Anda di halaman 1dari 47

NSTEMI, CHF (Congestive Hearth Failure) NYHA III,

COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease), dan


CKD (Choronic Kidney Disease)

Disusun Oleh:
KARTIKA APRIANI
10101012

Pembimbing :
dr. Irwan, Sp.JP-FIHA

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2015
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom koroner akut (SKA) adalah sekumpulan gejala klinik yang sejalan
dengan gejala iskemia miokard. SKA merupakan bagian dari perjalanan penderita
penyakit jantung koroner (aterosklerosis koroner). SKA dapat berupa angina
pectoris tidak stabil, infark miokard tanpa ST elevasi dan infark miokard dengan
ST elevasi dan atau kematian jantung mendadak.
Data dari European Society of Cardiolog (ESC) pada tahun 2012
menunjukkan bahwa secara global penyakit jantung koroner adalah penyebab
kematian nomor satu. Lebih dari 7 juta orang meninggal akibat penyakit jantung
koroner setiap tahunnya yang menjadikan penyakit jantung koroner penyumbang
12.8% kematian di seluruh dunia.
Dengan melihat besarnya angka kematian akibat penyakit jantung koroner
dan adanya faktor resiko yang dapat diubah, maka pemberian edukasi yang tepat
pada masyarakat mengenai penyakit jantung koroner adalah langkah yang baik.
CHF menyumbang angka mortalitas sebesar 34% dalam kasus
kardiovaskuler. Di Indonesia penyakit jantung dan pembuluh darah terus meningkat
dan akan memberikan beban kesakitan, kecacatan dan beban sosial ekonomi bagi
keluarga penderita, masyarakat, dan negara. Prevalensi penyakit gagal jantung di
Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter yaitu sebesar 0.13%.4 Selain
itu, data dari WHO pada tahun 2013 menyatakan lebih dari 17,3 juta orang
meninggal karena penyakit kardiovaskuler dan 80%-nya terjadi di negara miskin
dan berkembang.
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau PPOK. Pada Survai Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki
peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan
utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma,
bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab
tersering kematian di Indonesia. Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit
tersebut : kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70
%), pertambahan penduduk, meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun
pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an, industrialisasi, polusi
udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan.
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit
ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini
meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk
pertahun.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SINDROMA KORONER AKUT (SKA)


A. Definisi Sindroma Koroner Akut
Merupakan spektrum manifestasi akut dan berat yang merupakan
keadaan kegawatdaruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan antara
kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah.
B. Faktor Resiko Sindroma Koroner Akut
Faktor risiko dibagi menjadi menjadi dua kelompok besar yaitu
faktor risiko konvensional dan faktor risiko yang baru diketahui
berhubungan dengan proses aterotrombosis.
Faktor risiko yang sudah kita kenal antara lain merokok, hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes melitus, aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di
dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental, depresi. Sedangkan beberapa
faktor yang baru antara lain CRP, Homocystein dan Lipoprotein(a).
Di antara faktor risiko konvensional, ada empat faktor risiko
biologis yang tak dapat diubah, yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat
keluarga. Hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya
mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor
aterogenik. Wanita relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung koroner
sampai masa menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti
pria. Hal ini diduga oleh karena adanya efek perlindungan estrogen.
Faktor-faktor risiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi
dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah
peningkatan kadar lipid serum, hipertensi, merokok, gangguan toleransi
glukosa dan diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori. SKA umumnya
terjadi pada pasien dengan usia diatas 40 tahun. Walaupun begitu, usia yang
lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita penyakit tersebut. Banyak
penelitian yang telah menggunakan batasan usia 40-45 tahun untuk
mendefenisikan “pasien usia muda” dengan penyakit jantung koroner atau
infark miokard akut (IMA). IMA mempunyai insidensi yang rendah pada
usia muda.
C. Penyakit Yang Termasuk Dalam SKA
Sindroma koroner akut adalah Angina tak stabil (UAP), miokard
infark akut dengan elevasi segmen ST (STEMI), dan miokard infark akut
tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI).
1. Angina Pektoris Tak Stabil
a. Definisi Angina Pektoris Tak Stabil
Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh
iskemia miokardium yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi
atas tiga varian utama angina pektoris: angina pektoris tipikal (stabil),
angina pektoris prinzmetal (varian), dan angina pektoris tak stabil. Pada
pembahasan ini akan lebih difokuskan kepada angina pektoris tidak
stabil.
Angina pektoris tak stabil ditandai dengan nyeri angina yang
frekuensinya meningkat. Serangan cenderung di picu oleh olahraga
yang ringan, dan serangan menjadi lebih intens dan berlangsung lebih
lama dari angina pektoris stabil. Angina tak stabil merupakan tanda awal
iskemia miokardium yang lebih serius dan mungkin ireversibel sehingga
kadang-kadang disebut angina pra infark. Pada sebagian besar pasien,
angina ini di picu oleh perubahan akut pada plak di sertai trombosis
parsial, embolisasi distal trombus dan/ atau vasospasme. Perubahan
morfologik pada jantung adalah arterosklerosis koroner dan lesi
terkaitnya.
b. Epidemiologi Angina Pektoris Tak Stabil
Di Amerika serikat setiap tahun, 1 juta pasien di rawat di rumah sakit
karena angina pek toris tak stabil; dimana 6 sampai 8 persen kemudian
mendapat serangan infark jantung yang tidak fatal atau meninggal dalam
satu tahun setelah diagnosis di tegak kan.
2. Infark Miokard Dengan Elevasi ST (STEMI)
STEMI merupakan Sindrom yang ditandai dengan gejala klinis
iskemia miokard ditambah dengan gambaran EKG dengan ST elevasi
persisten minimal pada 2 lead yang saling berhubungan. Infark miokardium
menunjukan terbentuknya suatu daerah nekrosis miokardium akibat iskemia
total. MI akut yang dikenal sebagai “serangan jantung”, merupakan
penyebab tunggal tersering kematian diindustri dan merupakan salah satu
diagnosis rawat inap tersering di negara maju.
a. Epidemiologi STEMI
Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap
tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah
30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai
rumah sakit. Angka kejadian NSTEMI lebih sering di bandingkan dengan
STEMI.

3. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST (NSTEMI)


a. Epidemiologi NSTEMI
Gejala yang paling sering di keluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi salah
satu gejala yang paling sering di dapatkan pada pasien yang datang ke IGD , di
perkirakan 5,3 juta kunjungan / tahun. Kira-kira 1/3 darinya di sebabkan oleh
unstable angina / NSTEMI, dan merupakan penyebab tersering kunjungan ke
rumah sakit pada penyakit jantung. Angka kunjungan untuk pasien unstable
angina / NSTEMI semakin meningkat sementara angka STEMI menurun.
b. Patofisiologi
NSTEMI dapat di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau
peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner.
NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner.
Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya ruptur plak yang tak
stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar,
densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor
jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi
ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi
ruptur plak dapat di jumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukan
adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi
seperti TNF α, dan IL-6. selanjutnya IL-6 kan merangsang pengeluaran hsCRP
di hati.
c. Diagnosis Dan Pemeriksaan NSTEMI
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium
dengan ciri seperti di peras, perasaan seperti di ikat, perasaan terbakar, nyeri
tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi persentasi gejala yang sering di
temukan pada penderita NSTEMI. Gejala tidak khas seperti dispnea, mual,
diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga
terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari
65 tahun. Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan
hal penting yang menentukan resiko pada pasien.
Troponin T atau Troponin I merupakan pertanda nekrosis miokard yang
lebih di sukai, karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti
CK dan CK-MB. Pada pasien dengan infark miokard akut, peningkatan awal
troponin pada daerah perifer setelah 3-4 jamdan dapat menetap sampai 2
minggu.

1.2 Patogenesis SKA


Tahap awal aterosklerosis diawali oleh akumulasi LDL yang berikatan
dengan protein dibawah endotel pembuluh darah. LDL yang terakumulasi ini
kemudian akan teroksidasi oleh zat sisa oksidatif yang dikenal sebagai radikal
bebas. LDL yang teroksidasi akan memicu respons dari sel endotel yang akan
melepaskan senyawa yang menarik monosit. Monosit kemudian berkembang
menjadi makrofag, makrofag kemudian memfagosit LDL sehingga membentuk sel
busa (foam cell). Foam cell ini akan menumpuk dibawah dinding pembuluh darah
dan membentuk fatty streak, bentuk awal plak aterosklerotik. Sel-sel otot polos
pembuluh darah akan tetap berkembang , membesar didekat fatty streak sehingga
membentuk ateroma. Seiring perkembangannya, plak akan menonjol kedalam
pembuluh darah secara progresif. LDL yang teroksidasi akan menghambat
pelepasan nitrat oxide sehingga pembuluh darah akan kesulitan berdilatasi.
 Ruptur plak
Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina
pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari
pembuluh koroner yang sebelunya mempunyai penyempitan yang mininal.
Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya
mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan
angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak
arterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan
pelindung jaringan fibrotic (fibrotic cap). Plak tidak stabil terdiri dari inti
yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag.
Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang
normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan
timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease
yang di hasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak
(fibrous cap).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet
dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup
pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST,
sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya menimbulkan
stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.

 Trombosis dan agregasi trombosit


Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu
dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak
terganggu di sebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot
polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan
ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan
darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai
kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan
fibrin.
 Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina
tak stabil. Di perkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh
darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada
angina prinzmetal juga menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme
sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam
pembentukan trombus.
 Erosi pada plak tanpa ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan
endotel; adanya perubahan bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot
polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan
keluhan iskemia.
Gambar 2.1 Patofisiologi aterosklerosis
Gambar 2.2 Proses agregasi trombosit pada SKA

Gambar 2.3 Perbandigan lumen arteri normal dan abnormal


1.3 Diagnosis Dan Pemeriksaan Penunjang
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau
keluhan angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada pada angina biasa
tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau
timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan
sesak nafas, mual sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin.
Pada pemeriksaan fisik sering kali tidak ada yang khas.
Pemeriksaan penunjang
 Elektrokardiografi (EKG)
 Pemeriksan laboratorium
 Enzim jantung
Setelah kematian jaringan miokard, konstituen sitoplasma sel
miokard dilepaskan ke dalam sirkulasi. Kreatin fosfokinase (creatine
phosphokinase/CPK) dapat dideteksi 6-8 jam setelah infark miokard
dan memuncak dalam 24 jam serta kembali menjadi normal setelah 24
jam selanjutnya. Isoenzim (CPK-MB) spesifik untuk otot jantung,
namun juga dapat dilepaskan pada kardiomiositis, trauma jantung, dan
setelah syok yang melawan aliran langsung (direct current/DC).
Aspartat amino transferase (AAT), suatu enzim nonspesifik umumnya
diperiksa sebagai bagian skrining biokimiawi, dapat dideteksi dalam 12
jam, memuncak pada 36 jam, dan kembali ke normal setelah 4 hari.
Kongesti hati, penyakit hati primer, dan emboli paru dapat
menyebabkan peningkatan AAT. Seperti CPK, AAT juga ditemukan
pada otot skelet.
Peningkatan enzim nonspesifik laktat dehidrogenase (LDH) terjadi
pada tahap lanjut infark miokard. Peningkatan kadar dapat dideteksi
dalam 24 jam, memuncak dalam 3-6 hari dengan peningkatan yang
tetap dapat dideteksi selama 2 minggu. Isoenzimnya LDH1 lebih
spesifik namun penggunaan klinisnya telah dilampaui oleh pengukuran
troponin. Pengukuran serial enzim jantung dikuru setiap hari selama 3
hari pertama terjadi peningkatan bermakna didefinisikan sebagai dua
kali batas tertinggi nilai laboratorium normal.
 Troponin
Troponin (T & I) merupakan protein regulator yang terletak dalam aparatus
kontraktil miosit. Keduanya merupakan cedera sel miokard petanda spesifik
dan dapat diukur dengan alat tes di sisi tempat tidur (bedside). Troponin
tampaknya meningkat baik pada infark miokard akut dan pada beberapa
pasien risiko tinggi dengan angina tidak stabil bila kadar CPK tetap normal.
Kriteria diagnostik untuk infark miokard akut baru-baru ini didefinisikan
kembali berdasarkan pengukuran

1.4 Penatalaksanaan
Penatalakasanaan terbagi dua , yaitu penatalaksanaan pra rumah sakit dan
rumah sakit.
a. Penatalaksanaan pra rumah sakit
 Monitoring dan amankan ABC. Persiapan RJP dan defibrilasi
 Beri aspirin , dan pertimbangkan beri oksigen, nitrogliserin, dan morfin
jika diperlukan.
 Pemeriksaan EKG 12-sadapan dan interpretasi
 Lakukan pemberitahuan ke RS untuk melakukan persiapan penerimaan
pasien dengan SKA.
 Bila akan diberi fibronolitik prehospital, lakukan check-list terapi
fibrinolitik.
b. Penatalaksanaan rumah sakit
Penilaian awal di IGD (<10menit)
 Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen
 Pasang jalur intravena
 Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang singkat dan terarah
 Lengkapi check-list fibrinolitik, cek kontraindikasi
 Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dan pembekuan darah
 Pemeriksaan sinar X (<30menit setelah pasien sampai di IGD).
1. Terapi awal di IGD
 Segera beri oksigen 4L/menit nasal kanul, terutama bila saturasi <94%
Pemberian oksigen dianjurkan dalam 6 jam pertama terapi. Pemberian
oksigen lebih dari 6 jam tidak bermanfaat kecuali pada keadaan :
 Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang atau
hemodinamik yang tidak stabil
 Pasien dengan tanda bendungan paru
 Pasien dengan saturasi oksigen < 90%
 Beri aspirin 160-325mg dikunyah
Aspirin direkomendasikan untuk semua pasien dengan SKA kecuali
terdapat kontraindikasi. Aspirin diberikan 160-325mg dikunyah untuk
pasien tanpa riwayat alergi, pasien yang belum mendapat aspirin dan
tidak ada bukti perdarahan lambung saat pemeriksaan.
 Nitrogliserin sublingual atau spray
Pemberian nitrogliserin tablet sublingual dapat diulang sampai 3 kali
dengan interval 3-5menit jika tidak ada kontraindikasi.
 Morfin IV jika nyeri dada tidak berkurang dengan nitrogliserin
sublingual atau semprot.

2. Terapi Reperfusi pada STEMI


Terapi reperfusi pada STEMI terdiri atas terapi reperfusi secara kimiawi
yaitu terapi fibrinolitik dan terapi secara mekanik yaitu dengan PCI (percutaneous
coronary intervention).
. Terapi reperfusi pada pasien SKA bertujuan untuk mengembalikan aliran
koroner pada arteri yang berhubungan dengan area infark, mengurangi luas infark,
dan menurunkan mortalitas jangka panjang.
Pada pasien dengan STEMI dan LBBB baru atau diduga baru, harus
dievaluasi dengan :
– Langkah 1  nilai waktu serangan
 Risiko STEMI
 Risiko fibrinolisis
 Waktu yang diperlukan dari transportasi kepada ahli
intervensi PCI yang tersedia
– Langkah 2  Strategi terapi reperfusi ( fibrinolisis atau invasif).1,2
a. Terapi fibrinolitik
Terapi fibrinolitik yang cepat (door-drug <30 menit) dapat membatasi
luasnya infark dan mengurangi angka kematian. Beberapa jenis obat fibrinolitik
yang tersedia seperti alteplase recombinant, reteplase, tenecplase dan streptokinase.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada terapi fibrinolitik adalah
 Fibrinolisis bermanfaat pada pasien dengan :
 ST elevasi atau LBBB baru
 Infark miokard yang luas
 Pada usia muda dengan risiko perdarahan intraserebral yang rendah
 Fibrinolisis kurang bermanfaat pada pasien yang
 Onset serangan setelah 12-24 jam atau infark kecil
 Pasien usia > 75tahun
 Fibrinolisis mungkin berbahaya pada
 Depresi segmen ST
 Onset lebih 24 jam
 Pada tekanan darah tinggi (TD sistolik > 175mmHg).1
Di Indonesia, umumnya digunakan streptokinase dengan dosis pemberian 1,5 juta
U dilarutkan dalam 100cc NaCl 0,9% atau Dextrose 5%, diberikan secara infus
selama 30-60 menit.
Kontraindikasi absolut pemberian terapi fibrinolitik : perdarahan intrakranial
kapanpun, stroke iskemik kurang dari 3 bulan dan lebih dari 3 jam, kecurigaan
diseksi aorta, tumor intrakranial, adanya kelainan struktur vaskular serebral
(AVM), perdarahan internal aktif atau gangguan sistem pembekuan darah, cedera
kepala tertutup atau cedera wajah dalam 3 bulan terakhir. Kontraindikasi relatif
pemberian terapi fibrinolitik adalah tekanan darah yang tidak terkontrol, TD sistolik
>180mmHg, TD diastolik >110mmHg, riwayat stroke iskemik >3bulan, demensia,
trauma atau RJP lama (>10menit) atau operasi besar < 3bulan, perdarahan internal
dalam 2-4minggu, penusukan pembuluh darah yang sulit dilakukan penekanan,
ernah mendapat streptokinase/anistreplase dalam 5 hari yang lalu atau lebih, atau
riwayat alergi terhadap obat tersebut hamil, ulkus peptikum aktif, sedang
menggunakan antikoagulan dengan INR tinggi.

b. Tindakan Percutaneous coronary intervention (PCI) primer


Tindakan PCI adalah tindakan angioplasti koroner dengan atau tanpa
pemasangan stent. Terapi ini adalah terapi pilihan pada tata laksana SKA
(UAP,NSTEMI, dan STEMI) dengan kontak doctor-balloon atau door-balloon
<90menit. PCI menjadi pilihan pada pasien dengan : Syok kardiogenik, STEMI usia
>75tahun dan syok kardiogenik, Pasien kontraindikasi fibrinolisis.

TERAPI JANGKA PANJANG SKA


 ntervensi gaya hidup
 Berhenti merokok
 Kontrol diet dan BB
 Kontrol tekanan darah
 Terapi antitrombotik
 Aspirin 75-325mg/hari dan diberikan selama 12 bulan bila
dilakukan PCI, selama 1 bulan bila diberi terapi fibrinolitik dan
minimal 1 bulan maksimal 12 bulan pada pasien tanpa fibrinolitik.
 Dapat diberikan beta-blocker per oral.

2.2 Congestive Heart Failure (CHF)


2.2.1 Definisi
CHF adalah kelainan struktur dan fungsi jantung sehingga jantung
gagal memompakan oksigen untuk kebutuhan metabolisme jaringan pada
tekanan yang normal atau mampu memenuhi rnetabolisme jaringan tetapi pada
tekanan pengisian yang meningkat. CHF merupakan suatu sindroma klinis yang
dikarakteristikkan dengan gejala sesak napas, kelelahan, dan tanda - tanda
kelebihan volume cairan dalam tubuh (udema perifer dan ronki pulmonal).

2.2.2 Etiologi
Etiologi gagal jantung terbanyak adalah penyakit arteri koroner,
hipertensi, idiopatik kardiomiopati dan penyakit katup jantung. Gagal jantung
yang disebabkan oleh penyakit arteri koroner mencapai angka kejadian sebesar
60 – 70% (gagal jantung sistolik) dan penyakit arteri koroner merupakan
prediktor untuk progresifitas disfungsi sistolik ventrikel kiri dari asimptomatis
menjadi simptomatis. Hipertensi dan penyakit katup jantung juga merupakan
faktor resiko yang cukup signifikan dalam menyebakan gagal jantung yaitu
dengan angka kejadian sebesar 1.4 – 1.6%. Diabetes melitus, DM,
meningkatkan resiko gagal jantung yang disebabkan oleh kardiomiopati
menjadi dua kali lipat dan pada wanita, DM menjadi faktor resiko utama
terjadinya penyakit arteri koroner yang juga bisa berakibat menjadi gagal
jantung. Merokok, pola hidup inactive, dan obesitas juga termasuk faktor resiko
yang harus diperhatikan, karena banyak faktor lain yang meningkatkan resiko
gagal jantung.
Secara rinci, penyebab gagal jantung kongestif antara lain:
1) Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari
penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi
arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
2) Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke
otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam
laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului
terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif,
berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung
merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
3) Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung.
4) Peradangan dan penyakit miokardium degenerative
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
5) Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme
biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung
(stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah
(tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV),
peningkatan mendadak afterload.
2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi CHF terdiri atas klasifikasi berdasarkan New York Heart
Association, NYHA, (berdasarkan kemampuan seseorang dalam
menjalankan aktivitas fungsionalnya atau melakukan kegiatan sehari-hari)
dan klasifikasi oleh American College of Cardiology (ACC) atau American
Heart Association (AHA) (berdasarkan perkembangan dan progresifitas
dari penyakit).

3
Terjadi limitasi 4
2
1 aktivitas fisik. Setiap aktivitas
Sedikit limitasi
Saat istirahat, fisik yang
Tanpa limitasi aktivitas fisik,
tidak ada dilakukan
aktivitas fisik. hilang saat
keluhan. menimbulkan
Aktivitas fisik istirahat.
Aktivitas fisik gejala CHF,
yang biasa tidak Aktifitas fisik
yang lebih ringan bahkan saat
menimbulkan yang biasa
dari aktifitas fisik istirahat juga
gejala CHF menimbulkan
biasa menimbulkan
gejala CHF
menimbulkan keluhan
gejala CHF

Gambar 2. 4 New York Heart Association Functional Classification of Heart


Failure
Tabel 2.1 Klasifikasi CHF berdasarkan ACCF/AHA
Stadium ACCF/AHA
A : Beresiko terjadinya CHF tanpa kelainan struktur jantung atau gejala dari CHF
B : Kelainan struktural jantung ada, gejala dari CHF tidak ada
C : Kelainan struktural jantung ada, gejala dari CHF ada
D : Gejala yang berat dari CHF dan perlu intervensi spesialisasi

Klasifikasi lain yang penting adalah berhubungan dengan left ventricular


ejection fraction (LVEF), apakah tergolong preserved (>50%) atau reduced LVEF
(<50%). Pada gagal jantung sistolik dengan reduced LVEF, mortalitasnya
meningkat, dan pada gagal jantung diastolik justru sebagian besar (40 – 50%)
adalah preserved LVEF.

2.2.4 Patogenesis dan manifestasi klinis

Gambar 2.5 Bagan pathogenesis dan manifestasi klinis Gagal Jantung


2.2.4 Tatalaksana CHF

1st Diuretik ACE-I atau


(mengurangi gejala ARB
& tanda kongestif) + Beta Blocker

still NYHA
class II-IV?

Ya tidak

LVEF ≤35% LVEF≥35%

Sinus ritme dan


HR ≥70x/i

Beri Ivabradine

Still NYHA II -
IV? LVEF
≤35%

Durasi QRS
≥120ms?

Tidak ada
Pertimbangkan terapi spesifik,
CRT-P/CRT-D lanjutkan terapi
penyakit dasar

Still NYHA II -
IV

DIGOKSIN / H-ISDN
end stage --> LVAD /
transplantation

Gambar 2.5 Bagan tatalaksana CHF


2.3 Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
2.3.1 Definisi
Bedasar GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Diseases)
dan merujuk pada definisi bahasa Indonesia dalam buku Pedoman Praktis
Diagnosis dan penatalaksaan di Indonesia dari PDPI yang telah direvisi pada 2010,
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau PPOK merupakan penyakit
paru yang dapat dicegah dan ditanggulangi, ditandai oleh hambatan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan
respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai
efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. Gejala utama
PPOK adalah sesak napas memberat saat aktivitas, batuk dan produksi sputum.
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik
berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut
- turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.

Emfisema Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran


rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada
prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-
tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan
napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.

2.3.2 Faktor Resiko


PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai
dengan hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran
ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan
membaik saat merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat
merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik,
paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis
kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan
komorbiditas.
Genetik
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi
lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan
telah di teliti lama adalah defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan protease serin
inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin
adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok maupun bukan
perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa
studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang terdapat
pada kromosom 2q.
Paparan Partikel Inhalasi
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama
hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat
berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya risiko dan total dari risiko ini akan
terintegrasi secara langsung terhadap pejanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai
macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-
debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK.
Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif,
bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers itu sendiri
pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada perokok pasif
didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang
bukan perokok.
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran
hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan
peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara diluar
ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti
seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan
nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil
(Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada fungsi paru.

Pertumbuhan dan perkembangan paru


Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada
terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi
bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya.
Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang positif antara berat
lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.
Stres Oksidatif
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami
oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang
cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan
antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada
paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada paru-paru. Ketidak
seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan yang penting terhadap
patogenesis PPOK.
Jenis Kelamin
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada
PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK
lebih sering terjadi pada Pria di bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari
beberapa negara maju menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria
dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan
bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan
pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang
merupakan perokok saat ini.
Infeksi
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar
terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan
dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan
yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus
juga dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada
saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali
berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga
dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada
saat umur diatas 40 tahun.
Status sosioekonomi dan nutrisi
Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik
indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang
berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut
berhubungan erat dengan status sisioekonomi.
Komorbiditas
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan
dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive
Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi
risiko menderita PPOK.

2.3.3 Patogenesis dan manifestasi klinis


Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa
bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan
serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.

Gambar 2.6 Faktor risisko PPOK


Gambar 2.7 Patogenesis dan Manifestasi Klinis PPOK

Beda pathogenesis Asma dan PPOK

Gambar 2.8 Beda Patogenesis Asma dan PPOK


Tabel 2.2 Beda Asma dan PPOK berdasarkan Anamnesa
2.3.4 klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2006, PPOK
dibagi atas 4 derajat:
1. PPOK Ringan : biasanya tanpa gejala, faal paru VEP1/KVP < 70%
2. PPOK Sedang : VEP1/KVP < 70%, atau 50% =< VEP1 < 80%
prediksi
3. PPOK Berat : VEP1/KVP < 70%, atau 30%=<VEP1<50%
prediksi
4. PPOK Sangat Berat : VEP1/KVP < 70% atau VEP1<30% atau
VEP1<50% disertai gagal napas kronis.
2.3.5 Diagnosis

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
• Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <
20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
2.3.6 Penatalaksanaan

Gambar 2.8 Bagan tatalaksana PPOK


2.4 Choronic Kidney Disease (CKD)
2.4.1 Definisi
Choronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Gagal ginjal kronik (GGK)
adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal
ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu saat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Glomerulonefritis dalam beberapa bentuknya merupakan penyebab paling banyak
yang mengawali gagal ginjal kronik. Kemungkinan disebabkan oleh terapi
glomerulonefritis yang agresif dan disebabkan oleh perubahan praktek program
penyakit ginjal tahap akhir yang diterima pasien, diabetes melitus dan hipertensi
sekarang adalah penyebab utama gagal ginjal kronik.
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain :
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
- kelainan patologis
- terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah dan urin atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m² selama 3
bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama
atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

2.4.2 Klasifikasi4
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar
derajat (stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat
penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus
Kockcorft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin plasma
(mg/dl)*)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 2.3 klasifikasi CKD berdasarkan LFG

2.4.3 Patogenesis CKD dan manifestasi klinis

Gambar 2.8 Patogenesis dan manifestasi klinis asma

2.4.4 Penatalaksanaan
Nonfarmakologis
a.Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit CKD sesuai dengan derajatnya,
dapat dilihat pada tabel
Tabel 2.4 rencana tatalaksana penyakit GGK sesuai dengan derajatnya

b. Pembatasan asupan protein


Tabel 2 pembatasan asupan protein pada penyakit GGK

c. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari


d. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung
jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh.
e. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
f. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
g. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
h. Fosfor:5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari
i. Kalsium: 1400-1600 mg/hari
j. Besi: 10-18mg/hari
k. Magnesium: 200-300 mg/hari
l. Asam folat pasien HD: 5mg
m. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)

Terapi Farmakologis
a. Kontrol tekanan darah
- Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II → evaluasi
kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35%
atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.
- Penghambat kalsium
- Diuretik
b. Pada pasien DM, kontrol gula darah → hindari pemakaian metformin dan
obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM
tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
c. Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
d. Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
e. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
f. Koreksi hiperkalemia
g. Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin
h. Terapi ginjal pengganti.

BAB III
LAPORAN KASUS

ANAMNESIS

Identitas pasien

• Nama : Tn M. A
• No RM : 87 23 86
• Umur : 76 tahun 8 bulan
• Jenis Kelamin : Laki-laki
• Pekerjaan : Petani
• Status : Menikah
• Masuk RS : 8 Mei 2015

Anamnesis

Autoanamnesis Dan Alloanamnesis (istri dan anak pasien yang mengetahui perjalan
penyakit pasien.

Keluhan utama

Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 6 jam SMRS (sebelum masuk rumah
sakit)

Riwayat penyakit sekarang

- Pasien mengeluhkan sesak nafas yang hilang timbul sejak 2 bulan yang lalu,
sesak memberat 6 jam SMRS. Sesak muncul secara tiba-tiba, pada saat
serangan pasien sedang tidur malam hari. Sesak seperti ada rasa tertindih
benda berat pada dada. Serangan muncul pukul satu malam hingga pagi hari
pasien dibawa ke RS. Ketika sesak pasien langsung duduk dengan posisi
menunduk, kepala bertumpu pada tangan yang memegang pada teralis
jendela untuk meringan nafas yang sesak. Keluhan sesak bertambah berat
ketika pasien berjalan ke kamar mandi. Pasien juga mengeluhkan nyeri dada
bersamaan dengan serangan sesak, nyeri dirasakan mendesak kedada, rasa
tertekan. Nyeri terasa hilang timbul serangan sesak. Nyeri menjalar kearah
bahu dan leher, hingga kepunggung. Nyeri berkurang jika rasa sesak
berkurang ketika pasien duduk. Pasien mengatakan sejak satu minggu
terakhir nafsu makan menurun, badan terasa lemas. Keluhan batuk (-),
demam (-).
- 3 tahun yang lalu pasien pasien berobat ke poli klinik jantung di RSUD
Arifin Achmad dengan keluhan sering pusing dan badan tidak enak, setelah
dilakukan pemeriksaan pasien didiagnosa memiliki Penyakit Hipertensi
(pasien dan keluarga tidak ingat jelas tekanan darah pasien saat itu). Pasien
tidak mengontrol TD secara terus menerus ke dokter, pasien minum obat
tensi sekali-sekali saja yang dibeli dari apotik.
- 7 bulan yang lalu (18 - November - 2014) pasien berobat ke poli klinik
jantung di RSUD Arifin Achmad dengan keluhan nyeri dada, mual dan
pusing. Tensi 130/80 mmHg. Gambaran T-inverted (tidak jelas lead
berapa). Didiagnosa CAD (Coronnary Artery Disease)
- 5 bulan yang lalu (07 – Januari – 2014) pasien berobat ke poli klinik jantung
di RSUD Arifin Achmad dengan keluhan kaki bengkak (edema), nafas
sesak. Tensi 140/90 mmHg. Didiagnosa CHF (Congestive Heart Failure) +
CAD (Coronnary Artery Disease).
- Tanggal 19 Januari 2015 pasien berobat ke poli klinik jantung di RSUD
Arifin Achmad dengan keluhan sesak dan nyeri dada. TD : 160/90 mmHg.
Didiagnosa CHF + CAD + UAP (unstable angina pectoris). Pasien dirawat
inap selama 5 hari sampai tanggal 23 Januari 2015.
- 3 bulan yang lalu (24 – Februari – 2015) pasien berobat ke poli klinik
jantung di RSUD Arifin Achmad dengan keluhan sesak, nyeri dada, kedua
tungkai kaki bengkak (edema), batuk (berdahak). TD : 140/80 mmHg.
Pemfis thorax paru : Rhonki (+). Pem. Lab : Hb : 9.3 mg/dl. Didiagnosa
CHF + CAD + COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease). Pasien
dirawat inap selama 3 hari sampai tanggal 26 februari 2015. Rencana
kateterisasi jantung 2 bulan kemudian.
- 2 bulan yang lalu ( 04 - maret – 2015) pasien berobat ke poli klinik jantung
di RSUD Arifin Achmad dengan keluhan nafas sesak, nyeri dada sekali-
kali, dan kepala pusing. TD : 110/70. Didiagnosa : CHF FC-1 + COPD +
CAD.
- 1 bulan yang lalu ( 02 April 2015) pasien berobat ke poli klinik jantung di
RSUD Arifin Achmad dengan keluhan nafas sesak. TD : 130/90 mmHg.
Didiagnosa CHF + COPD + CKD (chronic kidney disease)
- 4 hari SMRS (04 – Mei – 2015) pasien berobat ke poli klinik jantung di
RSUD Arifin Achmad dengan keluhan sesak nafas. TD 130/80 mmHg.
Didiagnosa CHF + COPD + CKD.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Hipertensi (+)
 Penyakit jantung (+)
 Diabetes melitus (-)
 Penyakit paru (+)

Riwayat Penyakit Keluarga

 Tidak ada anggota keluarga yang mengeluhkan penyakit yang sama.


 Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit jantung dan diabetes
mellitus
 Saudara laki-laki asma (+)

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi dan kebiasaan

Pasien sudah menikah. Dulu bekerja sebagia petani,1 tahun terakhir tidak
bekerja lagi. Ekonomi menengah. Riwayat merokok (-), minum alkohol (+), dulu
suka memakan makanan berlemak seperti gulai, gorengan, dll. Sejak 5 bulan
terakhir sudah mengurangi aktivitas fisik, sesuai anjuran dokter.
PEMERIKSAAN UMUM

Pemeriksaan tanda-tanda vital (IGD)

Kesadaran : Komposmentis

Keadaan umum : Tampak sakit berat

Tekanan darah : 140/100 mmHg

Nadi : 100 x/menit

Nafas : 26 x/menit

Suhu : 37,2 °C

Keadaan gizi : sedang

Tinggi badan : 160 cm

Berat badan : 40kg

Pemeriksaan tanda-tanda vital (Ruangan)

Kesadaran : Komposmentis

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 82 x/menit

Nafas : 22 x/menit

Suhu : 36,5 °C
PEMERIKSAAN FISIK

 Kepala
Rambut : distribusi normal, tidak mudah dicabut, warna hitam.
Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5+4 cmH2O.
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Sekret (-), deformitas (-), nyerti tekan (-)
Hidung : Sekret (-), deviasi (-), nyeri tekan (-)
 Dada (thorax)
 Paru-paru
 Inspeksi : bentuk dada : normal, gerakan dinding dada simetris kiri
dan kanan, retraksi otot-otot pernafasan dinding dada (+).
 Palpasi : VF melemah di lapangan paru segmen atas, tengah, dan
bawah di kedua lapangan paru.
 Perkusi : hipersonor di kedua lapangan paru segmen atas dan tengah,
redup di kedua lapangan paru segmen bawah.
 Auskultasi : Wheezing (+/+) di kedua lapangan paru segmen atas dan
bawah, ekspirasi memanjang (di IGD). Rhonki basah basal di kedua
lapangan paru segmen bawah (+/+).
 Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba pada linea axillaris anterior sinistra SIC
VI, thrill (-), tidak kuat angkat.
 Perkusi
o batas jantung kanan SIC V-VI 1 jari lateral linea sternal dekstra.
o batas jantung kiri  SIC V-VI linea axilaris anterior sinistra
 Auskultasi : bunyi jantung 1 dan 2 normal, gallop S3 (+).

 Abdomen
 Inspeksi : abdomen tampak datar, pelebaran vena (-), scar (-),
inflamasi (-), asites (-)
 Auskultasi: bising usus (+)
 Perkusi : timpani
 Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak
teraba.
 Ekstremitas : Oedem tungkai (-)
akral hangat, capillary refill time < 2 detik, sianosis (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan darah rutin:
Hb : 8.7 mg/dl
Leukosit : 7.7 /ul
Trombosit : 203 /ul
Ht : 25 %
- Kimia darah:
- Tanggal 09/5/2015
GLUC : 78 mg/dl
Chor : 197 mg/dl
DHDL : 480
LDL-Chol : 133 mg/dl
TBG1 : 82 mg/dl
Bil-D : 0.13 mg/dl
Bil-I : 0,76 mg/dl
Bil-T : 0,89 mg/dl
Ureum : 138 mg/dl
Creatinin : 5.86 mg/dl
SGPT/ALT : 10 U/L
SGOT/AST : 21 U/L
Albumin : 4.07 g/dl
Globulin : 3,70 mg/dl
TpI : 0,43 mg/dl
- Pemeriksaan Elektrolit : tidak tersedia
- Rontgent thorax
Dari keterangan keluarga : belum ada foto rontgen thorax.

- EKG:
Pada pemeriksaan EKG tanggal 11 Mei 2015
didapatkan

Irama : sinus rytme


HR : 75 kali / menit
Regularitas : regular
Aksis : aksis defiasi kearah kiri
Morfologi : T deprresi lead I,II,aVL,V2,V3,V4
- EKO:

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan 26 Februari 2015 :

Didapatkan Ejection Ferfution : 55 %


RESUME

Pasien Tn. M, laki-laki 76 tahun datang ke RS dengan keluhan sesak dan


nyeri dada sejak 2 bulan yang lalu, keluhan semakin berat sejak ± 6 jam sebelum
masuk rumah sakit. Riwayat sakit hepertensi (+), riwayat sakit jantung (+), riwayat
sakit paru (+). Pemeriksaan via IGD : TD 140/90. RR 26 x/ menit. Wh (+/+), Rh
(+/+). Pemeriksaan fisik di ruangan didapatkan JVP 5+4 cmH2O, konjungtiva
anemis (+/+), pada pemeriksaan thorax terdapat kardiomegali, gallop S3 (+) ,
ronkhi basah basal halus (+/+) di kedua lapangan paru. Vocal Fremitus melemah di
lapangan paru segmen atas, tengah, dan bawah di kedua lapangan paru. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 7.8 mg/dl (anemia). Pemeriksaan fungsi
ginjal didapatkan Ureum : 138 mg/dl, Creatinin : 5.86 mg/dl. Pemeriksaan enzim
didapatkan peningkat Enzim TpI (troponin I) : 0,43 mg/dl. Pada pemeriksaan EKG
di dapatkan : aksis LI (+) AVF (-) : LAD (left axis deviation, T-inverted Lead I –
aVL – V4 – V5 – V6 (adanya iskemik pada otot jantung) dan ST- Elevasi V1 – V2
– V3 (menunjukkan adanya infark anteroseptal).

DAFTAR MASALAH
1. NSTEMI
2. CHF NYHA-III
3. COPD
4. CKD

PENATALAKSANAAN
 Nonfarmakologis :
 Memposisikan semi fowler
 Mengurangi asupan garam untuk mengurangi retensi cairan dalam tubuh
 Membatasi aktivitas fisik untuk mengurangi sesak

 Farmakologis :
 IVFD Nacl 0.9% / 12 jam
 Inj. Furosemide 1 ampul / 24 jam
 Inj. Ranitidin 2 ampul / 24 jam
 Ramipil tab 2,5 mg 2 dd 1
 ISDN tab 5 mg 3 dd 1
 Aspilet (miniaspi) tab 80 mg 1 dd 1
 Inj. Aristra 2.5 mg / 24 jam (diberikan tanggal 10 mei 2015)
 Nebu (combivent + pulmicort) / 8 jam

Transfusi PRC : sebanyak 2 kantong, sudah masuk tanggal 8 dan 9 Mei 2015.

BAB IV

PEMBAHASAN
PEMBAHASAN

1. NSTEMI
Diagnosis NSTEMI pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan nyeri dada,
nyeri dada menyesak, menjalar kebahu, leher hingga ke punggung belakang,
nyeri hilang timbul selama serangan sesak, jika dibawa istirahat sedikit
menghilang. Pada pemeriksaan EKG didapatkan T-inverted Lead I – aVL–
V4 –V5–V6 (adanya iskemik pada otot jantung). Pada pemeriksaan
penunjang laboratorium enzim jantung didapatkan peningkatan Tropinin I,
yaitu 0,43 mg/dl.

2. CHF NYHA-III
Diagnosis CHF NYHA-III pada pasien ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
pasien didapatkan keluhan sesak nafas, sesak diperberat dengan aktivitas
fisik ringan, pasien sering terbangun malam karena sesak, pasien pernah
memiliki riwayat kaki bengkak (edema). Pada pemeriksaan fisik didapatkan
peningkatan JVP, kardiomegali, rhonki basah basal (+/+), irama gallop S3
(+). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan. Pada pemeriksaan penunjang
EKG ditemukan left axis deviation.

3. COPD
Diagnosis COPD ditegakkan pada pasien ini berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis pasien
didapatkan riwayat penyakit paru 2 bulan yang lalu, pasien juga
mengeluhkan sesak, riwayat batuk berdahak. Pada pemeriksaan fisik ketika
terjadi serangan sesak di IGD ditemukan Wh (+/+) dan Rh (+/+). Adanya
kelainan suara nafas seperti wheezing perlu dipirkan bahwa terjadi suatu
penyempitan pada jalan nafas pasien. Namun sesak pada pasien dengan
CHF bisa disebabkan oleh efusi pleura atau edema paru. Pada pasien ini
juga perlu dipertimbangkan adanya penyakit pneumonia yang juga memiliki
gejala sesak, batuk, dan demam. Pneumonia biasanya didukung oleh
pemeriksaan labor, yaitu peningkat leukosit diatas nilai normal yg
menunjukkan suatu infeksi.
4. CKD stage 3
Diagnosis CKD pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang laboratorium. Dari
anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan badan terasa lemas satu minggu
terakhir. Pemeriksaan fisik : konjungtiva anemis (+/+). Dari pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb : 8.7 mg/dl. Keadaan pasien ini menunjukkan
tanda anemia. Kemudian kita mencari etiologi atau penyebab anemia pada
pasien ( perdarahan masif, penyakit kronik yang menyebakan kehilangan
darah yang lama atau yang menghambat pembentukan sel darah merah).
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai ureum dan kreatinin
mengalami peningkatan yaitu Ureum : 138 mg/dl Creatinin : 5.86 mg/dl.
kemudian setelah dihitung berdasarkan rumus Kockcorft-Gault didapatkan
LFG (41.3 ml/menit/1,73m²), hasil LFG ini menunjukkan CKD stage 3.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang dapat disimpulkan bahwa pasien ini menderita NSTEMI, CHF NYHA-
III, COPD dan CKD.

FOLLOW-UP PASIEN

Tanggal S O A P
10 Mei 2015 Sesak (+) TD : 130/80 NSTEMI - IVFD Nacl 0.9% / 12
Nyeri dada (+) N : 78 x/i + CHF + jam.
mual (+) R : 22 x/i COPD + - Inj. Furosemide 1
S : 36,3 C CKD ampul / 24 jam.
- Inj. Ranitidin 2 ampul
/ 24 jam.
- Ramipil tab 2,5 mg 2
dd 1
- ISDN tab 5 mg 3 dd 1
- Aspilet (miniaspi) tab
80 mg 1 dd 1 Nebu
(combivent +
pulmicort) / 8 jam
- Diruangan
ditambahkan : Inj.
Aristra 2.5 mg / 24
jam.
11 Mei 2015 Sesak (+) TD : 130/80 NSTEMI + salbutamol tab 4 mg 3 dd 1
nyeri dada N : 78 x/i + CHF + + retapil tab 2 dd 1 + Simarc
(berkurang) R : 22 x/i COPD + tab 2 mg 1 dd 1
S : 36,3 C CKD
12 Mei 2015 Sesak TD : 130/80 NSTEMI Terapi lanjut
(berkurang) N : 78 x/i + CHF +
nyeri dada R : 22 x/i COPD +
(berkurang) S : 36,3 C CKD
13 mei 2015 Sesak TD : 130/80 NSTEMI Terapi lanjut
(berkurang) N : 78 x/i + CHF +
nyeri dada R : 22 x/i COPD +
(berkurang) S : 36,3 C CKD

DAFTAR PUSTAKA
1. Kursus Bantuan Hidup Lanjut ACLS INDONESIA. Jakarta:2011. Hal 60-
76.
2. Steg GP, James SK, Atar D, Bandano LP, Blomstrom-Lundqvist C, Borger
MA, et.al. ESC guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European Heart
Journal (2012) 33. 2569-619.
3. Gray HH, Dawkins KD, Simpson IA, Morgan JM. Lecture Notes:
Kardiologi. Edisi IV. Jakarta:2002. Hal 107-50.
4. ACC/ AHA , 2014 : Guidelines for management patient with ST- Elevasi
Myocardial Infarction.
5. ACC/ AHA, 2014: Guidelines for managemen of patient with Unstable
Angina/ NonSTEMICME
6. Lisa AB,Taletha Carter(2008) Cardiovascular Care,Philadelphia.
7. McMurray JJ, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Bohm M,
Dickstein K, et all. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute
and chronic heart failure 2012. European Heart Jurnal. 2012.
8. Remme WJ, Swedberg K. Guidelines for the diagnosis and treatment of
chronic heart failure. In: European heart journal. 2001; 22, 1527-60.
9. PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). PPOK (Penyakit Paru
obstruksi Kronik). Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatal aksanaan di
Indonesia. Revisi 2011.
10. PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). ASMA. Pedoman Praktis
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Revisi 2010.
11. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). National
Heart Lung and Blood Institute, update 2009.
12. Global Initiative for Asthma (GINA). National Heart Lung and Blood
Institute, update 2013.
13. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3
Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.2.
14. Mansjoer A, et al.Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2002.
15. Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. Gagal Ginjal Kronik. Buku
Ajar
16. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2001.427-434.
17. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2006.

Anda mungkin juga menyukai