Anda di halaman 1dari 12

NAMA : PHOEBE KEZIA .

NPM : 12114201170218

KELOMPOK : 15

FAKULTAS : KESEHATAN

JURUSAN : ILMU KEPERAWATAN

ALIRAN FENOMENOLOGI

Latar Belakang

Di dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi
dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Penafsiran-
penafsiran itu seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan
kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni,
tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran. Epistemologi berarti berbicara tentang “Bagaimana
cara kita memperoleh ilmu pengetahuan?”. Dalam memperoleh pengetahuan inilah akan ada
sarana dipergunakan seperti akal, akal budi, pengalaman atau kombinasi antara akal dan
pengalaman institusi, sehingga dikenal adanya model-model epistemologik rasionalisme,
empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme dan phenomenologi dengan berbagai
variasinya. Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwan,
tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah
mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivisme
terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu
sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis. Problematik positivisme dalam
ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah
mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu
sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek kedalam proses keilmuwan itu sendiri. Salah satu
pendekatan tersebut adalah pendekatan fenomenologi.
Apa itu Fenomenologi ?

Fenomenologi adalah studi tentang Phenomenon. Kata ini berasal dari bahasa
Yunani Phainein berarti menunjukkan. Dari kata ini timbul kata Pheinomenon berarti yang
muncul dalam kesadaran manusia. Dalam fenomenologi, ditetapkan bahwa setiap gambaran pikir
dalam pikiran sadar manusia, menunjukkan pada suatu hal keadaan yang
disebut intentional (berdasarkan niat atau keinginan). Secara harfiah, fenomenologi atau
fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme adalah sumber
pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran. Fenomenologi
merupakan sebuah aliran yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti yang
sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan
realita. Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri kita akan merangsang alat inderawi yang
kemudian diterima oleh akal ( otak ) dalam bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis
dengan jalan penalaran. Penalaran inilah yang dapat membuat manusia mampu berpikir secara
kritis. Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai
obyek-obyek di sekitarnya. Pada ada intinya, aliran fenomenologi mempunyai pandangan bahwa
pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya
melalui hal-hal yang pernah kita lihat, rasa, dengar oleh alat indera kita. Fenomenologi merupakan
suatu pengetahuan tentang kesadaran murni yang dialami manusia. Fenomenologi adalah sebuah
studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Sebagai sebuah
arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859–1938). Istilah
fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah ini pertama kali diperkenalkan
oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues
Organon (1764) yang ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata.Dalam pendekatan
sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam
refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur - hakekat dari
pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. Lorens Bagus memberikan dua pengertian
terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa
saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada
kesadaran kita. Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip
Pertama Metafisika (1786). Maksud Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik
gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi,
yakni fenomena indera-indera lahiriah. G.W.F. Hegel (1807) memperluas pengertian
fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu
pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya.
Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan
inderawi; fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan
pikiran manusia. Sementara itu, anggapan para ahli tertentu lebih mengartikan fenomenologi
sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan memaknakan sesuatu
sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan
langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni.
Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik (inti) fenomena–fenomena
sebagaimana fenomena-fenomena itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus
bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran
murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman
serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi
pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi
dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini
disebabkan benda itu sendiri merupakan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi
terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran
kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – fenomena. Kant menggunakan
kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena
adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat.

Prinsip Dasar Fenomenologi

Stanley Deetz menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomenologis:

 Pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar.Kita akan mengetahui


dunia ketika kita berhubungan dengan pengalaman itu sendiri.
 Makna benda terdiri dari kekuatan benda dalam kehidupan seseorang.Bagaimana kita
berhubungan dengan benda menentukan maknanya bagi kita.
 Bahasa merupakan kendaraan makna.Kita mengalami dunia melalui bahasa yang
digunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu.

TOKOH ALIRAN FENOMENOLOGI

Martin Heidegger

Martin Heidegger (lahir di Meßkirch, Jerman, 26 September 1889 – meninggal 26 Mei 1976 pada
umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di
bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana 1928.
Ia memengaruhi banyak filsuf lainnya, dan murid-muridnya termasuk Hans-Georg Gadamer, Hans
Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Xavier Zubiridan Karl Löwith. Maurice
Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre, Jacques Derrida, Michel Foucault. Jean-Luc Nancy,
dan Philippe Lacoue-Labarthe juga mempelajari tulisan-tulisannya dengan mendalam. Selain
hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai pengaruh yang besar atau
tidak dapat diabaikan terhadap eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneutika dan pasca-
modernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat Barat dari pertanyaan-pertanyaan metafisis dan
epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan ontologis, artinya, pertanyaan-pertanyaan
menyangkut makna keberadaan, atau apa artinya bagi manusia untuk berada. Heidegger juga
merupakan anggota akademik yang penting dari Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei.
Selain hubungannya dengan fenomenologi, ia mempunyai pengaruh yang besar terhadap
eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneutika dan pasca-modernisme. Heidegger menjadi tertarik
akan pertanyaan tentang "Ada" (atau apa artinya "berada").

Karya – karya Martin Heidegger

Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu) dicirikan sebagai sebuah ontologi
fenomenologis. Karya terpenting Heidegger adalah Being and Time (German Sein und
Zeit, 1927). Meskipun karya yang terbit hanyalah sepertiga dari total rencana keseluruhan
sebagaimana tampak dalam pengantarnya namun karya ini menunjukkan satu titik balik dalam
filsafat kontinental. Karya ini berpengaruh besar dan luas serta masih menjadi salah satu karya
yang paling banyak dibicarakan pada abad ke-20. Banyak paham filsafat, seperti eksistensialisme
dan dekonstruksi, yang berhutang banyak pada Being and Time. Dalam karya ini, Heidegger
memepertanyakan makna dari ada: apa maknanya bila sesuatu entitas dikatakan ada? Pertanyaan
ini adalah satu pertanyaan mendasar dalam caakupan wilayah ontologi. Dalam pendekatannya
Heidegger terpisah dari tradisi Aristotelian dan Kantian yang mendekati pertanyaan itu dari sudut
pandang logika. Secara implisit mereka mengatakan bahwa pengetahuan teoretis mewakili relasi
mendasar antara individu dan ada di dunia sekitarnya (mencakup juga dirinya sendiri). Heidegger
menolak tesis ini dengan mengawali pendekatannya dari fenomena keterlibatan yang disebutnya
sebagai sorge. Perilaku manusia adalah sebuah keterlibatan secara aktif dengan objek keseharian
di sekelilingnya. Dia bukan seorang pengamat pasif yang mengambil jarak dari dunianya.
Pendapatnya ini sekaligus sebuah kritik bagi pemikiran Cartesian yang mengagungkan "aku"
sebagai objek berpikir murni yang terpisah dari dunianya. Heidegger mengritik pernyataan
terkenal Descartes aku berpikir maka aku ada yang terlalu menekankan pada aku berpikir dan lupa
bahwa seharusnya aku ada terlebih dahulu barulah kemudian aku bisa berpikir. Fakta mendasar
dari eksistensi manusia adalah bahwa kita telah 'ada di dalam dunia'. Dunia adalah karakter dari
ada di dalam dunia, yang selanjutnya disebut dengan das sein. Selanjutnya Heidegger menolak
kategori subjek-ojek yang kerap dikenakan oleh filsuf pasca Descartes. Sesuatu bermakna bagi
kita hanya dalam penggunaannya pada konteks tertentu yang telah ditetapkan oleh norma sosial.
Namun, semua norma-norma secara radikal kontingen. Kontingensi mereka terungkap dalam
fenomena dasar Angst, di mana semua norma murtad dan makhluk muncul sebagai tidak ada yang
khusus, dalam kesia penting mereka. (Berlawanan dengan beberapa interpretasi eksistensialis
Heidegger, ini tidak berarti bahwa keberadaan semua tidak masuk akal, melainkan berarti
keberadaan yang selalu memiliki potensi untuk absurditas.) Pengalaman Angst mengungkapkan
keterbatasan penting dari manusia. Fakta bahwa makhluk dapat muncul, baik sebagai bermakna
dalam konteks atau sebagai berarti dalam pengalaman Angst, tergantung pada fenomena
sebelumnya: bahwa makhluk dapat muncul sama sekali. Heidegger menyebut muncul makhluk
"kebenaran", yang ia definisikan sebagai unconcealment daripada kebenaran. Ini "kebenaran
makhluk", diri mereka wahyu, melibatkan jenis yang lebih mendasar kebenaran, "pengungkapan
berada di mana makhluk makhluk ini yg tak disembunyikan." Inilah unconcealment menjadi yang
mendefinisikan eksistensi manusia untuk Heidegger: manusia adalah menjadi untuk siapa makhluk
adalah masalah, yaitu, untuk siapa yang muncul seperti itu (kata Heidegger untuk seperti suatu
entitas, yang dibayangkan bisa memiliki non- instantiations manusia, adalah Da-sein). Inilah
sebabnya mengapa Heidegger mulai penyelidikan ke dalam makna kebersamaan dengan
penyelidikan esensi manusia; ontologi Da sein adalah ontologi fundamental.
Para unconcealment pada dasarnya adalah fenomena temporal dan historis (maka "waktu" di
Menjadi dan Waktu); apa yang kita sebut masa lalu, sekarang, dan masa depan sesuai originarily
untuk aspek unconcealment ini dan tidak untuk tiga wilayah yang saling eksklusif dari waktu
homogen yang mengukur jam (meskipun jam-waktu adalah turunan dari waktu originary
dari unconcealment, seperti Heidegger mencoba menunjukkan dalam bab-bab sulit buku akhir).
Pemahaman total menjadi hasil dari penjelasan dari pengetahuan implisit menjadi yang melekat
pada semua perilaku manusia. Filsafat demikian menjadi suatu bentuk penafsiran, inilah mengapa
teknik Heidegger dalam Being and Time sering disebut sebagai fenomenologi hermeneutik.
Mengada dan Waktu, yang tidak lengkap, berisi pernyataan Heidegger proyek ini dan
penafsirannya tentang keberadaan manusia dan cakrawala temporal, tetapi tidak mengandung
bekerja di luar makna menjadi seperti itu atas dasar penafsiran ini. Tugas ambisius diambil dengan
cara yang berbeda dalam karya-karyanya berikutnya (lihat di bawah). Sebagai bagian dari proyek
ontologisnya, Heidegger melakukan reinterpretasi filsafat Barat sebelumnya. Dia ingin
menjelaskan mengapa dan bagaimana pengetahuan teoretis datang tampak seperti hubungan yang
paling mendasar untuk menjadi. Penjelasan ini mengambil bentuk
sebuah destructuring (Destruktion) dari tradisi filsafat, strategi interpretif yang mengungkapkan
pengalaman mendasar yang pada dasar filsafat sebelumnya. Dalam Mengada dan Waktu ia sempat
destructures filsafat Descartes, dalam bekerja kemudian dia menggunakan pendekatan ini untuk
menafsirkan filsafat Aristoteles, Kant, Hegel, dan Plato, antara lain. Teknik ini diberikan pengaruh
yang besar pada pendekatan dekonstruktif Derrida, meskipun ada perbedaan yang sangat penting
antara dua metode.

Mengada dan Waktu adalah prestasi yang menjulang tinggi dari awal karier Heidegger, tetapi ada
karya-karya penting lainnya dari periode ini, termasuk Die Grundprobleme der Phänomenologie
(Masalah Dasar Fenomenologi, 1927), Kant und das Masalah der Metaphysik (Kant dan Masalah
Metafisika , 1929), dan "Apakah ist Metaphysik?" ("Apa itu Metafisika?", 1929). Meskipun
Heidegger mengklaim bahwa semua tulisannya bersangkutan satu pertanyaan, pertanyaan
menjadi, pada tahun-tahun setelah penerbitan dan Waktu Menjadi fokus karyanya berangsur
berubah. Perubahan ini sering disebut sebagai Heidegger Kehre (berbalik). Dalam karya-karyanya
berikutnya, Heidegger berubah dari "melakukan" untuk "tinggal." Dia berfokus kurang pada cara
di mana struktur yang terungkap dalam perilaku sehari-hari dan dalam pengalaman Angst, dan
lebih pada cara di mana perilaku itu sendiri tergantung pada sebelum "keterbukaan menjadi."
Esensi manusia adalah pemeliharaan keterbukaan ini. (Perbedaan antara karya Heidegger awal dan
akhir lebih merupakan perbedaan penekanan dari istirahat radikal seperti bahwa antara karya-karya
awal dan akhir dari Wittgenstein, tetapi cukup penting untuk membenarkan sebuah divisi dari
korpus Heidegger menjadi "awal" (kira-kira, pra-1930) dan "terlambat" tulisan). Heidegger
menentang keterbukaan ini kepada "kehendak untuk berkuasa" dari subjek manusia modern, yang
bawahan makhluk untuk tujuannya sendiri daripada membiarkan mereka "menjadi apa yang
mereka." Heidegger menafsirkan sejarah filsafat barat sebagai periode singkat keterbukaan otentik
untuk berada di saat-Sokrates pra, terutama Parmenides, Heraclitus, dan Anaximander, diikuti
dengan periode lama semakin didominasi oleh subjektivitas nihilistik, diprakarsai oleh Plato dan
memuncak pada Nietzsche. Dalam tulisan-tulisan kemudian, dua tema berulang yang puisi dan
teknologi. Heidegger melihat puisi sebagai cara yang unggul di mana makhluk yang terungkap
"dalam diri mereka." Para pemain bahasa puisi (yang, untuk Heidegger, esensi dari bahasa itu
sendiri) mengungkapkan permainan keberadaan dan ketiadaan yang sedang sendiri. Heidegger
berfokus terutama pada puisi Holderlin. Melawan kekuatan mengungkapkan puisi, Heidegger
menetapkan kekuatan teknologi. Inti dari teknologi adalah konversi dari seluruh alam semesta
makhluk menjadi dibeda-bedakan "berdiri cadangan" (Bestand) dari energi yang tersedia untuk
penggunaan manusia yang memilih untuk meletakkannya. Cadangan berdiri mewakili nihilisme
yang paling ekstrem, karena makhluk makhluk benar-benar tunduk pada kehendak subjek
manusia. Heidegger tidak tegas mengutuk teknologi; ia percaya bahwa dominasi yang semakin
meningkat bisa membuat itu mungkin bagi manusia untuk kembali ke tugas otentik tentang tugas
sedang. Namun, banyak karya kemudian Heidegger dicirikan oleh nostalgia agraria jelas. Karya-
karya penting Heidegger kemudian termasuk Vom Wesen der Wahrheit ("Di Esensi
Kebenaran," 1930), Der Ursprung des Kunstwerkes ("Asal Karya Seni," 1935), Bauen Wohnen
Denken ("Membangun Berpikir Tempat Tinggal," 1951), dan Die Frage nach der Technik
("Pertanyaan Mengenai Teknologi," 1953) dan Apakah heisst Denken? ("Apa Apakah Disebut
Berpikir?" 1954).

Pendapat Tokoh Mengenai Fenomenologi

Gagasan tentang Ada berasal dari Parmenides dan secara tradisional merupakan salah satu
pemikiran utama dari filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh
Heidegger setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika dari Plato hingga Descartes, dan
belakangan ini pada Masa Pencerahan. Heidegger berusaha mendasarkan Ada di dalam waktu, dan
dengan demikian menemukan hakikat atau makna yang sesungguhnya dalam artian
kemampuannya untuk kita pahami. Upaya besar Heidegger adalah menangani kembali gagasan
Plato dengan serius, dan pada saat yang sama menggoyahkan seluruh dunia Platonis dengan
menantang saripati Platonisme - memperlakukan Ada bukan sebagai sesuatu yang nirwaktu dan
transenden, melainkan sebagai yang imanen (selalu hadir) dalam waktu dan sejarah. Heidegger
memepertanyakan makna dari ada, apa maknanya bila sesuatu entitas dikatakan ada? Pertanyaan
ini adalah satu pertanyaan mendasar dalam cakupan wilayah ontologi. Dalam pendekatannya
Heidegger terpisah dari tradisi Aristotelian dan Kantian yang mendekati pertanyaan itu dari sudut
pandang logika. Secara implisit mereka mengatakan bahwa pengetahuan teoritis mewakili relasi
mendasar antara individu dan ada di dunia sekitarnya (mencakup juga dirinya sendiri). Selanjutnya
Heidegger menolak kategori subjek-objek yang kerap dikenakan oleh filsuf pasca Descartes.
Sesuatu bermakna bagi kita hanya dalam penggunaannya pada konteks tertentu yang telah
ditetapkan oleh norma sosial.

Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu

Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam


kemurniannya. Fenomena di sini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu
tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu
yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu
metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti
penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak menanggalkan
segenap teori, pra anggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana
adanya: “Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya sendiri). Tugas utama fenomenologi
menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan
suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan
diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu
membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian
yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada
bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala
sesuatu”.Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi
fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang
berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga
berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena
yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil
dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.

Konstribusi Fenomenologi Terhadap Ilmu Pengetahuan

Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep


Lebenswelt (“dunia kehidupan”).Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks
ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk
menyelamatkan subjek pengetahuan. Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European
Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan”
(lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan
yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya
memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam.
Akibatnya adalah terjadinya ‘matematisasi alam’, alam dipahami sebagai keteraturan (angka-
angka).Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah
menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal. Dunia kehidupan dalam
pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam
spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah
unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang
ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis. Konsep
dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena
ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat
diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan
terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah
makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya
adalah memahami makna.Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para
pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia
kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus
memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang
menghasilkan dunia kehidupan itu. Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah
deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’
yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari.Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat
dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan
oleh aspek intersubjektif.Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-
benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan
menghayati. Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang
menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka
konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak
terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan
metodelogisnya.

Kelebihan dan kekurangan Filsafat Phenomenologi


1. Phenomenologi sebagai suatu metode keilmuan, dapat mendiskripsikan penomena
dengan apa adanya dengan tidak memanipulasi data, aneka macam teori dan pandangan
2. Phenomenologi mengungkapkan ilmu pengetahuan atau kebenaran dengan benar-benar
yang objektif
3. Phenomenologi memandang objek kajian sebagai bulatan yang utuh tidak terpisah dari
objek lainnya
Dengan demikian phenomenologik menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial,
sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang di amati, hal ini lah yang menjadi
kelebihan filsafat ini sehingga banyak dipakai oleh ilmuan-ilmuan dewasa ini terutama ilmuan
sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama. Dari berbagai
kelebihan tersebut, phenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti :
1. Tujuan phenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada
pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu
pengetahuan, merupakan suatu yang absurd
2. Pengetahuan yang didapat tidak bebas nilai (value-free), tapi bermuatan nilai (value-
bound).
Dari kelebihan dan kekurangan tersebut maka kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif,
yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu pula serta dalam waktu
tertentu. Dengan ungkapan lain pengetahuan dan kebenaran yang dihasilkan tidak dapat
digeneralisasikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Poejawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat, PT Rineka Cipta, Cet. XII, 2005, Jakarta, h. 139.
2. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, 1983, Yogyakarta. h. 145-148.
3. Abdul Munin al-Hifni, al-Mausu’ah al-Falsafiyah, beirUt Libanon, Dar Ibn Zaidun, tt. Cet. ke I
4. Burhanuddin Salam, Logika Materiil (Filsafat Ilmu Pengetahuan), Jakarta, Renika Cipta
5. Dirjarkara, Percikan Filssafat, Jakarta PT. Pembangunan, tahun 1978.
6. Fuad Hasan, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta, Pustaka Jaya, tahun 1996, cet. Ke-I
7. Hasan Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta, Kanisius, tahun 1993, cet. ke 9
8. http://id.wikipedia.org/wiki/Martin_Heidegger, akses 06-03-2018, 22.00 WIT.
9. Http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/05/mengenal-filsafat fenomenologi.html, akses 06-
03-2018, 22.00 WIT.
10. Koento Wibisono Siswoniharjo, Ilmu Pengantar Sebuah Sketsa Umum Untuk Mengenal Kalahiran
dan Perkembangan Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu Dalam Tim Dosen Filsafat
Ilmu, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Leberty, 1996.
11. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 1996, Gramedia, Jakarta
12. Moh, Muslih, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan., Yogyakarta, Belukar, 2005
13. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Reka Sarasin, tahun 1998.
14. Sutrisno, et.al., Para Filusuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta, Kanisius, 2005
15. Titus, Living Issnes In Philosophy (Persoalan-Persoalan Filsafat), alih bahasa oleh M. Rasyidi,
Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
16. http://bela-d.blogspot.co.id/2015/10/v-behaviorurldefaultvmlo.html?m=1, akses 06-03-2018,
22.00 WIT.
17. Maksum, Ali. 2011. PengantarFilsafat; dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Yogyakarta .
AR-RUZZ MEDIA.
18. Achmadi, Asmoro. 2010. Filsafatumum. Jakarta. PT. RAJA GRAFINDO PERSADA.
19. https://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi, akses 09-03-2018, 22.00 WIT.
20. https://kangarul.wordpress.com/2009/07/31/pengertian-dan-mazhab-filsafat/, akses 09-03-2018,
20.00 WIT.
21. http://aalqadry.blogspot.co.id/2013/06/filsafat-ilmu-aliran-fenomenologi.html, akses 09-03-2018,
19.00 WIT.

Anda mungkin juga menyukai