Anda di halaman 1dari 9

Faktor Risiko Kematian Mendadak pada Perdarahan Subaraknoid

Latar Belakang dan Tujuan—Satu dari 4 pasien perdarahan subaraknoid (PSA) tiba-
tiba meninggal di luar rumah sakit, tetapi mayoritas penelitian mengenai faktor risiko
PSA hanya terfokus pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Kami meneliti perbedaan
faktor risiko antara pasien PSA yang dirawat di rumah sakit dengan pasien PSA yang
tiba-tiba meninggal.
Metode—Penelitian kohort FINRISK berbasis populasi terhadap 65.521 individu
dipantau selama 1,52 juta tahun-manusia. Model Cox porportional hazard menghitung
hazard ratio (HR) dimana semua analisis disesuaikan dengan faktor risiko PSA, status
pernikahan, dan status sosioekonomi. Model competing risk menganalisis perbedaan
faktor risiko antara PSA yang dirawat di rumah sakit dengan kematian mendadak akibat
PSA.
Hasil—Kami menemukan 98 kasus kematian mendadak akibat PSA dan 445 PSA yang
dirawat, yang dikonfirmasi dengan otopsi atau standar diagnostik PSA. Peningkatan 5
batang rokok per hari meningkatkan risiko kematian mendadak pada PSA (HR, 1,28;
95% confidence interval [CI], 1,17 – 1,39) yang lebih tinggi daripada risiko PSA yang
dirawat (HR, 1,19; 95% CI, 1,13 – 1,24; P = 0.05). Setiap peningkatan satu SD (21,4
mmHg) TDS akan meningkatkan risiko kematian mendadak PSA (HR, 1,34; 95% CI,
1,09 – 1,65) yang lebih tinggi dibandingkan dengan PSA yang dirawat (HR, 1,25; (95%
CI, 1,12 – 1,38; P = 0.05). Partisipan yang hidup sendiri mengalami peningkatan risiko
kematian mendadak akibat PSA (HR, 2,09; 95% CI, 1,33 – 3,28) tetapi tidak mengalami
peningkatan risiko PSA yang dirawat. Tidak teradapat kasus kematian mendadak akibat
PSA yang terjadi pada individu < 50 tahun yang tidak pernah merokok dan dengan
tekanan darah yang normal.
Kesimpulan—Risiko kematian mendadak PSA tampaknya paling tinggi pada individu
dengan faktor risiko yang paling berat dan pada orang yang hidup sendiri, namun
rendah pada orang normotensi dengan usia < 50 tahun dan tidak pernah merokok.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di berbagai negara, seperempat pasien


yang baru pertama kali mengalami perdarahan subaraknoid (PSA) meninggal sebelum
mereka sempat dibawa ke rumah sakit. Kejadian kematian mendadak ini sering terjadi
pada pasien yang asimptomatik dan berusia produktif tanpa adanya riwayat aneurisma

1
intrakranial maupun penyakit serebrovaskular. Pada studi epidemiologi PSA yang hanya
meneliti pasien yang dirawat di rumah sakit, terdapat kelailaian pada persentase pasien
PSA yang signifikan, yang berarti pada penelitian seperti ini terdapat risiko bias yang
besar pada pemilihan subjek. Otopsi forensik merupakan hal yang secara hukum wajib
dilakukan pada pasa kematian yang mendadak dan tidak terduga untuk memastikan
diagnosis pada sebagian kecil negara seperti Finlandia. Penelitian prospektif jangka
panjang berbasis populasi yang juga menginklusikan kematian mendadak melaporkan
bahwa merokok, tekanan darah yang tinggi, usia tua, dan jenis kelamin perempuan
merupakan faktor risiko independen pada PSA. Namun, tidak ada satu pun penelitian
tersebut yang menganalisis apakah terdapat perbedaan faktor risiko pada pasien PSA
yang mengalami kematian mendadak dengan pasien PSA yang dirawat di rumah sakit.
Penelitian mengenai faktor risiko PSA yang berbasis populasi ini menginklusikan
kematian mendadak pasien PSA di luar rumah sakit dan dilakukan berdasarkan
hipotesis: faktor risiko kematian mendadak pada PSA secara keseluruhan sama dengan
faktor risiko PSA yang dirawat di rumah sakit, tetapi risiko kematian mendadak lebih
berat pada pasien yang meninggal mendadak dibandingkan dengan pasien yang dirawat
di rumah sakit. Jika hipotesis tersebut benar, hasil yang diperoleh akan menunjukkan
bahwa pasien PSA dengan faktor risiko yang lebih berat cenderung untuk meninggal
mendadak di luar rumah sakit.
Metode
Pengumpulan Data
Studi kami sebelumnya telah menguraikan protokol penelitian dengan rinci. Singkatnya,
survey nasional FINRISK telah dilakukan sejak tahun 1972 setiap periode 5 tahun
dengan sampel acak yang berbasis populasi yang independen dari berbagsi daerah di
Finlandia. Perawat yang berpengalaman dalam penelitian melakukan beberapa tolok
ukur klinis seperti tekanan darah sistolik (TDS),tinggi, dan berat serta pengukuran
kolesterol dari sampel darah semi-puasa setelah pasien berpuasa ≥ 4 jam. Indeks masa
tubuh dihitung dengan cara membagi berat badan (kilogram) dengan kuadrat tinggi
badan (meter). Peserta dikategorikan menjadi hipertensi atau normotensi berdasarkan
nilai cutoff TDS 140 mmHg.
Kuesioner terstandarisasi yang diisi sendiri oleh peserta berisikan pertanyaan
berupa: status merokok, riwayat stroke pada orang tua, status sosioekonomi, dan status

2
pernikahan. Responden yang menyatakan bahwa ia tidak pernah merokok sama sekali
atau < 100 batang rokok seumur hidupnya dianggap tidak pernah merokok. Mantan
perokok adalah orang yang telah berhenti merokok > 6 bulan sebelum pengisian
kuesioner dilakukan. Orang yang masih merokok saat ini juga menyebutkan jumlah
rata-rata batang rokok yang mereka konsumsi per hari (rokok per hari (RPH)/ cigarettes
smoked per day (CPD)). Mereka dikategorikan sebagai perokok ringan dan sedang (1 –
20 CPD) atau perokok berat (> 20 CPD). Validitas data menggunakan kotinin sebagai
biomarka dinilai baik pada survei tahun 1992. Status sosioekonomi yang dinilai adalah
pendidikan yang dibagi menjadi tiga kelompok (rendah, sedang, dan tinggi). Status
pernikahan dibagi menjadi 4 kategori: (1) menikah atau tinggal bersama, (2) belum
menikah, (3) cerai, (4) janda, atau, menjadi 2 kategori: (1) menikah atau tinggal
bersama dan (2) tanpa pasangan (belum menikah, cerai, atau janda).

Pemantauan
Pemantauan (follow-up) dimulai dari awal pendaftaran dan berakhir sampai terjadinya
PSA pertama, imigrasi, atau sampai akhir waktu pemantauan pada tanggal 31 Desember
2014, tergantung titik waktu yang pertama terjadi. Hospital Discharge Register and
Causes of Death Register yang berstandar nasional telah mengumpulkan data PSA yang
fatal (termasuk kematian akibat PSA yang terjadi pada pasien rawat jalan, pasien yang
berada di ambulans, dan pasien di ruang emergensi) dan non fatal dengan akurasi yang
tinggi. Penelitian kohort ini terdiri dari 65.521 orang, dimana terdapat 445 kasus PSA
pertama yang dirawat di rumah sakit dan 98 kasus kematian PSA mendadak selama
pemantauan 1,52 juta tahun-manusia. Kematian mendadak akibat PSA didefinisi
sebagai kasus kematian yang terjadi di luar rumah sakit; di dalam ambulans; atau di
ruang emergensi. Suatu kasus kematian mendadak akibat PSA mengalami inhalasi
gastrik sebagai penyebab kematian mendadak dan PSA sebagai penyebab utama
(penyebab yang mendasari) kematian, sementara lainnya mengalami PSA sebagai
penyebab mendadak dan penyebab utama kematian. Kematian mendadak PSA
dikonfirmasi dengan otopsi forensik ekstensif (termasuk otak), dan ketika diperlukan
nosologis akan melakukan pemeriksaan dan menentukan penyebab yang mendasari
kematian. Dari semua diagnosis kematian mendadak akibat PSA, 80% didiagnosis
berdasarkan otopsi, sedangkan sisanya berdasarkan pemeriksaan klinis (CT kepala dan
spinal tap). Kematian mendadak PSA terjadi segera setelah sampainya pasien di

3
departemen emergensi tidak didaftarkan pada registrasi rumah sakit sehingga
pemeriksaan klinis juga dilakukan pada kasus-kasus ini. Oleh karena itu, PSA yang
dirawat di rumah sakit didefinisikan sebagai pasien PSA yang didaftarkan di rumah
sakit sedangkan kematian PSA mendadak adalah pasien yang mengalami PSA sebagai
penyebab kematian tetapi tidak masuk ke dalam daftar keluar rumah sakit. Pemantauan
pada pasien yang dirawat di rumah sakit dilakukan jika pasien tersebut tetap tinggal di
Finlandia; imigrasi pada saat masa pemantauan jarang terjadi. Pernyataan dari STROBE
(Strengthening the Reporting of Observational studies in Epidemiology) memandu
jalannya laporan ini.

Analisis Statistik
Uji t digunakan untuk manghasilkan nilai p pada variabel yang terdistribusi normal, uji
Wolcox-rank untuk variabel yang tidak berdistribusi normal, dan uji x2 untuk variabel
kategorik. Karena kami kehilangan data sebanyak < 2% per variabel (kecuali variabel
konsumsi alkohol dan riwayat stroke pada orang tua), kami menganalisis seluruh kasus.
Kami menggunakan model perhitungan risiko dengan kovariat yang disesuaikan
berdasarkan model Cox proportional hazard untuk menghitung HR dan 95% confidence
interval (CI) dan untuk membandingkan perbedaan. Berdasarkan penelitian prospektif
dan berbasis populasi sebelumnya, model penyesuaian akhir kami meliputi usia,
merokok, TDS, kolesterol, dan jenis kelamin sebagai faktor risiko PSA. Kami juga
mengikutsertakan indeks massa tubuh, lama pendidikan, dan jenis pendidikan sebagai
kemungkinan pengacau (possible confounder) dan status pernikahan dan sosioekonomi
menjadi prediktor dalam mengkaji penatalaksanaan akut. Model analisis sebelumnya
juga menilai peran konsumsi alkohol dan riwayat stroke pada orang tua. Usia, TDS,
indeks massa tubuh, dan kadar kolesterol ditampilkan sebagai variabel kontinu, dan
lama pendidikan menjadi variabel kategorik pada model penyesuaian akhir.
Berdasarkan residual Schoenfeld dan inspeksi log-log, model analisis dari kematian
mendadak akibat PSA dan PSA yang dirawat memenuhi kriteria asumsi proporsional
model Cox. Uji likelihood ratio memberikan evaluasi bukti interaksi multiplikatif.
Semua analisis statistik menggunakan Stata Corp versi 12,1 dengan R 3.3.0.

4
Etik
Persetujuan etik diperoleh dari komite etik yang bersangkutan dengan prosedur
penelitian dan legislasi Finlandia pada setiap surveinya, dan penelitian dilakukan
berdasarkan prinsip etik penelitian medis World Medical Association’s Declaration of
Helsinki. Sejak tahun 2002, setiap partisipan memberika persetujuan secara tertulis.

Hasil
Kohort
Selama pemantauan, kami menemukan 98 pasien yang meninggal tiba-tiba akibat PSA
dan 334 pasien PSA yang dirawat (Tabel 1).

Analisis yang Tidak Disesuaikan


Wanita yang meninggal tiba-tiba akibat PSA lebih tua dibandingkan wanita penderita
PSA yang dirawat (P = 0,01). Sementara pada jenis kelamin laki-laki, pasien yang
meninggal tiba-tiba akibat PSA lebih banyak yang tinggal sendiri dibandingkan dengan
pasien yang dirawat (P = 0,03). Selain itu, pada pasien PSA laki-laki mempunyai
edukasi yang lebih rendah dan bungkus-tahun (pack-year/ jumlah bungkus rokok per
hari selama satu tahun), CPD, dan rata-rata konsumsi alkohol yang lebih tinggi (Tabel
1).

Analisis yang Disesuaikan


Tidak terdapat hubungan antara PSA yang dirawat dengan indeks massa tubuh ataupun
kolesterol baik pada pria maupun wanita. Peningkatan TDS sebanyak 1 SD (21.4 mm
Hg) meningkatkan HR sebesar 1,25 (95% CI, 1,12 – 1,38) pada PSA yang dirawat dan
1,34 (95% CI, 1,09 – 1,65) pada kematian mendadak akibat PSA. Analisis ini juga
menunjukkan bahwa peningkatan 1 SD TDS menimbulkan peningkatan risiko yang
lebih tinggi pada kematian mendadak PSA dibandingkan dengan PSA yang dirawat (P =
0,05). Pada analisis yang menginklusikan semua PSA, TDS mengganggu asumsi
proporsional Cox, tetapi perubahan HR selama pemantauan bersifat minor, dan hasil
yang diperoleh juga sama setelah dianalisis dengan kovariat waktu.
Merokok meningkatkan risiko kedua PSA (dirawat dan kematian mendadak)
pada semua tingkat CPD. Risiko PSA dirawat (HR, 2,93; 95% CI, 1,92 – 4,47) dan
kematian mendadak (HR, 5,04; 95% CI, 2,22 – 11,44) paling tinggi pada pasien yang
merokok lebih dari satu bungkus per hari. Merokok meningkatkan risiko kematian PSA

5
mendadak yang lebih tinggi dibandingkan dengan PSA yang dirawat ketika dianalisis
dengan CPD sebagai variabel kontinu (P = 0,05). Hubungan ini tetap sama ketika
analisis memasukkan variabel status sosioekonomi atau status pernikahan ataupun
keduanya.
Individu yang tidak mempunyai pasangan, cerai, dan janda mempunyai risiko
kematian PSA mendadak yang lebih tinggi dibandingkan individu yang menikah atau
mempunyai pasangan tinggal bersama pada saat dilakukan analisis yang disesuaikan.
Ketika partisipan yang tidak berpasangan, cerai, dan janda digabung menjadi satu
kelompok yang disebut kelompok tak berpasangan, kelompok ini mengalami
peningkatan risiko kematian mendadak PSA (HR, 2,09; 95% CI, 1,33 – 3,28), dan risiko
ini sama pada perempuan dan laki-laki. Peningkatan risiko tersebut hanya terjadi pada
kematian mendadak PSA dan tidak pada PSA yang dirawat (P = 0,006; Tabel 2). Pada
variabel lain yang tidak disebut di atas, tidak terdapat perbedaan yang signifikan
berdasarkan kejadian PSA.

Insidensi Kumulatif PSA


Gambar yang ditampilkan menunjukkan perbedaan insidensi kumulatif PSA yang
dirawat dan kematian mendadak PSA berdasarkan kelompok faktor risiko utama. Kami
menemukan bahwa kematian mendadak akibat PSA tidak terjadi pada orang normotensi
berusia < 50 tahun yang tidak merokok. Hanya sekitar 6% dari semua PSA yang
merupakan orang normotensi berusia < 50 tahun dan tidak merokok yang mengalami
kematian mendadak akibat PSA.

Interaksi
Jenis kelamin perempuan mempunyai risiko PSA yang lebih tinggi (HR, 1,31; 95% CI,
1,07 – 1,61) dan risiko PSA dirawat yang lebih tinggi (HR, 1,31; 95% CI, 1,05 – 1,63;
Tabel 2). Namun ketika interaksi antara merokok dan jenis kelamin dikendalikan, jenis
kelamin perempuan bukan merupakan faktor risiko independen untuk model analisis
manapun, seperti yang telah kami laporkan sebelumnya.

Diskusi
Sepengetahuan kami, penelitian ini merupakan penelitian pertama yang
mengidentifikasi faktor risiko kematian mendadak PSA. Seperti yang diharapkan,
merokok dan TDS tinggi meningkatkan risiko kematian mendadak PSA, seperti halnya

6
faktor-faktor tersebut meningkatkan risiko PSA pada penelitian kohort yang dilakukan
di rumah sakit. Kami juga menemukan bahwa merokok dan TDS tinggi lebih
berpotensial meningkatkan risiko kematian mendadak akibat PSA daripada
meningkatkan kejadian PSA yang dirawat. Temuan ini sesuai dengan penelitian-
penelitian tentang infark miokard yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat
antara kematian akibat infark miokard dengan faktor risiko kardiovaskular. Menariknya,
subjek yang tinggal sendiri lebih berisiko untuk mengalami kematian mendadak akibat
PSA dibandingkan dengan orang yang menikah atau mempunyai teman tinggal.
Hubungan ini serupa pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan dan tidak
dilakukan analisis pada PSA yang dirawat. Kematian mendadak akibat PSA jarang
terjadi pada orang yang berusia < 50 tahun dengan normotensi dan tidak pernah
merokok. Sementara orang yang berusia > 50 tahun yang tidak pernah merokok dan
dengan tekanan darah yang normal mempunyai risiko rendah untuk mengalami
kematian mendadak akibat PSA. Oleh karena kejadian PSA di Finlandia serupa dengan
negara lain, yang juga menginklusikan kematian mendadak akibat PSA pada
estimasinya, hasil penelitian ini mungkin dapat digeneralisasikan.
Jika kematian mendadak akibat PSA dieksklusikan dari penelitian epidemiologi
PSA, identifikasi dan evaluasi faktor risiko PSA menjadi terbatas. Berdasarkan data
yang ditampilkan dalam jurnal ini, subjek dengan faktor risiko yang lebih berat
mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kematian mendadak akibat PSA
di luar rumah sakit. Oleh karena itu, pada penelitian mengenai faktor risiko PSA,
pengeksklusian kematian mendadak akibat PSA akan mengganggu tingkat kepercayaan
penelitian berbasis rumah sakit tersebut, setidaknya mengurangi kekuatan faktor risiko
PSA. Idealnya, semua penelitian epidemiologi PSA sebaiknya menginklusikan kematian
mendadak akibat PSA yang dikonfirmasi dengan otopsi, namun sangat disayangkan
bahwa hal ini tidak mungkin dilakukan di banyak negara. Walaupun kami tidak meneliti
faktor risiko rupturnya aneurisma intrakranial yang belum ruptur (unruptured
intracranial aneurysm/UIA), kesimpulan yang diperoleh mungkin mendekati, misalnya
orang normotensif yang tidak merokok dan dengan usia < 50 tahun yang mengalami
UIA mempunyai risiko yang lebih rendah untuk mengalami ruptur UIA dan kematian
mendadak dari PSA. Selain itu, sesuai dengan temuan kami, penelitian follow-up
menemukan bahwa ketika UIA tidak ditatalaksana lagi, subjek normotensi yang tidak

7
merokok dan berusia > 50 tahun mempunyai risiko ruptur UIA yang lebih rendah.
Penelitian-penelitian ini juga melaporkan bahwa merokok dan (mungkin) hipertensi
meningkatkan angka ruptur UIA, yang juga mendukung hasil temuan kami.
Temuan lainnya adalah bahwa subjek yang tinggal sendiri berisiko lebih tinggi
untuk mengalami kematian mendadak akibat PSA dibandingkan subjek yang menikah
atau mempunyai pasangan tinggal bersama. Penelitian yang mendukung temuan ini
menyatakan bahwa 80% kematian mendadak akibat penyakit jantung terjadi di rumah
dan ~60% didampingi. Hasil yang kami peroleh tampaknya bersifat logis karena pasien
biasanya mengalami kehilangan kesadaran yang berat dan mendadak sehingga mereka
tidak dapat sempat meminta pertolongan. Temuan ini juga sesuai dengan temuan pada
penelitian penyakit jantung iskemik dimana hasil klinis yang lebih berat terjadi pada
mereka yang tinggal sendiri. Praktisi klinis mungkin dapat mempertimbangkan bahwa
pasien UIA yang tunggal sendiri dan dengan faktor risiko yang lebih berat mungkin
dapat memperoleh manfaat lebih jika diberikan penatalaksanaan atau pendekatan
pemantauan yang berbeda dengan pasien yang menikah atau memiliki pasngan tinggal.
Namun penelitian mengenai manfaat pendekatan tersebut sulit atau bahkan tidak dapat
didesain dan dilakukan. Sebagian kecil subjek yang tidak mempunyai pasangan
mungkin tinggal dengan relatif sehingga risiko aktual tinggal sendiri mungkin lebih
tinggi dari yang kami estimasi.
Kelebihan penelitian ini adalah: pemantauan yang panjang selama 40 tahun,
jumlah kasus kematian mendadak PSA yang banyak, bersifat prospektif sehingga
mengurangi bias informasi dan hubungan kausal yang terbalik, penelitian kohort
berbasis populasi, data faktor risiko yang rinci (termasuk sosioekonomi dan status
pernikahan) sehingga dapat memberikan analisis subkelompok yang dapat dipercaya,
diagnosis PSA yang akurat, angka otopsi yang sangat tinggi (80%) pada kematian PSA
mendadak, dan konfirmasi diagnostik kematian PSA mendadak yang tinggi (100%).
Akan tetapi, penelitian kami juga mempunyai keterbatasan. Pertama, desain
penelitian yang digunakan tidak memungkinkan kami untuk mengetahui apakah
terdapat faktor risiko yang timbul pada saat pemantauan. Oleh karena itu, estimasi
faktor risiko kami mungkin lebih rendah daripada yang seharusnya karena selama waktu
pemantauan, orang dewasa cenderung lebih jarang untuk memulai merokok dan
setengah perokok akan berhenti. Selain itu, status pernikahan juga dapat berubah seiring

8
waktu, dan subjek yang dianggap hipertensi pada baseline mungkin telah memperoleh
obat antihipertensi. Namun, kami mendapati bahwa pada perhitungan Cox proportional
hazard TDS hanya merupakan faktor risiko apabila semua kasus PSA diinklusikan, dan
efeknya hanya bersifat minor. Kedua, kami tidak dapat menginklusikan konsumsi
alkohol pada model final analisis yang disesuaikan karena hanya sebagian kecil orang
yang tidak merokok yang mengonsumsi alkohol dengan tinggi. Meskipun demikian,
hubungan tersebut tetap sama pada saat konsumsi alkohol diinklusikan maupun tidak
pada model yang disesuaikan. Selain itu, karena SES berhubungan dengan konsumsi
alkohol, untuk menilai pelayanan kesehatan khusus, faktor risiko penyakit
kardiovaskular, dan PSA, kami juga menginklusikan analisis SES sebagai lama tahun
pendidikan. Penyesuaian ini tidak mengubah hubungan atau interaksi secara signifikan
sehingga kami mengeksklusikannya dari model analisis akhir. Ketiga, kami tidak
mempunyai spesifik mengenai keterlambatan pengobatan responden, yang dapat
menimbulkan bias pada hasil jika keterlambatan pengobatan tersebut berhubungan
dengan merokok ataupun TDS tinggi. Yang keempat, data kami mungkin sejumlah kecil
kasus PSA traumatik karena kesalahan indexing, yang dapat melemahkan hubungan
yang ditemukan. Namun, data yang disediakan oleh Hospital Discharge Register dan the
Causes of Death Register dapat dipercayai dengan sensitivitas sebesar 93% dan positive
predictive value sebesar 87% untuk PSA aneurismal. Kelima, walaupun PSA umumnya
disebabkan oleh faktor risiko lingkungan, kami tidak mempunyai informasi mengenai
PSA familial. Namun, setelah memasukkan riwayat stroke pada orang tua ke dalam
analisis multivariat, hasil yang diperoleh pada dasarnya tetap sama.

Kesimpulan
Faktor risiko yang semakin berat yang disertai dengan keadaan hidup sendiri
meningkatkan risiko kematian mendadak pada PSA lebih dari peningkatan risiko terjadi
pada PSA yang dirawat. Eksklusi kasus kematian mendadak pada PSA dari penelitian
mengenai faktor risiko akan menyebabkan semakin lemahnya hubungan antara faktor
risiko dengan PSA. Orang yang berusia < 50 tahun dengan tekanan darah normal dan
tidak pernah merokok mempunyai risiko rendah untuk mengalami kematian mendadak
akibat PSA.

Anda mungkin juga menyukai