Anda di halaman 1dari 47

PERPAJAKAN II SAP 12

PPN DAN PPN-BM

Disusun Oleh:

Ana Dwiyanti Candra (1607531034)


K. Trianny Putri Mahadewi Lestariningrum T. (1607531133)

Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Udayana


Program Reguler
Tahun Ajaran 2017/2018

0
A. Menghitung PPN Keluaran Atas Penjualan ke PKP Pemerintah dan ke Bonded Zone
Area

Pajak keluaran ialah pajak yang dikenakan ketika subjek pajak melakukan
penjualanterhadap barang kena pajak (BKP) dan atau jasa kena pajak (JKP) yang tergolong
dalambarang mewah. Sebagai salah satu jenis pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
seringkalidisebut sebagai pajak objektif. Pada PPN, hal yang pertama kali ditekankan adalah
objekpajak yang akan dikenakan. Kemudian, subjek pajak yang terkena. Misalnya, barang-
barangmewah, kendaraan mewah, dan sebagainya. Yang pertama dikenakan adalah tarif pada
tiap-tiap barang tersebut. Kemudian, barulah wajib pajak pengonsumsi barang tersebut
yangdikenai beban pajaknya sehingga wajib pajak tersebut disebut sebagai subjek pajak.

Dalam pengenaan pajak terhadap subjek pajak tersebut, terdapat dua kategori. Yaitu,pajak
keluaran dan pajak masukan. Dalam hal ini, subjek pajak yang dimaksud adalahpengusaha kena
pajak (PKP) yang melakukan transaksi jual beli barang. Artinya, PKPmengambil atau memungut
rupiah yang dihasilkan dari penjualan barang kena pajak (BKP)miliknya yang dibeli konsumen.
Kemudian, nantinya dapat berfungsi menjadi kredit ataupengurang pajak. Menjadi kredit atau
pengurang pajak karena sebelumnya sang PKP telahdikenai tarif pajak yang sama atas pembelian
barang tersebut yang di kemudian hari dijualolehnya. Jadi, PPN dalam hal ini hanya terjadi
pelimpahan beban.

Adapun batas waktu untuk melakukan pengkreditan pajak keluaran tersebut adalahtiga
bulan setelah masa pajak berakhir sehingga PKP memiliki waktu yang cukup leluasauntuk
melakukan pengkreditan pajaknya.

Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang Dasar No.42 tahun 2009 pasal 7 :

1) Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 10% (sepuluh persen).


2) Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
- Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
- Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud3.Ekspor Jasa Kena Pajak
3) Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling rendah5%
(lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen) sebagaimana diatur oleh
Peraturan Pemerintah.

1
Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang
terutang, berupa: Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain
yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN
yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan
dalam Faktur Pajak.

2. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP),ekspor
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk
PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya
dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima
manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.

3. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut Undang-Undang PPN.

4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.

5. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak
dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut :

2
1. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor;

2. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor;

3. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata.

4. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;

5. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;

6. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan,
adalah harga pasar wajar;

7. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga
perolehan;

8. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;

9. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari jumlah yang
ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau

10. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh
persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.

Pengusaha Kena Pajak Sebagai Pihak yang Melapor dan Menyetorkan

Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pihak yang wajib menyetor dan melaporkan
PPN. Setiap tanggal di akhir bulan adalah batas akhir waktu penyetoran dan pelaporan PPN
oleh PKP. Sesuai dengan ketentuan PMK No.197/PMK.03/2013, suatu perusahaan atau
seorang pengusaha ditetapkan sebagai PKP bila transaksi penjualannya melampaui jumlah
Rp 4,8 miliar dalam setahun. Jika pengusaha tidak dapat mencapai transaksi dengan jumlah
Rp 4,8 miliar tersebut, maka pengusaha dapat langsung mencabut permohonan pengukuhan
sebagai PKP.

3
Dengan menjadi PKP, pengusaha wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN
yang terutang. Dalam perhitungan PPN yang wajib disetor oleh PKP, ada yang disebut
dengan pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran ialah PPN yang dipungut ketika
PKP menjual produknya. Sedangkan, pajak masukan ialah PPN yang dibayar ketika PKP
membeli, memperoleh maupun membuat produknya.

Contoh Cara Menghitung PPN dan PPnBM

1. PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
= 10% x Rp25.000.000,00
= Rp2.500.000,00
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “A”.

2. PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian
sebesar Rp20.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B”
= 10% x Rp20.000.000,00
= Rp 2.000.000,00
PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “B”.

3. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor
sebesar Rp15.000.000,00. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
= 10% x Rp15.000.000,00
= Rp 1.500.000,00

4. Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah
dengan Nilai Impor sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut adalah:

4
a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00

b. PPN = 10% x Rp5.000.000,00


= Rp500.000,00

c. PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00


= Rp1.000.000,00

5. Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu
BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya
35%.
Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat
dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga
BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan PPn
BM yang terutang adalah :

a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00

b. PPN = 10% x Rp50.000.000,00


= Rp5.000.000,00

c. c. PPn BM = 35% x Rp50.000.000,00


= Rp17.500.000,00

PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan bagi
PKP “D” dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP “D”.
Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan
PPnBM sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP “X”.

5
B. Menghitung PPN Keluaran Atas masukan yang dapat dikreditkan

Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak
dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak”

Mengingat pengenaan PPN hanya atas nilai tambah dan penanggung beban pajak yang
sesungguhnya adalah konsumen akhir, maka dalam setiap rantai produksi dan distribusi BKP
atau JKP berlaku mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran yang dihitung
per masa pajak dengan hasil akhir sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4)
UU PPN sebagai berikut :

- Pasal 9 ayat (3) : ”Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar dari
pada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus
disetor oleh Pengusaha Kena Pajak”.
- Pasal 9 ayat (4) : ”Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan
pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya”.

mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran menjadikan produsen


dan distributor hanya berfungsi sebagai pemungut pajak saja dan sama sekali tidak menanggung
beban Pajak Pertambahan Nilai. Selain mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak
Keluaran terdapat metode penghitungan Pajak Masukan secara deemed yang berlaku untuk
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dan Pengusaha Kena Pajak yang
peredaraan usahanya dalam satu tahun tidak melebihi jumlah tertentu. Dengan adanya metode
deemed Pajak Masukan ini maka penanggung beban Pajak Pertambahan Nilai tidak lagi hanya
dipikul oleh konsumen akhir tapi terbagi kepada dua pihak yaitu pengusaha dan konsumen.

Mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran, Dalam rangka


penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, mempunyai beberapa cara penghitungan tergantung
dari kondisi tertentu yang terjadi pada Pengusaha Kena Pajak. Sama halnya dengan metode
pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran, pada metode deemed Pajak Masukan
penghitungan penghkreditan Pajak Masukan juga terdapat beberapa cara yang berbeda

6
tergantung kriteria dari Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan. Berikut ini adalah berbagai
metode dan penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang berlaku berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan :

1) Mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran :


- Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan
Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak.
Ketentuan yang mengatur kondisi Pengusaha Kena Pajak tersebut ada pada Pasal 9 ayat
(6) UU PPN sebagai berikut :
”Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan
yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan
Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti,
jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak
dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan”
Pada dasarnya pengkreditan Pajak Masukan bisa dilakukan selama berkaitan
dengan adanya Pajak Keluaran yang dihasilkan sebagai kelanjutan adanya Pajak
Masukan tersebut atau dengan kata lain pengeluaran WP untuk membeli Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak harus ada hubungannya dengan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh WP tersebut, keadaan jadi membingungkan apabila
ketika Pengusaha Kena Pajak membeli BKP dan/atau JKP dikenai Pajak Masukan namun
produk/jasa yang dihasilkan olehnya adalah barang dan/atau jasa yang tidak terutang PPN
atau tidak dipungut PPN. Terhadap Pengusaha Kena Pajak tersebut berlaku Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 Tentang Pedoman Penghitungan
Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan
Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak.
Untuk mengetahui perbedaan penyerahan terutang PPN dengan penyerahan tidak
terutang PPN, perlu kita cermati bunyi Pasal 1 angka 6 dan angka 7 UU PPN sebagai
berikut :
 Pasal 1 angka 6 UU PPN : ”Penyerahan yang Terutang Pajak adalah penyerahan barang
atau jasa yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, tidak termasuk penyerahan yang
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai”

7
 Pasal 1 angka 7 UU PPN : ”Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak adalah penyerahan
barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan yang dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai”

Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentudalam
kelompok barang sebagai berikut:

1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering; dan
4. uang, emas batangan, dan surat berharga.

Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentudalam
kelompok jasa sebagai berikut:

1. jasa pelayanan kesehatan medis;


2. jasa pelayanan sosial;
3. jasa pengiriman surat dengan perangko;
4. jasa keuangan;
5. jasa asuransi;
6. jasa keagamaan;
7. jasa pendidikan;
8. jasa kesenian dan hiburan;
9. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
10. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
11. jasa tenaga kerja;
12. jasa perhotelan;
13. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum;
14. Jasa penyediaan tempat parkir;
15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
17. Jasa boga atau katering

8
Pada dasarnya barang dan jasa tersebut diatas adalah barang dan jasa kena pajak, namun
disebabkan kondisi tertentu dari fungsi dan sifat dari barang dan jasa tersebut sedemikian
rupa hingga menjadi tidak dikenakan PPN.
Bunyi Pasal 16B sebagai berikut :
Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan
pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
1. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
2. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
3. impor Barang Kena Pajak tertentu;
4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean; dan
5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Perhitungan:

Contoh 1 :

1) Pengusaha Kena Pajak A yang bergerak di bidang usaha real estate yang menghasilkan rumah
yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan rumah sederhana yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
2) Pada bulan Februari 2011 Pengusaha Kena Pajak A membeli barang modal berupa truk
dengan nilai perolehan Rp200.000.000,00 dan Pajak Pertambahan Nilai Rp 20.000.000,00.
3) Pada saat perolehan truk tersebut, Pengusaha Kena Pajak A belum dapat menentukan berapa
penyerahan rumah yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dan rumah sederhana yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
4) Berdasarkan perkiraan Pengusaha Kena Pajak A, jumlah rumah sederhana yang akan
dibangun pada tahun 2011 adalah sebanyak 30% dari total rumah yang dibangun.
5) Berdasarkan data-data tersebut Pengusaha Kena Pajak A dapat mengkreditkan Pajak
Masukan atas perolehan truk dengan perhitungan sebagai berikut :
Rp 20.000.000,00 x 70% = Rp 14.000.000,00

Contoh 2 :

1) Pengusaha Kena Pajak B adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri pembuatan
sepatu.
2) Pada bulan Januari 2011 membeli generator listrik dengan nilai perolehan sebesar Rp
100.000.000,00 dan Pajak Pertambahan Nilai Rp 10.000.000,00.
3) Generator listrik tersebut dimaksudkan untuk digunakan seluruhnya untuk kegiatan pabrik.

9
4) Maka Pajak Masukan atas perolehan generator listrik yang dapat dikreditkan pada Masa
Pajak Januari 2011 adalah Rp 10.000.000,00.
5) Selama tahun 2011 ternyata generator listrik tersebut digunakan :
a) untuk bulan Januari sampai dengan Juni 2011 :
- 10% untuk perumahan karyawan dan direksi;
- 90% untuk kegiatan pabrik, dan
b) untuk bulan Juli sampai dengan Desember 2011 :
- 20% untuk perumahan karyawan dan direksi;
- 80% untuk kegiatan pabrik. Berdasarkan data tersebut di atas, rata-rata penggunaan
generator listrik untuk kegiatan pabrik adalah :

90% + 80%

--------------- = 85%

2
6) Masa manfaat generator listrik tersebut sebenarnya adalah 5 (lima) tahun, tetapi untuk
penghitungan kembali Pajak Masukan ini masa manfaat generator listrik tersebut ditetapkan
4 (empat) tahun.
7) Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk tahun buku 2011 yang
dilakukan pada Masa Pajak Februari 2012 adalah sebagai berikut :

Rp 10.000.000,00

85% x ---------------------- = Rp 2.125.000,00

8) Pajak Masukan atas perolehan generator listrik yang telah dikreditkan untuk tiap tahun buku
sesuai masa manfaat generator listrik tersebut adalah :

Rp 10.000.000,00

----------------------- = Rp 2.500.000,00

9) Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali (mengurangi Pajak Masukan untuk
Masa Pajak Februari 2012) adalah sebesar :
Rp 2.500.000,00 – Rp 2.125.000,00 = Rp 375.000,00

10
10) Penghitungan kembali Pajak Masukan seperti perhitungan di atas dilakukan sampai dengan
masa manfaat generator listrik berakhir.

Contoh 3:

1) Pengusaha Kena Pajak C adalah perusahaan integrated (terpadu) yang bergerak di bidang
perkebunan jagung dan pabrik minyak jagung.
2) Pada bulan April 2011 membeli truk yang digunakan baik untuk perkebunan jagung maupun
untuk pabrik minyak jagung dengan harga perolehan sebesar Rp 200.000.000,00 dan Pajak
Pertambahan Nilai sebesar Rp 20.000.000,00.
3) Berdasarkan data-data yang dimiliki, diperkirakan persentase rata-rata jumlah penyerahan
yang terutang pajak terhadap penyerahan seluruhnya adalah sebesar 70%.
4) Berdasarkan data tersebut maka Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam SPT Masa
PPN Masa Pajak April 2011 sebesar : Rp 20.000.000,00 x 70% = Rp 14.000.000,00
5) Selanjutnya diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2011 adalah Rp
100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp 40.000.000.000,00 dan
penjualan minyak jagung sebesar Rp 60.000.000.000,00.
6) Masa manfaat truk sebenarnya adalah 5 (lima) tahun, tetapi untuk tujuan penghitungan Pajak
Masukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan 4 (empat) tahun.
7) Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama
tahun buku 2011 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2012 adalah :

Rp 60.000.000.000,00 Rp 20.000.000,00

------------------------------ x -------------------------- = Rp 3.000.000,00

Rp 100.000.000.000,00 4

8) Pajak Masukan atas perolehan truk yang telah dikreditkan untuk tiap tahun buku sesuai masa
manfaat truk tersebut adalah :

Rp 14.000.000,00

----------------------- = Rp 3.500.000,00

11
9) Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali (mengurangi Pajak Masukan untuk
Masa Pajak Maret 2012) adalah sebesar : Rp 3.500.000,00 – Rp 3.000.000,00 = Rp
500.000,00
10) Penghitungan kembali Pajak Masukan seperti perhitungan di atas dilakukan setiap tahun
sampai dengan masa manfaat truk berakhir.

Contoh 4 :

1) Kelanjutan dari contoh 3, diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2012
adalah Rp 100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp
10.000.000.000,00 dan penjualan minyak jagung sebesar Rp 90.000.000.000,00.
2) Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama
tahun buku 2012 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2013 adalah :

Rp 90.000.000.000,00 Rp 20.000.000,00

------------------------------- x --------------------------- = Rp 4.500.000,00

Rp 100.000.000.000,00 4

3) Pajak Masukan atas perolehan truk yang telah dikreditkan untuk tiap tahun buku sesuai masa
manfaat truk tersebut adalah :

Rp 14.000.000,00

--------------------- = Rp 3.500.000,00

4) Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali (menambah Pajak Masukan untuk
Masa Pajak Maret 2013) adalah sebesar : Rp 4.500.000,00 – Rp 3.500.000,00 = Rp
1.000.000,00

Contoh 5 :

1) Kelanjutan dari contoh 4, diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2013
adalah Rp 100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp
30.000.000.000,00 dan penjualan minyak jagung sebesar Rp 70.000.000.000,00.
2) Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama
tahun buku 2013 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2014 adalah :
12
Rp 70.000.000.000,00 Rp 20.000.000,00

------------------------------ x -------------------------- = Rp 3.500.000,00

Rp 100.000.000.000,00 4

3) Pajak Masukan atas perolehan truk yang telah dikreditkan untuk tiap tahun buku sesuai masa
manfaat truk tersebut adalah :

Rp 14.000.000,00

----------------------- = Rp 3.500.000,00

4) Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali adalah sebesar :

Rp 3.500.000,00 – Rp 3.500.000,00 = Rp 0,00

Contoh 6 :

1) Kelanjutan dari contoh 5, diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2014
adalah Rp 100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp
50.000.000.000,00 dan penjualan minyak jagung sebesar Rp 50.000.000.000,00.
2) Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama
tahun buku 2014 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2015 adalah :

Rp 50.000.000.000,00 Rp 20.000.000,00

------------------------------ x ------------------------- = Rp 2.500.000,00

Rp 100.000.000.000,00 4

3) Pajak Masukan atas perolehan truk yang telah dikreditkan untuk tiap tahun buku sesuai masa
manfaat truk tersebut adalah :

Rp 14.000.000,00

----------------------- = Rp 3.500.000,00

13
4) Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali (mengurangi Pajak Masukan untuk
Masa Pajak Maret 2015) adalah sebesar :

Rp 3.500.000,00 – Rp 2.500.000,00 = Rp 1.000.000,00

5) Penghitungan Pajak Masukan sebagaimana perhitungan di atas tidak perlu lagi dilakukan
pada tahun 2016.

Contoh 7 :

1) Pengusaha Kena Pajak C tersebut di atas pada bulan Mei 2011 membeli bahan bakar solar
untuk truk yang digunakan baik untuk sektor perkebunan dan distribusi jagung maupun untuk
sektor pabrikasi dan distribusi minyak jagung sebesar Rp 50.000.000,00 dan Pajak
Pertambahan Nilai sebesar Rp 5.000.000,00;
2) Pengusaha Kena Pajak mengkreditkan Pajak Masukan tersebut berdasarkan perkiraan
persentase perbandingan jumlah penyerahan yang terutang Pajak terhadap penyerahan
seluruhnya sebesar 70%, sehingga Pajak Masukan yang dikreditkan dalam SPT Masa PPN
Masa Pajak Mei 2011 adalah sebesar : Rp 5.000.000,00 x 70% = Rp 3.500.000,00
3) Selanjutnya diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2011 adalah Rp
100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp 40.000.000.000,00 dan
penjualan minyak jagung sebesar Rp 60.000.000.000,00.
4) Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang
dapat dikreditkan selama tahun buku 2011 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2012
adalah :

Rp 60.000.000.000,00

------------------------------- x Rp 5.000.000,00 = Rp 3.000.000,00

Rp 100.000.000.000,00

5) Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang telah dikreditkan pada
Masa Pajak Mei tahun 2011 adalah Rp 3.500.000,00.
6) Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali (mengurangi Pajak Masukan untuk
Masa Pajak Maret 2012) adalah sebesar :

Rp 3.500.000,00 – Rp 3.000.000,00 = Rp 500.000,00

14
Contoh 8 :

1) Sama dengan contoh 7, namun diketahui total peredaran usaha selama tahun buku 2011
adalah Rp 100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp
10.000.000.000,00 dan penjualan minyak jagung sebesar Rp 90.000.000.000,00.
2) Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang
dapat dikreditkan selama tahun buku 2011 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2012
adalah :

Rp 90.000.000.000,00

------------------------------- x Rp 5.000.000,00 = Rp 4.500.000,00

Rp 100.000.000.000,00

3) Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang telah dikreditkan pada
Masa Pajak Mei tahun 2011 adalah Rp 3.500.000,00
4) Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali (menambah Pajak Masukan untuk
Masa Pajak Maret 2012) adalah sebesar :

Rp 4.500.000,00 – Rp 3.500.000,00 = Rp 1.000.000,00

C. Menghitung PPN Membangun sendiri, PPN atas Penjualan Aset, PPN impor dan
ekspor

PPN Membangun Sendiri

Landasan Peraturan Perpajakan

Berikut ini adalah peraturan perpajakan yang akan kita jadikan dasar acuan dalam pembahasan
kali ini, yaitu:

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri.Perlu diinformasikan
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
diundangkan yaitu 30 hari sejak tanggal 22 Oktober 2012 dan dengan diberlakukannya

15
ketentuan ini maka Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan
dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2012 tentang Penetapan Secara
Jabatan atas Jumlah Biaya Yang Dikeluarkan Dan / Atau Yang Dibayarkan Untuk
Membangun Bangunan Dalam Rangka Kegiatan Membangun Sendiri.

Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri

`Kegiatan Membangun Sendiri itu terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hal tersebut
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 1 dan Pajak
Pertambahan Nilai tersebut terutang bagi badan maupun orang pribadi yang melakukan kegiatan
membangun sendiri.

Definisi Kegiatan Membangun Sendiri

Sebelum memulai membahas lebih jauh mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) atas kegiatan membangun sendiri tersebut, tentunya kita harus memahami terlebih dahulu
tentang apa yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri dalam Peraturan Menteri
Keuangan tersebut sehingga kita dapat mengetahui apakah pembangunan yang mungkin sedang
kita rencanakan atau lakukan itu termasuk dalam kategori kegiatan membangun sendiri yang
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Definisi Kegiatan Membangun Sendiri yang dikutip dari Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 adalah “Kegiatan membangun bangunan yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang
hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain”.

Kemudian dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 4


dijelaskan mengenai bangunan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 yaitu bangunan tersebut berupa satu atau lebih konstruksi
teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan
dengan kriteria sebagai berikut:

16
a) Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan
sejenis, dan/atau baja;
b) Diperuntukan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c) Luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi).

Jadi kegiatan membangun sendiri akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) apabila
memenuhi definisi dan kriteria sebagaimana yang dijelaskan diatas.

Sebagai contoh, apabila kita sebagai orang pribadi membangun rumah baik dilakukan
secara pribadi, baik dengan mempekerjakan pekerja atau buruh bangunan dimana rumah yang
dibangun itu untuk ditempati secara pribadi atau oleh anggota keluarga lain misalkan anak,
apakah termasuk kedalam kategori kegiatan membangun sendiri yang dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) atasnya? Jika hanya melihat secara definisi, kasus pembangunan
rumah pribadi diatas dapat memenuhi definisi kegiatan membangun sendiri yang dijelaskan
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 karena
pembangunan rumah yang dilakukan dalam kasus ini tidak berkaitan dengan kegiatan usaha serta
untuk dimanfaatkan atau digunakan sebagai keperluan pribadi, namun untuk menentukan apakah
terhadap pembangunan rumah tersebut dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau tidak, kita
tidak cukup hanya dengan melihat definisi saja, kita harus melihat terlebih dahulu, apakah
bangunan yang kita bangun (dalam kasus ini rumah) itu memenuhi kriteria bangunan yang diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 4 sebagaimana telah
dijelaskan diatas. Jika memang kegiatan membangun sendiri yang kita lakukan itu sesuai dengan
penjelasan definisi serta kriteria bangunan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 163/PMK.03/2012 maka kita wajib menyetorkan PPN yang terutang atas kegiatan
membangun sendiri tersebut. Setelah memahami yang dimaksud dengan kegiatan membangun
sendiri, mari kita bahas lebih lanjut mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atasnya.

Tarif Dan Dasar Pengenaan Pajak PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 3 ayat 1 dan 2, diatur bahwa:

1Kegiatan membangun sendiri akan dikenakan PPN dengan tarif sebesar 10 % (sepuluh
. persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
2Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 20% (dua puluh persen)
. dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun

17
bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri

Jadi dengan mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 3 yang
disebutkan diatas, perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan membangun sendiri adalah
sebagai berikut :

PPN = Tarif x DPP

PPN = 10% x (20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk
membangun bangunan)

Berikut ini adalah contoh sederhana untuk perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas
kegiatan membangun sendiri:
Contoh:

Pada Bulan Desember 2012 Bapak Andi memulai membangun sebuah rumah untuk
tempat tinggal pribadinya. Luas keseluruhan dari rumah tersebut adalah sebesar 200 m2, biaya-
biaya yang dikeluarkan oleh Bapak Andi dalam upaya membangun rumah tersebut sampai
dengan selesainya bangunan tersebut adalah sebagai berikut: pembelian tanah sebesar Rp
200.000.000, pembelian bahan baku bangunan keseluruhan Rp 180.000.000, biaya upah mandor
dan pekerja bangunan Rp. 70.000.000. Maka berapakah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
atas pembangunan rumah tersebut?

Jawab:
Sesuai dengan PMK No. 163/PMK.03/2012 tarif PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang
terhutang adalah:

= 10% X DPP
= 10% X (20% X Total biaya Pembangunan)
= 10% X (20% X (Rp 180.000.000 + Rp 70.000.000)
Sehingga PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang terhutang adalah

18
= 10% X 20% X Rp 250.000.000
= Rp 5.000.000

Yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak atas perhitungan PPN Kegiatan Membangun
Sendiri diatas hanyalah pembelian bahan baku material bangunan dan biaya upah pekerja dalam
rangka pembangunan rumah tersebut, hal ini sesuai dengan Dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 3 ayat 2 yang menyebutkan bahwa “Dasar Pengenaan Pajak atas
kegiatan membangun sendiri adalah 20% (dua puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan
dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah”.

Saat Dan Tempat dimana PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri Terutang
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 4 ditentukan bahwa:

1. Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat mulai dibangunnya bangunan.
2. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan
satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut
tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
3. Tempat pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan
tersebut didirikan.

Penyetoran Dan Pelaporan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri


Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 5, 7 dan 8 diatur bahwa:

* Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri


dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan 20% (dua puluh
persen) dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan
pada setiap bulannya
* Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri wajib disetor ke
kas negara seluruhnya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama
orang pribadi atau badan yang melaksanakan kegiatan membangun sendiri melalui
Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah
berakhirnya masa pajak.
* Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib

19
melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang tersebut ke Kantor
Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan
dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Penyetoran PPN atas Kegiatan Membangun
Sendiri
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 5,7, dan 8 terdapat hal yang
harus diperhatikan dalam penyetoran PPN atas kegiatan membangun sendiri yaitu:

* Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak
Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun
sendiri terdaftar, kolom NPWP yang tercantum pada Surat Setoran Pajak diisi dengan
NPWP orang pribadi atau badan tersebut.
* Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak
Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau
badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, Surat Setoran Pajak
diisi dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Kolom NPWP diisi dengan :

1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;

2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi
tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan

3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.

b. Pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan NPWP orang pribadi atau badan
yang

melakukan kegiatan membangun sendiri


* Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum

20
memiliki NPWP, Surat Setoran Pajak diisi dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Kolom NPWP diisi dengan :

1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama;

2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi
tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan

3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.

b. pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan alamat orang pribadi atau
badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.

Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Pelaporan PPN atas Kegiatan Membangun
Sendiri
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 8 terdapat hal yang harus
diperhatikan dalam proses pelaporan PPN atas kegiatan membangun sendiri yaitu:

* Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di
wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut
terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib
melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dengan melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak.
* membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat
bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang
berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut
terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri selain
wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud
pada Pasal 8 ayat (1), wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar
ketiga Surat Setoran Pajak.

21
* Dalam hal Pengusaha Kena Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor
Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak
Besar, atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak Jakarta Khusus, Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib melaporkan
penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat
(1), wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran
Pajak.

Hal-Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan

1. Dalam hal bangunan sebagai hasil kegiatan membangun sendiri digunakan oleh pihak lain
sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri wajib menyerahkan bukti Surat Setoran Pajak
asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri kepada pihak lain yang
menggunakan bangunan tersebut;
2. Dalam hal orang pribadi atau badan yang membangun sendiri bangunan untuk digunakan
pihak lain tidak dapat menunjukkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan
Nilai atas kegiatan membangun sendiri, pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut
bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang.
3. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak
melakukan kewajiban penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan/atau kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya
meliputi tempat bangunan didirikan atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar dapat mengeluarkan surat teguran sesuai contoh format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012.
4. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah
melakukan penyetoran atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun

22
sendiri namun berdasarkan data yang dimiliki dan diperoleh oleh Direktorat Jenderal
Pajak diyakini terdapat indikasi penyetoran atau pelaporan yang tidak wajar, Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerbitkan
surat himbauan sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor
163/PMK.03/2012.
5. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya surat teguran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat himbauan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan
Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama
yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat melakukan verifikasi
atau pemeriksaan untuk menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas
kegiatan membangun sendiri tersebut.
6. Berdasarkan hasil verifikasi atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas kegiatan
membangun sendiri.
7. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum
memiliki NPWP, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan
NPWP sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.
8. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah
memiliki NPWP namun berbeda dengan tempat bangunan didirikan, Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sebagai cabang sesuai
ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan

Penetapan Secara Jabatan Untuk PPN terutang atas Kegiatan Membangun Sendiri

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 6 disebutkan bahwa:

* Apabila orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak
atau kurang menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang ke kas negara, Direktorat
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan

23
hasil pemeriksaan atau verifikasi.
* Selanjutnya, jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau
badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri :

1. tidak memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau
yang dibayarkan untuk membangun bangunan; atau

2. memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang
dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak benar atau tidak lengkap,
Maka jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan dalam
rangka kegiatan membangun sendiri dapat ditetapkan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Penetapan secara jabatan untuk jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk
membangun bangunan dalam rangka kegiatan membangun sendiri ini diatur dalam Peraturan Direktorat
Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 yang merupakan Perubahan Atas Peraturan Direktorat Jenderal
Pajak Nomor PER-23/PJ/2012.

Dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 tersebut diatur bahwa:

* Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan
dalam rangka membangun sendiri ditetapkan secara jabatan berdasarkan nilai terendah
dari data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) masing-masing daerah
sesuai Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman
Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara dan perubahannya.
* Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau badan
yang melakukan kegiatan membangun sendiri memberikan data atau bukti pendukung
biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, namun
tidak benar atau tidak lengkap, sehingga:

1. jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun


bangunan lebih rendah dari nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung
Negara (HSBGN), maka penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data
nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) tersebut;
atau

24
2. jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun
bangunan lebih tinggi dari nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung
Negara (HSBGN), maka penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data
atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk
membangun bangunan.
* Penetapan secara jabatan berdasarkan nilai terendah dari data Harga Satuan Bangunan
Gedung Negara (HSBGN) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) huruf a
mengacu pada Pedoman Penggunaan Harga Satuan Bangunan Gedung Negara
(HSBGN) Dalam Rangka Penetapan Secara Jabatan Jumlah Biaya yang Dikeluarkan
dan/atau yang Dibayarkan untuk Membangun Bangunan yang Digunakan untuk
Menghitung Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri
sebagaimana terdapat dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Jadi Cara Perhitungan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang ditentukan secara jabatan
adalah sebagai berikut :

PPN = Tarif x DPP

 Tarif = 10%

 DPP = 20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun bangunan

PPN = 10% x (20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk
membangun bangunan)

Jumlah biaya Nilai Terendah Hargax Koefisien x Luas bangunan


yang Satuan tertinggi keseluruhan
dikeluarkan berdasarkan Klasifikasi
dan/atau Bangunan Gedung
dibayarkan = Negara
untuk
membangun

25
bangunan

PPN Atas Penjualan Aset

Untuk penjualan aktiva atau penyerahan Barang Kena Pajak yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan diatur lebih lanjut dalam Pasal 16D Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam pasal 16D Undang-Undang PPN
dikatakan bahwa:

“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas
penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”

Untuk itu penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva dalam kasus diatas merupakan
penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenakan PPN apabila penyerahannya dilakukan oleh
Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Atas penyerahan
Barang Kena Pajak ini, PKP wajib menerbitkan faktur pajak dengan kode transaksi 09 pada
Faktur Pajak yang diterbitkan.

Namun, PPN Pasal 16D tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan apabila:

 Perolehan Barang Kena Pajak berupa aktiva tersebut tidak mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha, dan

 pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu
kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon

yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2009 Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.

26
PPN Atas Eksport dan Import

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Ekspor

Dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 ditetapkan objek pajak PPN
yang berkaitan dengan ekspor, meliputi :

1) Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.


2) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
3) Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Salah satu kegiatan transaksi yang dikenakan PPN adalah atas ekspor Jasa Kena Pajak
(JKP) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Hal ini sesuai yang diatur dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf h UU Nomor 42 Tahun 2009. Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2) ditegaskan bahwa
ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis JKP yang atas ekspornya dikenakan PPN akan
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Untuk menindaklanjuti ketentuan ini, maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 70/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena
Pajak yang atas Ekspornya Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Pada prinsipnya kegiatan Kegiatan Ekspor Barang dan Jasa dikenai PPN 10%. Namun
dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha Indonesia dan meningkatkan daya saing
kita, maka Pemerintah menetapkan fasilitas PPN 0% atas kegiatan ekspor. Namun fasilitas ini
hanya diberikan bagi Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Yang dimaksud dengan ”Barang Kena Pajak Tidak Berwujud”

1) Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya
ilmiah, paten, desain atau model,rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau
bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya.

2) Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah.

3) Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial.

27
4) Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebutpada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi
tersebut pada angka 3, berupa:

a) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya,
yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi
yang serupa.
b) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit,
kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa.
c) Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radiokomunikasi.

5) Penggunaan atau hak menggunakan filmgambar hidup (motion picture films), film atau pita
video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio.

6) Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian
hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.

Batasan Kegiatan dan Jenis JKP yang atas ekspornya dikenakan PPN 0%.

Sebagaimana yang diatur dalam PMK-70/PMK.03/2010 Batasan Kegiatan dan Jenis JKP
yang atas ekspornya dikenai PPN dengan tarif 0% meliputi :

1. Jasa Maklon, yaitu pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu
yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan
pengguna jasa menetapkan spesifikasi, serta menyediakan bahan baku dan/atau barang
setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau
seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.

Jasa Maklon yang batasan kegiatannya memenuhi syarat berikut:

a. Pemesan atau penerima JKP berada di Luar Daerah Pabean dan merupakan Wajib Pajak
Luar Negeri (WPLN) serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.
b. Spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau Penerima JKP.
c. Bahan adalah bahan baku, bahan setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu
yang akan diproses menjadi BKP yang dihasilkan.
d. Kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima JKP.

28
e. Pengusaha Jasa Maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan
pemesan atau penerima JKP ke luar daerah Pabean.
2) Jasa Perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya memenuhi syarat:

a. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar
Daerah Pabean.
3) Jasa Konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan
konstruksi, yang batasan kegiatannya memenuhi syarat:
a) Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar
Daerah Pabean.

Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Ekspor

Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Ekspor Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud, dan Ekspor Jasa Kena Pajak.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor

Impor merupakan proses pembelian barang atau jasa asing dari suatu negara ke negara
lain atau setiap kegiatan memasukkan barang barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah
Pabean.

Daerah pabean adalah wilayah kedaulatan Republik Indonesia dan tempat-tempat tertentu
di wilayah yurisdiksi nasional Republik Indonesia yang didalamnya berlaku peraturan
perundang-undangan di bidang kepabeanan.

Pada prinsipnya semua kegiatan impor barang dikenai PPN. Namun dalam rangka
mendorong perkembangan dunia usaha Indonesia dan meningkatkan daya saing kita, maka
Pemerintah menetapkan jenis-jenis Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, yang bertujuan untuk menjamin
tersedianya barang-barang yang bersifat strategis tersebut. Pemberian fasilitas perpajakan ini
hanya bersifat sementara.

29
PPN yang Dibebaskan atas Impor

Perlu diketahui bahwa tidak semua barang yang dibeli atau dijual dikenakan PPN, dan
PPN yang dibebaskan atas Impor itu sendiri tidak bisa dikreditkan. Sebagaimana yang telah
diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 370/KMK/2003 Tentang
Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang
Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu, bahwa:

1) Barang Kena Pajak Tertentu adalah:

a. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara,
alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli, dan kendaraan angkutan
khusus lainnya, serta suku cadangnya.
b. Komponen atau bahan yang belum dibuat di dalam negeri yang digunakan dalam
pembuatan senjata dan amunisi untuk keperluan Departemen Pertahanan atau Tentara
Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI).
c. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
d. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.
e. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan
suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia.
f. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan
manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan.
g. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta
prasarana.
h. Komponen atau bahan yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang,
peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh
PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia.
i. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen Pertahanan atau TNI
untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang
dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional.
j. Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama
mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah.

30
Jasa Kena Pajak Tertentu adalah:

a) Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan penangkapan ikan
nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, atau Perusahaan Penyelenggara
Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, yang meliputi:

 Jasa persewaan kapal.


 Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh.
 Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal.

b) Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang meliputi:

 Jasa pesewaan pesawat udara.


 Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara.

c) Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (PERSERO) Kereta Api
Indonesia.

d) Jasa yang diserahkan oleh Kontraktor untuk pemborongan bangunan sebagaimana dimaksud
dalam angka 1 huruf j dan pembangunan tempat yang semata-mata untuk keperluan ibadah.

e) Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat sederhana.

f) Jasa yang diterima oleh Departemen Pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan dalam rangka
penyediaan data batas photo udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung
pertahanan nasional.

Peraturan Menteri Keuangan Terbaru

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2016 tanggal 3 Maret 2016, tentang


Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor213/PMK.011/2011 tentang
Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 248/PMK.010/2015 tanggal 28 Desember 2015, tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.03/2014 tentang Tata Cara

31
Penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah kpada Perwakilan Negara Asing dan Badan
Internasional serta Pejabatnya.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.010/2015 tanggal 24 Juli 2015, tentang
Perubahan Keempat atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.03/2001 tentang
Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor
Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan Dari Pungutan Bea Masuk.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.03/2015 tanggal 4 Maret 2015,
tentang Penunjukan Badan Usaha Tertentu untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya.

Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor

Tarif PPN adalah 10%.

Dikenakan atas setiap penyerahan BKP di dalam daerah pabean/impor BKP/penyerahan


JKP di dalam daerah pabean/pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam
pabean/pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5%
dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini
dapat disebabkan berbagai faktor, misalnya pertimbangan perkembangan perekonomian
Indonesia, sehingga tarif PPN bisa diturunkan. Sebaliknya, misalnya jika Pemerintah
membutuhkan penerimaan pajak yang besar, sehingga tarif PPN bisa dinaikkan.

Penjualan Aktiva Tetap (Objek Pasal 16D UU PPN)

Jangan disangka kalau PPN itu hanya dikenakan terhadap barang-barang baru (all new product).
Sebab ternyata, barang bekas pun bisa terutang PPN jika dialihkan ke pihak lain. Ini yang oleh
Pasal 16D UU PPN disebut dengan penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjual belikan.

32
Sebelum mulai membahas soal ini, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu Undang-Undang
(UU) PPN yang berlaku di Indonesia. Ini penting karena dalam tulisan ini ada beberapa UU PPN
yang akan disebut, yaitu:

 UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah. Ini adalah UU PPN pertama yang mulai diberlakukan
pada 1 April 1985 hingga kerap disebut dengan istilah UU PPN 1985. UU PPN 1985
berlaku hingga akhir tahun 1994.
 UU Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah. UU ini biasa disebut dengan UU PPN 1994 dan berlaku hingga akhir
tahun 2000.

 UU Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah. UU ini berlaku hingga 31 Maret 2010 dan biasa disebut dengan UU PPN
2000.

 UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah. Sekarang lebih sering disebut dengan UU PPN 2009 dan mulai berlaku
sejak 1 April 2010 hingga saat ini.

PPN Pasal 16D Sebelum 1 April 2010

Pengenaan PPN atas aktiva bekas mulai diperkenalkan saat UU PPN 1994 diberlakukan. Dalam
UU PPN 1994, aktiva bekas ini diistilahkan dengan aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjual belikan.
Dalam Pasal 16D UU PPN 1994, dikatakan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan aktiva oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjual
belikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan. Dari kalimat itu,
dapat dilihat bahwa ada 3 (tiga) syarat pengenaan PPN Pasal 16D pada masa itu, yakni: jenis

33
aktivanya, pihak yang melakukan penyerahannya, dan PPN (Pajak Masukan/PM) yang dahulu
dibayar saat perolehan aktiva yang sekarang akan diserahkan/dijual atau dialihkan kepada pihak
lain.
1. Aktiva yang Diserahkan: Aktiva yang diserahkan/dijual atau dialihkan kepada pihak
lain adalah aktiva yang menurut tujuan semula dibeli tetapi tidak untuk diperjualbelikan.
Banyak orang menyebutnya dengan istilah ‘non-inventory asset’ atau aktiva selain barang
dagangan. Misalnya inventaris kantor, kendaraan dinas, mesin pabrik, dlsb, yang dahulu
kita beli dengan maksud untuk digunakan dalam aktivitas operasional sehari-hari dan
bukan untuk diperdagangkan. Tetapi karena sudah rusak atau dengan alasan lain ingin
kita ganti dengan yang baru, maka inventaris kantor yang lama kemudian kita jual (atau
diserahkan kepada pihak lain).
2. Pihak yang Menyerahkan: Pengusaha yang melakukan penyerahan aktiva bekas sudah
dikukuhkan sebagai PKP. Artinya jika penyerahan aktiva bekas dilakukan oleh pengusaha
yang belum dikukuhkan sebagai PKP (Non-PKP), maka atas penyerahan aktiva bekas
tersebut tidak terutang PPN Pasal 16D.

3. PM atas Perolehan Aktiva: Di Pasal 16D UU PPN 1994 tersebut ada kalimat “…
sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat
dikreditkan.” Pajak Pertambahan Nilai yang dimaksud di sini adalah Pajak Masukan
(PM) yang dahulu kita bayar waktu kita memperoleh aktiva tersebut, apakah PM itu
menurut UU dan peraturan PPN dapat dikreditkan atau tidak. Jika PM tersebut menurut
UU dan peraturan PPN dapat dikreditkan, maka sepanjang kedua syarat di atas terpenuhi,
atas penyerahan aktiva bekas yang dilakukan terutang PPN Pasal 16D. Ketentuan ini
tetap berlaku meskipun waktu pembeliannya kita misalnya memilih untuk tidak
mengkreditkan PM karena khawatir terjadi LB PPN.

PPN Pasal 16D Sejak 1 April 2010

Pada saat UU PPN 2009 diberlakukan sejak 1 April 2010 hingga sekarang, pengenaan PPN Pasal
16D semakin diperluas. Penilaian bahwa pengenaan PPN Pasal 16D ini diperluas karena dalam
UU PPN 2009 syarat nomor 3 yang sebelumnya ada di UU PPN 1994 dan UU PPN 2000 (syarat

34
adanya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan) dihapus. Bunyi selengkapnya Pasal 16D UU
PPN 2009 adalah seperti berikut:
"Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas
penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c."
Dalam UU PPN 2009, pengenaan PPN Pasal 16D lebih dititikberatkan pada aktiva non-
inventory asset yang berbentuk Barang Kena Pajak (BKP). Artinya jika aktiva yang diserahkan
bukan merupakan BKP, maka terhadap penyerahan aktiva tersebut tidak terutang PPN. Misalnya
jika kita menyumbangkan beras kepada pihak lain, maka terhadap sumbangan itu tidak terutang
PPN Pasal 16D karena beras bukan merupakan BKP [lihat penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b
UU PPN 2009].
Selain itu, di Pasal 16D UU PPN 2009 tidak ada lagi kalimat “…sepanjang Pajak Pertambahan
Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.” Ini menandakan bahwa
pengenaan PPN Pasal 16D tidak lagi memperhatikan ada tidaknya Pajak Masukan (PM) yang
kita bayar waktu dahulu kita memperoleh aktiva tersebut. Maksudnya meskipun dahulu, waktu
kita memperoleh aktiva itu tidak ada PPN yang kita bayar (misalnya karena aktiva tersebut kita
beli dari penjual yang non-PKP), namun saat sekarang kita menyerahkan aktiva tersebut, maka
atas penyerahan itu akan terutang PPN. Inilah yang membuat banyak pihak berkesimpulan
bahwa ada perluasan objek pengenaan PPN Pasal 16D.
Selain itu, kesimpulan tadi juga diperkuat dengan adanya kalimat “…kecuali atas penyerahan
aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (8) huruf b dan huruf c.” Dari kalimat ini kita dapat simpulkan bahwa hanya ada dua
kelompok aktiva yang atas penyerahannya tidak terutang PPN, yaitu: aktiva yang PM-nya tidak
dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan aktiva yang PM-nya
tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c UU PPN.

Pasal 9 Ayat (8) Huruf b UU PPN

Aktiva yang PM-nya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (8) huruf b UU
PPN adalah aktiva-aktiva yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha

35
yang terutang PPN. Contoh riilnya misalnya kita menjual asset berupa tanah kosong yang
sebelumnya tidak pernah kita gunakan dalam kegiatan usaha.
Contoh lain, misalnya kita menjual asset berupa mess karyawan. Saat kita membeli mess untuk
karyawan, kita ‘kan tidak boleh mengkreditkan PM atas pembelian mess tersebut karena
dianggap tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha? Jadi, saat sekarang kita akan
menjual mess tersebut juga tidak akan terutang PPN Pasal 16D.
Pengertian ‘berhubungan langsung dengan kegiatan usaha’ adalah kegiatan usaha penyerahan
yang terutang PPN. Contoh mudahnya begini: sebuah rumah sakit membeli peralatan rawat inap
misalnya tempat tidur. Saat membeli tempat tidur tersebut, rumah sakit tidak dapat
mengkreditkan PM atas pembelian tempat tidur. Sebab meskipun tempat tidur tersebut berkaitan
dengan kegiatan usaha, akan tetapi karena jasa rumah sakit tidak terutang PPN (non-JKP), maka
PM atas pembelian tempat tidur tadi tetap tidak dapat dikreditkan karena tidak berhubungan
langsung dengan kegiatan usaha yang terutang PPN. Oleh karena itu, jika sekarang rumah sakit
tadi hendak menjual tempat tidur tersebut, maka atas penjualan aktiva berupa tempat tidur tadi
tidak akan terutang PPN Pasal 16D.

Pasal 9 Ayat (8) Huruf c UU PPN

Aktiva yang PM-nya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (8) huruf c UU
PPN 2009 adalah aktiva berupa kendaraan sedan dan station wagon.
Sebagaimana kita ketahui, kalau kita membeli kendaraan jenis sedan atau station wagon, PM
atas pembelian sedan itu tidak boleh kita kreditkan meskipun kenyataannya sedan itu kita
gunakan dalam kegiatan usaha. Dan karena PM-nya tidak dapat dikreditkan, maka pada saat
sekarang kita akan menjual sedan tersebut, atas penjualannya tidak terutang PPN Pasal 16D.
Tapi jika seandainya sedan dan station wagon itu kita beli dengan maksud untuk usaha
persewaan mobil (rental) atau untuk dijual kembali (showroom), maka PPN atau PM atas
pembelian sedan dan station wagon itu dapat dikreditkan. Sehingga pada saat kita akan
menjualnya sekarang dapat terutang PPN Pasal 16D.

DPP PPN dan Faktur Pajak

36
Terhadap penyerahan aktiva bekas yang terutang PPN Pasal 16D, kita harus membuat Faktur
Pajak dengan kode faktur 090. Tarif PPN-nya tetap 10% sedangkan DPP (dasar pengenaan pajak)
adalah sebesar harga pasar dari aktiva yang kita serahkan.

Kita harus melaporkan Faktur Pajak tersebut di SPT Masa PPN dan menyetorkan PPN-nya jika
memang PPN Pasal 16D itu harus disetor. Sebab beberapa tahun lalu ada PPN Pasal 16D yang
tidak perlu disetor, yaitu PPN Pasal 16D atas penyerahan sumbangan BKP kepada korban
bencana alam tsunami di Aceh dan gempa bumi di Jogyakarta.

Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPnBM)

PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan Dasar
Pengenaan Pajak (DPP).

Tarif PPN dan PPnBM

1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen).


2. Tarif PPN sebesar 0% (sepuluh persen) diterapkan atas:

o ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;

o ekspor BKP Tidak Berwujud; dan

o ekspor Jasa Kena Pajak.

3. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua
ratus persen).

4. Tarif PPnBM atas ekspor BKP yang tergolong mewah adalah 0% (nol persen).

Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

37
Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang,
berupa: Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN
yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan
dalam Faktur Pajak.
2. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP),ekspor
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk
PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya
dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima
manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.

3. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut Undang-Undang PPN.

4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.

5. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak
dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut :

1. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor;
2. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor;

3. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
38
4. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;

5. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;

6. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan,
adalah harga pasar wajar;

7. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga
perolehan;

8. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;

9. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari jumlah yang
ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau

10. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh
persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.

Contoh Cara Menghitung PPN dan PPnBM

1. PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
= 10% x Rp25.000.000,00
= Rp2.500.000,00
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “A”.
2. PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian
sebesar Rp20.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B”
= 10% x Rp20.000.000,00
= Rp 2.000.000,00
PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “B”.

39
3. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor
sebesar Rp15.000.000,00. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
= 10% x Rp15.000.000,00
= Rp 1.500.000,00

4. Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah
dengan Nilai Impor sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut adalah:

a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00

b. PPN = 10% x Rp5.000.000,00


= Rp500.000,00

c. PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00


= Rp1.000.000,00

5. Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu
BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya
35%.
Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat
dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga
BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan PPn
BM yang terutang adalah :

a. Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00

b. PPN = 10% x Rp50.000.000,00


= Rp5.000.000,00

c. c. PPn BM = 35% x Rp50.000.000,00


= Rp17.500.000,00

40
PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan bagi
PKP “D” dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP “D”.
Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan
PPnBM sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP “X”.

Bentuk dan tata cara pengisian SPT MASA PPN terbaru tahun 2011

Untuk lebih memudahkan wajib pajak dalam menyampaikan SPT masa PPN nya maka Mulai 1
Januari 2011 bentuk dan tata cata penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan

41
Nilai (SPT Masa PPN) mengalami beberapa perubahan dimana bentuk formulir SPT Masa
PPN yang baru disebut dengan SPT Masa PPN 1111 dan SPT Masa PPN 1111 DM. SPT Masa
PPN 1111 berlaku mulai Masa Pajak Januari 2011, jadi singkatnya, mulai Masa Pajak Januari
2011 akan dikenal 3 (tiga) jenis SPT Masa PPN yaitu:

1. SPT Masa PPN 1111, yang digunakan oleh PKP yang menggunakan mekanisme Pajak
Masukan dan Pajak Keluaran (Normal).
2. SPT Masa PPN 1111 DM, yang digunakan oleh PKP yang menggunakan Pedoman
Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan; dan
3. SPT Masa PPN 1107 PUT, yang digunakan oleh Pemungut PPN.
Ketentuan mengenai bentuk formulir SPT Masa PPN tersebut diatur masing-masing oleh:

 SPT Masa PPN 1111, yang digunakan oleh PKP yang menggunakan mekanisme Pajak
Masukan dan Pajak Keluaran (Normal)
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER- 44 /PJ/2010 tentang Benluk, lsi, dan Tata Cara Pengisian
serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN), dan
Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE- 98/PJ/2010.

 SPT Masa PPN 1111 DM, yang digunakan oleh PKP yang menggunakan Pedoman
Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER- 45 /PJ/2010 tentang Bentuk, lsi, dan Tata Cara Pengisian
serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) Bagi
Pengusaha Kena Pajak Yang Menggunakan Pedoman Penghilungan Pengkreditan Pajak
Masukan, Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE- 99/PJ/2010.

SPT Masa PPN 1111


SPT Masa PPN 1111 digunakan oleh PKP yang menggunakan mekanisme Pajak Masukan dan
Pajak Keluaran (Normal) selain PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan
Pajak Masukan yang terdiri dari

a. Induk SPT Masa PPN 1111- Formulir 1111 (F.1.2.32.04); dan

b. Lampiran SPT Masa PPN 1111:

42
1. Formulir 1111 AB – Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan (0.1.2.32.07);
2. Formulir 1111 A 1 – Daftar Ekspor BKP Berwujud, BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP
(0.1.2.32.08);
3. Formulir 1111 A2 – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Oalam Negeri dengan Faktur
Pajak (0.1.2.32.09);
4. Formulir 1111 B 1 – Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Impor BKP dan
Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP dari Luar Daerah Pabean (0.1.2.32.10);
5. Formulir 1111 B2 – Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Perolehan
BKP/JKP Dalam Negeri (0.1.2.32.11); dan
6. Formulir 1111 B3 – Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dapat Oikreditkan atau yang
Mendapat Fasilitas (0.1.2.32.12),
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengisian dan penyampaian SPT Masa PPN 1111.

Penggunaan formulir SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk PDF


 PKP dapat mencetak/print formulir SPT Masa PPN 1111 langsung dari file PDF yang
telah disediakan, dengan memperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut:
 Dicetak dengan menggunakan kertas foliolF4 dengan be rat minimal 70 gram
 Pengaturan ukuran kertas pad a printer menggunakan ukuran kertas (paper size) 8,5 x
13 inci (215 x 330 mm).
 Tidak menggunakan printer dotmatrix.
Di samping pedoman tersebut, terdapat petunjuk pencetakan yang harus diikuti, yang tersimpan
dalam bentuk file PDF dengan nama readme. pdf.

 Formulir SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk file PDF terlebih dahulu dicetak, selanjutnya
PKP dapat mengisi formulir SPT Masa PPN 1111 tersebut, menandatanganinya kemudian
menyampaikannya ke KPP atau KP2KP.
Faktur Pajak dan Nota Retur
 Faktur Pajak yang diisikan dalam Formulir 1111 A2 – Daftar Pajak Keluaran atas
Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak, adalah Faktur Pajak selain yang digunggung
yang dilaporkan dalam Formulir 1111 AB – Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan pada
butir I huruf B angka 2.Faktur Pajak yang dilaporkan secara gunggungan adalah Faktur Pajak

43
yang tidak diisi dengan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2) Undang-Undang KUP.
Dalam hal PKP merupakan pedagang eceran, namun PKP tersebut juga melakukan penyerahan
yang Faktur Pajaknya:

 diisi lengkap sesuai dengan Pasal13 ayat (5) Undang-Undang PPN; dan/atau
 tidak diisi dengan identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(5) huruf b Undang-Undang PPN;
dan menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang strukturnya mengikuti ketentuan
dalam peraturan mengenai Faktur Pajak, PKP melaporkan Faktur Pajak dimaksud dalam
Formulir 1111 A2 – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak.

 Faktur Pajak Khusus yang menggunakan kode transaksi ’06′ yang diterbitkan oleh PKP
Toko Retail yang ditunjuk yang melakukan penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang
paspor luar negeri semula dilaporkan secara gunggungan pada butir III – Penyerahan Dalam
Negeri dengan Faktur Pajak Sederhana dalam Lampiran 1 – Daftar Pajak Keluaran dan
PPnBM Formulir 1107 A sedangkan rinciannya dilaporkan dalam lampiran SPT Masa
PPN yaitu Daftar Rincian Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada Orang Pribadi
Pemegang Paspor Luar NegeriDalam SPT Masa PPN 1111, Faktur Pajak Khusus tersebut
dilaporkan dalam Formulir 1111 A2 – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri
dengan Faktur Pajak dan PKP Toko Retail tersebut tidak perlu membuat rincian penyerahan
BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri.
 Faktur Pajak atas perolehan BKP/JKP yang diterima oleh PKP yang melakukan
penyerahan yang terutang dan tidak terutang pajak, dilaporkan di 2 (dua) tempat, yaitu di
Formulir 1111 B2 – Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Perolehan BKP/JKP
Dalam Negeri, sebesar jumlah yang dapat dikreditkan dan di Formulir 1111 B3 – Daftar
Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas, sebesar jumlah
yang tidak dapat dikreditkan. Selanjutnya sesuai ketentuan, PKP melakukan penyesuaian
setiap akhir tahun sampai dengan selesainya masa manfaat BKP/JKP terkait dalam Formulir
1111 AB butir III huruf B angka 3 – Hasil Penghitungan Kembali Pajak Masukan yang telah
dikreditkan sebagai penambah (pengurang) Pajak Masukan.

44
 Nota Retur yang dilaporkan dalam Lampiran SPT Masa PPN 1111 dikaitkan dengan
Faktur Pajaknya. Dalam hal Nota Retur tersebut terkait dengan Faktur Pajak yang dapat
dikreditkan, maka Nota Retur tersebut dilaporkan dalam Formulir 1111 B2 – Daftar Pajak
Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Perolehan BKP/JKP Dalam Negeri. Dalam hal PKP
menerbitkan Nota Retur yang terkait dengan Faktur Pajak yang tidak dapat dikreditkan atau
mendapat fasilitas, maka Nota Retur tersebut dilaporkan dalam Formulir 1111 B3 – Daftar
Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas.
Penyampaian SPT Masa PPN 1111
PKP yang telah menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk data elektronik, tidak
diperbolehkan lagi untuk menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk formulir kertas
(hard copy).

Sebagai contoh, PKP dalam SPT Masa PPN Masa Pajak Januari sampai dengan Mei 2011
melaporkan Faktur Pajak yang diterbitkan dan nota retur yang diterima dalam Formulir 1111 A2
pada setiap masa tidak melebihi 25 dokumen. Pada bulan Mei, PKP melakukan pembetulan SPT
Masa PPN Masa Pajak Februari 2011 yang mengakibatkan dokumen yang dilaporkan dalam
Formulir 1111 A2 lebih dari 25.

Dalam hal demikian, PKP wajib menyampaikan pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak
Februari 2011 dalam bentuk data elektronik. Untuk masa pajak berikutnya yaitu Masa Pajak Juni
2011, PKP wajib menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk data elektronik.

untuk lebih lengkapnya mengenai Bentuk formulir dan tata caranya silahkan

45
DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo. 2011.PepajakanEdisiRevisi 2011. Yogyakarta: Andi.


http://ainayudhia20.blogspot.co.id/2014/05/ppn-dan-ppnbm.html
https://novitaariandy.wordpress.com/2013/02/18/pajak-ppn-dan-ppnbm/
http://sophiaririnkali.blogspot.co.id/2013/04/konsep-dasar-ppn-dan-ppnbm.html
http://dokterpajak.com/syarat-penyerahan-barang-terutang-ppn
http://www.pbtaxand.com/consultations/312-pengertian-dan-kegunaan-faktur-
pajak#sthash.GaP7mAT1.dpbs
http://www.ortax.org/ortax/?mod=studi&page=show&id=17
https://armuhammad.wordpress.com/2011/11/10/wapu-ppn/
http://www.kabarpajak.com/2013/07/pajak-masukan-dan-pajak-keluaran.html
https://enleis.wordpress.com/2012/01/13/pajak-pertambahan-nilai-ppn-dan-ppnbm/
http://sistemperpajakan.blogspot.co.id/2012/07/tata-cara-pemungutan-dan-pelaporan-ppn.html
http://pajakinnet.blogspot.co.id/2012/02/tarif-pajak-dan-cara-menghitung-ppn.html
http://www.pratama.co/tata-cara-pembayaran-dan-pelaporan-ppn
http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=777

46

Anda mungkin juga menyukai