirkulasi ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac
output.
a. Faal glomerolus
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk
ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus akibat tekanan
hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan
hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid osmotik. Volume
ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut
glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120
cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan tubuh). GFR normal umur
2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.
b. Faal Tubulus
Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi
dan sekresi dari zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat yang
terbentuk di glomerolus. Sebagaimana diketahui, GFR : 120
ml/menit/1,73 m2, sedangkan yang direabsorbsi hanya 100
ml/menit, sehingga yang diekskresi hanya 1 ml/menit dalam
bentuk urin atau dalam sehari 1440 ml (urin dewasa). Pada anak-
anak jumlah urin dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai dengan
umur : 1) 1-2 hari : 30-60 ml
2) 3-10 hari : 100-300 ml
3) 10 hari-2 bulan : 250-450 ml
4) 2 bulan-1 tahun : 400-500 ml
5) 1-3 tahun : 500-600 ml
6) 3-5 tahun : 600-700 ml
7) 5-8 tahun : 650-800 ml
8) 8-14 tahun : 800-1400 ml
c. Faal Tubulus Proksimal

8
Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling
banyak melakukan reabsorbsi yaitu ± 60-80 % dari ultrafiltrat
yang terbentuk di glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah
protein, asam amino dan glukosa yang direabsorbsi sempurna.
Begitu pula dengan elektrolit (Na, K, Cl, Bikarbonat),
endogenus organic ion (citrat, malat, asam karbonat), H2O dan
urea. Zat-zat yang diekskresi asam dan basa organik.
d. Faal loop of henle
Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin
limb dan ascending thick limb itu berfungsi untuk membuat
cairan intratubuler lebih hipotonik.
e. Faal tubulus distalis dan duktus koligentes
Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan
elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan H2O dan ekskresi Na,
K, Amonium dan ion hidrogen (Rauf, 2002).

2.1.3 Epidemiologi
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati
lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6
tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada
wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-
50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita
2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan
pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang
dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.
Menurut kepustakaan sindrom nefrotik, kasus sindrom nefrotik
ini paling banyak ditemukan pada anak berumur 3-4 tahun. Tetapi
berdasarkan penelitian yang dijalankan di RSCM Jakarta oleh Wila
Wirya I.G.N. dari tahun 1970-1979, didapati sindrom nefrotik pada
umumnya mengenai anak umur 6-7 tahun. Penyakit sindrom nefrotik
dijumpai pada anak mulai umur kurang dari 1 tahun sampai umur 14
tahun (Ngastiyah 2005). Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom

9
nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila
Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak
dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi (Wirya 1997), sedangkan
Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401
anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi
(Noer 2005).
2.1.4 Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui,
akhirakhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu
reaksi antigen-antibodi. Menurut Ngastiyah (2005), umumnya etiologi
dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau reaksi
matemofetal, resisten terhadap semua pengobatan. Gejala : edema
pada masa neonatus
2. Sindrom nefrotik sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek
samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus,
amiloidosis, sindrom Alport, miksedema.
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid,
racun serangga, bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus
sistemik, purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor
gastrointestinal.
3. Sindrom nefrotik idiopatik atau sindrom nefrotik primer
Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom
nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi
akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain.

10
Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam
sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu
salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir
atau usia di bawah 1 tahun. Sekitar 90% nefrosis pada anak dan
penyebabnya belum diketahui, berdasarkan hispatologi yang tampak
pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan
mikroskop elektron. Diduga ada hubungan dengan genetik,
imunologik dan alergi. Sindrom nefrotik primer dibagi menjadi : a.
Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel
epitel berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak
terdapat IgG pada dinding kapiler glomerulus.

b. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding
kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel.Prognosis kurang baik.
c. Glomerulonefritis proliferatif
1) Glomerulonefritis proliferative esudatif difus
Terdapat proliferasi sel mesanginal dan infiltrasi sel
polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang
menyebabkan kapiler tersumbat.
2) Dengan penebalan batang lobular
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan
penebalan batang lobular.
3) Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi
sel epitel sampai kapsular dan viseral. Prognosis buruk
4) Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang
mempunyai membrane basalis di mesangium. Titer globulin
beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis buruk
5) Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.
d. Glomerulosklerosis fokal segmental

11
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus.
Sering disertai atrofi tubulus. Prognosis buruk
Sindroma nefrotik juga bisa disebabkan oleh penyakit dan
sejumlah obat-obatan yang merupakan racun bagi ginjal dan penyakit ,
diantaranya :
1. Penyakit
a. Amilodosis
b. Kanker
c. Diabetes
d. Glumerulopati
e. Infeksi HIV
f. Leukemia
g. Limfoma
h. Gemopatimonoklonal
i. Lupus erimatus sistemik
2. Obat-obatan
a. Obat nyeri menyerupai aspirin
b. Senyawa emas
c. Heroin intravena
d. Penisilamin
2.1.5 Klasifikasi
1. Sindrom nefrotik secara klinis
Sindrom nefrotik secara klinis dibagi menjadi 3 kelompok
diantaranya:
a. Sindrom Nefrotik Bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi
maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus.
Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal
pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan
biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya.
b. Sindrom Nefrotik Sekunder disebabkan oleh:

12
1) Malaria kuartana atau parasit lain.

2) Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata,


purpura anafilaktoid.

3) Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombosis


vena renalis.

4) Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin,


garam emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa.

5) Amiloidosis, penyakit anemia sel sabit, hiperprolinemia,


nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.
c. Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan, yaitu :
1) Kelainan minimal
a) Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau
tampak foot processus sel epitel berpadu (mikroskop
elektron)
b) Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau
imunoglobulin beta-IC pada dinding kapiler glomerolus
c) Lebih banyak terdapat pada anak
d) Prognosis baik
2) Nefropati membranosa
a) Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang
tersebar tanpa proliferasi sel.
b) Prognosis kurang baik
3) Glomerulonefritis proliferatif
a) Eksudatif difus
Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi
polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel
yang menyebabkan kapiler tersumbat.
b) Penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)

13
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar
dan penebalan batang lobular.
c) Dengan bulan sabit (crescent)
Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel
sampai kapsular dan viseral.
d) Glomelurosklerosis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin
yang menyerupai membrana basalis de mesengium.
Titer imunoglobulin beta-IC atau beta-IA rendah.
4) Glomelurosklerosis Fokal Segmental
a) Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus
b) Prognosis buruk
2.
Pembagian Patologi Anatomi
a.
Kelainan minimal
1) Merupakan bentuk utama dari glomerulonefritis dimana
mekanisme patogenetik imun tampak tidak ikut berperan
(tidak ada bukti patogenesis kompleks imun atau antiMBG).
2) Glomerolus tampak foot processus sel terpadu, maka disebut
juga nefrosis lipid atau penyakit podosit.
3) Kelainan yang relatif jinak adalah penyebab sindrom nefrotik
yang paling sering pada anak-anak usia 1-5 tahun.
4) Glomeruli tampak normal atau hampir normal pada
mikroskop cahaya, sedangkan dengan mikroskop elektron
terlihat adanya penyatuan podosit; hanya bentuk
glomerolunefritis mayor yang tidak memperlihatkan
imunopatologi.
b.
Nefropati membranosa (glomerulonefritis membranosa)
1) Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan
secara morfologi khas oleh kelainan berbatas jelas pada
MBG.
2) Jarang ditemukan pada anak-anak.
3) Mengenai beberapa lobus glomerolus, sedangkan yang lain
masih normal.

14
4) Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrana
basalis yang dapat terlihat baik dengan mikroskop cahaya
maupun elektron.
c.
Glomerulosklerosis fokal segmental
1) Lesi ini punya insidens hematuria yang lebih tinggi dan
hipertensi, proteinuria nonselektif dan responnya terhadap
kortikosteroid buruk.
2) Penyakit ini mula-mula hanya mengenai beberapa glomeruli
(istilah fokal) dan pada permulaan hanya glomeroli
jukstameduler. Jika penyakit ini berlanjut maka semua
bagian terkena.
3) Secara histologik ditandai sklerosis dan hialinisasi beberapa
anyaman didalam satu glomerolus, menyisihkan
bagianbagian lain. Jadi keterlibatannya baik fokal dan
segmental.
4) Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik.
d. Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN)
1) Ditandai dengan penebalan membran basalis dan proliferasi
seluler (hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN.
2) Dengan mikroskop cahaya, MBG menebal dan terdapat
proliferasi difus sel-sel mesangial dan suatu penambahan
matriks mesangial.
3) Perluasan mesangium berlanjut ke dalam kumparan kapiler
perifer, menyebabkan reduplikasi membrana basalis (”jejak-
trem” atau kontur lengkap)
4) Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi
streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik.
5) Ada MPGN tipe I dan tipe II.
e. Glomerulonefritis proliferatif fokal
1) Proliferatif glomeruler dan atau kerusakan yang terbatas
pada segmen glomerulus individual (segmental) dan
mengenai hanya beberapa glomerulus (fokal).

15
2) Lebih sering ada dengan sindrom nefritik.
2.1.6 Patofisiologi
Glomeruli adalah bagian dari ginjal yang berfungsi untuk
menyaring darah. Pada nefrotik sindrom, glomeruli mengalami
kerusakan sehingga terjadi perubahan permeabilitas karena inflamasi
dan hialinisasi sehingga hilangnya plasma protein, terutama albumin ke
dalam urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi albumin,
namun organ ini tidak mampu untuk terus mempertahankannya. Jika
albumin terus menerus hilang maka akan terjadi hipoalbuminemia.
Hilangnya protein menyebabkan penurunan tekanan onkotik
yang menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang berpindah
dari sistem vaskuler ke dalam ruang cairan ekstraseluler. Penurunan

16
volume cairan vaskuler menstimuli sistem renin-angio-tensin, yang
mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH) dan
aldosteron menyebabkan re absorbsi natrium (Na) dan a ir sehingga
mengalami peningkatan dan akhirnya menambah volume
intravaskuler.
Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis LDL
(Low Density Lipoprotein) dalam hati dan peningkatan kosentrasi
lemak dalam darah (hiperlipidemia). Adanya hiperlipidemia juga
akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam hati yang timbul
oleh karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan banyak
dalam urin (lipiduria)
Menurunya respon immun karena sel immun tertekan,
kemungkinan disebabkan oleh karena hipoalbuminemia,
hiperlipidemia, atau defesiensi seng. Penyebab mencakup
glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus
erythematosus sistemik, dan trombosis vena renal (Toto Suharyanto,
2009).

2.1.7 Pathway

17
2.1.8 Manifestasi Klinis
Menurut Suriadi (2001), tanda dan gejala dari syndrome nefrotik
adalah :
1. Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada
anak-anak.
2. Hipoalbuminemia < 30 g/l.
3. Edema generalisata. Edema terutama jelas pada kaki, namun dapat
ditemukan edema muka, ascxites dan efusi pleura.
4. Anorexia
5. Fatique
6. Nyeri abdomen
7. Berat badan meningkat
8. Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.
9. Hiperkoagualabilitas, yang akan meningkatkan resiko trombosis
vena dan arteri.
Menurut Betz, Cecily L (2002), tanda dan gejala syndrome
nefrotik adalah sebagai berikut:
1. Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya
bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema
biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya
ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen
daerah genitalia dan ekstermitas bawah.
2. Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa.
3. Pucat Hematuri, azotemeia hipertensi ringan.
4. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
5. Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan
keletihan umumnya terjadi.
6. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
7. Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang).

2.1.9 Pemeriksaan Diagnostik


Menurut Betz, Ceily L (2002), pemeriksaan diagnostik sebagai
berikut :
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin

18
Biakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik yang
mengarah pada infeksi saluran kemih (ISK).
2. Protein urin kuantitatif
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam
atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,
trombosit, hematokrit, LED).
b. Albumin dan kolesterol serum.
c. Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin
Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun
dengan rumus Schwartz. Rumus Schwartz digunakan untuk
memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG).
eLFG = k x L/Scr keterangan
:
eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2)
L : tinggi badan (cm) Scr : serum kreatinin (mg/dL) k
: konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55;
remaja putra:0,7).
d. Kadar komplemen C3
Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik,
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti
nuclear antibody), dan anti ds-DNA.
4. Diagnostik
Biopsi ginjal merupakan uji diagnostik yang tidak dilakukan
secara rutin.

2.1.10 Terapi secara suportif, dietetik dan medikamentosa bagi sindrom


Nefrotik
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya
jangan tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi
spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Terapi kortikoteroid dimulai
apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari. Untuk

19
menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan
sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti pada tabel 2 berikut:
Tabel 1. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada
anak dengan sindrom nefrotik.
sindrom nefrotik Remisi Proteinuria negatif atau
proteinuria
< 4 mg/m2/jam selama 3 hari
berturut-turut
Kambuh Proteinuria 2 + atau proteinuria >
40 mg/m2/jam
selama 3 hari berturut-turut,
dimana sebelumnya
pernah mengalami remisi
Kambuh tidak sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6
bulan,
atau < 4 kali dalam periode 12
bulan
Kambuh sering Kambuh 2 kali dalam 6 bulan
pertama setelah respons awal,
atau 4 kali kambuh pada setiap
periode 12 bulan.
Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan
terapi steroid saja.
Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-
turut selama masa tapering terapi
steroid, atau dalam waktu 14 hari
setelah terapi steroid dihentikan.
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun
telah diberikan terapi prednison
60 mg/m2/hari selama 4 minggu.
Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu
terapi prednison 60 mg/m2/hari
tanpa tambahan terapi lain.

20
Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal.
Nonresponder lambat Resisten-steroid terjadi pada pasien yang
sebelumnya responsif-steroid.
1. Protokol pengobatan menurut International Study of Kidney Disease
in Children (ISKDC)
ISKDC menganjurkan untuk memulai terapi awal dengan
pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan
dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan
dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari
dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu
pengobatan dihentikan.
a. Cara penanganan sekiranya terjadi sindrom nefrotik serangan
pertama :
1) Perbaiki keadaan umum penderita
a) Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet
terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Batasi asupan natrium sampai ± 1 gram/hari, secara
praktis dengan menggunakan garam secukupnya dalam
makanan yang diasinkan. Pasien diberikan diet tinggi
kalori, tinggi protein 2-5 gram/kgBB/hari, serta rendah
lemak.
(1) Ditingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu
dengan transfusi plasma atau albumin konsentrat.
(2) Mengatasi infeksi
(3) Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk
mencari tanda-tanda komplikasi dari sindrom
nefrotik.
2) Berikan terapi suportif yang diperlukan
a) Tirah baring bila ada edema anasarka. Diuretik diberikan
bila ada edema anasarka berat atau mengganggu aktivitas
seharian. Biasanya diberikan furosemid 1 mg/kgBB/kali,
bergantung pada beratnya edema dan respons pasien

21
terhadap pengobatan. Bila edema refrakter, dapat
digunakan hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama
pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan
hipokalemia, alkalosis metabolik atau hipovolemia
(kehilangan cairan intravaskular berat).
b) Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat
antihipertensi.
Terapi prednison sebaiknya baru diberikan
selambatlambatnya 14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik
ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi
spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan,
prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau
kurang terjadi pemburukan keadaan pasien, segera berikan
prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.
b. Cara penanganan sekiranya terjadi sindrom nefrotik kambuh
(relaps) :
1) Berikan prednison sesuai protokol relaps, segera setelah
diagnosis relaps ditegakkan.
2) Perbaiki keadaan umum penderita
c. Cara penanganan sekiranya terjadi sindrom nefrotik kambuh
tidak sering (sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa
6 bulan atau < 4 kali dalam masa 12 bulan)
1) Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg
BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis
terbagi setiap hari selama 3 minggu.
2) Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40
mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal
pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison
dihentikan.
d. Sindrom nefrotik kambuh sering (sindrom nefrotik yang kambuh
> 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan).

22
1) Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg
BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis
terbagi setiap hari selama 3 minggu
2) Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60
mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal
pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis
prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan
selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1
minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu,
akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian
prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari,
siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari
selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid
dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis
nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons terhadap
pengobatan awal, relaps sering, terdapat komplikasi,
terdapat kontra indikasi steroid, atau untuk biopsi ginjal.

1. Terapi suportif
a. Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan
aktivitas). Pembatasan asupan cairan terutama pada
penderita rawat inap ± 900 sampai 1200 ml/ hari.
b. Diet makanan dan minuman tinggi protein yang
mengandung protein 2-5 gram/kgbb/hari, rendah
lemak dan tinggi kalori.
c. Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 – 2
gram/hari jika anak hipertensi. Menggunakan garam
secukupnya dalam makanan dan menghindari
makanan yang diasinkan.

23
d. Terapi diuretik sesuai indikasi. Pemberian ACE-
inhibitors misalnya : enalpril, captopril atau lisinopril
untuk menurunkan pembuangan protein dalam air
kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam
darah. Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan
fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut
dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga
tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan
fungsi ginjal.
e. Terapi albumin jika intake anak dan output urin
kurang.
f. Antibiotik hanya diberikan bila ada infeksi (Donna
L. Wong, 2004).
2.1.11 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis menurut Mansjoer Arif (2000) :
a. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium
kurang lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan
garam secukupnya dan menghindari makanan yang di asinkan.
Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.
b. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat
digunakan diuretik, biasanya furosemid 1mg/kgBB/hari.
Bergantung pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila
edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid (25-50
mg/hari, selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan
cairan intravaskuler berat.
c. Pengobatan kortikosterois yang diajukan internasional
cooperative study of kidney disease in children (ISCKD), sebagai
berikut :
1) Selama 28 hari prednisone diberikan per oral dengan dosis
60 mg/hari luas permukaan badan (lbp) dengan maksimum
80 mg/hari.

24
2) Kemudian dilanjutkan dengan prednisone per oral selama 28
hari dengan dosis 40 mg/hari/lbp, setiap 3 hari dalam satu
minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat
respon selama pengobatan, maka pengobatan ini dilanjutkan
secara intermitten selama 4 minggu.
d. Cegah infeksi. Antibiotiknya hanya dapat diberikan bila ada
infeksi.
e. Fungsi asites maupun hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi
vital.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien sindrom nefrotik perlu dirawat di rumah sakit, karena
memerlukan pengawasan dan pengobatan yang khusus. Masalah
pasien yang perlu diperhatikan adalah edema yang berat (anasarka),
diet, resiko komplikasi, pengawasan mengenai pengobatan atau
gangguan rasa aman dan nyaman, dan kurangnya pengetahuan orang
tua mengenai penyakit pasien atau umum.
Pasien dengan sindrom nefrotik dengan anasrka perlu
istirahat di tempat tidur karena keadaan edema yang berat
menyebabkan pasien kehilangan kemampuannya untuk bergerak.
Selama edema masih berat semua keperluan harus ditolong diatas
tempat tidur.
a. Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di dalam
rongga thoraks akan menyebabkan sesak nafas
b. Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit
(bantal di letakkan memanjang, karena jika bantal melintang
maka ujung kaki akan lebih rendah dan akan menyebabkan
edema hebat).
c. Bila pasien seseorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah
skrotum untuk mencegah pembengkakan skrotum karena
tergantung (pernah terjadi keadaan skrotum akhirnya pecah dan
menjadi penyebab kematian pasien).

25
Bila edema telah berkurang diperbolehkan pasien melakukan
kegiatan sesuai kemampuannya, tetapi tetap didampingi atau dibantu
oleh keluarga atau perawat dan pasien tidak boleh kelelahan.untuk
mengetahui berkurangnya edema pasien perlu ditimbang setiap hari,
diukur lingkar perut pasien. Selain itu perawatan pasien dengan
sindrom nefrotik, perlu dilakukan pencatatan masukan dan
pengeluaran cairan selama 24 jam. Pada pasien dengan sindrom
nefrotik diberikan diet rendah protein yaitu 1,2-2,0 g/kgBB/hari dan
cukup kalori yaitu 35 kal/kgBB/hari serta rendah garam (lg/hari).
Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan pasien, dapat
makanan biasa atau lunak.
Pasien dengan sindrom nefrotik mengalami penurunan daya
tahan tubuh yang mengakibatkan mudah terkena infeksi. Komplikasi
pada kulit akibat infeksi streptococcus dapat terjadi. Untuk
mencegah infeksi tersebut, kebersihan kulit perlu diperhatikan dan
alat-alat tenun atau pakaian pasien harus bersih dan kering.
Antibiotik diberikan jika ada infeksi, dan diberikan pada waktu yang
sama. Jika pasien diperbolehkan pulang, orang tua pasien perlu
diberikan penjelasan bagaimana merawat anak yang menderita
penyakit sindrom nefrotik. Pasien sendiri perlu juga diterangkan
aktivitas apa yang boleh dilakukan dan kepatuhan tentang dietnya
masih perlu diteruskan sampai pada saatnya dokter mengizinkan
bebas diet. Memberikan penjelasan pada keluarga bahwa penyakit
ini sering kambuh atau berubah menjadi lebih berat jika tidak
terkontrol secara teratur, oleh karena itu orang tua pasien dianjurkan
kontrol sesuai waktu yang ditentukan (biasanya 1 bulan sekali)
(Ngastiyah , 2005).
2.1.12 Prognosis
Prognosisnya tergantung kepada penyebabnya, usia penderita
dan jenis kerusakan ginjal yang biasa diketahui dari pemeriksaan
mikroskopik pada biopsy. Gejalanya akan hilang seluruhnya jika
penyebabnya adalah penyakit yang dapat di obati dengan obat-obatan.
Prognosis biasanya baik jika penyebabnya memberikan respon yang

26
baik dari kortikosteroid. Anak yang lahir dengan sindrom ini jarang
bertahan hidup sampai 1 tahun, beberapa diantaranya bisa bertahan
setelah menjalani dialisa atau pencangkokan ginjal.
Prognosis yang paling baik ditemukan pada sindrom nefrotik
akibat glomerulonefritis yang ringan 90% penderita anak memberikan
respon yang baik terhadap pengobatan. Jarang yang berkembang
menjadi gagal ginjal, meskipun cenderung bersifat sering kambuh.
Tetapi setelah 1 tahun bebas gejala, jarang terjadi kekambuhan.
Sebagian besar anak dengan nefrosis yang berespon terhadap
steroid akan mengalami kekambuhan berkali-kali sampai penyakitnya
menyembuh sendiri secara spontan menjelang usia akhir decade
kedua. Yang penting adalah menunjukkan pada keluarganya bahwa
anak tersebut tidak akan menderita sisa disfungsi ginjal, bahwa
biasanya penyakit tersebut tidak herediter, dan anak akan tetap fertile
bila tidak ada terapi siklosflosfamid atau klorambisil. Untuk
memperkecil efek psikologis nefrosis, ditekankan bahwa selama masa
remisi anak tersebut normal tidak perlu pembatasan diet dan aktivitas.
Pada yang sedang berada pada masa remisi pemeriksaan urin protein
biasanya tidak diperlukan (Behrman,

Kliegman, Arvin, 2000).


Prognosis makin baik jika dapat didiagnosis segera. Pengobatan
segera dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat
mekanisme kompensasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga
baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap
kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Pada umumnya sebagian besar
(+ 80%) pasien sindrom nefrotik memberi respons yang baik terhadap
pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan
relaps berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan
pengobatan steroid.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan
bertahun-tahun dengan kortikosteroid. Terapi antibakteri dapat
mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap

27
kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal. Prognosis
umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau
di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
6. Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnya
gambaran klinis penyakit (Donna, L.Wong, 2004).
Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi,
tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal. Penyembuhan klinis
kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan
kortikosteroid (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI,
2002).
2.1.13 Komplikasi
Menurut Betz, Cecily (2002) dan Rauf (2002), komplikasi yang
terjadi pada sindrom nefrotik, antara lain :
1. Penurunan volume intravascular (syok hipovolemik)
2. Kemampuan koagulasi yang berlebihan (trombosis vena)
3. Perburukan pernafasan (berhubungan dengan retensi cairan )
4. Kerusakan kulit
5. Infeksi sekunder karena kadar immunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia
6. Peritonitis
Komplikasi sindrom nefrotik mencakup infeksi akibat defisiensi
respon imun, tromboembolisme (terutama vena renal), embnoli
pulmoner, dan peningkatan terjadinya aterosklerosis.
Komplikasi dari sindrom nefrotik dapat terjadi sabagai bagian
dari penyakit sendiri atau sebagai akibat pengobatan. Kelainan
koagulasi dan timbulnya trombosis. Beberapa kelainan koagulasi dan
system fibrinolitik banyak ditemukan pada pasien sindrom nefrotik.

28
Berakibat adanya keadaan hiperkoagulasi dengan meningkatnya
masalah tromboemboli.
Perubahan hormone dan mineral, gangguan hormone timbul
karena protein pengikat hormone hilang dalam urin. Dilaporkan adanya
kalsium terionisasi yang menurun 50 % sampai 80 % pada pasien
sindrom nefrotik yang menunjukkan bahwa hipokalsemia memang
mungkin terjadi (Smeltzer, SC, Bare BG, 2001).

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah langkah pertama dari proses keperawatan
dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari klien sehingga akan
diketahui berbagai permasalahan yang ada (Hidayat, 2007).
1. Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, tanggal dan
jam masuk rumah sakit, nomor registrasi, diagnose, nama orang tua,
alamat, umur pendidikan, pekerjaan, pekerjaan orang tua,agama dan
suku bangsa.
Umumnya 90 % dijumpai pada kasus anak. Enam (6) kasus
pertahun setiap 100.000 anak terjadi pada usia kurang dari 14 tahun.
Rasio laki-laki dan perempuan yaitu 2 : 1. Pada daerah endemik
malaria banyak mengalami komplikasi sindrom nefrotik.

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Badan bengkak, muka sembab dan nafsu makan
menurun.
b. Riwayat penyakit dahulu
Edema masa neonatus, malaria, riwayat GNA dan GNK,
terpapar bahan kimia.
c. Riwayat penyakit sekarang

29
Badan bengkak, muka sembab, muntah, nafsu makan
menurun, konstipasi, diare, urine menurun.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak
dapat ditangani dengan terapi biasa dan bayi biasanya mati pada
tahun pertama atau dua tahun setelah kelahiran.
e. Riwayat Kehamilan dan Persalinan Tidak ada hubungan.
f. Riwayat kesehatan lingkungan
Endemik malaria sering terjadi kasus NS.
g. Imunisasi
Tidak ada hubungan.
3. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Menurut Donna L. Wong (2004), riwayat pertumbuhan
dan perkembangan meliputi : a. Fungsi motorik
1) Melanjutkan pertumbuhan 5 cm dalam 1 tahun.
2) Berat badan 19,6 sampai 39,6 kg, tinggi badan 117-141,8
cm.
3) Gigi insisi lateral (maksilar) dan kaninus mandibular
muncul.
4) Aliran gerak : sering, lemah lembut dan tenang.
5) Selalu terburu-buru : melompat, lari, meloncat.
6) Peningkatan kehalusan dan kecepatan dalam kontrol motorik
halus : menggunakan tulisan sambung.
7) Berpakaian lengkap sendiri.
8) Suka melakukan sesuatu secara berlebihan : sukar diam
setelah setelah istirahat.
9) Lebih lentur : tulang tumbuh lebih cepat daripada ligament.
b. Mental
1) Memberi kemiripan dan perbedaan antara 2 hal dari memori.
2) Menghitung mundur dari 20 sampai 1 : memahami konsep
kebalikan.
3) Mengulang hari dalam seminggu dan bulan berurutan :
mengetahui tanggal.

30
4) Menggambarkan objek umum dengan mendetil, tidak
semata-mata penggunaannya.
5) Membuat perubahan lebih dari seperempatnya.
6) Masuk kelas 3 dan 4.
7) Lebih banyak membaca : berencana untuk mudah terbangun
hanya untuk membaca.
8) Membaca buku klasik, tetapi juga menyukai komik.
9) Lebih menyadari waktu : dapat dipercaya untuk pergi ke
sekolah tepat waktu.
10)Dapat menangkap konsep bagian dan keseluruhan (fraksi).
11) Memahami konsep ruang, penyebab dan efek,
menggabungkan puzzle.
12)Mengklasifikasikan objek lebih dari satu kualitas :
mempunyai koleksi.
13)Menghasilkan gambar atau lukisan sederhana.
c. Personal-Sosial
1) Lebih senang berada di rumah.
2) Menyukai sisitem penghargaan.
3) Mendramatisasi.
4) Lebih dapat bersosialisasi.
5) Lebih sopan.
6) Tertarik pada hubungan laki-laki-perempuan, tetapi tidak
terikat.
7) Menyukai kompetisi dalam permainan,
8) Menunjukkan kesukaan dalam berteman dan berkelompok.
9) Bermain paling banyak dalam kelompok dengan jenis
kelamin yang sama, tetapi mulai bercampur.
10)Mengembangkan kerendahan hati.
11) Membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
12)Menikmati kelompok olahraga.
4. Pengkajian Kebutuhan Dasar
a. Kebutuhan Oksigenasi

31
Dispnea terjadi karena telah terjadi adanya efusi pleura.
Tekanan darah normal atau sedikit menurun. Nadi 70-110 x/mnt.
b. Kebutuhan Nutrisi dan Cairan
Nafsu makan menurun, berat badan meningkat akibat
adanya edema, nyeri daerah perut, malnutrisi berat.
c. Kebutuhan Eliminasi
Urine/24 jam 600-700 ml, hematuria, proteinuria,
oliguri. Perubahan urin seperti penurunan volume dan urin
berbuih.
d. Kebutuhan Aktivitas dan Latihan
Mudah letih dalam beraktivitas. Edema pada area
ektrimitas (sakrum, tumit, dan tangan). Pembengkakan
pergelangan kaki / tungkai.
e. Kebutuhan Istirahat dan Tidur
Kesulitan tidur karena mungkin terdapat nyeri, cemas
akan hospitalisasi.

f. Kebutuhan Persepsi dan Sensori


Perkembangan kognitif anak usia pra sekolah sampai
pada tahap pemikiran prakonseptual ditandai dengan anak-anak
menilai orang, benda, dan kejadian di luar penampilan luar
mereka.
g. Kebutuhan Kenyamanan
Sakit kepala, pusing, malaise, nyeri pada area abdomen,
adanya asites.
h. Kebutuhan Personal Hygiene
Kebutuhan untuk perawatan diri pada anak usia pra
sekolah selama di rumah sakit mungkin dibantu oleh keluarga.
Kaji perubahan aktifitas perawatan diri sebelum dan selama
dirawat di rumah sakit.
i. Kebutuhan Informasi
Pengetahuan keluarga tentang diet pada anak dengan
sindrom nefrotik, pertumbuhan dan perkembangan anak, serta
proses penyakit dan penatalakasanaan.
j. Kebutuhan Komunikasi

32
Anak usia pra sekolah dapat mengungkapkan apa yang
dirasakan. Kosa kata sudah mulai meluas, kalimat kompleks
sederhana tapi dipahami. Untuk usia 3 tahun, komunikasi lebih
sering berbentuk simbolis.
k. Kebutuhan Seksualitas
Anak usia pra sekolah mulai membedakan perilaku
sesuai jender. Anak mulai menirukan tindakan orangtua yang
berjenis kelamin sama. Eksplorasi tubuh mencakup mengelus
diri sendiri, manipulasi genital, memeluk boneka.
l. Kebutuhan Konsep Diri
Konsep diri pada anak usia pra sekolah sudah mulai
terbentuk dengan anak mengetahui tentang identitas dirinya.

m. Kebutuhan Rekreasi
Anak yang mengalami hospitalisasi dalam waktu lama
akan mengalami kejenuhan. Kebiasaan yang sering dilakukan
mungkin berubah pada saat anak hospitalisasi.
n. Kebutuhan Spiritual
Kebutuhan spiritual pada anak mengikuti orangtua. 5.
Pengkajian Persistem
a. Sistem pernapasan
Frekuensi pernapasan 15-32 x/menit, rata-rata 18
x/menit, efusi pleura karena distensi abdomen
b. Sistem kardiovaskuler
Nadi 70-110 x/mnt, tekanan darah 95/65-100/60 mmHg,
hipertensi ringan bisa dijumpai.
c. Sistem persarafan
Dalam batas normal.
d. Sistem perkemihan
Urine/24 jam 600-700 ml, hematuri, proteinuria, oliguri.
e. Sistem pencernaan
Diare, nafsu makan menurun, anoreksia, hepatomegali, nyeri
daerah perut, malnutrisi berat, hernia umbilikalis, prolaps ani.
f. Sistem musculoskeletal Dalam batas normal.

33
g. Sistem integument
Edema periorbital, ascites.
h. Sistem endokrin
Dalam batas normal
i. Sistem reproduksi
Dalam batas normal.
j. Persepsi orang tua
Kecemasan orang tua terhadap kondisi anaknya.

6. Pemeriksaan Penunjang
Selain proteinuria masif, sedimen urin biasanya normal. Bila
terjadi hematuria mikroskopik lebih dari 20 eritrosit/LPB dicurigai
adanya lesi glomerular (misal sklerosis glomerulus fokal). Albumin
plasma rendah dan lipid meningkat. IgM dapat meningkat,
sedangkan IgG menurun. Komplemen serum normal dan tidak ada
krioglobulin.
Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi,
dan riwayat penyakit sistemik klien perlu diperhatikan. Pemeriksaan
serologit dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab GN sekunder.
Pemeriksaan serologit sering tidak banyak memberikan informasi
dan biayanya mahal. Karena itu sebaiknya pemeriksaan serologit
hanya dilakukan berdasarkan indikasi yang kuat.

34
7. Analisa Data
No Symptom Etiologi Problem
1 DS : Sindrom nefrotik Kelebihan
Ibu mengatakan
volume
Hipoalbumin
badan anaknya
cairan
bengkak. Tekanan onkotik
DO :
turun dan
Tampak edema
tekanan
periorbita, area
hidrostatik naik
ekstrimitas dan
abdomen. Perpindahan
cairan dari
vaskuler ke
interstitial

Edema
2 DS : Sindrom nefrotik Nutrisi
Pasien mengeluh
kurang dari
Retensi cairan
mual, muntah, tidak
kebutuhan
rongga perut
nafsu makan.
DO :
asites
A (antropometri) :
menekan perut
BB →15kg
Ditentukan dengan mual dan muntah

35
penghitungan Rumus
nafsu makan
status gizi anak:
menurun
BB anak__ x 100%
BB normal
BB normal = (umur x
2) + 8.
B (hasil lab)
-Hb=12,3 gr/dl
-albumin=3,5g/dl
-Hematokrit=36%
C : tidak nafsu
makan, bibir kering,
kondisi pasien lemah.
D : pasien hanya
menghabiskan
setengah porsi
makanan, jenis diet :
diet tinggi protein
dan kalori.
3 DS: Sindrom Nefrotik Kerusakan
1. Ibu mengatakan integritas
kulit anaknya Hipovolemi kulit
meregang.
2. Ibu mengatakan
anaknya sering Peningkatan
terbaring. reaksi ADH
DO : Aldosteron
1.
Kulit lecet Retensi dan Na
2.
Kulit tampak Edema
mengkilat dan
meregang Kulit lecet,

36
3. turgor jelek
Anak tampak
terbaring

DS : Edema Gangguan
Pasien malu terhadap
citra tubuh
Perubahan
tubuhnya
DO : bentuk tubuh
pasien edema
Gangguan citra
periorbita
tubuh

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema, hipoalbumin.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kehilangan nafsu makan.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan
pertahanan tubuh
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan
persepsi ketidakmampuan, edema.
2.2.3 Intervensi Keperawatan NIC :
Diagnosa Fluid management
Tujuan dan
NO keperawatan 1. Timbang Intervensi
popok/pembalut jika
1 Kelebihan Kriteria
NOC : Hasil
diperlukan.
Setelah dilakukan
volume cairan tindakan keperawatan 2. Pertahankan catatan intake dan
selama 3x24 jam output yang akurat.
kelebihan cairan 3. Pasang urin kateter jika
klien diperlukan.
berkurang, dengan 4. Monitor hasil lab yang sesuai
kriteria : dengan retensi cairan (BUN, Hmt,
edema, efusi, osmolalitas urin ).
1. Terbebas dari
5. Monitor status hemodinamik anaskara.
2. Bunyi nafas termasuk CVP, MAP, PAP, dan
bersih, tidak PCWP.
6. Monitor vital sign. ada

37
7. Monitor indikasi retensi /
dyspneu/ortopn kelebihan cairan (cracles, CVP,
eu.
edema, distensi vena leher, asites).
3. Terbebas dari
8. Kaji lokasi dan luas edema.
distensi vena 9. Monitor masukan makanan /
jugularis, reflek cairan dan hitung intake kalori
hepatojugular harian.
10. Monitor status
nutrisi. (+).
11. Kolaborasi
pemberian diuretik
4. Memelihara
sesuai interuksi.
tekanan vena
12. Batasi masukan cairan pada
sentral, tekanan keadaan hiponatrermi dilusi
kapiler paru,
dengan serum Na < 130 mEq/l.
output jantung 13. Kolaborasi dokter jika tanda dan vital
sign cairan berlebih muncul dalam batas memburuk.
normal. Fluid Monitoring
5. Terbebas dari
1. Tentukan riwayat jumlah dan tipe
kelelahan,
intake cairan dan eliminasi.
kecemasan atau 2. Tentukan kemungkinan faktor
kebingungan. resiko dari ketidak seimbangan
6. Menjelaskan cairan (Hipertermia,
terapi indikator diuretik, kelainan renal, gagal
kelebihan jantung, diaporesis, disfungsi hati, cairan.
dll).
3. Monitor berat badan.
4. Monitor serum dan elektrolit urine.
5. Monitor serum dan osmilalitas
urine.
6. Monitor BP, HR, dan RR.
7. Monitor tekanan darah orthostatik

38
11. Monitor tanda dan gejala dari
odema.

Elektrolite Management
1. Monitor intake output.
2 Ketidakseimb NOC : 2. Monitor
Nutrition fungsi renal.
Management
3. Monitor nilai Ca, Mg, Cl.
angan nutrisi Setelah dilakukan 1.
4. Kaji adanyamedikasi
Kolaborasi alergi makanan.
sesuai
2. Anjurkan pasien untuk kurang dari
tindakan program.
5. meningkatkan
Monitor gejala mual,intake
muntah, Fe.
kebutuhan keperawatan selama hematuria sebagai akibat
3. Anjurkan pasien
gangguan ginjal.
untuk
tubuh 3 x 24 jam
meningkatkan protein dan vitamin
diharapkan nutrisi
C.
pada klien 4. Berikan substansi gula.
5. Yakinkan diet yang dimakan
seimbang dnegan
mengandung tinggi serat untuk
kriteria hasil :
mencegah konstipasi.
1. Adanya
6. Berikan makanan yang terpilih
peningkatan
(sudah dikonsultasikan dengan
berat badan
ahli gizi).
sesuai dengan 7. Ajarkan pasien
bagaimana tujuan. membuat catatan makanan harian.
2. Berat badan 8. Monitor jumlah nutrisi dan ideal
sesuai kandungan kalori.
d i badan.
e 3. Mampu
n mengidentifikas i
g kebutuhan nutrisi.
a 4. Tidak ada tanda tanda
n malnutrisi.
t 5. Tidak terjadi
i penurunan berat badan
n yang berarti.
g kebutuhan nutrisi.
g

39
9. Berikan informasi tentang

10. Kaji kemampuan pasien 5. Monitor lingkungan selama makan.


untuk mendapatkan 6. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam
nutrisi yang dibutuhkan. makan.
11. Kolaborasi dengan ahli 7. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi.
gizi untuk menentukan 8. Monitor turgor kulit.
jumlah kalori dan nutrisi 9. Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah.

yang dibutuhkan pasien. 10. Monitor mual dan muntah.


11. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar
Nutrition Monitoring
Ht.
1. BB pasien dalam batas
normal. 12. Monitor makanan kesukaan.
2. Monitor adanya 13. Monitor pertumbuhan dan

penurunan berat badan. perkembangan.

3. Monitor tipe dan jumlah 14. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan

aktivitas yang biasa konjungtiva.

dilakukan. 15. Monitor kalori dan intake nuntrisi.


16. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila
4. Monitor interaksi anak
lidah dan cavitas oral.
atau orangtua selama
17. Catat jika lidah berwarna
makan.
3 Kerusakan NOC : NIC :
Pressure Management
integritas Setelah dilakukan
1. Anjurkan pasien untuk
kulit tindakan
menggunakan pakaian yang
keperawatan selama
longgar.
3x24 jam 2. Hindari kerutan pada tempat tidur.
3. Jaga kebersihan kulit
agar tetap diharapkan
bersih dan kering.
kerusakan integritas
4. Mobilisasi pasien
(ubah posisi
kulit teratasi
pasien) setiap dua jam sekali.
dengan kriteria 5. Monitor kulit akan adanya hasil :
kemerahan.

6. Oleskan lotion atau minyak/baby

40
1. Integritas kulit oil pada derah yang
tertekan. yang baik bisa
7. Monitor aktivitas dan mobilisasi
dipertahankan
pasien.
(sensasi, 8. Monitor status nutrisi pasien.
9. Memandikan pasien dengan
sabun elastisitas,
dan air
hangat. temperatur, hidrasi,
pigmentasi).
2. Tidak ada luka/lesi pada
kulit.
3. Perfusi jaringan baik.
4. Menunjukkan pemahaman dalam
proses perbaikan kulit dan
mencegah
mempertahanka
terjadinya
n kelembaban
sedera berulang.
kulit dan
5. Mampu
perawatan
melindungi
alami.
4 Gangguan NOC : NIC :
citra tubuh Setelah dilakukan Body Image enhancement
berhubungan tindakan 1. Deteksi adanya perubahan body
dengan keperawatan selama image.
kulit dan 2. Gunaka
n prosedur antisipasi untuk perubahan 2x24
jam, mencegah perubahan body image.
penampilan diharapkan klien
3. Bantu
klien untuk men-diskusikan
persepsi tidak mengalami perubahan yang
terjadi karena
ketidak gangguan citra
penyakitnya.
mampuan tubuh, dengan 4. Bantu klien untuk
mendiskriteria hasil : kripsikan perubahan bentuk dan

41
1. Gambaran diri fungsi tubuh
sesuai umur.
5. Latih anak / klien utuk baik.
2. Keseimbangan menggunakan fungsi
tubuh sesuai antara keadaan kondisi.
6. Identifikasi koping strategi
dari tubuh dan orang tua dalam merespon
idealisme, serta
perubahan kondisi anak.
perilaku.
3. Bisa menerima perubahan fungsi
tubuh.
4. Menerima perubahan status
kesehatan.
5. Mau
menggunakan
alternative /
fasilitas lain

42
mendukung
fungsi.
2.2.4 Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan merupakan tindakan yang sudah di rencanakan
dalam rencana keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup
tindakaan mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi. Agar lebih
jelas dan akurat dalam melakukan implementasi diperlukan
perencanaan keperawatan yang spesifik dan operasional (Tarwoto dan
Wartonah, 2006).
Pelaksanaan merupakan langkah ke empat dalam tahap proses
keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah di rencanakan dalam
rancana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini perawat harus
mengetahui berbagai hal di antaranya bahaya-bahaya fisik dan
perlindungan bagi klien, tehnik komunikasi, kemapuan dalam prosedur
tindakan, pemahaman dari hak-hak dari klien serta dalam memahami
tingkat perkembangan klien (A Aziz Alimul Hidayat, 2007).
2.2.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap dimana proses penilaian dicapai
meliputi pencapaian tujuan dan kriteria hasil. Pelaksanaan evaluasi
didokumentasikan dalam bentuk catatan perkembangan dengan
menggunakan metode SOAP (Subjektif, Objektif, Assesment,
Planning).
Evaluasi adalah tahap yang ke 5 dan terakhir dalam proses
keperawatan dengan cara melakukan indentifikasi sejauh mana tujuan
dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam melakukan evaluasi
perawat seharusnya memiliki pengetahuan yang dicapai serta
kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria
hasil. Evaluasi merupakan aspek yang penting dari proses keperawatan
karena kesimpulan yang di dapatkan dari evaluasi menentukan apakah
intervensi keperawatan dihentikan/dilanjutkan atau diubah
(dimodifikasi) (Hidayat, 2007).
Jenis evaluasi ada 2 macam yaitu :
1. Evaluasi formatif

43
Menyetakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan
implementasi.
2. Evaluasi sumatif
Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status
pasien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang di laksanankan
pada tahap perencanaan. Di samping itu, evaluasi juga sebagai alat
ukur suatu tujuan yang mempunyai kriteria tertentu yang membutikan
apakah tujuan tercapai, tidak tercapai atau tercapai sebagian.
Evaluasi perencanaan kreteria hasil tulis pada catatan
perkembangan dalam bentuk SOAPIER :
S (Subyektif) : Keluhan-keluhan klien
O (Obyektif) : Apa yang dilihat, dicium, diraba dan dapat
diukur oleh perawat.
A (Analisa) : Kesimpulan tentang keadaan klien
P (Plan of care) : Rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi
diagnosa/ masalah keperawatan klien.
I (Intervensi) : Tindakan yang dilakukan perawat untuk kebutuhan
klien.
E (Evaluasi) : Respon klien terhadap tindakan perawat R
(Ressesment): Mengubah rencana tindakan keperawatan yang
diperlukan.
Tujuan evaluasi ini adalah untuk melihat kemampuan klien
dalam mencapai tujuan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan
mengadakan hubungan dengan klien berdasarkan respon klien
terhadap tindakan keperawatan yang diberikan, sehingga perawat
dapat mengambil keputusan:
1. Mengakhiri rencana tindakan keperawatan (klien telah mencapai
tujuan yang ditetapkan).
2. Memodifikasi rencana tindakan keperawatan (klien mengalami
kesulitan untuk mencapai tujuan).
3. Meneruskan rencana tindakan keperawatan (kilen memerlukan
waktu yang lebih lama untuk mencapai tujuan).
2.2.6 Dokumentasi Keperawatan
Menurut Harnawatiaj (2008), dokumentasi keperawatan adalah
kegiatan keperawatan mencakup rencana secara sistematis. Semua

44
kegiatan dalam kegiatan kontrak perawat klien dalam kurun waktu
tertentu, secara jelas, lengkap dan objektif.
Hal ini bertujuan untuk memberi kemudahan dalam memberikan
asuhan keperawatan dan jaminan mutu, di samping pencatatan kegiatan
pendokumentasian keperawatan juga mencakup penyimpangan atau
pemeliharaan hasil pencatatan dan pendokumentasian pada anggota
sesama tim kesehatan untuk kepentingan pengobatan klien serta kepada
aparat penegak hukum bila di perlukan untuk pembuktian.
1. Kegiatan pedokumentasian meliputi :
a. Komunikasi
Keterampilan dokumentasi yang efektif memungkinkan
perawat untuk mengkomunasikan kepada tenaga kesehatan
lainya dan menjelaskan apa yang sudah, sedang, dan yang akan
di kerjakan oleh perawat.
b. Dokumentasi proses keperawatan
Pencatatan proses keperawatan merupakan metode yang
tepat untuk pengambilan keputusan yang sistematis, problem
solving, dan riset lebih lanjut. Dokumentasi proses keperawatan
mencakup pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan dan
tindakan. Perawat kemudian mengobservasi dan mengevaluasi
respon klien terhadap tindakan yang di berikan dan
mengkomunikasikan informasi tersebut kepada tenaga
kesehatan lainnya.
c. Standar dokumentasi
Perawat perlu menampilkan keterampilan untuk
memenuhi standar dokumentasi adalah suatu peryataan tentang
kualitas dan kwantitas dokumentasi yang di pertimbangkan
secara adekuat dalam suatu situasi tertentu standar dokumentasi
berguna untuk memperkuat pola pencatatan sebagai petunjuk
atau pedoman praktik pendokumentasian dalam memberikan
tindakan keperawatan.
2. Tujuan Dokumentasi Keperawatan

45
Tujuan utama dari
pendokumentasian adalah mengindentifikasi
status kesehatan klien dalam rangka mencatat kebutuhan klien,
merencanakan, melaksanakan tindakan keperawatan dan
mengevaluasi tidakan.
3. Manfaat dan Pentingnya Pendokumentasian
Dokumentasi mempunyai makna yang penting bila dilihat
dari berbagai aspek :
a. Hukum
Bila terjadi suatu masalah yang berhubungan dengan
profesi keperawatan, di mana perawat sebagai pemberi jasa dan
klien sebagai penguna jasa. Dokumentasi dapat di pergunakan
sebagai barang bukti di pengadilan.
b. Jaminan Mutu (Kualitas Pelayanan)
Pencatatan data klien yang lengkap dan akurat, akan
memberikan kemudahan bagi perawat dalam membantu
menyelesaikan masalah klien. Dan untuk mengetahui sejauh
mana masalah klien dapat teratasi dan seberapa jauh masalah
baru dapat di idetifikasi dan dimonitor melalui catatan yang
akurat. Hal ini akan membantu meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan (yankep).

c. Komunikasi
Dokumentasi keadan klien merupakan alat perekam
terhadap masalah yang berkaitan dengan klien. Perawat atau
tenaga kesehatan lain akan bisa melihat catatan yang ada dan
sebagai alat komuikasi yang di jadikan pedoman dalam
memberikan asuhan keperawatan.
d. Keuangan
Semua tindakan keperawatan yang belum, sedang dan
telah diberikan dicatat dengan lengkap dan dapat d gunakan
sebagai acuan atau pertimbangan dalam biaya keperawatan.

46
e. Pendidikan
Isi pendokumentasian menyagkut kronologis dari
kegiatan asuhan keperawatan yang dapat dipergunakan sebagai
bahan atau referensi pembelajaran bagi siswa atau profesi
keperawatan.
f. Penelitian
Data yang terdapat di dalam dokumentasi keperawatan
mengandung informasi yang dapat dijadikan sebagai bahan
objek riset dan pengembangan profesi keperawatan.
g. Akreditasi
Melalui dokumentasi keperawatan dapat dilihat sejauh
mana peran dan fungsi keperawatan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan demikian dapat diambil
kesimpulan tingkat keberhasilan pemberian asuhan keperawatan
yang di berikan, guna pembinaan lebih lanjut.
Menurut Nursalam (2001), Dokumentasi masalah, perencanaan,
tindakan, dan evaluasi.
1. Dokumentasi pengkajian Keperawatan
a. Dokumentasi pengkajian di tunjukan pada data klien di mana
perawat dapat mengumpulkan dan mengorganisir dalam catatan
kesehatan. Format pengkajian meliputi data dasar, flow sheetv
dan catatan perkembangan lainnya yang memungkinkan dapat
sebagai alat komunikasi bagi tenaga keperawatan atau kesehatan
lainnya.
b. Gunakan format yang sistimatis untuk mencatat pengkajian yang
meliputi:
1) Riwayat klien masuk rumah sakit
2) Respon klien yang berhubungan dengan persepsi kesehatan
klien
3) Riwayat pengobatan
4) Data klien rujukan
5) Gunakan format yang telah tersusun untuk mencatat
pengkajian.

47
6) Kelompokan data-data berdasarkan model pendekatan yang
digunakan.
7) Tulis data objektif tanpa hias (tanpa mengartikan), menilai,
memasukan data pribadi. Sertakan pernyataan yang
mendukung interprestasi data objektif .
8) Jelaskan observasi dan temuan secara sistimatis, termasuk
difinisi karakteristiknya.
9) Ikuti aturan atau prosedur yang dipakai dan disepakati di
instalasi
10)Tuliskan secara jelas dan singkat.
2. Dokumentasi diagnosa keperawatan
Sebagai bukti ukuran pencatatan perawat pernyataan
diagnosa keperawatan bahwa mengidentifikasi masalah actual atau
potensial penyebab maupun tanda dan gejala sebagai indikasi perlu
untuk pelayanan perawatan, Contoh:
a. Proses dan pencatatan diagnosa keperawatan dalam rencana
pelayanan catatan perkembangan.
b. Pemakaian format problem, etiologi untuk tiap masalah
potensial.
c. Pengkajian data pada dokumen, semua faktor mayor untuk setiap
diagnosa.
d. Dokumen dari pengkajian atau mengikuti diagnosa keperawatan
yang tepat.
e. Ulangi data salah satu informasi pengkajian perawatan, sebagai
perawat prefesional dari kerjasama dengan staf pembuat
diagnosa.
3. Dokumentasi rencana keperawatan
Dokumentasi intervensi mengidentifikasi mengapa sesuatu
terjadi terhadap klien, apa yang terjadi, kapan, bagaimana, dan siapa
yang melakukan intervensi.
a. Why: Harus di jelaskan alasan tindakan dan data yang ada dari
hasil dokumentasi pengkajian dan diagnosa keperawatan.

48
b. What: Di tulis secara jelas, ringkas dari pengobatan/tindakan
dalam bentuk action verbs.
c. When: Mengandung asfek penting dari dokumen intervensi.
d. Who: Tindakan di laksanakan dalam pencatatan yang lebih
detail.
e. Who: Siapa yang melaksanakan intervensi harus selalu
dituliskan pada dokumen serta tanda tangan sebagai pertanggung
jawab.
4. Dokumentasi Evaluasi
Pernyataan evaluasi perlu di dokumentasikan dalam catatan
kemajuan, direvisi dalam perencanaan perawatan atau dimasukan
pada ringkasan khusus dan dalam pelaksanaan dalam bentuk
perencanaan.

BAB 3 PENUTUP

3.1 Simpulan
Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh
injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria,
hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan
Rita Yuliani, 2001).
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang
dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan
hiperkolesterolemia (Rauf, 2002).
Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada
dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa
terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini
dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen-antibodi.

49
Menurut Ngastiyah (2005), umumnya etiologi dibagi menjadi tiga, yaitu :
sindrom nefrotik bawaan, sindrom nefrotik sekunder dan sindrom nefrotik
idiopatik atau sindrom nefrotik primer.
Tanda dan gejala yang muncul pada sindrom nefrotik diantaranya :
proteinuria, hipoalbuminemia, edema generalisata, anorexia, fatique, nyeri
abdomen, berat badan meningkat, hiperlipidemia, dan hiperkoagualabilitas.
3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan perawat mampu melakukan
asuhan keperawatan secara komperehensif kepada pasien dengan sindrom
nefrotik. Mengerti dan memahami gejala dari sindrom nefrotik sangat penting
untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin. Diagnosis dan pengobatan dini
mencegah terjadinya komplikasi yang bersifat fatal. Mengetahui penyebab
sindrom nefrotik sangat penting untuk menentukan jenis pengobatan yang
diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, R.E. MD, dkk. (2000). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi 15.
Jakarta: EGC
Betz, Cecily Lynn. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta:
EGC
Harnawatiaj. (2008). Format Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC
Mansjoer Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2. Jakarta: Media
Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC.
Hidayat, A.A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Ed 2. Jakarta:
Salemba Medika
Judith M. Wilkinson. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Intervensi NIC
dan Kriteria Hasil NOC; Edisi 7. Jakarta: EGC
Rauf, Syarifuddin. (2002). Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak. Makassar: FK UH
Suharyanto, Toto. (2009). Asuhan Keperwatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Suriadi, Rita Yuliani. (2001). Asuhan Keperawatan Anak, Edisi 1. Jakarta: Fajar
Interpratama
Suriadi. (2006). Asuhan Keperawatan Anak Edisi 2. Jakarta: CV Sagung
Aesculapius

50
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
edisi 8, Volume 2. Jakarta: EGC
Tarwoto dan Wartonah. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan, Edisi:3. Jakarta: Salemba Medika.
Wong, Donna L. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, Edisi 4. Jakarta:
EGC

51

Anda mungkin juga menyukai