Anda di halaman 1dari 44

PRESENTASI KASUS

NEONATUS ATERM, KOLESTASIS DAN PNEUMONIA NEONATUS


KONGENITAL

Disusun oleh:
Marhani
030.12.155

Pembimbing :
Dr. Raden Setyadi, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 30 APRIL – 21 JULI 2018
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi Kasus dengan judul

Presentasi Kasus
Neonatus aterm, Distress Respirasi, Hiperbilirubin, dan Neonatal infeksi

Telah diterima dan disetujui oleh pembiming, dr. Raden Setyadi, Sp. A

sebagai syarat untuk menyelesaikan kepanitraaan klinik Ilmu Kesehatan Anak

di RSUD Kardinah

Periode 30 April – 21 Juli 2018

` Tegal, Juli 2018

dr. Raden Setyadi, Sp. A


STATUS PASIEN LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL

Nama : Marhani Pembimbing : dr. Raden Setiyadi, Sp.A

NIM : 030.12.155 Tanda tangan :

A. IDENTITAS PASIEN DAN ORANG TUA/WALI

DATA PASIEN AYAH IBU

Nama By. Ny. NW Tn. MS Ny. NW

Umur 11 hari 29 tahun 26tahun

Jenis Kelamin Laki laki Laki – laki Perempuan

Alamat Randugunting RT 1 / RW 12, Tegal.

Agama Islam Islam Islam

Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa

Pendidikan - SMA SD

Pekerjaan - Karyawan Ibu rumah tangga

Penghasilan - 4.000.000,-/bulan -

Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung

Asuransi BPJS Non PBI

3
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap ibu kandung pasien
pada Selasa, 2 Juni 2018 pukul 13.00 WIB di ruang Dahlia RSU Kardinah Tegal.
Keluhan Utama: Bayi tidak menangis saat lahir
Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu G1P0A0 26 tahun, hamil 39 minggu dengan PEB datang ke IGD
RSU Kardinah karena megeluh mules-mules dan keluar cairan dari vagina,
kemudian pasien dirawat diruang mawar, saat pemeriksaan didapatkan adanya
gawat janin ( fetal distress), sehingga direncanakan untuk SC.
Lahir bayi laki-laki secara SC Jam 03.25, Saat lahir kondisi bayi
menangis (-) merintih (-), tonus otot lemah (+), gerakan sedikit, tidak aktif (+),
kulit akrosianosis (+), hipotermi (+), APGAR skor 3-7-8, BBL 4000 gram, PB 51
cm, LK 37 cm, LD 36 cm. Air ketuban keruh warna hijau bercampur meconium
(+) dan bercampur darah. Nadi 148x/menit, pernapasan 55x/menit, SpO2 99%,
retraksi dada (-), napas cuping hidung (-), GDS 68 mg/dL.Pasien kemudian
dipindahkan ke Dahlia untuk pemantauan lebih lanjut.

Riwayat Kehamilan, Pemeriksaan Prenatal, dan Kelahiran


Anemia (-), hipertensi (-), diabetes melitus (-),
penyakit jantung (-), penyakit paru (-), merokok (-),
Morbiditas kehamilan
infeksi (-), perdarahan (-), usia kehamilan
mengalami demam, minum alkohol (-)
Kehamilan Kontrol ke dokter spesialis kandungan 2 kali setiap
bulan rutinsampai menjelang masa persalinan.
Perawatan antenatal Riwayat imunisasi TT (+)1 kali, konsumsi
suplemen selama kehamilan (+), riwayat minum
obat tanpa resep dokter dan jamu (-).
Tempat persalinan RSUD Kardinah
Penolong persalinan Dokter Sp. OG
Cara persalinan Sectio Caesarea
Kelahiran
Masa gestasi 39 minggu
Air ketuban Kehijauan, bercampur meconium dan darah
Keadaan bayi Berat lahir: 4000 gram

4
Panjang lahir: 51 cm
Lingkar kepala: 37 cm
Lingkar Dada : 36 cm
Tonus otot lemah, gerakan sedikit
Kulit akrosianosi
Nilai APGAR: 3-7-8
Kelainan bawaan: -

Kesan : Riwayat perawatan antenatal cukup baik, Neonatus aterm, lahir


Sectio Caesarea, bayi dalam keadaan bugar.

Riwayat Pemeliharaan Postnatal


Pemeliharaan setelah kelahiran belum dapat dievaluasi.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir 4000 gram, panjang badan 51 cm, lingkar kepala 36
cm, dan lingkar dada 37 cm.

Riwayat Makanan
Ibu memberikan ASI langsung dan ASI perah lewat botol.

Riwayat Imunisasi
Pasien sudah dilakukan imunisasi Hepatitis B

Riwayat Keluarga
Corak Reproduksi
Ibu P1A0, anak pertama adalah pasien yang lahir tanggal 21 Juni2018,
lahir hidup.Usia ibu pasien saat hamil pasien adalah 26 tahun.

Riwayat pernikahan
Ayah Ibu
Nama Tn. MS Ny. NW
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 29 tahun 26 tahun

5
Pendidikan terakhir SMP SD
Suku Jawa Jawa
Agama Islam Islam
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -

Riwayat Penyakit Keluarga


Orang tua pasien mengaku tidak ada keluarga pasien yang memiliki
penyakit jantung bawaan, riwayat diabetes mellitus, hipertensi, penyakit
batuk-batuk lama atau pengobatan flek paru juga disangkal.

Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita


Demam (-), Riwayat ibu hipertensi (-), diabetes (-), penyakit paru (-),
penyakit jantung (-), riwayat trauma (-), riwayat perdarahan (-).

Riwayat Lingkungan Perumahan


Pasien tinggal di rumah milik sendiri. Rumah tersebut berukuran ±10 x
10 m2, memiliki 2 kamar tidur dengan 1 kamar mandi dan 1 dapur, beratap
genteng, berlantai keramik, berdinding tembok, memiliki 4 jendela dan 2
pintu. Di rumah tersebut tinggal kedua orang tua pasien, dan pasien.Rumah
selalu dibersihkan setiap hari dengan disapu dan dipel. Cahaya matahari dapat
masuk ke dalam rumah, lampu tidak dinyalakan pada siang hari. Jarak septic
tank dengan wc ± 15 m.
Kesan: Keadaan lingkungan rumah dan sanitasi cukup baik, ventilasi
dan pencahayaan baik.

Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah pasien berprofesi sebagai karyawan dengan penghasilan  Rp.
4.000.000,-/bulan. Ibu pasien sebagai ibu rumah tangga yang tidak
berpenghasilan.
Kesan: Riwayat sosial ekonomi baik.

6
 Silsilah Keluarga

= Laki-laki
= Perempuan
=Ayah pasien
= Ibu pasien
= Pasien

A. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada Rabu, 2 Juni2018 pukul 13.00 WIB, di
ruang Dahlia RSU Kardinah Tegal.
I. Keadaan Umum
Menangis : (+) kuat Kejang (–)
Gerak : (+) aktif Pucat (–)
Retraksi : (-) Ikterik (+)
Sesak: (-) Sianosis (–)

II. Tanda Vital


Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
HR : 136x/menit
Laju nafas : 35 x/menit
Suhu : 36.5oC

III. Data Antropometri


Berat badan : 4.015 gram

7
Panjang badan sekarang : 55 cm
Lingkar kepala : 34 cm

IV. Status Internus


i. Kepala: Normocephali, ubun-ubun kecil teraba datar tidak tegang,
sutura tidak melebar, mollage (-)
 Rambut: Hitam, tampak terdistribusi merata, tidak mudah
dicabut.
 Wajah : Simetris
 Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (+), edema
palpebra (-)
 Hidung : simetris, septum deviasi (-/-), sekret (-/-), pernafasan
cuping hidung (-/-)
 Telinga : Normotia
 Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), pucat (-),stomatitis
(-), mukosa hiperemis (-), saliva (+)
ii. Leher: Kelenjar tiroid tidak membesar, kelenjar getah bening tidak
membesar.
iii. Toraks: Dinding toraks normotoraks dan simetris.
o Paru:
 Inspeksi: Pergerakan dinding toraks kiri-kanan simetris,
retraksi (-), ikterik
 Palpasi: Simetris tidak ada hemithoraks yang tertinggal
 Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi: Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
o Jantung:
 Inspeksi: Iktus kordis tidak tampak.
 Palpasi: Iktus kordis teraba di ICS IV 1 cm midklavikula sinistra,
thrill (-)
 Perkusi: Tidak dilakukan pemeriksaan
 Auskultasi:Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),
gallop (-).

8
iv. Abdomen:
 Inspeksi: datar, simetris, smiling umbilicus (-),
 Auskultasi: Bising usus (-)
 Palpasi: Supel, distensi (-), hepar dan lien tidak teraba.
 Perkusi: Timpani
v. Vertebrae: Spina bifida (-), meningokel (-)
vi. Genitalia: Jenis kelamin perempuan
vii. Anorektal : Anus (+)
viii. Kulit : warna kulit merah, ikterik (+)
ix. Ekstremitas:
Keempat ekstremitas lengkap, simetris
Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2” <2”
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi

x. Refleks primitif:
Refleks Oral
Refleks Hisap : (+)
Refleks Rooting : (+)
Refleks Moro : Tidak dilakukan
Refleks Palmar Grasp : (+)
Refleks Plantar Grasp : (+)

9
D. PEMERIKSAAN KHUSUS
 Maturitas Bayi

Hasil
Usia kehamilan: 39 minggu
Berat badan: 3200 gr
Kesan: sesuai untuk masa kehamilan

 APGAR Score

3 7 5

Hasil: 3 – 7 – 8

10
 DOWNE Score

0 1 2
Frekuensi
< 60x/menit 60 – 80x/menit > 80x/menit
napas
Retraksi Tidak ada Ringan Berat
Sianosis hilang Sianosis menetap
Sianosis Tidak sianosis
dengan O2 walaupun diberi O2
Penurunan ringan Tidak ada udara
Udara masuk Baik
udara masuk masuk
Dapat didengar Dapat didengar
Merintih Tidak merintih
dengan stetoskop tanpa alat bantu

Hasil: 0

 NewBallard Score

Maturitas neuromuskuler Poin Maturitas fisik Poin


Sikap tubuh 4 Kulit 4
Jendela siku-siku 3 Lanugo 2
Recoil lengan 3 Lipatan telapak kaki 4

11
Sudut popliteal 4 Payudara 3
Tanda selempang 3 Bentuk telinga 2
Tumit ke kuping 3 Genital 3

Score = maturitas neuromuskular + maturitas fisik


= 20 + 18 = 38 poin usia ± 38 – 40 minggu
Kesan : maturitas bayi aterm 38 – 40 minggu (tidak bisa dijadikan
acuan karena pemeriksaan saat usia bayi 9 hari)

 Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)

Lingkar kepala bayi : 34cm


Kesan: Normosefali

12
 Kramer Score

Hasil:
Ikterik sampai tungkai bawah
Kesan:
Score 4 serum bilirubin 15 – 18
mg/dL

 Bell Squash Score

o Partus tindakan (SC)


o Ketuban tidak normal
o Kelainan bawaan
o Asfiksia
o Preterm
o BBLR
o Infus tali pusat
o Riwayat penyakit ibu
o Riwayat penyakit kehamilan (PEB)
Kriteria < 4 Observasi neonatal infeksi
≥4 Neonatal infeksi
Hasil 3 : Observasi neonatal infeksi

 Faktor Resiko Pemberian Antibiotik Bayi Baru Lahir Untuk Infeksi

 Demam pada ibu > 38o C


 Ketuban pecah > 18 jam
 Nyeri tekan uterus

13
 Air ketuban hijau kental
 Berbau
Bila ada salah satu faktor risiko dan ibu mendapat antibiotik < 4 jam maka
beri ampicillin dan gentamicin sesuai protokol, pada pasien terdapat faktor resiko.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Hasil laboratorium

21/06/2018 Nilai Rujukan


Hemoglobin 17.4 15.2 – 23.6 g/dl
Leukosit H 32.4 13.0 – 28.0 103/µl
Hematokrit 50.7 44 – 72 %
Trombosit 282 229 – 553 103/µl
Eritrosit 5.0 4.3 – 6.3 106/µl
RDW H 17.9 11,5 – 14,5%
MCV 100.6 98 – 122 U
MCH 34.6 33 – 41 Pcg
MCHC 34.3 31 – 35 g/dl
Sero Imunologi
CRP Negatif Negatif
Kimia klinik
Glukosa sewaktu 60 40,0-60,0 mg/dL

28/06/2018 Nilai Rujukan


Bilirubin Total 27.24 (H) Dewasa : 0.3-1.2
Bilirubin Direk 7.82 (H) Bayi
Bilirubin 19.42 (H) 0-1 Hari : 2.0-6.0
Indirek
1-2 hari : 6.0-10.0
3-5 hari : 4.0-8.0

14
 Foto baby gram (25/06/2018)

HASIL
Thorax:
 Cor:

Bentuk dan letak jantung normal


Pulmo:
Corakan bronchovaskular meningkat
Tampak bercak pada perihiler dan peracardial kanan kiri
Sinus costophrenicus kanan kiri lancip

 Abdomen:

Udara usus meningkat


Tak tampak dilatasi dan distensi usus
Tak tampak free air
Tak tampak udara pada cavum pelvis

KESAN:
- Bentuk dan letak jantung normal
- Gambaran neonatal pneumonia
- Abdomen tak tampak kelainan

15
 USG (2/07/2018)

Hepar : ukuran tak membesar, parenkim normal, ekogenesitas normal tak


tampak nodul, v.porta tak melebar, v. Hepatika tak melebar.
D. Biliaris : intra dan ekstrahepatal tak melebar
Vesika felea : ukuran fastig (2,37x0,58cm) & ukuran post prandial (2,18x 0,82 cm)
Pankreas : parenkim homogen tak tampak masa maupun kalsifikasi
Ginjal Dex dan Sin : bentuk dan ukuran normalbatas kortikomeduler jelas tak tampak
penipisan korteks, tak tampak batu, pielokaliks tak melebar.
Lien : tak membesar, tak tampak nodul, V. Lienalis tak melebar
Aorta : tak tampak nodul paraaorta

KESAN
Vesika felea ukuran fastig dan post prandial tampak sedikit kontraksi, cenderung
cholistasis, curiga hepatitis, neonatal, DD: Atresia billier
Tak tampak kelainan lainnya pada sonografi organ intra abdomen diatas

16
E. RESUME
Ibu G1P0A0 26 tahun, hamil 39 minggu dengan PEB datang ke IGD RSU Kardinah
karena megeluh mules-mules dan keluar cairan dari vagina, kemudian pasien dirawat
diruang mawar, saat pemeriksaan didapatkan adanya gawat janin ( fetal distress),
sehingga direncanakan untuk SC. Lahir bayi laki-laki secara SC Jam 03.25, Saat lahir
kondisi bayi menangis (-) merintih (+), tonus otot lemah (+), gerakan sedikit, tidak aktif
(+), kulit akrosianosis (+), hipotermi (+), APGAR skor 3-7-8, BBL 4000 gram, PB 51 cm,
LK 37 cm, LD 36 cm. Air ketuban keruh warna hijau bercampur meconium (+) dan
bercampur darah. Nadi 148x/menit, pernapasan 55x/menit, Suhu 34oC SpO2 99%,
retraksi dada (-), napas cuping hidung (-), GDS 68 mg/dL.Pasien kemudian dipindahkan
ke Dahlia untuk pemantauan lebih lanjut.

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan hari Rabu, 2 Juni 2018 pukul 13.00
WIB menunjukkan nadi 136x/menit, pernapasan 35x/menit, suhu 36oC, bayi masih
terlihat kulit ikterik sampai tungkai bawah. Hasil lab tanggal 28 Juni 2018
menunjukkan hiperbilirubinemia .Foto rontgen babygram terdapat gambaran
neonatal pneumonia dan USG didapatkan kesan cenderung cholistasis, curiga
hepatitis, neonatal, DD: Atresia billier.

F. DAFTAR MASALAH
 Neonatus aterm
 Hiperbilirubinemia
 Neonatal infeksi

G. DIAGNOSIS BANDING
Neonatus Aterm  KMK (Kecil masa kehamilan)
 SMK (Sesuai masa kehamilan)
 BMK (Besar masa kehamilan)
Neonatal Hiperbilirubinemia  Intra hepatal
 Pre hepatal
 Post hepatal
Neonatal Infeksi  Antenatal
 Intranatal
 Pascanatal

17
H. DIAGNOSIS KERJA
 Neonatus aterm
 Distress Respirasi
 Hiperbilirubin
 Neonatal infeksi

I. PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
 Rawat intensif, observasi KU, monitor TTV
 Hangatkan bayi
 O2 low flow
 Edukasi keluarga pasien mengenai penyakit, terapi dan komplikasi
b. Medikamentosa
 Inj. Meropenem 200mg/12 jam

 Inj. Gentamicin 20 mg/24 jam

 Prednison 3x 1,5 mg
PO:
 Sanbeplex neo 1 x 0.3 ml

 Eltazon 3x1/4

 Sequest 3x1/5
 Curliv plus 3x1cc

J. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam.

18
K. PERJALANAN PENYAKIT

21Juni 2018 pukul 03.25 WIB 22 Juni 2018 pukul 10.00 WIB 23 Juni 2018 pukul 13.00 WIB
S Lahir bayi SC, lahir tidak menangis, S Bayi masih sesak, pernapasaan cuping S Demam (-), sesak (+),retraksi (+),napas
tonus otot lemah, kulit akrosianosis. hidung (+), menangis (+), gerak kurang cuping hidung (+).
Dilakukan lakukan VTP 2x siklus dan aktif.
diberi O2 respon bayi menangi, tonus
otot <, kulit kemerahan, sesak (+)
APGAR Skor: 3-7-8
O KU:tampak lemah, kulit tampak O KU:tampak lemah O KU:tampak lemah
kebiruan TTV: HR 133 x/m, RR 48x/m, S 37,30C. TTV: HR 137 x/m, RR 51x/m, S 36.70C.
TTV: HR 148 x/m, RR 55x/m, S 34.50C. Status generalis: Status generalis:
Status generalis: Kepala: mesocephali Kepala: mesocephali
Kepala: caput (+) Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-),
Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), retraksi subcostal (-) retraksi (+)
retraksi subcostal (-) Abd:supel, BU (+) Abd:supel, BU (+)
Abd:supel, BU (+) Ekst: sianosis (-/-), edema (-/-) Ekst: sianosis (-/-), edema (-/-)
Ekst: sianosis (+/+), edema (-/-) DOWNE score: 1
A Neonatus aterm lahir SC A A
Distres respirasi Distres respirasi

P • Dilakukan VTP2x siklus P • Inj. Gentamicin 20 mg/24 jam P • Inj. Gentamicin 20 mg/24 jam
• O2low flow • Inj Vicillin 2x 200 • Inj Vicillin 2x 200
• Diberi injeksi vit K 0,5cc
• Diberi salep mata
• Inj. Gentamicin 20 mg/24 jam
• D10% + Cal gluconas 20 cc

19
• Inj Vicillin 2x 200

24 Juni 2018 pukul 07.00 WIB 25 Juni2018 pukul 12.40 WIB 26Juni 2018 pukul 07.25 WIB
S sesak berkurang, retraksi (-), napas S Demam (-), sesak berkurang, retraksi S sesak berkurang, retraksi tidak ada, BAB
cuping hidung (-), tampak kuning, BAB berkurang, napas cuping hidung (-), BAB BAK (N), bayi menangis, gerak aktif,
dan BAK baik. dempul, BAK (N), bayi menangis, gerak tampak kuning.
aktif, tampak kuning.
O KU:tampak lemah, gerak aktif >> O KU:gerak aktif >> O KU:gerak aktif >>
TTV: HR 128 x/m, RR 52x/m, S 370C. TTV: HR 126 x/m, RR 32x/m, S 37.00C. TTV: HR 148 x/m, RR 52x/m, S 36.80C.
Status generalis: Status generalis: Status generalis:
Kepala: mesocephali Kepala: mesocephali Kepala: mesocephali
Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-),
retraksi (-),ikterik (+) retraksi (-),ikterik (+) retraksi (-), ikterik (+)
Abd:supel, BU (+) Abd:supel, BU (+) Abd:supel, BU (+)
Ekst: sianosis (-/-), edema (-/-) Ekst: sianosis (-/-), edema (-/-) Ekst: sianosis (-/-), edema (-/-)

A Distres respirasi A Distres respirasi A Distres respirasi


Neonatal ikterik Neonatal ikterik Neonatal ikterik
P • Inj. Gentamicin 20 mg/24 jam P • Inj. Gentamicin 20 mg/24 jam P • Inj Vicillin 250/12jam
• Inj Vicillin 2x 200 • Inj Vicillin 2x 250 • IVFD KAEN 1B 10cc/jam
• D10% + Cal gluconas 12 cc • IVFD KAEN 1B 15cc/jam • Inj cefotaxime 200mg/12jam
Program: foto Babygram • Inj. Gentamicin 20 mg/24 jam

20
27Juni2018 pukul 07.00 WIB 28Juni2018 pukul 07.40 WIB 29Juni2018 pukul 09.30 WIB
S Demam (+)semalam (37,6oC) ,sesak (+), S Demam (+) , tampak kuning, retraksi (- S Demam (-),sesak(+), tampak kuning,
tampak kuning, retraksi (-), bayi ),bayi menangis (+), gerak aktif (+) retraksi (-), bayi menangis (+), gerak
menangis (+), gerak aktif (+) aktif (+)
O KU: tampak lemah, gerak aktif > O KU: gerak aktif > O KU: gerak aktif >
TTV: HR 148 x/m, RR 50x/m, S 36.80C. TTV: HR 132 x/m, RR 38x/m, S 37,10C. TTV: HR 154 x/m, RR 65x/m, S 36.00C.
Status generalis: Status generalis: Status generalis:
Kepala: mesocephali, sklera ikterik (+) Kepala: mesocephali, sklera ikterik (+) Kepala: mesocephali
Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-),
retraksi subcostal (-), ikterik (+) retraksi subcostal (-),ikterik (+) retraksi subcostal (-), ikterik (-)
Abd: supel, BU (+) Abd: supel, BU (+) Abd: supel, BU (+)
Ekst: sianosis (-/-), edema (-/-) Ekst: sianosis (-/-), edema (-/-) Ekst: sianosis (-/-), edema (-/-)

Bilirubin Total : 27.24 (H)


Bilirubin direk : 7.82 (H)
Bilirubin Indirek : 19.42 (H)

A A Neonatal infeksi A Neonatal sepsis


Neonatal infeksi Cholestasis Cholestasis
Distres respirasi Distres respirasi Distres respirasi

P • O2 low flow 0,5 lt/m P • Inj cefotaxime 200mg/12jam P • O2 low flow 0,5 lt/m
• IVFD D10% 15cc • Inj. Gentamicin 20 mg/24 jam • Inj. Meropenem 200mg/12 jam
• Inj cefotaxime 200mg/12jam PO: • Inj. Gentamicin 20 mg/24 jam
• Inj. Gentamicin 20 mg/24 jam Sanbeplex neo 1 x 0.3 ml • Inj Cefotaxime 200mg/12jam

21
Eltazon 3x1/4
Sequest 3x1/5
 Rencana : Feses 3 porsi

22
30Juni2018 pukul 07.00 WIB 1Juli2018 pukul 07.40 WIB 2Juli2018 pukul 07.25 WIB
S Demam (+) sore hari, tampak kuning, S Demam (+) semalam, tampak kuning, S Demam (-), tampak kuning, retraksi (-),
retraksi (-), BAB kuning BAK (N), bayi retraksi (-), BAB dempul (sore), BAK BAB BAK (N), bayi menangis (+), gerak
menangis (+), gerak aktif (+) (N), bayi menangis (+), gerak aktif (+) aktif (+)
O KU: tampak lemah, gerak aktif > O KU: gerak aktif > O KU: gerak aktif >
TTV: HR 131 x/m, RR 34x/m, S 36.60C. TTV: HR 140 x/m, RR 48x/m, S 36.50C. TTV: HR 136 x/m, RR 35x/m, S 36.50C.
Status generalis: Status generalis: Status generalis:
Kepala: mesocephali Kepala: mesocephali Kepala: mesocephali
Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-),
retraksi subcostal (-), ikterik (+) retraksi subcostal (-), ikterik (+) retraksi subcostal (-), ikterik (+)
Abd: supel, BU (+) Abd: supel, BU (+) Abd: supel, BU (+)
Ekst: sianosis (-/-), edema (-/-) Ekst: sianosis (-/-), edema (-/-) Ekst: sianosis (-/-), edema (-/-)

A Neonatal infeksi A Neonatal infeksi A Neonatal infeksi


Cholestasis DD/ Hepatitis neonatus Cholestasis DD/ Hepatitis neonatus Cholestasis DD/ Hepatitis neonatus
P • Inj. Meropenem 200mg/12 jam P • Inj. Meropenem 200mg/12 jam P • Inj. Meropenem 200mg/12 jam
• Inj. Gentamicin 20 mg/24 jam • Inj. Gentamicin 20 mg/24 jam • Inj. Gentamicin 20 mg/24 jam
• IVFD KAEN 1B 15cc/jam PO: • Prednison 3x 1,5 mg
Sanbeplex neo 1 x 0.3 ml PO:
PO: Eltazon 3x1/4 Sanbeplex neo 1 x 0.3 ml
Sanbeplex neo 1 x 0.3 ml Sequest 3x1/5 Eltazon 3x1/4
Eltazon 3x1/4 Sequest 3x1/5
Sequest 3x1/5 Curliv plus 3x1cc

Rencana : USG hepatobilier

23
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Kolestasis
1.1.1 Definisi
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam duodenum
dalam jumlah yang normal. Secara klinis, kolestasis dapat didefinisikan sebagai
akumulasi zat-zat yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu
dan kolesterol di dalam darah dan jaringan tubuh. Berdasarkan rekomendasi North
American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition
(NASPGHAN), kolestasis apabila kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila
bilirubin total kurang dari 5 mg/dl, sedangkan bila kadar dari bilirubin total lebih dari
5 mg/dl, kadar bilirubin direk lebih dari 20% dari bilirubin total (Benchimol dkk.,
2009; Bhatita, 2014).

1.1.2 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi anatominya kolestasis dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
kolestasis intrahepatik dan kolestasis ekstrahepatik. a. Kolestasis intrahepatik
Kolestasis intrahepatik bisa juga disebut dengan kolestasis hepatoseluler. Kolestasis
intrahepatik merupakan 68% dari kasus kolestasis. Kolestasis intrahepatik terjadi
karena kelainan pada hepatosit atau elemen duktus biliaris intrahepatik. Hal ini
mengakibatkan terjadinya akumulasi, retensi serta regurgitasi bahan-bahan yang
merupakan komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke
dalam plasma, dan selanjutnya pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan
penumpukan empedu di dalam sel hati dan sistem biliaris di dalam hati (Bisanto,
2011; Ermaya, 2014). b. Kolestasis ekstrahepatik Kolestasis ekstrahepatik merupakan
32% dari kasus kolestasis dan sebagian besar adalah atresia bilier. Kolestasis
ekstrahepatik terdapat penyumbatan atau obstruksi saluran empedu ekstrahepatik.
Penyebab utama kolestasis tipe ini adalah proses imunologis, infeksi virus terutama
Cytomegalo virus, Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan
genetik. Akibat dari penyebab tersebut maka akan terbentuk kelainan berupa
nekroinflamasi, yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan dan pembuntuan saluran
empedu ekstrahepatik (Arief, 2012; Ermaya, 2014). Atresia bilier merupakan salah
satu contoh kolestasis ekstrahepatik dan merupakan penyebab yang paling sering
ditemukan. Deteksi dini kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier

24
merupakan langkah yang sangat penting, karena metode pengobatan untuk atresia
biler adalah dengan pembedahan hepatik-portoenterostomi yang biasa dikenal dengan
nama operasi Kasai, operasi ini kurang efektif apabila umur pasien sudah lebih dari 2
bulan (Lee dkk., 2010).

1.1.3 Etiologi

1.1.4 Patogenesis
Kolestasis intrahepatik diakibat oleh gangguan sintesis dan atau sekresi asam
empedu akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta mekanisme
transportasinya di dalam hati. Patogenesis kolestasis intrahepatik tersebut dapat
dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: (Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011) a.
Gangguan transporter (Na+ K +ATP-ase dan Na+ bile acid co-transporting protein
NCTP) b. Berkurangnya transport intraseluler yang diakibatkan oleh perubahan
keseimbangan kalsium atau kelainan mikrotubulus akibat toksin atau pengguanaan

25
obat. c. Sekresi asam empedu primer yang berkurang atau terbentuknya asam empedu
atipik di kanalikulus yang berpotensi untuk mengakibatkan kolestasis dan kerusakan
sel hati. d. Meningkatnya permeabilitas jalur paraselular sehingga terjadi regurgitasi
bahan empedu akibat lesi pada tight junction. e. Gangguan pada saluran biliaris
intrahepatik.
1.1.5 Diagnosis
Kolestasis dicurigai apabila terdapat warna ikterus pada kulit atau mukosa yang
tidak menghilang setelah minggu ke-3 kehidupan, pada bayi kurang bulan dan lebih
dari dua minggu pada bayi cukup bulan (Girard dan Lacaille, 2008). Untuk
mendiagnosis kolestasis dapat dilakukan beberapa langkah seperti:
a. Anamnesis
Riwayat ikterus lebih dari 14 hari, keluarga pasien yang menderita kolestasis, lahir
prematur atau berat lahir rendah, riwayat kehamilan dengan infeksi TORCH, hepatitis
B, infeksi intrapartum, pemberian nutrisi parenteral, sepsis dan ISK. Bayi dengan
atresia bilier biasanya lahir dengan berat badan yang normal, sedangkan pada bayi
dengan kolestasis intrahepatik lahir dengan berat badan lahir rendah (Arief, 2012).
b. Pemeriksaan fisik
Ikterus merupakan tanda yang paling sering dijumpai pada pasien dengan
kolestasis, dan merupakan pertanda awal untuk mendiagnosis kolestasis. Pada
umumnya gejala ikterik akan muncul pada pasien apabila kadar bilirubin sekitar 7
mg/dl (Girard dan Lacaille, 2008; Benchimol dkk., 2009). Pemeriksaan abdomen bisa
ditemukan adanya hepatomegali, apabila didapatkan kosistensi hepar keras, tepi
tajam, dan permukaan noduler, hal tersebut dapat diperkirakan hepar sudah
mengalami fibrosis atau sirosis. Hepar yang teraba pada daerah epigastrium maka
dapat dicerminkan sebagai sirosis. Rasa nyeri tekan pada palpasi merupakan
mekanisme peregangan dari kapsula Glissoni yang disebabkan karena edema. Pasien
dengan kolestasis dapat dijumpai juga adanya splenomegali, perdarahan yang
disebabkan oleh defisiensi vitamin K, urin berwarna gelap seperti teh, tinja warnanya
pucat (akholik), sampai bisa didapatkan pasien dengan gagal tumbuh (Kader dan
Balistreri, 2011; Arief, 2012).
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang sangat penting dilakukan untuk mengetahui tipe
kolestasis. Pada pemeriksaan penunjang terdapat beberapa metode pemeriksaan yang

26
mencakup: pemeriksaan laboratorium, ultrasonografi, biopsi hati dan kolangiografi
intraoperatif (Benchimol dkk., 2009; Bisanto, 2011; Ermaya, 2014).
 Pemeriksaan laboratorium

 Pemeriksaan kadar bilirubin merupakan pemeriksaan laboratorium


rutin yang dilakukan untuk pasien dengan kolestasis, dengan
mengetahui hasil dari komponen bilirubin kita dapat membedakan
antara kolestasis dengan hiperbilirubinemia fisiologis. Dikatakan
kolestasis apabila didapatkan kadar billirubin direk lebih dari 1 mg/dl
bila billirubin total kurang dari 5 mg/dl atau kadar billirubun direk
lebih dari 20% apabila kadar billirubin total lebih dari 5 mg/dl.

 Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10 kali dengan peningkatan gamma


GT 5 kali, hal ini lebih mengarah kepada kolestasis ekstrahepatik.

 Aminotransferase serum meningkat lebih dari 2-4 kali nilai normal,


maka hal ini menunjukkan adanya proses infeksi.

 Pemeriksaan alkali phosphatase yang biasanya meningkat pada pasien


yang mengalami kolestasis.

 Serum lipoprotein-X meningkat pada kolestasis yang disebabkan oleh


obstruksi.

 Peningkatan kolesterol, penurunan kadar albumin, masa protrombin


biasanya normal tetapi mungkin memanjang, yang dapat dikoreksi
dengan vitamin K.

 Kadar gula darah pasien bisa didapatkan hipoglikemia, untuk


mendeteksi kelainan yang berhubungan dengan metabolik.

 Pemeriksaan TORCH untuk menelusuri terhadap kemungkinan adanya


infeksi Toksoplasma, Cytomegalo virus, Rubella, dan Herpes.

 Pemeriksaan FT4 dan TSH. j. Pemeriksaan biakan bakteri (biakan urin


dan darah).

 Pemeriksaan hepatitis B dan pemeriksaan kadar α-1 antitripsin.

27
Khusus untuk pemeriksaan tinja biasa disebut dengan pemeriksaan tinja 3
porsi (dilihat tinja akholik pada tiga periode dalam sehari). Kolestasis
ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan manifestasi berupa tinja akholik
(Girard dan Lacaille, 2008; Tufano dkk., 2009; Oswari, 2014).
Cara pemeriksaan tinja tiga porsi ini adalah :
a. Porsi I diambil pada pukul 06.00 – 14.00
b. Porsi II diambil pada pukul 14.00 – 22.00
c. Porsi III diambil pada pukul 22.00 – 06.00
Ketiga sampel tinja tersebut dimasukan ke dalam wadah yang
berwarna gelap kemudian setiap harinya dievaluasi apabila sudah terkumpul
tiga sampel. Apabila dalam beberapa hari pemeriksaan didapatkan hasil tinja
yang berwarna dempul, maka kemungkinan besar pasien tersebut mengalami
kolestasis ekstrahepatik. Pada pasien dengan kolestasis intrahepatik biasanya
hasil pemeriksaan tinja yang diperiksa hasilnya normal.
 Ultrasonografi

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan salah satu teknik pemeriksaan


untuk mendeteksi kolestasis pada pasien. Dengan pemeriksaan USG dapat
diketahui ukuran, keadaan hati, dan kandung empedu. Pemeriksaan ini relatif
murah harganya dengan teknik yang sangat sederhana, serta efektifitasnya
mencapai 80%. Ultrasonografi dapat mendeteksi adanya tanda triangular cord
dibagian atas percabangan vena porta. Ultrasonografi memiliki sensitivitas
85%, spesifisitas 100%, dan akurasi 95% untuk mendiagnosis atresia bilier
ekstrahepatik (Oswari, 2007; Bisanto, 2011). Sebelum dilakukan pemeriksaan
USG pasien harus dipuasakan minimal selama 4 jam. Kemudian, setelah
pemeriksaan USG yang pertama pasien diberikan minum dan diperiksa USG
kembali. Panjang kandung empedu yang normal akan tampak ≥1,5 cm,
sedangkan pada 60% pasien atresia bilier ektrahepatik tidak akan tampak
(Bisanto, 2011). Pada pasien dengan kolestasis intrahepatik, pada saat pasien
dipuasakan akan terlihat kandung empedu yang normal dan pada umumnya
akan terisi cairan empedu sehingga mudah terlihat dengan pemeriksaan USG.
Setelah pasien diberikan minum, kandung empedu akan mengalami kontraksi
sehingga ukurannya akan lebih kecil dan tidak terlihat dengan pemeriksaan
USG. Kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier terjadi

28
karena adanya proses obstruksi di hati, sehingga pada saat pasien dipuasakan
kandung empedu tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan USG. Keadaan lain
yang mengarah kemungkinan atresia bilier, apabila saat puasa kandung
empedu terlihat ukurannya kecil dan setelah diberikan minum ukurannya tidak
terjadi perubahan (Benchimol, 2009; Oswari, 2014).
 Biopsi hati

Biopsi hati merupakan cara yang paling akurat untuk mendiagnosis bayi
dengan kolestasis. Berdasarkan data-data yang didapatkan dari penelitian
sebelumnya, pasien kolestasis yang disebabkan oleh atresia bilier dapat
dideteksi sekitar 90%-95% dengan biopsi hati. Pada atresia bilier dapat
ditemukan gambaran proliferasi duktus biliaris, bile plug, portal track edema,
dan fibrosis. Sedangkan pada pasien dengan hepatitis neonatal idiopatik
dengan metode ini akan didapatkan gambaran pembengkakan sel difus,
transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoseluler fokal (Oswari, 2007).
 Kolangiografi

intraoperatif Kolangiografi merupakan prosedur yang tidak selalu


dikerjakan pada kolestasis, karena merupakan prosedur yang sulit dan
berbahaya, tetapi tingkat akurasinya sangat tinggi sekitar 98% untuk
mendiagnosis atresia bilier. Pemeriksaan dengan metode kolangiografi
intraoperatif sangat tergantung terhadap hasil histopatologi hati. Apabila
dari hasil histopatologi hati mengarah pada atresia bilier atau hasil yang
diperoleh masih belum bisa untuk menyingkirkan atresia bilier, maka
diperlukan tindakan laparatomi eksplorasi. Pada saat dilakukan laparatomi,
pemeriksaan langsung terhadap keadaan kandung empedu dan sistem
bilier sangat diperlukan untuk melihat adanya obstruksi pada sistem bilier
(Oswari, 2007; Bisanto, 2011).

Kolestasis yang disebabkan oleh atresis bilier, kandung empedunya


terlihat kecil dan fibrotik diikuti fibrosis difus sistem bilier ekstrahepatik.
Kolangiografi dilakukan untuk menentukan patensi sistem bilier, sebuah
jarum atau kateter diinsersikan ke kandung empedu, kemudian disuntikan
zat kontras sambil diamati dengan fluoroskopi untuk menentukan luasnya
obstruksi dan variasi anatominya. Variasi anatomi yang umum dipakai

29
adalah menurut Japanese Society Of Pediatric Surgeon, yang membagi
keadaan ini menjadi 3 tipe. Tipe 1 atresia meliputi terutama duktus biliaris
komunis, tipe 2 atresia bilier naik sampai keduktus hepatikus komunis dan
tipe 3 atresia bilier mengenai seluruh sistem bilier ekstrahepatik (Oswari,
2007).

1.1.6 Penatalaksanaan

Secara garis besar tata laksana pasien dengan kolestasis terbagi


menjadi dua bagian, yaitu:

 Penatalaksanaan kausal

Terapi spesifik kolestasis sangat tergantung dari penyebabnya.


Kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier, tindakan
operasi Kasai dan transpalantasi hati merupakan cara yang efektif untuk
tata laksananya. Tindakan operasi Kasai efektif bila dikerjakan pada umur
<6 minggudengan angka keberhasilan mencapai 80-90%.

 Penatalaksanaan suportif

Tata laksana suportif kolestasis bertujuan untuk menunjang


pertumbuhan dan perkembangan seoptimal mungkin. Tata laksana suportif
meliputi:.

 Medikamentosa

Pemberian medikamentosa pada kolestasis bertujuan untuk


meningkatkan aliran empedu. Medikamentosa yang biasanya diberikan
antara lain:

a. Asam ursodeoksikolat

Obat ini umumnya digunakan sebagai agen pilihan pertama pada


pruritus yang disebabkan kolestasis. Disamping itupula obat ini
berfungsi sebagai hepatoprotektor. Dosis yang diberikan adalah: 10–20
mg/kgBB/Hari.

30
b. Kolestramin

Obat ini dapat digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal dan menghalangi


sirkulasi enterohepatik. Dosis: 0,25-0,5 g/kgbb/hari.

 Nutrisi

Kekurangan energi protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis.
Penurunan eksresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis
intraluminal, solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Bayi dengan
kolestasis membutuhkan asupan kalori yang lebih tinggi dibanding bayi
normal untuk mengejar pertumbuhan. Untuk menjaga tumbuh kembang bayi
seoptimal mungkin dengan terapi nutrisi, digunakan formula khusus dengan
jumlah kalori 120-150% dari kebutuhan normal serta vitamin, mineral dan
trace element.

2.1 Neonatal infeksi


2.1.1 Definisi
Infeksi yang terjadi pada bayi baru lahir ada dua yaitu: early infection (infeksi
dini) dan late infection (infeksi lambat). Disebut infeksi dini karena infeksi diperoleh
dari si ibu saat masih dalam kandungan sementara infeksi lambat adalah infeksi yang
diperoleh dari lingkungan luar, bisa lewat udara atau tertular dari orang lain.

Infeksi awitan dini Infeksi awitan lambat


(Early Onset ) (Late Onset )

Terjadi dalam 72 jam pertama setelah Terjadi lebih dari 72 jam setelah lahir
lahir

Sumber infeksi : Traktus genitalia Sumber infeksi : Nosokomial atau


maternal masyarakat

Presentasi klinis: Distres respirasi dan Presentasi klinis : Septikemia,


pneumonia pneumonia atau meningitis

Awitan dini : Awitan lambat :


Faktor risiko predisposisi : Faktor risiko predisposisi :
 BBLR (<2.500 gram) atau prematur  BBLR
 Demam pada ibu dengan bukti  Prematuritas
infeksi bakterial dalam 2 minggu  Sepsis didapat dari Rumah Sakit :
sebelum persalinan Perawatan di ruang intensif,
 Ketuban keruh bercampur mekoneum pemakaiaan ventilator mekanik,

31
dan atau bau prosedur invasif, pemberian
 Ketuban pecah dini > 24 jam cairan parenteral, penggunaan
 Pemeriksaan dalam vagina selama cairan untuk mengatasi syok
persalinan yang tidak bersih  Sepsis didapat dari masyarakat :
 Partus lama higiene buruk, perawatan tali
 Asfiksia neonatorum pusat tidak bersih, pemakaian
Adanya ketuban keruh bercampur botol susu, pemberian makan dini
mekoneum atau 3 kriteria di atas,
indikasi untuk memulai pemberian
antibiotik. Bayi dengan 2 faktor
risiko harus dilakukan pemeriksaan
skrining sepsis dan diobati sesuai
hasil kultur.

2.1.2 Epidemiologi

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 mendapatkan


angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, 35 bayi per 1000 kelahiran hidup. Bila
dirincikan 157.000 bayi meninggal per tahun atau 430 bayi per hari.Beberapa
penyebab kematian bayi disebabkan berat badan lahir rendah, asfiksia, tetanus,
infeksi, dan masalah pemberian minum.Penyebab kematian neonatal kelompok umur
0-7 hari adalah prematuritas dan berat badan lahir rendah/low birth weight (LBW)
35%, diikuti oleh asfiksia lahir 33,6%. Sedangkan penyebab kematian neonatal
kelompok umur 8-28 hari adalah infeksi 57,1% (termasuk tetanus, sepsis, pnemonia,
diare), dan masalah minum 14,3%.
Infeksi neonatal dapat terjadi intrauterin melalui transplasental, didapat
intrapartum saat melalui jalan lahir selama proses persalinan, atau pascapartum akibat
sumber infeksi dari luar setelah lahir. Infeksi intrapartum dapat terjadi pada saat
melalui jalan lahir atau infeksi asendens bila terjadi partus lama dan ketuban pecah
dini. Kelompok virus yang sering menjadi penyebab termasuk herpes simplex, HIV,
cytomegalovirus (CMV), dan hepatitis B yaitu virus yang jarang ditularkan secara
transplasental. Sedangkan kelompok kuman termasuk Streptokokus grup B Gram
negatif, kuman enterik Gram negatif (terutama Escheria coli), gonokokus dan
klamidia.Infeksi pasca persalinan terjadi karena kontak dengan ibu yang terinfeksi
secara langsung misalnya ibu yang mendrita tuberkulosis (meskipun dapat ditularkan
intrauterin), melalui ASI (HIV, CMV), kontak dengan petugas kesehatan lain, atau
kuman di lingkungan rumah sakit.Infeksi bakterial sistemik dapat terjadi kurang dari

32
1%, penyakit virus 6%-8% dari seluruh populasi neonatus dan infeksi bakteri
nosokomial 2%-25% dari bayi yang dirawat di NICU.
Infeksi awitan dini apabila terjadi dalam lima hari pertama kehidupan pada
umumnya disebabkan karena infeksi intrauterin atau intrapartum sedangkan infeksi
awitan lambat terjadi sesudah umur tujuh hari dan sering terjadi selama pasca
persalinan dan akibat kolonisasi nosokomial.Menurut perkiraan WHO, terjadi sekitar
5 juta kematian neonatus pada tahun 1995 dan menurun menjadi 4 juta pada tahun
2004, namun tetap 98% terjadi di negara sedang berkembang.

2.1.3 Patogenesis

Infeksi pada bayi baru lahir sering ditemukan pada BBLR.Infeksi lebih sering
ditemukan pada bayi yang lahir dirumah sakit dibandingkan dengan bayi yang lahir
diluar rumah sakit.Bayi baru lahir mendapat kekebalan atau imunitas transplasenta
terhadap kuman yang berasal dari ibunya. Sesudah lahir, bayi terpapar dengan kuman
yang juga berasal dari orang lain dan terhadap kuman dari orang lain.
Infeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara. Blanc membaginya dalam
3 golongan, yaitu :
 Infeksi Antenatal
Kuman mencapai janin melalui sirkulasi ibu ke plasenta. Di sini
kuman itu melalui batas plasenta dan menyebabkan intervilositis. Selanjutnya
infeksi melalui sirkulasi umbilikus dan masuk ke janin. Kuman yang dapat
menyerang janin melalui jalan ini ialah :
a. Virus, yaitu rubella, polyomyelitis, covsackie, variola, vaccinia, cytomegalic
inclusion
b. Spirokaeta, yaitu treponema palidum ( lues ) ;
c. Bakteri jarang sekali dapat melalui plasenta kecuali E. Coli dan listeria
monocytogenes. Tuberkulosis kongenital dapat terjadi melalui infeksi plasenta.
Fokus pada plasenta pecah ke cairan amnion dan akibatnya janin mendapat
tuberkulosis melalui inhalasi cairan amnion tersebut.
 Infeksi Intranatal
Infeksi melalui jalan ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain.
Mikroorganisme dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah
ketuban pecah. Ketubah pecah lama ( jarak waktu antara pecahnya ketuban dan

33
lahirnya bayi lebih dari 12 jam ), mempunyai peranan penting terhadap timbulnya
plasentisitas dan amnionitik. Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih
utuh misalnya pada partus lama dan seringkali dilakukan manipulasi vagina.
Infeksi janin terjadi dengan inhalasi likuor yang septik sehingga terjadi
pneumonia kongenital selain itu infeksi dapat menyebabkan septisemia. Infeksi
intranatal dapat juga melalui kontak langsung dengan kuman yang berasal dari
vagina misalnya blenorea dan ” oral trush ”.
 Infeksi Pascanatal
Infeksi ini terjadi setelah bayi lahir lengkap. Sebagian besar infeksi yang
berakibat fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada saat
penggunaan alat atau akibat perawatan yang tidak steril atau sebagai akibat
infeksi silang. Infeksi pasacanatal ini sebetulnya sebagian besar dapat dicegah.
Hal ini penting sekali karena mortalitas sekali karena mortalitas infeksi
pascanatal ini sangat tinggi. Seringkali bayi mendapat infeksi dengan kuman
yang sudah tahan terhadap semua antibiotika sehingga pengobatannya sulit.

2.3.4 Diagnosis
Diagnosis infeksi perinatal tidak mudah.Biasanya diagnosis dapat ditegakkan
dengan observasi yang teliti, anamnesis kehamilan dan persalinan yang teliti, dan
dengan pemeriksaan fisik serta laboratorium.
Diagnosis dini dapat ditegakkan bila kita cukup waspada terhadap kelainan
tingkah laku neonatus. Neonatus terutama BBLR yang dapat hidup selama 72 jam
pertama dan bayi tersebut tidak menderita penyakit maupun kelainan congenital
tertentu, namun tiba-tiba tingkah lakunya berubah, hendaknya selalu diingat bahwa
kelainan tersebut disebabkan infeksi.
Menegakkan kemungkinan infeksi bayi baru lahir sangat penting, terutama
pada bayi BBLR, karena infeksi dapat menyebar dengan cepat dan menimbulkan
angka kematian yang tinggi. Di samping itu, gejala klinis infeksi yang perlu mendapat
perhatian yaitu:
 Bayi malas minum
 Bayi tertidur
 Tampak gelisah
 Pernafasan cepat

34
 Berat badan turun drastis
 Terjadi muntah dan diare
 Panas badan dengan pola bervariasi
 Aktivitas bayi menurun
 Pada pemeriksaan dapat ditemui: bayi berwarna kuning, pembesaran hepar,
purpura, dan kejang-kejang
 Terjadi edema
 Sklerema
Terdapat 2 skoring yang digunakan untuk menemukan diagnosis neonatal
infeksi yaitu “Bell Squash Score” dan “Gupte Score”:
 Bell Squash Score:
1. Partus tindakan
2. Ketuban tidak normal
3. Kelainan bawaan
4. Asfiksia
5. Preterm
6. BBLR
7. Infeksi tali pusat
8. Riwayat penyakit ibu
9. Riwayat penyakit kehamilan
Hasil: < 4  Observasi NI; > 4  NI

 Gupte Score:
Prematuritas 3
Cairan amnion berbau busuk 2
Ibu demam 2
Asfiksia 2
Partus lama 1
Vagina tidak bersih 2
KPD 1
Hasil: 3-5  screening NI; > 5  NI

35
Diagnosis infeksi neonatal didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan penunjang (laboratorium).Salah satu panduan yang digunakan untuk
mendiagnosis infeksi neonatal bahkan yang berlanjut menjadi sepsis tertera pada
tabel dibawah ini.

Kategori A Kategori B
 Kesulitan bernapas (misalnya, apnea,  Tremor
napas lebih dari 30 kali per menit,  Letargi atau lunglai
retraksi dinding dada, grunting pada  Mengantuk atau aktivitas berkurang
waktu ekspirasi, sianosis sentral)  Iritabel atau rewel
 Kejang  Muntah (menyokong kecurigaan
 Tidak sadar sepsis)
 Suhu tubuh tidak normal (tidak normal  Perut kembung (menyokong
sejak lahir dan tidak memberi respons kecurigaan sepsis)
terhadap terapi atau suhu tidak stabil  Tanda klinis mulai tampak sesudah
sesudah pengukuran suhu normal hari ke empat (menyokong kecurigaan
selama tiga kali atau lebih, menyokong sepsis)
diagnosis sepsis)  Air ketuban bercampur meconium
 Persalinan di lingkungan yang kurang  Malas minum sebelumnya minum
higienis (menyokong kecurigaan dengan baik (menyokong kecurigaan
sepsis) sepsis)
 Kondisi memburuk secara cepat dan
dramatis (menyokong kecurigaan
sepsis)

Identifikasi faktor resiko infeksi harus menjadi perhatian khusus sehingga


dapat diberikan tatalaksana efektif seawal mungkin dengan harapan menurunkan
mortalitas dan memperbaiki morbiditas akibat sepsis.Pengelompokan faktor-faktor
resiko sepsis menjadi faktor resiko mayor dan minor merupakan salah satu langkah
awal pendekatan diagnosis sepsis neonatorum.Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak
selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus. Bila
terdapat satu faktor risiko mayor dan dua faktor risiko minor maka diagnosis sepsis
harus dilakukan secara proaktif dengan memperhatikan gejala klinis serta dilakukan

36
pemeriksaan penunjang sesegera mungkin.Adapun masing-masing kriteria adalah
sebagai berikut:
Kriteria mayor :
 Ketuban pecah >24 jam
 Denyut jantung janin yang menetap >160 kali per-menit
 Ibu demam ; saat intrapartum suhu >38C
 Korioamnionitis
 Ketuban berbau
Kriteria minor :
 Ketuban pecah antara 12-24 jam
 Jumlah leukosit maternal >15.000 sel/mL
 Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5 C
 Apgar score rendah (menit ke-1 <5, menit ke- 5 menit <7)
 Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram
 Usia gestasi < 37 minggu
 Kehamilan ganda
 Keputihan pada ibu yang tidak diobati.
 Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati

Diagnosis laboratorium
a. Diagnosis pasti infeksi neonatal ditegakkan berdasarkan biakan darah, cairan
serebrospinal, urin, dan infeksi lokal
b. Diagnosis tidak langsung:
1. Jumlah leukosit, hitung jenis, leukopenia <5000 /mm3, leukositosis
>12000/mm3, hanya bernilai untuk sepsis awitan lambat
2. Neutropenia (<1500/mm3 ), neutrofilia (<7000/mm3) hanya bernilai untuk
sepsis awitan lambat
3. Rasio I:T ( >0,18 )
4. Trombositopenia (<100,000/mm3)
5. C-reactive protein positif (>6 mg/L), merupakan nilai prognostik
6. ESR (erytrocyte sedimentation rate) atau micro-ESR pada dua minggu
pertama (nilai normal dihitung pada usia hari ketiga)
7. Haptoglobin, fibrinogen dan leukocyte elastase assay.

37
8. Pengecatan gram cairan aspirat lambung positif (bila >5 neutrophils/LPB)
atau ditemukan bakteri
9. Pemeriksaan fibonektin
10. Pemeriksaan sitokin, interleukin-1, soluble interleukin 2receptor,
interleukin-6, dan tumour necrosis factor –a, dan deteksi kuman patogen
GBS & ECK 1 dengan, pemeriksaan latex particle agglutination dan
countercurrent immunoelectrophoresis.
11. Polymerase chain reaction suatu cara baru untuk mendeteksi DNA bakteri.
12. Prokalsitonin merupakan petanda infeksi neonatal awitan dini dan lambat,
memberikan hasil yang cukup baik pada kelompok risiko tinggi.
13. Pada neonatus yang sakit berat, kadar prokalsitonin merupakan petanda
infeksi yang lebih baik dibanding C- reactive protein dan jumlah leukosit.
Kadar prokalsitonin 2 mg/ml mungkin sangat berguna untuk membedakan
penyakit infeksi bakterial dari virus pada neonatus dan anak
Analisis pada sistem hematologi sesaat setelah bayi lahir berperan sebagai
indikator diagnosis sepsis. Narasima dkk (2011) melakukan penelitian mengenai
signifikansi Hematological scoring system (HSS) pada diagnosis sepsis awitan dini
pada bayi baru lahir. Berdasarkan jumlah dari total HSS diklasifikasikan menjadi
tidak ada sepsis apabila total skor  2, probable sepsis jika skor 3-4 dan diagnosis
sepsis atau infeksi apabila skor  5. Jumlah PMN total mempunyai nilai sensitivitas
(89,47%) paling tinggi diantara parameter hematologi yang lain sedangkan rasio PMN
total dan jumlah trombosit mempunyai nilai spesifisitas yang sama sebesar 75%
dalam membantu diagnosis sepsis awitan dini.Dengan mempertimbangkan nilai
sentivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif pada penelitian
tersebut didapatkan bahwa rasio I:T rasio merupakan tes yang paling terpercaya
dalam mendiagnosis sepsis.

2.3.5 Penyakit Infeksi pada Neonatus


Adapun beberapa penyakit infeksi yang dapat dialami oleh BBL yaitu :
A. Infeksi Berat
1. Sepsis neonatorum

38
Sepsis neonatorum atau meningitis sering didahului oleh keadaan hamil dan
persalinan sebelumnya seperti dan merupakan infeksi berat pada neonatus dengan
gejala-gejala sistemik.
Faktor resiko :
- Persalinan (partus) lama atau terlantar
- Persalinan dengan tindakan operasi vaginal
- Infeksi/febris pada ibu
- Air ketuban bau, warna hijau
- KPD, lebih dari 24 jam
- Prematuritas & BBLR
- Gawat janin atau depresi neonatus
Tanda &gejala :
- Bayi tdk mau/tdk bisa menetek
- Bayi tampak sakit, tidak aktif, & sangat lemah
- hipotermia/hipertermia, tetapi dpt normal
- Bayi gelisah& menangis
- Bayi kesulitan napas
- Dapat disertai kejang, pucat, atau ikterus
Prinsip pengobatan:
- Metabolisme tbh dipertahankan kebutuhan nutrisi dipenuhi
- Pengobatan antibiotika scr IV
- Ampisilin 200 mg/kg/hr 3-4x peberian & gentamisin 5 mg/kg/hr 2x pemberian
- Kloramfenikol 25 mg/kg /hr 3-4x pemberian
- Pemeriksaan laboratorium rutin
- Biakan darah & uji resistensi
- Fungsi lumbal & biakan cairan serebrospinalis & uji resistensi
- Tindakan & pengobatan lain diberikan atas indikasi

2. Aspirasi pneumonia
Aspirasi pneumonia terjadi pada intrauterin karena inhalasi likuor amnion yang
septik dan menyebabkan kematian terutama bayi dengan BBLR karena reflex
menelan dan batuk yang belum sempurna.
Gejala :

39
- Sering tidur atau letargia
- Berat badan turun drastic
- Kurang minum
- Terjadi serangan apnea (Apneu neonatal)
- Dicurigai bila ketuban pecah lama, keruh, bau
Pengobatan :
- Resusitasi pada bayi baru lahir
- Pertahankan suhu tubuh
- Beri antibiotika spektrum luas_ampisilin+gentamisin
Diagnosis pasti dilakukan dengan pemeriksaan rontgen atau konsultasidokter ahli
anak.

3. Diare
Diare merupakan penyakit yang ditakuti masyarakat karena dengan cepat dapat
menimbulkan keadaan gawat dan diikuti kematian yang tinggi.Bayi yang baru lahir
sudah disiapkan untuk dapat langsung minum kolostrum yang banyak mengandung
protein, kasein, kalsium sehingga dapat beradaptasi dengan ASI.Jika bayi aterm dan
pemberian ASI benar, sangat kecil kemungkinan terjadi penyakit diare.Kuman yang
sering menyebabkan diare yaitu E. coli yang mempunyai sifat pathogen dalam tubuh
manusia. Adapun gejala klinis diare yaitu : tinja/feses yang jumlahnya banyak, cair,
berwarna hijau/kuning dan berbau khas.
Tubuh bayi terdiri dari sekitar 80% air sehingga penyakit diare dengan cepat
menyebabkan kehilangan air sehingga bayi akan jatuh dalam keadaan dehidrasi,
sianosis dan syok. Untuk dapat mengatasi dan menurunkan angka kematian karena
diare pada bayi dapat dilakukan tindakan sebagai berikut :
- Minum bayi tidak perlu dikurangi
- Berikan larutan garam gula/oralit sebanyak mungkin
- Bila keadaan lebih membahayakan perlu dipasang infuse
- Konsultasi pada dokter

B. Infeksi Ringan
1. Oftalmia Neonatorum

40
Merupakan infeksi mata yang disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae saat
bayi lewat jalan lahir
2. Infeksi Umbilikus (Omfalitis)
Merupakan infeksi pada pangkal umbilikus yang disebabkan oleh infeksi
Staphylococcusb aureus.
3. Monialisis
- Disebabkan jamur Candida albicans
- Tidak menimbulkan gejala
- Pada kondisi tubuh yang menurun atau pada penggunaan antibiotika /
kortikosteroid yang lama dapat terjadi pertumbuhan berlebihan jamur yang
kemudian menyebabkan terjadinya stomatitis pada neonatus dan pada akhirnya
mengakibatkan kematian.
4. Stomatitis
Merupakan infeksi yang dimulai sebagai bercak putih di lidah, bibir, dan mukosa
mulut.

2.3.6 Pencegahan Infeksi


Pencegahan infeksi adalah bagian penting setiap komponen perawatan pada
bayi baru lahir. Bayi baru lahir lebih rentan terhadap infeksi karena sistem imun
mereka imatur, oleh karena itu, akibat kegagalan mengikuti prinsip pencegahan
infeksi terutama sangat membahayakan. Praktik pencegahan infeksi yang penting
diringkas di bawah ini.

2.3.7 Prinsip Umum Pencegahan Infeksi


Dengan mengamati praktik pencegahan infeksi di bawah akan melindungi bayi,
ibu dan pemberi perawatan kesehatan dari infeksi. Hal itu juga akan membantu
mencegah penyebaran infeksi :
 Berikan perawatan rutin kepada bayi baru lahir.
 Pertimbangkan setiap orang ( termasuk bayi dan staf ) berpotensi menularkan
infeksi.
 Cuci tangan atau gunakan pembersih tangan beralkohol.
 Pakai – pakaian pelindung dan sarung tangan.
 Gunakan teknik aseptik.

41
 Pegang instrumen tajam dengan hati – hati dan bersihkan dan jika perlu
sterilkan atau desinfeksi instrumen dan peralatan.
 Bersihkan unit perawatan khusus bayi baru lahir secara rutin dan buang sampah.
 Pisahkan bayi yang menderita infeksi untuk mencegah infeksi nosokomial.

2.3.8 Asuhan Neonatus Pencegahan Infeksi


Berikan perawatan rutin bayi baru lahir :
 Setelah enam jam pertama kehidupan atau setelah suhu tubuh bayi stabil,
gunakan kain katun yang direndam dalam air hangat untuk membersihkan
darah dan cairan tubuh lain ( misal: dari kelahiran ) dari kulit bayi, kemudian
keringkan kulit. Tunda memandikan bayi kecil ( kurang dari 2,5 kg pada saat
lahir atau sebelum usia gestasi 37 minggu ) sampai minimal hari kedua
kehidupan.
 Bersihkan bokong dan area perineum bayi setiap kali mengganti popok bayi,
atau sesering yang dibutuhan dengan menggunakan kapas yang direndam
dalam air hangat bersabun, kemudian keringkan area tersebut secara cermat.
 Pastikan bahwa ibu mengetahui peraturan posisi penempatan yang benar untuk
meyusui untuk mencegah mastitis dan kerusakan puting.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Suraatmaja S.Kapita Selekta Gastroentrologi Anak. Jakarta : Sagung seto.


2007;h:146.
2. Kitterman J.Enterokolitis Nekrotikan. Dalam: Buku Ajar Pediatri Rudolph Vol.
1. Ed 20.Jakarta:EGC.2006;h:297-300.
3. Piazza AJ,Stoll BJ.Digestive System Disorder.D:Kliegman RM,et all.Nelson
Textbook of Pediatric.Ed 18.Philadelphia.Saunders Elsevier.2007;h:755-756
4. William J C, 2010. Necrotizing Enterocolitis. Merck Sharp & Dohme Corp.
Diunduh dari: http://www.merck.com tanggal 03 Juli 2010.
5. Lavene MI, Tudehope DI, Sinha S.Essensial Neonatal Medicine.Ed
4.Australia:Blackwell Publishing.2008;h:254-257.
6. Claud EC,Caplan M.Necrotizing Enterocolitis.Dalam:Walker WA,et
all.PediatricGastrointestinalDisease.Massachuset:McGrawHill.2004;h:873-877.
7. Caplan M.Neonatal Necrotizing Enterocolitis.Dalam:Martin RJ,Fanaroff
AA,Walsh MC.Fanarof and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine Diseases of
the Fetus and Infant.Ed 8.Philadelphia:Mosby Elsevier:2006 ;h1403-1410.
8. Daneman A,Woodward S & de Silva M.The radiology of neonatal necrotizing
enterocolitis(NEC): A review of 47 cases and the literature.Pediarl.
Radiol.1978;h:70-77.
9. SpringerSC.NecrotizingEnterocolitis.Diunduhdari
http://www.emedicine.medscape.com/artikel/977956. Diakses tanggal 12 Juli
2010.
10. Gambar diunduh dari
http://www.pediatrie.be/NECROT_%20ENTEROCOL.htm. Diakses tanggal 12
Juli 2010.
11. Kogurt MS.Early rontgen patterns as a guide to prompt
diagnosis.Radiology.1979;h:367-370.
12. Gomella TL, Cunningham MD & Eyal FG.Neonatology.Ed
6.Philadelphia:McgrawHill.2010;h:590-594.
13. Sukadi A.Pedoman Terapi Penyakit Pada Bayi Baru
Lahir.Bandung:Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS.2002;h:23-26

43
14. Newell SJ.Gastrointestinal Disorders. Dalam: Rennie JM,Roberton NRC.
Textbook of Neonatology. Edisi 3. Philadelphia: Crurchill
Livingstone.1999;h:747-755.
15. Lissauer T, Clayden G. Illustrated Textbook of Paediatrics.Ed 3.Mosby
Elsevier.2008;h:154-155.
16. Wong RJ, Stevenson DK, Ahlfors CE, Vreman HJ. Neonatal Jaundice: Bilirubin
physiology and clinical chemistry. NeoReviews 2007;8:58-67.
17. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI,
Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-1). Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2010; p. 147-53.
18. Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In: Fanaroff
AA, Martin RJ, editors. Neonatal- perinatal Medicine. Disease of the Fetus and
Infant (Seventh Edition). St Louis: Mosby Inc, 2002; p.1309-50.
19. Mathindas S, Wilar R, Wahani A. Hiperbilirubinemia pada neonates. Jurnal
Biomedik, Volume 5, Nomor 1, Suplemen, Maret 2013, hlm. S4-10
20. Maisels MJ. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Klaus MH, Fanaroff AA, editors.
Care of the High-Risk Neonate (Fifth Edition). Philadelphia: WB Saunders Co,
2001; p.324-62.
21. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics
(17th Edition). Philadelphia PA: Saunders; 2004.
22. American Academy of Pediatrics. Subcomitte on hyperbilirubinemia.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of
gestation. Clinical Practice Guidlines. Pediatrics 2004; 114: 297-316.
23. Madan A, Macmahon JR, Stevenson DK. Neonatal Hyperbilirubinemia. Dalam:
Taeusch HW, Ballard RA, Gleason CA, editor. Avery’s disease of the newborn.
Edisi ke 8. Philadephia: WB Saunders CO. 2005; h.1226-53.

44

Anda mungkin juga menyukai