Anda di halaman 1dari 7

Studi ini akan membahas: 1) rangkuman konsensus terbaru American Heart Association (AHA)

mengenai bantuan hidup pada anak; 2) diskusi mengenai manajemen henti jantung pada beberapa
kondisi.
Bantuan hidup dasar pada anak (rangkuman rekomendasi AHA tahun 2015)
• Nilai kesadaran. Nilai pernapasan dan denyut nadi (tidak lebih dari sepuluh detik).
• Membuka jalan napas – tidak perlu melakukan “look, listen and feel”.
• Penilaian bertahap = C-A-B: kompresi-jalan napas-pernapasan.
• Henti jantung yang disaksikan: aktifkan respon kegawatdaruratan/minta bantuan/AED dan
mulai RJP.
• Henti jantung yang tidak disaksikan: mulai RJP selama 2 menit/panggil bantuan/AED.
• Kedalaman RJP: ±1/3 anterior-posterior diameter dada, atau 1½ inci (4cm) untuk balita, 2
inci (5cm) untuk anak.
• Kompresi:ventilasi = 1 penolong 30:2; 2 penolong 15:2.
• Kompresi: 100-120x/menit; ventilasi: 10x/menit.
• Pengembangan dada sempurna (allow recoil). Mengurangi interupsi saat kompresi <10
detik.
Bantuan hidup lanjut pada anak (rangkuman rekomendasi AHA tahun 2015)
 Pantau pengeluaran CO2: gunakan penilaian klinis dan alat deeksi pengeluaran CO2 untuk
menentukan posis ETT pada pasien pada semua keadaan. Pengukuran yang dilakukan
secara berkelanjutan akan memberikan manfaat saat RJP (resusitasi jantung paru) untuk
menilai keefektifan dari kompresi yang diberikan.
 Defibrilisasi: gunakan dosis awal 2-4 J/kg. Untuk VF (ventricle fibrilation) yang berulang,
dosis dapat ditinggikan, dimulai dari 4J/kg (bifasik) namun tidak melebihi 10J/kg (dosis
maksimum 360J monofasik)
 Tatalaksana aritmia: amiodarone atau lidokain dapat digunakan pada terapi VF atau pVT
pada anak.
 Gunakan FiO2 sebanyak 100% untuk resusitasi. Setelah resusitasi, batasi jumlah oksigen
suplemental dengan target SP02 94-99%. Hindari hiperoksia ataupun hipoksia setelah
resusitasi.
 Target temperatur (manajemen temperatur): hindari hipertermia. Untuk anak dengan status
koma yang diresusitasi diluar rumah sakit, pertahankan normotermia selama 5 hari (36oC-
37,5oC) atau hipotermia selama 2 hari (32oC-34oC) diikuti dengan normotermia selama 3
hari setelahnya.
 Tim respon cepat (Rapid Response Team) atau tim emergensi dapat efective untuk
mengurangi angka kejadian henti jantung. Penggunaan sistem tanda bahaya (contoh
Pediatric Early Warning Sign) dapat juga mengurangi angka kesakitan dan kematian di
rumah sakit.
Henti jantung perioperatif yang semula kurang dipertimbangkan, saat ini telah menjadi perhatian
khusus. Anestisiologis anak terkadang kurang cermat dalam hal resusitasi ataupun perawatan post-
resusitasi. Pengetahuan mengenai epidemiologi dari henti jantung pada anak serta teknik-teknik
resusitasi dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian. Studi terakhir mengenai henti jantung
pada anak (Flick et al 2007; Bhanakar et al 2008) mengindikasikan kausa utama dari henti jantung
perioperatif tidak banyak berubah selama beberapa waktu. Dalam urutan kausa dari tinggi ke
rendah: kardiovaskular, respirasi, obat-obatan, peralatan medis, sebab-sebab yang belum
diketahui. Henti jantung intra-operatif biasa berhubungan dengan sistem kardiovaskulas
sedangkan masalah respirasi lebih berhubungan dengan kejadian henti jantung post-operatif.
Peningkatan skala status fisik ASA dan prosedur emergensi menjadi sebab utama yang berasosiasi
terhadap henti jantung perioperatif pada anak.
Epidemiologi
Henti jantung pada bayi dan anak yang berada di rumah sakit atau pada keadaan perioperatif dapat
disebabkan oleh berbagai hal. Beberapa sebab diantaranya kegagalan pernapasan, sepsis, toksisitas
obat ataupun overdosis, gangguan mentabolik dan disaritmia. Henti jantung perioperatif dapat
terjadi karena gangguan kardiovaskular; obstruksi atau kegagalan pernapasan; overdosis obat atau
efek samping obat; kesalahan atau malfungsi alat medis; atau kombinasi diantaranya.
Penyebab henti jantung berbeda dari beberapa fase perawatan. Pada kondisi pre-operasi, masalah
kardiovaskular, respirasi dan obat-obatan dapat menjadi penyabab yang mendasari henti jantung.
Pada kondisi intra-operatif, penyebab utama adalah masalah kardiovaskular sedangkan pada
kondisi post-operatif, masalah respirasi menjadi kausa utama diikuti dengan masalah
kardiovaskular. Seorang anestesiologis harus mengetahui penyebab tersering dari beberapa fase
perawatan sehingga dapat merawat pasien dengan benar pada saat yang tepat. (Bhananker et al
2007; Christensen et al 2013) studi terakhir oleh De Bruin dkk (2015) menyebutkan beberapa
faktor resiko terhadap kematian pada kondisi perioperatif: umur muda (nenonatus), status fisik
ASA III atau lebih dan pembedahan intrathoracic. Adapun, masalah pada anestesi ataupun
masasalah pembedahan hanya berpengaruh sedikit pada beberapa kasus. Hal yang sama ditemukan
oleh Schleleein et al (2016) bahwa umur yang telampau muda, peningkatan komorbiditas pre-
operatif, pembedahan multipel, lokasi (ruang operasi ataupun non operasi) dan kurangnya
pengalaman dari tenaga medis yang berhubungan dengan peningkatan insiden, terutama masalah
respirasi.
Kegagalan kardiorespirasi pada bayi dan anak merupakan hal yang jarang ditemukan dibandingkan
dengan orang dewasa. Pada banyak kasus yang disebabkan kesulitan atau kegagalan napas, hal
tersebut dapat memicu kegagalan jantung apabila hal tersebut tidak di terapi secara tepat. Masalah
jantung tersendiri jarang memicu henti jantung pada bayi dan anak, dibandingkan pada orang
dewasa. Masalah jantung (seperti disaritmia) dapat menjadi kausa utama dari henti jantung.
Diluar rumah sakit henti jantung memilki prognosis yang buruk, hanya kurang dari 19% yang
dapat hidup setelah dirawat di rumah sakit. Pada kasus henti jantung dirumah sakit, angka
keberhasilan RJP dapat mencapai 60%. Namun, hanya sekitar 15% yang dapat hidup setelah RJP
dilakukan.
Kegagalan Pernapasan
Keberhasilan dari resusitasi kardiovaskular pada bayi dan anak dimulai dari penilaian awal dan
penanganan kesulitan bernapas atau syok.
Kesulitan bernapas dapat dikarakteristikan sebagai takipneu, peningkatan usaha pernapasan,
retraksi interkostal/subcostal/substernal, stridor. Kondisi letargi pada pasien anak dapat menjadi
tanda buruk perfusi jaringan yang mengindikasikan suatu proses ke arah kegagalan napas dan
memerlukan terapi yang cepat. Tanda lain seperti penurunan laju pernapasan, penurunan suara
napas unilateral atau bilateral dan sianosis. Apabila tidak diterapi, pasien akan mengalami
kegagalan pernapasan-yang didefinisikan ventilasi yang tidak adekuat dan kemungkinan henti
napas.
Syok
Syok didefinisikan sebagai ketidakcukupan suplai darah dan oksigen untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme. Saat tahap awal syok (terkompensasi), takikardia dan vasokontriksi perifer dapat
menjaga tekanan darah dan perfusi ke organ vital dapat terpenuhi pada ambang batas. Saat
kemampuan tubuh untuk mengkompensasi sudah mencapai batas, syok yang tidak terkompensasi
akan menyebabakan hiptensi sistemik dan penurunan denyut nadi. Karena batas normal tanda vital
bervariasi menurut usia, tanda syok terkompensasi atau yang tidak terkompensasi sangat mudah
untuk terlewat. Syok bradikardi atau henti jantung pada bayi dan anak di karakteristikkan sebagai
denyut jantung yag kurang (biasanya kurang dari 100) dengan tanda-tanda lain kegagalan sirkulasi.
Jalan Napas
Masalah jalan napas merupakan masalah utama dari kesulitan dan kegagalan pernapasan pada bayi
dan anak. Bayi bernapas terutama melewati hidung, dimana pada kondisi kesulitan bernapas upaya
untuk menguranginya dapat melalui penghisapan pada hidung. Anatomi pada bayi dapat
berkontribusi pada obstruksi jalan napas karena secara anatomis, bayi memilki lidah yang besar,
laring yang terletak lebih rostral (lebih anterior). Penempatan kepala dan leher yang benar atau
penggunaan batuan jalan napas OPA (orophranygeal airway) dapat meringankan gejala obstruksi
jalan napas. Penambahan metode bantuan pembebasan jalan napas seperti LMA (larnygeal mask
airway) dan intubasi endotrakeal dapat dipertimbangkan.

Oksigen
Rekomendasi standar untuk resusitasi adalah penggunaan oksigen dengan fraksi 100%.
Rekomendasi ini masih diperdebatkan karena efek samping penggunaan oksigen 100%. Efek
samping diantara lain peningkatan resistensi serebrovaskuler, stres oksidatif pada paru, jantung
dan jaringan lain, serta atelektasis. Setelah pasien selesai diresusitasi, FiO2 harus diturunkan pada
level menjaga oksigen sistemik adekuat.
Ventilasi
Ventilasi manual saat resusitasi seringkali membuat pasien overventilation. Pengembangan
berlebihan pada paru dapat menyebabkan barotrauma bahkan pneumothorax dan mengurangi
aliran balik vena yang mempengaruhi cardiac ouput. Hipokapnia dapat menyebabkan hipoperfusi
pada otak. Oleh karena itu, pengembangan paru harus dijaga pada saat ventilasi agar menghindari
pengembangan yang berlebihan.
ETT dengan cuff dan tidak
Kedua ETT baik dengan cuff maupun tidak diperbolehkan untuk bayi dan anak. Apabila ETT
dengan cuff digunakan, hindari pengembangan cuff yang berlebihan. Ukuran dari ETT harus
disesuaikan dan pemasangan harus sesuai sehingga mengurangi trauma glotis dan subglotis.
Ukuran ETT dapat diperkiran dengan (umur/4)+4 pada ETT dengan cuff. Dan (umur/4)+3 pada
ETT tanpa cuff. Walaupun disaat emergensi, penempatan ETT harus di konfirmasi dengan
auskultasi dada dan deteksi pengeluran CO2.
Akses Vaskuler
Panduan PALS menekankan penggunaan akses vaskuler pada waktu yang tepat. Apabila akses
perifer tidak dapat dilakukan selama 90 detik, penggunaan intraosseous (I/O) dapat
dipertimbangkan. Semua troli resusitasi dan ruangan operasi harus mempunyai kesiapan akses
intraosseous. Tenaga kesehatan yang terampil dapat menempatkan untuk mengamankan sirkulasi
secara baik, namun hal tersebut dapat mengganggu proses resusitasi yang dilakukan. Pada saat
ketiadaan akses IV ataupun I/O, beberapa obat emergensi dapat digunakan via endotrakeal namun
memerlukan dosis yang lebih besar dalam pemberiannya.
Henti Jantung
Henti jantung memerlukan dukungan ventilator maupun kompresi dada yang efektif. Keefektifan
resusitasi dan ROSC dipengaruhi dari waktu, kapan dimulainya kompresi dan kompresi dada yang
adekuat. Tujuan utama adalah mempertahankan tekanan diastolik agar mampu untuk perfusi ke
pembuluh koroner. Rekomendasi dalam hal RJP adalah sama pada anak maupun dewasa. Untuk
satu orang penolong, 2 kali pernapasan diberikan setelah 30 kali kompresi dada. Untuk dua orang
penolong, ratio pemberian kompresi dan nafas adalah 15:2. Kompresi harus dilakukan dengan
kedalaman yang sesuai (1/3-1/2 dari diameter antero-posterior dada) dan memberikan waktu agar
paru melakuakan recoil. Laju kompresi pada semua usia adalah 100x/menit. Kompresi dada
seringkali dilakukan secara tidak adekuat (Niles et al 2012).

Cairan dan Obat


Pemberian dosis cairan dan obat pada anak didasari pada berat anak. Pasien di rumah sakit harus
ditimbang dan dihitung jumlah dosis obat yang akan diberikan. Apabila berat badan anak tidak
diketahui, pengukuran berdasarkan panjang badan dapat digunakan. Penggunaan kristaloid
isotonik direkomendasikan untuk digunakan pada resusitasi. Cairan yang mengandung glukosa
tidak direkomendasikan untuk penggunaan secara rutin. Karena bayi rentan untuk mengalami
hipoglikemia, glukosa darah harus diperiksa pada awal resusitasi. Pemberian obat resusitasi pada
anak sama seperti yang digunakan orang dewasa. Apabila ada indikasi henti jantung tanpa nadi,
dapat diberikan dosis standar epinefrin IV yaitu, 0.01mg/kg. Pemberian dalam dosis besar dapat
memberikan efek samping seperti hipertensi, ectopi ventrikular, nekrosis miokardial dan disfungi
miokardial.
Defibrilator pada Resusitasi Pediatrik
Karena sebagian besar henti jantung pada pediatrik dikarenakan masalah respirasi, disaritmia yang
plaing banyak ditemukan apda nak adalah asistol dan bradikardi dengan kompleks QRS yang
memanjang. Henti jantung tiba-tiba pada anak dapat terjadi karena fibrilasi ventrikel (ventricel
fibrillation/VF) atau pulseless electrical activity (PEA). Untuk anak dengan VF defibrilasi
merupakan tindakan life saving dengan tingkat bertahan hidup 20%. Diluar rumah sakit anak
dengan henti jantung, 5-15% berhubungan dengan VF. Untuk itu, terlebih pada kejadian henti
jantung yang disaksikan, defibrilasi dapat menjadi resusitasi tahap awal dan menjaga fungsional
tubuh. Karena banyaknya kegunaan dari automated defibrillator (AED), beberapa komunitas
mengusung program Public Access Defibrilator (PAD). Takikardia supraventrikular (SVT) dan
takikardia ventrikular (VT) pada anak, baik itu dengan nadi atau tanpa nadi. Pada pasien SVT/VT
tanpa nadi, penanganan harus berdasarkan panduan henti jantung. Sedangkan pada pasien SVT/VT
dengan nadi, penanganan harus termasuk oksigen dan bantuan jalan napas dan
Torsade de Pointes
Torsade de pointes adalah bentuk polimorfik VT pada anak-anak yang disebabkan karena masalah
kongenital atau karena toksisitas obat antiaritmia tertentu, antidepresan atau interaksi obat.
Magnesium sulfat intravena adalah pengobatan pilihan untuk torsades untuk etiologi apapun.
Dosis awal magnesium adalah 25-50 mg / kg IV.
Durasi Resusitasi Jantung Paru (RJP)
Secara umum, semakin lama pasien dilakukan RJP, semakin buruk prognosisnya. Namun, situasi
pada keadaan perioperatif pediatrik mungkin berbeda. Matos dkk. (2013) melaporkan bahwa
durasi RJP berbanding terbalik dengan tingkat kelangsungan hidup di rumah sakit dan efek
neurologis. Pasien dalam operasi jantung telah meningkatkan hasil dibandingkan dengan pasien
pada beberapa kategori penyakit lainnya. Penelitian ini pula menunjukkan bahwa beberapa anak
yang mungkin meninggal tanpa RJP dapat bertahan hidup dengan hasil neurologis yang baik
bahkan setelah RJP berkepanjangan.

Oksigenasi membran ekstrakorporeal (ECMO)


Di beberapa pusat pelayanan kesehatan, oksigenasi membran ekstrakorporeal (ECMO) tersedia
dan telah digunakan untuk penyelamatan setelah cardiac arrest (ECPR). Turek et al. dari
pengalaman selama tiga tahun di beberapa pusat kesehatan dan menemukan bahwa program
pediatrik RR-ECMO untuk inisiasi venipuncture ECMO dikaitkan dengan penurunan komplikasi
neurologis. Tetapi RR-ECMO tidak meningkatkan kelangsungan hidup selama tiga tahun pertama
pelaksanaan program. Pedoman 2015 menyatakan bahwa, jika tersedia, penggunaan ECPR dapat
dipertimbangkan untuk pasien tertentu dalam situasi di mana penyebab yang reversibel dari
serangan jantung dicurigai.
Lain-lain
Kegagalan kardio-respirasi pada anak-anak dapat terjadi sebagai akibat dari konsumsi racun.
Riwayat konsumi bahan-bahan kimia ataupun obat-obatan dan tes diagnostik cepat dapat
menunjukkan toksin atau obat yang terlibat. Terapi bergantung pada obat yang dikonsumsi atau
toksin. Antidepresan trisiklik, B-blocker, calcium channel blockers, methamphetamine dan kokain
dapat menimbulkan efek samping tambahan.
Proteksi Neuronal Paska Resusitasi
Mempertahankan fungsi otak dan mencegah kerusakan otak sekunder merupakan tujuan penting
dari resusitasi. Hiperventilasi dan hipokapnea harus dihindari karena tidak terdapat manfaat.
Hipokapnea yang parah dapat menyebabkan iskemia serebral dan disfungsi miokard.
Mempertahankan suhu tubuh normal adalah praktik dasar dalam anestesi pediatrik. Hipertermia
dapat memiliki efek yang kurang baik pada pemulihan otak. Pada pasien dalam keadaan koma,
hipotermia terapeutik (32 oC hingga 34oC) dapat meningkatkan pemulihan otak.
HENTI JANTUNG PEDIATRIK PERIOPERATIF
Penyebab kegagalan sirkulasi dapat diklasifikasikan sebagai: a) volume intravaskular (preload
yang rendah, redistribusi volume, obstruksi aliran balik vena), b) kontraktilitas miokard (disfungsi
kontraktilitas), c) resistensi vaskuler, atau d) denyut jantung. Kegagalan pernapasan dapat terjadi
karena: a) masalah pada saluran pernapasan bagian atas, b) masalah saluran pernapasan bawah, c)
penyakit parenkim paru. Efek yang terkait dengan agen anestesi termasuk overdosis anestesi
intravena atau anestesi inhalasi. Blok neuroaksial dengan dosis yang tinggi dapat menyebabkan
blok saraf simpatometik total. Hipertermia kausa maligna atau kesalahan pengobatan, dapat
menyebabkan kegagalan sirkulasi. Efek kardiovaskular dari prosedur anestesi dapat menyebabkan
henti jantung atau kegagalan sirkulasi. Bayi dan anak-anak dengan peningkatan efek parasimpatik
mungkin memiliki bradycardia berat yang diinduksi oleh refleks vasovagal. Beberapa kondisi lain
yang dapat menimbulkan henti jantung diantarany syok hipovolemik dan atau hemoragik, tension
pneumothorax, reaksi anafilaksis, reaksi transfusi, ketidakseimbangan elektrolit akut (K+ tinggi),
terutama setelah pemberian suksinilkolin, hipertensi pulmonal berat, peningkatan tekanan intra
abdominal, emboli pulmonal, emboli udara.

Reaksi Anafilaksis
Penyebab umum anafilaksis seperti agen kontras intravena, lateks, antibiotik beta-laktam.
Manajemen pasien dengan anafilaksis melibatkan langkah-langkah untuk mengurangi efek
anafilaksis dan mendukung pasien. Pembedahan ataupun resusitasi mungkin akan ditunda
dikarenakan pasien harus segera diobati dengan cairan intravena dan vasopresor. Penting untuk
diingat bahwa epinefrin yang diberikan pada pasien dengan anafilaksis dimaksudkan untuk
mengurangi reaksi anafilaksis namun tidak menunjang sirkulasi. Diberikan dalam dosis penuh
yang direkomendasikan (0,01 mg / kg, sekitar 1 mg pada kebanyakan orang dewasa).
Komplikasi Akses Vena Sentral
Pneumotoraks adalah komplikasi dari pemasangan akses vena sentral pada pasien perioperati,
yang insidennya jarang. Kebanyakan klinisi dapat secara mudah mencurigai komplikasi ini, pada
pasien yang tidak stabil setelah pemasangan kanulasi vena sentral. Studi terbaru menunjukkan
bahwa pneumotoraks dan tamponade jantung dapat menjadi hal yang serius dan dapat mengancam
jiwa pada pasien yang terpasang akes vena sentral. Dalam kasus di mana seorang pasien memburuk
pemasangan akses vena sentral, pemeriksaan penunjang seperti echocardiography harus
dipertimbangkan selain rontgen dada.
Anestesi Lokal
Risiko toksisitas dari anestesi lokal sulit diprediksi. Secara umum, anestesi lokal menekan fungsi
jantung dalam dosis tertentu. Di antara anestesi lokal yang banyak digunakan secara klinis,
bupivacaine adalah depresan miokard yang paling kuat dan paling sering dikaitkan dengan
serangan jantung. Sebagian besar pediatrik diberikan blok anestesi lokal dengan sebelumnya telah
dianestesi umum. Oleh karena itu, gejala klinis yang mungkin mengarah ke serangan jantung
dalam konteks ini umumnya tersembunyi. Tanda-tanda anestesi lokal toksisitas seperti PVC,
kompleks QRK EKG lebar yang kemudian dapat menurunkan EMD / PEA atau asistol
(bupivicaine), bradikardia atau blok atrioventrikular (lidokain dan etidocaine). Tindakan yang
pertama dilakuakn adalah menghentikan anestesi lokal, RJP dapat dipertimbangkan (apabila tidak
ada denyut jantung selama lebih dari 10 detik), epinefrin 10 mcg / kg, intubasi endotrakeal dan
ventilasi fraksi oksigen 100%. Penggunaan intralipid (20%) dari 1,5 ml / kg IV, kemudian 0,25 ml
/ kg / jam IV dapat direkemendasikan untuk penyelamatan. Natrium bikarbonat harus digunakan
untuk mempertahankan pH> 7,25. Terapi lain mungkin termasuk H1 dan H2 blocker, alat pacu
jantung transkutan atau intravena untuk semua ritme bradikardia. Lanjutkan RJP selama
setidaknya 60 menit karena pemulihan neurologis yang sangat baik telah dilaporkan pada pasien
dengan serangan jantung yang berkepanjangan setelah overdosis anestesi lokal.
Kesimpulan
Panduan bantuan hidup lanjut untuk pediatri (2015) menekankan kepada penanganan awal dan
pengobatan. Kunci faktor keberhasilan untuk resusitasi termasuk penanganan awal, kualitas
kompresi dada dengan minimal interupsi, kerja tim yang efektif, dan perawatan pasca-resusitasi
(misalnya, target manajemen suhu). Henti jantung perioperatif pada anak-anak dapat memiliki
penyebab yang berbeda , membutuhkan perawatan yang berbeda pula.

Anda mungkin juga menyukai